• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

6.2 Analisis Aspek Non Finansial 1 Aspek Pasar

6.2.4 Aspek Manajemen 1 Fungsi Perencanaan

Perencanaan mengenai penanaman murbei, pemeliharaan murbei, pemanenan dan pengangkutan murbei, pemeliharaan ulat sutera, dan pemanenan ulat sutera dilakukan oleh petani dengan bekal penyuluhan dan pelatihan yang diperoleh sebelum maupun selama menjalankan usaha budidaya ulat sutera. Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur dan Kementrian Kehutanan RI bagian Penelitian dan Pengembangan Persuteraan Alam melakukan perencanaan mengenai pengembangan persuteraan alam di Kecamatan Sukanagara dengan cara memberikan bantuan dana maupun peralatan kepada petani sutera dan bekerjasama dengan dalam meningkatkan produktivitas dan mutu kokon. Kementrian Kehutanan RI bagian Penelitian dan Pengembangan Persuteraan Alam dan CV Batu Gede bekerjasama dalam meningkatkan produktivitas dan mutu kokon dengan melakukan penelitian-penelitian.

Perencanaan mengenai cara pembelian bibit ulat sutera, harga bibit ulat sutera, waktu pemeliharaan, dan waktu distribusi atau penjualan kokon dilakukan oleh pihak CV Batu Gede. Perencanaan ini dilakukan berdasarkan waktu pengiriman telur ulat sutera dari PSA Soppeng di Sulawesi Selatan maupun dari PPUS Candiroto di Jawa Tengah, biaya pembelian telur ulat, biaya pengiriman telur, dan ketersediaan pakan ulat kecil milik CV Batu Gede. Sedangkan penentuan harga jual kokon merupakan kesepakatan antara CV Batu Gede dengan petani sutera.

6.2.4.2 Fungsi Pengorganisasian

Pengorganisasian bersifat informal dilakukan oleh ketua umum kelompok tani. Ketua umum kelompok tani bertindak sebagai pemimpin yang menampung aspirasi anggota, menginformasikan hal-hal yang berkaitan dengan pembudidayaan ulat sutera, mengarahkan, mengkoordinir bila ada bantuan dana maupun peralatan budidaya murbei dan pemeliharaan ulat sutera dari pihak- pihak tertentu. Ketua umum kelompok berhubungan langsung dengan pihak CV Batu Gede terkait dengan pemeliharaan ulat sutera dan lainnya. Garis koordinasi dari ketua umum kelompok tani langsung ke ketua kelompok di tiga desa yang

berbeda, yaitu kelompok I di Desa Sukamekar, kelompok II di Desa Sukanagara, dan kelompok III di Desa Sukalaksana.

6.2.4.3 Fungsi Pelaksaan

Ketua umum kelompok tani memiliki fungsi menggerakkan bawahannya, bersikap dan berperilaku sesuai dengan yang diperlukan. Ketua kelompok tani di tiap desa mengkoordinasikan setiap informasi yang diterima dari ketua umum kelompok tani dan menyampaikan inspirasi anggota ke ketua umum kelompok tani. Keputusan mengenai perencanaan kegiatan pemeliharaan murbei dan ulat sutera sepenuhnya berada di tangan anggota. Ketua umum kelompok tani dan ketua kelompok tani hanya memberikan saran dan arahan agar kegiatan persuteraan alam berjalan dengan lancar.

6.2.4.4 Fungsi Pengendalian

Fungsi pengendalian dipegang oleh ketua umum kelompok tani dan ketua kelompok tani di setiap desa. Kepala desa dan pemerintah Kecamatan Sukanagara tidak terlibat dalam fungsi pengendalian. Ketua umum kelompok tani melakukan peninjauan langsung ke lokasi pembudidayaan ulat sutera untuk mengetahui pelaksanaan pembudidayaan yang sedang dilakukan yang berkoordinasi dengan ketua kelompok tani. Berdasarkan pengamatan terhadap pelaksanaan fungsi-fungsi manajerial tersebut, dapat dikatakan bahwa dilihat aspek manajerial, usaha pembudidayaan ulat sutera ini layak dijalankan.

Ketua Umum Kelompok Tani

Ketua Ketua Ketua

Kelompok Tani I Kelompok Tani II Kelompok Tani III

Anggota Anggota Anggota

Keterangan: komunikasi informal

6.2.5 Aspek Sumber Daya Manusia

Sebagian besar petani mengetahui secara teknik budidaya tanaman dan peternakan secara umum. Adapun untuk detil yang disesuaikan dengan tanaman murbei dan pemeliharaan ulat, para petani diberikan tambahan pengetahuan melalui penyuluhan dan pelatihan. Penyuluhan maupun pelatihan yang didapat oleh petani sutera berasal dari CV Batu Gede, Politeknik Vedca, Dinas Kehutanan Kabupaten Cianjur, Dinas Koperasi Kabupaten Cianjur, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Cianjur, Dinas Kehutanan Jawa Barat, Dinas Koperasi Jawa Barat, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Barat, Kementrian Kehutanan RI bagian Penelitian dan Pengembangan Persuteraan Alam, dan Kementrian Perindustrian dan Perdagangan RI. Biaya pelatihan dan penyuluhan tidak ditanggung oleh petani sutera sehingga dalam analisis kelayakan finansial tidak diperhitungkan.

Tingkat pendidikan petani sutera berada pada jenjang Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Petani sutera cukup terbuka mengenai informasi- informasi mengenai pembudidayaan ulat sutera. Berdasarkan pengamatan, beberapa petani sutera maupun petani lainnya memiliki mental yang kurang ulet dan cepat putus asa atau cenderung pasrah dengan kondisi yang ada. Hal ini menjadi penghalang majunya persuteraan alam di Kecamatan Sukanagara.

Petani sutera kehilangan pasar kokon pada tahun 2003 dengan tidak beroperasinya lagi PT Indo Jado Sutera Pratama. Hal ini membuat sebagian besar petani mengganti tanaman murbei dengan tanaman hortikultura yang lebih jelas keuntungannya. Namun sebagian petani sutera tetap mempertahankan dan menjalankan usaha ini. Pasar internal baru diperoleh dengan adanya CV Batu Gede yang menggantikan peranan PT Indo Jado Sutera Pratama sebagai pemasok bibit ulat sutera dan pembeli kokon. Berdasarkan aspek sumber daya manusia, usaha budidaya ulat sutera layak dilaksanakan meskipun terdapat beberapa kekurangan.

6.2.6 Aspek Sosial

Sebagian besar masyarakat di Kecamatan Sukanagara berprofesi sebagai petani teh maupun petani hortikultura. Kegiatan budidaya ulat sutera sepenuhnya didukung oleh masyarakat namun dengan memperhatikan limbah ulat sehingga tidak mengganggu kenyamanan masyarakat. Selain itu, pembudidayaan ulat sutera ini tidak mengganggu kehidupan sosial masyarakat dan tidak bertentangan dengan kebudayaan setempat. Usaha ini membuka kesempatan kerja bagi masyarakat sekitar sehingga dapat menambah pendapatan. Berdasarkan aspek sosial, kegiatan usaha ini layak untuk dilakukan.

6.2.7 Aspek Yuridis

Usaha budidaya ulat sutera di Kecamatan Sukanagara dilakukan perseorangan. Usaha ini belum memiliki izin resmi dari pemerintah setempat. Hal ini dikarenakan usaha yang dijalankan masih dalam skala kecil. Meskipun belum memiliki izin resmi, pemerintah setempat memperbolehkan usaha ini karena tidak mengganggu kehidupan masyarakat dan tidak berdampak buruk pada lingkungan sehingga usaha ini layak diusahakan. Kegiatan budidaya ulat sutera ini boleh diusahakan sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan No. 664/Kpts-II/2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Persuteraan Alam, Peraturan bersama Menteri Kehutanan, Menteri Perindustrian dan Menteri Negara Koperasi dan UKM Nomor P.47/Menhut-II/2006, Nomor 29/M-Ind/Per/6/2006, dan Nomor 7/Per/M.KUKM/VI/2006 tentang Pembinaan dan Pengembangan Persuteraan Alam Nasional dengan Pendekatan Klaster, serta Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.35/Menhut-II/2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu.

6.2.8 Aspek Lingkungan Hidup

Berdasarkan observasi, kegiatan budidaya ulat sutera yang dijalankan tidak menghasilkan limbah yang dapat berdampak buruk bagi keseimbangan lingkungan. Lahan murbei dapat ditumpangsarikan dengan tanaman pertanian sehingga potensi lahan dapat dimaksimalkan, keanekaragaman tanaman cukup terjaga, dan menambah pendapatan petani. Selain itu, limbah dari kotoran ulat sutera bisa diolah menjadi pupuk organik yang dapat meningkatkan kandungan

nutrisi tanah dan juga dapat mengurangi biaya pembelian pupuk kandang untuk menyuburkan tanaman murbei.

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai tingkat erosi dan sendimentasi di lahan murbei sehingga diketahui dampak lebih lanjut terhadap lingkungan mengingat sebagian besar lahan murbei berada pada kemiringan landai. Berdasarkan aspek lingkungan, budidaya ulat sutera layak diusahakan karena tidak bertentangan dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup meskipun perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai tingkat erosi dan sendimentasi.

Dokumen terkait