PERILAKU PEMILIH
(Dinamika Pilihan Rasional Dalam Kemenangan
Jokowi-Basuki Pada Pemilihan Umum Gubernur
DKI Jakarta 2012)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana sosial (S.Sos)
Oleh:
Muhammad Ferdiansyah Zidni
109033200049
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
l.
2.
J.
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul:
PERILAKU
PEMILIH
( Uinamit<a Pilihan Rasional Dalam Kemenangan Jokowi-Basuki Pada
Pemilihan Umum Gubernur DKI
Jakarta20l2\
Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata
I
di Universitas Islam Negeri rufN)Syarif Hidayatullah Jakarta.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan
ini
telah sayacantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
di
Universitas IslamNegeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri rufN) Syarif Hidayatull ah Jakarta.
Jakarta, 17 Januai2014
Perilaku Pemilih
'
@inamika Pilihan
RasionalDalam
KemenanganJokowi-Basuki
PadaPemilihan Umum
Gubernur
DKI
Jakarta
2012)SKRIPSI
Diaj ukan Untuk Memenuhi P ersyaratan M empero leh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
il'Iuh ammad Ferdians-v-ah Zidni Nrilr. 109033200049
Pembimbing
\
7z*L
,/
,r
Survani. i\f.Si
NrP. 19770424 200710 2 003
PROGR{N{ STUDI
TLMU
POLITIK
FAKULTAS ILNIU SOSL{L
DA.'\
IL}IU
POLITIK
UNIVERSITAS
ISLAilI
NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH
JAI(ARTA
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:
Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:
PERILAKU PEMILIH
(Dinamika Pilihan Rasional Dalam Kemenangan Jokorvi-Basuki Pada Pemilihan
Umum Gubernur DKI Jakarta2012)
Dan memenuhi syarat untuk diuji.
Jakarta, 17 Januan2014 Nama
NIM
Program Studi
Mengetahui,
Ketua Program Studi
NIP. 19651212199203 1 004
: Muhammad Ferdiansyah Zidni : 109033200049
:Ilmu Politik
Menyetujui,
Pembimbing
Li
,)
|w'[1r
Suryani. M.Si
NIP. 19770421200710 2 003
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI SKRIPSI
Perilaku Pemilih: Dinamika Pilihan
RasionalDalam
KemenanganJokowi-Basuki
PadaPemilihan Umum
Gubernur
DKI
Jakarta
2012
Oleh
Muhammad Ferdiansyah Zidni
109033200049
Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 17
Januari 2014. Skripsi
ini
telah diterima sebagai salah satu syarat memperolehgelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Ilmu Politik.
Sekretaris,
NIP. 19730927 200501 r 008 Penguji II,
004 NIP. 197201052001l2
I
003Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal l7 Januari
2014.
Ketua Program Str.rdi
FISIP UIN Jakarta
ru
Ketua,
Penguji I,
NIP. 1965t212199203 1
Dr. Nawin/ddin. M.A
Ali Muhhanif. Ph. D
v
ABSTRAK
Muhammad Ferdiansyah Zidni
Perilaku Pemilih
“ Dinamika Pilihan Rasional Dalam Kemenangan Joko Widodo - Basuki Tjahaja Purnama Pada Pemilihan Umum Gubernur DKI Jakarta 2012”
Skripsi ini membahas tentang hubungan kemenangan Jokowi-Basuki dengan kemunculan para pemilih rasional. Materi yang dibahas adalah perilaku pemilih yang rasional di wilayah DKI Jakarta. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa hubungan antara terbentuknya rasionalitas antara pihak masyarakat dan pemerintah di DKI Jakarta. Penelitian ini dilakukan dengan studi pustaka dan wawancara. Peneliti menemukan bahwa dalam proses terciptanya pilihan rasional didukung oleh kondisi sosio demografi penduduk Jakarta yang relatif berpendidikan, dan melek informasi. Pilihan rasional ini muncul ketika masyarakat tidak merasakan dampak langsung terhadap kebijakan dari pemerintahan Fauzi Bowo. Dengan hadirnya Jokowi-Basuki yang memiliki
prestasi dan track record yang sudah teruji ketika mereka menjadi kepala daerah
di daerah asal masing-masing dan pro-rakyat membuat masyarakat berpaling dari
calon yang berasal dari incumbent. Sikap apatis masyarakat terhadap
pemerintahan Fauzi Bowo semakin meningkat ketika terjadi banyaknya kasus
korupsi yang melibatkan elit-elit partai, dan diketahui bahwa Fauzi
Bowo-Nachrowi Ramli adalah pasangan incumbent yang berkoalisi dengan banyaknya
partai-partai besar yang anggotanya banyak terlibat kasus korupsi.
Kerangka teori yang digunakan dalam skripsi ini adalah teori perilaku pemilih. Dari analisis melalui teori tersebut dapat disimpulkan bahwa pilihan rasional di wilayah Jakarta karena masyarakat tidak puas dengan kinerja Pemerintahan Fauzi Bowo. Selain itu, juga ditemukan bahwa masyarakat Jakarta semakin cerdas sehingga sangat rasional dalam menentukan pilihan dan memiliki pertimbangan logis bahkan ideologis. Faktor etnisitas dan agama juga tidak lagi
menjadi determinasi signifikan. Masyarakat lebih melihat track record dan
vi
KATA PENGANTAR
نمحرلا ها مسب ميحرلاAssalamu’alaikum wr.wb.
Segala puji dan syukur kepada Allah swt yang senantiasa melimpahkan
rahmat. Rabbnya semua alam semesta, Sang Cahaya atas segala cahaya, Yang
kasihsayang-Nya melebihi Maryam terhadap Isa. Dengan hidayah dan inayah-Nya
kepada peneliti sehingga hanya karena limpahan nikmat-nikmat itu peneliti dapat
menyelesaikan Skripsi ini dengan waktu yang diharapkan. Shalawat dan salam
penulis haturkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, sang senyum dari
Yang Maha Penyayang, kekasih dari semua pecinta, pembimbing bagi siapa yang
mencari-Nya, pemegang kunci gerbang menuju-Nya. Yang tiada terhitung jasanya
bagi umat manusia, dengan membawa umatnya dari alam kegelapan karena
kebodohan kepada alam yang terang benderang yang bertaburan ilmu
pengetahuan.
Ide skripsi ini sendiri lahir ketika hidup saya sedang berada dalam fase
perenungan eksistensial (tepatnya frustrasi) tentang apa makna kehidupan saya,
siapa saya ini dan mau ke mana. Jadi, awalnya saya berpikir bahwa skripsi ini
harus sedapat mungkin merupakan persoalan yang memang ingin saya ketahui,
dan harus menghasilkan jawaban atas pertanyaan saya sendiri. Ada hal menarik
yang terjadi pada saya dalam pembuatan skripsi ini. Pada saat itu sudah
sedemikian jenuh dan kehilangan minat dengan skripsi dan kuliah, bahkan dengan
sebagian besar kehidupan saya. Ujung-ujungnya saya kembali mempertanyakan
vii
memperbaiki shalat, karena saya pikir dengan itu hidup akan lurus kembali
(ternyata di sinilah amat bodohnya saya). Rasanya baru setelah itulah saya
berusaha merubah hidup ini dengan berusaha sedikit lebih serius (dan ternyata
teramat sangat tidak mudah).
Pada akhirnya, walaupun melalui sebuah perenungan yang lama, tentunya
ditambah dengan ketidakdisiplinan dan ketidaksesuaian dengan target lulus tepat
waktu (ini kalimat penyesalan, bukan permohonan maklum). Masih amat sangat
banyak kekurangan dari karya ini, dan peneliti sendiri menganggap hasil akhir
karya ini sebagai karya seorang seniman yang baru belajar membiasakan diri
menggunakan media baru untuk menuangkan ide dan kreativitas. Sehubungan
dengan telah selesainya penulisan Skripsi ini. Penulis mengucapkan banyak
terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis baik berupa
motivasi, saran, kritik, gagasan, finansial, dan tenaga kepada penulis pada masa
pencarian data dan referensi demi terselesaikannya penulisan Skripsi ini. Kepada
mereka, penulis mengucapkan rasa terima kasih yang mendalam kepada:
1. Prof. Dr. Komarudin Hidayat. Selaku Rektor Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Prof. DR Bachtiar Effendy MA. Selaku Dekan Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik.
3. Bapak Ali Munhanif, Ph.D. Selaku Ketua Prodi Ilmu Politik UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu memberikan nasehat dan
viii
4. Bapak M. Zaki Mubarak, M.Si. Selaku Sekretaris Prodi Ilmu Politik
yang banyak memberikan masukan dan rujukan inspirasi di tengah
kebimbangan penulis dalam menuntut ilmu selama di FISIP.
5. Mamah tercinta dan tersayang yang meski telah tiada di dunia, tapi
saya merasa mamah selalu ada disisi saya. Sehingga saya terus
berusaha bangkit ketika saya terjatuh agar mamah bisa bangga melihat
saya dari Surga. Papah yang selalu memotovasi saya untuk menjaga
dan mengangkat harkat dan marbat keluarga. Kemudian kakak dan
adik-adik yang selalu sabar dengan tingkahlaku saya.
6. Ibu Suryani, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi sekaligus dosen
pembimbing akademik saya. Di sela-sela segala kesibukannya, beliau
tetap bersedia meluangkan waktunya, dan tetap membimbing saya
dengan sepenuh hati, kesabaran , ketelitian dan selalu memberikan
motivasi yang luar biasa disaat saya patah semangat. Terimakasih saya
rasanya tidak akan cukup untuk beliau.
7. Para dosen tercinta selama 4 tahun menuntut ilmu di FISIP, Ibu
Haniah, Bapak A.Bakir Ihsan M.Si, Bapak Idris Thaha M.Si, Bapak
Dr. Shirodjudin Aly, Drs. Armein Daulay M.Si, Ibu Gefarina Djohan
MA, serta seluruh dosen di Prodi Ilmu Politik yang tidak bisa penulis
sebutkan satu persatu.
8. Staf dan Karyawan FISIP yang banyak membantu penulis dalam surat
menyurat, Pak Jajang, Pak Amali, Pak Nanda, Ibu Lili dan semua yang
ix
9. Teman-teman seperjuangan ilmu politik 2009. Abdul Gofur Khafi, S.
Fadel Abu Bakar, Algi, Fikri, Selamet, Eko Indrayadi, Bagus Salim
Muharram, Meutia Rahmawati, Mizar, Nuzula, Odit, Agil, Rizkynoa,
Rizky R, Riza, Arep, Iir, Fili, Ali, Ilham, Dhani dan semuanya yang
tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. “semoga cita-cita dan
harapan kita akan segera terwujud.
10.Teman-teman di SHALTER CF. Ahmad Ikbal, Nurul Choiri, Ahmad
Zakaria, Ardiansyah, Zayadi, Akbar dan Ambon Rahmat. Terima kasih
karena kalian selalu bisa menghibur Penulis disaat jenuh dengan
kekonyolan kalian.
11.Mas Kiki atas berbagi pengalamannya, motivasi dan menyediakan
tempat untuk Peneliti mengerjakan Skripsi ini dengan tenang.
12.Teman-Teman di KIBAR. Pak Bintang, Bang Wahyu, Deden, Jafar
,Bang Sawal, Quro, Agung, Umar, Usturi, Unga, Kiki, Naila, Elita,
Mutia dan semuanya yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
13.Cak Junet, tukang fotocopy langganan Penulis yang selama kuliah
mengeprint tugas ditempatnya.
Dalam penulisan skripsi ini penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun agar dapat sempurnanya karya penulis ini. Karena tiada gading yang
tak retak. Penulis juga sadar sebagai manusia sering melakukan khilaf dan
x
Jakarta, 17 Januari 2014
xi
DAFTAR ISI
ABSTRAK…………... v
KATA PENGANTAR…... vi
DAFTAR ISI………...………... xi
DAFTAR TABEL... xiii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Pertanyaan Penelitian... 6
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian... 6
D. Tinjauan Pustaka... 7
E. Kerangka Teoritis... 9
1. Definisi Perilaku Pemilih... 9
a. Pendekatan Sosiologis... 11
b. Pendekatan Psikologis... 13
c. Pendekatan Pilihan Rasional... 15
F. Metodologi Penelitian... 25
G. Sistematika Penulisan... 27
BAB II PROFIL JOKO WIDODO DAN BASUKI TJAHAJA PURNAMA A. Biografi Jokowi………... 29
B. Biografi Basuki Tjahaja Purnama….………... 37
BAB III SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PENDUDUK KOTA JAKARTA A. Sejarah Jakarta... 46
1. Aspek Geografis... 46
2. Aspek Nomenklatur... 49
3. Aspek Sosio-Historis... 52
B. Demografi Masyarakat Kota Jakarta... 57
1. Agama... 58
xii
3. Pendidikan... 62
BAB IV PILKADA 2007 DAN DINAMIKA PILIHAN RASIONAL PADA PILKADA DKI JAKARTA 2012
A. Pemilu Kepala Daerah DKI Jakarta 2007... 65
B. Dinamika Pilihan Rasional Pada Pilkada DKI Jakarta 2012 69
1. Berdasarkan Sosiologis... 70 2. Berdasarkan Psikologis... 73
3. Berdasarkan Pilihan Rasional (Rasional-Choice)... 76
BAB V PENUTUP
A.Kesimpulan... 86 B. Saran... 87
DAFTAR PUSTAKA………... xiv
xiii
[image:14.595.109.514.125.577.2]DAFTAR TABEL
Tabel III.A. Jumlah Penduduk menurut Agama dan Kepercayaan, Provinsi DKI
Jakarta Tahun 2012... 58
Tabel.III.B. Jumlah Suku Bangsa Provinsi DKI Jakarta, Tahun
2010... 61
Tabel III.C. Data Penduduk Provinsi DKI Jakarta Berdasarkan Pendidikan
2012... 62
Tabel IV. Hasil Perolehan Suara Pemilihan Umum Kepala Daerah DKI
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di dalam suatu negara demokrasi, pemilihan umum dianggap sebagai
lambang, sekaligus tolak ukur dari demokrasi itu. Dan hasil pemilihan umum
diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan
kebebasan berserikat,dianggap untuk mencerminkan keakuratan partisipasi serta
aspirasi masyarakat. Memilih merupakan aktifitas menentukan keputusan secara
langsung maupun tidak langsung.
Di Indonesia sendiri, pemilihan umum (pemilu) pada awalnya ditujukan
untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan
DPRD Kabupaten/Kota. Setelah amandemen keempat UUD 1945 pada 2002,
pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang semula dilakukan oleh
MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun
dimasukkan ke dalam rezim pemilu. Pilpres sebagai bagian dari pemilu diadakan
pertama kali pada Pemilu 2004.1
Dan pada 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007,
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan
sebagai bagian dari rezim pemilu. Setelah diberlakukan otonomi daerah,
pemilihan kepala daerah bukan lagi dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi DKI Jakarta, tetapi dipilih langsung oleh rakyat. Pemilu, sebagai
1
2
medium pilihan publik, seharusnya mengkondisikan seluruh pihak yang terlibat
untuk belajar berbagi peran sehingga tidak semuanya harus berpusat pada salah
satu aktor atau salah satu lokus (Pusat).2
Dengan demikian, pemilu kepala daerah secara langsung merupakan
indikator pengembalian hak-hak dasar masyarakat di daerah dengan memberikan
kewenangan yang utuh dalam rangka rekrutmen politik lokal secara demokratis.3
Jika mengacu pada Undang-undang Pemerintah Daerah Nomor 32 Tahun
2004, pemilihan kepala daerah hanya dilaksanakan satu putaran jika ada
pemenang yang meraih suara di atas 25 persen. Namun, pilkada dapat
dilangsungkan dalam dua putaran jika DPR dapat menyelesaikan perubahan UU
No 34/1999 mengenai Pemerintah Daerah Khusus Ibukota (DKI). Undang-undang
Pemerintahan DKI mengharuskan kemenangan 50 persen plus satu bagi calon
pasangan kepala daerah4.
Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang
diselenggarakan pada 8 Agustus 2007 di Provinsi DKI Jakarta merupakan yang
pertama dalam sejarah pemilihan kepala daerah di Indonesia.
Hasilnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta menetapkan
pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Fauzi Bowo - Prianto sebagai
pemenang pada Pemilu kepala daerah DKI Jakarta 2007 dengan perolehan suara
2
Ahmad Nadir, Pilkada Langsung Dan Masa Depan Demokrasi (Malang: Averroes Press, 2005), 39.
3
Ambo Upe, Sosiologi Politik Kontemporer (Jakarta: Prestasi pustaka, 2008), 44-45.
4
3
2.109.511. Juri Ardiantoro Ketua KPU DKI Jakarta pada tanggal 20 Juli 2007
mengatakan "Berdasarkan penghitungan hasil rekapitulasi suara dari enam
wilayah pemilihan maka pasangan calon Fauzi Bowo - Prianto memperoleh 57,87
persen suara, sedangkan pasangan Adang Daradjatun - Dani Anwar memperoleh
42,13 persen suara setara dengan 1.535.555".5
Kemudian pada Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Provinsi DKI Jakarta 2012, Fauzi Bowo (Foke) mencalonkan diri kembali dengan
pasangan barunya yaitu Nachrowi Ramli (Nara) dan harus mengikuti babak
penentuan lagi. Pemilihan umum ini diikuti oleh enam calon pasangan gubernur
dan wakil gubernur, yaitu 4 pasangan diusung oleh partai politik dan dua pasang
berasal dari calon independen. Pada putaran pertama 11 Juli 2012 hasil
perhitungan KPU Provinsi DKI Jakartaa secara resmi memutuskan;6 Fauzi
Bowo-Nachrowi Ramli (diusung Demokrat - 34,05%), Hendardji Soepandji-Ahmad Riza
Patria (Independent - 1,98%), Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (diusung
PDIP dan Gerindra - 42,60%), Hidayat Nur Wahid-Didik J.Rachbini (diusung
PKS dan PAN - 11,72%), Faisal Batu Bara-Biem Triani Benjamin (Independent -
4,98%), dan Alex Noerdin-Nono Sampono (diusung Golkar, PPP dan PDS -
4,57%).
Memasuki putaran kedua pemilihan umum Gubernur DKI Jakarta 2012,
mulai timbul isu suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Para calon pemilih
ini di hasut agar tidak memilih pasangan dengan suku dan agama tertentu.
5
http://www.antaranews.com/berita/74054/kpu-tetapkan-fauzi-bowo-prianto-pemenang-pilkada-dki-2007. Diakses pada 25 September 2013.
6
4
Hasutan beredar lewat selebaran, situs-situs jejaring sosial, forum-forum internet,
dan pesan berantai lewat telepon seluler. Pemilih mendapat hasutan agar tak
memilih orang non-Jakarta, apalagi berasal dari agama dan etnis tertentu.
Masing-masing pasangan membantah telah melakukan serangan bernada SARA.
Tim sukses pasangan Joko Widodo - Basuki Tjahaja Purnama
(Jokowi-Basuki) merasa menjadi sasaran kampanye hitam bernuansa SARA. Meski begitu,
Ketua Tim sukses Jokowi-Basuki, Cheppy Wartono mengatakan, munculnya isu SARA justru menguntungkan mereka. “Kami santai saja, lha wong banyak yang
menanggapinya negatif. Malah, banyak yang tambah respek sama Jokowi-Basuki. Jadinya menguntungkan kita,” Selasa 17 Juli 2012.7
Dan berlanjut pada kasus Rhoma Irama yang mencuat karena dalam
ceramahnya di Masjid Al Isra, Tanjung Duren, Jakarta, pada Sabtu 28 Juli 2012,
ia membahas calon keduanya dengan menyinggung masalah suku dan agama calon tersebut. Bahkan ia juga mengatakan kepada jama’ah masjid jangan
memilih pemimpin yang tidak seiman.8
Kemudian pada hasil hitung cepat di hari pemilu putaran kedua tanggal 20
September 2012 yang ditayangkan sejumlah stasiun televisi mengunggulkan
pasangan Jokowi-Basuki meraih suara sekitar 54-56%, sementara Foke-Nara
berkisar 44-46%. Publikasi sejumlah media cetak sehari setelah pemilu (21/9)
7
http://www.republika.co.id/berita/menuju-jakarta-1/news/12/07/18/m7cge5-isu-sara-mulai-mengelinding-di-pilkada-dki. Diakses pada 2 Oktober 2013.
8
5
mengungkapkan, pasangan Jokowi-Basuki tetap unggul atas pasangan Foke-Nara;
LSI dengan (53,81%:46,19%), Indobarometer (54,11%:45,89%), Indonesian
Network Election Survey (57,39%:42,61%), Jaringan Suara Indonesia
(53,28%:46,72%), Saiful Mujani Research and Consulting (53,27%:46,73%), dan
Lingkaran Survei Indonesia (53,68%:46,32%), Kompas (52,97%:47,03%).9
Akhirnya hasil pilkada DKI Jakarta putaran 2 diumumkan oleh Ketua
KPUD DKI Jakarta, Dahliah Umar pada Sabtu, 29 September 2012. Penetapan
dilakukan sesuai dengan hasil rekapitulasi penghitungan suara di tingkat provinsi
sehari sebelumnya. Pasangan Jokowi-Basuki meraih 2.472.130 (53,82%) suara,
sedangkan Foke-Nara mendapatkan 2.120.815 (46,18%) suara. Dengan selisih
351.315 (7,65%) suara, Dahliah Umar pun menyatakan, "Pasangan nomor urut 3
Jokowi-Basuki meraih suara terbanyak dalam putaran kedua."10
Joko Widodo(Jokowi) dan BasukiTjahaja Purnama (Basuki) yang hanya di
dukung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Gerakan
Indonesia Raya (Gerindra) dapat unggul di tengah-tengah isu SARA oleh rivalnya
yaitu Fauzi Bowo (Foke) dan Nachrowi Ramli (Nara) sebagai pasangan
incumbent yang di dukung Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN),
Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai
9
http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_Gubernur_DKI_Jakarta_2012. Diakses pada 25 September 2013.
10
6
Bulan Bintang (PBB), Partai Matahari Bangsa (PMB), Partai Kebangkitan
Nasional Ulama (PKNU) dan juga sebagai putra daerah.
Meskipun seringkali unsur etnis ataupun primordial dipandang eksis dan
tetap berjalan dalam pilkada di Indonesia. Namun, khususnya untuk wilayah
Jakarta yang memiliki penduduk yang heterogen dan memiliki tingkat kritisisme
yang tinggi terhadap politik. Oleh karena itu, sebagai sebuah hipotesis awal
penelitian untuk skripsi ini, peneliti melihat bahwa perilaku pemilih pada
pemilihan umum Gubernur DKI Jakarta 2012, memberikan kesan bahwa pilihan
rasional semakin tumbuh dikalangan masyarakat DKI Jakarta.
B. Pertanyaan Penelitian
Untuk membuat penelitian skripsi ini lebih terarah, maka penulis
memutuskan untuk melakukan penelitian berdasarkan masalah yang mendasar
mengenai penelitian ini, yaitu: Bagaimana perubahan perilaku pemilih masyarakat
Jakarta dalam Pemilihan Umum Gubernur DKI Jakarta 2012 ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memahami perilaku pemilih pada pemilihan
umum Gubernur DKI Jakarta 2012, fokus ini mengarah pada Pilihan Rasional
yang semakin tumbuh dikalangan masyarakat DKI Jakarta. Dari kemenangan
pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama (Basuki) dari
rivalnya yaitu Fauzi Bowo (Foke) dan Nachrowi Ramli (Nara) yang merupakan
7
Sedangkan manfaat penelitian ini di bagi dua :
a. Manfaat akademik
Untuk memperkaya khazanah intelektual politik. Peneliti mengharapkan
agar penelitian ini bermanfaat dan dapat memberikan arti akademis dalam
menambah informasi dan memperkaya wawasan politik terutama dalam
mengamati dan menganalisa Perilaku Pemilih yang berperan penting dalam
pemilihan umum di Indonesia, khususnya di DKI Jakarta.
b. Manfaat tehnis
Semoga penelitian ini dapat memberikan masukan kepada Pemda DKI
Jakarta, Partai Politik atau pun calon-calon pejabat publik mendatang bagaimana
dalam menampung aspirasi politik masyarakat untuk kemudian mencari strategi
menarik minat masyarakat agar layak dipilih dan memenangkan pemilu meski
berada pada situasi yang tadinya di anggap kental akan etnisitasnya dan
berhadapan dengan rival yang memiliki kekuatan massa.
D. Tinjauan Pustaka
Dalam penelitian ini, ada literatur yang penulis jadikan sebagai acuan dan
tinjauan pustaka. Tinjauan pustaka ini bertujuan untuk menemukan sisi menarik
atau sisi lain dan kegunaan dari penelitian skripsi yang sedang penulis teliti.
Adanya tinjauan pustaka yang penulis temukan sebagai instrumen perbandingan
8
Rasional Dalam Kemenangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama Pada
Pemilihan Umum Gubernur DKI Jakarta 2012, diantaranya:
Skripsi yang berjudul Tokoh Masyarakat Dan Perilaku Pemilih: Studi Kasus
Tentang Perilaku Pemilih Tokoh Masyarakat Pada Pilkada Gubernur 2006 Di
Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat, oleh: Maspanur, Mahasiswa Universitas
Hasanuddin, Program studi ilmu politik, jurusan politik pemerintahan, fakultas
ilmu sosial dan ilmu politik.
Dalam skripsi ini membahas tentang Etnisitas pada perilaku pemilih
menjadi hal sangat mendasar dalam tingkah laku memilih tokoh masyarakat pada
Pilkada Gubernur tahun 2006 yang berlangsung di Kabupaten Mamuju Sulawesi
Barat. Kuatnya ikatan kekerabatan (darah dan kekeluargaan) dan kesamaan
kesukuan, agama, bahasa, dan adat-istiadat merupakan faktor-faktor primordial
yang membentuk perilaku memilih masyarakat.
Hal tersebut yang mengindikasikan bahwa perilaku memilih tokoh
masyarakat di Kabupaten Mamuju, masih tergolong sektarian dan dapat
menghambat proses demokratisasi di tingkat lokal. Tanggal 24 juli 2006 hasil
perolehan suara pada pilkada Gubernur 2006 di Kabupaten Mamuju Sulawesi
Barat, terpilihlah Gubernur dan Wakil Gubernur periode 2006-2011 yakni Anwar
Adnan Saleh dan Amri Sanusi.
Alasan masyarakat memilih pasangan tersebut karena adanya ikatan
primordial/ kesukuan sehingga masyarakat Mamuju lebih dominan memilih
pasangan Anwar Adnan Saleh dan Amri Sanusi karena masyarakat menganggap
9
sendiri. Dan Tipe penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan cara
deskriptif yaitu menggambarkan secara sistematis dan mendalam.
E. Kerangka Teoritis
Dalam penelitian ini penulis menggunakan Perilaku Pemilih sebagai
landasan teori. Teori ini menempatkan perilaku politik sebagai variabel yang
ditentukan atau dipengaruhi oleh sosiologis, psikologis dan pilihan rasional.
Untuk itu pada bagian ini penulis menggunakan teori tersebut untuk menjelaskan
Dinamika Pilihan Rasional Dalam Kemenangan Joko Widodo - Basuki Tjahaja
Purnama pada Pemilihan Umum Gubernur DKI Jakarta 2012.
1. Definisi Perilaku Pemilih
“Perilaku adalah sifat alamiah manusia yang dapat membedakan manusia dengan manusia lainnya, dan menjadi ciri khas individu dengan individu yang lain. Dalam konteks politik, perilaku dikategorikan sebagai
interaksi antara pemerintah dan masyarakat, lembaga-lembaga
pemerintah, dan diantara kelompok dan individu dalam masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan, dan penegakkan keputusan
politik pada dasarnya merupakan perilaku politik. Memilih adalah suatu
kegiatan atau aktifitas yang merupakan proses menentukan sesuatu yang dianggap cocok dan sesuai dengan keinginan seseorang atau kelompok, baik yang bersifat eksklusif maupun yang inklusif. Memilih merupakan aktifitas menentukan keputusan secara langsung maupun tidak langsung”.11
Di dalam masyarakat, individu berperilaku dan berinteraksi, sebagian dari
perilaku dan interaksi dapat dilihat dari perilaku politik, yaitu perilaku yang
bersangkut paut dengan proses politik. Sebagian lainnya berupa perilaku ekonomi,
11
10
keluarga, agama, dan budaya. Sebagai contoh, yang termasuk kedalam kategori
ekonomi, yaitu kegiatan yang menghasilkan barang dan jasa, menjual dan
membeli barang dan jasa, mengkonsumsi barang dan jasa, menukar, menanam,
dan menspekulasikan modal. Namun, hendaklah diketahui pula tidak semua
individu ataupun kelompok masyarakat mengerjakan kegiatan politik.
Menurut Ramlan Surbakti, menilai perilaku memilih ialah keikutsertaan
warga negara dalam pemilihan umum merupakan serangkaian kegiatan membuat
keputusan, yaitu apakah memilih atau tidak memilih dalam pemilihan umum.12
Perilaku pemilih merupakan realitas sosial politik yang tidak terlepas dari
pengaruh faktor eksternal dan internal. Secara eksternal perilaku politik
merupakan hasil dari sosialisasi nilai-nilai dari lingkungannya, sedangkan secara
internal merupakan tindakan yang didasarkan atas rasionalitas berdasarkan
pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi perilaku pemilih. Misalnya saja
isu-isu dan kebijakan politik, Tapi ada juga sekelompok orang yang memilih
kandidat karena dianggap representatif dengan agama atau keyakinannya,
sementara kelompok lainnya memilih kandidat politik tertentu karena dianggap
representatif dengan kelas sosialnya, bahkan ada juga kelompok yang memilih
sebagai ekspresi dari sikap loyal pada ketokohan figur tertentu. Sehingga yang
paling mendasar dalam mempengaruhi perilaku pemilih antara lain pengaruh elit,
identifikasi kepartaian sistem sosial,media massa dan aliran politik.
12
11
Pembahasan perilaku pemilih dalam kemenangan Jokowi-Basuki pada
pemilihan umum Gubernur DKI Jakarta 2012 tentu tidak hanya sekedar
mendeskripsikan perilaku tersebut, tapi proses pengambilan keputusan yang
terjadi sebelumnya juga perlu ikut di jelaskan. Hal ini mencakup berbagai faktor
yang berpengaruh, baik untuk jangka waktu pendek maupun jangka panjang, dan
secara emosional ataupun rasional.
Ada tiga macam pendekatan atau dasar pemikiran yang berusaha
menerangkan perilaku pemilu. Ketiganya tidak sepenuhnya berbeda, dan dalam
beberapa hal ketiganya bahkan saling membangun/mendasari serta memiliki
urutan kronologis yang jelas. Pendekatan tersebut adalah, pendekatan sosiologis,
pendekatan psikologis, dan pendekatan pilihan rasional (rational-choice).13
Penjelasannya sebagai berikut:
a. Pendekatan Sosiologis
Pendekatan sosiologis menentukan perilaku memilih pada para pemilih,
terutama kelas sosial, agama, dan kelompok etnik/ kedaerahan/ bahasa. Subkultur
tertentu memiliki kondisi sosial tertentu yang pada akhirnya bermuara pada
perilaku tertentu.14 Kondisi yang sama antar anggota subkultur terjadi karena
sepanjang hidup mereka dipengarui lingkungan fisik dan sosio kultural yang
relatif sama. Mereka dipengaruhi oleh kelompok-kelompok referensi yang sama.
Kerena itu, mereka memiliki kepercayaan, nilai, dan harapan yang juga relatif
13
Dieter Roth, Studi Pemilu Empiris: Sumber, Teori-teori, Instrumen dan Metode, Dodi Ambardi, ed., (Jakarta: Friedrich-Naumann-Stiftung dan LSI, 2009), 23.
14
12
sama, termasuk dalam kaitannya dengan preferensi pilihan politik. Dengan
pendekatan ini, para anggota subkultur yang sama cenderung mempunyai prefensi
politik yang sama pula.
Pendekatan ini berdasarkan pengelompokan sosial, baik secara formal
ataupun informal. Secara formal seperti keanggotaan seseorang dalam
organisasi-organisasi keagamaan, organisasi-organisasi-organisasi-organisasi profesi, dan sebagainya. Dan
kelompok informal seperti keluarga, pertemuan, ataupun
kelompok-kelompok kecil lainnya, merupakan sesuatu yang sangat vital dalam memahami
perilaku politik seseorang, karena kelompok-kelompok inilah yang mempunyai
peranan yang sangat besar dalam menentukan sikap, persepsi dan orientasi
seseorang.
Menurut Paul F. Lazarsfeld, manusia terikat di dalam berbagai lingkaran
sosial, contohnya keluarga, lingkaran rekan-rekan, tempat kerja dan sebagainya.
Dia menerapkan cara ini pada para pemilih, bahwa seorang pemilih hidup dalam
konteks tertentu: status ekonominya, agamanya, tempat tinggalnya, pekerjaannya,
dan usianya untuk mendefinisikan lingkaran sosial yang mempengaruhi keputusan
para pemilih. Setiap lingkaran sosial memiliki normanya tersendiri, kepatuhan
terhadap norma-norma tersebut menghasilkan integrasi. Namun konteks ini turut
mengkontrol perilaku individu dengan cara memberikan tekanan agar individu
tersebut menyesuaikan diri, sebab pada dasarnya setiap orang ingin hidup dengan
tentram, tanpa bersitegang dengan lingkungan sosialnya.15
15
Paul F Paul F Lazarsfeld, Bernard Berelson, dan Hazel Gaudet (1968): The People’s
13
b. Pendekatan Psikologis
Pendekatan psikologis berusaha untuk menerangkan faktor-faktor apa saja
yang mempengaruhi keputusan pemilu jangka pendek atau keputusan yang
diambil dalam waktu yang singkat. Hal ini berusaha menjelaskan melalui trias
determinan dengan melihat sosialisasinya dalam menentukan perilaku politik
pemilih, bukan karakteristik sosiologisnya. Jadi pendekatan psikologis
menekankan pada tiga aspek, yaitu identifikasi partai, orientasi, dan isu orientasi
kandidat.16 Sementara itu faktor-faktor lainnya yang sudah ada terlebih dahulu
(seperti misalnya keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu) dianggap memberi
pengaruh langsung terhadap perilaku pemilih.
Inti dasar pemikiran ini dituangkan dalam bentuk sebuah variabel yaitu
identifikasi partai (party identification). Variabel ini digunakan untuk mengukur
jumlah faktor-faktor kecenderungan pribadi maupun politik yang relevan bagi
seorang individu. Apabila faktor-faktor kecenderungan (seperti misalnya
pengalaman pribadi atau orientasi politik) diumpamakan sebagai suatu aliran yang
dituangkan melewati sebuah corong, maka identifikasi partai yang merupakan
semacam keanggotaan psikologis partai, dapat diumpamakan sebagai sebuah
saringan dalam corong kausal/ penyebab ini (funnel of cautality).17
Identifikasi dalam sebuah partai tentu biasanya tidak harus dengan
keanggotaan yang formil/resmi seorang individu dalam sebuah partai. Oleh karena
16
Roth, Studi Pemilu Empiris, 38.
17
Angus Campbell, Philip E. Converse, dan Warren E. Miller, dan Donal E. Stokes et al.
14
itu keanggotaan partai secara psikologis juga disebut dengan orientasi partai yang
efektif, sebuah efek yang sama sekali tidak menggunakan istilah “keanggotaan”.
Identifikasi partai seringkali diwariskan orang tua kepada anak-anak mereka18.
Seiring dengan bertambahnya usia, identifikasi partai menjadi semakin
stabil dan intensif. Kemudian identifikasi partai menjadi orientasi yang permanen,
yang tidak berubah dari pemilu ke pemilu. Tapi kalau seseorang mengalami
perubahan pribadi yang besar (misalnya menikah, pindah profesi atau tempat
tinggal) atau situasi politik yang luar biasa (seperti krisis ekonomi atau perang),
maka identifikasi partai ini dapat berubah.19
Pendekatan psikologis membedakan antara kekuatan, arah dan intensitas
orientasi, baik dalam orientasi isu maupun orientasi kandidat.20 Isu-isu khusus
hanya dapat mempengaruhi perilaku pemilu individu apabila memenuhi tiga
persyaratan dasar: isu tersebut harus dapat ditangkap oleh pemilih, isu tersebut
dianggap penting oleh pemilih, pada akhirnya pemilih harus mampu
menggolongkan posisi pribadinya (baik secara positif atau negatif) terhadap
konsep pemecahan permasalahan yang ditawarkan oleh sekurang-kurangnya satu
partai.21
Dalam orientasi kandidat pun berlaku ketentuan: semakin sering sang
pemilih mengambil posisi terhadap kandidat-kandidat yang ada, semakin besar
18
Campbell et al, The American Voter, 146-148.
19
Campbell et al, The American Voter, 149-160.
20
Angus Campbell, Geral Gurin, dan Warren E. Miller, The Voter Decides (Evan-ston, 1954), 112-143.
21
15
pula kemungkinan bahwa ia akan berpartisipasi dalam pemilu. Bila posisi/
pandangan sang pemilih semakin cocok dengan kandidat sebuah partai tertentu,
maka semakin besar pulalah kemungkinan bahwa ia akan memilih kandidat
tersebut. Para peneliti pemilu dari Ann Arbor berpandangan bahwa preferensi
kandidat dan orientasi isu lebih tergantung kepada perubahan dan fluktuasi
dibandingkan dengan identifikasi partai.22
Oleh karena itu, Angus Campbell sejak tahun 1960 sudah memandang
identifikasi partai sebagai sebuah ikatan partai psikologis dan stabil, yang tidak
lagi dipengaruhi oleh faktor pengaruh jangka pendek.23
c. Pendekatan Pilihan Rasional (Rational-Choice)
Pusat perhatian berbagai pendekatan teoritis mengenai perilaku pemilih
yang rasional terletak pada perhitungan biaya dan manfaat (cost and benefit). Dari
pendekatan pilihan rasional, yang menentukan dalam sebuah pemilu bukanlah
adanya ketergantungan terhadap ikatan sosial struktural atau ikatan partai yang
kuat, melainkan hasil penilaian rasional dari warga yang baik.
Sebenarnya pendekatan pilihan rasional diadopsi dari ilmu ekonomi. Karena
didalam ilmu ekonomi menekankan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan
keuntungan yang sebesar-besarnya. Hal ini senada dengan perilaku politik yaitu
seseorang memutuskan memilih kandidat tertentu setelah mempertimbangkan
untung ruginya sejauhmana program-program yang disodorkan oleh kandidat
22
Campbell et al, The Voter Decides, 183.
23
16
tersebut akan menguntungkan dirinya, atau sebaliknya malah merugikan. Para
pemilih akan cenderung memilih kandidat yang kerugiannya paling minim.
Dalam konteks pendekatan semacam ini, sikap dan pilihan politik
tokoh-tokoh populer tidak selalu diikuti oleh para pengikutnya kalau ternyata secara
rasional tidak menguntungkan. Beberapa indikator yang biasa dipakai oleh para
pemilih untuk menilai seorang kandidat khususnya bagi pejabat yang hendak
mencalonkan kembali, diantaranya kualitas, kompetensi, dan integrasi kandidat.24
Pada awal 60-an, Valdimer O Key menuding bahwa kedua pendekatan
untuk menerangkan perilaku pemilih yang selama ini berlaku (yaitu pendekatan
sosiologis dan pendekatan psikologis), merendahkan rasionalitas manusia.25
Menurut Key, masing-masing pemilih menetapkan pilihannya secara retrospektif,
yaitu dengan menilai apakah kinerja partai yang menjalankan pemerintahan pada
periode legislatif terakhir sudah baik bagi dirinya sendiri dan bagi negara, atau
justru sebaliknya. Penilaian ini juga dipengaruhi oleh penilaian terhadap
pemerintah di masa lampau. Apabila hasil penilaian kinerja pemerintah yang
berkuasa (juga bila dibandingkan dengan pendahulunya) positif, maka mereka
akan di pilih kembali. Apabila hasil penilaiannya negatif, maka pemerintahan
tersebut tidak akan dipilih kembali.26
Menurut Anthony Downs, pemilih yang rasional hanya menuruti
kepentingannya sendiri atau kalaupun tidak, akan selalu mendahulukan
24
http://bluean9el.wordpress.com/2011/11/22/rational-choice-theory-teori-pilihan-rasional/. Diakses pada 3 Oktober 2013.
25
Valdimer O Key, The Responsible Electorate: Rationality in Presidential Voting 1936-1960 (Melbourne: Cambridge University Press, 1966), 7.
26
17
kepentingannya sendiri di atas kepentingan orang lain, ini disebut dengan
self-interest axiom.27 Walaupun menurut Downs, tidak semua orang merupakan orang yang egois, ”bahkan dalam politik sekalipun,” namun ia tiba pada kesimpulan
bahwa “sosok-sosok heroik” ini dari segi jumlah dapat diabaikan.28
Manusia bertindak egois, terutama oleh karena mereka ingin
mengoptimalkan kesejahteraan material mereka, yaitu pemasukan atau harta
benda mereka. Jika hal ini diterapkan kepada perilaku pemilu, maka ini berarti
bahwa pemilih yang rasional akan memilih partai atau kandidat yang paling
menjanjikan keuntungan bagi dirinya. Pemilih tidak terlalu tertarik kepada konsep
politis sebuah partai, melainkan pada keuntungan terbesar yang dapat ia peroleh
apabila partai atau kandidat ini menduduki pemerintahan dibandingkan dengan
partai atau kandidat lain.
Untuk dapat memperkirakan atau menghitung keuntungan ini, Downs mengistilahkannya sebagai “utility maximation,” pemilih harus memiliki
informasi mengenai kegiatan partai atau kandidat di masa lalu dan apa yang
mungkin dilakukan partai atau kandidat di masa mendatang. Dan pemilih yang
rasional membutuhkan informasi yang lengkap. Dengan adanya informasi yang
lengkap, alternatif-alternatif pilihan lebih mudah untuk dirumuskan.29
Menurut Ramlan Surbakti dan Dennis Kavanaagh, bahwa pilihan rasional
melihat kegiatan perilaku memilih sebagai produk kalkulasi antara untung dan
27
Anthony Downs, Okonomische Theorie der Demokratie, engl.: An Economic Theory of Democracy 1957 (New York: Tubingen, 1968), 26.
28
Downs, Okonomische Theorie der Demokratie, 27.
29
18
rugi. Ini disebabkan karena pemilih tidak hanya mempertimbangkan ongkos
memilih dan kemungkinan suaranya dapat mempengaruhi hasil yang diharapkan,
tetapi juga perbedaan dari alternatif-alternatif berupa pilihan yang ada. Pemilih di
dalam pendekatan ini diasumsikan memiliki motivasi, prinsip, pendidikan,
pengetahuan, dan informasi yang cukup.30
Pilihan politik yang mereka ambil dalam pemilu bukanlah karena faktor
kebetulan atau kebiasan melainkan menurut pemikiran dan pertimbangan yang
logis. Berdasarkan informasi, pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki pemilih
memutuskan harus menentukan pilihannya dengan pertimbangan untung dan
ruginya untuk menetapkan pilihan atas alternatif-alternatif yang ada kepada
pilihan yang terbaik dan yang paling menguntungkan baik untuk kepentingan
sendiri (self interest) maupun untuk kepentingan umum.
Sehingga pada kenyataannnya, terdapat sebagian pemilih yang mengubah
pilihan politiknya dari satu pemilu ke pemilu lainnya. Fenomena tersebut
menunjukkan bahwa terdapat variabel-variabel lain yaitu faktor kondisi yang juga
turut mempengaruhi pemilih ketika menentukan pilihan politiknya pada pemilu.
Hal ini disebabkan seorang pemilih tidak hanya pasif, terbelenggu oleh
karakteristik sosiologis dan faktor psikologis akan tetapi merupakan individu yang
aktif dan bebas bertindak.
Dari pendekatan rasional, faktor-faktor kondisi berupa isu-isu politik dan
kandidat yang dicalonkan memiliki peranan yang penting dalam menentukan dan
merubah referensi pilihan politik seorang pemilih karena melalui penilaian
30
19
terhadap isu-isu politik dan kandidat dengan berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan yang rasional, seorang pemilih akan dibimbing untuk menentukan
pilihan politiknya. Orientasi isu berpusat pada pertanyaan apa yang seharusnya
dilakukan dalam memecahkan persoalan-persoalan yang sedang dihadapi
masyarakat, bangsa dan negara. Sementara orientasi kandidat mengacu pada
persepsi dan sikap seorang pemilih terhadap kepribadian kandidat tanpa
memperdulikan label partai yang mengusung kandidat tersebut.31
Pengaruh isu yang ditawarkan bersifat situasional (tidak permanen/
berubah-ubah) terkait erat dengan peristiwa-peristiwa sosial, ekonomi, politik,
hukum, dan keamanan khususnya yang kontekstual dan dramatis. Sementara itu
dalam menilai seorang kandidat menurut Him Melweit, terdapat dua variabel yang
harus dimiliki oleh seorang kandidat. Variabel pertama adalah kualitas
instrumental yaitu tindakan yang diyakini pemilih akan direalisasikan oleh
kandidat apabila ia kelak menang dalan pemilu. Variabel kedua adalah kualitas
simbolis yaitu kualitas keperibadian kandidat yang berkaitan dengan integrasi diri,
ketegasan, kejujuran, kewibawaan, kepedulian, ketaatan pada norma dan aturan
dan sebagainya.32
Menurut Dan Nimmo, pemberi suara yang rasional pada hakikatnya adalah
aksional diri, yaitu sifat yang intrinsik pada setiap karakter personal pemberi suara
31
http://bluean9el.wordpress.com/2011/11/22/rational-choice-theory-teori-pilihan-rasional/. Diakses pada 3 Oktober 2013.
32
20
yang turut memutuskan pemberian suara pada kebanyakan warganegara. Orang
yang rasional yaitu:33
1. Selalu dapat mengambil keputusan bila dihadapkan pada alternatif
2. Memilah alternatif-alternatif sehingga masing-masing apakah lebih
disukai, sama saja atau lebih rendah bila dibandingkan dengan alternatif
yang lain
3. Menyusun alternatif-alternatif dengan cara yang transitif; jika A lebih
disukai daripada B, dan B daripada C, maka A lebih disukai daripada C
4. Selalu memilih alternatif yang peringkat preferensi paling tinggi dan
5. Selalu mengambil putusan yang sama bila dihadapkan pada
alternatif-alternatif yang sama, dan bahwa pemberi suara rasional selalu dapat
mengambil keputusan apabila dihadapkan pada altenatif dengan memilah
alternatif itu, yang lebih disukai, sama atau lebih rendah dari alternatif
yang lain, menyusunnya dan kemudian memilih dari alternatif-alternatif
tersebut yang peringkat preferensinya paling tinggi dan selalu mengambil
keputusan yang sama apabila dihadapkan pada alternatif-alternatif yang
sama.
Penerapan pendekatan rational choice dalam ilmu politik salah satunya
adalah untuk menjelaskan perilaku memilih suatu masyarakat terhadap kandidat
atau partai tertentu dalam konteks pemilu. Teori pilihan rasional sangat cocok
untuk menjelaskan variasi perilaku memilih pada suatu kelompok yang secara
33
21
psikologis memiliki persamaan karakteristik. Pergeseran pilihan dari satu pemilu
ke pemilu yang lain dari orang yang sama dan status sosial yang sama tidak dapat
dijelaskan melalui pendekatan sosiologis maupun psikologis. Dua pendekatan
terakhir tersebut menempatkan pemilih pada situasi dimana mereka tidak
mempunyai kehendak bebas karena ruang geraknya ditentukan oleh posisi
individu dalam lapisan sosialnya.
Sedangkan dalam pendekatan rasional yang menghasilkan pilihan rasional
pula terdapat faktor-faktor situasional yang ikut berperan dalam mempengaruhi
pilihan politik seseorang, misalnya faktor isu-isu politik ataupun kandidat yang
dicalonkan. Dengan demikian muncul asumsi bahwa para pemilih mempunyai
kemampuan untuk menilai isu-isu politik tersebut. Dengan kata lain pemilih dapat
menentukan pilihannya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional.
Sebagai individu yang mendukung legitimasi sistem pemilihan demokratis,
maka seorang warga negara harus memiliki kemampuan untuk mengetahui
konsekwensi dari pilihannya. Kehendak rakyat merupakan perwujudan dari
seluruh pilihan rasional individu yang dikumpulkan (public choice).
Dalam konteks pemilu di Australia, istilah public digunakan untuk mewakili
masyarakat Australia yang terdiri dari individu-individu dengan keanekaragaman
karakteristiknya. Mereka bertindak sebagai responden dalam pemilu yang
masing-masing memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk melakukan pilihan politik.
Public choice dalam konteks pemilu sangat penting artinya bagi kelangsungan
22
itu disusun, tergantung dari pilihan masyarakat terhadap agenda yang ditawarkan
melalui pemilihan umum.
Akan tetapi yang menjadi permasalahan dari pilihan kolektif semacam ini
adalah bagaimana mengkombinasikan berbagai macam prefensi individu-individu
kedalam sebuah kebijakan yang akan diterima secara luas oleh masyarakat.34
Terkait dengan hal tersebut, pemilu digunakan sebagai sarana untuk menentukan
suara terbesar dari masyarakat, karena hanya pilihan mayoritaslah yang akan
mendominasi arah politik suatu negara. Disamping itu, dalam perannya sebagai
individu yang independen, manusia akan selalu mengejar seluruh kepentingannya
dengan maksimal dan membuat pilihan-pilihan yang sulit untuk diwujudkan oleh
pemerintah di negaranya, akan tetapi dalam peran manusia sebagai anggota
sebuah komunitas atau masyarakat, hal itu tidak berlaku.
Menurut Buchanan dan Tullock, dalam menentukan suatu public choice,
terdapat aspek-aspek yang lebih daripada sekedar memenuhi peraturan politik
pemerintah dalam pemilu. Aspek-aspek tersebut meliputi pilihan-pilihan untuk
membuat suatu keputusan sosial dengan mempertimbangkan lembaga-lembaga
perekonomian yang bebas dari campur tangan pemerintah, disamping mekanisme
34
23
pemerintahan lain yang terpusat dalam suatu negara dan lembaga-lembaga yang
menggabungkan antara sektor publik dan sektor privat.35
Kemudian Buchanan dan Tullock juga menyatakan bahwa untuk
menghasilkan keputusan sosial tersebut dibutuhkan adanya integrasi antara politik
dan ekonomi. Integrasi tersebut akan sangat berguna untuk memahami hal-hal
seperti mengapa pemerintah melakukan pengaturan terhadap sistem pasar,
redistribusi terhadap kekayaan, serta bagaimana kekuatan pasar dapat
mempengaruhi tujuan-tujuan politik. Semua segi-segi ekonomi dan politik
tersebut hanya dapat dipahami jika kita memandangnya dari perspektif teori yang
sama.36
Pada kenyataannya terutama di daerah pedesaan, tidak semua pilihan
menggunakan prinsip-prinsip rasionalitas didalam menentukan pilihannya.
Pemilih yang berprinsip rasional lebih banyak ditemukan pada orang-orang yang
bermukim didaerah urban. Tingkat pendidikan yang dimiliki serta pemahaman
akan politik mempunyai korelasi positif terhadap perilaku pemilih yang semakin
rasional. Penduduk yang bermukim di negara-negara maju, seperti Australia yang
terkenal memiliki tingkat pendidikan yang sangat tinggi, hal itu dapat dilihat dari
tingkat buta huruf yang sangat minim.
35
Peter C. Ordeshook, James E. Alf dan Kenneth A. Shelpse, The Emerging Discipline of Political Economy: Perspective on Positive Political Economy (Melbourne: Cambridge University Press, 1990),15.
36
24
Menurut Saiful Mujani, seorang pemilih akan cenderung memilih partai
politik atau kandidat yang berkuasa di pemerintahan dalam pemilu apabila merasa
keadaan ekonomi rumah tangga pemilih tersebut atau ekonomi nasional pada saat
itu lebih baik dibandingkan dari tahun sebelumnya, sebaliknya pemilih akan
menghukumnya dengan tidak memilih jika keadaan ekonomi rumah tangga dan
nasional tidak lebih baik atau menjadi lebih buruk.37
Pertimbangan ini tidak hanya terbatas pada kehidupan ekonomi, melainkan
juga kehidupan politik, sosial, hukum dan keamanan. Menurutnya dalam
mengevaluasi kinerja pemerintah, media massa terutama yang massif seperti
televisi memiliki peranan yang sangat menentukan. Melalui informasi yang
berasal dari media massa, seorang pemilih dapat menilai apakah kinerja
pemerintah sudah maksimal atau hanya jalan ditempat.
Dari sosok Jokowi sendiri, warga Jakarta dapat mempertimbangkan hak
pilihnya dengan melihat Jokowi sebagai figur yang merakyat dengan integritasnya
melakukan kerja-kerja nyata dan hasil konkret dalam menata Solo ke arah yang
lebih baik selama masa kepemimpinannya. Sebagai walikota dengan
kepemimpinannya yang khas ia mendapatkan prestasi sebagai The City of Major
Foundation yang berbasis internasional di London Inggris. Yang memasukkan
Jokowi pada beberapa jejeran 25 nama terbaik dari pengamatan khusus sebagai
Walikota terbaik di dunia dengan penilaian yang dibuat berdasarkan tingkat
37
Saiful Mujani, Penjelasan Aliran dan Kelas Sosial sudah tidak memadai, dalam http://islamlib.com?page.php?page=article&id=703.
25
kepuasan penduduk terhadap kinerja dan kenyamanan terhadap pelayanan public
yang tersedia selama menjabat.38
Kemudian memperoleh penghargaan Bung Hatta Anticorruption Award
pada Tahun 2010. Ini adalah bukti dari tindakan,upaya dan integritas Jokowi
dalam membangun sistem layanan publik yang terbuka demi mewujudkan
reformasi birokrasi.39 Dan Basuki yang juga mendapat julukan sebagai pejabat
anti korupsi semasa ia menjabat sebagai Bupati Belitung. Kedua figur ini sudah
menunjukan kinerjanya yang baik di daerahnya masing-masing sebelum
mencalonkan diri sebagai gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta, hal ini bisa
dijadikan warga Jakarta sebagai pertimbangan atau acuan untuk memilih gubernur
dan wakil gubernur DKI Jakarta untuk periode 2012 s/d 2017.
2. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah tipe kualitatif. 40
Prosedur penelitian ini menghasilkan data yang deskriptif, yaitu
menggambarkan dan menjabarkan hal-hal yang berkaitan dengan masalah yang
sedang diteliti, dalam hal ini mengenai Perilaku Pemilih: Dinamika Pilihan
Rasional Dalam Kemenangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama Pada
38
Bimo Nugroho dan Ajianto Dwi Nugroho, Jokowi: Politik Tanpa Pencitraa (Jakarta: Gramedia, 2012) 12.
39
Nugroho dan Ajianto, Jokowi: Politik Tanpa Pencitraa, 18-23.
40
26
Pemilihan Umum Gubernur DKI Jakarta 2012. Agar dapat menghadirkan
sesuatu yang baru bagi kajian perilaku politik dalam pilkada saat ini.
2. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai
berikut:
a. Studi literatur dan dokumentasi, yaitu mencari dan mengumpulkan
data mengenai masalah-masalah yang bersangkutan melalui literatur buku, surat
kabar, internet dan lain-lain yang berkaitan dengan objek yang sedang diteliti.
b. Wawancara, teknik wawancara ini dilakukan dengan cara
mengumpulkan data dan informasi melalui tanya jawab dengan mengajukan
beberapa pertanyaan yang tidak berstruktur kepada pihak-pihak yang
berkompeten mengenai kasus ini seperti tim sukses Jokowi-Basuki, Warga
Jakarta, serta Jokowi-Basuki sendiri jika memungkinkan. Teknik ini memberikan
informasi secara langsung dari narasumber yang berkompeten dalam pembahasan
skripsi ini.
3. Teknik Analisa Data
Adapun teknik analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
analisis, yaitu suatu pembahasan yang bertujuan untuk membuat gambaran
terhadap data-data yang terkumpul dan tersusun dengan cara memberikan
interpretasi terhadap data-data tersebut. Dengan menggunakan teknik penelitian
ini berharap dapat memberikan gambaran yang sistematis, faktual, aktual, dan
akurat mengenai fakta-fakta seputar perilaku politik dalam pilkada di DKI Jakarta
27
Untuk pedoman penulisan ini, penulis menggunakan buku terbitan Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai Panduan
Penyusunan Proposal dan Skrispi yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012 sebagai pedoman.
3. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini penulis akan menyusun pembahasan menjadi
beberapa bagian dari sistematika penulisan sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan, pada bab ini penulis berusaha menguraikan
permasalahan yang melatarbelakangi penulisan dengan pembahasan dan
perumusan masalah serta tujuan terkait dalam penelitian mengenai Perilaku
Pemilih: Dinamika Pilihan Rasional Dalam Kemenangan Joko Widodo-Basuki
Tjahaja Purnama Pada Pemilihan Umum Gubernur DKI Jakarta 2012 dengan
teori Perilaku Pemilih sebagai pendekatan yang menjelaskan pokok permasalahan
skripsi ini yang berdasarkan pada metode penelitian kualitatif.
Bab II : Pada bab ini penulis membahas sekilas tentang biografi serta profil
dari tokoh Jokowi dan Basuki tentang bagaimana didalamnya menjelaskan
mengenai beberapa kiprah Jokowi dan Basuki didalam struktur perpolitikan di
Indonesia sebelum menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta
28
Bab III : Pada bab ini penulis memaparkan Strategi Politik Joko Widodo
saat berkampanye pada Pilgub DKI Jakarta 2012.
Bab IV : Pada bab ini merupakan bagian terpenting dari penulisan skripsi,
karena berisikan tentang permasalahan yang penulis angkat. Penulis akan
menjelaskan perubahan perilaku pemilih masyarakat Jakarta dengan kemunculan
pilihan rasional dalam kemenangan Joko Widodo – Basuki Tjahaja Purnama Pada
Pemilihan Umum Gubernur DKI Jakarta 2012.
Bab V : Pada bab ini penulis berupaya untuk menyimpulkan pembahasan
mengenai skripsi ini sekaligus menjadi penutup pada pokok permasalahan
perubahan perilaku pemilih masyarakat Jakarta dengan kemunculan pilihan
rasional dalam kemenangan Joko Widodo - Basuki Tjahaja Purnama Pada
Pemilihan Umum Gubernur DKI Jakarta 2012. Dan selanjutnya saran yang
berkaitan dengan masalah yang diajukan dari keseluruhan skripsi ini bagi para
29
BAB II
PROFIL JOKO WIDODO DAN BASUKI TJAHAJA PURNAMA
A. Biografi Joko Widodo
Ir. H. Joko Widodo lahir di Surakarta pada 21 Juni 1961, ia merupakan anak
dari seorang tukang kayu ataupun penjual kayu di pinggir jalan, yaitu Noto
Mihardjo yang tinggal di sekitar bantaran kali anyar Solo. Setelah kelahirannya,
Jokowi dan orangtuanya pindah ke Srambatan di bantaran Kali Premulung.
Karena kondisi ekonomi keluarganya saat itu sangat memprihatinkan, kemudian
keluarganya memutuskan untuk pindah lagi ke Manggung bantaran Kali Pepe
karena tidak memiliki banyak uang untuk mengontrak.1
Hal ini membuat keluarganya selalu berpindah-pindah tempat tinggal,
bahkan pada saat Jokowi dan keluarganya tinggal di Manggung bantaran Kali
Pepe, mereka harus pindah lagi. Tapi kepindahannya lebih karena penggusuran
oleh pemerintah Kota Surakarta yang dilakukan tanpa pemberitahuan sebelumnya,
bukan karena tidak mampu membayar kontrakan. Celakanya, pemerintah pada
saat itu hanya memberikan sepetak tanah di tempat baru tanpa uang ganti rugi
untuk membangun rumah baru. Karena tidak memiliki uang untuk membangun
rumah Jokowi dan keluarganya tinggal di rumah kakak ibunya di kawasan
Gondang. Dan setelah setahun menumpang, akhirnya mereka sekeluarga pindah
ke rumah di sebelah barat Manahan di Jalan Ahmad Yani Solo.2
1
Biografi Jokowi http://wikipedia/Biografi/?Jokowi.com. Diakses pada 27 Oktober 2013.
2
30
Semasa kecilnya, Jokowi tidak semestinya seperti anak-anak pada usianya
yang mempunyai banyak waktu untuk bermain. Dia lebih sering pergi ke pasar
tradisional untuk berdagang apa saja ataupun menjadi kuli panggul. Dan disaat
hujan datang, tak jarang ia menjadi ojek payung, baginya pekerjaan apapun itu
asalkan halal dan bisa meringankan beban orangtuanya untuk membiayai
sekolahnya akan ia kerjakan. Hingga akhirnya Jokowi dapat mengenyam
pendidikan di SDN 111 Tirtoyoso Solo, SMPN 1 Solo, SMAN 6 Solo, Fakultas
Kehutanan Universitas Gadja Mada (UGM) Yogyakarta dan lulusan pada tahun
1985.
Pria dengan postur tubuh kurus ini sejak remaja tidak hanya menyukai nasi
kucing dan musik dengan genre Rock tetapi ia juga suka mendaki gunung. Hobi ini disebutnya sebagai kegiatan “mbois” dan dimulai saat ia menjadi anggota
Mahasiswa Pecinta Alam Fakultas Kehutanan UGM (Silvagama). Beberapa
gunung di Jawa dan luar Jawa pernah didaki bersama teman-temannya di
Silvagama.
Jokowi menikah dengan Ny. Hj. Iriana dan dikaruniai 2 orang putra putri
yang bernama Gibran Rakabuming Raka dan Kahiyang Ayu Kaesang Pangarep.
Ia adalah seorang pengusaha mebel rumah dan taman yang memiliki prestasi
dalam karirnya yaitu sebagai Pendiri Koperasi Pengembangan Industri Kecil Solo
(1990), Ketua Bidang Pertambangan & Energi Kamar Dagang dan Industri
Surakarta (1992-1996), dan Ketua Asosiasi Permebelan dan Industri Kerajinan
31
Julukan Jokowi sendiri ia dapat dari pembelinya di Prancis. Kata dia,
“begitu banyak nama dengan nama depan Joko yang jadi eksportir mebel kayu.
Pembeli dari luar negeri bingung untuk membedakan, Joko yang ini apa Joko
yang itu. Makanya, saya terus diberi nama khusus, yaitu Jokowi. Panggilan itu
kemudian melekat sampai sekarang.” Di kartu namanya pun dia pun tertulis,
Jokowi, Wali Kota Solo. Dia juga pernah mengecek, di Solo yang namanya persis
Joko Widodo ada 16 orang.3
Setelah sukses di dunia bisnis dan memiliki teman-teman dekat di Asosiasi
Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo), Jokowi didorong untuk
masuk ke dalam dunia politik. Dari teman-temannya ini, Jokowi dibantu untuk
memutuskan maju atau tidaknya ia dalam pencalonan walikota Solo. Saat
memutuskan untuk maju, Jokowi pada saat itu belum berafiliasi dengan partai
politik dan bersama dengan teman-temannya di Asmindo ia menimbang-nimbang
partai mana yang akan dia rangkul untuk maju dalam pencalonan itu.
Dalam penjajakannya, Jokowi mempertimbangkan dua kemungkinan.
Pertama, melalui PDIP dengan alasan basis konstituen PDIP di Solo banyak.
Kedua, dengan koalisi partai politik agar suaranya bisa mengimbangi PDIP di
Solo. Dan akhirnya, Jokowi dipertemukan dengan ketua dewan pimpinan cabang
PDIP (DPC) F Hadi Rudyatmo. Jokowi merasa memiliki kesamaan visi dan misi
dengan politisi PDIP itu.4
3
http://jokowirisingstar.wordpress.com/2012/10/26/profil-lengkap-dan-riwayat-hidup-jokowi/. Diakses pada 27 Oktober 2013.
4
32
Ketika mencalonkan diri sebagai walikota, banyak yang meragukan
kemampuan Jokowi yang berprofesi sebagai pedagang mebel rumah dan taman
ini, bahkan hingga saat ia terpilih. Namun setahun setelah ia memimpin, banyak
gebrakan progresif dilakukan olehnya.5
Kebijakannya yang cenderung pro-masyarakat terutama pada masyarakat
bawah dengan gebrakan-gebrakannya dalam melakukan pembenahan sistem di
Kota Solo. Dimulai dari pembenahan sistem pembuatan KTP dalam tempo waktu
yang relative cepat, sampai mempermudah pembuatan surat perizinan dalam
waktu yang singkat pula. Sistem ini pun berjalan dengan baik tanpa hambatan
walaupun hal ini menimbulkan resistensi dikalangan birokrat. Akan tetapi hal ini
lah yang membuat Jokowi semakin dikenal di Kota Solo dengan sosok yang
rendah hati dan apa adanya.
Kemudian Jokowi berhasil memindahkan PKL di Kecamatan Banjarsari
yang sudah dijadikan tempat jualan, bahkan juga tempat tinggal selama lebih dari
20 tahun. Kawasan itu sebetulnya kawasan elite, tapi karena menjadi tempat
dagang sekaligus tempat tinggal, yang terlihat adalah kekumuhan. Lima tahun
yang lalu, mereka diundang Jokowi makan di ruang rapat rumah dinas wali kota.
Jokowi ajak makan siang, ataupun makan malam untuk melakukan komunikasi
langsung, rutin dan terbuka (disiarkan oleh televisi lokal) dengan masyarakat.
Sampai 54 kali, selama tujuh bulan seperti ini. Akhirnya, mereka mau pindah.
“Enggak usah di-gebukin”, ujar Jokowi.
5
33
Jokowi juga berhasil merenovasi 34 pasar dan membangun pasar yang baru
di tujuh lokasi. Dengan pengelolaan yang baik, pasar ini mendatangkan
pendapatan daerah yang besar. Awalnya pendapatan dari pasar hanya Rp 7,8
miliar, sekarang Rp 19,2 miliar. Hotel hanya Rp 10 miliar, restoran Rp 5 miliar,
parkir Rp 1,8 miliar, advertising Rp 4 miliar. Hasil Rp 19,2 miliar itu hanya dari
retribusi harian Rp 2.600. Pedagangnya banyak sekali, ini yang harus dilihat.
Dengan manajemen yang bagus, tidak akan rugi membangun pasar. Jadi
masyarakat dan pedagang terlayani, pemerintah juga dapat income. Sementara Jokowi mengatakan, “Kalau mall, saya tidak tahu, paling hanya membayar IMB
saja, kita mau tarik apa lagi?. Oleh karena itu, mall dan hypermarket kita batasi.
Bahkan, minimarket juga saya stop izinnya. Rencananya dulu akan ada 60-80
yang buka, tapi tidak saya izinkan. Sekarang hanya ada belasan”.6
Jokowi pun semakin di kenal dalam kancah Nasional, saat mendukung
penuh inovasi siswa-siswa sekolah kejuruan di Solo yaitu mobil ‘Esemka’. Mobil
hasil inovasi ini lah yang menggantikan mobil dinas Jokowi semasa menjabat
Walikota Solo dan membawanya ke Jakarta untuk Uji Emisi. Usahanya dalam
membangkitkan rintisan mobil nasional ini tidak sia-sia karena membuahkan hasil
yang memuaskan dengan lolos uji emisi.
Branding untuk kota Solo juga dilakukan Jokowi dengan menyetujui slogan Kota Solo yaitu “Solo: The Spirit of Java”. Langkah yang dilakukannya cukup
progresif untuk ukuran kota-kota di Jawa. Sebagai tindak lanjut branding, ia
6
34
mengajukan Surakarta untuk menjadi anggota Organisasi Kota-kota Warisan
Dunia dan diterima pada tahun 2006. Langkahnya berlanjut dengan keberhasilan
Surakarta menjadi tuan rumah Konferensi organisasi tersebut pada bulan Oktober
2008. Pada tahun 2007 Surakarta juga telah menjadi tuan rumah Festival Musik
Dunia (FMD) yang diadakan di kompleks Benteng Vastenburg yang saat itu
terancam digusur untuk dijadikan pusat bisnis dan perbelanjaan. Pada tahun 2008
FMD diselenggarakan di komplek Istana Mangkunegaran.
Di bawah kepemimpinannya, Solo mengalami perubahan yang pesat dengan
banyaknya gebrakkan progresif yang dilakukan olehnya. Ia banyak mengambil
contoh pengembangan kota-kota di Eropa yang sering ia kunjungi dalam rangka
perjalanan bisnisnya. Sehingga Solo mendapatkan beberapa prestasi seperti :
Kota Pro-Investasi dari Badan Penanaman Modal Daerah Jawa
Tengah.
Kota Layak Anak dari Kementerian Negara Pemberdayaan
Perempuan.
Wahana Nugraha dari Departemen Perhubungan.
Sanitasi dan Penataan Permukiman Kumuh dari Departemen
Pekerjaan Umum.
Kota dengan Tata Ruang Terbaik ke-2 di Indonesia.
Sebagai Walikota yang dapat dibilang sukses merubah Kota Solo menjadi
lebih baik dengan kepemimpinannya,