• Tidak ada hasil yang ditemukan

Beberapa penelitian menyatakan bahwa faktor sosial merupakan penentu utama sukses tidaknya suatu kawasan konservasi (Fiske 1992, Kelleher dan Recchia 1998, McClanahan 1999, Roberts 2000). Bunce et al. (2000) dan NOAA-CSC (2005) mengemukakan bahwa kajian sosial ekonomi adalah jalan untuk mempelajari kondisi sosial, budaya, ekonomi, kelembagaan, individu, kelompok dan masyarakat. Beberapa faktor sosial yang umum dikaji ialah (a) bentuk pemanfaatan sumberdaya, (b) karakteristik pemangku kepentingan dan masyarakat, (c) persepsi, sikap dan kepercayaan pemangku kepentingan, (d) isu gender, (e) pelayanan masyarakat dan fasilitas, (f) pengetahuan tradisional.

Berdasarkan hasil penelitian melalui observasi, kuisioner, diskusi dan wawancara langsung dengan masyarakat serta pihak terkait lainnya di lokasi penelitian diketahui beberapa karakteristik aspek-aspek sosial ekonomi masyarakat yang berkaitan terhadap pengelolaan ekosistem terumbu karang di Perairan Sitardas. Secara umum aspek-aspek tersebut merupakan bentuk ataupun

kondisi objektif masyarakat dalam upaya pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya yang ada untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Kependudukan

Bedasarkan data Kabupaten Tapanuli Tengah jumlah penduduk desa Sitardas tahun 2007 tercatat 1832 jiwa dengan komposisi 998 jiwa laki-laki dan 834 jiwa perempuan. Sedangkan jumlah penduduk yang tercatat sampai bulan Nopember tahun 2008 di Kantor Kepala Desa Sitardas sebanyak 2047 jiwa dengan komposisi 44.15% laki-laki dan 55.85% perempuan. Penduduk Desa Sitardas terdiri dari beberapa suku, yakni suku Batak, Nias, Melayu, dan Jawa dengan kebudayaan yang telah mengalami akulturasi dengan budaya pesisir. Bahasa yang digunakan sehari-hari mempunyai ciri tersendiri, seperti bahasa melayu pesisir yang diwarnai dialek Batak atau dialek Jawa. Tingkat heterogenitas yang tinggi tidak menimbulkan terjadinya perpecahan, tetapi saling menghargai dan tolong-menolong dalam kehidupan sehari-hari (Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Tengah; Badiri Dalam Angka, 2008).

Berdasarkan data statistik kependudukan di atas diketahui bahwa perkembangan jumlah penduduk Desa Sitardas meningkat dari tahun ke tahun, sehingga berdampak secara langsung kepada pemanfaatan ekosistem terumbu karang. Seperti dijelaskan oleh (Brown, 1993) salah satu ancaman terbesar bagi terumbu karang adalah peningkatan populasi manusia terutama di wilayah pesisir dan pembangunan fisik. Sejalan dengan pembangunan fisik yang mengubah bentangan alam, jumlah aliran permukaan air tawar terus meningkat membawa sedimen dalam jumlah besar dan nutrient dalam kadar tinggi dari pertanian atau sistem pembuangan. Akibatnya sedimentasi akan menutup terumbu karang atau menyebabkan peningkatan kekeruhan karena penyuburan (eutrofikasi) yang dapat menurunkan jumlah cahaya mencapai karang dan dapat menyebabkan pemutihan. Oleh karena itu perlu adanya peningkatan terhadap pengelolaan sumberdaya yang ada seiring peningkatan jumlah penduduk, agar tidak terjadi

degradasi hasil sumberdaya. Kegiatan yang dapat dilakukan dalam upaya peningkatan pengelolaan ekosistem terumbu karang tersebut antara lain adalah mendidik masyarakat dalam hal perlindungan/konservasi sehingga dapat

meningkatkan rasa tanggung jawab dan kewajiban untuk berperan aktif dalam menjaga dan mengelola sumberdaya mereka secara lestari (Tulungen et al., 2002).

Pendidikan

Menurut (LPPM STPS, 2004) masyarakat Desa Sitardas mempunyai kualitas tingkat pendidikan/sumberdaya manusia yang masih relatif rendah. Hal ini ditdanai dengan banyaknya penduduk yang mempunyai tingkat pendidikan SD (54.55%), sedangkan tingkat pendidikan SMP sebesar 16.70% dan tidak bersekolah 28.75%. Prasarana pendidikan yang ada di desa ini adalah 2 buah gedung Sekolah Dasar yang terletak di Dusun Kampung Sawah dan Dusun Bulu Suratan. Tenaga pengajar di kampung sawah sebanyak 5 orang PNS dan 2 orang tenaga Honorer. Sedangkan tenaga pengajar di SD di Dusun Bulu Suratan sebanyak 4 orang PNS dan 5 tenaga honorer. Kondisi bangunan sekolah sudah sangat memprihatinkan dan fasilitas proses belajar mengajar sangat minim.

Masyarakat pesisir dengan tingkat pendidikan demikian sangat membutuhkan upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia, baik melalui pendidikan formal maupun informal. Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat Desa Sitardas ini adalah merupakan salah satu kelemahan dalm upaya pengelolaan ekosistem terumbu karang dan DPL Sitardas. Seperti djelaskan Nikijuluw (1994) dalam pengelolaannya umumnya DPL dilakukan berbasis masyarakat atau biasa disebut Community Based Management (CBM) yang merupakan salah satu pendekatan pengelolaan sumberdaya alam seperti ekosistem terumbu karang dan sumberdaya perikanan yang meletakkan pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaannya. Namun CBM ini juga memilki kelemahan (nilai-nilai negatif) dari pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan berbasis masyarakat karena masyarakat memiliki keterbatasan seperti tingkat pendidikan serta kesadaran akan pentingnya lingkungan. Kemudian menurut Madrie (1986) bahwa tingkat pendidikan, umur dan kesesuaian kegiatan dengan kebutuhan merupakan faktor pribadi yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi seseorang dalam melakukan kegiatan.

Mata Pencaharian dan Pendapatan

Berdasarkan pekerjaan komposisi masyarakat Desa Sitardas adalah 92.41% petani dan 2.53% sebagai Nelayan. Umumnya masyarakat Dusun Kampung Sawah–Desa Sitardas seluruhnya bekerja sebagai nelayan, sedangkan di dusun lainnya sebagian besar bekerja sebagai petani, dan hanya 3% sebagai nelayan. Nelayan yang terdapat di desa ini terdiri dari buruh nelayan (anak buah kapal), tekong (juru mudi kapal), nelayan pemilik kapal (toke) serta nelayan pengolah hasil perikanan. Banyaknya jumlah nelayan yang ada di Desa Sitardas ini menjadi ukuran tingginya interaksi manusia dengan lingkungannya, terutama ekosistem terumbu karang. Untuk itu perlu pula adanya pengaturan yang baik dan tepat dalam pemanfaatan sumberdaya yang ada.

Sarana perikanan yang terdata di desa ini adalah perahu sebanyak 12 unit dan beberapa buah bagan tancap. Dalam kegiatan penangkapan ikan di laut, umumnya nelayan menggunakan kapal kayu kecil berukuran 5–10 GT dengan mesin motor tempel 10 PK atau perahu tanpa motor (jukung). Alat tangkap yang dioperasikan umumnya jaring insang (gill net) untuk menangkap jenis ikan pelagis, dan sebagian menggunakan alat pancing. Dalam kondisi demikian, daerah penangkapan ikan (fishing ground) terbatas di perairan sekitar pantai (perairan neritik), sehingga produksi ikan relatif rendah. Walaupun keadaan ekonomi sulit, nelayan tetap bertahan untuk melaut karena pekerjaan itu sudah mereka lakukan secara turun temurun, tidak ada alternatif pekerjaan lain dan mereka tidak mempunyai keterampilan lain. Dalam situasi seperti ini diperlukan pengembangan pekerjaan alternatif bagi masyarakat nelayan, yang dapat dilakukan oleh anggota keluarga sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat nelayan tersebut.

Secara umum tingkat perekonomian masyarakat di Desa Sitardas masih tergolong rendah, sehingga umumnya masyarakat mementingkan memenuhi kebutuhan hidupnya dari pada aktif dalam kegiatan untuk pelestarian dan pengelolaan sumberdaya alam. Dijelaskan oleh (Soeryani, 1987) bahwa tingkat pendidikan dan kemiskinan adalah faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam melaksanakan suatu kegiatan, termasuk dalam upaya pengelolaan sumberdaya alam.

Sarana dan Prasarana Umum

Di Desa Sitardas belum ada fasilitas pasar, sehingga masyarakat harus pergi ke Desa Hutabalang atau Desa Hajoran yang telah mempunyai fasilitas pasar untuk memperoleh bahan kebutuhan sehari-hari. Demikian juga dengan fasilitas pendaratan ikan belum ada, sehingga bongkar muat produksi perikanan dilakukan di pinggir pantai di Dusun Kampung Sawah.

Sarana dan prasarana jalur transportasi menuju ke desa ini masih berupa jalan tanah. Sedangkan transportasi menuju kampung sawah kebanyakan orang menggunakan jalur laut. Minimnya sarana dan prasarana yang ada di desa sitardas, terutama yang berkaitan dengan kegiatan perikanan seperti tempat pendaratan ikan mengakibatkan pengelolaan wilayah peisisir Sitardas kurang baik. Bongkar muat hasil-hasil perikanan yang dilakukan secara tradisional di pinggir laut dapat menyebabkan pencemaran serta dampak negatif terhadap lingkungan perairan disekitarnya. Berdasarkan informasi Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK) Sitardas sarana dan prasarana dalam upaya pengelolaan ekosistem terumbu karang seperti kapal (boat) pengawasan DPL juga sangat memprihatinkan. Oleh karena itu diperlukan adanya pengelolaan secara terpadu melalui peningkatan sarana dan prasarana yang ada agar pengelolaan dan pengawasan ekosistem terumbu karang di perairan dan DPL Sitardas dapat berjalan dengan baik.

Aspek Kelembagaan

Desa Sitardas dipimpin oleh seorang Kepala Desa, dibantu oleh seorang Sekretaris Desa, seorang Kepala Urusan Pemerintahan, seorang Kepala Urusan Umum, dan seorang Kepala Urusan Pembangunan. Desa Sitardas mempunyai 5 dusun, masing-masing dipimpin oleh seorang Kepala Dusun serta bertanggung jawab langsung kepada Kepala Desa. Dusun I (Kampung Sawah) terletak di tepi pantai, Dusun II (gabungan dari Kampung Mali-mali, Jambar Toba dan Meranti) berupa lembah dan perbukitan, Dusun III (Bulu Suratan) merupakan dataran rendah, Dusun IV (Sawangan Rambutan) berupa dataran rendah sampai perbukitan, dan Dusun V (P. Panjang dan Danau Pdanan) berupa dataran rendah.

Aspek kelembagaan yang ada di Desa Sitardas merupakan komponen yang penting dalam upaya pengelolaan ekosistem terumbu karang dan DPL Sitardas.

Bentuk nyata dari implementasi aspek kelembagaan ini terhadap pengelolaan ekosistem terumbu karang di Desa Sitardas adalah adanya legimitasi terhadap DPL Sitardas melalui Peraturan Desa (Perdes) Nomor : 1 Tahun 2008, pada tanggal 15 Oktober 2008. Perdes ini mengatur tentang kawasan DPL, pemanfaatannya, alat penangkapan yang diperbolehkan, larangan serta sanksi terhadap pelanggaran peraturan yang ditetapkan. Aspek kelembagaan yang ada di Desa Sitardas ditampilkan pada diagram (Gambar 17).

Gambar 17 Struktur Pemerintahan Desa Sitardas

Sumber: Kantor Kepala Desa Sitardas 2009

Selain aspek kelambagaan pemerintahan Desa Sitardas, terdapat pula Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK) yang bertanggung jawab dalam upaya pengelolaan ekositem terumbu karang di Desa Sitardas, yang berada di bawah naungan COREMAP II Kabupaten Tapanuli Tengah.

Sikap, Persepsi dan Partisipasi Masyarakat

Hasil pengumpulan data baik melaui diskusi formal dan informal maupun kuisioner yang dibagikan diketahui bahwa sikap masyarakat terhadap pelestarian dan pengelolaan ekosistem terumbu karang di Perairan Sitardas cukup tinggi. Dari 30 responden yang dilakukan wawancara menyatakan setuju dengan adanya daerah perlindungan laut sebagai salah satu upaya dalam pelestarian dan pengelolaan ekosistem terumbu karang di daerah tersebut.

Kepala Desa BPD LPM Sekretaris Desa Kepala Dusun I Kepala Dusun II Kepala Dusun III Kepala Dusun IV Kepala Dusun V KAUR UMUM KAUR PEMERINTAHAN KAUR PEMBANGUNAN

Sikap masyarakat ini ditunjukkan dengan kesadaran untuk tidak melakukan kegiatan yang dapat merusak terumbu karang. Kemudian kesediaan masyarakat untuk menjalankan Peraturan Desa (Perdes) yang ditetapkan bersama sebagai dasar kekuatan hukum untuk perlindungan DPL Sitardas.

Persepsi terhadap pelestarian dan pengelolaan ekosistem terumbu karang di Perairan Sitardas telah ada, sehingga dapat mendukung keberadaan daerah perlindungan laut. Namun sangat disayangkan pengetahuan dan pemahaman terhadap keberadaannya, lingkungannya serta pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya yang ada masih kurang. Hal ini juga menyebabkan kurangnya peran serta masyarakat dalam kegiatan pelestarian dan pengelolaan ekosistem terumbu karang yang ada.

Dijelaskan oleh Dutton et al. (2001) mengenai sikap dan persepsi masyarakat terhadap sumberdaya pesisir dan lautan Indonesia untuk pertama kalinya, bahwa pada wilayah pedesaan pesisir dan pedalaman pengetahuan masyarakatnya akan keberadaan Indonesia dan letaknya masih sangat rendah. Rendahnya pengetahuan ini mencakup minimnya pengetahun mengenai sumberdaya pesisir dan lautan yang berlimpah bagi kehidupan sosial dan ekonomi. Disamping itu perbedaan yang mendasar dalam pengetahuan dan pengertian masyarakat menjadi kendala keikutsertaannya dalam program pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang lebih baik. Namun demikian di luar keterbataan yang ada tersebut, masyarakat secara umum menyadari pentingnya sumberdaya pesisir dan laut bagi kehidupan sehari-hari.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa masyarakat sebenarnya bersedia untuk terlibat langsung secara aktif bersama dengan pemerintah setempat dan institusi lainnya dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut (Dutton et al., 2001). Oleh karena itu perlu adanya adanya pembinaan, pendidikan, petunjuk serta kepercayaan dalam keterlibatannya untuk pengelolaan sumberdaya tersebut.

Untuk partisispasi masyarakat dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang di Perairan Sitardas belum tampak jelas. Sebagian masyarakat masih ada yang belum mau untuk aktif serta dalam pengawasan untuk perlindungan ekosistem terumbu karang yang ada. Meskipun sebagian masyarakat telah terlibat, namun hanya sebagai pemanfaat dan pemantau kondisi ekosistem terumbu karang

saja. Kegiatan pengawasan DPL sendiri masih dilakukan oleh sebagian anggota masyarakat yang tergabung kedalam Kelompok Masyarakat (Pokmas). Secara umum operasional pengawasan dan pengelolaan terhadap ekosistem terumbu karang yang ada, masih berdasarkan pada anggaran untuk pengelolaan DPL dari pemerintah pusat melalui PIU COREMAP II Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tapanuli Tengah. Belum adanya swadaya dari masyarakat disebabkan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang masih rendah.

Sepeti dijelaskan oleh Cohen dan Uphoff (1977) bahwa partisipasi dibedakan berdasarkan tahapannya terbagi atas; (1) Partisipasi dalam pembuatan keputusan, kebijakan dan perencanaan pembangunan. (2) Partisipasi dalam pelaksanaan program pembagunan. (3) Partisipasi dalam memanfaatakan atau menggunakan hasil-hasil pembangunan. (4) Partisipasi dalam mengevaluasi dan mengawasi pembangunan.

Dokumen terkait