• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek Hukum Pengadaan Tanah Yang Dilakukan Dengan Jual Beli Salah satu tujuan diterbitkannya Peraturan Presiden Republik

C. Aspek Hukum Pengadaan Tanah Yang Dilakukan Secara Langsung Melalui Jual Beli

2. Aspek Hukum Pengadaan Tanah Yang Dilakukan Dengan Jual Beli Salah satu tujuan diterbitkannya Peraturan Presiden Republik

Indonesia Nomor 30 Tahun 2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum adalah untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum, sekaligus mewujudkan keadilan dan memberikan manfaat bagi masyarakat pemilik tanah yang tanahnya dipergunakan bagi pembangunan.

Pengadaan Tanah adalah suatu kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak.

105

Dan ayat 3 Pasal tersebut menyebutkan bahwa pihak yang berhak adalah pihak yang menguasai atau memiliki objek pengadaan tanah. Pihak yang membayar ganti kerugian dan menerima objek pengadaan tanah adalah intansi pemerintah yang sudah mendapat kuasa atas hal tersebut.

Ciri Khas dari pengadaan tanah menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum adalah:

1. Adanya obyek tanah 2. Adanya perpindahan hak 3. Adanya ganti rugi

4. Adanya keterlibatan pemerintah sebagai salah satu pihak dalam perjanjian pengadaan tanah untuk kepentingan umum tersebut, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum memiliki tujuan untuk lebih meningkatkan prinsip penghormatan terhadap hak-hak atas tanah yang sah dan kepastian hukum dalam pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum.

Kepentingan umum yang dimaksud pada hakekatnya pembangunan untuk kepentingan umum adalah untuk kepentingan sebagian besar masyarakat. Manfaat yang lebih besar tersebut tidak seharusnya dikalahkan

oleh kepentingan dari sebagian masyarakat, karena kerugian yang timbul sebagai akibat tidak terlaksananya pembangunan untuk kepentingan umum tersebut tidak hanya diderita oleh masyarakat yang terkena langsung saja melainkan juga menjadi beban masyarakat lainnya dan Pemerintah. 106

Perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah yang diteliti dalam penelitian ini tidak ada kepentingan umum yang ingin dipenuhi melainkan hanya kepentingan pribadi para pihak untuk memiliki secara pribadi hak atas tanah tersebut, sehingga perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah ini tidak memenuhi kriteria pengadaan tanah yang dimaksud dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum sehingga tidak memiliki aspek hukum sesuai Peraturan Presiden Tersebut.

Pada Pasal 68 Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang tidak di ubah menyebutkan bahwa :

(1) Pelaksana Pengadaan Tanah melaksanakan musyawarah dengan Pihak yang berhak dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak hasil

106

Supratman, R., Implementasi Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Jakarta: Direktorat Jenderal Pengadaan Tanah Instansi Pemerintah, 2005, hal 3.

penilaian dari Penilai diterima oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud dalam pasal 66 ayat (3).

(2) Pelaksanaan musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan mengikutsertakan Instansi yang memerlukan tanah. (3) Musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan secara

langsung untuk menetapkan bentuk Ganti Kerugian berdasarkan hasil penilaian Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud dalam pasal 65 ayat (1). (4) Dalam musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksana

Pengadaan Tanah menyampaikan besarnya Ganti Kerugian hasil penilaian Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1).

Ada proses musyawarah menurut peraturan presiden tersebut yang sudah ditentukan, sedangkan dalam perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah tidak ada proses musyawarah melainkan langsung kepada suatu keadaan pihak pembeli setuju atau tidak setuju terhadap syarat-syarat yang diberikan oleh pihak penjual, ada perbuatan sepihak dalam perjanjian ini dan pembeli tidak bisa mengubah syarat-syarat yang diberikan kepadanya oleh penjual.

Kalimat jual beli tercantum pada Pasal 77 ayat 4 Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang menyebutkan Penyediaan tanah pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui jual beli atau cara lain

yang disepakati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sehingga proses jual beli hanya terjadi apabila ada ganti kerugian berupa tanah pengganti bukan ketika terjadi pelepasan hak atas tanah dalam proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum tersebut.

Namun jual beli terjadi ketika dalam rangka efisiensi dan efektifitas, pengadaan tanah untuk Kepentingan Umum yang luasnya tidak lebih dari 1 (satu) hektar, dapat langsung oleh Instansi yang memerlukan tanah dengan para pemegang hak atas tanah, dengan cara jual beli atau tukar menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak. Hal ini diatur dalam Pasal 121 Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Dalam perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah ini diperoleh data bahwa tanah yang menjadi obyek perjanjian memiliki luas lebih dari 1 (satu) hektar, maka tidak bisa dikategorikan memenuhi syarat untuk melakukan jual beli sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal tersebut. D. Bentuk Perjanjian Urusan Pengadaan Tanah Tapak Rumah

Perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah ini tidak memenuhi kriteria pengadaan tanah sesuai dengan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, sehingga yang menjadi fokus

penelitian adalah proses jual beli secara angsuran dan bagaimana bentuk perjanjian tersebut.

Bentuk perjanjian jual beli tanah adalah perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan yang bentuknya bebas.107 Jual beli angsuran ini dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis ini dibuat karena terhambatnya suatu proses jual beli tanah sesuai aturan hukum agraria. Terhambat yang dimaksud adalah belum terpenuhinya syarat-syarat jual beli tanah sesuai hukum agraria atau lahir karena kesepakatan kedua belah pihak. Perjanjian jual beli ini dibuat seperi perjanjian pendahuluan antara kedua belah pihak.

Jual beli tanah dengan pembayaran angsuran yang tertuang dalam perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah tidak dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, munculnya perjanjian ini disebabkan karena adanya kebutuhan dalam praktek dan adanya asas hukum lex specialis derogat lex generalis. Oleh karena itu, dasar hukum dari jual beli secara angsuran adalah ketentuan-ketentuan hukum perikatan (Verbintenissen Rechts). Jadi, para pihak yang melakukan perbuatan hukum jual beli dengan pembayaran angsuran dapat membuat perjanjian atas dasar kesepakatan.

Perjanjian perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah ini mendekati bentuk perjanjian jual beli dengan angsuran dan jual beli menurut

107

Herlien Budiono, artikel Pengikatan Jual Beli Dan Kuasa Mutlak, Majalah Renvoi, edisi tahun I, No 10, Bulan Maret 2004, hal. 57.

R. Subekti adalah suatu perjanjian yang peneyerahan barangnya langsung diserahkan kepada pembeli dan pembeli menjadi pemilik yang sah namun pembeli memiliki utang kepada penjual berupa harga atau sebagian dari harga yang dibayarnya. 108 Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata suatu perjanjian jual beli dengan angsuran di kontruksikan seperti perjanjian sewa beli.

Indonesia yang menganut sistem hukum civil law, maka perjanjian jual beli dengan angsuran lebih menekankan kepada perjanjian jual beli, berbeda dengan negara sistem common law, perjanjian sewa belinya lebih menekankan kepada perjanjian sewa menyewa. 109 Perjanjian beli sewa termasuk perjanjian tidak bernama karena tidak tercantum di dalam dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.

Perjanjian sewa beli adalah jual beli dengan pembayaran angsuran dengan ciri khas, yaitu hak milik baru beralih dari penjual kepada pembeli sesudah angsuran terakhir dibayar penuh. 110 Mengenai aturan tentang bentuk perjanjian sewa beli hingga sekarang belum ada aturan khusus yang mengaturnya, sehingga mengenai bentuk perjanjian sewa beli diserahkan kepada kesepakatan para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Bentuk perjanjian yang dimaksud adalah apakah harus tertulis atau harus dibuat di

108

R. Subekti, Op.Cit, hal. 54. 109

Sri Gambir Hatta, Beli Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama: Pandangan Masyarakat dan Sikap Mahkamah Agung, (Bandung, PT. Alumni, 1999), hal. 33.

110

hadapan pejabat yang berwenang. Dalam perjanjian sewa beli, terdapat beberapa klausul yang penting yaitu:111

a. Klausul penundaan peralihan hak.

b. Klausul hari jatuh tempo atau menggugurkan.

c. Status uang yang telah dibayarkan pembeli kepada penjual. d. Klausul larangan memindahtangankan objek perjanjian.

Perbedaan perjanjian sewa beli dengan perjanjian jual beli dengan angsuran adalah penyerahan hak milik objek jual beli, bila perjanjian sewa beli hak milik beralih ketika angsuran (sewa terakhir) dibayar sedangkan perjanjian jual beli hak milik sudah berakhir ketika angsuran pertama dibayar.

Bentuk perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah ini juga tidak termasuk di salah satu peralihan hak atas tanah yang belum memiliki hak atsu sertipikat yang tertuang dalam Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, Penjelasan Pasal 24 ayat (1) point f dan g dari Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Pasal 60 ayat (2) poin g dan h dari Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang ketentuan pelaksanaan peraturan pemerintah nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah.

Bentuk perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah ini adalah perjanjian baku yang menggunakan klausula khusus, karena tidak memenuhi

111

karateristik perjanjian jual beli diatas tetapi memenuhi karateristik-karateristik perjanjian baku yang menggunakan klausula khusus yang dijelaskan diatas, antara lain:

a. Bentuk perjanjian tertulis, perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah dibuat secara tertulis, ditandatangani masing-masing pihak dan saksi.

b. Format Perjanjian dibakukan, perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah ini memiliki rumusan syarat-syarat yang berupa pasal-pasal sebanyak 7 (tujuh pasal), dan model format perjanjian untuk identitas para pihak sudah ditentukan, hanyak diisi sesuai kebutuhan para pihak, tidak bisa diubah dan diganti dengan cara apapun

c. Syarat-Syarat Perjanjian Ditentukan Oleh Pengusaha (pihak calon penjual), perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah yang berisi syarat-syarat berupa pasal-pasal dibuat dan diatur oleh Pengusaha (pihak calon penjual), tanpa ada campur tangan konsumen (pihak calon pembeli), sehingga perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah ini cenderung lebih mengutarakan kemauan atau kehendak Pengusaha (pihak calon penjual), , karena dilihat dari isi perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah tidak ada poin atau bagian yang memberikan kesempatan kepada konsumen (pihak calon pembeli) untuk mengutarakan kemauan atau kehendaknya.

d. Konsumen Hanya Menerima atau Menolak, perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah ini hanya memberi dua pilihan kepada konsumen (pihak calon pembeli) yaitu menerima atau menolak.

e. Penyelesaian Sengketa melalui Musyawarah atau peradilan, dalam pasal 7 (tujuh) perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah disebutkan bahwa penyelesaian sengketa dilakukan dengan dua pilihan musyawarah dan pengadilan negeri medan.

Pada dasarnya dalam kenyataannya isi perjanjiannya tidak diketahui oleh pihak yang disodori perjanjian baku ini dalam hal ini adalah calon pembeli, ini menjadi salah satu alasan pokok keberatan. Dan didukung faktor bahwa kalaupun calon pembeli tersebut tahu isinya, belum tentu calon pembeli tersebut paham dan mengerti terhadap klausula-klausula yang ada disana. Ada yang merinci keberatan-keberatannya antara lain dituangkan dalam suatu formulir, isinya tidak diperbincangkan lebih dahulu : pihak yang disodori perjanjian standar terpaksa menerima keadaan itu karena posisinya yang lemah dan karenanya disebut dwangcontracten, dimana kebebasan berkontrak berdasarkan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sudah dilanggar.

Ketiadaan kata sepakat atau kata sepakat yang tidak betul-betul bulat tidak mengakibatkan batalnya kontrak. Jika kekurangan yang berkaitan dengan perjanjian yakni kata sepakat dan kedewasaan hanya mengakibatkan kontrak dapat dibatalkan. Artinya sepanjang kontrak tersebut telah

dilaksanakan dan tidak ada pihak keberatan dan meminta pembatalan kontrak ke pengadilan, kontrak tetap sah. Sehingga perjanjian urusan pengadaan tapak rumah ini tetap sah selama belum ada pembatalan dari pegadilan atau lembaga yang berwenang.

Namun jika kekurangan itu berkaitan syarat objektif, yakni tiadanya syarat objek tertentu bertentangan dengan kausa yang halal, maka kontrak tersebut batal demi hukum. Artinya sejak awal sudah tidak dan dianggap tidak pernah ada. Jika terjadi pembatalan maka perjanjian berakhir, kewajiban yang telah dilaksanakan dapat dipulihkan kembali dan yang belum dilaksanakan supaya dihentikan pelaksanaannya atau tidak perlu sama sekali. Namun, bagaimanapun juga perjanjian itu mengikat, dan masing-masing pihak harus bertanggung jawab terhadap apa yang telah dijanjikan dalam perjanjian itu.

Obyek yang diperjualbelikan adalah harta pribadi milik direktur CV, Putra Agung yang bernama sunggul panjaitan sekaligus pihak pertama dalam perjanjian ini. Hubungan hukum yang terjadi antara direktur dengan harta pribadi adalah hubungan hukum pribadi bukan berdasarkan hubungan surat kuasa karena dilihat didalam perjanjanjian tersebut tidak dilampirkan surat kuasa, sehingga ketika ada masalah dikemudian hari maka direktur selaku pemilik tanah tersebut akan mempertanggungjawabkan secara merangkap atas tanah tersebut, sebagai pemilik tanah dan sebagai direktur CV. Putra Agung tersebut, hal ini sesuai dengan ciri khas perseroan komanditer, direksi selaku

pesero aktif dalam perseroan komanditer tersebut akan bertanggung jawab secara keseluruhan termasuk harta pribadinya.

Dokumen terkait