• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Tanggung Jawab Para Pihak Dalam Perjanjian Jual Beli Tanah Dengan Angsuran yang Dibuat Dibawah Tangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Yuridis Tanggung Jawab Para Pihak Dalam Perjanjian Jual Beli Tanah Dengan Angsuran yang Dibuat Dibawah Tangan"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

BENTUK DAN PENGATURAN PERJANJIAN URUSAN PENGADAAN TANAH TAPAK RUMAH DI INDONESIA

A. Perjanjian Secara Umum

Perjanjian yang dimaksud adalah perjanjian yang diatur dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, Pengertian perjanjian tertuang di dalam Pasal

1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu suatu persetujuan adalah suatu

perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain

atau lebih. Definisi dari Pasal tersebut adalah :47

1. Tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian;

2. Tidak tampak asas konsesualisme

3. Bersifat dualisme.

Tidak jelasnya definisi ini disebabkan dalam rumusan tersebut hanya

disebutkan perbuatan saja. Maka yang bukan perbuatan hukum pun disebut

dengan perjanjian. Untuk memperjelas pengertian itu maka harus dicari dalam

doktrin. Jadi menurut doktrin (teori lama) yang disebut perjanjian adalah

perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum

dengan unsur-unsur sebagai berikut:48 1. Adanya perbuatan hukum;

2. Persesuaian pernyataan kehendak dari beberapa orang;

3. Persesuaian kehendak harus dipublikasikan/dinyatakan;

47

Salim, H.S, Op.Cit, hal. 25. 48

(2)

4. Perbuatan hukum terjadi karena kerja sama antara dua orang atau lebih;

5. Pernyataan kehendak yang sesuai harus saling bergantung satu sama lain;

6. Kehendak ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum;

7. Akibat hukum itu untuk kepentingan yang satu atas beban yang lain atau

timbal balik;

8. Persesuaian kehendak harus dengan mengingat peraturan

perundang-undangan.

Perjanjian diartikan sebagai suatu hubungan hukum di bidang harta

kekayaan yang didasari kata sepakat antara subjek hukum yang satu dengan yang

lain, dan diantara mereka (para pihak/subjek hukum) saling mengikatkan dirinya

sehingga subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan subjek hukum yang

lain berkewajiban melaksanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang

telah disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat hukum.49

Perjanjian adalah peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain

atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melakukan sesuatu.50 Bentuk perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu, dapat dibuat secara lisan

dan andaikata dibuat secara tertulis maka ini bersifat sebagai alat bukti apabila

terjadi perselisihan.51

49

Handri Raharjo. Hukum Perjanjian di Indonesia. (Yogyakarta, Pustaka Yustisia, 2009), hal. 42.

50

R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta , Intermasa,1998), hal. 1. 51

(3)

Perjanjian sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda

kekayaan dua belah pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji

untuk melakukan suatu hal sedang pihak yang lain berhak menuntut perjanjian

itu.52 Suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, yang

berkewajiban memenuhi tuntutan itu.53

Tiap hubungan hukum tentu menimbulkan hak dan kewajiban, selain itu

masing-masing anggota masyarakat tentu mempunyai hubungan kepentingan

yang berbeda-beda dan saling berhadapan atau berlawanan, untuk mengurangi

ketegangan dan konflik maka tampil hukum yang mengatur dan melindungi

kepentingan tersebut yang dinamakan perlindungan hukum.

Untuk beberapa perjanjian tertentu undang-undang menentukan suatu

bentuk tertentu, sehingga apabila bentuk itu tidak dituruti maka perjanjian itu

tidak sah. Dengan demikian bentuk tertulis tadi tidaklah hanya semata-mata

merupakan alat pembuktian saja, tetapi merupakan syarat untuk adanya

perjanjian itu.54

Ada beberapa jenis perjanjian tertentu yang mensyaratkan dibuat dalam

bentuk tertulis, atau bahkan harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat tertentu,

sehingga disebut dengan kontrak formal. Hal ini merupakan pengecualian dari

52

Wiryono Projodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, (Bandung, Bale Bandung, 1989), hal. 9.

53

Hartono Hadisoeprapto, Pokok-Pokok Hukum Perikatan Dan Hukum Jaminan, (Yogyakarta, Liberty,1984), hal. 78.

54

(4)

prinsip umum tentang asas konsensual tersebut. Contoh kontrak yang harus

dibuat secara tertulis adalah :

a. Kontrak perdamaian;

b. Kontrak pertanggungan;

c. Kontrak penghibahan;

Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara, pembedaan tersebut

adalah sebagai berikut:

1. Perjanjian timbal balik, adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban

pokok bagi kedua belah pihak.55

2. Perjanjian cuma-cuma, yang diatur dalam Pasal 1314 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata yang berbunyi suatu persetujuan diadakan dengan cuma-cuma

atau dengan memberatkan. Suatu persetujuan cuma-cuma adalah suatu

persetujuan, bahwa pihak yang satu akan memberikan suatu keuntungan

kepada pihak yang lain tanpa menerima imbalan. Suatu persetujuan

memberatkan adalah suatu persetujuan yang mewajibkan tiap pihak untuk

memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.

Perjanjian cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi

salah satu pihak

3. Perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak

yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua

prestassi itu ada hubungannya menurut hukum.56

55

(5)

4. Perjanjian bernama, perjanjian yang mempunyai nama sendiri, maksudnya

ialah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh

pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi

sehari-hari. 57 Perjanjian khusus terdapat dalam Bab V sampai dengan Bab

XVIII Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

5. Perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian-perjanjian yang tidak diatur di

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tetapi terdapat di dalam

masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak terbatas dengan nama yang

disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya seperti

perjanjian kerja sama, perjanjian pemasaran dan lainnya, hal ini lahir

dikarenakan adanya asas kebebasan berkontrak dalam sistem perjanjian

tersebut.58

6. Perjanjian Obligatoir, yaitu perjanjian dimana pihak-pihak sepakat

mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak

lain.59

7. Perjanjian Kebendaan, yaitu perjanjian dengan mana seseorang menyerahkan

haknya atas sesuatu benda kepada pihak lain, yang membebankan kewajiban

pihak itu untuk menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain.60 Dalam hal perjanjian jual beli benda tetap, maka perjanjian jual belinya disebutkan juga

(6)

perjanjian jual beli sementara, dan untuk perjanjian jual beli benda-benda

bergerak, maka perjanjian obligatoir dan perjanjian kebendaannya jatuh

bersamaan.

8. Perjanjian Konesensual, adalah perjanjian dimana di anatara kedua belah

pihak telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan,61 sesuai Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi

semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat

ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena

alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus

dilaksanakan dengan itikad baik, perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan

mengikat.

9. Perjanjian Rill, adalah perjanjian yang berlaku setalah terjadinya penyerahan

barang. 62

10.Perjanjian Liberatoir, yaitu perjanjian dimana para pihak membebaskan diri

dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan utang.63

11.Perjanjian Pembuktian, adalah perjanjian dimana para pihak menentukan

pembuktian apakah yang berlaku diantara mereka.64

61Ibid.

62Ibid. 63

Ibid.

64

(7)

12.Perjanjian Untung-untungan, yaitu perjanjian yang obyeknya ditentukan di

kemudian hari, misalnya perjanjian asuransi.65

13.Perjanjian Publik, adalah perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai

oleh hukum publik, karena salah satu pihak yang bertindak adalah pemerintah,

dan pihak lainnya adalah swasta. Diantaranya terdapat hubungan atasan dan

bawahan, jadi tidak berada dalam kedudukan yang sama.66

14.Perjanjian Campuran, perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian,

yang dalam perjanjian ini terdapat beberapa paham yaitu :67

a. Paham pertama mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan mengenai

perjanjian khusus diterapkan secara analogis sehingga setiap unsur dari

perjanjian khusus tetap ada;

b. Paham kedua mengatakan ketentuan-ketentuan yang dipaai adalah

ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang paling menguntungkan.

Hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu

menerbitkan suatu perikatan. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena

dua pihak itu saling setuju untuk melakukan sesuatu.

Dalam suatu perjanjian unsur yang terpenting adalah pelakunya atau

disebut dengan subyek. Subyek perjanjian adalah pihak-pihak yang terikat dengan

65Ibid.,

hal. 69. 66

Ibid.

67

(8)

diadakannya suatu perjanjian, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

membedakan 3 (tiga) golongan yang tersangkut pada perjanjian yaitu:68

1. Para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri;

2. Para ahli waris mereka dan mereka yang mendapat hak dari padanya;

3. Pihak ketiga.

Pada dasarnya mengenai subyek perjanjian, Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata mengaturnya secara teratur di dalam Pasal 1315, Pasal 1340. Pasal 1317

dan Pasal 1318. Suatu perjanjian ketika memenuhi syarat-syarat yang tercantum di

dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi supaya

terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;

1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;

2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. suatu pokok persoalan tertentu;

4. suatu sebab yang tidak terlarang.

Dari pasal tersebut, dapat dibedakan dua syarat yaitu:

1. Syarat Subjektif yaitu sepakat yang mengikatkan dirinya dan cakap untuk

membuat suatu perikatan karena mengenai subjek perjanjian. Kata sepakat

daam mengadakan perjanjian, maka kedua belah pihak haruslah memunyai

kebebasan kehendak. Para pihak tidak mendapat suatu tekanan yang

mengakibatkan adanya cacat bagi perwujudan kehendak tersebut.69

68

Ibid.,hal. 70. 69

(9)

Kata sepakat berarti suatu persesuaian paham dan kehendak antara dua

pihak. Berdasarkan pengertian kata sepakat tersebut berarti apa yang

dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain,

meskipun tidak sejurusan tetapi secara timbal balik kedua kehendak itu

bertemu satu sama lain.70

Sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui antara

para pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran,

sedangkan pernyataan pihak yang menyatakan menerima tawaran dinamakan

akseptasi.71

Teori-teori mengenai terjadinya kesepakatan atau saat-saat terjadinya

perjanjian antara para pihak antara lain:72

a. Teori kehendak mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat

kehendak pihak penerima dinyatakan, misalnya dinyatakan dengan

menulis surat;

b. Teori pengiriman mengajarkan kesepakatan terjadi pada saat kehendak

yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran;

c. Teori pengetahuan mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan

seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima;

70

R Subekti, Op.Cit, hal. 26. 71

Mariam Darus Badrulzaman, DKK, Op.Cit, hal. 74. 72

(10)

d. Teori kepercayaan mengajarkan bahwa kesepakatan itu terjadi pada saat

pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang

menawarkan.

Ada beberapa cacat-cacat subjektif, antara lain:

a. Kekhilafan (kesesatan), yang diatur dalam Pasal 1321 dan Pasal 1322

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang terdiri dari:

i. Error in persona, adalah kekhilafan mengenai orangnya;

ii. Error in substansia, adalah kesesatan mengenai sifat benda, yang

merupakan alasan sesungguhnya bagi kedua belah pihak, untuk

mengadakan perjanjian.

b. Paksaan

Pasal 1323 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berbunyi

paksaan yang diakukan terhadap orang yang mengadakan suatu

persetujuan mengakibatkan batalnya persetujuan yang bersangkutan, juga

bila paksaan itu dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan

dalam persetujuan yang dibuat itu. Yang dimaksud dengan paksaan

adalah bukan paksaan dalam arti absolut, sebab dalam hal demikian itu

perjanjian sama sekali tidak terjadi.73

Pasal 1324 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berbunyi

paksaan terjadi, bila tindakan itu sedemikian rupa sehingga memberi

kesan dan dapat menimbulkan ketakutan pada orang yang berakal sehat,

73

(11)

bahwa dirinya, orang-orangnya, atau kekayaannya, terancam rugi besar

dalam waktu dekat. Dalam pertimbangan hal tersebut, harus diperhatikan

usia, jenis kelamin dan kedudukan orang yang bersangkutan. Paksaan

yang dimaksud adalah kekerasan jasmani atau ancaman (akan membuka

rahasia) dengan sesuatu yang diperboleh dengan hukum yang

menimbulkan ketakutan kepada seseorang sehingga ia membuat

perjanjian.74

Pasal 1325 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang

menjelaskan ketakutan terhadap para pihak, berbunyi paksaan menjadikan

suatu persetujuan batal, bukan hanya bila dilakukan terhadap salah satu

pihak yang membuat persetujuan, melainkan juga bila dilakukan terhadap

suami atau istri atau keluarganya dalam garis ke atas maupun ke bawah.

Pasal 1326 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menjelaskan

tentang ketakutan tidak identik dengan paksaan, berbunyi rasa takut

karena hormat kepada bapak, ibu atau keluarga lain dalam garis ke atas,

tanpa disertai kekerasan, tidak cukup untuk membatalkan persetujuan.

Pasal 1327 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan

tentang pembatalan tidak dapat diajukan, berbunyi pembatalan suatu

persetujuan berdasarkan paksaan tidak dapat dituntut lagi, bila setelah

paksaan berhenti persetujuan itu dibenarkan, baik secara tegas maupun

secara diam-diam, atau jika telah dibiarkan lewat waktu yang ditetapkan

74

(12)

oleh undang-undang untuk dapat dipulihkan seluruhnya ke keadaan

sebelumnya.

c. Penipuan diatur dalam Pasal 1328 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata yang berbunyi penipuan merupakan suatu alasan untuk

membatalkan suatu persetujuan, bila penipuan yang dipakai oleh salah

satu pihak adalah sedemikian rupa, sehingga nyata bahwa pihak yang

lain tidak akan mengadakan perjanjian itu tanpa adanya tipu muslihat.

Penipuan tidak dapat hanya dikira-kira, melainkan harus dibuktikan.

Tentang cakap melakukan perbuatan hukum diatur Pasal 1329 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata berbunyi tiap orang berwenang untuk

membuat perikatan, kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap untuk hal itu,

dilanjutkan dengan bunyi Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

yaitu yang tak cakap untuk membuat persetujuan adalah;

1. anak yang belum dewasa;

2. orang yang ditaruh di bawah pengampuan;

3. perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan

undang-undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang-undang-undang

dilarang untuk membuat persetujuan tertentu.

Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian adalah kewenangan untuk

melakukan perbuatanperbuatan hukum sendiri. Perbedaan antara kewenangan

hukum dengan kecakapan berbuat adalah bila kewenangan hukum maka

(13)

hukumnya aktif, dan yang termasuk cakap di sini adalah orang dewasa, sehat

akal pikrnya, tidak dilarang oleh undang-undang.

Syarat Objektif terdiri dari suatu hal tertentu dan suatu sebab yang

halal. Suatu perjanjian haruslah mempunyai objek tertentu yang dapat berupa

benda yang sekarang ada dan yang akan nandi ada, dengan syarat sebagai

berikut:75

1. barang itu adalah barang yang dapat diperdagangkan;

2. barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum tidak

diperbolehkan;

3. dapat ditentukan jenisnya;

4. barang yang akan datang;

5. objek perjanjian

6. barang yang akan ada.

Ada beberapa asas-asas dari perjanjian, diantaranya:

1. Perjanjian yang sah adalah undang-undang

Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi

semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu

tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak,

atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undangundang.

75

(14)

Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Dengan istilah

“semua” pada pasal tersebut, maka pembentuk undang-undang

menunjukkan bahwa semua perjanjian yang dimaksud bukanlah hanya

semata-mata perjanjian bernama, tetapi juga meliputi perjanjian yang

tidak bernama.

Istilah secara sah pada pasal tersebut diartikan perbuatan perjanjian

harus memenuhi syarat yang ditentukan, dalam hal ini

syarat-syarat yang tercantum dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata. Semua perjanjian yang dibuat menurut hukum atau secara sah

adalah mengikat sebagai undang-undang terhadap para pihak, dan adanya

asas kepastian hukum.76 Asas kepastian hukum menimbulkan

perlindungan hukum bagi para pihak, diantaranya adalah pembeli dalam

perbuatan hukum jual beli tanah.

Pasal tersebut juga merealisasikan kedudukan masing-masing

pihak dengan seimbang, sehingga saling terlindungi, ini merupakan

realisasi dari asas keseimbangan.

2. Asas Kebebasan Berkontrak

Kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang sangat penting

dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak

bebas, pancaran hak asasi manusia.77 Pengaturan isi perjanjian tidak

76

Ibid., hal. 82. 77

(15)

semata-mata dibiarkan kepada para pihak, akan tetapi perlu diawasi

Pemerintah sebagai pengemban kepentingan, untuk menjaga

keseimbangan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Melalui

penerobosan hukum perjanjian oleh Pemerintah terjadi pergeseran hukum

perjanjian ke bidang hukum publik. Melalui campur tangan pemerintah

ini, terjadi pemasyarakatan.

Asas kebebasan berkontrak mengandung bermacam-macam unsur,

yaitu :

a. Seseorang bebas untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian;

b. Seseorang bebas untuk mengadakan perjanjian dengan siapapun juga;

c. Mengenai isi, syarat dan luasnya perjanjian setiap orang bebas

menentukan sendiri.

Hukum perjanjian nasional, asas kebebasan berkontrak yang

bertanggung jawab, yang mampu memelihara keseimbangan ini tetap

perlu dipertahankan, yaitu pengembangan kepribadian untuk mencapai

kesejahteraan dan kebagian hidup lahir dan batin yang serasi, selaras dan

seimbang dengan kepentingan masyarakat.78

Dalam perkembangannya, asas kebebasan berkontrak ini semakin sempit

dilihat dari berbagai segi, yaitu:79

a. Dari segi kepentingan umum;

78

Ibid., hal. 86-87. 79

(16)

b. Dari segi perjanjian baku;

c. Dari segi perjanjian dengan pemerintah

Hal ini disebabkan karena adanya pembatasan yang melekat pada

asas tersebut yaitu :

1) Bahwa perjanjian itu tidak bertentangan dengan kepentingan umum;

2) Bahwa perjanjian itu tidak bertentangan dengan kesusilaan;

3) Bahwa perjanjian itu tidak bertentangan dengan hukum dan

undang-undang.

Dengan adanya asas kebebasan berkontrak, dapat dikatakan

bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku Ketiga menganut

sistem terbuka.

3. Asas Konsensualisme

Asas ini sangat erat dengan asas kebebasan mengadakan

perjanjian. Asas ini terkandung dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang

Hukum Perdata yang mengandung arti kamuan para pihak untuk saling

berpartisipasi, ada kemauan untuk saling mengikatkan diri.

4. Asas Kepercayaan

Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain,

menumbuhkan kepercayaan di antara kedua pihak itu satu sama lain akan

memegang janjinya. Dengan kata lain akan memenuhi prestasinya di

belakang hari. Tanpa adanya kepercayaan itu, maka perjanjian itu tidak

(17)

pengikatkan diri dan untuk keduanya perjanjian itu mempunyai kekuatan

mengikat sebagai undang-undang.80

5. Asas Kekuatan Mengikat

Terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata

terbatas pada apa yang diperjanjikan akan tetapi juga terhadap beberapa

unsur lainsepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta

moral. Demikian sehingga asas-asas moral, kepatutan dan kebiasaan yang

mengikat para pihak.81 6. Asas Persamaan Hukum

Asas ini menempatkan para pihak dalam persamaan derajat, tidak

ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan,

kekuasaan, jabatan dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat

adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati

satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan.82

7. Asas Keseimbangan

Asas ini mengkehendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan

perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas

persamaan. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi

melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk

melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. Dapat dilihat disini

80 Ibid.

81

Ibid., hal. 87-88. 82

(18)

bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajiban untuk

memperhatikan itikad baik sehingga kedudukan kreditur dan debitur

seimbang.83

8. Asas Kepastian Hukum

Perjanjian sebagai suatu figur hukum harus mampu mengandung

kepastian hukum. Kepastian hukum ini terungkap dari kekuatan mengikat

perjanjian itu yaitu sebagai undang-undang para pihak.84 9. Asas Moral

Asas ini terlihat dalam perikatan wajar dimana suatu perbuatan

sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat

kontraprestasi dari pihak debitur.85

10.Asas Kepatutan

Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata, asas kepatutan disini berkaitan dengan ketentuan

mengenai isi perjanjian. Asas ini harus dipertahankan karena melalui

asasi ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan

dalam masyarakat.

Ketika suatu perjanjian yang terjadi tidak melanggar ketentuan peraturan

perundang-undangan maka kedudukan para pihak dalam perjanjian tersebut akan

mendapat perlindungan hukum. Para pihak bisa menggunakan perlindungan

83Ibid.

84

Ibid.

85

(19)

hukum tersebut katika ada salah satu pihak yang merasa dirugikan, sehingga

kedudukannya tetap seimbang.

Hukum Perjanjian menganut sistem terbuka, artinya hukum perjanjian

memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan

perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan

kesusilaan. Pasal-pasal dari hukum perjanjian merupakan apa yang dinamakan

hukum pelengkap.suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain

di mana dua orang tersebut saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Hukum

yang bersifat pelengkap (aanvullend recht) adalah peraturan-peraturan hukum

yang boleh dikesampingkan atau disimpangi oleh orang-orang yang

berkepentingan, peraturan-peraturan hukum mana hanyalah berlaku sepanjang

orang-orang yang berkepentingan tidak mengatur sendiri kepentingannya.

Dala suatu perjanjian ada memiliki beberapa akibat hukum yaitu

Akibat hukum dari suatu perjanjian tersebut adalah sebagai berikut :86

1. Batal demi hukum (nietig, null and void)

Apabila dalam hal dilanggarnya syarat objektif dalam Pasal 1320 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata Syarat objektif tersebut adalah :

a. Perihal tertentu, dan

b. Kausa yang legal.

86

(20)

Artinya, sejak awal tidak pernah lahir suatu perjanjian sehingga tidak

pernah ada perikatan. Karena tidak pernah lahir perjanjian, tidak ada akibat

hukum apa pun sehingga tidak ada dasar hukum yang dapat dijadikan alas

hak untuk melakukan gugatan atau penuntutan.

2. Dapat dibatalkan (vernietigbaar, voidable)

Apabila dalam hal tidak terpenuhinya syarat subjektif dalam Pasal 1320

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, syarat subjektif tersebut adalah:

a. Kesepakatan kehendak, dan

b. Kecakapan berbuat.

Artinya perjanjian yang dibuat tanpa memenuhi unsur pertama atau unsur

kedua tersebut dapat dimintakan pembatalannya kepada hakim melalui

pengadilan.

3. Kontrak tidak dapat dilaksanakan (unenforceable)

Kontrak yang tidak dapat dilaksanakan adalah kontrak yang tidak begitu

saja batal tetapi tidak dapat dilaksanakan, melainkan masih mempunyai

status hukum tertentu.

Bedanya dengan kontrak yang batal (demi hukum) adalah bahwa kontrak

yang tidak dapat dilaksanakan masih mungkin dikonversi menjadi kontrak

yang sah. Sedangkan, bedanya dengan kontrak yang dapat dibatalkan

(voidable) adalah bahwa dalam kontrak yang dapat dibatalkan, kontrak

(21)

dibatalkan kontrak tersebut, sementara kontrak yang tidak dapat

dilaksanakan belum mempunyai kekuatan hukum sebelum dikonversi

menjadi kontrak yang sah.

Sebagai contoh, kontrak yang tidak dapat dilaksanakan adalah kontrak yang

seharusnya dibuat secara tertulis, tetapi dibuat secara lisan, tetapi kemudian

kontrak tersebut ditulis oleh para pihak.

4. Sanksi administratif

Apabila syarat kontrak tidak dipenuhi maka, hanya mengakibatkan

dikenakan sanksi administratif saja terhadap salah satu pihak atau kedua

belah pihak dalam kontrak tersebut.Misalnya apabila terhadap suatu kontrak

memerlukan izin atau pelaporan terhadap instansi tertentu, seperti

izin/pelaporan kepada Bank Indonesia untuk suatu kontrak offshore loan.

a. Ketentuan umum tidak mempersyaratkan

Pada prinsipnya (dengan beberapa perkecualian) tidak ada kewajiban bagi

suatu kontrak untuk dibuat secara tertulis. Asal telah dipenuhinya

syarat-syarat sahnya suatu kontrak sebagaimana ditentukan antara lain dalam Pasal

1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka kontrak tersebut sudah

sah, meskipun dibuat hanya secara lisan saja.

Hanya saja, dengan dibuatnya kontrak secara tertulis, maka hal tersebut

(22)

mengurangi timbulnya ketidak jelasan tentang isi kontrak yang

bersangkutan.

b. Dipersyaratkan untuk kontrak-kontrak tertentu

Kadang kala untuk suatu kontrak tertentu oleh undanag-undang sendiri

dipersyaratkan agar kontrak tersebut dibuat secara tertulis dengan ancaman

batal.Contoh dari kontrak yang memerlukan suatu syarat tertulis adalah

kontrak hibah. Bahkan untuk kontrak hibah tersebut tidak hanya

dipersyaratkan harus tertulis, tetapi juga harus dengan akta notaris ,

maksudnya apabila suatu perjanjian diatur harus dibuat secara tertulis dan

tidak dilaksanakan maka dapat berakibat batal.

Kecuali untuk hibah berupa hadiah barang bergerak yang berwujud dari

tangan ke tangan, atau suatu surat hutang yang akan dibayar atas tunjuk

yang memang tidak memerlukan akta notaris. Sesuai dengan Pasal 1682

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatakan bahwa “ tiada

suatu hibah, kecuali yang disebutkan dalam Pasal 1687, dapat, atas ancaman

batal, aslinya disimpan oleh notaris itu”

c. Dipersyaratkan untuk kontrak atas barang-barang tertentu

Undang-undang juga mempersyaratkan kontrak tertulis untuk kontrak atas

objek/barang tertentu.Misalnya kontrak yang berkenaan dengan pengalihan

hakatas tanah harus dibuat secara tertulis bahkan harus dibuat di hadapan

pejabat tertentu in casu di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah.Sesuai

(23)

d. Dipersyaratkan karena kebutuhan praktek

Walaupun dalam banyak hal undang-undang tidak mensyaratkan bahwa

suatu kotrak harus tertulis, tetapi kebutuhan praktek ternyata menyatakan

lain. Dalam hal ini dalam praktek umumnya sangat dibutuhkan kehadiran

suatu kontrak tertulis, karena suatu kontrak tertulis memiliki maksud yaitu:

1) Untuk kepentingan pembuktian.

2) Untuk kepentingan kepastian hukum.

B. Perjanjian Yang Memuat Klausulu Khusus

Perkembangan ekonomi dan kebutuhan masyarakat yang semakin

meningkat maka bermunculan perjanjian yang memuat klausulu khusus yang

diatur sesuai dengan kebutuhan masyarakat, hal ini sesuai dengan asas

kebebasan berkontrak yang dianut dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata.

Dengan pembakuan syarat-syarat perjanjian, kepentingan salah satu

pihak lebih terjamin karena pihak lawannya hanya menyetujui syarat-syarat

yang ditawarkan kepadanya. Dalam tesis ini maka kepentingan pihak calon

penjual lebih terjamin karena pihak calon penjual hanya menyetujui

syarat-syarat yang tercantum dalam perjanjian tersebut. Karena perjanjian ini hanya

di buat sepihak oleh pihak calon penjual, pihak calon pembeli hanya bisa

(24)

membubuhkan tanda tangan atau tidak menyetujui syarat-syarat perjanjian

tersebut.

Dalam praktek klausul-klausul yang berat sebelah dalam perjanjian

baku tersebut biasanya mempunyai wujud sebagai berikut:87

a. Dicetak dengan menggunakan bentuk huruf yang kecil

b. Bahsa yang sulit dipahami artinya

c. Tulisan yang kurang jelas dan susah dibaca

d. Kalimat yang disusun secara komplek dan rumit

e. Bentuk perjanjian dan kalusulanya tidak terwujud seperti suatu perjanjian

(tersamar) pada umumnya

f. Kalimat-kalimatnya ditempatkan pada tempat-tempat yang kemungkinan

besar tidak dibacakan oleh salah satu pihak.

Fdhasda

Ciri-ciri secara umum perjanjian bakusebagai berikut: 88

1. isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya)

kuat

2. masyarakat (debitur/konsumen) sama sekali tidak bersama-sama

menetukan perjanjian

87

Munir Fuady, Hukum Kontrak(Dari Sudut pandang Hukum Bisnis), (Bandung:PT.Citra Aditya Bakti, 2003), jal. 76.

88Salim .HS, ”

(25)

3. terdorong oleh kebutuhannya debitur/konsumen terpaksa menerima

perjanjian itu

4. bentuk tertentu (tertulis)

5. dipersiapkan secara massal dan kolektif.

Berdasarkan uraian diatas maka karateristik perjanjian yang memuat

klausulu baku adalah:

1. Bentuk Perjanjian Tertulis

Yang dimaksud adalag kata-kata atau maksud pernyataan kedua

belah pihak yang hendak dimuat dengan syarat-syarat baku dibuat secara

tertulis berupa akta autentik atau akta di bawah tangan.

2. Format Perjanjian dibakukan

Format perjanjian meliputi model, rumusan dan ukuran, format yang

dibakukan artiya modelnya, rumusannya dan ukurannya sudah ditentukan

sehingga tidak dapat diganti, diubah atau dibuat dengan cara lain karena

sudah dicetak. Contoh format perjanjian baku adalah polis asuransi, akta

Pejabat Pembuat Akta Tanah, Perjanjian Sewa Beli, Penggunaan kartu

kredit, konosemen dan obligasi. 89

3. Syarat-Syarat Perjanjian Ditentukan Oleh Pengusaha

Syarat-syarat perjanjian yang merupakan pernyataan kehendak

ditentukan sendiri secara sepihak oleh pengasaha atau organisasi

89

(26)

pengusaha. Karena syarat-syarat perjanjian itu dimaksud dimonopoli oleh

pengusaha daripada konsumen, maka sifatnya lebih menguntungkan

cenderung menguntungkan pengusaha dari pada konsumen. Pengusaha

dalam hal ini adalah pihak calon penjual dan konsumen adalah pihak

calon pembeli.

4. Konsumen (Pihak Calon Pembeli) Hanya Menerima Atau Menolak

Jika konsumen (pihak calon pembeli) bersedia menerima

syarat-syarat perjanjian yang ditawarkan kepadanya, maka ditandatanganilah

perjanjian itu. Penandatanganan tersebut menunjukkan bahwa konsumen

(pihak calon pembeli) bersedia memikul tanggung jawab walaupun

mungkin konsumen (pihak calon pembeli) bisa tidak bersalah. Jika

konsumen (pihak calon pembeli) tidak setuju, maka konsumen (pihak

calon pembeli) tidak boleh menawar-nawat atas syarat-syarat perjanjian

yang sudah dibakukan tersebut, karena menawar syarat-syarat perjanjian

tersebut berarti menolak perjanjian yang memuat klausula khusus

tersebut.

5. Penyelesaian Sengketa Melalui Musyawarah atau Peradilan

Dalam syarat-syarat perjanjian terdapat klausula standar mengenai

penyelesaian sengketa. Jika terjadi sengketa dalam pelaksanaan

perjanjian, maka penyelesaiannya dilakukan melalui musyawarah. Tetapi

jika ada pihak yang mengkehendaki, tidak tertutup kemungkinan

(27)

6. Perjanjian Baku Menguntungkan Pengusaha (pihak calon penjual)

Bahwa adanya kecenderungan perkembangan perjanjian adalah dari

lisan menjadi tertulis, dari perjanjian tertulis biasa ke perjanjian tertulis

yang dibakukan, syarat-syarat baku dimuat lengkap dalam naskah

perjanjian, atau ditulis sebagai lampiran yang tidak terpisah dari formulir

perjanjian atau ditulis dalam dokumen bukti perjanjian. Dengan demikian,

dapat diketahui bahwa perjanjian baku yang dirancang secara sepihak

oleh pengusahan (pihak calon penjual) akan menguntungkan beberapa

hal yaitu:

a.Efisiensi biaya, waktu dan tenaga

b.Praktis

c.Penyelesaiannya cepat karena konsumen hanya menyetujui dengan

tidak menyetujui

d.Homogenitas perjanjian yang dibuat dalam bentuk yang banyak.

Pemerintah Indonesia secara resmi melalui Undang-undang No. 8

tahun 1999 menggunakan istilah klausula baku sebagaimana dapat ditemukan

dalam pasal 1 angka 10 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Pasal

tersebut menyatakan bahwa klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan

dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu

secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan

atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Ada juga

(28)

persetujuan yang dibuat oleh para pihak mengenai sesuatu hal yang telah

ditentukan secara baku (standar) serta dituangkan secara tertulis.90

Pengaturan tentang klausul baku ini dalam Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999. Pasal 18 ayat (1) menentukan pelaku usaha dalam menawarkan

barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat

atau mencantumkan klausul baku di setiap dokumen dan/atau perjanjian

apabila:

a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha

b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali

barang yang telah dibeli konsumen

c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali

uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh

konsumen

d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha

baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala

tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh

konsumen secara angsuran

e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau

pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen

90

(29)

f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa

atau atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi yang

menjadi objek jual beli jasa

g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan berupa aturan

baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat

sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa

yang dibelinya

h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha

untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan

teradap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

C. Aspek Hukum Pengadaan Tanah Yang Dilakukan Secara Langsung

Melalui Jual Beli

1. Perjanjian Jual Beli Secara Umum

Perjanjan jual beli adalah suatu perjanjian bertimbal balik dimana

pihak yang satu (penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu

barang, sedang pihak yang lain (pembeli) berjanji untuk membayar harga

yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik

tersebut.91

Perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian yang dibuat antara pihak

penjual dan pembeli, didalam perjanjian ini pihak penjual berkewajiban

menyerahkan objek jual beli kepada pembeli dan berhak menerima harga dan

91

(30)

pembeli berkewajiban untuk membayar harga dan berhak menerima objek

tertentu.92 Unsur-unsur yang tercantum dalam definisi tersebut adalah :93

a. adanya subjek hukum, yaitu penjual dan pembeli;

b. adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli tentang barang dan harga;

c. adanya hak dan kewajiban yang timbul antara pihak penjual dan pembeli.

Perkataan jual beli menunjukkan bahwa dari satu pihak perbuatan

dinamakan menjual, sedangkan dari pihak lain dinamakan membeli. Istilah

yang mencakup dua perbuatan yang bertimbal balik adalah sesuai dengan

istilah belanda yaitu koopen verkoop yang juga mengandung pengertian

bahwa pihak yang satu verkoopt (menjual) sedang yang lainnya koopt

(membeli).

Barang yang menjadi obyek perjanjian jual beli harus cukup tertentu,

setidak-tidaknya dapat ditentukan wujud dan jumlahnya pada saat ia akan

diserahkan hak miliknya kepada si pembeli. Dengan demikian adalah sah

menurut hukum misalnya jual beli mengenai panenan yang akan diperoleh

pada suatu waktu dari sebidang tanah tertentu.94

Perjanjian jual beli adalah jual beli dimana hak milik atas barang

seketika berpindah kepada pembeli.95 Dalam jual beli hak atas tanah,

92

Salim, H.S, Op.Cit, hal. 49. 93Ibid.,

hal. 49. 94

R, Subekti, Op.Cit, hal. 1-2. 95

(31)

perjanjian jual beli terjadi pada saat penandatanganan akta jual beli dihadapan

Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Dalam jual beli terjadi peralihan hak dengan unsur kesengajaan, karena

suatu pihak melakukan suatu perbuatan hukum untuk

mengalihkan/-memindahkan haknya atas suatu hak dalam hal ini adalah hak atas tanah.96 Perbuatan hukum mengakibatkan beralihnya hak atas tanah tersebut dapat

dilakukan dengan cara membuat perjanjian.

Unsur-unsur pokok (essentialia) perjanjian jual beli adalah barang dan

harga. Sesuai dengan asas konsensualisme yang menjiawai hukum perdata,

perjanjian jual beli itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya sepakat

mengenai barang dan harga. Begitu kedua pihak sudah setuju tentang barang

dan harga, maka lahirlah perjanjian jual beli yang sah.97

Sifat konsensual dari jual beli tersebut ditegaskan dalam Pasal 1458

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi jual beli dianggap telah

terjadi antara kedua belah pihak, segera setelah orang-orang itu mencapai

kesepakatan tentang barang tersebut beserta harganya, meskipun barang itu

belum diserahkan dan harganya belum dibayar.

Konsensualisme berasal dari perkataan konsensus yang berarti

kesepakatan. Dengan kesepakatan dimaksudkan bahwa diantara pihak-pihak

yang bersangkutan tercapai suatu persatuan kehendak, artinya apa yang

96

John Salindeho, Op.Cit, hal. 38. 97

(32)

dikehendaki oleh yang satu adalah apa yang dikehendaki oleh yang lain.

Kedua kehendak itu bertemu dalam sepakat tersebut. Tercapainya sepakat ini

dinyatakan oleh kedua belah pihak dengan mengucapkan perkataan-perkataan

ataupun dengan bersama-sama dengan menaruh tanda tangan dibawah

pernyataan-pernyataan tertulis sebagai tanda (bukti) bahwa kedua belah pihak

telah menyetujui segala apa yang tertera diatas tulisan itu.98

Asas konsensualisme dianut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

sesuai dengan apa yang tercantum dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata. Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan

Undang-Undang berlaku sebagai Undang-Undang-Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.

Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua

belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh Undang-Undang.

Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Perjanjian yang sah memiliki kekuatan yang sama dengan

Undang-Undang. Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat

perjanjian yaitu sesuai dengan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata yang berbunyi syarat sahnya suatu perjanjian jual beli harus

memenuhi syarat-syarat yang tercantum dalam Pasal 1320 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, karena syarat tersebut merupakan tolak ukur sah atau

tidak sahnya suatu perjanjian.

98

(33)

Sepakat yang hanya disebutkan saja tanpa dituntutnya suatu bentuk

atau cara apapaun, seperti tulisan, pemberian tanda atau panjar dan lain

sebagainya, dapat disimpulkan bahwa bilamana sudah tercapai sepakat itu,

maka sahlah sudah perjanjian itu atau mengikatlah perjanjian itu atau

berlakulah ia sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.99 Dua Kewajiban utama penjual yaitu:

a. Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjual belikan meliputi segala

perbuatan yang menurut hukum diperlukan untuk mengalihkan hak milik

atas barang yang diperjual belikan itu dari penjual kepada si pembeli.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai tiga macam barang yaitu

barang bergerak, barang tetap dan barang tak bertubuh (dengan mana yang

dimaksudkan piutang, penagihan atau claim).100

1. Untuk barang bergerak sesuai dengan bunyi Pasal 612 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi penyerahan barang-barang

bergerak, kecuali yang tidak bertubuh dilakukan dengan penyerahan

yang nyata oleh atau atas nama pemilik, atau dengan penyerahan

kunci-kunci bangunan tempat barang-barang itu berada. Penyerahan

tidak diharuskan, bila barang-barang yang harus diserahkan, dengan

99

Ibid., hal. 4. 100

(34)

alasan hak lain, telah dikuasai oleh orang yang hendak

menerimanya.101

Penyerahan tak perlu dilakukan, apabila kebendaan yang harus

diserahkan, dengan alasan hak lain, telah dikuasai oleh orang yang

hendak menerimanya. Sehingga adanya kemungkinan menyerahkan

kunci saja kalau yang dijual adalah barang-barang yang berada di

saam suatu gudang, hal mana merupakan suatu penyerahan secara

simbolis, sedangkan apabila barangnya sudah berada dalam kekuasaan

si pembeli, penyerahan cukup dilakukan dengan suatu pernyataan

saja.102

2. Untuk barang tetap (tak bergerak) dalam hal ini tanah, sudah dicabut

karena dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok Agraria.

Barang Tak Bertubuh dilakukan dengan perbuatan yang disebut cessie

sebagaimana diatur dalam Pasal 613 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

yang berbunyi penyerahan piutang-piutang atas nama dan barang-barang lain

yang tidak bertubuh, dilakukan dengan jalan membuat akta autentik atau di

bawah tangan yang melimpahkan hak-hak atas barang-barang itu kepada

orang lain.

101

Ibid.,

102

(35)

Penyerahan ini tidak ada akibatnya bagi yang berutang sebelum

penyerahan itu diberitahukan kepadanya atau disetujuinya secara tertulis atau

diakuinya. Penyerahan surat-surat utang atas tunjuk dilakukan dengan

memberikannya, penyerahan surat utang atas perintah dilakukan dengan

memberikannya bersama endosemen surat itu. Penyerahan yang demikian

bagi si berutang tiada akibatnya melainkan setelah penyerahan itu

diberitahukan kepadanya secara tertulis, disetujui dan diakuinya. Penyerahan

tiap-tiap piutang karena surat-surat dilakukan dengan penyerahan surat itu.103 Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menganut sistem

perjanjian jual beli hanya obligatoir saja, artinya bahwa perjanjian jual beli

baru meletakkan hak dan kewajiban bertimbal balik antara kedua belah pihak

yaitu penjual dan pembeli. Penjual berkewajiban untuk menyerahkan hak

milik atas barang yang dijualnya, sekaligus memberikan kepadanya hak untuk

menuntut pembayaran harga yang telah disetujui dan disebelah lain yaitu

pembeli berkewajiban untuk membayar harga barang sesuai imbalan haknya

untuk menuntut penyerahan hak milik atas barang yang dibelinya.104

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan perjanjian jual beli

belum memindahkan hak milik. Adapun hak milik berpindah ketika ada

levering atau penyerahan, sehingga penyerahan menurut Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata adalah perbuatan yuridis guna memindahkan hak

103

Ibid., hal. 10. 104

(36)

miliknya dengan 3 (tiga) cara sesuai dengan bentuk barang sesuai uraian

diatas. Menurut para ahli sarjana Belanda penyerahan adalah tahap kedua dari

proses jual beli yang khusus bertujuan memindahkan hak milik dari penjual

kepada pembeli.105

Sifat obligatoir perjanjian jual beli dapat dilihat dari Pasal 1459 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi hak milik atas barang yang

dijual tidak pindah kepada pembeli selama barang itu belum diserahkan

menurut Pasal 612 dan 613. Sistem levering atau penyerahan dapat dilihat

dalam Pasal 1257 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi

semua syarat harus dipenuhi dengan cara yang dikehendaki dan dimaksudkan

oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

2. Aspek Hukum Pengadaan Tanah Yang Dilakukan Dengan Jual Beli

Salah satu tujuan diterbitkannya Peraturan Presiden Republik

Indonesia Nomor 30 Tahun 2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan

Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah

Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum adalah untuk memberikan

kepastian dan perlindungan hukum, sekaligus mewujudkan keadilan dan

memberikan manfaat bagi masyarakat pemilik tanah yang tanahnya

dipergunakan bagi pembangunan.

Pengadaan Tanah adalah suatu kegiatan menyediakan tanah dengan

cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak.

105

(37)

Dan ayat 3 Pasal tersebut menyebutkan bahwa pihak yang berhak adalah

pihak yang menguasai atau memiliki objek pengadaan tanah. Pihak yang

membayar ganti kerugian dan menerima objek pengadaan tanah adalah intansi

pemerintah yang sudah mendapat kuasa atas hal tersebut.

Ciri Khas dari pengadaan tanah menurut Peraturan Presiden Republik

Indonesia Nomor 30 Tahun 2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan

Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah

Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum adalah:

1. Adanya obyek tanah

2. Adanya perpindahan hak

3. Adanya ganti rugi

4. Adanya keterlibatan pemerintah sebagai salah satu pihak dalam

perjanjian pengadaan tanah untuk kepentingan umum tersebut,

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2015 Tentang

Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang

Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan

Umum memiliki tujuan untuk lebih meningkatkan prinsip penghormatan

terhadap hak-hak atas tanah yang sah dan kepastian hukum dalam pengadaan

tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum.

Kepentingan umum yang dimaksud pada hakekatnya pembangunan

untuk kepentingan umum adalah untuk kepentingan sebagian besar

(38)

oleh kepentingan dari sebagian masyarakat, karena kerugian yang timbul

sebagai akibat tidak terlaksananya pembangunan untuk kepentingan umum

tersebut tidak hanya diderita oleh masyarakat yang terkena langsung saja

melainkan juga menjadi beban masyarakat lainnya dan Pemerintah. 106

Perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah yang diteliti dalam

penelitian ini tidak ada kepentingan umum yang ingin dipenuhi melainkan

hanya kepentingan pribadi para pihak untuk memiliki secara pribadi hak atas

tanah tersebut, sehingga perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah ini

tidak memenuhi kriteria pengadaan tanah yang dimaksud dalam Peraturan

Presiden Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2015 Tentang Perubahan

Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang

Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan

Umum sehingga tidak memiliki aspek hukum sesuai Peraturan Presiden

Tersebut.

Pada Pasal 68 Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang

Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan

Umum yang tidak di ubah menyebutkan bahwa :

(1) Pelaksana Pengadaan Tanah melaksanakan musyawarah dengan Pihak

yang berhak dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak hasil

106

(39)

penilaian dari Penilai diterima oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah

sebagaimana dimaksud dalam pasal 66 ayat (3).

(2) Pelaksanaan musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilaksanakan dengan mengikutsertakan Instansi yang memerlukan tanah.

(3) Musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan secara

langsung untuk menetapkan bentuk Ganti Kerugian berdasarkan hasil

penilaian Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud dalam pasal 65 ayat (1).

(4) Dalam musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksana

Pengadaan Tanah menyampaikan besarnya Ganti Kerugian hasil penilaian

Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1).

Ada proses musyawarah menurut peraturan presiden tersebut yang

sudah ditentukan, sedangkan dalam perjanjian urusan pengadaan tanah tapak

rumah tidak ada proses musyawarah melainkan langsung kepada suatu

keadaan pihak pembeli setuju atau tidak setuju terhadap syarat-syarat yang

diberikan oleh pihak penjual, ada perbuatan sepihak dalam perjanjian ini dan

pembeli tidak bisa mengubah syarat-syarat yang diberikan kepadanya oleh

penjual.

Kalimat jual beli tercantum pada Pasal 77 ayat 4 Presiden Nomor 71

Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan

untuk Kepentingan Umum yang menyebutkan Penyediaan tanah pengganti

(40)

yang disepakati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sehingga proses jual beli hanya terjadi apabila ada ganti kerugian berupa

tanah pengganti bukan ketika terjadi pelepasan hak atas tanah dalam proses

pengadaan tanah untuk kepentingan umum tersebut.

Namun jual beli terjadi ketika dalam rangka efisiensi dan efektifitas,

pengadaan tanah untuk Kepentingan Umum yang luasnya tidak lebih dari 1

(satu) hektar, dapat langsung oleh Instansi yang memerlukan tanah dengan

para pemegang hak atas tanah, dengan cara jual beli atau tukar menukar atau

cara lain yang disepakati kedua belah pihak. Hal ini diatur dalam Pasal 121

Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah

Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Dalam perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah ini diperoleh

data bahwa tanah yang menjadi obyek perjanjian memiliki luas lebih dari 1

(satu) hektar, maka tidak bisa dikategorikan memenuhi syarat untuk

melakukan jual beli sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal tersebut.

D. Bentuk Perjanjian Urusan Pengadaan Tanah Tapak Rumah

Perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah ini tidak memenuhi

kriteria pengadaan tanah sesuai dengan dalam Peraturan Presiden Republik

Indonesia Nomor 30 Tahun 2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan

Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah

(41)

penelitian adalah proses jual beli secara angsuran dan bagaimana bentuk

perjanjian tersebut.

Bentuk perjanjian jual beli tanah adalah perjanjian bantuan yang

berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan yang bentuknya bebas.107 Jual beli

angsuran ini dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis ini dibuat karena

terhambatnya suatu proses jual beli tanah sesuai aturan hukum agraria.

Terhambat yang dimaksud adalah belum terpenuhinya syarat-syarat jual beli

tanah sesuai hukum agraria atau lahir karena kesepakatan kedua belah pihak.

Perjanjian jual beli ini dibuat seperi perjanjian pendahuluan antara kedua

belah pihak.

Jual beli tanah dengan pembayaran angsuran yang tertuang dalam

perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah tidak dikenal dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, munculnya perjanjian ini disebabkan karena

adanya kebutuhan dalam praktek dan adanya asas hukum lex specialis

derogat lex generalis. Oleh karena itu, dasar hukum dari jual beli secara

angsuran adalah ketentuan-ketentuan hukum perikatan (Verbintenissen

Rechts). Jadi, para pihak yang melakukan perbuatan hukum jual beli dengan

pembayaran angsuran dapat membuat perjanjian atas dasar kesepakatan.

Perjanjian perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah ini

mendekati bentuk perjanjian jual beli dengan angsuran dan jual beli menurut

107

(42)

R. Subekti adalah suatu perjanjian yang peneyerahan barangnya langsung

diserahkan kepada pembeli dan pembeli menjadi pemilik yang sah namun

pembeli memiliki utang kepada penjual berupa harga atau sebagian dari harga

yang dibayarnya. 108 Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata suatu

perjanjian jual beli dengan angsuran di kontruksikan seperti perjanjian sewa

beli.

Indonesia yang menganut sistem hukum civil law, maka perjanjian jual

beli dengan angsuran lebih menekankan kepada perjanjian jual beli, berbeda

dengan negara sistem common law, perjanjian sewa belinya lebih menekankan

kepada perjanjian sewa menyewa. 109 Perjanjian beli sewa termasuk perjanjian tidak bernama karena tidak tercantum di dalam dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata atau Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.

Perjanjian sewa beli adalah jual beli dengan pembayaran angsuran

dengan ciri khas, yaitu hak milik baru beralih dari penjual kepada pembeli

sesudah angsuran terakhir dibayar penuh. 110 Mengenai aturan tentang bentuk perjanjian sewa beli hingga sekarang belum ada aturan khusus yang

mengaturnya, sehingga mengenai bentuk perjanjian sewa beli diserahkan

kepada kesepakatan para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Bentuk

perjanjian yang dimaksud adalah apakah harus tertulis atau harus dibuat di

108

R. Subekti, Op.Cit, hal. 54. 109

Sri Gambir Hatta, Beli Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama: Pandangan Masyarakat dan Sikap Mahkamah Agung, (Bandung, PT. Alumni, 1999), hal. 33.

110

(43)

hadapan pejabat yang berwenang. Dalam perjanjian sewa beli, terdapat

beberapa klausul yang penting yaitu:111

a. Klausul penundaan peralihan hak.

b. Klausul hari jatuh tempo atau menggugurkan.

c. Status uang yang telah dibayarkan pembeli kepada penjual.

d. Klausul larangan memindahtangankan objek perjanjian.

Perbedaan perjanjian sewa beli dengan perjanjian jual beli dengan

angsuran adalah penyerahan hak milik objek jual beli, bila perjanjian sewa

beli hak milik beralih ketika angsuran (sewa terakhir) dibayar sedangkan

perjanjian jual beli hak milik sudah berakhir ketika angsuran pertama dibayar.

Bentuk perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah ini juga tidak

termasuk di salah satu peralihan hak atas tanah yang belum memiliki hak atsu

sertipikat yang tertuang dalam Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor

10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, Penjelasan Pasal 24 ayat (1) point

f dan g dari Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah dan Pasal 60 ayat (2) poin g dan h dari Peraturan Menteri

Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang

ketentuan pelaksanaan peraturan pemerintah nomor 24 tahun 1997 tentang

pendaftaran tanah.

Bentuk perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah ini adalah

perjanjian baku yang menggunakan klausula khusus, karena tidak memenuhi

111

(44)

karateristik perjanjian jual beli diatas tetapi memenuhi karateristik-karateristik

perjanjian baku yang menggunakan klausula khusus yang dijelaskan diatas,

antara lain:

a. Bentuk perjanjian tertulis, perjanjian urusan pengadaan tanah tapak

rumah dibuat secara tertulis, ditandatangani masing-masing pihak dan

saksi.

b. Format Perjanjian dibakukan, perjanjian urusan pengadaan tanah tapak

rumah ini memiliki rumusan syarat-syarat yang berupa pasal-pasal

sebanyak 7 (tujuh pasal), dan model format perjanjian untuk identitas

para pihak sudah ditentukan, hanyak diisi sesuai kebutuhan para pihak,

tidak bisa diubah dan diganti dengan cara apapun

c. Syarat-Syarat Perjanjian Ditentukan Oleh Pengusaha (pihak calon

penjual), perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah yang berisi

syarat-syarat berupa pasal-pasal dibuat dan diatur oleh Pengusaha (pihak

calon penjual), tanpa ada campur tangan konsumen (pihak calon

pembeli), sehingga perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah ini

cenderung lebih mengutarakan kemauan atau kehendak Pengusaha

(pihak calon penjual), , karena dilihat dari isi perjanjian urusan

pengadaan tanah tapak rumah tidak ada poin atau bagian yang

memberikan kesempatan kepada konsumen (pihak calon pembeli) untuk

(45)

d. Konsumen Hanya Menerima atau Menolak, perjanjian urusan

pengadaan tanah tapak rumah ini hanya memberi dua pilihan kepada

konsumen (pihak calon pembeli) yaitu menerima atau menolak.

e. Penyelesaian Sengketa melalui Musyawarah atau peradilan, dalam pasal

7 (tujuh) perjanjian urusan pengadaan tanah tapak rumah disebutkan

bahwa penyelesaian sengketa dilakukan dengan dua pilihan musyawarah

dan pengadilan negeri medan.

Pada dasarnya dalam kenyataannya isi perjanjiannya tidak diketahui

oleh pihak yang disodori perjanjian baku ini dalam hal ini adalah calon

pembeli, ini menjadi salah satu alasan pokok keberatan. Dan didukung faktor

bahwa kalaupun calon pembeli tersebut tahu isinya, belum tentu calon

pembeli tersebut paham dan mengerti terhadap klausula-klausula yang ada

disana. Ada yang merinci keberatan-keberatannya antara lain dituangkan

dalam suatu formulir, isinya tidak diperbincangkan lebih dahulu : pihak yang

disodori perjanjian standar terpaksa menerima keadaan itu karena posisinya

yang lemah dan karenanya disebut dwangcontracten, dimana kebebasan

berkontrak berdasarkan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

sudah dilanggar.

Ketiadaan kata sepakat atau kata sepakat yang tidak betul-betul bulat

tidak mengakibatkan batalnya kontrak. Jika kekurangan yang berkaitan

dengan perjanjian yakni kata sepakat dan kedewasaan hanya mengakibatkan

(46)

dilaksanakan dan tidak ada pihak keberatan dan meminta pembatalan kontrak

ke pengadilan, kontrak tetap sah. Sehingga perjanjian urusan pengadaan tapak

rumah ini tetap sah selama belum ada pembatalan dari pegadilan atau lembaga

yang berwenang.

Namun jika kekurangan itu berkaitan syarat objektif, yakni tiadanya

syarat objek tertentu bertentangan dengan kausa yang halal, maka kontrak

tersebut batal demi hukum. Artinya sejak awal sudah tidak dan dianggap tidak

pernah ada. Jika terjadi pembatalan maka perjanjian berakhir, kewajiban yang

telah dilaksanakan dapat dipulihkan kembali dan yang belum dilaksanakan

supaya dihentikan pelaksanaannya atau tidak perlu sama sekali. Namun,

bagaimanapun juga perjanjian itu mengikat, dan masing-masing pihak harus

bertanggung jawab terhadap apa yang telah dijanjikan dalam perjanjian itu.

Obyek yang diperjualbelikan adalah harta pribadi milik direktur CV,

Putra Agung yang bernama sunggul panjaitan sekaligus pihak pertama dalam

perjanjian ini. Hubungan hukum yang terjadi antara direktur dengan harta

pribadi adalah hubungan hukum pribadi bukan berdasarkan hubungan surat

kuasa karena dilihat didalam perjanjanjian tersebut tidak dilampirkan surat

kuasa, sehingga ketika ada masalah dikemudian hari maka direktur selaku

pemilik tanah tersebut akan mempertanggungjawabkan secara merangkap atas

tanah tersebut, sebagai pemilik tanah dan sebagai direktur CV. Putra Agung

(47)

pesero aktif dalam perseroan komanditer tersebut akan bertanggung jawab

Referensi

Dokumen terkait

Pada pantun bajawek di atas penutur pantun berusaha mengkonkretkan kata-katanya mamukek urang di Tiagan, rami dek anak Simpang Tigo. Dengan kata-kata yang

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 11 petugas di CSSD dapat disimpulkan bahwa petugas CSSD yang telah melakukan cuci tangan sesuai standar 6 langkah POS

- Siswa menerima tugas dari guru, yaitu menulis puisi bebas sesuai dengan tema yang ditentukan.b. - Guru beserta siswa mengakhiri kegiatan belajar

Ketika penampungan air laut sebagai bahan baku pembuatan garam telah cukup banyak dan terjaga ketersediannya pada sekitar pertengahan musim kemarau sebagian kolam

Oleh karena itu peneliti mengambil judul pengaruh penggunaan model pembelajaran problem based learning terhadap motivasi belajar siswa pada kelas IV di SD Muhammadiyah

Tujuan dari privatisasi BUMN yang tertuang dalam UU No.19 tahun 2003 pasal 74 adalah untuk memperluas kepemilikan masyarakat atas saham persero sehingga tanggung jawab BUMN

Buku Petunjuk Penggunaan Aplikasi Sistem Informasi RSCM Untuk Perekam Medis Unit Manajemen Sistem Informasi ©2016. 30

Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang. Kata Kunci : Balanced Score Card, Perusahaan. Poliplas Makmur Santosa Ungaran adalah perusahaan manufaktur yang