BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Pustaka
6. Aspek-Aspek dalam Religiositas
a) Iman
Iman berasal dari bahasa Arab dari kata dasar amana yu’minu-imanan. Artinya beriman atau percaya. Percaya dalam bahasa Indonesia artinya meyakini atau yakin bahwa sesuatu (yang dipercaya) itu memang benar atau nyata adanya. Iman dapat dimaknai iktiraf, membenarkan, mengakui, pembenaran yang bersifat khusus. Iman adalah kepercayaan, keyakinan, ketetapan hati atau keteguhan hati (WJS, 2000:18)
Pengertian iman secara istilah ialah kepercayaan yang meresap dalam hati, dengan penuh keyakinan, tidak bercampur syak (ragu), serta memberi pengaruh bagi pandangan hidup, tingkah laku dan perbuatan sehari-hari. Jadi, iman itu bukanlah semata-mata ucapan lidah, bukan sekedar perbuatan dan bukan pula merupakan pengetahuan tentang rukun iman.
Sesungguhnya iman bukanlah semata-mata pernyataan seseorang dengan lidahnya, bahwa dia orang beriman (mukmin), karena banyak pula orang-orang
munafik (beriman palsu) yang mengaku beriman dengan lidahnya, sedang hatinya tidak percaya.
Iman membentuk jiwa dan watak manusia menjdi kuat dan positif, yang akan diwujudkan dalam bentuk perbuatan dan tingkah laku akhlak manusia sehari-hari adalah didasari oleh apa yang dipercayainya. Jika kepercayaannya benar dan baik pula perbuatannya, dan begitu pula sebaliknya.
Setiap orang mukmin adalah muslim, dan setiap orang muslim adalah mukmin (Yusuf, 1953:8). Antara percaya kepada Tuhan dan menyerahkan diri secara ikhlas kepada Tuhan tidak dapat dipisahkan, karena keduanya mempunyai hubungan yang erat, yang satu mendasari dan yang lain melengkapi, menyempurnakan dan memperkuatnya.
Keimanan pada keesaan Allah itu merupakan hubungan yang semulia-mulianya antara manusia dengan penciptanya. Oleh karena itu, mendapatkan petunjuk sehingga menjadi orang yang beriman, adalah kenikmatan terbesar yang dimiliki oleh seseorang.
Keimanan itu bukanlah semata-mata ucapan yang keluar dari bibir dan lidah saja atau semacam keyakinan dalam hati saja. Tetapi keimanan yang sebenar-benarnya adalah merupakan suatu akidah atau kepercayaan yang memenuhi seluruh isi hati nurani, dari situ timbul bekas-bekas atau kesan-kesannya, seperti cahaya yang disorotkan oleh matahari.
Iman bukan sekedar ucapan lisan seseorang bahwa dirinya adalah seorang mukmin. Sebab orang-orang munafik pun dengan lisannya menyatakan hal yang sama, namun hatinya mengingkari apa yang dinyatakan itu.
Iman juga bukan sekedar amal perbuatan yang secara lahiriah merupakan chiri khas perbuatan orang-orang beriman. Sebab orang-orang munafik un tak sedikit yang secara lahiriah mengerjakan amal ibadah dan berbuat baik, sementara hati mereka bertolak belakang dengan perbuatan lahirnya, apa yang dikerjakan bukan didasari keikhlasan mencari Ridha Allah (Yusuf, 2005: 27-28) 1. Unsur-unsur Iman
Unsur-unsur iman atau disebut juga sebagai rukun iman. Rukun iman yaitu ada enam, yaitu: iman kepada Allah, malaikat, kitab Allah, Rasul Allah dan hari kiamat.
a. Iman kepada Allah
Yang dimaksud iman kepada Allah adalah membenarkan adanya Allah swt, dengan cara meyakini dan mengetahui bahwa Allah swt wajib adanya karena dzatnya sendiri (Wajib Al-wujud li Dzati), tunggal dan Esa, Raja yang Maha kuasa , yang hidup dan dan berdiri sendiri , yang Qadim dan Azali untuk selamanya. Dia Maha mengetahui dan Maha Kuasa terhadap segala sesuatu, berbuat apa yang ia kehendaki, menentukan apa yang Ia inginkan, tiada sesuatupun yang sama dengan-Nya, dan Dia Maha mengetahui.
Berdasarkan firman Allah;
َّر نِم ِهْيَلِإ َل ِزنُأ ٓاَمِب ُلوُس َّرلٱ َنَماَء ُق ِ رَفُن َلَ ۦِهِلُس ُر َو ۦِهِبُتُك َو ۦِهِتَكِئٓ َلَمَو ِ َّللَّٱِب َنَماَء ٌّلُك ۚ َنوُنِمْؤُمْلٱَو ۦِهِ ب
ُري ِصَمْلٱ َكْيَلِإ َو اَنَّب َر َكَنا َرْفُغ ۖ اَنْعَطَأ َو اَنْعِمَس ۟اوُلاَق َو ۚ ۦِهِلُس ُّر نِ م ٍدَحَأ َنْيَب Terjemahan: Rasul telah berfirman kepada Al-Quran yang diturunkan
kepadanya darinTuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat- malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan Rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan Kami taat.”
(mereka berdoa): “Ampunilah kami Ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.” Qs. Al-Baqarah; 285
َتِكْلٱ َو ۦِهِلوُس َر ىَلَع َل َّزَن ىِذَّلٱ ِب َتِكْلٱ َو ۦِهِلوُس َر َو ِ َّللَّٱِب ۟اوُنِماَء ۟ا ٓوُنَماَء َنيِذَّلٱ اَهُّيَأٓ َي ِم َل َزنَأ ٓىِذَّلٱ ِب
ن
ِعَب اۢلً َلَض َّلَض ْدَقَف ِر ِخاَءْلٱ ِم ْوَيْلٱ َو ۦِهِلُس ُر َو ۦِهِبُتُك َو ۦِهِتَكِئٓ َلَمَو ِ َّللَّٱِب ْرُفْكَي نَمَو ۚ ُلْبَق اۢدي
Terjemahan: Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat
sejauh-jauhnya. Qs. An-Nisa;136
Jadi iman kepada Allah adalah mempercayai adanya Allah swt beserta seluruh ke Agungan Allah swt dengan bukti-bukti yang nyata kita lihat, yaitu dengan diciptakannya dunia ini beserta isinya.
b. Iman kepada Para Malaikat
Iman kepada Malaikat merupakan meyakini adanya Malaikat, sebagai hamba Allah yang tunduk dan beribadah (Hakami, 2001: 81)
Malaikat merupakan makhluk agung, jumlahnya banyak dan tak terbilang, tak seorangpun yang bisa menghitungnya selain Allah semata. Allah menciptakan mereka dari cahaya, menciptakan mereka dengan kebaikan, tidak berbuat kejahatan, dan mereka tidak diperintahkan ataupun melaksanakan itu. Karena itu mereka taat kepada Allah, tidak mendurhakai berbagai perintahNya, dan melakukan perintah yang disampaikan. Mereka bertasbih memahasucikan Allah siang dan malam tanpa kenal lelah, tidak bosan untuk beribadah kepada Allah ataupun sombong (Hakami, 2014: 212)
Beriman kepada para malaikat adalah salah satu rukun iman. Mereka adalah sejenis makhluk Allah yang selalu taat kepada-Nya, tidak akan menentang
perintahnya dan tidak makan atau minum. Mereka akan senantiasa jaga dan tidak pernah tidur sekejappun, baik siang maupun malam.
Iman kepada para Malaikat yaitu percaya bahwa malaikat merupakan makhluk yang diciptakan Allah yang tidak pernah membangkang perintah-Nya, juga makhluk gaib yang menjadi perantara-perantara Allah Swt dengan para Rasul. Kita percaya bahwa Malaikat adalah makhluk pilihan Allah, mereka tidak berbuat dosa, tidak melawan kepada-Nya, pekerjaannya semata-mata menjunjung tinggi tugas yang diberikan kepada mereka masing-masing
c. Iman kepada Kitab-kitab Allah
Makna beriman kepada kitab-kitab ilahi yaitu adalah bagian dari akidah mukmin yaitu membenarkan secara benar kalam khusus Allah yang Dia Wahyukan kepada Rasul pilihan-Nya , kemudian disatukan dan disusun menjadi lembaran-lembaran atau kitab-kitab suci.
Lembaran-lembaran dan kitab-kitab yang diketahui wajib diimani dengan rinci, dan yang tidak diketahui wajib diimani secara garis besar. Satu-satunya referensi yang menjadi sumber untuk mengetahui kitab-kitab ilahi secara rinci yatu Al-Quran, karena Al-Quran merupakan kitab yang terjaga sedemikian rupa, tidak ada penambahan ataupun pengurangan, tidak ada perubahan ataupun penggantian sama sekali di dalamnya. Al-Quran akan terus terjaga dengan penjagaan Allah hingga mendekati ambang batas akhir kehidupan dunia ini.
Firman Allah;
Terjemahan: sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.
(Q.s Al-Hijr :9)
Beriman kepada kitab-kitab wajib secara syar’i maupun logika. Adapun ia wajib secara syar’i karena Allah memerintahkannya secara pasti dan tidak menunjuk apa pun selain harus taat kepada-Nya dalam hal ini, melarang durhaka kepada-Nya, melalui firman terkait perintah untuk beriman.
Yang dimaksud dengan iman kepada kitab-kitab Allah adalah membenarkan bahwa kitab-kitab Allah tersebut telah diturunkan oleh Allah. Kitab tersebut diturunkan melalui firman-firman-Nya. Ada yang disampaikan melalui perantara malaikat, dan ada yang ditulis sendiri.
Allah berfirman;
ِإِب َى ِحوُيَف ۢلَوُس َر َلِس ْرُي ْوَأ ٍباَج ِح ِئٓا َر َو نِم ْوَأ اۢيْح َو َّلَِإ ُ َّللَّٱ ُهَمِ لَكُي نَأ ٍرَشَبِل َناَك اَم َو ۞ اَم ۦِهِنْذ
۞ميِكَح ٌّىِلَع ۥُهَّنِإ ۚ ُءٓاَشَي Terjemahan: Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah
berkata-kata dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Esungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana
Iman kepada kitab-kitab Allah swt ialah meyakini bahwa kitab-kitab tersebut datang dari sisi Allah swt yang diturunkan kepada sebagian Rasulnya. Dan bahwasanya kitab- kitab itu merupakan firman Allah swt yang Qadim, dan segala yang termuat di dalamnya merupakan kebenaran. Dan kita tahu kitab-kitab yang diturunkan kepada Rasul itu ada empat yaitu kitab Taurat yang diturunkan
kepada Nabi Musa, Injil kepada Nabi Isa, Zabur kepada Nabi Daud dan Al-Quran kepada Nabi Muhammad saw.
e. Iman kepada Para Rasul
Iman kepada Rasul adalah percaya dan yakin bahwa Allah swt telah mengutus para Rasul kepada manusia untuk memberi petunjuk kepada manusia, dan Nabi yang wajib kita percaya itu ada dua puluh lima.
f. Iman kepada Hari Akhir
Hari akhir ialah Hari Kiamat, termasuk kebangkitan (alba’ts), yaitu keluarnya manusia dari kubur mereka dalam keadaan hidup, sesudah jazad mereka dikembalikan dengan seluruh bagiannya seperti dulu kala di dunia.
g. Iman kepada Taqdir (Qadha dan Qadhar)
Iman kepada Qadha dan Qadhar adalah percaya bahwa segala hak, keputusan, perintah, ciptaan Allah swt yang berlaku pada makhluknya termasuk dari kita (manusia) tidaklah terlepas (selalu berlandaskan pada) kadar, ukuran, aturan, dan kekuasaan Allah swt.(Jujun, 2001: 4)
Sebagai manusia biasa yang lemah kita harus percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi pada diri kita atas izin Allah swt, jadi berserah dirilah kepada Allah swt, dengan cara berusaha, berdoa dan berikhtiar kepada Allah. Karena Allah swt memberi cobaan itu pasti sesuai dengan posisi kita masing-masing, tidak ada yang kurang atau lebih, artinya manusia hanya bisa berusaha dan sesungguhnya Aallah swt yang akan menentukan.
Jadi sebagai seorang mu’min kita wajib percaya kepada rukun-rukun iman yang akan menjadi benteng yang kokoh dalam kehidupan kita di dunia. Dan kita
memang harus yakin bahwa Allah swt lah Tuhan kita, Islam sebagai agama, Muhammad sebagai Rasul, Al-Quran sebagai kitabullah dan petunjuk, serta kita berpegang teguh kepada agama islam, beriman kepada semua yang telah diciptakan Allah swt.
b) Islam
Islam adalah agama universal (Abul, 1990: 17) yang meliputi semua aspek kehidupan manusia (Halim, 1994: 27) namun sekurangnya ada tiga aspek penting yang menjadi dasar dari semua aspek yang lain, yaitu: akidah, syari’ah, dan akhlak. Ketiganya membentuk nilai-nilai dan norma-norma dalam kehidupan manusia.
Nilai di dalam agama Islam pada dasarnya merupakan kumpulan dari prinsip-prinsip hidup, ajaran-ajaran mengenai bagaimana semestinya manusia menjalankan kehidupannya di dunia ini. Nilai-nilai Islam yang tegas, pasti serta tetap tidak berubah karena situasi, tempat dan waktu, adalah nilai yang berasal dari agama (Zakiah, 1976: 155-156)
Agama Islam memiliki kedudukan yang sangat penting pada kehidupan manusia. Agama Islam hendaknya dipahami sekaligus dibangun di atas pandangan komitmen kebersamaan yang menitikberatkan kepada nilai spiriual dan aktualitas. Peran agama Islam begitu penting dilakukan berkaitan dengan bagaimana para pemeluk agama itu bernilai dengan perkembangan kehidupan (Ridwan, 2005: 73-74). Agama adalah pengikat kehidupan manusia yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi (Ahmad, 2000: 18). Nilai-nilai Islam adalah tingkatan integrasi kepribadian yang mencapai tingkat
budi yang baik. Nilai Islam bersifat mutlak kebenarannya universal dan suci. Kebenaran dan kebaikan agama mengatasi rasio, perasaan, keinginan nafsu-nafsu manusiawi. Nilai-nilai Islam mengontrol akhlak seseorang, karena akhlak yang baik merupakan pondasi yang kokoh bagi terciptanya hubungan yang baik (Ali, 2004: 81)
Misi dari agama Islam merupakan penyempurnaan akhlak seperti yang terdapat dalam Al-Quran dan Al-Sunnah. seperti dalam Al-Quran surat Al-Ahzab ayat 21 yang berbunyi:
َّل ََّللَّٱ َرَكَذ َو َر ِخاَءْلٱ َم ْوَيْلٱ َو َ َّللَّٱ ۟اوُج ْرَي َناَك نَمِ ل ةَنَسَح ة َوْسُأ ِ َّللَّٱ ِلوُس َر ىِف ْمُكَل َناَك ْدَق ا ۢريِثَك
Terjemahan: sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullahsuri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (Q.s Al-Ahzab:21)
Islam begitu memperhatikan masalah pembinaan akhlak. Hal ini dapat dijumpai dari sunnah nabi Muhammad saw, seperti terlihat dalam ucapan dan perbuatannya yang mengandung nilai-nilai dan prinsip-prinsip akhlak. Adapun hadis yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad diutus ke muka bumi ini untuk membetulkan akhlak yang mulia. Orang yang paling berat timbangan amal baiknya di akhirat merupakan orang yang paling mulia akhlaknya. Orang yang paling sempurna imannya merupakan orang yang paling baik akhlaknya. Tegasnya beliau mengatakan sebagai berikut: artinya: Aku diutus (oleh Allah) untuk menyempurnakan akhlak yang mulia (H.R Ahmad). (Abuddin, 2003: 3)
c) Akhlak
Dalam pengertian sehari-hari akhlak umumnya disamakan artinya dengan budi pekerti, kesusilaan, sopan santun dalam bahasa Indonesia, dan tidak berbeda pula dengan arti kata moral, ethic dalam bahasa Inggris. Manusia akan menjadi segala akhlak tercela (Mansur, 2009: 221)
Secara kebahasaan akhlak bisa baik dan juga bisa buruk, tergantung tata nilai yang dijadikan landasan atau tolok ukurnya. Di Indonesia, kata kahlak selalu berkonotasi positif. Orang yang baik sering disebut orang yang berakhlak, sementara orang yang tidak berlaku baik disebut orang yang tidak berakhlak.
Adapun secara istilah, akhlak adalah sistem nilai yang mengatur pola sikap dan tindakan manusia di muka bumi. Sistem nilai yang dimaksud adalah ajaran Islam, dengan AL-Quran dan Sunnah Rasul sebagai sumber nilainya serta ijtihad sebagai metode berpikir Islami. Pola sikap dan tindakan yang dimaksud mencakup pola-pola hubungan dengan Allah, sesama manusia (termasuk dirinya sendiri), dan dengan alam (Nurdin dkk, 1995: 209)
Akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam diri manusia dan bisa bernilai baik atau bernilai buruk. Akhlak tidak selalu identik dengan pengetahuan, ucapan ataupun perbuatan orang yang bisa mengetahui banyak tentang baik buruknya akhlak, tapi belum tentu ini didukung oleh keluhuran akhlak, orang bisa bertutur kata yang lembut dan manis, tetapi kata-kata bisa meluncur dari hati munafik. Dengan kata lain akhlak merupakan sifat-sifat bawaan manusia sejak lahir yang tertanam dalam jiwanya dan selalu ada padanya Al-Quran selalu
menandaskan, bahwa akhlak itu baik atau buruknya akan memantul pada diri sendiri sesuai dengan pembentukan dan pembinaanya (Sukanto, 1994: 80)
Akhlak adalah nilai dan pemikiran yang telah menjadi sikap mental yang mengakar dalam jiwa, kemudian tampak dalam bentuk tindakan dan perilaku yang bersifat tetap, natural dan alamiah tanpa dibuat-buat, serta refleks (Anis, 2006: 14)
Akhlak terbagi beberapa yaitu:
a) Akhlak Kepada Allah
1. Mensucikan Allah dan memuji-Nya, Q.S.Al- Anfal ayat 61).
2. Bertawakkal, berserah diri, kepada Allah. dalam Al-Quran perintah tawakkal kepada Allah terulang dalam bentuk tunggal sebanyak sembilan kali dan bentuk jamak sebanyak dua kali. Semua didahului oleh perintah untuk melakukan sesuatu. Dalam konteks tawakkal kepada Allah, manusia harus mempercayakan diri kepada-Nya dalam melaksanakan sesuatu pekerjaan yang telah direncanakan secara matang dan mantap. (Q.S.. Al-Anfal ayat 61). 3. Berbaik sangka kepada Allah, bahwa yang datang dari Allah kepada
makhluknya hanya kebaikan, Q.S. An-Nisa’:79. 4. Beribadah hanya kepada Allah, Q.S. Al-An’am:162.
5. Berdoa khusus kepada Allah, berdoa artinya meminta sesuatu kepada Sang Pencipta, agar apa yang diupayakan atau sesuatu yang diinginkan tercapi. Adapun diantara syarat-syaratdiijabahnya doa seseorang oleh Allah sebagai berikut; bersungguh dalam memanjatkan doa; penih keyakinan doanya
diterima; berdoa khusyuk, memohon yang masuk akal, dilakukan secara ikhlas, menjauhkan diri dari segala hal yang dilarang oleh Allah.
6. Zikrullah, yaitu ingat kepada Allah. dalam Islam, manusia diperintahkan untuk selalu ingat kepada Allah baik waktu lapang maupun waktu sempit, baik waktu sendirian maupun waktu bersama-sama, baik waktu sehat maupun waktu sakit, zikir yang disuruh dalam Islam tidak terbatas jumlahnya atau zikir yang sebanyak-banyaknya. Menurut Ibn Atha’, zikir itu dapat dibagi kepada tiga bagian/bentuk, yaitu zikirjail, mengingat Allah dalam bentuk ucapan lisan yang mengandung arti pujian, syukur dan doa kepada Allah yang lebih menampakkan suara jelas untuk menuntun gerak hati, misalnya dengan membaca kalimat tahlil, tahmid, takbir dan tasbih. Kedua, zikir Kafi, zikir yang dilakukan secara khusyuk, oleh ingatan hati, baik lisan maupun tidak. Ketiga, zikir haqiqi, yaitu tingkatan zikir yang paling tinggi yang dilakukan oleh seluruh jiwa dan raga. Lahiriah dan batiniah, kapan dan di mana saja, dengan memperketat upaya untuk memelihara seluruh jiwa raga dari larangan Allah dan mengerjakan apa yang doperintahkan-Nya. (Dahlan, 2016)
7. Bersyukur kepada Allah, yaitu menyadari bahwa segala nikmat yang ada merupakan karunia Allah dan anugrah dari Allah semata. Sehingga, jika manusia mendapatkan nikmat, maka pergunakan sesuai dengan yang diperintahkan Allah. adapun syukur itu dapat dikategorikan ke dalam tiga bentuk. Pertama, syukur dengan hatinya, kedua, syukur dengan lisan, yaitu dengan cara beramal shaleh, sesuai dengan Firman-Nya, Q.S. An-Nahl:53.
b) Akhlak Kepada Diri Sendiri
Akhlak kepada diri sendiri yaitu bagaimana seseorang bersikap dan berbuat yang terbaik untuk dirinya terlebih dahulu, karena dari sinilah seseorang akan menentukan sikap dan perbuatannya yang terbaik untuk orang lain, sebagaimana sudah dipesankan Nabi, bahwa mulailah sesuatu itu dari diri sendiri (Ibda Binafsih). Begitu juga ayat dalam Al-Quran, yang telah memerintahkan untuk memperhatikan diri terlebih dahulu baru porang lain, “Hai orang-orang yang berimanpeliharahlah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. (Q.S. Al-Tahrim:6). Bentuk aktualisasi akhlak manusia terhadap diri sendiri berdasarkan sumber ajaran Islam adalah menjaga harga diri, menjaga makanan dan minuman dari hal-hal yang diharamkan dan merusak, menjaga kehormatan seksual, mengembangkan sikap berani dalam kebenaran serta bijaksana. (Assegaf, 2005:182)
c). Akhlak Kepada Sesama
Akhlak terhadap sesama mausia harus dimulai dari akhlak terhadap Rasulullah Saw., sebab Rasulullah yang paling berhak dicintai, baru dirinya sendiri. Di antara bentuk akhlak kepada Rasulullah adalah cinta kepada Rasul dan memuliakannya (QS. At-Taubah (9): 24), taat kepadanya (QS. An-Nisa’ (4): 59), serta mengucapkan shalawat dan salam kepadanya (QS. Al-Ahzab (33): 56). Namun demikian akhlak terhadap Rasulullah Saw. Ini juga sagat terkait dengan akhlak terhadap Allah Swt., sebab apapun yang bersumber dari Allah (Al-Quran) dan Rasulullah (Sunnah) harus dijadikan dasar dalam bersikap dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya seorang Muslim harus berakhlak mulia terhadap sesama manusia, baik terhadap dirinya sendiri, terhadap keluarganya, dan terhadap orang lain di tengah-tengah masyarakat. Ketiga akhlak ini sangat penting artinya bagi kita, karena sikap dan perilaku terkait dengan hubungan antar sesama ini yang tampak di permukaan yang sering dinilai oleh masyarakat pada umumnya.
7. Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra merupakan pendekatan terhadap sastra yang
mempertimbangkan segi-segi dalam kemasyarakatan dengan menggunakan analisis teks untuk mengetahui strukturnya yang kemudian dipergunakan memahami secara mendalam gejala-gejala sosial yang ada di luar sastra (Damono, 1984:3). Selanjutnya Yusof (dalam Supratno, 2010:41) berpendapat bahwa sosiologi sastra bertolak dari suatu anggapan bahwa antara sastra dan masyarakat mempunyai hubungan yang erat. Pembahasan sastra tidak dapat terlepas dari masyarakat, sebab pengarang sebagai pencipta karya sastra juga termasuk anggota masyarakat dan bertanggung jawab kepada masyarakat. Dari beberapa penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra adalah suatu bidang ilmu yang mengemukakan hubungan antara masyarakat dengan suatu karya sastra, karena karya sastra merupakan mimetis atau tiruan dari kehidupan masyarakat.
Nilai adalah suatu hal yang bermakna yang dapat menyebabkan orang lain mengambil sikap dalam kehidupannya (Supratno, 2010:370). Penjelasan tersebut sejalan dengan pendapat (Setiadi 2006:31) bahwa nilai adalah sesuatu yang baik yang selalu diinginkan, diciptakan, dan dianggap penting oleh seluruh manusia
sebagai anggota masyarakat, karena itu sesuatu dikatakan memiliki nilai apabila berguna dan berharga. Selanjutnya (adisusilo 2012:56) menambahkan bahwa nilai adalah sesuatu yang berharga, keyakinan yang dipegang oleh seseorang dengan tuntunan hati nuraninya. Nilai adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu disukai, dikejar, diinginkan, dihargai, berguna, dan membuat orang yang menghayatinya menjadi menjadi bermartabat. Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa nilai adalah suatu sifat yang penting, baik, berguna, dan berharga. Dalam nilai terkandung sesuatu yang ideal, harapan yang dicita-citakan untuk kebajikan, sesuatu yang memberikan makna pada hidup, memberikan acuan, menunjukkan kualitas, dan berharga bagi umat manusia. Nilai terbentuk dari hal-hal yang benar, pantas, dan luhur untuk dikerjakan dan diperhatikan.
Nilai-nilai kehidupan berkaitan dengan hubungan manusia dengan diri sendiri, dengan orang lain, dengan kehidupan, dengan kematian, dan dengan Tuhan (Aminuddin, 2011:203). Realisasi dari pendapat tersebut yang lebih mudah dipahami yaitu nilai-nilai kehidupan antara lain nilai religius, nilai moral, nilai sosial, nilai budaya, dan sebagainya. Berdasarkan perkembangan yang terjadi pada masyarakat, maka nilai-nilai tersebut harus ikut mengalami perkembangan.
Supratno (2010:370) menjelaskan bahwa nilai kehidupan ada bermacam-macam. Menurutnya, terdapat sembilan nilai kehidupn, yaitu: (1) nilai pendidikan, (2) nilai religius, (3) nilai kepemimpinan, (4) nilai kepahlawanan, (5) nilai keberanian, (6) nilai kesederhanaan, (7) nilai gotong royong, (8) nilai moral, dan (9) nilai berkorban. Supratno (2010:371) menjelaskan bahwa nilai pendidikan adalah sesuatu yang baik dan benar yang dapat memberikan pendidikan kepada
masyarakat dan dapat dijadikan pedoman dan tuntunan bagi masyarakat. Nilai religius adalah sesuatu yang bersifat religi, bersifat keagamaan yang ada hubungannya dengan masalah religi (Supratno, 2010:373). Nilai kepemimpinan adalah sesuatu yang baik dan benar yang dimiliki oleh seorang pemimpin agar dapat memimpin secara baik, jujur, adil, arif, dan bijaksana (Supratno, 2010:376). Nilai kepahlawanan adalah sesuatu yang baik dan benar yang dimiliki oleh pejuang yang gagah berani, seseorang yang menonjol karena keberanian dan pengorbananya dalam membela kebenaran (Supratno, 2010:380). Nilai keberanian adalah sesuatu yang baik dan benar yang dimiliki oleh seseorang yang mempunyai hati teguh dan rasa percaya diri yang besar dalam menghadapi bahaya atau kesulitan dalam menegakkan kebenaran dan keadilan (Supratno, 2010:382). Nilai kesederhanaan adalah sesuatu yang baik dan benar yang dimiliki oleh seseorang yang mempunyai sifat sederhana, bersahaja, dan tidak berlebih-lebihan