• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fungsi kognitif terdiri dari :

II.1.1. Assesmen kognitif

Beberapa instrumen skiring tersedia untuk membantu klinisi dalam penilaian status mental, yaitu:

Pemeriksaan dikembangkan pada pertengahan 1970-an oleh Folstein. Mini-mental state examination telah digunakan secara luas untuk literatur klinik atau epidemiologi sehingga MMSE merupakan instrumen skrining kognitif yang paling luas digunakan. Dimana lama tes ini hanya membutuhkan waktu sekitar 5 menit dan menilai enam domain yaitu: orientasi, bahasa, atensi/konsentrasi, working memory, memori jangka pendek dan constructional copy.(Rizzo dkk, 2004)

Sensitifitas MMSE untuk mendeteksi pemburukkan kognitif meningkat ketika skor cut-off (26-28) digunakan atau ketika dilakukan adjustment terhadap umur dan pendidikan. Walaupun skor cut-off untuk dementia secara umum adalah dibawah 24, skor median bervariasi tergantung umur dan lama pendidikan.(Fink, 2004)

Tabel 1. Skor median MMSE adjustment terhadap usia

dan lama pendidikan.

Lama pendidikan

Usia (tahun)

18 - 69 70 – 79 > 79 Tingkat keempat 22 - 25 21 – 22 19 - 20 Tingkat kedelapan 26 - 27 25 23 - 25 Sekolah tingkat atas 28 - 29 27 25 - 26 Perguruan tinggi 28 - 29 28 27

Dikutip dari: Fink, Vivian. 2004. “Mild Cognitive Impairment : Pre-Alzheimers disease state provides opportunity for early detection and possible treatment”.

The Institute For medical Education Bulletin V(6):1-11

Sebuah studi yang dilakukan pada 473 orang sehat yang berumur lebih dari 15 tahun dengan latar belakang pekerjaan dan pendidikan yang beragam di Medan didapatkan skor median MMSE berdasarkan usia dan lama pendidikan sebagai berikut:(Sjahrir dkk, 2001)

Tabel 2. Skor median MMSE

Median Lama pendidikan: 0 - 6 tahun 24 7 - 9 tahun 26 10 - 12 tahun 26 > 12 tahun 28 Usia: < 20 tahun 27 21 - 30 tahun 28 31 - 40 tahun 28 41 - 50 tahun 26 51 - 60 tahun 27 > 60 tahun 21

Dikutip dari: Sjahrir, H., Ritarwan, K., Tarigan, S., Rambe, A.S., Lubis, I.D., Bhakti, I. 2001. “The Mini Mental State Examination in healthy individuals in Medan, Indonesia by age and education level”. Neurol J Southeast Asia;6:19-22

2. Digit span atau Digit repetition

Level dasar atensi pasien dapat dengan mudah ditentukan dengan menggunakan tes ini. Penampilan prima pada tes ini menjamin bahwa pasien mampu memusatkan perhatian terhadap stimulus verbal dan atensi terus-menerus untuk periode waktu yang dibutuhkan untuk mengulang deretan angka tersebut. Tes ini tidak dapat dilakukan pada pasien yang mengalami gangguan bahasa. Penilaian digit span berdasarkan berapa banyak angka yang dapat diulang dengan urutan yang benar. Pasien dengan intelegensia rata-rata dapat mengulang angka dengan akurat lima hingga tujuh angka tanpa kesulitan. Pasien non-retardasi mental tidak dapat mengulang lebih atau sama dengan lima mengindikasikan atensi kurang baik.(Strub dkk, 2000)

II.2. BEHAVIOR

Otak manusia merupakan suatu organ yang merupakan dasar apakah pikiran seseorang sehat, yang harus dikerjakan, merasakan, dan berpikir atau pada istilah yang lebih formal adalah pengalaman sensori kita, behavioral, affective dan kognitif. Dengan memproses stimulus eksternal kedalam impuls neuronal, sistem sensori menciptakan suatu representation internal dunia eksternal. Sistem motorik memampukan seseorang untuk mengerakkan (manipulate) lingkungan mereka dan untuk mempengaruhi behavior yang lain

melalui komunikasi. Pada otak, input sensori, representing dunia eksternal diintegrasikan dengan drivers stimulus internal, memori dan emosional di association units, dimana akan memberi umpan balik pada aktifitas motorik. Bila terjadi distorsi yang diintrodusir oleh psikopatologi pada fungsi asosiasi otak maka akan terjadi gangguan psikiatri.(Sadock dkk, 2007)

Behavior adalah respon total jiwa termasuk gerak hati, motivasi, hasrat, drives, insting dan idaman seperti diekspresikan dengan tingkah laku seseorang dan aktivitas motorik (konasi), sedangkan emosi adalah suatu kompleks keadaan perasaan dengan komponen psikis, somatik dan perilaku yang berhubungan dengan afek dan mood.(Sadock dkk, 2007)

Kehidupan mental diekspesikannya secara kelihatan sebagai tingkah laku verbal dan gestural dan perubahan somatik dimana secara kolektif dihubungkan sebagai behavior. Tingkah laku gestural pada konteks ini mencakup behavior non-verbal dan motorik. Behavior merupakan manisfestasi pikiran orang lain maka ia jelas dapat diamati dan dinilai. Kognitif, emosi dan motivasi merupakan dasar kehidupan mental normal. Kognitif mengacu pada proses informasi, yang mana pengetahuan diperoleh, disimpan, dimanipulasi, didapat kembali dan digunakan oleh individu sebagai instrumen dan adaptasi dalam lingkungan yang kompleks. Mind dan behavior merupakan produk interaksi kompleks yang melibatkan sistem proyeksi neural regional dan yang luas.(Rizzo dkk, 2004)

Mood adalah suatu emosi yang meresap dan dipertahanan, yang dialami secara subjektif dan dilaporkan oleh pasien dan terlihat oleh orang lain, seperti depresi dan iritabel. Mood yang irritabel adalah dengan mudah diganggu atau

dibuat marah sedangkan depresi adalah perasaan kesedihan yang psikopatologis.(Sadock dkk, 2007)

Gejala emosi yang lain adalah ansietas yaitu perasaan ketakutan yang disebabkan oleh dugaan bahaya / anticipation of danger, yang mungkin berasal dari dalam atau luar.(Sadock dkk, 2007)

II.2.1. The Beck Scales

Dua buah inventori self-report ditulis oleh Aaron Beck memperoleh popularitas diseluruh dunia sebagai alat ukur yang informatif dan cocok aspek mood dan emosi. The beck Depression Inventory (BDI, 1987) memberikan suatu metode mudah dan cepat untuk mengukur beragam gejala dan keluhan depresi termasuk kognitif, behavioral dan masalah somatik. Beck Depression Inventory sangat berguna dalam menetapkan kehadiran dan keparahan keluhan depresi walaupun tidak memberikan informasi mengenai durasinya. The Beck Anxiety Inventory (BAI) merupakan paralel dalam bentuk terhadap BDI, dan berfokus khusus pada keluhan yang berhubungan dengan ansietas. Sama seperti BDI, BAI mudah dan cepat untuk dilakukan dan memberikan informasi yang berguna tentang pasien dan partisipan penelitian mengenai status terkini ansietas dan kerentanan umum terhadap ansietas.(Rizzo dkk, 2004)

The beck Depression Inventory adalah kuisioner self-rated, dimana kemungkinan tidak dapat dijawab oleh pasien dengan masalah pemahaman sedang hingga berat. Beberapa soal dalam skala, seperti penampilan diri sendiri,

kemampuan bekerja dan kekuatiran tentang kesehatan mungkin secara jelas dipengaruhi oleh keluhan kelainan neurologi.(Rizzo dkk, 2004)

II.3. EPILEPSI

II.3.1. Definisi

Epilepsi merupakan suatu kumpulan penyakit kompleks otak dimana melibatkan rentang lebar manifestasi klinis dan banyak variasi penyebabnya. International League Againts Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for Epilepsy (IBE) menetapkan definisi epilepsi sebagai suatu kejadian sementara gejala dan/atau keluhan yang berhubungan dengan aktifitas neuron berlebihan atau synchronous yang abnormal di otak. Walaupun terdapat perselisihan kecil dengan definisi ini, terdapat catatan berharga bahwa bangkitan epilepsi tidaklah sesederhana hasil langsung dari eksitasi yang meningkat.(Panayiotopoulos, 2010)

Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan epilepsi berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa provokasi. Sedangkan bangkitan epilepsi adalah manisfestasi klinik yang disebabkan oleh aktivitas listrik otak yang abnormal dan berlebihan dari sekelompok neuron. Manisfestasi klinik ini terjadi secara tiba-tiba dan sementara berupa perubahan perilaku yang stereotipik, dapat menimbulkan gangguan kesadaran, gangguan motorik, sensorik, otonom ataupun psikik. Sindrom epilepsi merupakan kumpulan gejala dan tanda klinik yang unik untuk suatu epilepsi.

Dikenal juga istilah penyakit epilepsi yang merupakan suatu keadaan patologik dengan satu etiologi yang spesifik.(Kelompok studi epilepsI, 2011).

II.3.2. Epidemiologi

Pada tahun 2004, WHO memperkirakan bahwa hampir 80% dari beban epilepsi di seluruh dunia ditanggung oleh sumber daya di negara miskin. Di negara maju, angka prevalensi seumur hidup untuk epilepsi berkisar 3,5-10,7 per 1.000 orang/tahun, dan rentang angka insiden 24-53 per 100.000 orang/tahun. Pada systemic review terkini, angka prevalensi seumur hidup untuk epilepsi aktif bervariasi 1,5 -14 per 1.000 orang/tahun di Asia, 5,1-57,0 per 1.000 orang/tahun di Amerika Latin, dan 5,2-74,4 per 1.000 orang/tahun di Afrika. Angka median prevalensi seumur hidup di Asia (6 per 1.000 orang/tahun) lebih rendah daripada di Afrika dan Amerika Latin (masing-masing 15 dan 18 per 1.000 orang/tahun). Angka insiden tahunan untuk epilepsi di Asia (29-60 per 100.000 orang/tahun) tidak berbeda secara signifikan dengan negara maju.(Meyer dkk, 2010)

Berapa banyak pasien epilepsi di Indonesia, sampai sekarang belum tersedia data hasil studi berbasis populasi. Bila dibandingkan dengan negara berkembang lain dengan tingkat ekonomi sejajar, probabilitas penyandang epilepsi di Indonesia sekitar 0,7-1,0% dan bila jumlah penduduk sekitar 220 juta maka 1,5-2 juta orang kemungkinan mengidap epilepsi dengan kasus baru 250.000 pertahun.(Hawari, 2012)

Hasil survei population-based ditemukan bahwa dua per tiga kasus diklasifikasikan sebagai idiopatik atau kriptogenik. Satu dari tiga orang dengan

bangkitan tunggal unprovoked akan mengalami bangkitan kedua diatas lima tahun berikutnya. Tanpa terapi, setelah bangkitan kedua, sekitar 75% akan mengalami bangkitan yang lain dalam satu atau dua tahun berikutnya. Epilepsi simtomatik mempunyai rasio mortalitas lebih tinggi dibanding epilepsi idiopatik.(Nadir dkk, 2005)

Bangkitan secara dependen umur, pola bimodal dengan puncak awal pada insiden selama tahun pertama kehidupan dan kemudian terus menerus meningkat pada insiden sekitar umur 60 tahun dimana jauh melebihi insiden pada semua golongan umur yang lain.(Hiba, 2010)

II.3.3. Klasifikasi

Klasifikasi yang dipakai adalah klasifikasi menurut ILAE, dimana terdiri dari dua macam klasifikasi, yaitu jenis bangkitan epilepsi dan sindrom epilepsi.(Kelompok studi epilepsi, 2011)

Tabel 3. Klasifikasi Epilepsi

Dikutip dari: Habibi, Mitra. 2009. Refractory Epilepsy. US Pharm. 34:8-14

II.3.4. Hubungan antara Epilepsi dengan Kognitif dan behavior

Pemburukkan kognitif dan behavior telah diobservasi sebagai konsekuensi adanya bangkitan. Adanya pemburukkan kognitif dan gangguan behavior sering berhubungan dengan kerusakkan struktur otak. Penting secara khusus pada epilepsi simtomatik dimana terdapat penyebab yang mendasari kerusakkan otak tersebut seperti trauma kepala, stroke atau alcoholism-related epilepsy. Kerusakkan otak juga dapat disebabkan oleh bangkitan kejang yang tidak terkontrol. (Aldenkamp dkk, 2005)

Lokalisasi fokus epilepsi juga merupakan faktor penting adanya penurunan kognitif atau gangguan behavior, misalnya, epilepsi lobus temporalis

sering berhubungan dengan defek memori dan epilepsi lobus frontalis dengan defisit fungsi eksekutif sedangkan masalah bahasa lebih sering terlihat pada epilepsi fokal dimana berlokasi pada hemisfer dominan. Berbeda dengan epilepsi umum idiopatik lebih jarang berhubungan dengan pemburukkan intelektual.(Aldenkamp dkk, 2005)

Umur saat onset juga tampaknya menjadi faktor yang krusial pada dampak epileps terhadap kognitif dan behavior , dimana onset bangkitan sebelum berumur 5 tahun tampaknya menjadi faktor resiko untuk IQ rendah sementara berbeda dengan keluhan behavior yang muncul pada late seizure onset.(Aldenkamp dkk, 2005)

Depresi interiktal merupakan keadaan yang biasa, namum prevalensi yang pasti belum diketahui. Tampaknya depresi cenderung timbul sekitar sepuluh tahun setelah onset epilepsi. Beragam faktor penyebab telah diajukan terhadap perkembangan depresi tetapi etiologinya kebanyakkan adalah multifaktorial. Riwayat keluarga depresi telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Beberapa studi menemukan depresi lebih sering pada penderita bangkitan parsial kompleks khususnya epilepsi lobus temporal.(Rizzo dkk, 2004)

Dokumen terkait