• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Aspek Biosekurit

1.1 Sumber Ayam

Ayam yang masuk ketiga peternakan yang diobservasi tidak pernah dilengkapi dengan Surat Keterangan Kesehatan Hewan (SKKH) dan surat jaminan

day old chick (DOC) atau ayam yang baru masuk bebas dari penyakit. Selama ini SKKH pada peternakan ayam komersial memang jarang diterapkan. Peternak hanya diinformasikan bahwa DOC telah diberikan vaksin untuk beberapa macam penyakit (salah satunya antara lain Salmonellosis). Namun menurut pengalaman para peternak, tidak jarang (DOC) atau ayam baru masuk mati dan setelah didiagnosa ternyata terkena Salmonellosis.

24

Setiap ayam yang masuk ke area peternakan hendaknya dilengkapi dengan SKKH yang dikeluarkan oleh Dinas yang membawahi bidang kesehatan hewan (Anonymous 1977). Surat ini harus dimiliki oleh pembibit ayam. Menurut Shulaw dan Bowman (2001) setiap hewan/benda yang masuk ke dalam area peternakan harus diisolasikan terlebih dahulu. Isolasi ini harus dilakukan di area tertutup sempurna dari luar.

Shulaw dan Bowman (2001) dan Jeffrey (1997) mengatakan meskipun penyakit infeksius bisa terjadi dalam peternakan dengan berbagai cara, membawa hewan baru atau hewan yang diduga berhubungan dengan, atau terpapar dengan hewan lain diluar peternakan biasanya menjadi resiko yang paling besar (the greatest risks). Oleh karena itu, periksa surat-surat keterangan status ayam dan segera tolak jika bukan berasal dari sumber yang telah terbukti surat-suratnya atau juga ayam yang menunjukkan gejala klinis penyakit (Grimes 2001).

1.2 Penanganan Burung/Unggas Liar, Tikus, dan Insekta

Ketiga peternakan yang diamati melakukan usaha-usaha mengendalikan tikus dan insekta. Pengendalian tikus dilakukan dengan menggunakan racun tikus yang diletakkan di tempat tertentu (Peternakan A) atau memberi upah kepada pegawai kandang untuk membunuh tikus-tikus yang berkeliaran di sekitar dengan kayu atau bambu (Peternakan B dan C). Untuk penanggulangan insekta, digunakan insektisida pada periode tertentu. Ketiga peternakan tidak melaksanakan pengendalian terhadap burung atau unggas liar.

Pada dasarnya tikus sangat sulit diberantas. Ini disebabkan ukuran tubuh tikus yang kecil dan tikus sangat aktif dalam pergerakannya. Ditunjang lagi habitat tikus di tempat yang gelap.

Menurut Soeroso (komunikasi pribadi, 14 Juli 2007), pengendalian tikus yang efektif adalah dengan memberi racun tikus yang diletakkan di tempat-tempat khusus yang diawasi atau memasang perangkap tikus dari bambu yang di dalamnya diberi racun tikus. Tikus sebagai reservoir alami Salmonella sp.

khususnya Salmonella pullorum. Salmonella pullorum dapat menimbulkan sampai dengan 100% tingkat mortalitas pada ayam layer sehingga biosekuriti,

25

higiene sanitasi perlu mengambil penting dalam penanganan hal ini karena selain berbahaya bagi ayam ternak, ternyata mampu menimbulkan penyakit zoonosis.

Penanganan hama (insekta) dilakukan secara rutin, tidak hanya pada musim hama saja. Penyemprotan dengan bahan aktif pembasmi hama sangat efektif dilakukan, asal bahan aktif tersebut jangan sampai mengenai ayam-ayam atau tidak berbahaya bagi ayam-ayam tersebut. Untuk mengendalikan burung atau unggas liar, perlu dilakukan kerjasama dengan penduduk sekitar peternakan dengan cara menukar burung atau ayam peliharaan penduduk dengan ternak lain seperti kambing atau domba.

Merunut pada keadaan populasi penduduk di Indonesia yang padat, sangat cocok bagi burung/unggas liar berada di sekitar area peternakan. Ini dikarenakan di daerah peternakan tersedia pakan. Burung/unggas liar ini sangat menyukai daerah yang mencukupi kebutuhan untuk bertahan hidup. Populasi penduduk yang padat di sekitar wilayah peternakan juga menyebabkan adanya unggas/ burung yang dipelihara dan biasanya dilepas begitu saja. Menurut Soeroso (komunikasi pribadi, 14 Juli 2007), berdasarkan pemeriksaan selama tahun 2006 diketahui bahwa seluruh ayam liar (ayam kampung)/burung liar di daerah sekitar

breeding farm tempat Beliau bekerja, positif terkena Salmonellosis.

Hal-hal yang harus diperhatikan oleh pemilik ataupun pekerja peternakan (EF 2003), yaitu:

1. Tidak diperbolehkan mempunyai/merawat unggas lain, babi, dan juga segala hewan yang bisa menimbulkan risiko penyakit atau bahaya terhadap ayam.

2. Melakukan pencegahan khusus setelah kontak dengan hewan lain sebelum masuk atau kontak dengan unggas.

Dalam sistem hazard analysis critical point (HACCP), salah satu titik kendali kritis atau critical control point (CCP) disebutkan bahwa harus ada pemantauan harian terhadap burung liar dan rodensia di sekitar area kandang ayam. Dalam program dan prosedur biosekuriti dilakukan pemisahan dari unggas terhadap jenis unggas lain, spesies bukan unggas, termasuk burung liar, rodensia, dan hewan-hewan lainnya (Grimes 2001). Pada dasarnya tidak semua yang disebutkan tadi berbahaya karena juga tergantung spesies hewan tersebut,

26

penyakit yang dibawanya, dan resistensi ayam ternak terhadap penyakit yang dibawa hewan-hewan liar tersebut. Namun, karena ketidakmungkinan setiap hewan yang masuk diperiksa satu per satu, lebih baik dicegah sedini mungkin agar hewan-hewan tersebut tidak memasuki wilayah peternakan (Soeroso, komunikasi pribadi, 14 Juli 2007). Jadi sebisa mungkin meminimalisasi paparan mikroorganisme berbahaya dari kandang ayam tersebut (Kuney 1999).

1.3 Pengawasan Peti Telur

Belum adanya peraturan tentang keluar-masuknya peti telur pada ketiga peternakan yang diamati menyebabkan peti telur yang berasal dari luar peternakan dapat kembali masuk ke area peternakan. Peti-peti telur ini tidak mendapatkan perlakuan disinfeksi terlebih dahulu ketika akan memasuki area peternakan. Peti- peti telur yang biasa dipakai di peternakan-peternakan ini terbuat dari kayu yang sulit untuk didisinfeksi dan juga merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme.

Pada dasarnya, peti telur yang berasal dari luar peternakan tidak boleh dan sangat dilarang untuk masuk kembali ke dalam peternakan. Hal ini bertujuan untuk mencegah masuknya agen patogen yang berada di luar masuk ke dalam peternakan melalui peti telur. Peti telur yang telah berpindah berkali-kali dari satu peternakan ke peternakan lain tentu menjadi sumber agen patogen yang penting. Kayu sebagai bahan peti telur memudahkan mikroorganisme bersembunyi dan sulit dibersihkan dan didisinfeksi (Gernat 2000). Seperti yang diketahui juga, mikroorganisme satu peternakan dengan peternakan lain beraneka ragam dan bermacam-macam jenis dan tingkat infeksinya. Apalagi probabilitas mikroorganisme tersebut bermutasi menghasilkan mikroorganisme yang lebih resisten terhadap disinfektan menjadi sangat besar (Gernat 2000). Hal tersebut menjadikan penularan dengan cara seperti ini menjadi bahaya yang terbesar (the greatest risk).

Peti telur sebaiknya terbuat dari bahan plastik (egg tray) karena mudah untuk dibersihkan dan didisinfeksi. Dalam penerapan biosekuriti di peternakan, semua bahan/benda yang memungkinkan membawa masuknya agen patogen harus dikendalikan (Soeroso, komunikasi pribadi, 14 Juli 2007).

27

1.4 Penerapan Disinfeksi

Dari ketiga peternakan yang diamati, hanya peternakan A yang melakukan penerapan prosedur disinfeksi pada kendaraan dan pengunjung yang masuk ke dalam area peternakan. Peternakan A memiliki kolam dipping untuk kaki dan kendaraan, serta tempat spraying untuk orang dan juga kendaraan. Bahan aktif yang digunakan adalah benzalkonium klorida. Pada peternakan B dan C tidak terdapat kolam dipping dan tempat spraying. Hal ini disebabkan karena belum adanya aturan biosekuriti yang ketat.

Setiap peternakan hendaknya memiliki kolam dipping untuk kendaraan dan orang, serta tempat spraying untuk kendaraan, orang, dan peralatan pada pintu masuk area peternakan. Bahan aktif yang digunakan bersifat tidak iritan terhadap kulit, tidak beracun, dan ampuh dalam membasmi mikroorganisme (Stanton 2004).

Semua peralatan yang berasal dari luar peternakan hendaknya diisolasikan terlebih dahulu dalam ruangan yang tertutup sempurna selama dua hari. Dalam ruangan ini, benda-benda tersebut difumigasi menggunakan formalin dan KMnO4 sebelum dapat masuk ke dalam area peternakan. Setelah dilakukan fumigasi, kemudian diuji terhadap kontaminan oleh seorang staf ahli (EF 2003). Selanjutnya menurut Soeroso (komunikasi pribadi, 14 Juli 2007) tindakan yang paling baik adalah dengan membawa truk barang milik peternakan yang telah didisinfeksi sebelumnya.

Penggunaan disinfektan tidak boleh hanya menggunakan satu bahan aktif yang sama terus menerus. Penggunaan disinfektan yang sama secara terus- menerus dapat menimbulkan resistensi mikroorganisme penyakit terhadap disinfektan tersebut. Perubahan secara periodik penggunaan disinfektan sesuai kebutuhan mencegah resistennya mikroorganisme tersebut.

1.5 Penanganan Ayam Sakit dan Mati

Ketiga peternakan yang diamati memiliki kandang selektif untuk menampung ayam-ayam yang sakit. Ayam mati dibakar di area terbuka. Hanya peternakan A yang memiliki dokter hewan untuk menangani kesehatan ayam, sedangkan pada peternakan B dan C belum ada dokter hewan.

28

Ayam yang sakit atau mati dapat menjadi sumber pencemar dan penular agen penyakit kepada unggas lain dan atau telur. Agen-agen penyakit ini dapat menjadi resisten sehingga akan sangat sukar untuk ditanggulangi.

Penanganannya adalah dengan membawa keluar ayam tersebut dari kandang dan diisolasikan jauh dari area kandang. Diagnosa, penanganan, dan pengendalian penyakit pada unggas menjadi kewenangan dokter hewan, sehingga keberadaan dokter hewan di peternakan unggas sangat penting. Dokter hewan memeriksa ayam yang sakit dan mati tersebut agar segera diambil tindakan penanganan yang tepat. Ayam sakit sangat berbahaya jika diisolasi pada kandang khusus.

Dokumen terkait