• Tidak ada hasil yang ditemukan

Daerah Perlindungan Laut (DPL) adalah daerah pesisir dan laut yang dipilih dan ditetapkan untuk ditutup secara permanen dari kegiatan perikanan dan pengambilan sumberdaya serta dikelola oleh masyarakat setempat (Tulungen et al. 2002). Kegiatan perikanan dan pengambilan merupakan hal terlarang di dalam kawasan DPL. Demikian pula akses manusia di dalam kawasan DPL diatur atau sedapat mungkin dibatasi. Pengaturan dan larangan aktivitas tersebut ditetapkan oleh masyarakat dan pemerintah setempat dalam bentuk peraturan desa (Perdes).

Daerah perlindungan laut dibentuk berdasarkan ekosistem yang ada yaitu terumbu karang, hutan mangrove, padang lamun, dan sebagainya. Keberadaannya dapat ditetapkan melalui peraturan desa atau kabupaten dan kota, dalam rangka melindungi dan memperbaiki sumberdaya pesisir dan perikanan di wilayah yang memiliki peranan penting secara ekologis. DPL merupakan salah satu metode efektif untuk mengatur kegiatan perikanan, melindungi tempat ikan bertelur, membesarkan larva, sebagai daerah asuhan juvenil (ikan kecil) serta melindungi

suatu wilayah dari kegiatan penangkapan ikan yang berlebihan dan menjamin ketersediaan stok perikanan secara berkelanjutan (DIRJEN P3K–DKP 2005).

Dalam pengelolaannya DPL dilakukan berbasis masyarakat atau biasa disebut Community Based Management (CBM) merupakan salah satu pendekatan pengelolaan sumberdaya alam seperti ekosistem terumbu karang dan sumberdaya perikanan yang meletakkan pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaannya (Nikijuluw 1994). Selain itu masyarakat lokal juga memiliki akar budaya yang kuat dan biasanya tergabung dalam kepercayaannya (religion). Dengan kemampuan transfer antar generasi yang baik, maka CBMdalam prakteknya tercakup dalam sebuah sistem tradisional yang akan sangat berbeda dengan pendekatan pengelolaan lain di luar daerahnya.

Salah satu aspek penting dalam pengelolaan kawasan konservasi adalah upaya memantau komponen yang berpengaruh terhadap keanekaragaman hayati seperti jumlah individu spesies langka dan terancam punah (Feinsinger 2001). Metode yang digunakan untuk memantau komponen tersebut, misalnya memotret lokasi tertentu dari waktu ke waktu, maupun mengadakan wawancara dengan para pengguna kawasan (Danielsen et al. 2000). Dapat juga dilakukan pemantauan dengan membandingkan struktur dan kondisi komunitas dari waktu ke waktu dengan bantuan plot maupun transek permanen.

Lebih lanjut menurut Nikijuluw (1994) bahwa pengelolaan berbasis masyarakat adalah suatu sistem pengelolaan sumberdaya alam di suatu tempat di mana masyarakat lokal terlibat secara aktif dalam proses pengelolaan sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya. Pengelolaan di sini meliputi berbagai dimensi seperti perencanaan, pelaksanaan dan pemanfaatan hasil-hasilnya. Namun dalam prakteknya banyak ditemui bentuk-bentuk pengelolaan yang seperti ini banyak mengalami kepunahan. Seiring dengan pesatnya pembangunan di wilayah pesisir, maka semakin sulit bagi masyarakat lokal untuk mempertahankan bentuk-bentuk pengelolaan yang murni hanya berbasis pada masyarakat setempat. Sebagai suatu model, diketahui bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan berbasis masyarakat memiliki kelemahan dan kelebihan yang tentunya harus diperhatikan dalam mengembangkan sebuah model CBM sumberdaya perikanan dan kelautan. Beberapa kelebihan (nilai-nilai positif) dari model CBMini adalah:

• Mampu mendorong pemerataan (equity) dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan.

• Mampu merefleksikan kebutuhan masyarakat lokal yang spesifik.

• Mampu meningkatkan manfaat bagi seluruh anggota masyarakat yang ada. • Mampu meningkatkan efisiensi secara ekonomi dan ekologi.

• Rensponsif dan adaptif terhadap variasi kondisi sosial dan lingkungan lokal. • Masyarakat lokal termotivasi mengelola sumberdaya secara berkelanjutan.

Sementara kelemahan (nilai-nilai negatif) dari pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan berbasis masyarakat antara lain adalah:

• Hanya dapat diterapkan dengan baik pada kondisi masyarakat yang strukturnya masih sederhana dengan skala dan wilayah kegiatan yang kecil. • Masyarakat memiliki keterbatasan seperti tingkat pendidikan, kesadaran

akan pentingnya lingkungan.

• Hanya efektif untuk kawasan pesisir dan laut dengan batas geografis yang jelas atau terbatas.

• Terjadinya ketimpangan dalam implementasinya karena tidak didukung oleh pemerintah.

• Rentan terhadap 'intervensi luar' atau permintaan sumberdaya alam dan jasa- jasa lingkungan.

Sementara itu Grafton (2005) mengemukakan enam langkah umum proses pengelolaan adaptif secara aktif di DPL untuk kepentingan perikanan yakni (1) menentukan tujuan spesifik, (2) penilaian sistem sosial-ekonomi-ekologi, (3) melakukan konsultasi dengan pemangku kepentingan untuk menyeleksi kriteria sosio-ekonomi-ekologi yang akan digunakan dalam menetapkan variabel kunci keputusan, (4) menetapkan ukuran DPL, lokasi, jumlah dan durasi perlindungan, (5) menyiapkan suatu pertimbangan yang disusun oleh pemangku kepentingan dan kolega terhadap semua langkah sebelumnya dan harus diikuti, (6) melakukan pembelajaran aktif, percobaan dan evaluasi.

Keberhasilan dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang berbasis masyarakat harus dilaksanakan secara bersama-sama oleh masyarakat, pengelola dan pemerintah dengan kesadaran dan komitmen untuk melakukan pengelolaan

secara mandiri dan berkelanjutan. Peran serta masyarakat dalam pengelolaan tersebut merupakan kunci keberhasilan dari pengelolaan berbasis masyarakat.

Cohen dan Uphoff (1977) menyatakan bahwa partisipasi dibedakan berdasarkan tahapannya terbagi atas; (1) Partisipasi dalam pembuatan keputusan, kebijakan dan perencanaan pembangunan. (2) Partisipasi dalam pelaksanaan program pembagunan. (3) Partisipasi dalam memanfaatakan atau menggunakan hasil-hasil pembangunan. (4) Partisipasi dalam mengevaluasi dan mengawasi pembangunan. Menurut Dahuri (2000) pembangunan kelautan perikanan haruslah bersifat aspiratif dimana keterlibatan masyarakat dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan hingga pemanfaatan dan evaluasi hasil pembangunan dilakukan melalui pendekatan community management.

Kemudian menurut Madrie (1986) bahwa tingkat pendidikan, umur dan kesesuaian kegiatan dengan kebutuhan merupakan faktor pribadi yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi seseorang dalam melakukan kegiatan. Sedangkan menurut Soeryani (1987), tingkat pendidikan dan kemiskinan adalah faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam melaksanakan suatu kegiatan, termasuk dalam upaya pengelolaan sumberdaya alam.

Faktor-faktor tersebut merupakan cerminan dari kondisi sosial ekonomi masyarakat. Oleh karena itu keberhasilan suatu pengelolaan sumberdaya termasuk pengelolaan ekosistem terumbu karang tidak terlepas dari pengaruh kondisi sosial ekonomi masyarakat. Meskipun tidak ada jaminan bahwa semakin baik kondisi sosial ekonomi masyarakat, semakin baik pengelolaannya terhadap sumberdaya yang ada. Namun demikian dapat digaris bawahi bahwa semakin baik kondisi sosial ekonomi masyarakat akan memperdalam pemahaman masyarakat terhadap manfaat yang dapat mereka peroleh dari kelestarian sumberdaya alam.

3 METODE PENELITIAN

Dokumen terkait