LINGKUNGAN DI JAWA BARAT
ATIH ROHAETI DARIAH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul:
DAMPAK PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN TERHADAP DEGRADASI LINGKUNGAN DI JAWA BARAT
Merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukan dengan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Juni 2007
Terhadap Degradasi Lingkungan di Jawa Barat (BUNASOR SANIM sebagai Ketua, HERMANTO SIREGAR dan PARULIAN HUTAGAOL sebagai Anggota Komisi Pembimbing).
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak dari pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan terhadap degradasi lingkungan, mengevaluasi keberadaan dan implementasi kebijakan pengendalian lahan kritis, pencemaran air dan pencemaran udara, menganalisis dampak dari degradasi lingkungan terhadap kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi, melakukan simulasi ramalan kebijakan pembangunan berkelanjutan di Jawa Barat tahun 2007-2010.
Untuk menemukan jawaban dari tujuan penelitian ini, dibangun model makroekonomi lingkungan yang terdiri dari 12 persamaan struktural dan 8 identitas, dilakukan survei untuk mengumpulkan informasi tentang eksistensi hak kepemilikan, persepsi dan sikap pengusaha serta rumahtangga terhadap kebijakan lingkungan.
Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat perbedaan perilaku antara lahan kritis, pencemaran air dan pencemaran udara ketika dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan serta hak kepemilikan. Lahan kritis per kapita lebih ditentukan oleh kemiskinan dan ketimpangan pendapatan karena tekanan jumlah penduduk dan pengangguran. Sedangkan pencemaran air dan udara lebih ditentukan oleh pertumbuhan ekonomi yang sejalan dengan proses industrialisasi di Jawa Barat. Dalam kasus lahan kritis milik masyarakat hak kepemilikan terdefinisikan dengan baik, hanya di lahan kritis milik pemerintah tidak terpenuhi karakteristik enforceability. Sedangkan air dan udara bersifat open
access yang menimbulkan peluang besar terjadinya over eksploitasi. Efektivitas
kebijakan penanganan lahan kritis sangat tergantung pada perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat. Sementara regulasi aturan baku mutu limbah cair dan emisi (CAC) cenderung tidak ditaati karena unit pengolah limbah menaikan biaya produksi, limbah terserap air, tidak ada sanksi, dan tidak ada peluang kerjasama mengatasi pencemaran. Berdasarkan simulasi historis terbukti bahwa meningkatnya degradasi lingkungan telah menurunkan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kemiskinan. Luas lahan kritis per kapita memberikan dampak buruk yang lebih besar terhadap perekonomian dibandingkan dengan pencemaran air dan udara. Berdasarkan simulasi ramalan 2007-2010 diperoleh kebijakan pembangunan berkelanjutan yakni pola pertumbuhan ekonomi yang bias pada sektor jasa, diikuti dengan kebijakan perbaikan distribusi pendapatan, penurunan laju pertumbuhan penduduk dan peningkatan kepedulian lingkungan
Environmental Degradation in West Java Province (BUNASOR SANIM as chairman, HERMANTO SIREGAR and PARULIAN HUTAGAOL as members of the advisory committee)
The purpose of research is to analyze impact of economic growth and poverty on environmental degradation, evaluate existence and implementation of environmental policies of critical land, water and air pollution, analyze impact of environmental degradation on sustainable development achievement, simulate of sustainable development policies for West Java Propince in 2007-2010.
This rersearch would be approached by econometric model consist of twenty equations with simulation technique. In addition, field survey to elaborate perception and attitude to environment of related firm and household. Model incorporated economic growth, poverty, environmental awarness and policies.
The results indicated that there are different behaviour among critical land, water and air pollution in which relationship with economic growth, poverty and property rights. Private critical land more responsive to inequality income and poverty due to the high of population growth and unemployment. In the other hand water and air pollution more responsive to economic growth as well as industrialization process. There is well defined property rights in critical private land case, only in critical state land less enforceability. But, is not well defined property rights in air and water. Effectiveness rehabilitation of land critical policies depend on social welfare. While regulation of liquid waste and emission standard tend did not obey because of increased cost of waste treatment, assimilation capacity, no sancsion, no opportunities to reduce air dan water pollution together. Based on historical simulation proved that increased of environmental degradation had decreased economic growth and increased poverty. Critical land per capita had bigger bad effect to economy than air and water pollution. Based on forcast simulation indicate that sustainable development policies are services bias economic growth pattern, equalization of income distribution, decrease of population growth and increase awareness of environmental.
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa ijin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, hak cetak, foto
LINGKUNGAN DI JAWA BARAT
ATIH ROHAETI DARIAH
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Nama Mahasiswa : Atih Rohaeti Dariah Nomor Pokok : A 546014011
Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, MSc. Ketua
Dr. Ir. Hermanto Siregar, MEc. Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS. Anggota Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.
Penulis dilahirkan pada tanggal 2 Maret 1968 di Sumedang, putri ketiga dari tiga bersaudara dari Bapa H. Ase Suhana dan Ibu Hj. Usih Sukaesih. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Cibeureum I Sumedang pada tahun 1981, pada tahun 1984 menamatkan pendidikan menengah pertama di SMPN Legok Sumedang, pada tahun 1987 menamatkan pendidikan menengah atas di SMAN I Sumedang. Pada tahun 1992 menyelesaikan pendidikan sarjana sebagai sarjana ekonomi pada Program Studi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran Bandung dengan judul skripsi ‘Analisis Tingkat Persaingan Antar Developer Dalam Industri Perumahan di Indonesia’.
Pada tahun 1993 diterima sebagai dosen tetap di Program Studi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Universitas Islam Bandung. Pada tahun 1999 memperoleh gelar Magister Sain pada Program Pascasarjana Bidang Kajian Utama Ilmu Ekonomi dan Akuntasi Universitas Padjadjaran Bandung dengan judul tesis ‘Pengaruh Ekolabeling Terhadap Ekspor Kayu Lapis Indonesia Di Pasar Internasional’. Pada tahun 2002 penulis melanjutkan pada program S3 di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Selain mengajar penulis aktif melakukan penelitian tentang perekonomian Jawa Barat dengan Bank Indonesia Bandung dan BAPEDA Propinsi Jawa Barat.
limpahan rahmat, hidayah dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Disertasi ini dibuat sebagai syarat bagi penyelesaian studi Program Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Disertasi ini berjudul Dampak Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan Terhadap Degradasi Lingkungan di Jawa Barat, yang membahas degradasi lingkungan dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, kebijakan dan kepedulian lingkungan. Melalui hasil estimasi dari model makroekonomi lingkungan yang sudah dibangun dan temuan hasil survei maka dapat digambarkan bagaimana hubungan satu sama lain diantara variabel tersebut, bagaimana kinerja pertumbuhan ekonomi dan implementasi kebijakan selama ini, sehingga dengan mensintesi seluruh temuan tersebut dicoba dikembangkan kebijakan pembangunan berkelanjutan. Kebijakan yang diungkapkan masih bersifat grand policies, sehingga penulis menyarankan penelitian berikutnya untuk menurunkan kebijakan pada tataran yang lebih detil.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada keluarga yakni orang tua, suami dan anak yang telah mendukung penuh penulis untuk mengikuti studi doktor. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada:
perluasan analisa.
3. Dr. Ir. Parulian Hutagaol, MS. selaku anggota komisi pembimbing yang dengan penuh perhatian mengarahkan dalam menstruktur isu, mensintesa temuan baik hasil estimasi maupun hasil survei sehingga tampak esensinya.
4. Rektor, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk menempuh jenjang Program Doktor di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian.
5. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA yang telah memberikan kesempatan untuk diskusi mempertajam model dalam penelitian ini dan juga sebagai ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian yang banyak memberikan motivasi selama menjalani jenjang Program Doktor di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian.
6. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, MSc selaku penguji luar komisi pada saat ujian tertutup yang telah memberikan masukan yang konstruktif.
7. Prof. Dr. Armida Alisjahbana, SE., MA dan Dr. Ir. Agus Rahmat, MT selaku penguji luar komisi pada saat ujian terbuka yang telah memberikan masukan untuk mempertajam arah dan isi penelitian ini.
yang positif sebagai akademisi.
10.Staf administrasi Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian dan Sekolah Pascasarjana IPB yang telah membantu kelancaran administrasi selama kuliah. 11.Rekan-rekan Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian terutama Mba Poer yang selalu memberikan semangat, Yuhka dan Pa Rasidin yang banyak membantu penyempurnaan disertasi.
12.Eka dan Andi yang telah membantu survei lapangan kepada beberapa perusahaan dan rumahtangga.
13.BPLHD dan BAPEDA Jawa Barat, Bank Indonesia Bandung yang banyak memberi kesempatan untuk diskusi dan memberikan informasi yang terkait dengan disertasi ini.
14.Karyawan SOS Kinderdorf Lembang terutama Mas Kardi yang sejak awal penulis kuliah di IPB sampai selesainya dengan sabar sering mengantar ke Bogor.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih ada beberapa kekurangan yang akan ditemui oleh pembaca. Harapan penulis disertasi ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca, dan atas kritikan yang membangun penulis ucapkan terimakasih.
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 6
1.3. Tujuan Penelitian ... 10
1.4. Manfaat Penelitian ... 10
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 11
II. TINJAUAN LITERATUR ... 14
2.1. Pengertian dan Pengukuran Degradasi Lingkungan ... 14
2.1.1. Proksi Untuk Kualitas Udara ... 16
2.1.2. Proksi Untuk Kualitas Air ... 18
2.1.3. Lahan Kritis ... 20
2.2. Model Pezzey ... 22
2.3. Teori Environmental Kuznet Curve ... 25
2.4. Aspek Sosial-Ekonomi dan Degradasi Lingkungan ... 27
2.4.1. Dampak Ketimpangan Pendapatan dan Kemiskinan Terhadap Degradasi Lingkungan ... 27
2.4.2. Dampak Pertumbuhan Penduduk Terhadap Degradasi Lingkungan ... 30
2.5. Degradasi Lingkungan: Wujud Kegagalan Pasar ... 32
2.8. Posisi Penelitian Diantara Penelitian Sebelumnya ... 46
III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 51
3.1. Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi dan Degradasi Lingkungan ... 51
3.2. Degradasi Lingkungan: Aspek Kelembagaan ... 55
3.3. Etika Lingkungan ... 58
IV. METODE PENELITIAN ... 63
4.1. Model Makroekonomi Lingkungan ... 64
4.1.1. Identifikasi dan Pendugaan Model ... 74
4.1.2. Simulasi Kebijakan ... 77
4.2. Metode Survei: Hak Kepemilikan dan Respon Masyarakat Terhadap Kebijakan Lingkungan... 78
4.2.1. Kasus Lahan Kritis ... 78
4.2.2. Kasus Pencemaran Air dan Udara ... 79
4.2.3 Penentuan Sampel ... 80
V. HASIL ESTIMASI DAN VALIDASI MODEL ... 82
5.1. Hasil Estimasi Model Makroekonomi-Lingkungan Jawa Barat ... 82
5.2. Hasil Validasi Model ... 106
6.1. Pengaruh Kenaikan PDRB ... 111
6.2. Pengaruh Kenaikan Tingkat Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan ... 115
6.3. Pengaruh Kenaikan Pertumbuhan Penduduk ... 120
6.4. Substansi Hasil Simulasi Historis ... 121
VII. RESPON PELAKU EKONOMI TERHADAP KEBIJAKAN LINGKUNGAN ... 124
7.1. Kasus Lahan Kritis ... 124
7.1.1. Lahan Kritis Milik Masyarakat ... 124
7.1.2. Lahan Kritis Milik Negara ... 129
7.1.3. Keberadaan Kebijakan dan Pelaksanaan Penanganan Lahan Kritis di Dalam dan Luar Kawasan ... 130
7.2. .. Kasus Pencemaran Air ... 144
7.2.1. Pencemaran Air: Realita Open Access ... 144
7.2.2. Keberadaan dan Implementasi Kebijakan Pengendalian Pencemaran Air ... 146
7.3. Kasus Pencemaran Udara ... 158
7.3.1. Pencemaran Udara: Eksternalitas Publik ... 158
7.3.2. Keberadaan dan Implementasi Kebijakan Pengendalian Pencemaran Udara ... 160
VIII. SIMULASI HISTORIS DAMPAK DEGRADASI LINGKUNGAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN ... 163
8.1. Pengaruh Kenaikan TDSp dan BODp... 164
8.2. Pengaruh Kenaikan CO dan CO2p ... 166
9.1. Skenario Kebijakan Peningkatan Kredit Perbankan ... 173
9.2. Skenario Kebijakan Kredit Perbankan dan Penurunan Ketimpangan Pendapatan ... 178
9.3. Skenario Kebijakan Kredit Perbankan, Penurunan Ketimpangan Pendapatan dan Penurunan Laju Pertumbuhan Penduduk ... 181
9.4. Skenario Kebijakan Kredit Perbankan, Penurunan Ketimpangan Pendapatan, Penurunan Laju Pertumbuhan Penduduk dan Peningkatan Kepedulian Lingkungan ... 183
X. ALTERNATIF KEBIJAKAN LINGKUNGAN ... 187
10.1. Kebijakan Pengendalian Luas Lahan Kritis ... 188
10.2. Kebijakan Pengendalian Pencemaran Air ... 191
10.3. Kebijakan Pengendalian Pencemaran Udara ... 199
XI. SIMPULAN DAN SARAN ... 207
11.1. Simpulan ... 207
11.2. Implikasi Kebijakan ... 208
DAFTAR PUSTAKA ... 211
DAFTAR BACAAN... 217
1. Ragam Kebijakan Pengendalian Pencemaran Air... 39
2. Ragam Kebijakan Pengendalian Pencemaran Udara ... 41
3. Ragam Kebijakan Pengendalian Lahan Kritis ... 42
4. Posisi Penelitian Diantara Penelitian Sebelumnya ... 48
5. Distribusi Sampel Obyek Penelitian ... 81
6. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Output Sektor Pertanian (AGRO) ... 82
7. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Output Sektor Industri Pengolahan ... 83
8. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Output Sektor Jasa ... 85
9. Distribusi Output dan Tenaga Kerja Per Sektor Ekonomi di Jawa Barat Periode 1973-2005 ... 87
10. Distribusi Pendapatan Diantara Kelompok Rumah Tangga di Jawa Barat Tahun 1999 dan 2002 (Juta rupiah) ... 88
11. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Gini Ratio ... 89
12. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Tingkat Kemiskinan .... 90
13. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Lahan Kritis Per Kapita ... 92
14. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Output Sektor Pertambangan dan Penggalian ... 95
15. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Sektor Bangunan ... 95
16. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan TDSp ... 96
17. Daftar Kawasan Industri di Jawa Barat Tahun 2002 ... 98
18. Jumlah dan Jenis Industri Dominan di Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2002 ... 99
19. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan BODp ... 101
23. Nilai Rata-rata dan Standar Deviasi dari Data Aktual dan
Prediksi ... 108 24. Simulasi Historis Dampak Kenaikan PDRB 1%, 2% dan 3%
Terhadap Makroekonomi- Lingkungan Jawa Barat ... 112 25. Simulasi Historis Dampak Kenaikan PDRB 1% Terhadap
Makroekonomi-Lingkungan Jawa Barat Jika Kemiskinan dan
Ketimpangan Pendapatan Tetap ... 114 26. Simulasi Historis Dampak Kenaikan Kemiskinan 0.5% dan
Ketimpangan Pendapatan 0.02 Terhadap
Makroekonomi-Lingkungan Jawa Barat ... 116 27. Simulasi Historis Dampak Kenaikan Kemiskinan 0.5% dan
Ketimpangan Pendapatan 0.02 Terhadap
Makroekonomi-Lingkungan Jawa Barat Jika PDRB Tetap ... 118 28. Simulasi Historis Dampak Kenaikan Pertumbuhan Penduduk
0.15% Terhadap Makroekonomi-Lingkungan Jawa Barat ... 121 29. Perbedaan Substansi UU Pengelolaan LH Antara No 4 Tahun
1982 Dengan No 23 Tahun 1997 ... 134 30. Distribusi Sampel Survei Persepsi dan Sikap Pengusaha dan
Rumahtangga Terhadap Eksistensi Sungai dan Kebijakan
Pengendalian Pencemaran Air di Jawa Barat ... 148 31. Tingkat Responsif Pengusaha dan Rumahtangga Terhadap
Kebijakan Pengendalian Pencemaran Air di Jawa Barat ... 150 32. Tingkat Responsif Industri Terhadap Kebijakan Pengendalian
Pencemaran Udara di Jawa Barat ... 161 33. Simulasi Historis Dampak Kenaikan TDSp 2%, BODp 1% dan
BODp 2%, TDSp 4% Terhadap Makroekonomi-Lingkungan Jawa Barat ... 165 34. Simulasi Historis Dampak Kenaikan CO 2%, CO2p 1% dan
CO 4%, CO2p 2% Terhadap Makroekonomi-Lingkungan
Jawa Barat ... 167 35. Simulasi Historis Dampak Kenaikan LKp 1%, 2%, 3%
37. Simulasi Ramalan Dampak Kebijakan Peningkatan Kredit Perbankan dan Penurunan Ketimpangan Pendapatan Terhadap
Makroekonomi-Lingkungan Jawa Barat ... 180 38. Simulasi Ramalan Dampak Peningkatan Kebijakan Kredit
Perbankan, Penurunan Ketimpangan Pendapatan dan Penurunan Laju Laju Pertumbuhan Penduduk Terhadap
Makroekonomi-Lingkungan Jawa Barat ... 182 39. Simulasi Ramalan Dampak Kebijakan Pembangunan
Berkelanjutan Terhadap Makroekonomi-Lingkungan Jawa
Nomor Halaman
1. Data yang Digunakan Dalam Penelitian ……….………….221
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air ...229
3. Peraturan Pemerintah Indonesia No 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara ...253
4. Kuesioner Untuk Pemilik Lahan... 278
5. Kuesioner Untuk Pejabat yang Terkait Dengan Lahan Kritis ... 280
6. Kuesioner untuk Perusahaan yang Menghasilkan Limbah Cair ...283
7. Kuesioner untuk Perusahaan yang Menghasilkan Limbah Gas ...287
8. Kuesioner untuk Rumahtangga ...291
9. Program dan Hasil Simulasi Dasar PDRB Eksogen ...295
10. Program dan Hasil Simulasi Historis Dampak Kenaikan PDRB 1%...301
1.1. Latar Belakang
Dilihat dari distribusi outputnya, sejak tahun 1993 struktur perekonomian Jawa Barat telah mengalami pergeseran dari dominasi sektor pertanian ke dominasi sektor industri pengolahan. Pada tahun 1993 peranan sektor pertanian terhadap PDRB tercatat sebesar 20.51 persen turun menjadi 12.85 persen pada tahun 2005. Sebaliknya peranan sektor industri pengolahan terhadap PDRB mengalami perkembangan yang cukup pesat dari 22.81 persen tahun 1993 menjadi 41.18 persen tahun 2005 (BPS Jawa Barat). Selama krisis ekonomi pun persentase kontribusi ini relatif tetap. Perkembangan sektor industri pengolahan diikuti oleh semakin berkembangnya sektor tersier, khususnya di bidang perdagangan dan jasa-jasa. Berdasarkan proporsi sektor industri pengolahan yang di atas 30 persen, maka menurut klasifiaksi United Nation Industrial Development Organization (UNIDO), Provinsi Jawa Barat termasuk wilayah industri (Bapeda Jabar, 2002). Perubahan struktural pada hakikatnya menunjukan bahwa selama pertumbuhan ekonomi berlangsung terjadi perbedaan dalam laju pertumbuhan produksi dari setiap sektor. Dengan demikian pertumbuhan sektor industri pengolahan di Jawa Barat lebih tinggi dari sektor pertanian.
ketika terjadi krisis ekonomi tahun 1998 (BPS Jawa Barat). Selama periode pemulihan peningkatan PDRB per kapita riil Jawa Barat relatif rendah dibandingkan periode sebelumnya karena pertumbuhan ekonomi melambat sementara laju pertumbuhan penduduk relatif tetap.
Perubahan distribusi output ekonomi Jawa Barat ternyata tidak diikuti oleh perubahan struktur tenaga kerjanya secara proporsional. Terdapat kecenderungan proporsi tenaga kerja yang terserap di sektor pertanian semakin menurun, namun penurunannya relatif lambat. Dampak krisis ekonomi justru meningkatkan proporsi tenaga kerja yang terserap di sektor pertanian dan menurunkan proporsi tenaga kerja yang terserap di sektor industri pengolahan dan jasa. Data terakhir tahun 2005 proporsi tenaga kerja yang terserap di sektor pertanian sebesar 31.23 persen, di sektor industri pengolahan 17.89 persen dan sisanya tersebar di sektor-sektor ekonomi lainnya. Sedangkan pangsa output sektor pertanian terhadap PDRB hanya 12.85 persen, sementara pangsa output sektor industri pengolahan sudah 41.18 persen (BPS Jawa Barat).
Ketimpangan antara dominasi output dan tenaga kerja secara eksplisit memperlihatkan perbedaan produktivitas yang mencolok diantara dua sektor ekonomi ini. Menurut Hayami (2001), perbedaan produktivitas tersebut selanjutnya akan berdampak pada perbedaan pendapatan kelompok masyarakat pertanian dengan masyarakat industri yang menjadi sumber terjadinya ketimpangan pendapatan dan kemiskinan.
terakhir tahun 2005 angka GR sebesar 0.34 dan persentase penduduk miskin mencapai 28.29 persen ketika ekonomi hanya tumbuh 5.31 persen sementara jumlah penduduk sudah mencapai 39.96 juta jiwa (BPS Jawa Barat).
masalah sampah dan pencemaran baik pencemaran air, udara maupun tanah yang penyebarannya sudah cukup meluas.
Semua sungai di Jawa Barat dan wilayah-wilayah perkotaan Bogor, Depok, Bekasi, Bandung dan Cirebon tidak cocok untuk pemakaian langsung. Kebanyakan kontaminasi sungai tersebut berasal dari limbah domestik yang langsung masuk ke sungai (BPLHD, 2003). Dari 146 lokasi pengukuran di anak-anak Sungai Citarum hanya terdapat 2 titik sampling (1.4 persen) yang memenuhi baku mutu B:C:D, sedangkan 144 lainnya (98.6 persen) tidak memenuhi baku mutu air B:C:D (peruntukan untuk air baku air minum, perikanan dan peternakan, pertanian dan lain-lain) sebagaimana Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 39/2000. Adapun kedua titik sampling yang memenuhi baku mutu B:C:D adalah masing-masing satu terletak di Sungai Cibuniherang yakni ruas Gunung Wayang-Jembatan Majalaya dan di Sungai Cisaranten Hulu (Wangsaatmadja, 2003).
Beberapa parameter yang tidak memenuhi persyaratan baku mutu B:C:D dari ketiga pembagian ruas sungai adalah Chemical Oxigen Demand (COD),
Biological Oxigen Demand (BOD), Dissolved Oxigen (DO), koliform tinja, total
koliform, minyak dan lemak, nitrit, nitrat, amoniak bebas, fenol, timbal, mangan, boron, flourida, presentase natrium, pH, zat padat terlarut, seng.
Demikian halnya dengan pencemaran udara semakin memprihatinkan. BPLHD Jabar telah mencatat nilai tertinggi harian Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) setiap bulan antara tahun 2000 hingga tahun 2003 di Kota Bandung. Data-data menunjukan parameter kritis pada saat itu adalah PM10 dan ozon.
mempunyai kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2003 di Kota Bandung hanya terdapat 55 hari yang tergolong sehat (BPLHD Jabar, 2004).
Kerusakan lingkungan yang dicerminkan oleh lahan kritis, pencemaran air, dan pencemaran udara menyangkut kemampuan daya dukung lingkungan untuk menyangga aktivitas manusia. Meluasnya lahan kritis telah menimbulkan dampak negatif berupa banjir ketika musim hujan dan kekeringan ketika musim kemarau karena hilangnya fungsi lahan sebagai tataguna air.
Valuasi ekonomi yang dilakukan oleh BPLHD Jabar menunjukan bahwa kerugian ekonomi akibat tidak cukupnya pasokan air bersih untuk rumahtangga mencapai 331.267 milyar rupiah, untuk industri 55.01 milyar rupiah, untuk pemerintah 7.6 milyar rupiah. Turunnya produksi pertanian karena kekeringan sebesar 180.01 milyar rupiah, sedangkan luas tanaman yang rusak karena banjir dan kekeringan mencapai 480 milyar rupiah (BPLHD Jabar, 2004).
Demikian halnya dampak dari air sungai yang tercemar, tidak hanya pada kesehatan masyarakat yang langsung bersentuhan dengan sungai namun juga terhadap tanaman padi dan perikanan. Kondisi penyakit akibat bawaan air di Cekungan Bandung: diare, penyakit yang terjadi di lokasi hulu-hilir di sungai Citarum (Wangsaatmadja, 2003). Berkurangnya hasil panen padi di area persawahan di Bandung Selatan karena tercemarnya air sungai yang mengairi persawahan oleh limbah industri dan kegagalan panen ikan di Cirata, Karawang dan Subang (BI Bandung, 2005).
di dalam darah anak-anak sekolah dasar yang terletak di pusat Kota Bandung telah mengandung timbal yang sangat membahayakan untuk perkembangan ke depannya (Lestari, 2004).
Degradasi lingkungan baik lahan kritis, pencemaran air maupun pencemaran udara yang dapat mengancam keberlanjutan pembangunan tidak mungkin dibiarkan. Artinya, perlu dicari jalan keluar atau solusi untuk mengatasi lahan kritis dan mencegah tingkat pencemaran air dan pencemaran udara yang lebih parah. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mencermati faktor-faktor penyebab degradasi lingkungan yang dihadapi Jawa Barat dan mendapatkan solusi pemecahannya agar Jawa Barat dapat mencapai pembangunan berkelanjutan.
1.2. Perumusan Masalah
Kebijakan industrialisasi nasional pada pertengahan tahun 1980 an telah menempatkan Jawa Barat sebagai tujuan utama investasi asing maupun domestik, sehingga Jabar telah menjadi wilayah industri sejak tahun 1993, lebih cepat dari nasional. Pangsa sektor industri pengolahan pada tahun 2005 sudah mencapai 41 persen, bandingkan dengan nasional yang masih 28 persen (BPS Jawa Barat).
Namun selanjutnya Teori EKC memprediksikan bahwa setelah mencapai titik tertentu, setiap kenaikan pertumbuhan ekonomi dimana perekonomian sudah bergeser didominasi sektor jasa justru dapat menurunkan degradasi lingkungan. Semakin tinggi pendapatan masyarakat, permintaan terhadap lingkungan yang berkualitas semakin besar, sehingga akan terjadi titik balik pada tingkat pendapatan tertentu dari hubungan yang searah menjadi tidak searah.
Dari sekian hasil studi empiris menunjukan titik balik terjadi pada angka pendapatan per kapita riil berkisar antara $1 200 - $16 000. Dengan interval yang begitu besar berarti titik balik tersebut tidak bersifat unik atau tidak pasti pada tingkat pendapatan berapa titik balik terjadi. Hal ini terkait erat dengan tipe degradasi lingkungan yang dikaji apakah deforestasi, lahan kritis, indikator pencemaran air atau pencemaran udara.
Lahan kritis, pencemaran air, pencemaran udara secara fisik memiliki karakteristik kerusakan yang berbeda karena menyangkut obyek yang berbeda yakni lahan, air yang mengalir dan udara yang bergerak. Oleh karena itu diduga terdapat perbedaan perilaku diantara ketiganya ketika dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi.
masalah lahan kritis, pencemaran air, pencemaran udara terkait pula dengan ragam hak kepemilikan.
Pada tahun 1998 perekonomian Jawa Barat menghadapi krisis ekonomi sehingga terjadi resesi yang meningkatkan pengangguran dan kemiskinan. Dengan demikian harapan pendapatan yang semakin meningkat untuk memperbaiki kualitas lingkungan menjadi tidak terealisir. Artinya, muncul masalah kemiskinan yang menghambat pencapaian titik balik. Teori EKC tidak mengakomodir kejadian seperti yang dialami oleh Jawa Barat karena prediksi pertumbuhan ekonomi dalam perspektif Teori EKC meningkat terus.
Mengingat antara lahan kritis, pencemaran air, pencemaran udara memiliki karakteristik yang berbeda, perlu diverifikasi pula apakah masalah ketiga indikator degradasi lingkungan tersebut terkait dengan kemiskinan.
Teori EKC pun tidak mampu mengelaborasi mengapa titik balik bisa terjadi untuk kasus negara tertentu dan tipe kerusakan lingkungan tertentu. Kelemahan ini mendorong munculnya pemikiran tentang peran kebijakan lingkungan yang menentukan besarnya titik balik (Anderson, 2001).
Pengendalian degradasi lingkungan mutlak harus dilakukan karena menurunnya daya dukung lingkungan akan menghambat pencapaian pembangunan berkelanjutan. Pemerintah baik pusat maupun daerah sudah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mengendalikan lahan kritis, pencemaran udara dan pencemaran air. Kebijakan-kebijakan tersebut lebih bias pada tipe
Command and Control (CAC) yakni kontrol dan awasi. Hal ini menarik pula
permasalahan yang terjadi di kasus lahan kritis, pencemaran air, dan pencemaran udara.
Dalam proses pemulihan ekonomi, upaya mengendalikan degradasi lingkungan menjadi kompleks karena pada saat yang bersamaan pemerintah dihadapkan pada masalah kemiskinan yang tinggi. Artinya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi sangat dibutuhkan untuk menurunkan kemiskinan. Sementara pertumbuhan ekonomi diduga masih memperburuk kualitas lingkungan. Oleh karena itu menarik untuk dikaji pola pertumbuhan ekonomi yang bagaimana dan kebijakan lingkungan seperti apa yang mendukungnya agar Jawa Barat dapat mencapai pembangunan yang berkelanjutan.
Berdasarkan pemaparan di atas berarti perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah pertumbuhan ekonomi meningkatkan atau menurunkan lahan kritis, pencemaran air dan pencemaran udara?
2. Apakah kemiskinan turut memperburuk lahan kritis, kualitas air dan kualitas udara?
3. Apakah masalah lahan kritis, pencemaran air, pencemaran udara terkait pula dengan masalah hak kepemilikan?
4. Bagaimanakah peran kebijakan pengendalian lahan kritis, pencemaran air dan pencemaran udara selama ini?
5. Bagaimanakah dampak lahan kritis, pencemaran air dan pencemaran udara terhadap pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan?
1.3. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Menganalisis dampak pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan terhadap lahan kritis, pencemaran air dan pencemaran udara.
2. Menganalisis masalah hak kepemilikan yang terkait dengan lahan kritis, pencemaran air dan pencemaran udara.
3. Mengevaluasi keberadaan dan implementasi kebijakan yang terkait dengan pengendalian lahan kritis, pencemaran air dan pencemaran udara.
4. Menganalisis dampak lahan kritis, pencemaran air dan pencemaran udara terhadap pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan.
5. Melakukan simulasi ramalan untuk memilih kebijakan pembangunan berkelanjutan.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilakukan ini diharapkan akan memberikan manfaat bagi: 1. Pemerintah daerah provinsi Jawa Barat sebagai masukan untuk
penyempurnaan kebijakan pembangunan dalam dimensi ekonomi dan lingkungan.
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Untuk kepentingan membangun model dan menganalisis hubungan timbal balik antara pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan degradasi lingkungan di Jawa Barat, penelitian ini menggunakan data time series tahun 1974 sampai tahun 2004. Hubungan timbal balik diantara ketiganya akan dibuktikan melalui simulasi historis. Sedangkan dalam rangka mengevaluasi keberadaan dan implementasi kebijakan pengendalian lahan kritis, pencemaran air dan pencemaran udara di Jawa Barat digunakan data cross section yakni informasi hasil survey ke 130 responden. Perpaduan analisa antara hasil simulasi historis tentang hubungan timbal balik antara pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan degradasi lingkungan dengan hasil evaluasi keberadaan dan implementasi kebijakan lingkungan akan menjadi landasan mengembangkan kebijakan pembangunan berkelanjutan ke depannya.
Mengingat masalah degradasi lingkungan sangat kompleks baik indikatornya, faktor-faktor penyebab maupun dampaknya maka dalam penelitian akan dibatasi dalam hal-hal berikut:
1. Indikator degradasi lingkungan akan dibatasi pada lahan kritis, polusi udara, dan polusi air. Untuk lahan kritis ukurannya jelas, yakni luas lahan yang memenuhi kriteria lahan kritis. Sementara untuk polusi udara menyangkut beberapa proksi variabel seperti Carbon Monoksida (CO), Carbon Dioksida (CO2), Natrium Oxida (NOx), Sulfur Oxida (SOx), Timbal (Pb), Partikulat,
Selama ini BPS Pusat mengeluarkan estimasi data CO dengan pendekatan jumlah kendaraan, dimana diperoleh rata-rata rasio jumlah CO terhadap jumlah kendaraan sebesar 0.686, artinya 1 kendaraan menghasilkan 0.686 ton CO. Sementara untuk data CO2 diestimasi secara proporsional dari pertumbuhan output sektor industri manufaktur, jasa dan pertambangan yang mengacu pada analisa tabel I-O lingkungan Jawa Barat tahun 1995. Sementara untuk pencemaran air, proksi variabel yang digunakan umumnya adalah BOD, COD, TDS, dan SS. Dengan pertimbangan yang sama, yang dipilih adalah TDS dan BOD. Data BOD diestimasi secara proporsional dari pertumbuhan output sektor pertanian dan industri manufaktur yang mengacu pada analisa tabel I-O lingkungan Jawa Barat tahun 1995. Sedangkan data TDS hasil penelitian Teknik Lingkungan ITB terbatas untuk beberapa tahun saja, maka untuk mengisi tahun-tahun lainnya diestimasi secara proporsional dari pertumbuhan output sektor industri manufaktur dan jumlah penduduk. Data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1.
pada variabel pertumbuhan ekonomi, perkembangan output sektor primer dan sekunder, kemiskinan, tingkat pendidikan yang memproksi kesadaran lingkungan, dan kebijakan lingkungan. Aspek fisik tidak akan dibahas mengingat diluar disiplin ilmu ekonomi.
3. Penelitian terfokus pada keterkaitan antara kemiskinan dan degradasi lingkungan maka variabel-variabel tenaga kerja dan kredit perbankan yang merupakan input cukup diperlakukan sebagai variabel eksogen. Demikian halnya pertumbuhan penduduk yang secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi degradasi lingkungan diperlakukan sebagai variabel eksogen pula.
2.1. Pengertian dan Pengukuran Degradasi Lingkungan
Lingkungan merupakan media hubungan timbal balik antara manusia
dengan faktor-faktor alam. Lingkungan hidup terdiri dari berbagai proses ekologi
dan merupakan suatu kesatuan. Proses ini merupakan berbagai siklus yang saling
terangkai dan mendukung satu dengan yang lain menjadi siklus kehidupan.
Dengan demikian lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda,
daya, keadaan dan makhluk hidup termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya
yang mempengaruhi kelangsungan peri kehidupan dan kesejahteraan manusia
serta makhluk hidup lainnya.
Dari beberapa definisi tentang degradasi lingkungan dapat ditemukan kata
kuncinya, yakni: kerusakan biosfir keseluruhan, berkurangnya daya dukung
lingkungan, menurunnya kapasitas regenerasi ekosistem, menurunnya kualitas
atau jasa lingkungan. Berdasarkan definisi tersebut degradasi lingkungan
mencakup deforestasi, degradasi lahan, kekurangan dan pencemaran air,
pencemaran udara, kehilangan keanekaragaman hayati (World Bank, 1992;
Santoso, 2005). Namun menurut Duraiappah (1996) mendefinisikan degradasi
lingkungan sangat sulit. Pengukuran degradasi lingkungan sangat bersifat
subjektif, artinya siapa pelaku yang terkait atau siapa yang memiliki sumberdaya
alam (SDA). Perbedaan ekosistem sama halnya dengan perbedaan nilai yang
diberikan oleh masyarakat terhadap SDA-lingkungan, sehingga membuat definisi
degradasi lingkungan sulit dan kompleks. Solusinya adalah menggunakan
Kualitas lingkungan adalah suatu istilah yang digunakan yang lebih
mengacu pada keberadaan lingkungan alami yang menyangkut pendugaan dari
kualitas ambient dan juga aspek keindahan lingkungan. Kualitas ambient
merupakan jumlah polutan dalam lingkungan, misalnya konsentrasi SO2, NOx,
CO, CO2 di udara, BOD, COD, SS dan TDS di air. Sedangkan yang dimaksud
dengan polutan adalah bentuk energi atau kegiatan yang diintroduksikan ke alam
yang akan merendahkan kualitas ambient (Field, 1994). Pendugaan terhadap
kualitas ambien merupakan metoda langsung untuk menunjukkan kualitas
lingkungan di suatu wilayah.
Selain pengukuran langsung, terdapat pula pengukuran tidak langsung
seperti keberadaan jumlah spesies sebagai fungsi dari klasifikasi dan belanja riset
margasatwa bisa menggambarkan degradasi habitat. Ukuran lainnya menyangkut
kinerja pemerintahan atau institusi nasional dalam komitmennya terhadap upaya
pencapaian target lingkungan (Grafton, 2003).
Cara lain pengukuran tidak langsung melalui pendekatan input dan output.
Pendekatan input menyangkut tingkat pemakaian untuk sumberdaya alam tertentu
yang berdampak langsung pada kualitas lingkungan, misalnya tingkat konsumsi
energi per kapita. Sementara pendekatan output mencoba menghitung berapa
jumlah limbah untuk setiap ton output.
Dalam rangka memperoleh suatu gambaran yang nyata tentang
karakteristik suatu daerah yang diduga tercemar, dibutuhkan pengukuran
sifat-sifat air, udara dan tanah yang beraneka ragam dengan cara melakukan analisis
kualitas yang terdiri dari pemeriksaan fisik, kimiawi dan biologi. Menurut Nordell
untuk mengetahui lingkungan yang tercemar biasanya terdiri dari beberapa
parameter berikut: suhu, rasa dan bau, warna, kekeruhan.
Selain pemeriksaan fisik, tingkat pencemaran dapat diketahui dari
pemeriksaan kimiawi. Pemeriksaan kimiawi cenderung lebih khusus sifatnya
dibandingkan dengan sifat fisik, sehingga lebih tepat dan cepat untuk menilai sifat
suatu sampel. Karakteristik kimiawi tersebut diantaranya: pH, alkalinitas, asiditas,
oksigen terlarut, kebutuhan oksigen, nitrogen, Pb.
Menurut Saeni (1989) dalam Pesoth (2001) selain pemeriksaan fisik dan
kimia, zat-zat pencemar air yang perlu mendapat perhatian adalah unsur-unsur
renik dalam air yakni unsur yang terdapat pada konsentrasi yang sangat rendah
dalam suatu sistem atau suatu unsur yang terjadi hanya pada konsentrasi beberapa
bagian per sejuta atau kurang.
Penurunan kualitas lingkungan pada gilirannya akan diikuti oleh turunnya
jasa lingkungan yakni berkurangnya fungsi keindahan dan kenyamanan
lingkungan (insitu resources), sehingga akan menurunkan tingkat kepuasan.
2.1.1. Proksi Untuk Kualitas Udara
Udara merupakan campuran beberapa macam gas yang perbandingannya
tidak tetap tergantung pada keadaan suhu udara, tekanan udara dan lingkungan
sekitarnya. Pencemaran udara diartikan sebagai adanya bahan-bahan atau zat-zat
asing di dalam udara yang menyebabkan perubahan susunan (komposisi) udara
dari keadaan normalnya. Susunan udara bersih dan kering kira-kira tersusun oleh
nitrogen (78.09 persen), oksigen (21.94 persen), argon (0.93 persen) dan karbon
jumlah tertentu serta berada di udara dalam waktu lama dapat mengganggu
kesehatan (Hasmanto, 2001).
Dalam PP No 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara,
yang dimaksud dengan pencemaran udara adalah masuknya atau tercampurnya
unsur-unsur berbahaya ke dalam atmosfir yang dapat mengakibatkan terjadinya
kerusakan lingkungan, gangguan pada kesehatan manusia serta secara umum
menurunkan kualitas lingkungan.
Konsentrasi zat-zat kimia dan atau fisika seperti SOx, NO2, CO, HO, CO2
dapat digunakan sebagai proksi terhadap kualitas udara. Secara umum penyebab
pencemaran udara ada dua macam yakni pencemaran secara alamiah seperti debu
yang bertebaran karena ditiup angin atau dari letusan gunung berapi dan
pencemaran buatan manusia seperti debu dari kegiatan industri dan kendaraan
bermotor, serta zat-zat kimia yang disemprotkan ke udara. Dengan demikian
berdasarkan sumbernya jenis polusi udara ini dibagi atas sumber tetap (sektor
industri) dan sumber yang bergerak (sektor transportasi).
Berdasarkan hasil riset BPLHD Jawa Barat dengan menggunakan tabel
I-O lingkungan Jawa Barat 1995, penyumbang terbesar polutan Sox di Jawa Barat
bersumber dari kegiatan industri manufaktur yang diikuti oleh sektor transportasi
dan komunikasi. Kedua sektor tersebut memberikan kontribusi yang signifikan
terhadap pencemaran udara terutama di perkotaan.
Industri manufaktur yang diduga memberikan kontribusi terbesar pada
total output Hidrocarbon diduga berasal dari aktivitas industri migas atau industri
kimia yang menggunakan bahan dasar petroleum. Selain dari industri,
Dari hasil riset yang sama dapat diketahui bahwa penyumbang terbesar
polutan CO2 di Jawa Barat adalah dari sektor pertambangan, kemudian industri
manufaktur, listrik gas, air dan bangunan serta trasnportasi dan komunikasi. CO2
merupakan gas yang tidak berbau dan tidak beracun. Di atmosfir, CO2 dapat
berasal dari proses pernafasan makhluk hidup, sedangkan sumber buatan adalah
berasal dari pembakaran bahan bakar fosil, industri, pembakaran hutan dan
perubahan tata guna lahan, dimana sekitar 67 persen dari sumber buatan tersebut
berasal dari industri dan pembakaran bahan bakar fosil (Santoso, 2005).
Seperti halnya parameter Sox, total Nox yang dihasilkan dari berbagai
sektor di Jawa Barat bersumber dari kegiatan industri manufaktur dan aktivitas
domestik dan transportasi. Sementara total Pb juga dihasilkan dari sektor
manufaktur, sektor bangunan dan transportasi. Hal ini menunjukkan bahwa jenis
gas-gas berbahaya yang diemisikan ke udara masih didominasi oleh sektor
industri manufaktur, transportasi dan domestik.
2.1.2. Proksi Untuk Kualitas Air
Pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat,
energi dan atau komponen lain ke dalam air dan atau berubahnya tatanan air oleh
kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas air turun sampai ke
tingkat tertentu yang menyebabkan air menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi
lagi sesuai dengan peruntukannya (Menteri Negara Kependudukan dan
Lingkungan Hidup, 1988).
Menetapkan standar air yang bersih tidaklah mudah karena tergantung
demikian pencemaran air terjadi apabila adanya penyimpangan dari keadaan
normal yang tergantung pada kegunaan air dan asal sumber air. Menurut
Wardhana (1999) dalam Hasmanto (2001) indikator dari pencemaran air dapat
diketahui melalui:
1. Adanya perubahan suhu.
2. Adanya perubahan pH atau konsentrat ion hidrogen.
3. Adanya perubahan warna, bau dan rasa air.
4. Timbulnya endapan, koloidal, bahan terlarut.
5. Adanya mikro organisme.
6. Meningkatnya radioaktivitas air lingkungan.
Secara lebih eksplisit, Sastrawijaya (2000) menunjukkan bahwa kualitas air dapat
dinyatakan dengan beberapa parameter berikut ini:
1. Parameter fisika, diantaranya suhu, kekeruhan, padatan terlarut.
2. Parameter kimia, diantaranya pH, oksigen terlarut, BOD, COD, kadar logam.
3. Parameter biologi diantaranya keberadaan plankton, bakteri.
4. Parameter fisika dan kimia seperti TDS dan TSS.
Pada umumnya air lingkungan yang telah tercemar, kandungan
oksigennya rendah. Dengan melihat kandungan oksigen yang terlarut di dalam air
dapat ditentukan seberapa jauh tingkat pencemaran air telah terjadi yakni dengan
uji COD dan BOD. BOD hanya menggambarkan bahan organik yang dapat
didekomposisi secara biologis (biodegradable). Bahan organik ini dapat berupa
lemak, protein, kanji (starch), glukosa, aldehida, ester, dan sebagainya.
merupakan hasil pembusukan tumbuhan dan hewan yang telah mati atau hasil
buangan limbah domestik dan industri.
Total output BOD yang dihasilkan dari beberapa sektor di Jawa Barat
terutama bersumber dari sektor pertanian dan manufaktur. Tingginya kadar BOD
yang dihasilkan dari sektor pertanian merupakan hasil pembusukan materi organik
pada hasil-hasil pertanian. Sedangkan dari industri manufaktur tingginya BOD
dihasilkan dari limbah yang mengandung bahan organik tinggi.
Padatan Terlarut Total (TDS) adalah bahan-bahan terlarut (diameter < 10-6
mm) dan koloid (diameter 10-6 mm – 10-3 mm) yang berupa senyawa-senyawa
kimia dan bahan-bahan lain, yang tidak tersaring pada kertas saring berdiameter
0.45 μm. TDS biasanya disebabkan oleh bahan anorganik yang berupa ion-ion
yang biasa ditemukan di perairan. Nilai TDS di perairan sangat dipengaruhi oleh
pelapukan batuan, limpasan dari tanah, dan pengaruh antropogenik (berupa
limbah domestik dan industri).
2.1.3. Lahan Kritis
Lahan kritis adalah lahan yang mengalami penurunan produktivitas atau
kehilangan fungsi secara fisik, kimia, hidrologi dan sosial ekonomi sebagai akibat
dari salah penggunaan dan atau salah pengelolaan (Karmellia, 2006). Lahan kritis
secara fisik adalah lahan yang telah mengalami kerusakan sehingga untuk
perbaikannya memerlukan investasi yang besar, sedangkan lahan kritis secara
kimia adalah lahan yang bila ditinjau dari tingkat kesuburan, salinitas dan
keracunan tidak lagi memberikan dukungan positif terhadap pertumbuhan
tata air. Hal ini berkaitan dengan kemampuan tanah untuk menahan, menyerap
dan menyimpan air. Lahan kritis secara hidrologi berkaitan dengan berkurangnya
kemampuan lahan dalam menjalankan salah satu atau lebih dari ketiga
kemampuannya tadi. Lahan kritis secara sosial ekonomi adalah lahan yang
sebenarnya masih mempunyai potensi untuk usaha pertanian dengan tingkat
kesuburan relatif baik, tetapi karena adanya faktor penghambat sosial ekonomi
misalnya sengketa pemilikan lahan, sulit pemasaran hasil atau harga produksi
sangat rendah maka lahan tersebut ditinggalkan penggarapnya sehingga menjadi
terlantar.
Lahan kritis merupakan indikator utama dari degradasi lahan yang bisa
terjadi di dalam hutan dan di luar hutan, ukurannya hektar. Dalam prakteknya
penetapan lahan kritis mengacu pada definisi lahan kritis yang ditetapkan sebagai
lahan yang telah mengalami kerusakan sehingga kehilangan atau berkurang
fungsinya sampai pada batas toleransi (Dephut, 2000). Lebih lengkapnya, kriteria
lahan kritis adalah:
1. Lahan kosong tidak produktif.
2. Lapisan olah tanah (solum) kurang dari 30 cm.
3. Lahan bekas penambangan yang tidak direklamasi.
4. Lahan kosong dan kemiringan di atas 15 persen.
5. Lahan dengan penutupan vegetasi di bawah 25 persen.
6. Lahan kering yang tergenang lebih dari 6 bulan.
7. Lahan yang telah mengalami erosi permukaan pada jarak kurang dari 20
meter.
Sasaran lahan kritis adalah lahan-lahan dengan fungsi lahan yang ada
kaitannya dengan kegiatan reboisasi dan penghijauan, yaitu fungsi kawasan hutan
lindung, fungsi kawasan lindung di luar kawasan hutan dan fungsi kawasan
budidaya untuk usaha pertanian.
Pada fungsi kawasan budidaya untuk usaha pertanian, kekritisan lahan
dinilai berdasakan produktivitas lahan yaitu rasio terhadap produksi komoditi
umum opsional pada pengelolaan tradisional (bobot 30 persen), kelerengan lahan
(bobot 20 persen), tingkat erosi yang diukur berdasarkan tingkat hilangnya lapisan
tanah, baik untuk tanah dalam maupun untuk tanah dangkal (bobot 15 persen),
batu-batuan (bobot 5 persen) dan manajemen yaitu usaha penerapan teknologi
konservasi tanah pada setiap unit lahan (bobot 30 persen).
2.2. Model Pezzey
Lingkungan hidup secara ekonomi memiliki tiga fungsi yakni sebagai
penyedia bahan mentah, asimilasi limbah, dan daya tarik (insitu resources).
Fungsi pertama dan kedua memiliki hubungan timbal balik, bahwa proses
produksi yang mengolah bahan mentah menjadi barang akhir pada saat bersamaan
menghasilkan limbah (by product) yang akan kembali ke alam. Fungsi ketiga
bahwa lingkungan alam pun menyediakan jasa yang bisa secara langsung
dikonsumsi, seperti halnya udara segar dan keindahan alam.
Pezzey (1992) menggambarkan keterkaitan antara ekonomi dan
lingkungan secara lebih rinci yang disebut dengan ‘economic and environmental
Sumber: Pezzey (1992), hal. 7
Gambar 1. Economic and Environmental Stocks and Flows – a GeneralModel
Berdasarkan Gambar 1 tingkat produksi suatu barang (Q) tidak hanya
ditentukan oleh ketersediaan modal (K), teknologi (T), dan tenaga kerja (L)
namun juga oleh kualitas lingkungan. Kualitas lingkungan (E) terdiri dari stok
SDA (R), tingkat polusi (E1), dan nilai daya tarik (E2). Ketergantungan produksi
terhadap lingkungan disebut produktivitas lingkungan, yakni Q(K, L, T, R, E1).
Dampak dari kelima variabel tersebut terhadap tingkat produksi adalah positif.
Sehingga jika kualitas lingkungan memburuk berarti menurunkan tingkat
produksi.
Model Pezzey pada dasarnya merupakan perluasan dari fungsi produksi
Cobb-Douglas dengan memasukan kualitas lingkungan sebagai input yang akan
dan tenaga kerja yang akan menaikan output jika kedua input tersebut bertambah,
meningkatnya kerusakan lingkungan akan menurunkan output. Dengan demikian
teori dasar dalam penelitian adalah teori produksi yang diperluas dengan
memasukan unsur lingkungan.
Proses produksi yang mengolah input jadi output pada saat bersamaan
menghasilkan limbah sebagai by product, sehingga perkembangan jumlah BOD,
TDS, CO dan CO2 akan mengikuti perkembangan aktivitas ekonomi, ceteris
paribus. Dengan demikian jumlah BOD, TDS, CO, CO2 dan luas lahan kritis juga
merupakan output yang dipengaruhi oleh aktivitas ekonomi.
Ketika aktivitas ekonomi semakin tinggi maka jumlah BOD, TDS, CO,
CO2 dan luas lahan kritis akan semakin meningkat yang pada gilirannya akan
menurunkan output agregat. Dalam konteks ini konsep limits to growth menjadi
relevan.Konsep limits to growth yang dikembangkan oleh Meadow menunjukkan
bahwa dampak dari pertumbuhan ekonomi terhadap degradasi lingkungan bersifat
trade off. Hal ini didasarkan pada dua alasan, yakni pertama kapasitas
lingkungan yang terbatas untuk menampung limbah yang dihasilkan oleh aktivitas
ekonomi, dan yang kedua keterbatasan SDA yang tidak bisa diperbaharui (Turner,
1994). Pemikiran Meadow ini berimplikasi pada satu pilihan yakni pertumbuhan
ekonomi atau lingkungan. Jika ingin melestarikan lingkungan, harus membatasi
pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya jika pertumbuhan ekonomi yang diutamakan
maka lingkungan akan menanggung beban yang pada gilirannya akan membatasi
ekonomi untuk tumbuh.
Kritikan terhadap konsep limits to growth mengemukakan bahwa ada
tumbuh, seperti: nilai elastisitas pendapatan yang positif dan meningkat,
perubahan dalam komposisi produksi dan konsumsi, meningkatnya tingkat
pendidikan dan kesadaran terhadap lingkungan, kemajuan teknologi, dan lebih
terbukanya sistem politik (Lim, 1997). Hal ini memiliki implikasi bahwa
pertumbuhan ekonomi adalah jalan untuk masalah lingkungan yang juga perlu
didukung oleh kekuatan pasar dan kebijakan serta regulasi lingkungan.
Model Pezzey mengoreksi konsep limits to growth bahwa kualitas
lingkungan sangat dipengaruhi oleh belanja lingkungan yakni alokasi dana yang
berasal dari total pendapatan. Pengalaman Pemerintah Korea Selatan melalui
kebijakan fiskalnya telah membuktikan hal ini (Min, 2003). Dengan demikian
kekhawatiran Meadow tentang limit to growth tidak akan terjadi selama ada upaya
pengendalian degradasi lingkungan melalui belanja lingkungan yang memadai.
Pemikiran Pezzey ini identik dengan Teori EKC sebagai analogi terhadap Kurva
Kuznet yang mengaitkan antara pendapatan per kapita dengan distribusi
pendapatan.
2.3. Teori Environmental Kuznet Curve (EKC)
Teori EKC menjelaskan hubungan antara pendapatan per kapita dengan
degradasi lingkungan yang diperkirakan memiliki hubungan seperti huruf U
terbalik. Artinya, ketika pendapatan per kapita meningkat seiring dengan proses
industrialisasi akan berdampak pada meningkatnya degradasi lingkungan. Namun
selanjutnya semakin tinggi pendapatan per kapita dimana kegiatan ekonomi
didominasi oleh sektor jasa maka degradasi lingkungan akan berkurang. Jadi
diperlukan agar terbentuk belanja yang memadai untuk memperbaiki degradasi
lingkungan.
Gambar 2 menunjukan bentuk kurva EKC yang mengaitkan antara
indikator lingkungan dengan pertumbuhan ekonomi. Sesuai esensi dari teori
dasarnya, pertumbuhan ekonomi yang dimaksud seiring dengan tahapan
pembangunan yang telah dialami oleh suatu negara. Dalam studi empirisnya
tahapan pembangunan tersebut dicerminkan oleh besarnya pendapatan per kapita.
[image:46.612.111.479.265.608.2]Sumber: Panayatou (2000), hal. 3
Gambar 2. Environmental Kuznets Curve : Hubungan Antara Pembangunan Ekonomi dengan Lingkungan
Studi empiris yang meneliti hubungan antara pendapatan per kapita
dengan degradasi lingkungan, ada yang bisa membuktikan hipotesis EKC dan ada
pula yang tidak. Dari sekian hasil studi empiris sebelumnya menunjukan titik
balik terjadi pada angka pendapatan per kapita riil berkisar antara $1 200 - $16
000. Dengan interval yang begitu besar berarti titik balik tersebut tidak bersifat
Beragamnya titik balik tergantung pada tipe kerusakan lingkungannya
apakah deforestasi atau pencemaran air, pencemaran udara. Namun ternyata untuk
kasus yang sama pun seperti deforestasi, beda lokasi penelitian dan rentang waktu
berbeda pula besarnya tingkat pendapatan ketika titik balik terjadi, seperti hasil
studi Panayotou (1993) dan Shafik (1992). Fakta ini menarik perhatian, bahwa
dibalik hubungan antara pendapatan per kapita dengan degradasi lingkungan
menyimpan potensi analisa faktor lain penyebab degradasi lingkungan.
Perekonomian Jawa Barat yang masih berada dalam tahap industrialisasi
dengan pencapaian PDRB/kapita riil tahun 2005 sebesar 6.3 juta rupiah setara
dengan $612 belum mampu menganggarkan belanja lingkungan sebagaimana
mestinya. Dengan demikian terdapat kecenderungan pertumbuhan ekonomi masih
menimbulkan degradasi lingkungan.
2.4. Aspek Sosial-Ekonomi dan Degradasi Lingkungan
2.4.1. Dampak Ketimpangan Pendapatan dan Kemiskinan Terhadap Degradasi Lingkungan
Berdasarkan penjelasan pada sub bab sebelumnya bahwa pertumbuhan
ekonomi sebagai penentu degradasi lingkungan sekaligus memberikan peluang
untuk memperbaiki kualitas lingkungan. Perbaikan degradasi lingkungan bisa
dilakukan seiring dengan naiknya pendapatan hanya akan berlaku jika benar-benar
pendapatan naik melebihi kebutuhan primer dan sekunder. Dalam kondisi
pendapatan sangat rendah akan sangat sulit untuk mengeluarkan belanja
lingkungan yang sifatnya menyangkut kepentingan jangka panjang dan untuk
manfaat sosial, karena yang lebih mendesak adalah kebutuhan saat ini dan pribadi.
menurunkan insentif untuk konservasi dengan mengurangi net present value
(NPV) benefit yang akan datang. Munasinghe (1993) pun mengungkapkan hal
yang sama bahwa penyebab ekonomi terhadap degradasi lingkungan adalah
pricing dan kemiskinan. Masalah pricing terbagi dalam empat komponen:
eksternalitas, underpricing, tidak adanya pasar untuk jasa lingkungan dan
kegagalan kebijakan.
Dampak kemiskinan terhadap degradasi lingkungan semakin nampak
dalam kasus pemanfaatan lahan dan sumberdaya hutan. Ketika krisis ekonomi
terjadi dimana harga bahan bakar meningkat tajam dan lapangan kerja semakin
sulit, berdampak pada luasnya lahan kritis yang mencakup dua aspek. Pertama,
semakin banyak masyarakat yang menjarah kayu untuk dijadikan bahan bakar dan
bahka menjualnya ke penampung ilegal. Kedua, semakin banyak masyarakat yang
merambah lahan hutan untuk ditanami sayuran, berarti di kemiringan yang rawan
longsor. Hal ini banyak terjadi di daerah Bandung Selatan dan Majalengka.
Dalam kondisi miskin bisa mendorong perlakuan yang lebih eksploitatif
terhadap SDA. Studi Grepperud (1997) memperlihatkan bahwa degradasi
kesuburan tanah disebabkan oleh perilaku petani yang mana keadaan ekonomi
berada pada tingkat subsisten yang minimum. Petani di ekonomi perdesaan negara
berkembang memiliki ciri semikomersial, dimana mereka menjual sebagian hasil
dan menggunakan bagian lainnya untuk kebutuhan konsumsinya. Petani seperti
ini sering meghadapi kekurangan makanan sebagai sebab dari cuaca yang tidak
stabil. Defisit anggaran rumah tangga akan terjadi ketika jumlah produksinya
turun di bawah kebutuhan minimum (subsisten). Berdasarkan model konsepsional
dengan tingkat kebutuhan minimum dan unsur stokastik, ia memprediksi bahwa
dalam upaya petani subsisten untuk menutupi defisit anggarannya, petani ini akan
cenderung menguras kesuburan lahan dibandingkan dengan petani yang tidak
subsisten.
Lahan yang berkurang kesuburannya akan berdampak pada rendahnya
hasil panen. Artinya, degradasi lahan akan membuat mereka semakin miskin
dalam kondisi tidak ada sumber pendapatan lainnya. Studi Holden, et. al (2005) di
beberapa wilayah perdesaan dataran tinggi Ethiopia menunjukan hal ini bahwa
degradasi lahan dan rendahnya produktivitas pertanian membuahkan kerawanan
pangan dan kemiskinan. Demikian halnya sintesa dari Andersen (1995) bahwa
degradasi lingkungan dapat meningkatkan kemiskinan karena degradasi
lingkungan mengurangi stok natural capital, sehingga meningkatkan kerentanan.
Erosi lahan akan menurunkan hasil dan menimbulkan banjir, sedangkan polusi
meningkatkan penyakit dan kematian karena pestisida, air yang beracun, dan
polusi dalam rumah. Deforestasi dan over eksploitasi air tanah meningkatkan
biaya barang kebutuhan pokok seperti kayu bakar dan air minum.
Berdasarkan studi keduanya terbukti bahwa ada hubungan timbal balik
pula antara kemiskinan dan degradasi lingkungan. Fakta ini bisa dikaitkan dengan
hubungan timbal balik antara pertumbuhan ekonomi dengan degradasi
lingkungan. Dari interaksi semuanya, berarti terdapat hubungan timbal balik
antara pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan degradasi lingkungan.
Selain kemiskinan, dalam kondisi ketimpangan pendapatan masih ada
pelaku lain yakni mereka yang kaya identik dengan memiliki kekuasaan.
perambahan hutan terluas dilakukan oleh mereka yang bermodal besar yang
memanfaatkan kelemahan hukum dan masyarakat miskin untuk memetik
keuntungan sebesar-besarnya. Studi Barros (2002) pun mengamati kemiskinan
dan ketimpangan pendapatan. Bahwa kemiskinan di Brazil mempengaruhi
permintaan untuk konservasi lingkungan. Konsentrasi pendapatan dan kesulitan
dalam akses terhadap pendidikan mempengaruhi tingkat deforestasi di Brazil,
minimalnya secara tidak langsung melalui dampaknya terhadap willingness to pay
(WTP) untuk konservasi. Dengan demikian distribusi pendapatan yang lebih
merata, ceteris paribus dapat mengurangi luas lahan kritis.
Eriksson (2002) menunjukan secara matematis bahwa distribusi
pendapatan yang lebih merata tergantung pada derajat demokrasi, sehingga dalam
kondisi demokrasi lebih sempurna distribusi pendapatan lebih merata akan
menghasilkan polusi yang lebih rendah. Boyce (1994) menunjukan hal yang sama
bahwa semakin besar ketimpangan kekuasaan dan kekayaan, lingkungan akan
semakin terdegradasi.
2.4.2. Dampak Pertumbuhan Penduduk Terhadap Degradasi Lingkungan
Pertumbuhan penduduk adalah kunci katalisator dari kemiskinan yang
mengakibatkan kerusakan lingkungan terutama untuk kasus di lahan marjinal.
Pertumbuhan penduduk yang tinggi mengakibatkan ukuran lahan pertanian
semakin sempit sehingga mendorong masyarakat miskin untuk merambah lahan
di pinggir hutan yang rawan erosi sehingga bisa memunculkan lahan-lahan kritis.
Bahkan mereka pun terdorong untuk menebang pohon dalam rangka mendapatkan
1995).
Dalam beberapa literatur tentang kajian Pertumbuhan Penduduk dan
Degradasi Lingkungan, ada kelompok yang bersikap pesimis dan optimis.
Kelompok yang pesimis lahir dari ekonom klasik dan ahli ilmu alam. Argumen
utama mereka bahwa degradasi lingkungan adalah hasil dari meningkatnya
tekanan penduduk terhadap basis SDA dalam rangka memelihara atau
meningkatkan standar hidup penduduk (Guinness, 2000). Kelompok pesimis
sangat yakin bahwa ada ambang batas untuk ketersediaan SDA, selain itu
ekosistem memiliki carrying capacity yang sudah tertentu. Kelompok pesimis pun
mengungkapkan temuan empiris yang terkait dengan kelangkaan SDA seperti
halnya kekurangan lahan pertanian yang dihadapi oleh banyak negara
berkembang. Degradasi lahan dan hilangnya produktivitas lahan mencapai 270
000 km persegi setiap tahunnya. Sementara Engelman (1997) dalam Guinness
(2000) mengemukakan kelangkaan air bersih di Mexico City seiring dengan
tingginya pertumbuhan penduduk.
Sementara kelompok yang optimis dalam memandang keterkaitan antara
pertumbuhan penduduk dengan degradasi lingkungan, mengacu pada teori
neoklasik. Ekonom neoklasik fokus pada pasar yang terbuka dan efisien sebagai
media untuk mencapai pertumbuhan ekonomi. Basis teori ini bersandarkan pada
asumsi bahwa individu berfikir dan berperilaku dengan cara yang rasional secara
ekonomi. Mereka berargumen bahwa dalam perekonomian dimana pasar
berfungsi secara sempurna, pertumbuhan output dapat dipelihara bahkan mungkin
sekali melebihi pertumbuhan penduduk. Terdapat 2 alasan, pertama ekonom
langka. Kedua, ekonom neoklasik percaya bahwa pasar akan beraksi untuk
melindungi kelangkaan SDA. Ketika SDA menjadi lebih langka, produsen akan
mencari cara penggunaan SDA lebih efisien lagi untuk mencegah naiknya biaya.
Dengan demikian dalam pandangan ekonom neoklasik degradasi
lingkungan menghasilkan tiga kasus. Pertama, merupakan respon jangka pendek
terhadap pertumbuhan penduduk dimana hanya terjadi sampai ketika manusia
mampu mensubstitusi atau menemukan cara yang lebih efisien dalam
menggunakan SDA yang langka. Kedua, degradasi lingkungan akan terjadi ketika
pasar tidak ada atau tidak bekerja secara efisien, seperti halnya kasus untuk SDA
yang berada dalam rejim kepemilikan open access. Ketiga, degradasi lingkungan
terjadi ketika terjadi deplesi SDA untuk kegiatan produksi. Ekonom neoklasik
mengakui adanya degradasi lahan yang meluas dimana pasar menawarkan
alternatif penggunaan (Guinness, 2000).
2.5. Degradasi Lingkungan: Wujud Kegagalan Pasar
Dari perspektif paham ekonomi neoklasik, masalah lingkungan muncul
karena terjadinya kegagalan pasar. Akar masalahnya adalah tidak adanya hak
kepemilikan atau hak kepemilikan yang tidak terdefinisikan dengan baik (Taggart,
1996; Hanley, 1997; Callan, 2000). Hak kepemilikan yang dapat terdefinisikan
dengan baik yakni serangkaian hak yang menggambarkan keistimewaan dan
kewajiban pemilik dalam rangka penggunaan sumberdaya memiliki ciri-ciri
umum sebagai berikut (Tietenberg, 1996):
1. Universality, ditentukan secara komprehensif. Semua aset atau sumberdaya
diketahui dan ditegakan secara efektif. Dalam kondisi tidak ada eksklusifme
dimana beberapa pihak sama-sama memiliki hak atau akses legal terhadap
suatu SDA, maka semuanya memiliki insentif untuk mengambil sebesar
manfaat yang diberikan oleh SDA tersebut dan secepat mungkin sebelum yang
lain melakukan hal yang sama. Untuk beberapa kasus kondisi ini akan
mengakibatkan overuse.
2. Eksklusif, semua keuntungan dan biaya dari penggunaan SDA hanya terkait
dengan pemilik.
3. Transferable, semua hak kepemilikan harus bisa dialihkan dari satu pemilik ke
pihak lainnya dalam pertukaran yang sukarela. Kemampuan mengalihkan hak
kepemilikan memberi insentif pada pemilik untuk melakukan konservasi.
4. Enforceability, hak kepemilikan yang jelas aman dari perampasan pihak lain.
Eksternalitas adalah kasus spesial dari pasar yang tidak sempurna untuk
aset lingkungan. Ketika kegiatan konsumsi atau produksi individu tertentu
mempengaruhi utilitas seseorang atau fungsi produksi suatu perusahaan maka
kondisi pareto optimal tidak akan terjadi dan yang terjadi adalah eksternalitas.
Dengan demikian efek eksternalitas tidak bekerja melalui harga pasar, tetapi
melalui dampaknya terhadap utiliti atau profit. Pasar tidak sempurna menunjukan
tidak ada pertukaran institusi dimana seseorang membayar untuk keuntungan
eksternal atau membayar sebuah harga untuk pembebanan biaya eksternal.
Aset lingkungan merupakan pure public goods jika dalam
mengkonsumsinya non-rival dan non-excludable. Pure public goods tersedia
untuk semuanya dan konsumsi perorangan tidak mengurangi konsumsi
penawaran barang tersebut nol, oleh karena itu tidak ada efisiensi pareto. Setiap
orang dapat menerima benefit dari jasa yang disediakan oleh pure public goods,
dan tak seorang pun dapat dikecualikan (dikeluarkan) dari benefit tersebut maka
sesorang bisa berperilaku ‘free rider’. Artinya, seseorang yang menyembunyikan
preferensinya terhadap suatu barang dalam rangka menikmati benefitnya tanpa
membayar.
Kondisi incomplete market, externalities, non-exclusion and the commons,
non-rivalry and public goods, semuanya terkait erat dengan masalah hak
kepemilikan. Bromley (2003) dalam Borris (2004) mendefiniskan hak sebagai
kapasitas mempersilahkan pihak tertentu berada di belakang pengakuan seseorang
terhadap aliran manfaat. Bromley (2003) mencirikan bahwa hak bukan merupakan
hubungan antara sesorang dengan obyek tapi hubungan antar person yang terkait
dengan obyek. Sedangkan kepemilikan adalah benefit stream, aliran manfaat.
Dengan demikian hak kepemilikan adalah hubungan sosial tritunggal yakni
hubungan antara individu yang memiliki hak, pihak lain yang harus menahan diri
dari intervensi dengan pemegang hak, institusi untuk menyokong pengakuan.
Ada empat tipe hak kepemilikan (property rights regim) yakni untuk
individu, negara, kelompok, dan tidak seorang pun, sehingga ada private property
rights, state property rights , common property rights dan open access. Sekalipun
ada pemilikan pribadi namun dalam pelaksanaannya tetap dibatasi oleh UU,
regulasi, dan aturan sosial. Keempat tipe tersebut dapat dioperasionalisasikan
untuk menentukan dampaknya terhadap pemanfaatan SDA, melalui pengaitan
antara hak kepemilikan dengan perilaku ekonomi yakni biaya transaksi dan
mudah mengatasi eksternalitas. Hak kepemilikan dapat memfasilitasi kerjasama
untuk menginternalisasi eksternalitas, sehingga distribusi hak kepemilikan
menentukan siapa yang menanggung biaya kerjasama. Semakin dekat
kepentingan pemegang hak terhadap kepentingan sosial, maka struktur hak
kepemilikan akan lebih efisien.
Berdasarkan pendekatan institutionalis berarti solusi untuk masalah
degradasi lingkungan adalah memberikan hak kepada pencemar atau kepada
korban polusi. Menurut Coase (1960), jika hak kepemilikan ada dan biaya
transaksi rendah maka transaksi antar individu akan efisien (tercapai polusi
optimal). Dengan lain kata, adanya hak kepemilikan dan biaya transaksi rendah
maka tidak akan ada eksternalitas karena seluruh biaya dan manfaat akan
diperhitungkan oleh pihak yang melakukan transaksi.
Namun demikian terdapat beberapa situasi dimana hak kepemilikan tidak
dapat diberikan. Dalam kasus seperti ini pemerintah terpaksa mengembangkan
alternatif lain seperti pungutan emisi, ijin yang dapat diperdagangkan atau pajak.
2.6. Kebijakan dan Kepedulian Lingkungan
Kegagalan pasar dalam mengalokasikan sumberdaya secara efisien,
mendorong adanya intervensi pemerintah. Perantara pihak ketiga, tipe
pemerintahan sangat dibutuhkan untuk mengoreksi kegagalan pasar dan mencapai
keseimbangan yang efisien. Demikian halnya dalam menghadapi masalah
lingkungan, terutama yang terkait dengan SDA yang bersifat open access perlu
ada kebijakan yang akan membatasi akses atau kewajiban bertanggungjawab
Dalam literatur ekonomi lingkungan terdapat beberapa tipe kebijakan yang
dapat dipilih untuk merespon permasalahan, yakni decentralized policies seperti
liability law, property rights, dan moral suasion, command and control seperti
standar emisi, baku mutu limbah cair dan tipe insentif yakni pajak dan subsidi.
Liability law adalah undang-undang pertanggungjawaban yang melandasi
mekanisme penyelesaian masalah lingkungan antara pihak pembuat (polluter)
dengan pihak yang menderita (sufferer). Polluter diwajibkan membayar ganti rugi
kepada pihak yang terkena dampak negatif dari kegiatannya, sebaliknya pihak
yang menderita mendapatkan kompensasi. Jenis kebijakan ini tergolong tipe
kebijakan yang terdesentralisasi karena diserahkan langsung pada pihak-pihak
terkait, artinya pemerintah tidak turut mengatur dan menentukan. Untuk kasus
masalah lingkungan di Indonesia, masalah ini diatur dalam Bab VII UU
Lingkungan Hidup No 23 Tahun 1997 yakni bab tentang Penyelesaian Sengketa
Lingkungan Hidup. Dalam bab ini terungkap secara tegas bahwa penyelesaian
sengketa lingkungan bisa ditempuh diluar pengadilan. Pasal 31 menyatakan
bahwa penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar