HUBUNGAN ANTARA OBAT ANTI EPILEPSI DENGAN
KOGNITIF DAN
BEHAVIOR
PADA PASIEN EPILEPSI
TESIS
SISKA IMELDA TAMBUNAN
NIM: 107112006
PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK
SPESIALIS ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
HUBUNGAN ANTARA OBAT ANTI EPILEPSI DENGAN KOGNITIF DAN
BEHAVIOR
PADA PASIEN EPILEPSI
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Kedokteran Klinis Spesialis Saraf Pada
Program Studi Magister Kedokteran Klinik Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
Oleh
SISKA IMELDA TAMBUNAN
NIM: 107112006
PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK
SPESIALIS ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis
:
Hubungan Antara Obat Anti Epilepsi
Dengan Kognitif Dan
Behavior
Pada
Pasien Epilepsi
Nama Mahasiswa
:
Siska Imelda Tambunan
Nomor Induk Mahasiswa
:
107112006
Program Magister
:
Magister Kedokteran Klinik
Konsentrasi
:
Ilmu Penyakit Saraf
Menyetujui
Komisi Pembimbing
Prof. DR. dr. Hasan Sjahrir, Sp.S (K)
Ketua
Ketua Program Studi
dr. Yuneldi Anwar, Sp.S (K)
Ketua TKP PPDS I
dr. Zainuddin Amir,Sp.P (K)
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Tesis
: HUBUNGAN ANTARA OBAT ANTI EPILEPSI
DENGAN KOGNITIF DAN
BEHAVIOR
PADA
PASIEN EPILEPSI
Nama
: SISKA IMELDA TAMBUNAN
NIM
: 107112006
Program Studi
: ILMU PENYAKIT SARAF
Menyetujui
Pembimbing I
: Dr. Rusli Dhanu, Sp.S(K) ...
Pembimbing II
:
Dr. Kiki M. Iqbal, SpS ...
Pembimbing III
:
Dr. Alfansuri Kadri, SpS ...
Mengetahui / Mengesahkan :
Ketua Departemen / SMF
Ilmu Penyakit Saraf
FK USU/RSUPHAM Medan
dr. Rusli Dhanu, Sp.S (K)
NIP. 19530916 198203 1 003
Ketua Program Studi/ SMF
Ilmu Penyakit Saraf
FK USU/ RSUP HAM Medan
Telah diuji pada
Tanggal : Selasa, 02 April 2013
PANITIA PENGUJI TESIS
1. Prof. DR. dr. Hasan Sjahrir,Sp.S(K)
2. Prof. dr. Darulkutni Nasution,Sp.S(K)
(Penguji)
3. dr. Darlan Djali Chan,Sp.S
4. dr. Yuneldi Anwar,Sp.S(K)
(Penguji)
5. dr. Rusli Dhanu,Sp.S(K)
6. dr. Kiking Ritarwan,MKT,Sp.S(K)
(Penguji)
7. dr. Aldy S Rambe,Sp.S(K)
(Penguji)
8. dr. Puji Pinta O. Sinurat, Sp.S
9. dr. Khairul P. Surbakti,Sp.S
10. dr. Cut Aria Arina,Sp.S
11. dr. Kiki M. Iqbal,Sp.S
12. dr. Alfansuri Kadri,Sp.S
13. dr. Aida Fithrie, Sp.S
14. dr.Irina Kemala Nasution, Sp.S
15. dr.Haflin Soraya Hutagalung, Sp.S
PERNYATAAN
HUBUNGAN ANTARA OBAT ANTI EPILEPSI DENGAN KOGNITIF
DAN
BEHAVIOR
PADA PASIEN EPILEPSI
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya
yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu
perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat
karya atau pendapat yang pernah dituliskan atau diterbitkan oleh orang
lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan
dalam daftar pustaka.
Medan, 02 April 2013
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
atas penyertaan segala berkat dan kasihNYA sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis magister kedokteran klinik ini.
Tesis ini dibuat untuk memenuhi persyaratan penyelesaian program
magister kedokteran klinik pada Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu
Penyakit Saraf di Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan.
Dengan segala keterbatasan, penulis menyadari dalam penelitian
ini dan penulisan tesis ini masih dijumpai banyak kekurangan. Oleh sebab
itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan masukan yang
berharga dari semua pihak untuk kebaikan dimasa yang akan datang.
Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyatakan
penghargaan dan ucapan terimakasih yang sebesar – besarnya kepada:
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara, dan Ketua TKP PPDS I Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan
kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Magister
Kedokteran Klinik Spesialis Ilmu Penyakit Saraf di Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. DR. dr. Hasan Sjahrir, Sp.S(K), selaku Guru Besar Tetap
bimbingan dan masukan yang berharga dengan penuh kesabaran
dan ketelitian kepada penulis sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
3. Dr. Rusli Dhanu, Sp.S(K), Ketua Departemen/ SMF Ilmu Penyakit
Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/ RSUP H.
Adam Malik Medan saat tesis ini disusun dan sebagai pembimbing
pertama tesis, yang dengan sepenuh hati telah mendorong,
mengarahkan serta membimbing dan mengoreksi dengan penuh
kesabaran dan ketelitian sehingga penulis dapat menyelesaian
tesis ini.
4. Dr. Yuneldi Anwar, Sp.S(K), Ketua Program Studi Departemen/
SMF Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan masukan
berharga kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
5. Dr. Kiki M. Iqbal, Sp.S selaku pembimbing kedua yang dengan
sepenuh hati , kesabaran dan ketelitian telah membimbing,
mendorong dan mengarahkan penulis mulai dari perencanaan,
pembuatan dan penyelesaian tesis magister ini.
6. Dr. Alfansuri Kadri, Sp.S selaku pembimbing ketiga yang dengan
sepenuh hati, kesabaran dan ketelitian telah membimbing,
mendorong dan mengarahkan penulis mulai dari perencanaan,
pembuatan dan penyelesaian tesis magister ini.
7. Guru-guru penulis: Prof. dr. Darulkutni Nasution, Sp.S(K), dr.
Aldy S. Rambe, Sp.S(K), dr. Irsan NHN Lubis,Sp.S, dr. Puji Pinta
O. Sinurat, Sp.S, dr. Khairul P. Surbakti, Sp.S, Alm.dr, S.
Irwansyah, Sp.S, dr. Iskandar Nasution, Sp.S, dr. Cut Aria Arina,
Sp.S, dr. Aida Fithrie, Sp.S, dr. Dina Listyanigrum, Sp.S, Msi,med,
dr. Irina Kemala Nasution, Sp.S, dr. Haflin Soraya Hutagalung,
Sp.S, dr. Fasifah Irfani Fitri, Sp.S dan lain – lain yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu, baik di Departemen Ilmu Penyakit
Saraf, maupun Departemen/SMF lainnya di lingkungan FK – USU/
RSUP H. Adam Malik Medan, terima kasih yang setulus – tulusnya
saya ucapkan atas segala bimbingan selama ini.
8. Drs. Abdul Jalil A. A, M.Kes, selaku pembimbing statistik yang telah
membimbing, membantu dan meluangkan waktunya dalam
pembuatan tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih.
9. Direktur RSUP. H. Adam Malik Medan, yang telah memberikan
kesempatan, fasilitas dan suasana kerja yang baik sehingga
penulis dapat mengikuti pendidikan magister ini sampai selesai.
10. Ucapan terima kasih penulis kepada Bapak Amran Sitorus dan
Syafrizal serta seluruh perawat dan pegawai yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu.
11. Semua pasien epilepsi yang berobat jalan di poli epilepsi
RSUP.H.Adam Malik, Medan yang telah bersedia berpartisipasi
12. Rekan-rekan sejawat peserta PPDS-1 Departemen Ilmu Penyakit
Saraf FK-USU/RSUP. H. Adam Malik, Medan, yang telah banyak
memberikan masukkan berharga kepada penulis melalui
diskusi-diskusi kritis, serta selalu memberikan dorongan kepada penulis
untuk menyelesaikan tesis magister ini.
13. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus penulis ucapkan
kepada kedua orang tua saya: Eclon Tambunan dan Netty
Nainggolan serta ibu mertua saya, Nellys Simamora, yang selalu
memberikan dorongan, semangat dan nasehat serta doa yang
tulus agar tetap sabar dan semangat dalam mengikuti pendidikan
magister sampai selesai.
14. Teristimewa kepada suami tercinta Kardat Arnes Sihotang, ST,
yang sangat membantu saya dengan penuh kesabaran dan
pengertian, setia mendampingi dengan luapan cinta dan kasih
sayang dalam suka maupun duka dalam menjalani pendidikan dan
menyelesaikan tesis ini, saya ucapkan terima kasih yang
setulus-tulusnya.
15. Tersangat istimewa kepada anak saya tercinta, Bramantio Praja
Sihotang untuk semua pengertian dan kemandiriannya serta telah
menjadi penyemangat, penghilang rasa penat, sumber motivasi
dan inspirasi dalam menjalani program pendidikan dan
16. Kepada semua keluarga, rekan dan sahabat yang tidak mungkin
saya sebutkan satu persatu yang telah membantu saya sekecil
apapun, saya haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih membalas semua jasa
dan budi baik mereka yang telah membantu penulis tanpa pamrih
dalam mewujudkan cita-cita penulis. Akhirnya penulis
mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini dapat bermanfaat
bagi kita semua, Amin.
Medan, 02 April 2013
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I.IDENTITAS
1. Nama
: dr. Siska Imelda Tambunan
2. Tempat/Tgl.Lahir
: Sidikalang, 07 Mei 1979
3. Agama
: Protestan
4. Pekerjaan
: PNS di RSUD dr. F.L. Tobing, Sibolga
5. Nama Ayah
: Eclon Tambunan
6. Nama Ibu
: Netty Nainggolan
7. Nama Suami
: Kardat Arnes Sihotang, ST
8. Nama Anak
: Bramantio Praja Sihotang
II. RIWAYAT PENDIDIKAN
1. 1985-1991
: SD Negeri 030277 - Sidikalang
2. 1991-1994
: SMP Negeri 1 - Sidikalang
3. 1994-1997
: SMU Negeri 1 - Medan
4. 1998 - 2005
: Fakultas Kedokteran UKI – Jakarta
5. 2010 - sekarang
: PPDS Ilmu Penyakit Saraf FK USU - Medan
III. RIWAYAT PEKERJAAN
1. 2005 – 2006
: Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FK UKI.
2. 2006 – 2007
: PTT Puskesmas di Kec. Bawolatu, Nias.
3. 2007 – 2008
: IBU Foundation, Nias.
4. 2008 - sekarang
: PNS RSUD dr. F.L. Tobing, Sibolga.
III. KEANGGOTAAN PROFESI
1. 2005 – 2008
: Anggota IDI Cabang Jakarta Timur
2. 2008 – 2010
: Anggota IDI Cabang Tapteng-Sibolga
3. 2010 - Sekarang
: Anggota IDI Cabang Medan
DAFTAR ISI
Halaman
PANITIA PENGUJI TESIS
ii
LEMBARAN PERNYATAAN
iii
KATA PENGANTAR
iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
ix
DAFTAR ISI
x
DAFTAR SINGKATAN
xiv
DAFTAR LAMBANG
xvi
DAFTAR TABEL
xvii
DAFTAR GAMBAR
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
xix
ABSTRAK
xx
ABSTRACT
xxi
BAB.I
PENDAHULUAN
1
I.1. Latar Belakang
1
I.2. Perumusan Masalah
6
I.3. Tujuan Penelitian
6
I.3.1. Tujuan Umum
6
I.3.2. Tujuan Khusus
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
9
II.1. Fungsi kognitif
9
1. Atensi
9
2. Bahasa
10
3. Memori
10
4. Visuospatial
11
5. Fungsi eksekutif
12
II.1.1. Assesmen kognitif
13
1.
Mini-Mental State Examination
13
2.
Digit Span
14
II.2.
Behavior
15
II.2.1.
The Beck Scale
17
II.3. Epilepsi
18
II.3.1. DefInisi
18
II.3.2. Epidemiologi
19
II.3.3. Klasifikasi
20
II.3.4. Hubungan epilepsi dengan kognitif &
behavior
21
II.4. Obat anti epilepsi
22
II.4.1. Sejarah Obat Anti epilepsi
22
II.4.2. Farmakologi Dasar Obat Anti epilepsi
24
II.4.3. Mekanisme kerja Obat Anti epilepsi
26
II.4.4.
Adverse Effect
Obat Anti epilepsi
28
II.6. Kerangka Teori
35
II.7. Kerangka Konsepsional
36
BAB III.
METODE PENELITIAN
37
III.1. Tempat dan Waktu
37
III.2. Subjek Penelitian
37
III.2.1. Populasi sasaran
37
III.2.2. Populasi terjangkau
37
III.2.3. Besar sampel
38
III.2.4. Kriteria inklusi
38
III.2.5. Kriteria eksklusi
39
III.2.6. Instrumen Penelitian
39
III.3. Batasan Operasional
39
III.4. Rancangan Penelitian
42
III.5. Pelaksanaan Penelitian
42
III.5.1. Pengambilan sampel
42
III.5.2. Variabel yang diamati
43
III.5.3. Kerangka operasional
44
III.5.4. Analisa statistik
45
III.5.5. Jadwal penelitian
46
III.5.6. Biaya Penelitian
46
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
47
IV.1.2. Distribusi kognitif dan
behavior
subjek penelitian.
50
IV.1.3. Hubungan jenis obat anti epilepsi dengan kognitif. 51
IV.1.4. Hubungan jumlah obat anti epilepsi dengan kognitif.
52
IV.1.5. Hubungan durasi obat anti epilepsi dengan kognitif.
53
IV.1.6. Hubungan jenis obat anti epilepsi dengan
behavior.
57
IV.1.7. Hubungan jumlah obat anti epilepsi dengan
behavior.
58
IV.1.8. Hubungan durasi obat anti epilepsi dengan
behavior.
60
IV.2. Pembahasan
63
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
70
V.1. Kesimpulan
70
V.2. Saran
72
DAFTAR PUSTAKA
73
DAFTAR SINGKATAN
AMPA
:
Amino-methyl-propanoic acid
APT
: Amnesia pasca trauma
BAI
:
Beck Anxiety Inventory
BDI
:
Beck Depression Inventory
Ca
2+cAMP
:
Cyclic adenosine monophosphate
:
Calsium
CBZ
; Carbamazepine
CLB
: Clobazam
CNS
:
Central nervous system
ETS
: Ethosuximide
EEG
:
Electroencephalography
FBM
: Felbamate
fMRI
:
Fungsional magnetic resonance imaging
GABA
:
Gamma-aminobutyric acid
GBP
: Gabapentine
IQ
:
Intelligence quotient
K
+LEV
: Levetiracetam
: Kalium
LTG
: Lamotrigine
NMDA
:
N-methyl D-aspartate
OAE
: Obat anti epilepsi
OXC
: Oxcarbazepine
PB
: Phenobarbital
PERDOSSI : Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
PGB
: Pregabalin
PHT
: Phenitoin
SKG
: Skala koma
Glascow
TGB
: Tiagabine
TPM
: Topiramate
VGB
: Vigabatrin
VPA
: Sodium valproat
WHO
:
World health organization
DAFTAR LAMBANG
n
: Besar sampel
α
: Alfa
β
: Beta
(1−β)
Z
: Power, ditetapkan 0,10 1,282
−
2 1 α
Z
: Kesalahan tipe 1, ditetapkan 0,05 1,96
P
: Hasil jumlah proporsi sasaran dan proporsi yang diteliti dibagi dua
P
1P
: Proporsi sasaran
2
p
: Tingkat kemaknaan
: Proporsi yang diteliti
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Skor median MMSE
adjustment
pada usia dan lama pendidikan
14
Tabel 2
Skor median MMSE
14
Tabel 3
Klasifikasi epilepsy
21
Tabel 4 Parameter Farmakokinetik obat anti epilepsy
25
Tabel 5
Dosis obat anti epilepsy
26
Tabel 6
Mekanisme kerja obat anti epilepsi
27
Tabel 7
Adverse effect
pemakaian obat anti epilepsi jangka panjang
29
Tabel 8
Efek kejiwaan dan
behavior
OAE
29
Tabel 9
Jadwal kegiatan penelitian
46
Tabel 10 Karakteristik subjek penelitian
48
Tabel 11 Hubungan antara jenis dan jumlah obat anti epilepsi dengan
kognitif pada pasien epilepsi
53
Tabel 12 Hubungan antara durasi konsumsi obat anti epilepsi dengan
kognitif pada pasien epilepsi
56
Tabel 13 Hubungan antara jenis obat anti epilepsi dengan
behavior
pada
pasien epilepsi
57
Tabel 14 Hubungan antara jumlah obat anti epilepsi dengan
behavior
pada
pasien epilepsi
59
Tabel 15 Hubungan antara durasi konsumsi obat anti epilepsi dengan
behavior
pada pasien epilepsi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1
Struktur kimiawi obat anti epilepsi
24
Gambar 2.
Aksi obat anti epilepsI pada inhibisi dan eksitasi
28
Gambar 3.
Diagram jenis kelamin sampel penelitian
47
Gambar 4.
Diagram lama pendidikan sampel penelitian
48
Gambar 5.
Diagram jenis bangkitan sampel penelitian
48
Gambar 6.
Grafik distribusi jenis obat anti epilepsi
49
Gambar 7.
Grafik distribusi kognitif
50
Gambar 8.
Grafik distribusi
behavior
51
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Lembar Penjelasan Kepada Subjek penelitian
Lampiran 2. Surat Persetujuan ikut dalam Penelitian
Lampiran 3. Lembar Pengumpul Data Penelitian
Lampiran 4. Nilai skor Mini Mental State Examination
Lampiran 5.
Digit Span
Lampiran 6.
Beck Depression Inventory II
Lampiran 7.
Beck Anxiety Inventory
Lampiran 8. Surat Komite Etik Penelitian Bidang Kesehatan FK-USU
ABSTRAK
Latar Belakang dan Tujuan:
Epilepsi adalah penyakit kronis yang
merupakan masalah medik dan sosial, dimana masalah medik bisa
berdampak pada gangguan kognitif dan mental. Di lain pihak, obat anti
epilepsi dapat mempengaruhi fungsi kognitif dan
behavior
dengan
menekan eksitabilitas neuron atau meningkatkan neurotransmiter inhibitor.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara obat anti epilepsi
dengan kognitif dan
behavior
pada pasien epilepsi.
Metode:
Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan
terhadap pasien epilepsi umum idiopatik yang berobat ke poliklinik epilepsi
bagian Neurologi RSUP H. Adam Malik Medan periode 10 September
sampai 31 Desember 2012. Pada pasien yang telah mengkomsumsi obat
anti epilepsi lebih dari 4 minggu dilakukan pemeriksaan MMSE dan
digit
span
untuk menilai kognitif serta pengisian kuisioner
Beck Depresion
Inventory
(BDI) dan
Beck Anxiety Inventory
(BAI) untuk mendeteksi
depresi dan ansietas terhadap 57 penderita yang memenuhi kriteria inklusi
penelitian.
Hasil:
Terdapat 57 pasien dalam penelitian ini, terdiri dari 35 org (61,4%)
perempuan dan 22 (38,6%) lelaki. Jenis bangkitan terdiri dari 47 (92,5%)
tonik-klonik dan 10 (17,5%) absence. Terdapat hubungan yang signifikan
antara jenis obat anti epilepsi dengan gangguan kognitif (
p
=0,003)
sedangkan terhadap
behavior
diperoleh hubungan yang signifikan antara
jenis obat anti epilepsi dengan depresi (
p
0,001) namun tidak ada
hubungan yang signifikan dengan ansietas (
p
0,469). Terhadap jumlah
obat anti epilepsi diperoleh hubungan yang signifikan antara jumlah obat
anti epilepsi dengan gangguan kognitif tetapi tidak ada hubungan yang
signifikan dengan
behavior
. Tidak terdapat hubungan yang signifikan
antara durasi konsumsi obat anti epilepsi dengan gangguan kognitif dan
behavior
kecuali hubungan antara durasi konsumsi phenitoin dengan
MMSE (
p
=0,027) dan depresi (
p=
0,021).
Kesimpulan:
Ada hubungan yang signifikan antara jenis dan jumlah obat
anti epilepsi dengan gangguan kognitif. Sedangkan
adverse effect
obat
anti epilepsi dengan
behavior
diperoleh hubungan yang signifikan antara
jenis obat anti epilepsi dengan depresi.
ABSTRACT
Backgound and Purpose
:
Epilepsy is a chronic disease which is a
medical and social problem, where medical problems can affect the
cognitive and mental disorder. On the other hand, antiepileptic drugs can
adversely affect cognitive function and behavior by suppressing neuronal
excitability or enhancing inhibitory neurotransmission. The aim of this
study is to determine the association between antiepileptic drugs with
cognitive and behavior in epilepsy patient.
Methods:
This is a cross sectional study which is perform to idiopathic
generalized epileptic patients in the epileptic clinic of H. Adam Malik
hospital from period September 10 until December 31, 2012. Fifty seven
patients whom comsumption antiepileptic drugs more than four weeks and
fulfil the inclusion criteria will done investigate of MMSE and digit span to
assess the cognitive and then admission filling the questionnaire of Beck
Depression Inventory (BDI) and Beck Anxiety Inventory (BAI) to detect
depression and anxiety.
Result
:
Fifty seven patients are participating in this study; consist of 35
(61.4%) women and 22 (38.6%) men. Seizure type consist 47 (92.5%)
tonic-clonic and 10 (17.5%) absence. There is significant association
between kind of antiepileptic drugs with cognitive impairment (p=0,003),
while towards behavior got significant association between kind of
antiepilepstic drugs with depression (p=0,001) but no significant
association with anxiety (p=0,469). There is significant association
between numbers of antiepileptic drugs with cognitive impairment but no
significant association with behavior. There are no significant association
between duration of antiepileptic drugs with cognitive impairment and
behavior except significant association between comsumption duration of
Phenitoin with MMSE (p=0,027) and depression (p=0,021).
Conclusions:
There are significant associations between number and
kind of antiepileptic drugs with cognitive impairment. While the behavior
adverse effect of antiepileptic drugs get the significant association
between kinds of antiepileptic drugs with depression.
ABSTRAK
Latar Belakang dan Tujuan:
Epilepsi adalah penyakit kronis yang
merupakan masalah medik dan sosial, dimana masalah medik bisa
berdampak pada gangguan kognitif dan mental. Di lain pihak, obat anti
epilepsi dapat mempengaruhi fungsi kognitif dan
behavior
dengan
menekan eksitabilitas neuron atau meningkatkan neurotransmiter inhibitor.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara obat anti epilepsi
dengan kognitif dan
behavior
pada pasien epilepsi.
Metode:
Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan
terhadap pasien epilepsi umum idiopatik yang berobat ke poliklinik epilepsi
bagian Neurologi RSUP H. Adam Malik Medan periode 10 September
sampai 31 Desember 2012. Pada pasien yang telah mengkomsumsi obat
anti epilepsi lebih dari 4 minggu dilakukan pemeriksaan MMSE dan
digit
span
untuk menilai kognitif serta pengisian kuisioner
Beck Depresion
Inventory
(BDI) dan
Beck Anxiety Inventory
(BAI) untuk mendeteksi
depresi dan ansietas terhadap 57 penderita yang memenuhi kriteria inklusi
penelitian.
Hasil:
Terdapat 57 pasien dalam penelitian ini, terdiri dari 35 org (61,4%)
perempuan dan 22 (38,6%) lelaki. Jenis bangkitan terdiri dari 47 (92,5%)
tonik-klonik dan 10 (17,5%) absence. Terdapat hubungan yang signifikan
antara jenis obat anti epilepsi dengan gangguan kognitif (
p
=0,003)
sedangkan terhadap
behavior
diperoleh hubungan yang signifikan antara
jenis obat anti epilepsi dengan depresi (
p
0,001) namun tidak ada
hubungan yang signifikan dengan ansietas (
p
0,469). Terhadap jumlah
obat anti epilepsi diperoleh hubungan yang signifikan antara jumlah obat
anti epilepsi dengan gangguan kognitif tetapi tidak ada hubungan yang
signifikan dengan
behavior
. Tidak terdapat hubungan yang signifikan
antara durasi konsumsi obat anti epilepsi dengan gangguan kognitif dan
behavior
kecuali hubungan antara durasi konsumsi phenitoin dengan
MMSE (
p
=0,027) dan depresi (
p=
0,021).
Kesimpulan:
Ada hubungan yang signifikan antara jenis dan jumlah obat
anti epilepsi dengan gangguan kognitif. Sedangkan
adverse effect
obat
anti epilepsi dengan
behavior
diperoleh hubungan yang signifikan antara
jenis obat anti epilepsi dengan depresi.
ABSTRACT
Backgound and Purpose
:
Epilepsy is a chronic disease which is a
medical and social problem, where medical problems can affect the
cognitive and mental disorder. On the other hand, antiepileptic drugs can
adversely affect cognitive function and behavior by suppressing neuronal
excitability or enhancing inhibitory neurotransmission. The aim of this
study is to determine the association between antiepileptic drugs with
cognitive and behavior in epilepsy patient.
Methods:
This is a cross sectional study which is perform to idiopathic
generalized epileptic patients in the epileptic clinic of H. Adam Malik
hospital from period September 10 until December 31, 2012. Fifty seven
patients whom comsumption antiepileptic drugs more than four weeks and
fulfil the inclusion criteria will done investigate of MMSE and digit span to
assess the cognitive and then admission filling the questionnaire of Beck
Depression Inventory (BDI) and Beck Anxiety Inventory (BAI) to detect
depression and anxiety.
Result
:
Fifty seven patients are participating in this study; consist of 35
(61.4%) women and 22 (38.6%) men. Seizure type consist 47 (92.5%)
tonic-clonic and 10 (17.5%) absence. There is significant association
between kind of antiepileptic drugs with cognitive impairment (p=0,003),
while towards behavior got significant association between kind of
antiepilepstic drugs with depression (p=0,001) but no significant
association with anxiety (p=0,469). There is significant association
between numbers of antiepileptic drugs with cognitive impairment but no
significant association with behavior. There are no significant association
between duration of antiepileptic drugs with cognitive impairment and
behavior except significant association between comsumption duration of
Phenitoin with MMSE (p=0,027) and depression (p=0,021).
Conclusions:
There are significant associations between number and
kind of antiepileptic drugs with cognitive impairment. While the behavior
adverse effect of antiepileptic drugs get the significant association
between kinds of antiepileptic drugs with depression.
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG
Epilepsi yang merupakan penyakit kronik masih tetap merupakan
masalah medik dan sosial. Masalah medik yang disebabkan oleh gangguan
komunikasi neuron bisa berdampak pada gangguan kognitif dan mental. Dilain
pihak obat-obatan anti epilepsi juga bisa berefek terhadap gangguan kognitif dan
behavior. Oleh sebab itu pertimbangan untuk pemberian obat yang tepat adalah
penting mengingat efek obat yang bertujuan untuk menginhibisi bangkitan listrik
tapi juga bisa berefek pada gangguan kognitif dan behavior.
Epilepsi terjadi di seluruh dunia, hampir di seluruh daerah tidak kurang
dari tiga kejadian tiap 1000 orang. Setiap tahunnya, diantara setiap 100.000
orang akan terdapat 40-70 kasus baru. Epilepsi mempengaruhi 50 juta orang
diseluruh dunia, dan 80% dari mereka tinggal di negara berkembang. Epilepsi
lebih sering timbul pada usia anak-anak atau orang tua diatas 65 tahun, namum
epilepsi dapat muncul kapan saja. Pada systemic review terkini, angka prevalensi
untuk epilepsi aktif bervariasi dari 1,5-14 per 1.000 orang/tahun di Asia,
Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki sedikit lebih besar kemungkinan terkena
epilepsi daripada perempuan.(Meyer dkk, 2010)
Berapa banyak pasien epilepsi di Indonesia, sampai sekarang belum
epilepsi di Indonesia sekitar 0,7-1,0% dan bila jumlah penduduk Indonesia sekitar
220 juta maka sekitar 1,5-2 juta orang kemungkinan mengidap epilepsi dan
kasus baru sekitar 250.000 pertahun.(Hawari, 2012)
Epilepsi diterapi dengan obat-obatan anti epilepsi jangka panjang dimana
akan dititrasi hingga berhenti jika minimal selama 2 tahun bebas kejang.
Sementara obat anti epilepsi dapat menyebabkan perburukkan kognitif dan
gangguan behavior yang nantinya dapat mempengaruhi kualitas hidup
pasien.(Eddy dkk, 2011)
Kerja obat anti epilepsi (OAE) akan menurunkan irritability neuron dimana
mungkin menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan seperti penurunan
fungsi kognitif dan efek behavior dimana terhadap behavior mungkin memberikan
rentang efek mulai dari iritabel dan hiperaktifitas hingga efek psikotropik positif
pada mood.(Loring dkk, 2007)
Suatu studi yang membandingkan fungsi kognitif antara pasien epilepsi
yang belum mendapat terapi dengan kelompok yang telah diterapi selama
setahun menemukan bahwa pasien yang telah diterapi obat anti epilepsi (OAE)
menunjukkan hasil cognitive perfomance buruk dengan pemeriksaan MMSE
Adanya pemburukkan kognitif secara langsung akan mempengaruhi kualitas
hidup pasien.(Palanisamy dkk, 2011)
Adverse effects obat anti epilepsi dapat mengakibatkan gangguan
behavior, dimana yang tersering adalah depresi (phenobarbital, vigabatrin,
tiagabine, topiramat); ansietas (lamotrigine, felbamate, levetiracetam).(Marco,
Studi parallel yang dilakukan untuk membandingkan efek kognitif
carbamazepine, phenobarbital, phenitoin dan pirimidone pada pasien dengan
onset baru epilepsi menemukan tidak konsekuennya pola semua obat anti
epilepsi dan sedikit perubahan pada kognitif setelah terapi obat anti epilepsi
(OAE). Studi lain yang membandingkan carbamazepine (CBZ) dan valproat acid
(VPA) menemukan efek negatif pada kognitif untuk keduanya. Berbeda dengan
phenobarbital (PB) bermakna mengakibatkan gangguan kognitif lebih jelek
dibandingkan yang lain. Obat anti epilepsi terbaru tampaknya memberikan
adverse effect kognitif lebih sedikit seperti gabapentine (GBP), lamotrigine (LTG)
dan levetiracetam (LEV) dibandingkan carbamazepine (CBZ) sedangkan
topiramat (TPM) menunjukkan asosiasi dengan resiko gangguan kognitif yang
lebih besar.(Sung-Pa dkk, 2008)
Penelitian Ogunrin Olubunmi dkk di afrika terhadap carbamazepine
(CBZ), phenitoin (PHT) dan phenobarbital (PB) menunjukkan bahwa efek obat
pada kognitif memperlihatkan pemburukan bermakna pada mental speed dengan
pengecualian pada hasil kelompok PHT yang menunjukkan perbaikan pada
auditory reaction time; CBZ tidak signifikan mempengaruhi memori verbal. Ketiga
obat anti epilepsi tersebut signifikan menurunkan kemampuan atensi pasien. PB
menunjukkan skor yang buruk pada memori verbal dan non-verbal.(Olubunmi
dkk, 2005)
Penelitian yang membandingkan keefektipan beberapa obat anti epilepsi
5-9,9% dan 2-4,9% namun tidak menyebabkan pemburukan kognitif;
carbamazepine (CBZ) tidak menganggu fungsi kognitif dan psikiatri. Secara
keseluruhan dari kesepuluh OAE tersebut terhadap 417 sampel menyebabkan
pemburukan kognitif 5-9,9% dan gangguan psikiatri 2-4,9%. Dimana pemburukan
kognitif yang dilaporkan adalah afasia, konsentrasi rendah, memori buruk,
perlambatan psikomotor, perlambatan kognitif, bingung/disorientasi sementara
gangguan psikiatri adalah ansietas, iritabel, psikosis, depresi.(Hiba dkk, 2010)
Suatu studi kasus kontrol pada pasien-pasien dengan bangkitan onset
baru, dibandingkan antara kelompok yang mendapat obat anti epilepsi lebih dari
4 minggu (212 kasus) dengan kelompok tanpa pengobatan (206 kontrol).
Hasilnya menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan adverse
event profile di antara kelompok kasus dengan monoterapi (valproat acid,
carbamazepine, phenitoin, levetiracetam, lamotrigine) dengan kelompok
kontrol.(Perucca dkk, 2011)
Menurut Christian E. Elger, dkk menulis bahwa obat anti epilepsi
menimbulkan adverse effect depresi rendah (carbamazepine, clobazam,
felbamate, gabapentine, levetiracetam, lamotrigine, pregabalin, topiramat,
valproat acid, zonisamide) dan tinggi (ethosuximide, phenobarbital, phenitoin,
tiagabine, vigabatrin); pemburukan kognitif rendah (ethosuximide, felbamate,
gabapentine, levetiracetam, lamotrigine, oxcarbazepine, pregabalin, tiagabine,
vigabatrin, valproat acid) dan tinggi (carbamazepine, clobazam, phenobarbital,
phenitoin, topiramat, zonisamide).(Elger dkk, 2008)
Penelitian Ghaydaa tahun 2009 menemukan bahwa pasien epilepsi yang
kognitif yang berbeda dan tes behavior dibandingkan dengan kelompok kontrol
(populasi normal). Pasein yang mendapat terapi obat anti epilepsi mempunyai
skor buruk pada memori untuk digit forward and backward, memori jangka
pendek. Durasi asupan obat anti epilepsi berhubungan dengan memori objek,
memori non-verbal jangka pendek. Pasien epilepsi belum diterapi dan sudah
diterapi mempunyai kinerja buruk pada tingkat sama pada tes fungsi behavior.
Dosis obat anti epilepsi berkorelasi dengan skor agresi verbal dan non-verbal
sedangkan durasi asupan obat anti epilepsi berkorelasi dengan skor agresi
non-verbal.(Ghaydaa, 2009)
Efek negatif obat anti epilepsi terhadap kognitif seperti phenobarbital
dapat menyebabkan penurunan atensi; carbamazepine dan phenitoin
menganggu memori; sedangkan valproat acid paling kecil mempengaruhi
kognitif.(Loring dkk, 2004)
I.2. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang penelitian-penelitian terdahulu seperti yang
telah diuraikan di atas, dirumuskan masalah sebagai berikut:
Bagaimanakah hubungan antara obat anti epilepsi dengan kognitif dan
behavior pada pasien epilepsi?
I.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara obat anti epilepsi dengan kognitif
dan behavior pada pasien epilepsi.
I.3.2. Tujuan Khusus
I.3.2.1. Untuk mengetahui hubungan antara jenis obat anti epilepsi dengan
kognitif pada pasien epilepsi di RSUP H. Adam Malik.
1.3.2.2. Untuk mengetahui hubungan antara jenis obat anti epilepsi dengan
behavior pada pasien epilepsi di RSUP H.Adam Malik
I.3.2.3. Untuk mengetahui hubungan antara jumlah obat anti epilepsi dengan
kognitif pada pasien epilepsi di RSUP H.Adam Malik.
I.3.2.4. Untuk mengetahui hubungan antara jumlah obat anti epilepsi dengan
behavior pada pasien epilepsi di RSUP H.Adam Malik.
I.3.2.5. Untuk mengetahui hubungan antara durasi konsumsi obat anti
epilepsi dengan kognitif pada pasien epilepsi di RSUP H.Adam
Malik.
I.3.2.6. Untuk mengetahui hubungan antara durasi konsumsi obat anti
epilepsi dengan behavior pada pasien epilepsi di RSUP H.Adam
Malik.
I.3.2.7. Untuk mengetahui karakteristik demografi (umur, jenis kelamin,
epilepsi (jenis, dosis dan jumlah OAE) pada pasien epilepsi di RSUP
H.Adam Malik Medan.
I.4. HIPOTESIS
Terdapat hubungan antara obat anti epilepsi dengan kognitif dan behavior
pada pasien epilepsi.
I.5. MANFAAT PENELITIAN
I.5.1. Manfaat penelitian untuk ilmu pengetahuan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi secara keilmuwan
tentang hubungan antara obat anti epilepsi dengan kognitif dan behavior
pada pasien epilepsi, dimana perlunya pemeriksaan fungsi kognitif dan
behavior secara berkala.
I.5.2. Manfaat penelitian untuk penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar untuk penelitian
selanjutnya tentang hubungan antara obat anti epilepsi dengan kognitif
dan behavior secara farmakologi.
Dengan mengetahui hubungan antara obat anti epilepsi dengan kognitif
dan behavior bisa menjadi dasar pertimbangan dalam pemilihan jenis
obat anti epilepsi demi tercapai kualitas hidup penderita yang lebih baik.
BAB II
Dengan mengetahui hubungan antara obat anti epilepsi dengan kognitif
dan behavior bisa menjadi dasar pertimbangan dalam pemilihan jenis
obat anti epilepsi demi tercapai kualitas hidup penderita yang lebih baik.
BAB II
II.1. FUNGSI KOGNITIF
Kognitif berasal dari bahasa latin ”cognoscere” yang artinya
together
(co) dan
know
(nos). Kognitif termasuk sebagai sifat sensasi,
berpikir, persepsi,
arousal
dan kesadaran.(Whitehouse, 2006)
Fungsi Kognitif adalah merupakan aktivitas mental secara sadar
seperti berpikir, mengingat, belajar, dan menggunakan bahasa. Fungsi
kognitif juga merupakan kemampuan atensi, memori, pertimbangan,
pemecahan masalah, serta kemampuan eksekutif seperti merencanakan,
menilai, mengawasi, dan melakukan evaluasi.(Strub dkk, 2000; Rizzo dkk,
2004).
Fungsi kognitif terdiri dari :
1. Atensi
Atensi merupakan kemampuan untuk bereaksi atau memperhatikan satu
stimulus tertentu (spesifik) dengan mampu mengabaikan stimulus lain baik
internal atau eksternal yang tidak dibutuhkan. Setelah menentukan kesadaran,
pemeriksaan atensi harus dilakukan saat awal pemeriksaan neurobehavior
karena pemeriksaan modalitas kognitif lainnya sangat dipengaruhi oleh atensi
yang cukup terjaga. (Rizzo dkk, 2004)
Atensi dan konsentrasi sangat penting dalam mempertahankan fungsi
kognitif, terutama dalam proses belajar. Gangguan atensi dan konsentrasi akan
mempengaruhi fungsi kognitif lain seperti memori, bahasa dan fungsi eksekutif.
Gangguan atensi dapat berupa dua kondisi klinik berbeda. Pertama
tidak atensi sama sekali, dan kedua inatensi spesifik unilateral terhadap stimulus
pada sisi tubuh kontralateral lesi otak.(Rizzo dkk, 2004)
2. Bahasa
Bahasa merupakan perangkat dasar komunikasi dan modalitas dasar
yang membangun kemampuan fungsi kognitif. Oleh karena itu pemeriksaan
bahasa harus dilakukan pada awal pemeriksaan neurobehavior. Jika terdapat
gangguan bahasa, pemeriksaan kognitif seperti memori verbal, fungsi eksekutif
akan mengalami kesulitan atau tidak mungkin dilakukan.(Rizzo dkk, 2004)
Gangguan bahasa (afasia) sering terlihat pada lesi otak fokal maupun
difus, sehingga merupakan gejala patognomonik disfungsi otak. Penting bagi
klinikus untuk mengenal gangguan bahasa karena hubungan yang spesifik
antara sindroma afasia dengan lesi neuroanatomi. Kemampuan berkomunikasi
menggunakan bahasa penting, sehingga setiap gangguan berbahasa akan
menyebabkan hendaya fungsional.(Rizzo dkk, 2004)
3. Memori
Memori adalah proses bertingkat dimana informasi pertama kali harus
dicatat dalam area korteks sensorik kemudian diproses melalui sistem limbik
untuk terjadinya pembelajaran baru. Secara klinik memori dibagi menjadi tiga tipe
dasar : immediate, recent, dan remote memory berdasarkan rentang waktu
antara stimulus dan recall (Rizzo dkk, 2004)
a. Immediate memory merupakan kemampuan untuk merecall stimulus dalam
b. Recent memory merupakan kemampuan untuk mengingat kejadian sehari-hari
(misalnya tanggal, nama dokter, apa yang dimakan saat sarapan, atau
kejadian-kejadian baru) dan mempelajari materi baru serta mencari materi dalam rentang
waktu menit, jam, hari, bulan, tahun.
c. Remote memory merupakan rekoleksi kejadian yang terjadi bertahun tahun
yang lalu (misalnya tanggal lahir, sejarah, nama teman).
Gangguan memori merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan
pasien. Amnesia secara umum merupakan efek fungsi memori. Ketidak
mampuan untuk mempelajari materi baru setelah brain insult disebut amnesia
anterograd. Amnesia anterograd merujuk pada amnesia kejadian yang terjadi
sebelum brain insult. Hampir semua pasien demensia menunjukkan masalah
memori pada awal perjalanan penyakitnya. Tidak semua gangguan memori
merupakan gangguan organik. Pasien depresi dan ansietas sering mengalami
kesulitan memori. Amnesia psikogenik jika amnesia hanya pada satu periode
tertentu, dan pada pemeriksaan tidak dijumpai defek pada recent memory.(Rizzo
dkk, 2004)
4. Visuospasial
Kemampuan visuospasial dapat dievaluasi melalui kemampuan
kontruksional seperti menggambar atau meniru berbagai macam gambar (misal :
lingkaran, kubus) dan menyusun balok-balok. Semua lobus berperan dalam
mempunyai peran yang paling dominan. Menggambar jam sering digunakan
untuk skrining kemampuan visuospasial dan fungsi eksekutif dimana berkaitan
dengan gangguan di lobus frontal dan parietal.(Rizzo dkk, 2004)
5. Fungsi Eksekutif
Fungsi eksekutif adalah kemampuan kognitif tinggi seperti cara berpikir
dan kemampuan pemecahan masalah. Kemampuan eksekusi diperankan oleh
lobus frontal, tetapi pengalaman klinis menunjukkan bahwa semua sirkuit yang
terkait dengan lobus frontal juga menyebabkan sindroma lobus frontal.
Diperlukan atensi, bahasa, memori dan visuospasial sebagai dasar untuk
menyusun kemampuan kognitif. (Kolegium Neurologi Indonesia, 2008a )
Pemburukkan kognitif ada yang bersifat normal yang banyak ditemukan
pada warga usia lanjut secara fisiologis karena faktor penuaan dan dianggap
tidak ada hubungannya dengan Alzheimer, yang disebut forgetfulness.
(Sjahrir,1999) Dan kondisi ini disebut juga Age-associated memory impairment,
dimana salah satu kriteria diagnostik inti adalah usia paling sedikit 50 tahun.
(Crook, 2006) Berbagai penelitian menemukan angka kejadian forgetfulness 39%
pada usia 50-59 tahun. (Sjahrir, 1999) sedangkan menurut Thomas Crook angka
kejadian Age-associated memory impairment adalah 46%.(Crook, 2006)
II.1.1. Assesmen kognitif
Beberapa instrumen skiring tersedia untuk membantu klinisi dalam
Pemeriksaan dikembangkan pada pertengahan 1970-an oleh Folstein.
Mini-mental state examination telah digunakan secara luas untuk literatur klinik
atau epidemiologi sehingga MMSE merupakan instrumen skrining kognitif yang
paling luas digunakan. Dimana lama tes ini hanya membutuhkan waktu sekitar 5
menit dan menilai enam domain yaitu: orientasi, bahasa, atensi/konsentrasi,
working memory, memori jangka pendek dan constructional copy.(Rizzo dkk,
2004)
Sensitifitas MMSE untuk mendeteksi pemburukkan kognitif meningkat
ketika skor cut-off (26-28) digunakan atau ketika dilakukan adjustment terhadap
umur dan pendidikan. Walaupun skor cut-off untuk dementia secara umum
adalah dibawah 24, skor median bervariasi tergantung umur dan lama
[image:40.595.150.455.582.732.2]pendidikan.(Fink, 2004)
Tabel 1. Skor median MMSE adjustment terhadap usia
dan lama pendidikan.
Lama pendidikan
Usia (tahun)
18 - 69 70 – 79 > 79
Tingkat keempat 22 - 25 21 – 22 19 - 20
Tingkat kedelapan 26 - 27 25 23 - 25
Sekolah tingkat atas 28 - 29 27 25 - 26
Dikutip dari: Fink, Vivian. 2004. “Mild Cognitive Impairment : Pre-Alzheimers disease state provides opportunity for early detection and possible treatment”.
The Institute For medical Education Bulletin V(6):1-11
Sebuah studi yang dilakukan pada 473 orang sehat yang berumur lebih
dari 15 tahun dengan latar belakang pekerjaan dan pendidikan yang beragam di
Medan didapatkan skor median MMSE berdasarkan usia dan lama pendidikan
[image:41.595.214.415.330.658.2]sebagai berikut:(Sjahrir dkk, 2001)
Tabel 2. Skor median MMSE
Median
Lama pendidikan:
0 - 6 tahun 24
7 - 9 tahun 26
10 - 12 tahun 26
> 12 tahun 28
Usia:
< 20 tahun 27
21 - 30 tahun 28
31 - 40 tahun 28
41 - 50 tahun 26
51 - 60 tahun 27
> 60 tahun 21
2. Digit span atau Digit repetition
Level dasar atensi pasien dapat dengan mudah ditentukan dengan
menggunakan tes ini. Penampilan prima pada tes ini menjamin bahwa pasien
mampu memusatkan perhatian terhadap stimulus verbal dan atensi
terus-menerus untuk periode waktu yang dibutuhkan untuk mengulang deretan angka
tersebut. Tes ini tidak dapat dilakukan pada pasien yang mengalami gangguan
bahasa. Penilaian digit span berdasarkan berapa banyak angka yang dapat
diulang dengan urutan yang benar. Pasien dengan intelegensia rata-rata dapat
mengulang angka dengan akurat lima hingga tujuh angka tanpa kesulitan. Pasien
non-retardasi mental tidak dapat mengulang lebih atau sama dengan lima
mengindikasikan atensi kurang baik.(Strub dkk, 2000)
II.2. BEHAVIOR
Otak manusia merupakan suatu organ yang merupakan dasar apakah
pikiran seseorang sehat, yang harus dikerjakan, merasakan, dan berpikir atau
pada istilah yang lebih formal adalah pengalaman sensori kita, behavioral,
affective dan kognitif. Dengan memproses stimulus eksternal kedalam impuls
neuronal, sistem sensori menciptakan suatu representation internal dunia
eksternal. Sistem motorik memampukan seseorang untuk mengerakkan
melalui komunikasi. Pada otak, input sensori, representing dunia eksternal
diintegrasikan dengan drivers stimulus internal, memori dan emosional di
association units, dimana akan memberi umpan balik pada aktifitas motorik. Bila
terjadi distorsi yang diintrodusir oleh psikopatologi pada fungsi asosiasi otak
maka akan terjadi gangguan psikiatri.(Sadock dkk, 2007)
Behavior adalah respon total jiwa termasuk gerak hati, motivasi, hasrat,
drives, insting dan idaman seperti diekspresikan dengan tingkah laku seseorang
dan aktivitas motorik (konasi), sedangkan emosi adalah suatu kompleks keadaan
perasaan dengan komponen psikis, somatik dan perilaku yang berhubungan
dengan afek dan mood.(Sadock dkk, 2007)
Kehidupan mental diekspesikannya secara kelihatan sebagai tingkah laku
verbal dan gestural dan perubahan somatik dimana secara kolektif dihubungkan
sebagai behavior. Tingkah laku gestural pada konteks ini mencakup behavior
non-verbal dan motorik. Behavior merupakan manisfestasi pikiran orang lain
maka ia jelas dapat diamati dan dinilai. Kognitif, emosi dan motivasi merupakan
dasar kehidupan mental normal. Kognitif mengacu pada proses informasi, yang
mana pengetahuan diperoleh, disimpan, dimanipulasi, didapat kembali dan
digunakan oleh individu sebagai instrumen dan adaptasi dalam lingkungan yang
kompleks. Mind dan behavior merupakan produk interaksi kompleks yang
melibatkan sistem proyeksi neural regional dan yang luas.(Rizzo dkk, 2004)
Mood adalah suatu emosi yang meresap dan dipertahanan, yang dialami
secara subjektif dan dilaporkan oleh pasien dan terlihat oleh orang lain, seperti
dibuat marah sedangkan depresi adalah perasaan kesedihan yang
psikopatologis.(Sadock dkk, 2007)
Gejala emosi yang lain adalah ansietas yaitu perasaan ketakutan yang
disebabkan oleh dugaan bahaya / anticipation of danger, yang mungkin berasal
dari dalam atau luar.(Sadock dkk, 2007)
II.2.1. The Beck Scales
Dua buah inventori self-report ditulis oleh Aaron Beck memperoleh
popularitas diseluruh dunia sebagai alat ukur yang informatif dan cocok aspek
mood dan emosi. The beck Depression Inventory (BDI, 1987) memberikan suatu
metode mudah dan cepat untuk mengukur beragam gejala dan keluhan depresi
termasuk kognitif, behavioral dan masalah somatik. Beck Depression Inventory
sangat berguna dalam menetapkan kehadiran dan keparahan keluhan depresi
walaupun tidak memberikan informasi mengenai durasinya. The Beck Anxiety
Inventory (BAI) merupakan paralel dalam bentuk terhadap BDI, dan berfokus
khusus pada keluhan yang berhubungan dengan ansietas. Sama seperti BDI,
BAI mudah dan cepat untuk dilakukan dan memberikan informasi yang berguna
tentang pasien dan partisipan penelitian mengenai status terkini ansietas dan
kerentanan umum terhadap ansietas.(Rizzo dkk, 2004)
The beck Depression Inventory adalah kuisioner self-rated, dimana
kemungkinan tidak dapat dijawab oleh pasien dengan masalah pemahaman
kemampuan bekerja dan kekuatiran tentang kesehatan mungkin secara jelas
dipengaruhi oleh keluhan kelainan neurologi.(Rizzo dkk, 2004)
II.3. EPILEPSI
II.3.1. Definisi
Epilepsi merupakan suatu kumpulan penyakit kompleks otak dimana
melibatkan rentang lebar manifestasi klinis dan banyak variasi penyebabnya.
International League Againts Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for
Epilepsy (IBE) menetapkan definisi epilepsi sebagai suatu kejadian sementara
gejala dan/atau keluhan yang berhubungan dengan aktifitas neuron berlebihan
atau synchronous yang abnormal di otak. Walaupun terdapat perselisihan kecil
dengan definisi ini, terdapat catatan berharga bahwa bangkitan epilepsi tidaklah
sesederhana hasil langsung dari eksitasi yang meningkat.(Panayiotopoulos,
2010)
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh
bangkitan epilepsi berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa
provokasi. Sedangkan bangkitan epilepsi adalah manisfestasi klinik yang
disebabkan oleh aktivitas listrik otak yang abnormal dan berlebihan dari
sekelompok neuron. Manisfestasi klinik ini terjadi secara tiba-tiba dan sementara
berupa perubahan perilaku yang stereotipik, dapat menimbulkan gangguan
kesadaran, gangguan motorik, sensorik, otonom ataupun psikik. Sindrom epilepsi
Dikenal juga istilah penyakit epilepsi yang merupakan suatu keadaan patologik
dengan satu etiologi yang spesifik.(Kelompok studi epilepsI, 2011).
II.3.2. Epidemiologi
Pada tahun 2004, WHO memperkirakan bahwa hampir 80% dari beban
epilepsi di seluruh dunia ditanggung oleh sumber daya di negara miskin. Di
negara maju, angka prevalensi seumur hidup untuk epilepsi berkisar 3,5-10,7 per
1.000 orang/tahun, dan rentang angka insiden 24-53 per 100.000 orang/tahun.
Pada systemic review terkini, angka prevalensi seumur hidup untuk epilepsi aktif
bervariasi 1,5 -14 per 1.000 orang/tahun di Asia, 5,1-57,0 per 1.000 orang/tahun
di Amerika Latin, dan 5,2-74,4 per 1.000 orang/tahun di Afrika. Angka median
prevalensi seumur hidup di Asia (6 per 1.000 orang/tahun) lebih rendah daripada
di Afrika dan Amerika Latin (masing-masing 15 dan 18 per 1.000 orang/tahun).
Angka insiden tahunan untuk epilepsi di Asia (29-60 per 100.000 orang/tahun)
tidak berbeda secara signifikan dengan negara maju.(Meyer dkk, 2010)
Berapa banyak pasien epilepsi di Indonesia, sampai sekarang belum
tersedia data hasil studi berbasis populasi. Bila dibandingkan dengan negara
berkembang lain dengan tingkat ekonomi sejajar, probabilitas penyandang
epilepsi di Indonesia sekitar 0,7-1,0% dan bila jumlah penduduk sekitar 220 juta
maka 1,5-2 juta orang kemungkinan mengidap epilepsi dengan kasus baru
250.000 pertahun.(Hawari, 2012)
Hasil survei population-based ditemukan bahwa dua per tiga kasus
bangkitan tunggal unprovoked akan mengalami bangkitan kedua diatas lima
tahun berikutnya. Tanpa terapi, setelah bangkitan kedua, sekitar 75% akan
mengalami bangkitan yang lain dalam satu atau dua tahun berikutnya. Epilepsi
simtomatik mempunyai rasio mortalitas lebih tinggi dibanding epilepsi
idiopatik.(Nadir dkk, 2005)
Bangkitan secara dependen umur, pola bimodal dengan puncak awal
pada insiden selama tahun pertama kehidupan dan kemudian terus menerus
meningkat pada insiden sekitar umur 60 tahun dimana jauh melebihi insiden
pada semua golongan umur yang lain.(Hiba, 2010)
II.3.3. Klasifikasi
Klasifikasi yang dipakai adalah klasifikasi menurut ILAE, dimana terdiri
dari dua macam klasifikasi, yaitu jenis bangkitan epilepsi dan sindrom
Tabel 3. Klasifikasi Epilepsi
Dikutip dari: Habibi, Mitra. 2009. Refractory Epilepsy. US Pharm. 34:8-14
II.3.4. Hubungan antara Epilepsi dengan Kognitif dan behavior
Pemburukkan kognitif dan behavior telah diobservasi sebagai
konsekuensi adanya bangkitan. Adanya pemburukkan kognitif dan gangguan
behavior sering berhubungan dengan kerusakkan struktur otak. Penting secara
khusus pada epilepsi simtomatik dimana terdapat penyebab yang mendasari
kerusakkan otak tersebut seperti trauma kepala, stroke atau alcoholism-related
epilepsy. Kerusakkan otak juga dapat disebabkan oleh bangkitan kejang yang
tidak terkontrol. (Aldenkamp dkk, 2005)
Lokalisasi fokus epilepsi juga merupakan faktor penting adanya
sering berhubungan dengan defek memori dan epilepsi lobus frontalis dengan
defisit fungsi eksekutif sedangkan masalah bahasa lebih sering terlihat pada
epilepsi fokal dimana berlokasi pada hemisfer dominan. Berbeda dengan epilepsi
umum idiopatik lebih jarang berhubungan dengan pemburukkan
intelektual.(Aldenkamp dkk, 2005)
Umur saat onset juga tampaknya menjadi faktor yang krusial pada
dampak epileps terhadap kognitif dan behavior , dimana onset bangkitan
sebelum berumur 5 tahun tampaknya menjadi faktor resiko untuk IQ rendah
sementara berbeda dengan keluhan behavior yang muncul pada late seizure
onset.(Aldenkamp dkk, 2005)
Depresi interiktal merupakan keadaan yang biasa, namum prevalensi
yang pasti belum diketahui. Tampaknya depresi cenderung timbul sekitar
sepuluh tahun setelah onset epilepsi. Beragam faktor penyebab telah diajukan
terhadap perkembangan depresi tetapi etiologinya kebanyakkan adalah
multifaktorial. Riwayat keluarga depresi telah dilaporkan oleh beberapa peneliti.
Beberapa studi menemukan depresi lebih sering pada penderita bangkitan
parsial kompleks khususnya epilepsi lobus temporal.(Rizzo dkk, 2004)
II.4. OBAT ANTI EPILEPSI (OAE)
II.4.1. Sejarah Obat Anti Epilepsi
Sebelum obat anti epilepsi ditemukan dan dikembangkan, pengobatan
pengobatan epilepsi. Pada tahun 1912, phenobarbital pertama kali digunakan
untuk terapi epilepsi, dan 25 tahun berikutnya, 35 analog phenobarbital dipelajari
sebagai antikejang. Pada tahun 1938, phenitoin ditemukan efektif melawan
bangkitan pada kucing.(Porter dkk, 2001)
Antara 1935 dan 1960, langkah hebat diciptakan pada pengembangan
model eksperimental dan metode untuk skrining dan tes obat ati epilepsi baru.
Selama periode tersebut, 13 obat anti epilepsi dikembangkan dan dipasarkan.
Menyusul pengumunan kewajiban untuk membuktikan drug efficacy pada tahun
1962, pengembangan obat anti kejang menurun dramatis, dan hanya sedikit obat
baru yang ditemukan dan dipasarkan dalam 3 dekade berikutnya. Namun,
serentetan komposisi obat baru bermunculan pada era tahun 1990-an.(Porter
dkk, 2001)
Obat anti epilepsi sering dikelompokkan menjadi agen lama (berkembang
sebelum tahun 1990-an) dan agen terbaru (dikenalkan selama tahun 1990-an
atau kemudian). Dimana OAE agen lama/klasik adalah phenitoin (PHT),
carbamazepine (CBZ), sodium valproat (VPA), phenobarbital (PB) dan
benzodiazepine sementara agen terbaru adalah felbamate (FBM), gabapentin
(GBP), lamotrigine (LTG), oxcarbazepine (OXC), topiramate (TPM), tiagabine
(TGB), vigabatrin (VGB), zonisamide (ZNS), pregabalin (PGB) dan levetiracetam
(LEV).(Sung-Pa dkk, 2008)
Hingga tahun 1990, 16 anti epilepsi telah ada, dan 13 diantaranya
diklasifikasikan kedalam 5 kel. kimiawi, yaitu: barbiturat, hydantoin,
[image:51.595.114.510.202.370.2]oxazolidinediones, succinimides dan acetylureas.(Porter dkk, 2001)
Gambar 1. Struktur kimiawi obat anti epilepsi.
Dikutip dari: Lullmann, H., Mohr, K., Ziegler, A., Bieger, D. 2000. Color Atlas of Pharmacology. New York. Theme Stuutgart.
Obat anti epilepsi menunjukkan beberapa sifat farmakokinetik sama
walaupun struktur dan sifat kimiawi lumayan berbeda. Walaupun, beberapa
komposisi mudah larut hanya sedikit, absorbsi biasanya baik dengan 80-100%
Tabel 4. Parameter farmakokinetik obat anti epilepsi.
Dikutip dari: Henry, J.C., Gross, R.A. 2008. ”Epilepsy”. Principles of drugs theraphy in Neurology. Johnston, Michael. New York. Oxford Univesity Press.
Untuk status penyakit dengan gangguan konsentrasi serum albumin
(biasanya hipoalbunemia), dosis obat yang berikatan tinggi mungkin lebih pantas
berdasarkan konsentrasi obat bebas. Dimana umumnya konsentrasi obat bebas
tidak terganggu, konsentrasi total obat mungkin menurun menyebabkan klinisi
menaikkan dosis; sementara peningkatan pada dosis akan menghasilkan level
obat bebas lebih tinggi lagi dan kemungkinan akan terjadi toksisitas obat.(Porter
Tabel 5. Dosis obat anti epilepsi
Dikutip dari: Panayiotopoulos, C.P. 2010. Atlas of epilepsies. Springer-Verlag London Limited.
II.4.3. Mekanisme kerja Obat Anti Epilepsi
Pengelompokkan OAE berdasarkan neurobiologi dibagi menjadi:
a. Modulasi voltage gated ion channel atau membatasi cetusan yang lama
bertahan (sustained repetitive neuronal firing) melalui blokage pada
c. Inhibisi eksitasi sinaptik atau memblokade neurotransmiter eksitatorik
[image:54.595.114.513.161.317.2]glutamatergik.(Porter dkk, 2001)
Tabel 6. Mekanisme kerja obat anti epilepsi
Dikutip dari: Panayiotopoulos, C.P. 2010. Atlas of epilepsies. Springer-Verlag London Limited.
Voltage gated ion channel (termasuk natrium, kalium dan kalsium)
menentukan sub ambang perilaku listrik dari neuron, mengizinkan cetusan aksi
potensial, mengatur respon pada signal sinaps, konstribusi pada pergeseran
depolarisasi paroksismal, dan akhirnya perlu untuk melengkapi terjadinya letupan
bangkitan. Sebagai tambahan, voltage gated ion channel merupakan elemen
yang rumit pada pelepasan neurotransmiter sebagai syarat transmisi sinaps.
Konsekuensinya, ada target kunci untuk obat anti epilepsi yang akan
menghambat cetusan sinkronisasi dan penyebaran bangkitan. Inhibisi sinapsis
dan eksitasi dimediasi oleh saluran regulasi neurotransmiter; saluran ini
mengijinkan sinkronisasi gesekan neuron dan mengijinkan propagasi dari
cetusan abnormal pada lokal yang jauh. Obat anti epilepsi yang memodifikasi
mereka menghambat eksitasi sinaptik, mempunyai efek yang menonjol dalam
[image:55.595.113.373.170.610.2]penyebaran bangkitan.(Bittigau dkk. 2002)
Gambar 2. Aksi obat anti epilepsi pada inhibisi (A) dan eksitasi (B).
Adverse effect obat anti epilepsi dapat dibagi berdasarkan sistem organ
dan lebih secara kasar menjadi yang mempengaruhi susunan saraf pusat dan
[image:56.595.113.547.202.387.2]fungsinya dan yang mempengaruhi bagian tubuh lainnya. (Henry dkk, 2008).
Tabel 7. Adverse effect pemakaian obat anti epilepsi jangka panjang.
Tabel 8. Efek kejiwaan dan behavior OAE.
Dikutip dari: Panayiotopoulos, C.P. 2010. Atlas of epilepsies. Springer-Verlag London Limited.
II.5. HUBUNGAN ANTARA OBAT ANTI EPILEPSI DENGAN KOGNITIF DAN
BEHAVIOR
Pasien dengan epilepsi sering sekali mengalami disfungsi kognitif dan
gangguan behavior. Beragam faktor dapat mempengaruhi kognitif pada epilepsi
termasuk etiologi kejang, lesi serebral sebelum onset kejang, tipe kejang, umur
saat onset kejang, frekuensi, durasi dan keparahan kejang, disfungsi fisiologi
pengobatan epilepsi termasuk obat anti epilepsi (OAE) dan operasi epilepsi.
Semua faktor yang saling berhubungan ini berkonstribusi membuat kompleksnya
defisit kognitif. Pasien dan beberapa klinikus cenderung menyalahkan masalah
kognitif pada OAE karena lebih dapat diidentifikasi dibandingkan dengan faktor
lain. Stigma epilepsi dan ketakutan akan serangan kejang didepan umum dapat
menyebabkan kepercayaan diri rendah, isolasi sosial dan depresi, semua ini
dapat mempengaruhi negatif fungsi kognitif. Obat anti epilepsi dapat memberikan
pengaruh buruk terhadap fungsi kognitif dengan menekan perangsangan
neuronal atau mempertinggi neurotransmisi inhibitor. Efek utama kognitif obat
anti epilepsi adalah menganggu atensi, kewaspadaan dan kecepatan
psikomotorik tapi efek sekunder dapat bermanisfestasi pada fungsi kognitif yang
lain seperti memori. Walaupun, penggunaan jangka panjang OAE dapat secara
pasti mendatangkan disfungsi kognitif pada pasien epilepsi, efek kognitifnya yang
berakhir hingga setahun lamanya tidak memberikan bukti yang menyakinkan
sehubungan dengan masalah metodologi.(Sung-Pa Park, 2008 dan Ghaydaa
2009)
Kognitif dapat dipengaruhi secara kronik oleh obat anti epilepsi dengan
mensupresi kemampuan eksibilitas neuronal atau peningkatan neurotansmiter
inhibisi sehingga mengakibatkan pemburukkan atensi/konsentrasi, kewaspadaan
dan gangguan kecepatan psikomotorik. Carbamazepine, asam valproat
berhubungan dengan resiko yang lebih kecil terkena depresi dan dilain pihak
dapat meningkatkan mood yang berhubungan dengan efek serotonergic pada
obat ini.(Panaylotopoulos, 2010)
berdasarkan empiris, serangkaian kasus kecil atau laporan anekdot. Beberapa
penelitian menyatakan adanya hubungan phenobarbital dengan efek samping
iritabel dan perilaku agresif. Bettina, 2006)
Obat anti epilepsi memiliki keduanya efek negatif dan positif terhadap
kognitif dan behavior. Obat anti epilepsi dapat meningkatkan kognitif dan
behavior dimana berkaitan dengan pengurangan aktifitas kejang dan efek
modulasi pada neurotransmiter dan efek psikotropi. Obat anti epilepsi
mengurangi iritabilitas neuron dan meningkatkan inhibisi postsinaptik atau
mengubah sinkronisasi jaringan saraf untuk menurunkan eksitabilitas neuron
yang berlebihan terkait dengan perkembangan bangkitan dan penyebaran
sekunder aktifitas epilepsi ke sekitar jaringan otak normal. Namun, pengurangan
berlebihan eksitabilitas neuronal dapat mengakibatkan kecepatan motorik dan
psikomotorik melambat, dan atensi buruk dan terganggu pengolahan memori,
yang merupakan efek samping umum pada blokade sodium channel dan
peningkatan aktivitas inhibisi GABAergik (Ghaydaa, 2009)
Suatu studi yang menilai kemunduran kognitif dengan menggunakan
Sternberg test kemudian dilakukan fMRI menemukan bahwa working memory
berhubungan dengan aktivasi spesifik korteks frontal dorsolateral, kortikal lainnya
dan area thalamus juga teraktivasi saat melakukan tes tersebut termasuk korteks
cingulate anterior yang berhubungan dengan fungsi eksekutif dan korteks
parietal posterior berhubungan dengan attention. (Aldenkamp, 2005)
Beberapa obat anti epilepsi meningkatkan konsentrasi GABA di kortikal
area dorsolateral termasuk area broca dapat sebagai penyebab pemburukkan
produksi bahasa. Penggunaan obat anti epilepsi dengan aksi primer tidak pada
GABAergic neurotransmission seperti lamotrigine dapat berhubungan dengan
pemburukkan kognitif dan behavior yang lebih kecil. (Aldenkamp, 2005)
Terapi dengan obat anti epilepsi memberi efek terhadap behavior dan
kejiwaan meskipun hubungan anatomi dan biokimiawi yang tepat belum dketahui
sepenuhnya. Obat anti epilepsi secara umum diklasifikasikan oleh apakah
mereka mempunyai efek positif dan negatif pada fungsi behavior dan kejiwaan.
Kemungkinan efek negatif yaitu depresi (Levetiracetam, Tiagabine, Topiramat
dan Vigabatrin), irritabilitas (Felbamate Levetiracetam dan Vigabatrin),
hiperaktifitas & impulsif (Phenobarbital), aggresif (Lamotrigine, Phenobarbital,
Topiramat dan Vigabatrin) dan psikosis (Levetiracetam dan Topiramat)
sedangkan efek positif yaitu stabilisasi mood (Carbamazepine, Lamotrigine),
anti-mania (Carbamazepine dan Asam valproat) dan menurunkan ansietas
(Gabapentin, Phenobarbital dan Pregabaline). Efek obat anti epilepsi pada
kejiwaan pasien dapat berhubungan dengan dosis atau idiosinkronisasi dan
mungkin muncul secara bebas dari efeknya terhadap frekuensi bangkitan dan
keparahan epilepsinya.(Panayiotopoulo, 2010)
Walaupun mekanisme bagaimana OAE dapat mempengaruhi behavior
masih belum diketahui secara pasti. Namun, terdapat beberapa teori yang
mendukung hal diatas. Phenitoin dapat menginduksi perburukkan fungsi behavior
oleh karena penurunan aktifitas enzim asetilkolinesterase di hippokampus,
serebellum dan korpus striatum. Efek phenobarbital terhadap behavior akibat
penurunan pelepasan neurotransmiter dan eksitasi postsinaptik dengan cara
GABA. Efek carbamazepine terhadap behavior yang menguntungkan
disebabkan beberapa faktor, yaitu: 1) Struktur CBZ yang mirip dengan tricyclic
antidepresant, 2) Efek stabilisasi pada sistem limbik yang dimediasi oleh
pelemahan neurotransmiter eksitatorik glutamanergik dan pengurangan
discharge neuronal paroksismal di sistem limbik. 3) Penuruanan turnover
dopamin dan norepinefrin, 4) Efek meningkat pada serotonin. Sedangkan efek
asam valproat yang menguntungkan behavior adalah 1) Efek