• Tidak ada hasil yang ditemukan

Posisi Penelitian Diantara Penelitian Sebelumnya

II. TINJAUAN LITERATUR

2.8. Posisi Penelitian Diantara Penelitian Sebelumnya

Tujuan penelitian ini ditentukan berdasarkan beberapa pertimbangan.

Pertama, fenomena atau fakta tentang proses, hasil dan dampak pembangunan di

Jawa Barat termasuk kondisi lingkungannya. Kedua, studi literatur tentang teori-

teori pembangunan ekonomi dan kerusakan lingkungan. Ketiga, hasil studi atau temuan empiris peneliti sebelumnya. Untuk menunjukan dimana posisi penelitian ini diantara penelitian sebelumnya, dibuat ikhtisar yang selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.

Sebagaimana terungkap dalam Tabel 4 bahwa penelitian yang mengaitkan pertumbuhan ekonomi dengan degradasi lingkungan dalam rangka membuktikan hipotesis EKC lebih fokus pada variabel pendapatan per kapita dan indikator kualitas lingkungan dengan model sederhana dan tidak menunjukan hubungan timbal balik. Hanya penelitian Hung Ming-Feng dan Daigee Shaw yang mencoba menggunakan pendekatan simultan dengan fokus tetap pada hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan degradasi lingkungan.

Barros (2002) dan Grepperud (1997) memfokuskan pada masalah kemiskinan yang berdampak pada degradasi lingkungan. Mereka dapat membuktikan bahwa EKC tidak berlaku untuk kasus negara-negara berkembang. Namun studi mereka tidak disertai dengan dampak dari degradasi lingkungan terhadap kemiskinan.

Najmulmunir (2001) mengkaji lebih luas karena menyangkut dampak kebijakan pembangunan ekonomi terhadap perkembangan wilayah dan kualitas lingkungan dengan menggunakan data cross-section tahun 1996.

Pesoth (2001), Friyatno (2005), dan Santoso (2005) melakukan kajian yang lebih luas melalui analisa keterkaitan antara aktivitas ekonomi dengan kualitas lingkungan menggunakan model Input-Output. Meskipun demikian, model I-O tidak dapat mengakomodir dampak dari dinamika kebijakan dan kepedulian lingkungan.

Dengan demikian penelitian ini lebih lengkap dari penelitian sebelumnya karena bersifat series untuk jangka waktu yang lama (30 tahun), bersifat simultan yang mengaitkan aspek pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan ketimpangan pendapatan, kebijakan dan kepedulian lingkungan. Penelitian ini pun dilengkapi dengan hasil survey tentang efektivitas kebijakan pengendalian lahan kritis, respon pelaku ekonomi terhadap kebijakan pencemaran air dan pencemaran udara.

I. TINJAUAN LITERATUR ... 14 2.1 Pengertian dan Pengukuran Degradasi Lingkungan ... 14 2.1.1 Proksi Untuk Kualitas Udara ... 16 2.1.2 Proksi Untuk Kualitas Air ... 18 2.1.3 Lahan Kritis ... 20 2.2 Model Pezzey ... 22 2.3 Teori Environmental Kuznet Curve ... 25 2.4 Aspek Sosial-Ekonomi dan Degradasi Lingkungan ... 27

2.4.1 Dampak Ketimpangan Pendapatan dan Kemiskinan Terhadap Degradasi Lingkungan ... 27

2.4.2 Dampak Pertumbuhan Penduduk Terhadap Degradasi

Lingkungan ... 30 2.5 Degradasi Lingkungan: Wujud Kegagalan Pasar ... 32 2.6 Kebijakan dan Kepedulian Lingkungan ... 35 2.6.1 Kebijakan Lingkungan di Jawa Barat ... 38 2.7 Makna Pembangunan Berkelanjutan ... 43 2.8 Posisi Penelitian Diantara Penelitian Sebelumnya ... 46

3.1. Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi dan Degradasi Lingkungan Model Pezzey dan Teori EKC secara substansi memiliki makna yang sama, yakni membahas hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan degradasi lingkungan. Pemikiran Pezzey yang terungkap dalam economic and

environmental stocks and flows – a general model, memperlihatkan hubungan

timbal balik antara produktivitas lingkungan dengan degradasi lingkungan. Bahwasannya, produksi barang dan jasa dipengaruhi oleh produktivitas lingkungan dimana kualitas lingkungan sendiri ditentukan oleh besar kecilnya belanja lingkungan yang disisihkan dari kegiatan produksi. Namun model tersebut sulit memisahkan dampak negatif dan positif dari berlangsungnya pertumbuhan ekonomi terhadap kualitas lingkungan. Artinya, model tidak mengungkapkan apakah hubungan timbal balik tersebut terjadi secara bersamaan atau bertahap.

Teori EKC muncul lebih detil melalui elaborasi tahap pembangunan yang menentukan degradasi lingkungan, bahwa pada tahap awal pembangunan yang didominasi oleh sektor pertanian degradasi lingkungan masih rendah. Selanjutnya ketika perekonomian memasuki tahap industrialisasi, degradasi lingkungan semakin meningkat. Setelah melewati tahap tersebut dimana perekonomian mulai didominasi oleh sektor jasa, setiap peningkatan pendapatan per kapita akan menurunkan degradasi lingkungan.

Industrialisasi di Indonesia mulai dilaksanakan setelah ditetapkannya kebijakan Industri Substitusi Impor (ISI) yang dimulai tahun 1970. Tujuan utama kebijakan tersebut diarahkan untuk melindungi infant industry dari kompetisi

dengan produk impor. Ketika tahun 1985 harga minyak anjlok, pemerintah mulai menaruh perhatian pada komoditas non migas, sehingga kebijakan ISI digeser oleh kebijakan promosi ekspor.

Sebagai wilayah administrasi terdekat dengan ibu kota, Jawa Barat menjadi daerah utama untuk pengembangan kawasan industri. Tidak mengherankan sejak tahun 1985 pangsa industri manufaktur dalam PDRB Jabar mencapai 16.87 persen, padahal tahun sebelumnya masih 9.49 persen. Pada tahun 1993 pangsa industri manufaktur semakin besar yakni 20.18 persen sehingga menurut klasifikasi UNIDO Jawa Barat sudah tergolong sebagai wilayah industri. Periode berikutnya pangsa tersebut semakin besar dan mencapai 37.86 persen pada tahun 1996 dan akhir tahun 2005 sudah mencapai 41.6 persen (BPS Jabar, berbagai tahun).

Industrialisasi yang terjadi Jawa Barat pada dasarnya merupakan strategi pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Strategi ini cukup berhasil dimana Jabar bisa mencapai pertumbuhan ekonomi yang cenderung di atas nasional dan memberikan kontribusi terhadap PDB Indonesia rata-rata 14 persen setiap tahunnya. Artinya, peran Jabar sangat strategis sebagai penyangga perekonomian nasional.

Industri Jawa Barat terkonsentrasi di Kabupaten Bogor (10.7 persen), Kabupaten Bekasi (13.5 persen), Kota Bandung (12.9 persen), dan Kabupaten Bandung (17.6 persen). Pada saat yang bersamaan wilayah lainnya masih bercorak agraris. Arus urbanisasi ke wilayah industri sangat tinggi sehingga kepadatan penduduk melebihi kewajarannya. Sungai yang melewati daerah tersebut adalah Sungai Cisadane, Cileungsi, Ciliwung, dan Citarum. Sebagai

dampak dari industrialisasi dan padatnya penduduk, keempat sungai ini masuk dalam kategori sebagai sungai dengan polusi air permukaan paling tinggi di Jawa Barat (BPLHD, 2004).

Dikaitkan dengan Teori EKC, kondisi kualitas air permukaan Jawa Barat berada pada tahap sebelum titik balik bahwa industrialisasi yang meningkatkan pendapatan per kapita memperburuk kualitas air. Dilihat dari jumlahnya, industri yang ada di Jawa Barat didominasi oleh industri pakaian, tekstil, logam, kulit, makanan dan minuman, kayu, mineral, dan furniture. Karakteristik industri seperti ini terutama industri pakaian dan tekstil banyak menimbulkann limbah cair yang berbahaya.

Di sisi lain, industrialisasi dan dinamika penduduk di wilayah-wilayah yang berbasis aktivitas ekonomi di sektor industri dan jasa telah menimbulkan tingginya pembuangan emisi terutama dari sektor transportasi. Dengan demikian menurunnya kualitas air dan udara terjadi seiring dengan proses industrialisasi yang sudah dimulai sejak tahun 1985.

Berdasarkan perhitungan Bapeda Jabar, sektor industri pengolahan di Jawa Barat memiliki keterkaitan terkuat dengan sektor industri sendiri (intra-

industry trade), sedikit keterkaitan dengan sektor pertanian dan cenderung

menggunakan input impor baik luar propinsi maupun luar negeri (Pemprov Jabar, 2003). Selain itu industri yang berkembang di Jawa Barat cenderung padat modal. Artinya, industrialisasi Jawa Barat tidak berbasis sumberdaya lokal sehingga peningkatan output sektor industri pengolahan tidak diikuti oleh peningkatan tenaga kerjanya secara proporsional. Kenyataan ini berdampak pada disparitas antar wilayah, disparitas pendapatan antar golongan masyarakat pertanian dan

non-pertanian dan tingginya persentase penduduk miskin. Kenyataan tersebut sangat nampak dengan indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dimana Jawa Barat menduduki urutan ke-15 di tingkat nasional, padahal ekonominya tumbuh di atas rata-rata.

Ketika perekonomian dihadapkan pada krisis dimana pengangguran meningkat, kondisi sosial ekonomi masyarakat Jawa Barat semakin memburuk yakni meningkatnya angka Gini Ratio dan tingkat kemiskinan. Kenyataan ini menyimpang dari Teori Kuznet, bahwa perekonomian Jawa Barat ternyata tidak mampu terus tumbuh justru mengalami resesi dan kualitas lingkungan semakin buruk.

Dalam kondisi distribusi pendapatan yang tidak merata, terdapat 2 fenomena yang berdampak pada luasnya lahan kritis. Pertama, adanya kelompok kaya yang menjadi pressure group terhadap mekanisme pembuatan kebijakan sehingga bias untuk kepentingannya, bahkan perilaku memanfaatkan kelemahan hukum dan masyarakat miskin untuk melakukan penebangan ilegal secara besar- besaran. Kedua, adanya kelompok miskin yang sulit akses terhadap banyak aspek, seperti terhadap kegiatan ekonomi formal, sumber permodalan, pendidikan, kesehatan, air bersih, dan sanitasi. Kondisi seperti ini memaksa mereka tidak memikirkan kepentingan jangka panjang. Artinya, kebutuhan mendesak saat ini jauh lebih penting sehingga tidak peduli apakah tindakan tertentu berdampak buruk terhadap lingkungan. Kasus tingginya perambahan dan penjarahan kayu di area hutan milik Perhutani di Kabupaten Garut, Cianjur, Ciamis, dan Sukabumi, adalah contoh masalah lahan kritis yang terkait dengan kemiskinan.

berarti dibalik hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan degradasi lingkungan terdapat variabel kemiskinan yang mendorong hubungan diantara keduanya menjadi berbalik arah (backward bending), tidak mengikuti Teori EKC yang berbalik arah menjadi seperti huruf U terbalik.

3.2. Degradasi Lingkungan: Aspek Kelembagaan

Dilihat dari aspek hak kepemilikan, terdapat perbedaan karakteristik antara lahan kritis dengan pencemaran air dan pencemaran udara. Untuk kasus lahan kritis terdapat kepemilikan yang jelas yakni pemilikan pribadi atau negara. Sebagian besar lahan kritis di Jawa Barat yakni 68 persen adalah milik masyarakat, berarti terkait dengan fungsi kawasan budidaya untuk usaha pertanian. Kepemilikan pribadi seharusnya dapat menjamin adanya upaya konservasi karena benar tidaknya pola pemanfaatan dari lahan tersebut menyangkut keuntungan dan kerugian buat si pemilik. Kepemilikan yang jelas ini seyogianya mempermudah penanganan luas lahan kritis, dengan syarat masyarakat paham dan peduli terhadap pengelolaan lahan yang tepat dan ada surplus produksi untuk menutupi biaya pengolahan. Sedangkan lahan kritis milik negara sangat dimungkinkan karena tidak terdefinisikannya hak kepemilikan tersebut dengan baik terutama karakteristik enforceability.

Berbeda dengan kasus lahan kritis, air dan udara merupakan barang publik yang bebas diakses oleh siapapun. Sifat open access ini menempatkan kedua SDA tersebut sebagai barang gratis yang tidak ada harganya sehingga bisa menimbulkan kegagalan pasar. Artinya, ketika tidak ada kepemilikan mendorong banyak pihak turut memanfaatkan tanpa ada kewajiban memeliharanya sehingga

menimbulkan eksternalitas negatif. Pihak ketiga menderita kerugian akibat perilaku pihak pertama. Pencemaran air dan udara sebagai by product terutama dari kegiatan produksi yang dilakukan oleh pihak industri menimbulkan dampak negatif bagi pihak lain.

Pencemaran air dan udara sebagai eksternalitas negatif memiliki konsekuensi ganda. Pertama, pencemaran yang dibiarkan terakumulasi akan menurunkan produktivitas lingkungan yang pada gilirannya dapat membatasi pertumbuhan ekonomi. Sebagaimana yang sudah dirumuskan oleh Pezzey tentang

economic and environmental stocks and flows – a general model’ kemampuan

menghasilkan output tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan modal, teknologi dan tenaga kerja, namun juga oleh produktivitas lingkungan. Kedua, pihak yang dirugikan akan bereaksi atas penderitaannya sehingga menuntut kompensasi. Keduanya memiliki implikasi bahwa eksternalitas negatif harus diinternalisasikan yang berarti memberikan harga untuknya dalam rangka mencapai manfaat sosial secara optimum. Konsekuensinya, internalisasi eksternalitas akan mempengaruhi biaya produksi dan tingkat produksi.

Coase (1960) mengemukakan solusi terhadap masalah eksternalitas negatif ini. Inti dari cara pemecahan yang dikemukakan Coase adalah bagaimana dua individu atau perusahaan memecahkan masalah eksternalitas negatif tanpa banyak campur tangan dari pemerintah. Artinya, sejauhmana solusi swasta mampu mengatasi masalah eksternalitas.

Coase Theorem menyatakan bahwa dalam keadaan tidak ada biaya

transaksi, tingkat produksi barang dan jasa dalam suatu industri dimana terjadi eksternalitas tergantung apakah pihak yang menimbulkan eksternalitas secara

legal dikenakan biaya atau tidak atas eksternalitas yang menimbulkan dampak negatif bagi pihak lain. Kesediaan menanggung biaya eksternalitas sangat tergantung pada bargaining antara pihak yang menderita dengan pihak yang berbuat. Dengan demikian solusi swasta bisa sangat efektif seandainya pihak yang berkepentingan dapat melakukan negosiasi atau merundingkan solusi penanganan masalah eksternalitas tanpa mengeluarkan biaya yang memberatkan alokasi sumberdaya.

Asumsi kuat yang melekat dibalik teorema ini adalah proses bargaining

bekerja dalam kerangka pasar persaingan sempurna, informasi sempurna, tidak ada biaya transaksi sehingga kedua belah pihak akan sama-sama diuntungkan. Namun dalam kenyataannya asumsi tersebut sangat tidak realistis. Selain banyak pihak yang berkepentingan, kepentingan masing-masing akan lebih mendominasi untuk memenangkan tawar menawar. Untuk itu pemerintah dapat memfasilitasi proses bargaining ini agar tercapai tingkat produksi optimum secara sosial yakni profit maksimum dimana eksternalitas sudah diinternalisasikan. Selain itu pemerintah dapat menetapkan kebijakan dalam rangka menominalkan air dan udara melalui standar baku mutu limbah cair dan emisi dengan mekanisme CAC atau berbasis pasar.

Aturan baku mutu limbah yang merupakan turunan dari UU Lingkungan Hidup merupakan tipe CAC yang membutuhkan kelembagaan yang kuat dalam pelaksanaannya. Temuan Panayotou (1992) menunjukan bahwa di negara-negara berkembang dimana terdapat keterbatasan pemerintah dalam anggaran dan kemampuan penegakan, maka tipe kebijakan CAC secara umum tidak efektif dalam mengontrol degradasi lingkungan.

Permasalahannya, kebijakan tersebut bisa jadi tidak efektif mencapai sasarannya ketika tingkat kepedulian dan kesadaran lingkungan belum terbangun. Implementasi kebijakan yang efektif perlu didukung oleh kepedulian dan kesadaran stakeholders terhadap masalah pencemaran ini, yakni pemerintah, pengusaha dan masyarakat. Kepedulian dan kesadaran lingkungan akan menjadi sentral dalam implementasi kebijakan lingkungan dalam bentuk apa pun. Artinya, tanpa kepedulian dan kesadaran lingkungan kebijakan tersebut tidak akan ada maknanya. Kepedulian dan kesadaran lingkungan ini perlu dibangun dengan berbagai dimensi yang menyangkut berbagai pihak. Oleh karena itu, etika lingkungan menjadi sentral dalam pengendalian degradasi lingkungan.

3.3. Etika Lingkungan

Etika lingkungan hidup menawarkan cara pandang atau paradigma baru sekaligus perilaku baru terhadap lingkungan hidup atau alam yang bisa dianggap sebagai solusi terhadap degradasi lingkungan. Dalam perspektif ini, degradasi lingkungan terjadi karena perilaku manusia yang dipengaruhi oleh cara pandang antroposentris dan karena keberanian manusai melawan etika yang diketahuinya (Keraf, 2002; Arifin, 2001).

Sekalipun menurut antroposentrisme manusia dianggap terpisah dan berada di atas alam, paham ini tidak bisa mengingkari kenyataan ekologis bahwa ada keterkaitan sangat erat antara semua makhluk alam termasuk manusia. Artinya, manusia mempunyai kepentingan untuk melestarikan lingkungan karena dengan melestarikan lingkungan manusia mempertahankan hidupnya sendiri.

Sebaliknya, biosentrisme dan ekosentrisme beranggapan bahwa manusia mempunyai kewajiban moral untuk menghargai alam semesta dengan segala isinya karena manusia adalah bagian dari alam dan karena alam mempunyai nilai pada dirinya sendiri. Dari kedua mahzab ini muncul prinsip-prinsip etika lingkungan hidup yakni sikap hormat terhadap alam, prinsip tanggungjawab, solidaritas, prinsip kasih sayang dan kepedulian, prinsip ‘no harm’, prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam, prinsip keadilan, prinsip demokrasi, prinsip integritas moral (Keraf, 2002). Seluruh prinsip tersebut mengerucut pada pada pembentukan karakter dan sikap bersama agar pro-lingkungan. Artinya, sikap individu yang peduli terhadap lingkungan selanjutnya perlu dikembangkan menjadi collective action dalam melestarikan lingkungan. Hal ini sejalan dengan pemikiran Chiang (1995) bahwa terkait dengan masalah lingkungan tahap pertama yang diperlukan adalah kepedulian orang-orang. Mengatasi masalah lingkungan sebagian besar merupakan upaya kolektif, artinya jika seseorang berbuat namun yang lain tidak maka akan sia-sia.

Pemikiran Pezzey, pengusung Teori EKC, temuan empiris dampak degradasi lingkungan terhadap kemiskinan dan kesehatan serta kesinambungan pembangunan, juga paradigma pembangunan berkelanjutan tampaknya tidak lepas dari paham antroposentris. Bahwasannya perlindungan dan perbaikan lingkungan semata-mata untuk mempertahankan keberlanjutan pembangunan dan kesejahteraan manusia itu sendiri.

Sebenarnya melalui paradigma pembangunan berkelanjutan, dicoba diselaraskan antara pertumbuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan. Pembangunan dan lingkungan merupakan dikotomi yang salah (Sanim, 2003).

Namun dari beberapa definisi tentang pembangunan berkelanjutan dan pengukurannya, tampaknya bobot kepentingan ekonomi lebih menonjol. Apalagi ketika paradigma pembangunan berkelanjutan tersebut dihadapkan pada kondisi negara-negara berkembang, maka sulit dipungkiri bahwa orientasi pertumbuhan dalam rangka menurunkan kemiskinan akan lebih mendominasi dibandingkan dengan perlindungan lingkungan. Hanya pada kelompok masyarakat tertentu yang memiliki local wisdom terhadap alam, yang mau mengorbankan kepentingan hidupnya demi pelestarian alam. Namun konsekuensinya, pertumbuhan ekonomi akan berjalan lambat, kehidupan sederhana dan apa adanya.

Dengan demikian hubungan yang harmonis antara pertumbuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan dalam perspektif pembangunan berkelanjutan hanya bisa terjadi ketika pendapatan per kapita sudah tinggi dan atau karena tingginya penghargaan masyarakat terhadap alam sehingga terbentuk aksi kolektif peduli lingkungan.

Tantangannya adalah mencapai kesejahteraan masyarakat tetapi merubah aktivitas pasar sehingga SDA dan lingkungan terlindungi. Persepsi harus diubah untuk mengakui bahwa konservasi dan pengurangan polusi dapat mendorong kepentingan pribadi sama dengan kepentingan sosial. Komunikasi harus dikembangkan untuk berbagi informasi tentang teknologi, input, dan proses yang dapat melindungi lingkungan tanpa menurunkan profit. Jika berhasil, kerjasama sebaiknya menggantikan posisi yang saling merugikan antara sektor privat dan publik yang akan mengurangi biaya monitoring dan prosedur penegakan. Upaya yang lebih meluas harus terus dilakukan seperti mempromosikan pencegahan polusi. Pada saat yang bersamaan, kepedulian/kesadaran/melek lingkungan terus

dikembangkan, pendidikan masyarakat tentang dampak dari degradasi lingkungan dan mendorong membuat keputusan yang bertanggungjawab. Teknologi lingkungan terus dikembangkan (Callan, 2000).

Untuk kasus Jawa Barat, karakteristik masyarakatnya heterogen dan sudah terimbas globalisasi dimana terdapat kecenderungan lunturnya norma-norma dan etika lokal yang berdampak positif pada lingkungan. Sedangkan proses industrialisasi masih berjalan intensif, namun pendapatan per kapita masih rendah. Karenanya, tidak mudah untuk mengubah preferensi masyarakat agar pro lingkungan.

Gambar 3 mengilustrasikan kerangka pemikiran penelitian yang menunjukan bagaimana keterkaitan antar variabel utama sesuai permasalahan yang dihadapi oleh Jawa Barat dan landasan teori.

Perekonomian Jawa Barat

Industrialisasi Krisis Ekonomi Perubahan Output ≠ Tenaga Kerja Pertumbuhan ekonomi Ketimpangan Pendapatan Kemiskinan Emisi Limbah Pertumbuhan Penduduk Kegagalan Pasar Lahan Kritis Open Access State Property Kebijakan Lingkungan Private Property Kebijakan Pertumbuhan Ekonomi Kepedulian Lingkungan Pembangunan Berkelanjutan Gambar 3. Kerangka Pemikiran Penelitian

Daftar Isi Bab 3 :

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 51

Dokumen terkait