KAJIAN KOMUNITAS TERUMBU KARANG
DAERAH PERLINDUNGAN LAUT PERAIRAN SITARDAS
KABUPATEN TAPANULI TENGAH
PROPINSI SUMATERA UTARA
HEMAT SIRAIT
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Kajian Komunitas Terumbu Karang Daerah Perlindungan Laut Perairan Sitardas Kabupaten Tapanuli Tengah Propinsi Sumatera Utara adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dan dikutif dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka bagian akhir tesis ini.
Bogor, November 2009
Hemat Sirait
HEMAT SIRAIT. Study of coral reef community of marine protected areas in Sitardas Waters Central Tapanuli District North Sumatra Province. Under direction of M. MUKHLIS KAMALand NURLISA A. BUTET
A coral reef ecosystem, as one of the main habitats on a coastal, physically serves to protect the beach from currents and waves. Ecologically, it serves as habitat for marine life and as a protected, feeding, spawning, and nursing ground (Nybakken 1992). The study aims to: (1) knowing the condition of coral reefs in the Sitardas Village water areas; (2) review the damage of coral reefs in Sitardas Village; (3) formulate recommendation of coral reef management strategy in developing marine protected areas. The method that used in the research is survey method with data types consist of primary and secondary data. Primary data include: aquatic biophysical conditions (physical-chemistry parameters of waters and coral coverage). Measurements of coral percent coverage conducted with Line Intercept Transect method (LIT), reef fish by Underwater fish Visual Census method (UVC) and megabenthos with Reef Check Benthos method (RCB); community socioeconomic data taken with purposively sampling by distribute the questionnaires and direct interviews. Secondary data include the aspects relating to management of coral reef ecosystem in Sitardas, obtained through searching of the literature and data from other relevant agencies. Analysis development of management strategies for coral reef ecosystems and marine protected areas (MPAs) using SWOT analysis. Based on field observations, the category of life form coral reefs was in sufficient and good category. But commonly coral reef ecosystem in Sitardas waters occur disturbed which caused by anthropogenic and sedimentation. Based on the research results can be concluded that conditions of coral reefs in the Sitardas waters damaged due fishing by using bombs and Pottasium and due to the use by the fishing ship's anchor.
HEMAT SIRAIT. Kajian Komunitas Terumbu Karang Daerah Perlindungan Laut Perairan Sitardas Kabupaten Tapanuli Tengah Propinsi Sumatera Utara. Dibimbing oleh M. MUKHLIS KAMAL dan NURLISA A. BUTET.
Terumbu karang merupakan ekosistem perairan dangkal yang banyak dijumpai di sepanjang garis pantai daerah tropis yang terbentuk dari endapan massif kalsium karbonat (CaCO3), dihasilkan oleh karang hermatifik yang bersimbiosis dengan alga zooxantella (Nybakken, 1992). Secara ekologis terumbu karang merupakan tempat hidup biota laut sebagai tempat berlindung, mencari makan, bertelur dan daerah pembesaran. Kerusakan ekosistem terumbu karang tidak hanya menyebabkan turunnya kualitas dan kuantitas terumbu karang tetapi juga menurunkan kualitas dan kuantitas biota yang berinteraksi terhadap terumbu karang, seperti halnya ikan dan hewan benthic lainnya. Adanya kerusakan ekosistem terumbu karang di Perairan Sitardas mengakibatkan turunnya kualitas dan kuantitas terumbu karang serta turunnya hasil perikanan masyarakat nelayan Desa Sitardas. Oleh karena itu, maka penelitian ini dilakukan untuk memberikan saran dan rekomendasi bagi perbaikan upaya pengelolaan ekosistem terumbu karang di Perairan Sitardas agar kerusakan yang lebih besar dapat dihindarkan.
Penelitian ini bertujuan, untuk mengkaji kondisi terumbu karang yang ada di Perairan Sitardas, kemudian mengkaji kerusakan terumbu karang di Perairan Sitardas, selanjutnya memberikan rekomendasi strategi pengelolaan terumbu karang dalam upaya pengembangan Daerah Perlindungan Laut Sitardas.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey dengan pengumpulan data primer dan data sekunder. Data primer meliputi parameter fisika kimia perairan dan tutupan karang. Pengukuran persentase tutupan karang dilakukan dengan metode (Line Intercept Transect=LIT), ikan karang dengan metode (Underwater fish Visual Cencus=UVC) dan benthic fauna yang berasosiasi dengan terumbu karang dengan metode (Reef Check Benthos=RCB). Data sosial ekonomi masyarakat diambil secara purposive sampling dengan penyebaran kuisioner dan wawancara langsung. Data sekunder meliputi aspek sosial ekonomi masyarakat yang berkaitan dengan pengelolaan ekosistem terumbu karang di Perairan Sitardas, diperoleh melalui penelusuran berbagai pustaka dan data dari instansi terkait lainnya. Analisis data dilakukan secara deskriftif berdasarkan hasil pengolahan data primer dan sekunder. Analisa pengembangan untuk strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang dan Daerah Perlindungan Laut (DPL) menggunakan analisis SWOT.
Berdasarkan data rerata persentase penutupan karang hasil penelitian tahun 2009 dengan data baseline 2004 terjadi penurunan, kemudian terjadi peningkatan dibandingkan dengan monitoring 2007 dan 2008. Persentase tutupan biota dan substrat pada stasiun SIT 01 hard coral 43.03%, lumpur berpasir 18.70%, patahan karang 16.03%, alga 11.83% dan substrat lainnya 10.40%, stasiun SIT 02 hard coral
dengan persentse tutupan biota dan substrat tersebut, maka kategori tutupan karang hidup hasil penelitian di Perairan Sitardas termasuk kategori sedang sampai baik sesuai dengan kategori Gomez dan Yap (1988) meskipun hal ini tidak sepenuhnya menggambarkan kondisi ekosistem terumbu karang di Perairan Sitardas. Kondisi objektif berdasarkan pengamatan di lapangan persentase tutupan substrat selain tutupan karang hidup juga cukup tinggi, banyaknya patahan karang, karang mati serta adanya endapan lumpur menjadi indikasi bahwa terjadi kerusakan ekosistem terumbu karang di Perairan Sitardas.
Secara umum kerusakan ekosistem terumbu karang yang ada di Perairan Sitardas diakibatkan aktifitas manusia dan sedimentasi. Penangkapan ikan dengan alat yang tidak ramah lingkungan (penggunaan bom dan pottasium) masih terjadi di wilayah Perairan Sitardas. Akibat sedimentasi melalui muara sungai yang mengalir dari Desa Sitardas menuju perairan laut, kemudian adanya penebangan hutan secara liar di sekitar perbukitan Desa Sitardas yang menyebabkan erosi tanah dan langsung menuju keperairan laut semakin memperburuk kerusakan ekosistem terumbu karang di Perairan Sitardas. Kurangnya pengetahuan tentang terumbu karang dan manfaatnya, serta lemahnya pengawasan menjadi kendala utama dalam upaya pelestarian terumbu karang di wilayah ini.
Berdasarkan hasil analisis SWOT diperoleh prioritas strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang yang kemudian diterjemahkan kedalam keputusan teknis sebagai rekomendasi dalam upaya pengelolaan ekosistem terumbu karang dan pengembangan Daerah Perlindungan Laut Sitardas yaitu, perlu adanya penzonasian ulang Daerah Perlindungan Laut Sitardas, meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum, melakukan rehabilitasi ekosistem terumbu karang di Perairan Sitardas dan Daerah Perlindungan Laut yang rusak.
Penelitian kajian komunitas terumbu karang di Perairan Sitardas dapat disimpulkan bahwa terjadinya kerusakan terumbu karang akibat penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan serta akibat penggunaan jangkar kapal. Peran serta dan partisipasi masyarakat dalam menjaga, mengawasi serta mengelola ekosistem terumbu karang di Perairan Sitardas belum terlihat dengan jelas.
Hak Cipta milik IPB, tahun 2009
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
KAJIAN KOMUNITAS TERUMBU KARANG
DAERAH PERLINDUNGAN LAUT PERAIRAN SITARDAS
KABUPATEN TAPANULI TENGAH
PROPINSI SUMATERA UTARA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
HEMAT SIRAIT
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Sumatera Utara Nama : Hemat Sirait
NIM : C252070204
Disetujui
Komisi Pembimbing
Diketahui
Tanggal Ujian: 10 November 2009 Tanggal Lulus: Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc.
Ketua
Ir. Nurlisa A. Butet, M.Sc. Anggota
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S. Ketua Program Studi
Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
karunia-Nya sehingga penelitian dan penulisan laporan penelitian ini dapat diselesaikan.
Laporan penelitian dengan judul “Kajian Komunitas Terumbu Karang Daerah perlindungan Laut Perairan Sitardas Kabupaten Tapanuli Tengah Propinsi Sumatera Utara” disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan
Lautan pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc. dan Ibu Ir. Nurlisa A. Butet, M.Sc.
selaku Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan,
bantuan dan arahan dalam pelaksanaan penelitian serta penyusunan laporan
penelitian ini.
2. Bapak Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. sebagai Dosen Penguji Luar Komisi
yang telah memberikan perbaikan dan masukan dalam penulisan tesis ini.
3. Bapak Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. selaku Ketua Departemen MSP.
4. Bapak Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA sebagai Ketua Program Studi
SPL.
5. Seluruh Dosen pengajar atas bimbingan yang telah diberikan dan seluruh staf
karyawan dan staf sekretariat SPL atas bantuan selama masa studi penulis di
SPL-IPB.
6. Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang (COREMAP II–
ADB) Departemen Kelautan dan Perikanan yang telah membiayai pendidikan
dan penelitian ini.
7. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sumatera Utara, Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Tapanuli Tengah serta BAPPEDA Kabupaten Tapanuli
Tengah atas segala bantuan dan koordinasi yang diberikan.
8. Lembaga Ilmu Pengetahuan dan Penelitian Indonesia (Pak Ricoh, Mas Bayu,
Dimas dkk) atas bantuan dan kerjasama yang diberikan.
9. Ibunda Sakdiah Damanik atas segala do’a dan bimbingan yang diberikan
Hessy Aurellya Sirait atas segala dorongan dan dukungan yang telah
diberikan.
11. Ungkapan terima kasih kepada Ayah A. Bakar Rambe dan Ibu Deswita Jalil
beserta seluruh adik-adik (Ucok, Betha, Dewi, Rika, Doni dan Anton).
12. Rekan-rekan SPL–SANDWICH COREMAP II–ADB (Ustad Ilham, Kiyai
Dedy D, Brother Jojo dan Viddint, Coy Reza, Lida Aro, Cuy Amehr dan
Dedy E, dan lain-lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu), terima kasih
atas kebersamaan selama mengikuti masa study di Bogor dan Xiamen–China.
13. Teman-teman yang membantu selama penelitian (Ivan, Pagar, Tanti, Bang
Dolly dan Bang Adek) atas kerjasama selama di lapangan.
Semoga laporan penelitian ini dapat bermanfaat sebagai sumbangan
pemikiran dan wawasan bagi pembacanya.
Bogor, November 2009
Penulis dilahirkan di Raja
Simalungun Propinsi
September 1975 sebagai anak ke
dari pasangan Bapak Poniman Sirait (alm) dan Ibunda
Sakdiah Damanik.
Program Studi
Manajemen Sumberdaya Perairan,
pada tahun 1999.
Pada tahun 2005 penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil Dinas
Perikanan dan Kelautan Propinsi Sumatera Utara. Kemudian tahun 2007 penulis
mendapat beasiswa dari Coral Reef
(COREMAP) Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
melanjutkan pendidikan di
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang merupakan kerjasama Departemen
Kelautan dan Perikanan,
Republik Rakyat China.
Penulis dilahirkan di Raja Maligas, Kabupaten
Simalungun Propinsi Sumatera Utara pada tanggal 02
September 1975 sebagai anak ke-empat dari 6 bersaudara
dari pasangan Bapak Poniman Sirait (alm) dan Ibunda
Sakdiah Damanik. Pendidikan sarjana ditempuh di
Program Studi Pemanfaatan Sumbrdaya Perairan,
erdaya Perairan, Fakultas Perikanan Universitas Riau, lulus
Pada tahun 2005 penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil Dinas
Perikanan dan Kelautan Propinsi Sumatera Utara. Kemudian tahun 2007 penulis
beasiswa dari Coral Reef Rehabilitation and Management Program
(COREMAP) Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
di Sandwich Program Magister Sains pada Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang merupakan kerjasama Departemen
utan dan Perikanan, Institut Pertanian Bogor dan Xiamen University Maligas, Kabupaten
Sumatera Utara pada tanggal 02
empat dari 6 bersaudara
dari pasangan Bapak Poniman Sirait (alm) dan Ibunda
Pendidikan sarjana ditempuh di
emanfaatan Sumbrdaya Perairan, Jurusan
Fakultas Perikanan Universitas Riau, lulus
Pada tahun 2005 penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil Dinas
Perikanan dan Kelautan Propinsi Sumatera Utara. Kemudian tahun 2007 penulis
Rehabilitation and Management Program
(COREMAP) Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia untuk
Sandwich Program Magister Sains pada Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang merupakan kerjasama Departemen
xi
Halaman
DAFTAR TABEL
... xiiiDAFTAR GAMBAR
... xivDAFTAR LAMPIRAN
... xv1
PENDAHULUAN
... 11.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Permasalahan ... 7
1.3 Kerangka Pemikiran ... 8
1.4 Tujuan Penelitian ... 10
2
DAFTAR PUSTAKA ... 112.1 Ekosistem Terumbu Karang ... 11
2.2 Faktor Pembatas ... 15
2.3 Kerusakan Terumbu Karang ... 16
2.4 Daerah Perlindungan Laut ... 19
3
METODE PENELITIAN ... 233.1 Tahapan Penelitian ... 23
3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 24
3.3 Metode Pengumpulan Data ... 27
3.4 Data Primer ... 27
3.4.1 Parameter fisika dan kimia perairan ... 27
3.4.2 Data terumbu karang ... 27
3.4.3 Data ikan karang ... 28
3.4.4 Data Benthic Fauna ... 29
3.4.5 Data sosial ekonomi ... 30
3.5 Data Sekunder ... 30
3.6 Analisis Data ... 31
3.6.1 Persentase tutupan karang ... 31
3.6.2 Kelimpahan ikan ... 31
3.6.3 Kelimpahan benthic fauna ... 32
3.6.4 Faktor sosial ekonomi ... 33
3.7 Analysis SWOT ... 33
4
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 364.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian ... 36
4.2 Parameter Fisika dan Kimia Perairan ... 41
4.3 Komunitas Terum bu Karang ... 46
4.3.1 Karang... 46
4.3.2 Benthic fauna ... 59
xii
4.4 Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat ... 73
4.5 Analisis Pengelolaan untuk Pengembangan ... 80
5
KESIMPULAN DAN SARAN
... 925.1 KESIMPULAN ... 92
5.2 SARAN ... 93
DAFTAR PUSTAKA
... 94xiii
Halaman 1 Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia perairan pada lokasi
penelitian di Desa Sitardas ... 42
2 Rerata jumlah hewan benthic pertransek hasil pengamatan tahun 2004, 2007, 2008 dan 2009 ... 60
3 Jumlah benthic fauna dengan metode RCB pada masing-masing stasiun penelitian ... 61
4 Kelimpahan benthic fauna di stasiun penelitian dalam luasan transek ... 62
5 Rerata jumlah individu ikan karang per transek berdasarkan kelompok dari hasil pengamatan tahun 2004, 2007, 2008 dan 2009 ... 66
6 Sepuluh jenis ikan karang yang memiliki frekwensi kehadiran relatif
tertinggi pada stasiun penelitian di Perairan Sitardas 2009 ... 67
7 Jumlah ikan karang untuk masing-masing suku pada stasiun penelitian
di Perairan Sitardas tahun 2009 ... 68
8 Perbandingan jumlah individu ikan major, ikan target dan ikan indikator pada masing-masing stasiun penelitian ... 69
9 Persentase kelompok ikan karang pada stasiun penelitian ... 69
10 Kelimpahan ikan karang di stasiun penelitian dalam luasan transek ... 73
11 Bobot unsur internal pengelolaan ekosistem terumbu karang dan DPL
Sitardas (faktor strategi internal/IFS) ... 83
12 Bobot unsur eksternal pengelolaan ekosistem terumbu karang dan DPL
Sitardas (faktor strategi eksternal/EFS) ... 83
13 Bobot, rating dan skoring unsur internal pengelolaan ekosistem terumbu karang dan DPLSitardas (faktor strategi internal/IFS).. ... 84
14 Bobot, rating dan skoring unsur eksternal pengelolaan ekosistem terumbu karang DPL Sitardas (faktor strategi eksternal/EFS) ... 85
15 Matriks formulasi arahan strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang dan DPL Sitardas ... 86
16 Ranking prioritas strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang dan
xiv
Halaman 1 Kerangka pemikiran pengelolaan ekosistem terumbu karang dan pengembangan
Daerah Perlindungan Laut Sitardas ... 9
2 Tahapan penelitian kajian kondisi ekosistem terumbu karang Daerah Perlindungan Laut Sitardas ... 24
3 Lokasi penelitian di perairan laut Desa Sitardas tahun 2009 dan lokasi penelitian LIPI tahun 2004, 2007 dan 2008 ... 25
4 Teknik Pengamatan Line Intercept Transect (LIT) ... 28
5 Metode Underwater fish Visual Census (UVC) ... 29
6 Metode Reef Check Benthos (RCB) ... 30
7 Desa Sitardas : (a) Dusun I (Kampung Sawah), (b) Perairan Sitardas, (c) P. Ungge dan (d) P. Bakal yang menjadi lokasi penelitian ... 37
8 Peta Daerah Perlindungan Laut Sitardas 2008 ... 39
9 Photo bawah air kondisi stasiun penelitian; (a) SIT 01, (b) SIT 02, (c) SIT 03, (d) BKL 04 dan (e), (f) UNG 05 di Perairan Sitardas 2009 ... 50
10 Persentase tutupan biota dan substrat masing-masing stasiun penelitian tahun 2009 ... 51
11 Persentase tutupan karang hidup pada stasiun penelitian ... 52
12 Peta persentase tutupan biota dan substrat pada masing-masing stasiun penelitian di Perairan Sitardas Tapanuli Tengah ... 53
13 Persentase jumlah benthic fauna per jenis pada stasiun penelitian ... 63
14 Peta kondisi benthic fauna pada masing-masing stasiun penelitian di Perairan Sitardas Kabupaten Tapanuli Tengah ... 65
15 Persentase kehadiran relatif suku ikan karang pada stasiun penelitian ... 71
16 Peta persentase kehadiran relatif ikan karang pada masing-masing stasiun penelitian di Perairan Sitardas Kabupaten Tapanuli Tengah ... 72
xv
Halaman 1 Posisi stasiun pengamatan untuk karang, ikan dan benthic fauna di
Perairan Desa Sitardas tahun 2009 ... 101
2 Persentase tutupan biota dan substrat pada stasiun SIT 01 ... 102
3 Persentase tutupan biota dan substrat pada stasiun SIT 02 ... 103
4 Persentase tutupan biota dan substrat pada stasiun SIT 03 ... 104
5 Persentase tutupan biota dan substrat pada stasiun BKL 04 ... 105
6 Persentase tutupan biota dan substrat pada stasiun UNG 05 ... 106
7 Persentase jumlah jenis benthic fauna pada stasiun penelitian ... 107
1.1 Latar Belakang
Terumbu karang merupakan ekosistem perairan dangkal yang banyak
dijumpai di sepanjang garis pantai daerah tropis yang terbentuk dari endapan
massif kalsium karbonat (CaCO3), dihasilkan oleh karang hermatifik yang bersimbiosis dengan alga zooxantella (Nybakken 1992). Terumbu karang
mempunyai nilai penting antara lain fungsi biologis (tempat memijah, bersarang, mencari makan dan tempat pembesaran berbagai biota laut); fungsi kimiawi
(sumber nuftah bahan obat-obatan); fungsi fisik (sebagai pelindung pantai dari
abrasi); dan fungsi sosial (sumber mata pencaharian nelayan dan objek wisata
bahari) (Supriharyono 2007).
Indonesia dikenal sebagai pusat keanekaragaman jenis karang dan tempat
asal-usul karang. Wilayah penyebarannya diperkirakan mencapai 75 000 Km2
atau sekitar 14% dari seluruh sebaran terumbu karang dunia (Dahuri 2003).
Dinyatakan oleh (Suharsono 2008) bahwa jenis-jenis karang yang ditemukan di
Indonesia diperkirakan sebanyak 590 jenis yang termasuk dalam 80 marga karang.
Sebaran karang di Indonesia tidak merata mulai dari Sabang sampai Utara
Jayapura, ada daerah tertentu dimana karang dapat tumbuh dengan baik dan ada
daerah tertentu karang tidak dapat tumbuh dengan baik. Sebaran karang sebelah
Barat Sumatera tersebar pada Pantai Barat Sumatera mulai dari Pulau Weh,
Pulau-pulau Banyak, Pulau Simelue, Pulau Nias, Pulau-pulau Batu, Pulau Siberut,
Pulau Pagai dan Sipora hingga Pulau Enggano.
Menurut penelitian P3O LIPI (1996), kondisi terumbu karang Indonesia
berada dalam kondisi rusak sekitar 39.5%, dalam kondisi sedang sekitar 33.5%,
kondisi baik 21.7% dan hanya 5.3% dalam kondisi sangat baik. Hal ini
disebabkan selain dampak dari perubahan alam seperti perubahan iklim, juga
disebabkan oleh aktifitas manusia dalam praktek-praktek perikanan yang merusak
(destruktive fishing) seperti eksploitasi berlebih, teknik penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan atau merusak (penggunaan bom, dan racun sianida),
Tingkat kerusakan terumbu karang di Sumatera Utara saat ini, sebesar
40% rusak, 30% sedang dan 30% baik. Sebagian besar tersebar di Kabupaten
Tapanuli Tengah di sekitar P. Mursala dan tiga kecamatan di sekitarnya, yaitu
Kecamatan Badiri, Kecamatan Jago-Jago dan Kecamatan Tapian Nauli yang
secara keseluruhan sudah dalam keadaan rusak. Luasan terumbu karang di
Kabupaten Tapanuli Tengah sebesar 25.3572 km2, dengan persentase tutupan
karang hidup 26.98% (COREMAP II 2004).
Kabupaten Tapanuli Tengah merupakan salah satu kabupaten di Propinsi
Sumatera Utara terletak di Pantai Barat pulau Sumatera yang menjadi lokasi
pelaksanaan COREMAP II. Program COREMAP ini dilakukan dalam upaya
rehabilitasi dan pengelolaan sumberdaya terumbu karang di wilayah yang menjadi
lokasi kegiatan tersebut. Secara geografis Kabupaten Tapanuli Tengah terletak
antara 1o11’00”–2o22’00” Lintang Utara dan 98o07’–98o12’ Bujur Timur dengan
luas wilayah 2 194.98 km2 dan dengan ketinggian antara 0–1.266 m di atas
permukaan laut.
Berdasarkan hasil pengamatan baseline ekologi Tapanuli Tengah tahun 2004 diperoleh persentase tutupan karang hidup bervariasi antara 19.90%–67.20%
dengan nilai rerata sebesar 43.59%. Sedangkan hasil pengamatan monitoring
evaluasi Tapanuli Tengah tahun 2007, hasil pengamatan karang dengan metode
LIT di stasiun penelitian di Kabupaten Tapanuli Tengah dicatat persentase tutupan
karang hidup bervariasi antara 9.0%–71.73% dengan nilai rerata sebesar 38.31%.
Hasil pengamatan kondisi terumbu karang tahun 2008 di Kabupaten Tapanuli
Tengah diperoleh tutupan karang hidup berkisar antara 12.73%–69.00% dengan
rerata tutupan sebesar 42.48%. Dari ketiga time series data tersebut disimpulkan bahwa terjadi penurunan kualitas dan kuantitas ekosistem terumbu karang di
Kabupaten Tapanuli Tengah dari tahun sebelumnya.
Kerusakan ekosistem terumbu karang tidak hanya menyebabkan turunnya
kualitas dan kuantitas terumbu karang tetapi juga menurunkan kualitas dan
kuantitas biota yang berinteraksi terhadap terumbu karang, seperti halnya ikan dan
hewan benthic lainnya. Secara lebih luas berpengaruh pula dengan kehidupan
masyarakat nelayan sebagai pemanfaat dan pengguna sumberdaya tersebut dalam
ada perlu dilakukan untuk mencegah kerusakan yang lebih besar. Salah satu upaya
yang dilakukan adalah penetapan kawasan konservasi melalui pembentukan
Daerah Perlindungan Laut (DPL) atau dikenal dengan marine sanctuary yang merupakan kawasan lindung skala kecil di tingkat desa.
Daerah Perlindungan Laut secara prinsipnya adalah merupakan suatu
kawasan yang ditetapkan sebagai zona lindung yang dilarang dimanfaatkan secara
permanen dari berbagai kegiatan usaha perikanan, penambangan karang dan
pemanfaatan sumberdaya serta dibentuk dan dikelola oleh masyarakat setempat.
Namun dalam prosesnya pembentukannya DPL juga harus dapat mengakomodir
aspirasi masyarakat, terutama dalam hal pemanfaatan sumber daya yang ada.
Akibatnya pembentukan DPL seringkali menjadi polemik karena adanya
pemahaman yang keliru dari sebagian masyarakat nelayan, yang khawatir akan
mengurangi hasil tangkapannya apabila daerah penangkapan ikan mereka dibatasi.
Padahal dengan adanya DPL adalah untuk menjaga kelestarian sumberdaya yang
ada, sehingga diharapkan dapat meningkatkan hasil tangkapan nelayan secara
berkelanjutan. Adanya permasalahan ini menjadikan konsep DPL berbeda-beda
pada masing-masing wilayah. Pengelolaan DPL di Perairan Sitardas yang
ditetapkan dalam Peraturan Desa (Perdes) Sitardas juga bersifat lebih akomodatif,
demi kepentingan masyarakat. Zona DPL Sitardas dibagi menjadi zona inti yang
merupakan zona lindung yang tidak diperbolehkan adanya kegiatan penangkapan
ikan dan aktivitas pengambilan dan sumberdaya lainnya, kemudian zona
penyangga yang merupakan suatu kawasan di sekeliling zona inti dimana
beberapa kegiatan termasuk beberapa jenis kegiatan penangkapan ikan yang
ramah lingkungan dapat diperbolehkan.
Proses pembentukan DPL dapat berdasarkan keinginan masyarakat
ataupun peranan pemerintah dalam upaya perlindungan sumberdaya yang ada.
Proses pembentukan DPL Sitardas dimulai dari keinginan sebagian masyarakat
untuk memberikan perlindungan terhadap sumberdaya yang ada, akibat isu
tentang kerusakan ekosistem terumbu karang di Perairan Sitardas. Kemudian isu
permasalahan yang ada tersebut didiskusikan oleh masyarakat dengan berbagai
dalam upaya pengelolaan terumbu karang di Desa Sitardas, maka di bentuklah
DPL Sitardas yang tetapkan dalam Peraturan Desa (Perdes) Sitardas yang
ditandatangani oleh Kepala Desa atas Persetujuan Badan Permusyawaratan Desa
melalui musyawarah desa. Perdes tersebut dikirim ke Bupati melalui Camat, yang
kemudian dijadikan sebagai rencana pengelolaan ekosistem terumbu karang di
Perairan Sitardas yang dituangkan sebagai rencana pembangunan desa.
Penetapan kawasan DPL berdasarkan Pedoman Pembentukan Daerah
Perlindungan Laut dari DIRJEN P3K–DKP 2005, betujuan antara lain untuk : (1)
Mengusahakan terwujudnya pelestarian sumberdaya alam hayati pesisir dan
lautan serta ekosistemnya dalam rangka meningkatkan dan mempertahankan
produksi perikanan di sekitar daerah perlindungan; (2) Menjaga, melindungi,
menglola dan memperbaiki keanekaragaman hayati pesisir dan lautan, seperti
keanekaragaman terumbu karang, ikan, tumbuhan dan biota laut lainnya; (3)
Dapat dikembangkan sebagai daerah tujuan wisata; (4) Meningkatkan
pendapatan/kesejahteraan masyarakat setempat; (5) Mendorong dan memperkuat
masyarakat setempat dalam pengelolaan sumberdaya alam yang mereka miliki;
(6) Mendidik masyarakat dalam hal perlindungan/konservasi sehingga dapat
meningkatkan rasa tanggung jawab dan kewajiban masyarakat untuk mengambil
peran dalam menjaga dan mengelola sumberdaya mereka secara lestari; (7)
Sebagai lokasi penelitian dan pendidikan keanekaragaman hayati pesisir dan
lautan bagi masyarakat, sekolah, lembaga penelitian dan perguruan tinggi.
Berdasarkan konsep tentang pembentukan dan tujuan adanya Daerah
Perlindungan Laut tersebut dapat dikatakan bahwa seharusnya kondisi ekosistem
terumbu karang yang berada di dalamnya selayaknya berada dalam keadaan baik
dan stabil. Untuk membuktikan hal tersebut perlu dilakukan adanya monitoring
dan evaluasi dari waktu kewaktu. Namun jika ternyata kondisinya juga berada
dalam keadaan rusak, maka perlu adanya kajian secara spesifik agar diketahui
faktor-faktor penyebabnya serta dapat disusun strategi pengelolaannya secara
lebih baik. Daerah Perlindungan Laut merupakan salah satu upaya untuk
pelestarian terumbu karang yang banyak dilakukan diseluruh dunia dan hasilnya
sangat bermanfaat sehingga kajian tentang kondisi, efektifitas serta keterkaitannya
Pengamatan ekologi terumbu karang di Kabupaten Tapanuli Tengah
sebagai baseline study telah dilaksanakan sejak tahun 2004, oleh tim dari CRITC COREMAP–LIPI pada lokasi penelitian di Desa Sitardas, Desa Jago-Jago dan
Desa Tapian Nauli, diperoleh hasil sebaran terumbu karang kurang lebih 1 721 ha.
Desa Sitardas terletak di Kecamatan Badiri berbatasan dengan Desa Jago-Jago di
sebelah Utara, Kecamatan Sibangun di sebelah Selatan, Samudera Indonesia di
sebelah Barat serta Kecamatan Pinangsori di sebelah Timur. Desa Sitardas
berjarak + 14 km dari ibukota Kecamatan dan + 28 km dari ibukota Kabupaten
Tapanuli Tengah, Pandan. Perjalanan menuju ke kota kecamatan dari ibukota
kabupaten dapat ditempuh dengan kenderaan bermotor. Sulitnya akses jalan darat
untuk menuju Desa Sitardas menyebabkan masyarakat umumnya dari kecamatan
menggunakan kapal menuju ke Desa Sitardas.
Wilayah Perairan Desa Sitardas mempunyai panjang garis pantai sekitar
6 km dan berhadapan dengan Samudera Indonesia. Tinggi gelombang laut
berkisar antara 0.6–2.5 m, tinggi pasang surut rata-rata 0.70 m, tipe pasut
campuran condong ke harian ganda, kedalaman 1–10 m dan jenis substrat dasar
pantai berpasir dan kerikil. Daratan pesisir terdiri dari kawasan perbukitan dan
dataran rendah yang dilalui beberapa sungai, di sebelah Utara terdapat Sungai Aek
Lobu, di sebelah Selatan terdapat Sungai Aek Tunggal dan Sungai Kualo Maros.
Sepanjang pinggiran sungai banyak terdapat vegetasi mangrove yang di dominasi
jenis Rhizopoda sp. Terumbu karang di Desa Sitardas dapat dijumpai di bagian Utara perairan pesisir pantainya hingga ke P. Ungge, P. Bakar dan Pulau
Situngkus, tepatnya di depan Dusun Kampung Sawah. Di sekeliling perairan
pulau sampai 80 m kearah laut merupakan habitat terumbu karang dengan jenis
biota antara lain: Anthozoa, lamun, porifera, hydra, udang karang dan ikan hias. Berdasarkan informasi masyarakat setempat kondisi ekosistem terumbu
karang di Desa Sitardas sudah dalam keadaan rusak. Umumnya kerusakan
ekosistem terumbu karang yang terjadi di wilayah Perairan Desa Sitardas selama
ini sebagian besar merupakan dampak dari kegiatan manusia yang miskin
pengetahuan dan miskin kesadaran yang hanya memperhatikan keuntungan
jangka pendek. Aktifitas penangkapan ikan dengan menggunakan bom dan
terjadi, meskipun peraturan sudah dibuat tetapi penangkapan ikan hias secara
sembunyi-sembunyi masih dilakukan. Bahkan ada kegiatan penangkapan yang
dilakukan secara terang-terangan di backing oleh oknum tertentu, sehingga masyarakat tidak berani untuk melarang.
Kerusakan terumbu karang juga banyak terjadi karena penggunaan jangkar
besi yang digunakan oleh para nelayan. Akibat kerusakan yang diakibatkan oleh
manusia masih dapat terlihat secara langsung pada kondisi ekosistem terumbu
karang di wilayah Perairan Sitardas sampai saat ini. Patahan karang (rubble) akibat penggunaan alat tangkap dan jangkar kapal, kemudian banyaknya karang
mati, luasnya pecahan terumbu karang serta tingginya persentase tutupan substrat
pasir akibat pemboman ikan berdasarkan pengamatan langsung terlihat di perairan
ini. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pengetahuan masyarakat terhadap
masalah konservasi sumberdaya laut berakibat rendahnya kesadaran dan peran
serta masyarakat dalam upaya pengelolaan ekosistem terumbu karang.
Untuk menyelesaikan kompleksitas permasalahan terhadap kerusakan
terumbu karang diperlukan adanya kajian yang tepat dalam perencanaan dan
pengelolaan ekosistem terumbu karang secara baik. Berdasarkan pengalaman
secara empiris, terbukti bahwa pendekatan dalam pembangunan dan perencanaan
pembangunan wilayah pesisir yang dilakukan secara sektoral tidak membuahkan
hasil untuk mencapai pemanfaatan ekosistem secara berkelanjutan (Dahuri 2003).
Oleh karena itu, alternatif yang lebih baik adalah melalui pendekatan ekologi
secara langsung terhadap kerusakan terumbu karang. Untuk mengkaji kerusakan
ekosistem terumbu karang, maka dikaji kondisi ekologi serta interaksi dari
proses-proses di dalamnya yang menyebabkan terjadinya kerusakan terumbu
karang. Kemudian bagaimana dampak dari upaya yang telah dilakukan dalam
upaya rehabilitasi terumbu karang tersebut.
Upaya yang dilakukan untuk mempertahankan keberadaan potensi
terumbu karang adalah melalui konservasi, untuk memberikan perlindungan,
pengawetan serta pemanfaatan sumberdaya alam yang ada secara lestari. Dalam
upaya perlindungan dan pengamanan tersebut diperlukan keterpaduan gerak dari
masyarakat dan pihak-pihak terkait lainnya. Penyuluhan dan penyadaran yang
serta masyarakat dalam upaya konservasi sumberdaya alam di wilayah pesisir
terutama terumbu karang.
Peran serta masyarakat adalah merupakan keikutsertaan masyarakat baik
dalam bentuk pernyataan maupun kegiatan, sebagai akibat dari terjadinya
interaksi sosial antara individu atau kelompok masyarakat yang lain dalam
pembangunan. Partisipasi masyarakat merupakan bentuk upaya yang dilakukan
masyarakat untuk ikut terlibat langsung dalam suatu kegiatan dan hasilnya akan
secara langsung atau tidak langsung dapat dinikmati oleh masyarakat tersebut
(Wardoyo 1992).
Penelitian kajian kondisi komunitas terumbu karang di Perairan Sitardas
dan Daerah Perlindungan Laut Sitardas ini dilakukan untuk dapat memberikan
arahan strategi upaya pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat, dengan
melibatkan peran serta masyarakat dalam upaya pengelolaan serta pengawasan
terhadap ekosistem terumbu karang, agar pemanfaatan sumberdaya pesisir secara
lestari dan berkelanjutan.
1.2 Permasalahan
Dari hasil pengamatan yang dilakukan CRITC COREMAP – LIPI tahun
2008 kondisi ekosistem terumbu karang di wilayah Perairan Desa Sitardas
mengalami kerusakan dan cenderung menurun kualitas dan kuantitasnya dari
tahun pengamatan sebelumnya. Informasi yang diperoleh dari Lembaga Pengelola
Sumberdaya Terumbu Karang, Sitardas 2007 diketahui adanya kerusakan terumbu
karang di Desa Sitardas sangat berkaitan dengan aktifitas manusia di sekitar
wilayah Perairan Desa Sitardas. Secara umum ada lima faktor fisik akibat aktifitas
manusia yang menyebakan kerusakan terumbu karang di desa Sitardas yaitu
(i) penggunaan racun (pottasium); (ii) penggunaan bom; (iii) penambangan karang; (iv) pembuangan jangkar perahu; dan (v) sedimentasi. Adanya kerusakan
terumbu karang di Perairan dan sekitar Daerah Perlindungan Laut Sitardas akibat
aktifitas manusia, secara langsung telah mengakibatkan terpuruknya produksi
perikanan di perairan tersebut.
Permasalahan utama di Perairan Sitardas adalah kerusakan ekosistem
terumbu karang baik di Perairan Sitardas maupun di kawasan DPL Sitardas.
tangkap yang merusak, (seperti bom dan racun sianida atau biasa disebut
masyarakat dengan nama air mas). Rendahnya pengetahuan masyarakat tentang
pelestarian dan pengelolaan sumberdaya terumbu karang, minimnya pengawasan
dan koordinasi antara masyarakat dan pihak terkait lainnya serta lemahnya
supremasi hukum terhadap peraturan yang telah ditetapkan dalam peraturan Desa
Sitardas untuk pengelolaan DPL Sitardas mengakibatkan kerusakan terus terjadi
dari waktu kewaktu hingga saat ini. Kemudian hal ini diperburuk lagi oleh adanya
akitifitas di daratan yang menyebabkan terjadinya sedimentasi menuju perairan
laut melalui muara-muara sungai yang ada di Desa Sitardas.
Dengan adanya permasalahan di atas, maka perlu dilakukan penelitian
untuk mengetahui dan mengkaji kondisi kerusakan terumbu karang di wilayah ini.
Penelitian ini belum memfokuskan bagaimana efektifitas pengelolaan ekosistem
terumbu karang Daerah Perlindungan Laut Sitardas, karena bagaimanapun
pembentukan DPL Sitardas baru dimulai pada Oktober 2008, yang berarti belum
berjalan 1 (satu) tahun pada saat penelitian ini dilaksanakan, sehingga efektifitas
pengelolaannya belum terlihat secara jelas dan nyata. Adanya kerusakan yang
masih terjadi adalah merupakan dasar dalam melakukan kajian untuk memberikan
saran dan rekomendasi bagi perbaikan upaya pengelolaan yang dapat dilakukan
agar kerusakan yang lebih besar dapat dihindarkan.
1.3 Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran yang mendasari penelitian ini adalah adanya
degradasi terumbu karang secara kuantitas dan kualitas di Perairan Desa Sitardas.
Desa Sitardas memilki Daerah Perlindungan Laut (DPL) yang ditetapkan
berdasarkan Peraturan Desa (Perdes) Nomor: 1 Tahun 2008, pada tanggal 15
Oktober 2008. Kerusakan terumbu karang yang sudah terjadi sejak lama baik
secara langsung ataupun tidak langsung mengakibatkan turunnya pendapatan
masyarakat khususnya nelayan di Desa Sitardas. Pendekatan secara ekologis dan
pendekatan sosial ekonomi perlu dilakukan untuk mengetahui bagaimana
kerusakan ekosistem terumbu karang tersebut. Salah satu upaya pengelolaan
terumbu karang yang dilakukan adalah dengan pembentukan Daerah Perlindungan
Laut sebagai salah satu wujud dari konservasi sumberdaya. Oleh karena itu perlu
menentukan rencana strategi pengelolaan terumbu karang serta pengembangan
Daerah Perlindungan Laut agar pemanfaatan sumberdaya perikanan secara lestari
dapat berjalan dengan baik. Diagram alir di bawah ini menggambarkan kerangka
pikir pengelolaan terumbu karang di Perairan Sitardas dan Daerah Perlindungan
Laut Sitardas Kabupaten Tapanuli Tengah (Gambar 1).
Gambar 1 Kerangka pemikiran pengelolaan ekosistem terumbu karang dan pengembangan Daerah Perlindungan Laut Sitardas.
Pengelolaan sumberdaya terumbu karang akan berhasil apabila didukung
oleh keterlibatan aktif masyarakat di sekitarnya dan dukungan dari pemerintah
setempat Adanya pengawasan dan kontrol oleh masyarakat dinilai sangat efektif
dalam upaya pengelolaan terumbu karang. Demikian juga halnya dukungan
pemerintah sangat mempengaruhi keberhasilan dari suatu Daerah Perlindungan Terumbu Karang
Pendekatan Ekologi Pendekatan
Sosial Ekonomi
LIPI: 2004, 2007, 2008 Penelitian
2009
Analisis SWOT
Pengelolaan terumbu karang dan Pengembangan Daerah Perlindungan Laut
Sumberdaya Perikanan Lestari
Perairan Sitardas dan Daerah Perlindungan Laut
Permasalahan: Adanya kerusakan terumbu karang di
Desa Sitardas
Laut, karena hal ini akan memberikan pengakuan bagi keberadaan Daerah
Perlindungan Laut. Pengembangan Daerah Perlindungan Laut yang sukses
tentunya akan menjamin pemanfaatan sumberdaya laut secara lestari dan
berkelanjutan.
1.4 Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini akan mengkaji kondisi ekologi terumbu karang yaitu;
persentase tutupan karang, kelimpahan ikan karang dan kelimpahan fauna benthic
lainnya di Perairan Sitardas dan Daerah Perlindungan Laut Sitardas. Penelitian ini
juga melihat bagaimana hasil penelitian kondisi ekologi terumbu karang pada
tahun-tahun sebelumnya dari baseline ekologi Tapanuli Tengah 2004, monitoring ekologi Tapanuli Tengah 2007 dan 2008 yang telah dilakukan Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI). Kemudian juga mengakaji aspek sosial ekonomi
yang berkaitan dengan pengelolaan terumbu karang melalui Daerah Perlindungan
Laut Sitardas sebagai data pendukung. Hasil penelitian data ekologi dan data
sosial ekonomi akan dianalisa dalam merekomendasikan strategi pengelolaan
ekosistem terumbu karang ataupun pengembangan pengelolaan Daerah
Perlindungan Laut Sitardas dimasa yang akan datang.
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengkaji kondisi terumbu karang yang ada di Perairan Desa Sitardas.
2. Mengkaji kerusakan terumbu karang di Perairan Desa Sitardas.
3. Menyusun rekomendasi strategi pengelolaan terumbu karang dalam upaya
2.1 Ekosistem Terumbu Karang
Ekosistem terumbu karang merupakan kumpulan binatang-binatang karang
(reef corals) yang hidup di dasar perairan yang mempunyai kemampuan cukup kuat untuk menahan gaya gelombang laut serta berasosiasi dengan algae dan
organisme lain seperti, ikan, lobster juga penyu. Karang adalah hewan yang hidup
dalam Filum Coelenterata terdiri atas polip-polip yang hidup berkoloni maupun
soliter (Goreau et al. 1982). Jaringan hidup karang tumbuh membentuk bangunan kerangka kapur yang tersusun oleh kalsium karbonat dalam bentuk aragonite
(kristal serat CaCO3) dan kalsit (kristal CaCO3). Pada jaringan polip karang
hermatifik terdapat alga Klas Dinoflagellata yakni Symbiodium microadriaticum
yang mengandung klorofil dan disebut zooxanthellae (Falkowski et al. 1984). Zooxanthellae umumnya jarang terdapat pada jaringan endoderm dan ektoderm
ataupun mesoglia. Zooxanthellae ditemukan dalam jumlah besar dalam jaringan polip yang bersentuhan langsung dengan cahaya matahari seperti pada tentakel.
Berkaitan dengan terumbu karang, maka dibedakan antara karang (reef corals) sebagai individu organisme dan terumbu karang (coral reefs) sebagai suatu ekosistem termasuk di dalamnya binatang-binatang karang (Dawes 1981).
Kemudian berdasarkan geomorfologinya ekosistem terumbu karang dapat
dibedakan menjadi tiga tipe yaitu, karang tepi (fringing reef), karang penghalang (barrier reef) dan karang cincin (atoll). Terumbu karang tepi ditemukan hampir di seluruh pantai daerah tropis dan tumbuh menuju permukaan laut kearah laut lepas.
Terumbu karang khususnya terumbu karang tepi tumbuh subur di daerah dengan
ombak yang cukup dan kedalaman tidak lebih 40 meter, sehingga berperan
penting sebagai pelindung pantai dari hempasan gelombang dan arus kuat yang
berasal dari laut.
Selain itu terumbu karang mempunyai peran utama sebagai habitat, tempat
Pertumbuhan karang dibedakan atas tipe massive (tumbuh sama besar kesemua arah), columnar (membentuk tiang), encrusting (merayap di substrat),
branching (membentuk percabangan atau menjari), foliaceus/folious (menyerupai daun), laminar (menyerupai meja) dan free living. Pertumbuhan dari struktur karang ini sangat bervariasi, tergantung kepada jenis hewan yang berasosiasi dan
kondisi lingkungannya (Vaughan dan Wells 1943 dalam van Woesik 2002).
Menurut Richmond (1997) karang bereproduksi secara seksual dan di luar
kelamin (aseksual). Reproduksi seksual melibatkan pembuahan telur karang oleh sperma untuk membentuk larva yang berenang bebas. Larva-larva tersebut dapat
beradaptasi dengan baik untuk distribusi serta tergantung dari jenis dan
kondisinya dapat menjadi bibit dimana mereka berasal, di dekat terumbu karang,
atau terumbu karang yang ratusan kilometer jauhnya, namun distribusi ini
membutuhkan arus laut yang tepat untuk membuahi karang di hilir dan penting
untuk menjaga keragaman genetik antara populasi karang dan terumbu karang.
Selain itu, cara reproduksi karang juga menentukan rentang di mana
mereka dapat mengisi kembali karang lainnya, reproduksi karang secara aseksual
dari patahan-patahan karang menyebarkan secara lokal, sementara reproduksi
karang secara seksual dari larva dapat menyebar melalui jarak yang lebih jauh
lebih (Nystrom dan Folke 2001).
Faktor spasial penting bagi ketahanan terumbu karang adalah hubungan
antar dan di dalam terumbu karang. Berdarkan keterkaitan biota yang ada pada
ekosistem terumbu karang, maka populasi besar karang dan pembebasan larva
menciptakan keragaman genetik yang tinggi yang sangat penting untuk pemulihan
dari gangguan. Terumbu karang memiliki species yang amat beragam dan
sebagian besar dari species tersebut bernilai ekonomis tinggi. Tingginya tingkat
keanekaragaman tersebut disebabkan antara lain oleh besarnya variasi habitat
yang terdapat di dalam ekosistem terumbu karang. Terumbu karang memilki
asosiasi yang kompleks dengan organisme lain, yaitu biota dan ikan yang hidup
disekelingnya. Kemudian biota dan substrat tersebut berinteraksi dengan sejumlah
tipe habitat yang berbeda-beda pada terumbu karang dan semuanya berada di satu
sistem yang terjalin dalam hubungan fungsional yang harmonis dimana species
Ikan karang terbagi dalam tiga kelompok, yaitu ikan target yang
merupakan ikan konsumsi, seperti famili Serranidae, Lutjanidae, Lethrinidae,
Nemipteridae, Caesionidae, Siganidae, Haemulidae, Scaridae dan Acanthuridae.
Kemudian kelompok ikan yang digunakan sebagai indikator bagi kondisi
kesehatan terumbu karang di suatu perairan, seperti famili Chaetodontidae.
Kelompok ketiga adalah ikan major sering disebut sebagai ikan hias yang
berperan dalam rantai makanan, seperti famili Pomacentridae, Apogonidae,
Labridae dan Blennidae (English et al. 1997). Goldman dan Talbot (1976) dalam Nybakken (1992) menyatakan bahwa banyak di antara karnivora yang hidup di
habitat terumbu karang tidak mengkhususkan makanannya pada satu sumber
makanan tertentu, sebaliknya memangsa apa saja yang berguna bagi mereka.
Menurut Tamimi et al. (1993) distribusi spasial ikan-ikan karang ditentukan oleh karakteristik habitat dan interaksi ikan-ikan itu sendiri. Distribusi spasial beberapa
jenis ikan secara nyata dapat dideterminasi oleh karakteristik habitat tertentu.
Secara deskriptif terumbu karang merupakan kelompok kehidupan
(komunitas) yang paling produktif dan paling beranekaragam di muka bumi dan banyak dijumpai di laut tropis yang hangat, jernih, dan dangkal. Melalui simbiosis
dengan alga bersel tunggal (zooxantellae), karang menjadi sumber produktifitas primer dalam komunitas terumbu karang (Richmond 1988).
Secara ekologis, terumbu karang juga dapat berfungsi melindungi
komponen ekosistem pesisir lainnya (lahan pantai) dari gempuran gelombang dan
badai. Menurut TERANGI (2005) ekosistem terumbu karang mempunyai fungsi
yang sangat penting bagi kehidupan di laut, diantaranya:
1. Sebagai pelindung pantai; terumbu karang yang tumbuh di daerah pasang surut
sangat berperan dalam mengurangi energi arus atau ombak yang datang ke
pantai sehingga mencegah terjadinya erosi dan mendukung terbentuknya pantai
berpasir.
2. Menyediakan makanan, tempat tinggal untuk berkembang biak, tempat asuhan
dan perlindungan bagi makhluk laut.
Kemudian dalam Nybakken (1992), dikatakan bahwa terumbu karang
memiliki fungsi ekologis sebagai pelindung pantai, menyediakan habitat untuk
Terumbu karang merupakan ekosistem perairan tropis yang unik dengan nilai
estetika yang tinggi dibandingkan dengan ekosistem lainnya, memiliki warna dan
desain yang sangat indah serta kaya akan keanekaragaman jenis biota.
Suharsono (2008) menyatakan bahwa karang tumbuh subur di perairan
laut tropis, walaupun ada beberapa diantaranya yang juga di jumpai di perairan
laut subtropis seperti karang yang termasuk dalam filum Cnidaria, yaitu organisme yang memiliki penyengat. Secara umum filum Cnidaria terbagi atas kelompok Hydrizoa dan Anthozoa. Hydrizoa terdiri dari Millepora (karang api) dan Stylasterina. Stylasterina biasanya kecil dan hidup di tempat yang tersembunyi di dinding gua dan bukan merupakan karang pembentuk terumbu.
Anthozoa yang umumnya dikenal antara lain, Stolonifera contohnya karang suling
(Tubipora musica); Coenothecalia contohnya karang biru (Heliopora cooeruela); Sclerectinia atau lebih di kenal sebagai karang keras yang meliputi jenis-jenis karang pembentuk terumbu karang utama. Kemudian Veron (2002), menyatakan
bahwa hewan karang adalah hewan sesille renik, umumnya berada dalam ekosistem bersama hewan laut lain seperti soft coral, hydra, anemone laut dan lain-lain yang termasuk kedalam filum Cnidaria (Coelentrata).
Sebaran karang sebelah Barat Sumatera merupakan terumbu karang
dengan tipe terumbu karang lautan Hindia yang dicirikan dengan keanekaragaman
yang relatif rendah. Karang tersebar mulai dari Pulau Weh di ujung Barat Pulau
Sumatera, sepanjang pantai Barat Sumatera atau berada di pulau yang tersebar di
sebelah Barat Sumatera memanjang sejar dengan Pulau Sumatera. Pulau-pulau di
sebelah Barat Sumatera tidak seluruhnya dikelilingi oleh terumbu karang. Karang
yang tumbuh umumnya berupa patches-patches pada lokasi-lokasi yang agak jauh
dari pulau Sumatera (Suharsono 2008).
Menurut Rosen (1971) dalam Supriharyono (2007) bahwa di dunia ini ada
tiga daerah pengelompokan karang, yang pertama di Indonesia Barat, yang kedua
berada di Caribbea (Atlantic), dan yang ketiga terletak di sebelah Selatan Samudra
Hindia (Indo–Pacific). Indonesia memiliki keanekaragaman terumbu karang yang
lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain yang terdapat di Samudra Hindia.
Namun menurut Connel (1973), tingginya keanekaragaman jenis karang tersebut
umumnya berada dalam kondisi yang tidak seimbang, yang mana apabila ada
gangguan maka keanekaragamannya akan turun. Keanekaragaman jenis karang
yang tumbuh pada suatu area sangat dipengaruhi oleh kondisi perairan dan
tekanan lingkungan serta faktor-faktor pembatas lainnya.
2.2 Faktor Pembatas
Keanekaragaman, penyebaran dan pertumbuhan karang tergantung pada
kondisi lingkungannya. Kondisi ini pada kenyataannya tidak selalu tetap, tetapi
seringkali berubah karena adanya gangguan alam maupun aktivitas manusia.
Gangguan dapat berupa faktor fisika atau kimia yang dapat mempengaruhi
kehidupan atau laju pertumbuhan karang, antara lain adalah cahaya matahari,
suhu, salinitas, dan sedimen. Sedangkan faktor biologis biasanya berupa predator
atau pemangsanya.
Mengingat binatang karang (hermatific atau reef building corals) hidupnya bersimbiosis dengan ganggang (zooxantella) yang melakukan proses fotosintesis, maka pengaruh cahaya adalah penting sekali. Proses fotosintesis bagi
zooxanthellae tergantung dari penetrasi cahaya matahari yang masuk ke dalam kolom air, maka kedalaman dan kejernihan air merupakan faktor pembatas
pertumbuhan dan perkembangan terumbu dan koloni karang. Sedangkan
kejernihan air terkait dengan kandungan sedimen alam perairan, dimana
kandungan sedimen yang tinggi akan menghambat penetrasi cahaya matahari
sehingga mengurangi jumlah cahaya yang diperlukan untuk proses fotosintesis, di
sisi lain endapan sedimen di permukaan koloni karang menyebabkan karang
mengeluarkan banyak energi untuk membersihkan diri dari sedimen tersebut.
Akibatnya karang kehilangan banyak energi, sementara proses fotosintesis untuk
menghasilkan energi juga terhambat. Hal itulah yang menyebabkan karang
terhambat pertumbuhannya (Nybakken 1992).
Suhu perairan juga merupakan faktor pembatas pertumbuhan karang. Hal
ini terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan biota karang (polip karang dan
Menurut Supriharyono (2007), bahwa suhu yang paling baik untuk pertumbuhan
karang sekitar antara 25oC–29oC.
Tekanan hydrodinamis seperti arus dan gelombang akan memberikan
pengaruh terhadap bentuk pertumbuhan karang dengan adanya kecenderungan
semakin besar tekanan hydrodinamis, maka bentuk pertumbuhan karang lebih ke
arah bentuk pertumbuhan mengerak (encrusting) (Supriharyono 2007). Selain itu arus dibutuhkan untuk mendatangkan makanan berupa plankton. Menurut
Nybakken (1992), pertumbuhan karang pada daerah berarus akan lebih baik
dibandingkan dengan perairan tenang. Pada perairan yang selalu terkena ombak
besar di dominasi oleh Pocillopora, Acropora atau Montastrea. Sedangkan yang yang mendominasi perairan yang tenang seperti goba, rataan terumbu dan lereng
terumbu bagian bawah adalah Porites, Pavia, Montrastea atau Stylophora.
Faktor lain yang membatasi perkembangan terumbu karang adalah
salinitas. Salinitas merupakan faktor lain yang membatasi perkembangan terumbu
karang. Kisaran salinitas pertumbuhan karang di Indonesia antara 29–33 ‰ (Coles
and Jokiel 1992). Karang hermatipik adalah organisme lautan sejati yang tidak
dapat bertahan pada salinitas yang menyimpang dari salinitas air luat yang normal
(32‰–35‰). Meskipun skala yang lebih kecil di daerah tropik, pemasukan air
tawar secara teratur dari alairan sungai dapat menyebabkan pertumbuhan terumbu
karang menjadi terhenti (Nybakken 1992).
2.3 Kerusakan Terumbu Karang
Terumbu karang merupakan suatu ekosistem yang sangat rentan terhadap
gangguan akibat kegiatan manusia dan pemulihannya memerlukan waktu yang
lama. Di sisi lain karang dan terumbu karang juga adalah merupakan komunitas
yang sangat peka, sedikit saja perubahan di lingkungan dapat menyebabkan
pengaruh yang buruk terhadap kondisi kesehatan seluruh koloni karang.
Perubahan ini bisa di sebabkan oleh gangguan alami dan gangguan akibat ulah
manusia. Perubahan alami dapat menyebabkan perubahan yang drastis dalam
komunitas karang, sedangkan gangguan yang disebabkan oleh kegiatan manusia
Salah satu ancaman terbesar bagi terumbu karang adalah peningkatan
populasi manusia terutama di wilayah pesisir dan pembangunan fisik. Sejalan
dengan pembangunan fisik yang mengubah bentangan alam, jumlah aliran
permukaan air tawar terus meningkat dan membawa sedimen dalam jumlah besar,
nutrient dalam kadar yang tinggi yang berasal dari pertanian atau sistem
pembuangan, selain juga bahan pencemar lain seperti produk bahan bakar minyak
dan insktisida. Akibatnya sedimentasi ini dapat menutup terumbu karang atau
menyebabkan peningkatan kekeruhan karena penyuburan (eutrofikasi) yang dapat menurunkan jumlah cahaya yang mencapai karang serta dapat menyebabkan
pemutihan (Brown 1987).
Menurut Supriharyono (2007) unsur hara yang terikat pada sedimen
menyebabkan pesatnya pertumbuhan makro alga, terutama pada akhir musim
penghujan atau setelah perairan menerima sedimen yang cukup tinggi melalui
sungai disekitarnya. Makro alga ini umumnya akan menutupi karang-karang yang
hidup di daerah reef flat, seperti Acropora sp. dan Montipora digitata. Bahkan ’turf algae’ Anotrichium tenue dan Corallophila huysmansii dapat tumbuh menutupi dan melukai jaringan karang Porites (Jompa and Mc Cook 2003). Hasil penelitian Lirman (2001) bahwa laju kelulus hidupan koloni karang dilaporkan
rendah dengan adanya makroalga yang tumbuh didekatnya. Adanya hewan
herbivora untuk memakan alga dibutuhkan oleh anakan karang, agar makroalga
tersebut termakan oleh hewan herbivora dan tidak menghalangi anakan karang
karang dari sinar matahari.
Brown (1990) menyatakan bahwa adanya sedimentasi di perairan laut
dapat memacu pertumbuhan macro alga sebagai kompetitor karang yang tumbuh dari tumpukan sedimen di dasar substrat. Kondisi ini juga diduga sebagai
penyebab rendahnya keanekaragaman di daerah reef flat tersebut. Disamping jenis
sedimen di atas ada pula sedimen yang lain, yang dikenal dengan carbonate sediment, yaitu sedimen yang berasal dari erosi karang-karang baik secara fisik ataupun biologis (bioerosion). Bioerosion ini umumnya dilakukan oleh hewan-hewan laut, seperti bulu babi, ikan, bintang laut dan sebagainya. Faktor lain akibat
ulah manusia yang menyebabkan kerusakan terumbu karang terbesar adalah
kapal. Pada perairan Sitardas masih banyak dijumpai kerusakan karang terkait
dengan aktifitas perahu yang membuang jangkar diatas karang, sehingga
menyebabkan karang patah.
van Woesik (1994), menyatakan karang di daerah sedimentasi tinggi,
umumnya membentuk pertumbuhan yang kecil atau encrusting. Pada jenis tertentu seperti Porites dapat mengeluarkan mucus untuk menyelubunginya sehingga menghindari polipnya dari sedimen yang masuk. Selanjutnya Chappell
(1980) dalam Supriharyono (2007) menyatakan terdapat kecenderungan bahwa
karang yang tumbuh atau dapat beradaptasi pada perairan dengan sedimentasi
tinggi bentuk pertumbuhannya akan mengarah kebentuk massif dan sub-massif. Sedangkan di perairan yang jernih atau sedimentasi yang rendah, akan lebih
banyak ditemukan karang dalam bentuk bercabang atau tabulate. Seperti yang dinyatakan sebelumnya oleh Nybakken (1992) bahwa pada perairan yang selalu
terkena ombak besar, terumbu karang akan didominasi oleh Pocillopora, Acropora atau Montastrea. Sedangkan yang mendominasi perairan tenang seperti goba, maka rataan terumbu dan lereng terumbu bagian bawah adalah Porites, Favia, Montestrea atau Stylopora. Ditambahkan Suharsono (1998) secara umum karang di daerah dangkal didominasi oleh Acropora spp, Montipora spp dan
Porites spp, sedangkan di daerah yang lebih dalam didominasi oleh Echinopora
spp, Mycedium spp, Oxyopora spp, dan Turbinaria spp.
Menurut Westmacott et al. (2000) ekositem terumbu karang merupakan salah satu ekosistem yang terancam di dunia. Tekanan terhadap ekosistem
terumbu karang akibat aktifitas manusia, seperti aktifitas penangkapan ikan yang
bersifat destruktif serta adanya pencemaran lingkungan dianggap sebagai bahaya utama yang mengancam eksistensi terumbu karang. Kemudian diperparah lagi
oleh adanya pemanasan global yang memicu peningkatan suhu permukaan air laut
yang menyebabkan terjadinya pemutihan karang (coral bleaching).
Penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan juga masih terjadi
diperairan Sitardas (seperti bom dan racun cyanida/biasa disebut masyarakat Sitardas dengan nama air mas). Dampak penangkapan ikan secara destruktif ini telah mengakibatkan terjadinya kematian pada karang. Menurut Suharsono
mengalami stress dengan mengeluarkan lendir. Dua bulan setelah percobaan itu
pada karang yang berikan perlakuan yang sama akan mengalami kematian pada
bulan ketiga. Sedangkan akibat pemboman, akan menyebabkan kerusakan karang
pada areal yang sangat luas, hal ini dikarenakan adanya patahan karang yang
terseret oleh gelombang dapat menghancurkan karang yang berada di sekitarnya
akibat gaya gerak gelombang yang membawa patahan-patahan karang. Penelitian
Fox et al. (2003) menjelaskan bahwa penangkapan ikan secara ilegal dengan menggunakan bahan peledak buatan sendiri atau dinamit masih sering dilakukan
pada sebagian besar wilayah di Asia Tenggara dan telah mengakibatkan
kerusakan terumbu karang di kawasan tersebut. Selain menyebabkan kematian
ikan dan organisme lain, ledakan dinamit meninggalkan patahan karang yang
berserakan di dasar membentuk serpihan karang mati. Serpihan karang ini dibawa
oleh arus laut, selanjutnya menggeser atau menutupi karang-karang muda lain
yang masih hidup, sehingga menghambat atau mencegah pemulihan karang.
2.4 Daerah Perlindungan Laut
Daerah Perlindungan Laut (DPL) adalah daerah pesisir dan laut yang
dipilih dan ditetapkan untuk ditutup secara permanen dari kegiatan perikanan dan
pengambilan sumberdaya serta dikelola oleh masyarakat setempat
(Tulungen et al. 2002). Kegiatan perikanan dan pengambilan merupakan hal terlarang di dalam kawasan DPL. Demikian pula akses manusia di dalam kawasan
DPL diatur atau sedapat mungkin dibatasi. Pengaturan dan larangan aktivitas
tersebut ditetapkan oleh masyarakat dan pemerintah setempat dalam bentuk
peraturan desa (Perdes).
Daerah perlindungan laut dibentuk berdasarkan ekosistem yang ada yaitu
terumbu karang, hutan mangrove, padang lamun, dan sebagainya. Keberadaannya
dapat ditetapkan melalui peraturan desa atau kabupaten dan kota, dalam rangka
melindungi dan memperbaiki sumberdaya pesisir dan perikanan di wilayah yang
memiliki peranan penting secara ekologis. DPL merupakan salah satu metode
efektif untuk mengatur kegiatan perikanan, melindungi tempat ikan bertelur,
suatu wilayah dari kegiatan penangkapan ikan yang berlebihan dan menjamin
ketersediaan stok perikanan secara berkelanjutan (DIRJEN P3K–DKP 2005).
Dalam pengelolaannya DPL dilakukan berbasis masyarakat atau biasa
disebut Community Based Management (CBM) merupakan salah satu pendekatan pengelolaan sumberdaya alam seperti ekosistem terumbu karang dan sumberdaya
perikanan yang meletakkan pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat
lokal sebagai dasar pengelolaannya (Nikijuluw 1994). Selain itu masyarakat lokal
juga memiliki akar budaya yang kuat dan biasanya tergabung dalam
kepercayaannya (religion). Dengan kemampuan transfer antar generasi yang baik, maka CBMdalam prakteknya tercakup dalam sebuah sistem tradisional yang akan
sangat berbeda dengan pendekatan pengelolaan lain di luar daerahnya.
Salah satu aspek penting dalam pengelolaan kawasan konservasi adalah
upaya memantau komponen yang berpengaruh terhadap keanekaragaman hayati
seperti jumlah individu spesies langka dan terancam punah (Feinsinger 2001).
Metode yang digunakan untuk memantau komponen tersebut, misalnya memotret
lokasi tertentu dari waktu ke waktu, maupun mengadakan wawancara dengan para
pengguna kawasan (Danielsen et al. 2000). Dapat juga dilakukan pemantauan dengan membandingkan struktur dan kondisi komunitas dari waktu ke waktu
dengan bantuan plot maupun transek permanen.
Lebih lanjut menurut Nikijuluw (1994) bahwa pengelolaan berbasis
masyarakat adalah suatu sistem pengelolaan sumberdaya alam di suatu tempat di
mana masyarakat lokal terlibat secara aktif dalam proses pengelolaan sumberdaya
alam yang terkandung di dalamnya. Pengelolaan di sini meliputi berbagai dimensi
seperti perencanaan, pelaksanaan dan pemanfaatan hasil-hasilnya. Namun dalam
prakteknya banyak ditemui bentuk-bentuk pengelolaan yang seperti ini banyak
mengalami kepunahan. Seiring dengan pesatnya pembangunan di wilayah pesisir,
maka semakin sulit bagi masyarakat lokal untuk mempertahankan bentuk-bentuk
pengelolaan yang murni hanya berbasis pada masyarakat setempat. Sebagai suatu
model, diketahui bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan berbasis
masyarakat memiliki kelemahan dan kelebihan yang tentunya harus diperhatikan
dalam mengembangkan sebuah model CBM sumberdaya perikanan dan kelautan.
• Mampu mendorong pemerataan (equity) dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan.
• Mampu merefleksikan kebutuhan masyarakat lokal yang spesifik.
• Mampu meningkatkan manfaat bagi seluruh anggota masyarakat yang ada. • Mampu meningkatkan efisiensi secara ekonomi dan ekologi.
• Rensponsif dan adaptif terhadap variasi kondisi sosial dan lingkungan lokal. • Masyarakat lokal termotivasi mengelola sumberdaya secara berkelanjutan.
Sementara kelemahan (nilai-nilai negatif) dari pengelolaan sumberdaya
perikanan dan kelautan berbasis masyarakat antara lain adalah:
• Hanya dapat diterapkan dengan baik pada kondisi masyarakat yang strukturnya masih sederhana dengan skala dan wilayah kegiatan yang kecil. • Masyarakat memiliki keterbatasan seperti tingkat pendidikan, kesadaran
akan pentingnya lingkungan.
• Hanya efektif untuk kawasan pesisir dan laut dengan batas geografis yang jelas atau terbatas.
• Terjadinya ketimpangan dalam implementasinya karena tidak didukung oleh pemerintah.
• Rentan terhadap 'intervensi luar' atau permintaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan.
Sementara itu Grafton (2005) mengemukakan enam langkah umum proses
pengelolaan adaptif secara aktif di DPL untuk kepentingan perikanan yakni
(1) menentukan tujuan spesifik, (2) penilaian sistem sosial-ekonomi-ekologi,
(3) melakukan konsultasi dengan pemangku kepentingan untuk menyeleksi
kriteria sosio-ekonomi-ekologi yang akan digunakan dalam menetapkan variabel
kunci keputusan, (4) menetapkan ukuran DPL, lokasi, jumlah dan durasi
perlindungan, (5) menyiapkan suatu pertimbangan yang disusun oleh pemangku
kepentingan dan kolega terhadap semua langkah sebelumnya dan harus diikuti,
(6) melakukan pembelajaran aktif, percobaan dan evaluasi.
Keberhasilan dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang berbasis
masyarakat harus dilaksanakan secara bersama-sama oleh masyarakat, pengelola
secara mandiri dan berkelanjutan. Peran serta masyarakat dalam pengelolaan
tersebut merupakan kunci keberhasilan dari pengelolaan berbasis masyarakat.
Cohen dan Uphoff (1977) menyatakan bahwa partisipasi dibedakan
berdasarkan tahapannya terbagi atas; (1) Partisipasi dalam pembuatan keputusan,
kebijakan dan perencanaan pembangunan. (2) Partisipasi dalam pelaksanaan
program pembagunan. (3) Partisipasi dalam memanfaatakan atau menggunakan
hasil-hasil pembangunan. (4) Partisipasi dalam mengevaluasi dan mengawasi
pembangunan. Menurut Dahuri (2000) pembangunan kelautan perikanan haruslah
bersifat aspiratif dimana keterlibatan masyarakat dimulai dari tahap perencanaan,
pelaksanaan hingga pemanfaatan dan evaluasi hasil pembangunan dilakukan
melalui pendekatan community management.
Kemudian menurut Madrie (1986) bahwa tingkat pendidikan, umur dan
kesesuaian kegiatan dengan kebutuhan merupakan faktor pribadi yang dapat
mempengaruhi tingkat partisipasi seseorang dalam melakukan kegiatan.
Sedangkan menurut Soeryani (1987), tingkat pendidikan dan kemiskinan adalah
faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam melaksanakan
suatu kegiatan, termasuk dalam upaya pengelolaan sumberdaya alam.
Faktor-faktor tersebut merupakan cerminan dari kondisi sosial ekonomi
masyarakat. Oleh karena itu keberhasilan suatu pengelolaan sumberdaya termasuk
pengelolaan ekosistem terumbu karang tidak terlepas dari pengaruh kondisi sosial
ekonomi masyarakat. Meskipun tidak ada jaminan bahwa semakin baik kondisi
sosial ekonomi masyarakat, semakin baik pengelolaannya terhadap sumberdaya
yang ada. Namun demikian dapat digaris bawahi bahwa semakin baik kondisi
sosial ekonomi masyarakat akan memperdalam pemahaman masyarakat terhadap
3 METODE PENELITIAN
3.1 Tahapan Penelitian
Penelitian ini diawali dengan persiapan yang mencakup penentuan aspek
yang akan diteliti. Kegiatan ini dilakukan melalui penelusuran berbagai informasi
yang terkait dan diskusi intensif dengan pembimbing. Tahapan selanjutnya adalah
mengidentifikasi dan merumuskan masalah yang akan dikaji dalam kegiatan
penelitian. Penelitian dilanjutkan dengan perumusan dan penyusunan proposal
yang juga diikuti dengan survey awal terhadap lokasi penelitian yang ditentukan.
Di samping itu juga dilakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk
administratif dan teknis dalam menunjang pelaksanaan penelitian di lapangan.
Pada tahap selanjutnya dilakukan pengumpulan data, baik data primer
maupun data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan pengamatan,
observasi ataupun dengan diskusi dan penggunaan kuisioner serta wawancara
langsung. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui pengumpulan data
tertulis serta pustaka pada instansi terkait dan stake holder yang berkaitan dengan
pengelolaan ekosistem terumbu karang serta Daerah Perlindungan Laut di Desa
Sitardas. Pengumpulan data di tingkat masyarakat difokuskan pada pendekatan
melalui wawancara langsung, diskusi dengan pihak-pihak terkait (LPSTK) dan
pengisian kuisioner.
Hasil pengumpulan data baik data primer maupun data sekunder,
dilakukan pengolahan data dan analisa data untuk mengetahui kondisi objektif
pada lokasi penelitian serta merumuskan dan memberikan rekomendasi strategi
untuk pengelolaan ekosistem terumbu karang. Hasil pengolahan data, analisa data
dan pembahasan yang dilakukan diharapkan dapat menjawab dan mencapai tujuan
penelitian. Semua proses dalam penelitian dan hasil penelitian ini dituangkan
dalam penulisan tesis yang kemudian akan diseminarkan.
Secara skematik tahapan penelitian yang akan dilakukan disajikan pada
Gambar 2 Tahapan penelitian kajian kondisi ekosistem terumbu karang Daerah Perlindungan Laut Sitardas.
3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian
Waktu pelaksanaan penelitian ini pada bulan Juni sampai dengan Agustus
2009. Penelitian ini dilaksanakan di Daerah Perlindungan Laut Sitardas dan
perairan sekitarnya pada P. Ungge dan P. Bakal, yang merupakan stasiun
penelitian sebelumnya oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada
baseline ekologi Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2004, monitoring ekologi
Tapanuli Tengah Tahun 2007 dan monitoring terumbu karang Tapanuli Tengah
Tahun 2008 (Gambar 3).
Persiapan Penelitian
Identifikasi Masalah dan Perumusan Konsep
Perumusan dan Penyusunan Proposal
Pengumpulan Data Survei Awal
Penyusunan Kuesioner
Penulisan Tesis Data Primer
Instansi Pemerintah
LSM
Masyarakat
Data Sekunder
Kajian Pustaka
Gambar 3 Lokasi penelitian di perairan laut Desa Si