• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDASAN TEORI

A. CITRA RAGA 1. Pengertian Citra Raga

2. Aspek Citra Raga

Ada beberapa ahli yang mengemukakan komponen citra raga. Jersild (1979); Gardner, (1996) mengatakan citra raga berkaitan dengan dua komponen yaitu:

a. Komponen persepsi, bagaimana individu menggambarkan kondisi fisiknya yaitu mengukur tingkat keakuratan persepsi seseorang dalam

10

mengestimasi ukuran tubuh seperti tinggi atau pendek, cantik atau jelek, putih atau hitam, kuat atau lemah.

b. Komponen sikap yaitu berhubungan dengan kepuasan atau perasaan individu terhadap tubuhnya. Perasaan ini diwakili dengan tingkat kepuasan atau ketidakpuasan individu terhadap bagian-bagian tubuh ataupun keseluruhan tubuh (Jersild, 1979 dan Gardner, 1996).

Dalam menggambarkan kondisi fisiknya, seseorang akan memberikan penilaian terhadap tubuhnya. Oleh karena itu penilaian merupakan aspek yang tepat sebagai wakil dari komponen persepsi, sedangkan komponen sikap mengarah pada perasaan yang diwakilkan dengan tingkat kepuasan maupun ketidakpuasan seseorang terhadap bagian-bagian tubuh maupun keseluruhan tubuh. Komponen sikap mengarah pada sikap yang muncul pada kondisi-kondisi tertentu sehingga muncul harapan-harapan mengenai tubuhnya dan biasanya terjadi tindakan untuk mewujudkan tindakan tersebut (Jersild, 1979; Gardner, 1996). Oleh karena itu aspek afektif dan aspek kognitif mewakili komponen sikap.

Berdasarkan uraian diatas, Thompson et all (1999) mengemukakan bahwa aspek citra raga meliputi:

a. Aspek afektif yaitu adanya emosi atau perasaan terhadap tubuhnya contohnya: kesal, kecewa, tidak puas, tidak suka, tertekan dan cemas. b. Aspek kognitif yaitu ditandai adanya keinginan atau harapan untuk

c. Aspek penilaian yaitu bagaimana persepsi seseorang dalam mengestimasi ukuran tubuh individu seperti: “bentuk tubuh saya indah”.

Pengukuran terhadap ketiga aspek tersebut akan menghasilkan kepuasan maupun ketidakpuasan seseorang terhadap tubuhnya. Ketidakpuasan akan menunjukkan rendahnya citra raga, sebaliknya kepuasan akan menunjukkan tingginya citra raga seseorang.

3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Citra Raga a. Budaya

Budaya mempunyai pengaruh yang besar terhadap terbentuknya citra raga karena dalam perkembangan masyarakat sendiri konsep tersebut menyesuaikan dengan budaya yang digemari masyarakat. Dalam masyarakat barat sendiri, wanita menganggap tubuh yang ideal adalah langsing sehingga memiliki tubuh langsing sering diasosiasikan dengan keberhasilan dan adanya penerimaan sosial, sedangkan kelebihan berat badan sering dianggap pemalas dan tidak adanya kekuatan. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (1986), berbagai macam penampilan fisik yang dianggap menarik dan tidak menarik banyak ditentukan oleh kebudayaan. Selain itu reaksi sosial memberikan kesadaran pada masa dewasa awal mengenai tubuh yang sesuai atau tidak sesuai dengan standar budaya. b. Media massa

Salah satu faktor yang sangat banyak memberikan dampak pada kepuasan citra raga seseorang adalah media massa (Mazur, 1986 dalam

12

Heinberg, 1996). Kegencaran media massa cetak, radio dan televisi yang menampilkan slogan kecantikan, keberhasilan, kebahagiaan, harga diri semuanya didasari oleh kerampingan tubuh. Media massa juga mengajari cara mencapai standar kerampingan tersebut, terbukti dari banyaknya tayangan iklan obat-obat pelangsing atau pusat-pusat kebugaran tubuh dan artikel-artikel diet. Media massa seperti film memiliki pengaruh yang besar terhadap terbentuknya citra raga. Ada anggapan bahwa tekanan pada wanita untuk mempunyai tubuh dan ukuran yang ideal lebih kuat daripada pria. Silverstain menyatakan bahwa wanita lebih banyak ditampilkan di media massa untuk menjadi patokan tentang ketertarikan fisik yang berkaitan tentang tubuh ramping dan langsing. (Grogan, 1999).

c. Faktor psikologis

Pada dasarnya citra raga merupakan bagian dari konsep diri, karena citra raga dipengaruhi oleh pemikiran tentang tubuh ideal dan reaksi dari orang lain terhadap tubuhnya sehingga berpengaruh terhadap konsep diri seseorang (Hardy dan Heyes, 1988). Dapat diartikan pula bahwa bila seseorang dapat menerima dirinya dengan baik maka dia memiliki pandangan positif terhadap dirinya, sedangkan individu yang tidak dapat menerima dirinya dengan baik, maka dia tidak dapat memandang dirinya secara positif. Citra raga merupakan bagian dari konsep diri. Hal itu sesuai dengan apa yang telah diungkapkan oleh Kihlstrom dan Cantor (dalam Calhoun and Acocella, 1990) bahwa citra raga adalah gambaran mental dan evaluasi seseorang terhadap dirinya, dan merupakan bagian dari

konsep diri. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Hardy dan Heyes (1988) bahwa citra raga merupakan konsep diri yang berkaitan dengan sifat fisik. Hurlock (1993) secara jelas menggambarkan bahwa kegagalan mengalami kepuasan terhadap tubuh, yang berarti memiliki citra raga yang negative menjadi salah satu timbulnya konsep diri yang kurang baik dan kurangnya harga diri. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa orang yang memiliki citra raga yang negative akan menyebabkan konsep diri dan harga diri yang negative pula.

Hardy (1985) menyatakan bahwa faktor-faktor yang menentukan citra raga adalah reaksi dari orang lain, peranan seseorang dari identifikasi terhadap orang lain serta perbandingan dengan orang lain.

Selanjutnya Schonfeld (dalam Blyth, 1985) menyatakan bahwa suatu evaluasi terhadap penampilan fisik dipengaruhi oleh reaksi orang lain terhadapnya, perbandingan perkembangan fisik individu dengan perkembangan fisik orang lain, perbandingan terhadap cultural.

B. HARGA DIRI REMAJA 1. Harga Diri

a. Pengertian Harga Diri

Harga diri merupakan persepsi yang bersifat khusus bagi penilaian seseorang tentang dirinya (Shrauger, 1976). Sedangkan menurut Branden (1980) bahwa harga diri merupakan salah satu aspek kepribadian sebagai kunci penting dalam perkembangan perilaku seseorang karena berpengaruh

14

pada proses berpikir, tingkat emosi, keputusan yang diambil, berpengaruh pada nilai-nilai dan tujuan hidupnya. Harga diri memainkan peran yang menentukan dalam tingkah laku individu.

Branden (2001) menambahkan bahwa harga diri merupakan pengalaman intim yang berada dalam inti kehidupan. Harga diri adalah apa yang dipikirkan dan dirasakan tentang diri kita sendiri, bukanlah apa yang dipikirkan dan apa yang dirasakan oleh orang lain tentang siapa diri kita sebenarnya. Harga diri mempunyai dua komponen yaitu perasaan pribadi dan perasaan nilai pribadi. Sehingga dengan kata lain, harga diri merupakan perpaduan antara kepercayaan diri (self-confidence) dengan penghormatan diri (self respect). Terkait dengan kepercayaan diri, Berne dan Savary (1988) mendefinisikan harga diri sebagai penopang rasa percaya diri sehingga seseorang dapat membina hubungan yang sehat dengan orang lain, melihat diri mereka sebagai orang yang berhasil dan memperlakukan orang lain tanpa kekerasan.

Sedangkan Roosenberg (dalam Burn, 1982) mendefinisikan harga diri sebagai perasaan individu bahwa dirinya berharga, menerima diri apa adanya dengan keyakinan bahwa kita layak, mampu, berguna dalam apapun yang telah, sedang, dan akan terjadi dalam hidup, puas dengan apa yang dimilikinya, serta tidak merasa kecewa atas keterbatasannya, ditambahkan oleh Brecht (2001) mendefinisikan harga diri sebagai kemampuan memfokuskan diri pada apa yang telah dilakukan dan apa yang dapat

dilakukan, bukan apa yang belum dilakukan dan apa yang tidak dapat dilakukan.

Coopersmith (1967) mendefinisikan harga diri sebagai evaluasi yang dibuat oleh individu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dirinya, yang mengekspresikan suatu sikap setuju atau tidak setuju dan menunjukkan tingkat keyakinan bahwa dirinya sendiri mampu, penting, berhasil dan berharga. Dengan kata lain harga diri merupakan suatu penilaian pribadi terhadap perasaan berharga yang diekspresikan di dalam sikap-sikap yang dipegang oleh individu tersebut. Walaupun tampak mengacu pada pengalaman subyektif, harga diri akan muncul dalam perilaku yang dapat diamati.

Calhoun (1990) berpendapat bahwa harga diri merupakan hasil dari salah satu dimensi dari konsep diri yaitu evaluasi diri, yang dimaksud adalah penilaian terhadap diri sendiri melawan apa yang dirasakan dapat dilakukan dan harus dapat dilakukan. Jadi evaluasi merupakan penilaian terhadap diri yang nyata dan diri yang dicita-citakan. Hasil dari penilaian ini menunjukkan tingkat harga diri seseorang. Seperti juga Calhoun, Hamachek (1987) mendefinisikan harga diri sebagai konstruksi evaluatif atas hal-hal yang dilakukan, atas siapa dirinya, dan apa yang berhasil dicapai berdasarkan pemahaman pribadinya atas kebaikan, keberhargaan, dan atau hal-hal penting yang berhubungan dengan itu.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa harga diri merupakan aspek kepribadian yaitu hasil penilaian atau hasil evaluasi seseorang tentang jati dirinya, kemampuan dan keterbatasannya, serta hal-hal yang berhasil

16

dicapainya yang kemudian menjadi penopang kepercayaan diri dan keberhargaan dirinya.

b. Aspek-Aspek Harga Diri

Seperti yang disebutkan terdahulu bahwa Coopersmith (1967) membatasi harga diri sebagai evaluasi yang dibuat oleh seseorang dan bersifat menetap. Dalam analisisnya tentang harga diri, Coopersmith menjelaskan bahwa aspek-aspek yang ada didalam harga diri dapat dijelaskan melalui konsep-konsep kesuksesan, nilai dan aspirasi, serta mekanisme pertahanan diri. Berikut ini adalah aspek-aspek harga diri tersebut:

(1.) Kesuksesan

Kesuksesan ini dapat diartikan berbagai macam, namun secara umum kesuksesan teraih melalui tercapainya kepuasan tertentu, mungkin popularitas, atau tercapainya suatu penghargaan (reward). Arti dari sebuah kesuksesan juga dipengaruhi oleh nilai dan aspirasi masyarakat sebagai suatu latar belakang budaya. Empat ukuran kesuksesan yang relative objektif adalah:

(a.) Kekuasaan

Yang dimaksud dengan kekuasaan adalah kemampuan mengontrol dan mempengaruhi diri sendiri dan orang lain. Kekuasaan akan tampak apabila orang lain menghargai, mempertimbangkan hak dan pendapat orang tersebut.

(b.) Rasa Keberartian

Rasa keberartian yang ada pada diri sesorang meliputi penerimaan, perhatian, dan afeksi dari orang lain. Hal ini ditandai dengan kehangatan, responsive, dan minat kepada orang lain seperti kepada dirinya sendiri.

(c.) Pemilikan Moral dan Etik

Orang tua sangat diharapkan untuk memberikan bimbingan yang sesuai dengan tradisi setempat dan nilai-nilai keagamaan yang ada kepada anak-anak mereka. Indikator positif yang tampak adalah perilaku yang tidak agresif, tidak mencuri, dan hormat kepada orang tua.

(d.) Kompetensi

Kompetensi digambarkan sebagai kemampuan individu dalam mencapai prestasi. Akan tampak sebagai perilaku spontan pada anak-anak serta kemandirian yang memberikan perasaan berharga terhadap segala sesuatu yang dilakukannya.

(2.) Nilai dan Aspirasi

Yang dimaksud dengan nilai seperti dalam konteks nilai kompetrensi berdasarkan usia atau nilai keberartian yang berdasarkan lingkungan sosial. Sedangkan aspirasi yang dimaksud disini adalah seperti yang dialami pada orang-orang yang lebih sering sukses akan lebih objektif dibandingkan orang-orang yang lebih sering mengalami kegagalan.

18

(3.) Mekanisme Pertahanan Diri

Interpretasi terhadap kenyataan hidup tergantung bagaimana cara individu menangani suatu masalah dan situasi. Lingkungan terkadang menimbulkan kecemasan-kecemasan pada individu namun apabila individu dapat mempertahankan diri dengan baik, maka dia akan merasa cukup berharga bagi dirinya sendiri.

Selain ketiga hal diatas, Coopersmith menambahkan bahwa harga diri memiliki pengaruh besar terhadap penyesuaian diri yang baik, kebahagiaan personal, dan fungsi efektif baik pada anak-anak juga terhadap orang dewasa. Harga diri menunjukkan pengenalan individu terhadap diri sendiri serta sikap mereka terhadap diri sendiri.

Seorang anak dengan harga diri yang tinggi percaya akan kemampuannya untuk mencapai cita-cita, percaya pada kompetensi akademiknya, serta memiliki hubungan baik dengan orang tua dan kelompok bermainnya.

c. Pembentukan Harga Diri

Harga diri seseorang mengalami perkembangan. Menurut Branden (2001) mengembangkan harga diri berarti mengembangkan keyakinan-keyakinan seseorang bahwa individu mampu hidup dan patut untuk bahagia. Mengembangkan harga diri berarti memperluas kapasitas untuk mencapai kebahagiaan.

Namun harga diri tidak ada secara otomatis. Kesadaran dan kualitas harga diri tidak dibawa sejak lahir, tetapi dipelajari dan dibentuk dari

pengalaman seseorang berhubungan dengan individu lain (Pudjijogyanti dalam Herkusumaningtyasrini, 2002). Clemes dan Bean (1995) berpendapat bahwa pandangan tentang diri sendiri dan harga diri berkembang secara bertahap sepanjang hidup, diawali dari masa bayi dan berkembang melampaui berbagai tahap yang semakin rumit. Setiap tahap yang semakin rumit. Setiap tahap perkembangan memberinya kesan baru, perasaan, dan pada akhirnya perasaan kompleks tentang diri sendiri. Hasil akhirnya adalah perasaan menyeluruh tentang harga diri atau ketidakmampuan diri.

Membangun harga diri harus dilakukan pada saat seseorang masih pada masa kanak-kanak karena apa yang tertanam akan terus dibawa sampai seseorang tersebut beranjak dewasa (Hurlock, 1990). Hal ini diperkuat oleh Tjahjono (1998) yang mengatakan bahwa perasaan harga diri yang rendah banyak dilatarbelakangi masalah-masalah yang terjadi pada masa kanak-kanak. Faktor perilaku yang penting adalah bagaimana anak merasakan dirinya sendiri. Perasaan tidak berarti dan kurang penghargaan diri mempengaruhi motif, sikap, dan perilaku anak. Sedangkan Berne dan Savary (1988) mengungkapkan bahwa membangun harga diri merupakan suatu proses yang berjalan lambat. Kesabaran dan ketabahan adalah penting karena sifat tersebut membantu sekali dalam membangun harga diri.

Pembentukan harga diri dipengaruhi oleh adanya penghargaan, pengertian, penerimaan, dan perlakuan orang lain terhadap dirinya sendiri, juga adanya prestasi yang dicapai, lingkungan sosial dan lingkungan dimana dia bergaul, kerabat kerja dan lingkungan keluarga.

20

d. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Harga Diri (1.) Faktor Internal atau Psikologis Individu

Coopersmith (1967) menyatakan beberapa ubahan yang ada pada harga diri yang dapat dijelaskan melalui konsep-konsep kesuksesan, nilai, aspirasi, dan mekanisme pertahanan diri. Kesuksesan mempunyai arti yang tidak sama pada tiap individu, tetapi tetap memberikan pengaruh pada harga diri. Kesuksesan dapat dipandang sebagai popularitas, hadiah, kepuasan, ataupun yang lain. Nilai yang dimaksud Coopersmith lebih kepada konteks nilai kompetensi berdasarkan lingkungan sosialnya.

(2.) Lingkungan Keluarga

Setiap individu dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan sosial. Dia dipelihara dan diasuh oleh orang dewasa disekitarnya, biasanya orang tua, dan ini akan menumbuhkan ikatan antara orang tua dan anak (Noesjirwan, 1979). Sikap dan perlakuan orang tua lebih membentuk kepribadian seseorang (Hurlock, 1973) karena dari sikap orang tua inilah anak dapat merasa diterima atau ditolak, merasa berharga atau tidak berharga, dicintai atau tidak dicintai orang tuanya.

(3.) Lingkungan Sosial

Perasaan seseorang terhadap dirinya sendiri tergantung terhadap bagaimana individu membandingkan dirinya dengan orang lain. Harga diri tumbuh secara luas dari persepsinya mengenai bagaimana individu melihat dirinya sendiri dalam relasinya dengan orang lain (Hamachek, 1987). Pandangan sesorang terhadap dirinya didasarkan atas apa yang dia ketahui

tentang dirinya dan juga berdasarkan penilaian orang lain atas dirinya (Noesjirwan, 1979).

(4.) Kondisi Fisik

Wright (dalam Setyaningsih, 1992) mengatakan bahwa orang cacat cenderung menunjukkan penerimaan sosial yang negative akibat kurangnya penghargaan sosial terhadap dirinya. Hal tersebut juga dikuatkan oleh hasil beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa penampilan menarik (physical attractiveness) berkolaborasi positif dengan harga diri seseorang (Adams, Letner dan Karabenick; Simon dan Roosenberg, dalam Sjabadhyni dan Alfarani, 2001) individu yang berpenampilan menarik juga lebih dihargai dan mendapatkan perlakuan istimewa dari lingkungannya (Hatfield dan Sprecher, dalam Sjabadhyni dan Alfarani, 2001).

(5.) Jenis Kelamin

Kimmel (1974) menyimpulkan pendapat dan penelitian dari beberapa ahli dan menyatakan bahwa wanita cenderung mempunyai harga diri dan kepercayaan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini didukung oleh Ancok (1989) yang menyatakan bahwa wanita selalu merasa dirinya lebih rendah daripada pria, kurang mampu, harus dilindungi, adalah karena perasaan dari wanita itu sendiri dan bukan dari pendapat orang lain.

Berdasarkan seluruh penjelasan diatas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa harga diri tidak terbentuk secara sendirinya namun mengalami

Dokumen terkait