• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek Sosial-Ekonomi dan Degradasi Lingkungan

II. TINJAUAN LITERATUR

2.4. Aspek Sosial-Ekonomi dan Degradasi Lingkungan

2.4.1. Dampak Ketimpangan Pendapatan dan Kemiskinan Terhadap Degradasi Lingkungan

Berdasarkan penjelasan pada sub bab sebelumnya bahwa pertumbuhan ekonomi sebagai penentu degradasi lingkungan sekaligus memberikan peluang untuk memperbaiki kualitas lingkungan. Perbaikan degradasi lingkungan bisa dilakukan seiring dengan naiknya pendapatan hanya akan berlaku jika benar-benar pendapatan naik melebihi kebutuhan primer dan sekunder. Dalam kondisi pendapatan sangat rendah akan sangat sulit untuk mengeluarkan belanja lingkungan yang sifatnya menyangkut kepentingan jangka panjang dan untuk manfaat sosial, karena yang lebih mendesak adalah kebutuhan saat ini dan pribadi. Dalam istilah Andersen (1995) kemiskinan meningkatkan discount rate sehingga

menurunkan insentif untuk konservasi dengan mengurangi net present value

(NPV) benefit yang akan datang. Munasinghe (1993) pun mengungkapkan hal

yang sama bahwa penyebab ekonomi terhadap degradasi lingkungan adalah

pricing dan kemiskinan. Masalah pricing terbagi dalam empat komponen:

eksternalitas, underpricing, tidak adanya pasar untuk jasa lingkungan dan kegagalan kebijakan.

Dampak kemiskinan terhadap degradasi lingkungan semakin nampak dalam kasus pemanfaatan lahan dan sumberdaya hutan. Ketika krisis ekonomi terjadi dimana harga bahan bakar meningkat tajam dan lapangan kerja semakin sulit, berdampak pada luasnya lahan kritis yang mencakup dua aspek. Pertama,

semakin banyak masyarakat yang menjarah kayu untuk dijadikan bahan bakar dan bahka menjualnya ke penampung ilegal. Kedua, semakin banyak masyarakat yang

merambah lahan hutan untuk ditanami sayuran, berarti di kemiringan yang rawan longsor. Hal ini banyak terjadi di daerah Bandung Selatan dan Majalengka.

Dalam kondisi miskin bisa mendorong perlakuan yang lebih eksploitatif terhadap SDA. Studi Grepperud (1997) memperlihatkan bahwa degradasi kesuburan tanah disebabkan oleh perilaku petani yang mana keadaan ekonomi berada pada tingkat subsisten yang minimum. Petani di ekonomi perdesaan negara berkembang memiliki ciri semikomersial, dimana mereka menjual sebagian hasil dan menggunakan bagian lainnya untuk kebutuhan konsumsinya. Petani seperti ini sering meghadapi kekurangan makanan sebagai sebab dari cuaca yang tidak stabil. Defisit anggaran rumah tangga akan terjadi ketika jumlah produksinya turun di bawah kebutuhan minimum (subsisten). Berdasarkan model konsepsional yang ia bangun, yang menggabungkan fungsi produksi petani bersama-sama

dengan tingkat kebutuhan minimum dan unsur stokastik, ia memprediksi bahwa dalam upaya petani subsisten untuk menutupi defisit anggarannya, petani ini akan cenderung menguras kesuburan lahan dibandingkan dengan petani yang tidak subsisten.

Lahan yang berkurang kesuburannya akan berdampak pada rendahnya hasil panen. Artinya, degradasi lahan akan membuat mereka semakin miskin dalam kondisi tidak ada sumber pendapatan lainnya. Studi Holden, et. al (2005) di beberapa wilayah perdesaan dataran tinggi Ethiopia menunjukan hal ini bahwa degradasi lahan dan rendahnya produktivitas pertanian membuahkan kerawanan pangan dan kemiskinan. Demikian halnya sintesa dari Andersen (1995) bahwa degradasi lingkungan dapat meningkatkan kemiskinan karena degradasi lingkungan mengurangi stok natural capital, sehingga meningkatkan kerentanan. Erosi lahan akan menurunkan hasil dan menimbulkan banjir, sedangkan polusi meningkatkan penyakit dan kematian karena pestisida, air yang beracun, dan polusi dalam rumah. Deforestasi dan over eksploitasi air tanah meningkatkan biaya barang kebutuhan pokok seperti kayu bakar dan air minum.

Berdasarkan studi keduanya terbukti bahwa ada hubungan timbal balik pula antara kemiskinan dan degradasi lingkungan. Fakta ini bisa dikaitkan dengan hubungan timbal balik antara pertumbuhan ekonomi dengan degradasi lingkungan. Dari interaksi semuanya, berarti terdapat hubungan timbal balik antara pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan degradasi lingkungan.

Selain kemiskinan, dalam kondisi ketimpangan pendapatan masih ada pelaku lain yakni mereka yang kaya identik dengan memiliki kekuasaan. Informasi di lapangan (hasil interview) mengungkapkan hal ini, bahwa

perambahan hutan terluas dilakukan oleh mereka yang bermodal besar yang memanfaatkan kelemahan hukum dan masyarakat miskin untuk memetik keuntungan sebesar-besarnya. Studi Barros (2002) pun mengamati kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Bahwa kemiskinan di Brazil mempengaruhi permintaan untuk konservasi lingkungan. Konsentrasi pendapatan dan kesulitan dalam akses terhadap pendidikan mempengaruhi tingkat deforestasi di Brazil, minimalnya secara tidak langsung melalui dampaknya terhadap willingness to pay

(WTP) untuk konservasi. Dengan demikian distribusi pendapatan yang lebih

merata, ceteris paribus dapat mengurangi luas lahan kritis.

Eriksson (2002) menunjukan secara matematis bahwa distribusi pendapatan yang lebih merata tergantung pada derajat demokrasi, sehingga dalam kondisi demokrasi lebih sempurna distribusi pendapatan lebih merata akan menghasilkan polusi yang lebih rendah. Boyce (1994) menunjukan hal yang sama bahwa semakin besar ketimpangan kekuasaan dan kekayaan, lingkungan akan semakin terdegradasi.

2.4.2. Dampak Pertumbuhan Penduduk Terhadap Degradasi Lingkungan Pertumbuhan penduduk adalah kunci katalisator dari kemiskinan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan terutama untuk kasus di lahan marjinal. Pertumbuhan penduduk yang tinggi mengakibatkan ukuran lahan pertanian semakin sempit sehingga mendorong masyarakat miskin untuk merambah lahan di pinggir hutan yang rawan erosi sehingga bisa memunculkan lahan-lahan kritis. Bahkan mereka pun terdorong untuk menebang pohon dalam rangka mendapatkan bahan bakar yang melebihi kapasitas reproduksinya (Hayami, 2001; Endersen,

1995).

Dalam beberapa literatur tentang kajian Pertumbuhan Penduduk dan Degradasi Lingkungan, ada kelompok yang bersikap pesimis dan optimis. Kelompok yang pesimis lahir dari ekonom klasik dan ahli ilmu alam. Argumen utama mereka bahwa degradasi lingkungan adalah hasil dari meningkatnya tekanan penduduk terhadap basis SDA dalam rangka memelihara atau meningkatkan standar hidup penduduk (Guinness, 2000). Kelompok pesimis sangat yakin bahwa ada ambang batas untuk ketersediaan SDA, selain itu ekosistem memiliki carrying capacity yang sudah tertentu. Kelompok pesimis pun mengungkapkan temuan empiris yang terkait dengan kelangkaan SDA seperti halnya kekurangan lahan pertanian yang dihadapi oleh banyak negara berkembang. Degradasi lahan dan hilangnya produktivitas lahan mencapai 270 000 km persegi setiap tahunnya. Sementara Engelman (1997) dalam Guinness (2000) mengemukakan kelangkaan air bersih di Mexico City seiring dengan tingginya pertumbuhan penduduk.

Sementara kelompok yang optimis dalam memandang keterkaitan antara pertumbuhan penduduk dengan degradasi lingkungan, mengacu pada teori neoklasik. Ekonom neoklasik fokus pada pasar yang terbuka dan efisien sebagai media untuk mencapai pertumbuhan ekonomi. Basis teori ini bersandarkan pada asumsi bahwa individu berfikir dan berperilaku dengan cara yang rasional secara ekonomi. Mereka berargumen bahwa dalam perekonomian dimana pasar berfungsi secara sempurna, pertumbuhan output dapat dipelihara bahkan mungkin sekali melebihi pertumbuhan penduduk. Terdapat 2 alasan, pertama ekonom

langka. Kedua, ekonom neoklasik percaya bahwa pasar akan beraksi untuk

melindungi kelangkaan SDA. Ketika SDA menjadi lebih langka, produsen akan mencari cara penggunaan SDA lebih efisien lagi untuk mencegah naiknya biaya.

Dengan demikian dalam pandangan ekonom neoklasik degradasi lingkungan menghasilkan tiga kasus. Pertama, merupakan respon jangka pendek

terhadap pertumbuhan penduduk dimana hanya terjadi sampai ketika manusia mampu mensubstitusi atau menemukan cara yang lebih efisien dalam menggunakan SDA yang langka. Kedua, degradasi lingkungan akan terjadi ketika

pasar tidak ada atau tidak bekerja secara efisien, seperti halnya kasus untuk SDA yang berada dalam rejim kepemilikan open access. Ketiga, degradasi lingkungan

terjadi ketika terjadi deplesi SDA untuk kegiatan produksi. Ekonom neoklasik mengakui adanya degradasi lahan yang meluas dimana pasar menawarkan alternatif penggunaan (Guinness, 2000).

Dokumen terkait