• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PENDUDUK KOTA

3. Aspek Sosio-Historis

Secara sosio-historisnya dapat dilihat langsung pada penamaan suku yang ada di Jakarta. Dulu pada abad ke-15 sebelum ada kota Batavia, ada suku yang telah dikenal dengan nama betawi. Menurut Ridwan Saidi, nama ini didapat dari pohon yang banyak difungsikan sebagai gagang senjata keris atau gagang pisau dan golok karena batang pohon ini berbentuk bulat seperti guling, mudah diraut

10

53

dan kokoh.11 Penamaan pada suku ini dikaitkan dengan kecenderungan

masyarakat ketika itu yang menamai daerah dengan menggunakan nama pohon.

Pohon betawi ini memiliki nama ilmiah guling Betawi cassia glauca. Sejenis

tanaman perdu yang memiliki kayu bulat.

Suku Betawi adalah suku baru yang menetap diJakarta. Suku Betawi adalah suku yang dihasilkan dari perpaduan etnis yang sudah ada dan pendatang. Suku-suku itu adalah Suku-suku Sunda, Jawa, Arab, Bali, Bugis, Makasar, Ambon, Melayu,

Toinghoa, India dan Eropa.12 Berdasarkan kepentingannya, selain suku Sunda,

suku-suku ini berdatangan untuk berdagang. Kemudian mereka menetap dan berkembang. Termasuk bangsa Eropa, yang pada awalnya bertujuan untuk berdagang sampai kemudian menjajah. Sebagian dari mereka ada yang menetap dan menjadi bagian dari suku asli. Semua kondisi ini merupakan implikasi dari daerah yang berfungsi sebagai kota pelabuhan yang aktif.

Pada masa kedatangan Portugis, Pelabuhan–pelabuhan di dataran Nusantara

pelan-pelan mulai bermunculan. Peranan pelabuhan tersebut sebagai bagian penting dalam jaringan perdagangan Indonesia. Pada pertumbuhan perdagangan ini, pelabuhan di pantai barat malaya yang kita kenal dengan Selat Malaka, menjadi semakin penting karena kapal-kapal pedagang asing sering melewati selat ini jika ingin melakukan perjalanan antara Nusantara dan negeri Barat. Selat Malaka menjadi sepi dari pedagang asing setelah Selat Malaka dikuasai oleh

11

http://www.beritajakarta.com/2008/id/berita_detail.asp?nNewsId=40450 . Diakses pada 29 November 2013.

12

54

Portugis. Yang ada hanya pedagang pribumi dan Portugis saja yang menetap di Selat Malaka. kondisi ini menuaikan hasil yang sangat menguntungkan bagi Sunda Kelapa. Karena ketika itu, Sunda Kelapa ramai didatangi oleh pedagang yang beragama Islam dari Arab, Persia dan India.

Kedatangan para pedagang dan saudagar ke pelabuhan Sunda Kelapa, disini bukan hanya menikmati hasil secara ekonomis saja, melainkan kenikmatan heterogensi ideologi agama pun sangat dirasakan. Dari pedagang India, sudah banyak terjadi akulturasi dari para pedagang yang beragama Hindu hingga menjadikan masyarakat pribumi ikut memeluk agama Hindu. Begitu pula dari pedagang Arab, Persia dan India yang memberikan pengaruh hingga banyak juga yaang tertarik dan memeluk agama Islam. Banyak juga pedagang Portugis yang berdagang dan beristirahat di pelabuhan Sunda Kelapa, telah banyak juga masyarakat dari Sunda Kelapa ini yang beragama Kristen. Bahkan dari setiap suku yang datang dan bertempat tinggal di sini, itu menjadi cikal-bakal agama baru. Karena dari suku tersebut, mereka memiliki kepercayaannya masing-masing. Seperti Tionghoa dengan Konghucunya dan lain-lain.

Dulu di Sunda Kelapa, agama yang paling mendominasi masyarakatnya adalah agama Hindu. Namun dominasi Hindu di Sunda Kelapa, lambat-laun memudar dari pemeluknya. Masyarakatnya mulai terjerat dalam kepercayaan baru yang dianggap lebih rasional. Penyebaran agama Islam dan agama Kristen lebih banyak mendapatkan perhatian masyarakat dan pada akhirnya sebagian besar masyarakat berpindah haluan pada agama tersebut. Hal ini tampak dari jumlah

55

tempat-tempat ibadahnya jika kita lihat kondisi saat ini.Dan dua agama inilah yang sekarang mendominasi penduduk Kota Jakarta.

Pergolakan ideologi agama yang dibawa oleh masing-masing etnis telah mengkondisikan penduduk Jakarta menjadi penduduk yang menyadari keragaman. Setelah itu kalau kembali pada masa kolonial, akan ditemukan sebuah kebijakan politik dari pemerintah kolonial Belanda. Yang disebut dengan Politik Etis, yang menjadi salah satu instrumen penting pada pembentukkan dan perubahan karakter masyarakat Jakarta. Kebijakan ini yang menjadikan masyarakat ortodok menjadi terdidik. Bukan hanya berimplikasi pada pendidikan masyarakat, tetapi kebijakan itu juga telah merubah suasana Jakarta dari masyarakat yang cenderung feodal kepada kondisi yang rasional.

Politik Etis atau politik Balas Budi adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi

kesejahteraan pribumi.13 Ide politik etis ini berawal dari kritikan seorang

wartawan dan politikus Belanda yang bernama Pieter Brooshooftdan C.Th. van Deventer yang kemudian dapat menyentuh hati Ratu Wilhelmina untuk peduli pada nasib pribumi. Ratu wilhelmina mengeluarkan kebijakan politik etis itu pada tanggal 17 September 1901 yang ditegaskan dalam pidatonya: ”...bahwa

pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld)

terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda”.14

13

http://id.wikipedia.org/wiki/Politik_Etis. Diakses pada 4 Desember 2013.

14

56

Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Van deventer yang meliputi:

 Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan

dan bendungan untuk keperluan pertanian

 Emigrasi yakni mengajak penduduk untuk bertransmigrasi

 Edukasi yakni memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan

Banyak pihak menghubungkan kebijakan baru politik Belanda ini dengan pemikiran dan tulisan-tulsian Van Deventer yang diterbitkan beberapa waktu sebelumnya, sehingga Van Deventer kemudian dikenal sebagai pencetus Politik Etis.

Kebijakan pertama dan kedua disalahgunakan oleh Pemerintah Belanda dengan membangun irigasi untuk perkebunan-perkebunan Belanda dan emigrasi dilakukan dengan memindahkan penduduk ke daerah perkebunan Belanda untuk dijadikan pekerja rodi. Hanya pendidikan yang berarti bagi bangsa Indonesia.

Pengaruh politik etis dalam bidang pengajaran dan pendidikan sangat berperan sekali dalam pengembangan dan perluasan dunia pendidikan dan pengajaran di Hindia Belanda. Salah seorang dari kelompok etis yang sangat berjasa dalam bidang ini adalah Mr. J.H. Abendanon (1852-1925) sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan selama lima tahun (1900-1905). Sejak tahun 1900 inilah berdiri sekolah-sekolah, baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa yang hampir merata di daerah-daerah.

57

Sementara itu, dalam masyarakat telah terjadi semacam pertukaran mental antara orang-orang Belanda dan orang-orang pribumi. Kalangan pendukung politik etis merasa prihatin terhadap pribumi yang mendapatkan diskriminasi sosial-budaya. Untuk mencapai tujuan tersebut, mereka berusaha menyadarkan kaum pribumi agar melepaskan diri dari belenggu feodal dan mengembangkan diri menurut model negeri Barat, yang mencakup proses emansipasi dan menuntut pendidikan ke arah swadaya.

Dokumen terkait