• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Universitas Sumatera Utara - Hubungan Antara Obat Anti Epilepsi Dengan Kognitif Dan Behavior Pada Pasien Epilepsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA Universitas Sumatera Utara - Hubungan Antara Obat Anti Epilepsi Dengan Kognitif Dan Behavior Pada Pasien Epilepsi"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

Dengan mengetahui hubungan antara obat anti epilepsi dengan kognitif dan behavior bisa menjadi dasar pertimbangan dalam pemilihan jenis obat anti epilepsi demi tercapai kualitas hidup penderita yang lebih baik.

BAB II

(2)

II.1. FUNGSI KOGNITIF

Kognitif berasal dari bahasa latin ”cognoscere” yang artinya

together

(co) dan

know

(nos). Kognitif termasuk sebagai sifat sensasi,

berpikir, persepsi,

arousal

dan kesadaran.(Whitehouse, 2006)

Fungsi Kognitif adalah merupakan aktivitas mental secara sadar

seperti berpikir, mengingat, belajar, dan menggunakan bahasa. Fungsi

kognitif juga merupakan kemampuan atensi, memori, pertimbangan,

pemecahan masalah, serta kemampuan eksekutif seperti merencanakan,

menilai, mengawasi, dan melakukan evaluasi.(Strub dkk, 2000; Rizzo dkk,

2004).

Fungsi kognitif terdiri dari :

1. Atensi

Atensi merupakan kemampuan untuk bereaksi atau memperhatikan satu stimulus tertentu (spesifik) dengan mampu mengabaikan stimulus lain baik internal atau eksternal yang tidak dibutuhkan. Setelah menentukan kesadaran, pemeriksaan atensi harus dilakukan saat awal pemeriksaan neurobehavior karena pemeriksaan modalitas kognitif lainnya sangat dipengaruhi oleh atensi yang cukup terjaga. (Rizzo dkk, 2004)

(3)

tidak atensi sama sekali, dan kedua inatensi spesifik unilateral terhadap stimulus pada sisi tubuh kontralateral lesi otak.(Rizzo dkk, 2004)

2. Bahasa

Bahasa merupakan perangkat dasar komunikasi dan modalitas dasar yang membangun kemampuan fungsi kognitif. Oleh karena itu pemeriksaan bahasa harus dilakukan pada awal pemeriksaan neurobehavior. Jika terdapat gangguan bahasa, pemeriksaan kognitif seperti memori verbal, fungsi eksekutif akan mengalami kesulitan atau tidak mungkin dilakukan.(Rizzo dkk, 2004)

Gangguan bahasa (afasia) sering terlihat pada lesi otak fokal maupun difus, sehingga merupakan gejala patognomonik disfungsi otak. Penting bagi klinikus untuk mengenal gangguan bahasa karena hubungan yang spesifik antara sindroma afasia dengan lesi neuroanatomi. Kemampuan berkomunikasi menggunakan bahasa penting, sehingga setiap gangguan berbahasa akan menyebabkan hendaya fungsional.(Rizzo dkk, 2004)

3. Memori

Memori adalah proses bertingkat dimana informasi pertama kali harus dicatat dalam area korteks sensorik kemudian diproses melalui sistem limbik untuk terjadinya pembelajaran baru. Secara klinik memori dibagi menjadi tiga tipe dasar : immediate, recent, dan remote memory berdasarkan rentang waktu antara stimulus dan recall (Rizzo dkk, 2004)

(4)

b. Recent memory merupakan kemampuan untuk mengingat kejadian sehari-hari (misalnya tanggal, nama dokter, apa yang dimakan saat sarapan, atau kejadian-kejadian baru) dan mempelajari materi baru serta mencari materi dalam rentang waktu menit, jam, hari, bulan, tahun.

c. Remote memory merupakan rekoleksi kejadian yang terjadi bertahun tahun yang lalu (misalnya tanggal lahir, sejarah, nama teman).

Gangguan memori merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan pasien. Amnesia secara umum merupakan efek fungsi memori. Ketidak mampuan untuk mempelajari materi baru setelah brain insult disebut amnesia anterograd. Amnesia anterograd merujuk pada amnesia kejadian yang terjadi sebelum brain insult. Hampir semua pasien demensia menunjukkan masalah memori pada awal perjalanan penyakitnya. Tidak semua gangguan memori merupakan gangguan organik. Pasien depresi dan ansietas sering mengalami kesulitan memori. Amnesia psikogenik jika amnesia hanya pada satu periode tertentu, dan pada pemeriksaan tidak dijumpai defek pada recent memory.(Rizzo dkk, 2004)

4. Visuospasial

(5)

mempunyai peran yang paling dominan. Menggambar jam sering digunakan untuk skrining kemampuan visuospasial dan fungsi eksekutif dimana berkaitan dengan gangguan di lobus frontal dan parietal.(Rizzo dkk, 2004)

5. Fungsi Eksekutif

Fungsi eksekutif adalah kemampuan kognitif tinggi seperti cara berpikir dan kemampuan pemecahan masalah. Kemampuan eksekusi diperankan oleh lobus frontal, tetapi pengalaman klinis menunjukkan bahwa semua sirkuit yang terkait dengan lobus frontal juga menyebabkan sindroma lobus frontal. Diperlukan atensi, bahasa, memori dan visuospasial sebagai dasar untuk menyusun kemampuan kognitif. (Kolegium Neurologi Indonesia, 2008a )

Pemburukkan kognitif ada yang bersifat normal yang banyak ditemukan pada warga usia lanjut secara fisiologis karena faktor penuaan dan dianggap tidak ada hubungannya dengan Alzheimer, yang disebut forgetfulness. (Sjahrir,1999) Dan kondisi ini disebut juga Age-associated memory impairment, dimana salah satu kriteria diagnostik inti adalah usia paling sedikit 50 tahun. (Crook, 2006) Berbagai penelitian menemukan angka kejadian forgetfulness 39% pada usia 50-59 tahun. (Sjahrir, 1999) sedangkan menurut Thomas Crook angka kejadian Age-associated memory impairment adalah 46%.(Crook, 2006)

II.1.1. Assesmen kognitif

(6)

Pemeriksaan dikembangkan pada pertengahan 1970-an oleh Folstein. Mini-mental state examination telah digunakan secara luas untuk literatur klinik atau epidemiologi sehingga MMSE merupakan instrumen skrining kognitif yang paling luas digunakan. Dimana lama tes ini hanya membutuhkan waktu sekitar 5 menit dan menilai enam domain yaitu: orientasi, bahasa, atensi/konsentrasi, working memory, memori jangka pendek dan constructional copy.(Rizzo dkk, 2004)

Sensitifitas MMSE untuk mendeteksi pemburukkan kognitif meningkat ketika skor cut-off (26-28) digunakan atau ketika dilakukan adjustment terhadap umur dan pendidikan. Walaupun skor cut-off untuk dementia secara umum adalah dibawah 24, skor median bervariasi tergantung umur dan lama pendidikan.(Fink, 2004)

Tabel 1. Skor median MMSE adjustment terhadap usia dan lama pendidikan.

Lama pendidikan

Usia (tahun)

(7)

Dikutip dari: Fink, Vivian. 2004. “Mild Cognitive Impairment : Pre-Alzheimers disease state provides opportunity for early detection and possible treatment”. The Institute For medical Education Bulletin V(6):1-11

Sebuah studi yang dilakukan pada 473 orang sehat yang berumur lebih dari 15 tahun dengan latar belakang pekerjaan dan pendidikan yang beragam di Medan didapatkan skor median MMSE berdasarkan usia dan lama pendidikan sebagai berikut:(Sjahrir dkk, 2001)

Tabel 2. Skor median MMSE

Median

(8)

2. Digit span atau Digit repetition

Level dasar atensi pasien dapat dengan mudah ditentukan dengan menggunakan tes ini. Penampilan prima pada tes ini menjamin bahwa pasien mampu memusatkan perhatian terhadap stimulus verbal dan atensi terus-menerus untuk periode waktu yang dibutuhkan untuk mengulang deretan angka tersebut. Tes ini tidak dapat dilakukan pada pasien yang mengalami gangguan bahasa. Penilaian digit span berdasarkan berapa banyak angka yang dapat diulang dengan urutan yang benar. Pasien dengan intelegensia rata-rata dapat mengulang angka dengan akurat lima hingga tujuh angka tanpa kesulitan. Pasien non-retardasi mental tidak dapat mengulang lebih atau sama dengan lima mengindikasikan atensi kurang baik.(Strub dkk, 2000)

II.2. BEHAVIOR

(9)

melalui komunikasi. Pada otak, input sensori, representing dunia eksternal diintegrasikan dengan drivers stimulus internal, memori dan emosional di association units, dimana akan memberi umpan balik pada aktifitas motorik. Bila terjadi distorsi yang diintrodusir oleh psikopatologi pada fungsi asosiasi otak maka akan terjadi gangguan psikiatri.(Sadock dkk, 2007)

Behavior adalah respon total jiwa termasuk gerak hati, motivasi, hasrat, drives, insting dan idaman seperti diekspresikan dengan tingkah laku seseorang dan aktivitas motorik (konasi), sedangkan emosi adalah suatu kompleks keadaan perasaan dengan komponen psikis, somatik dan perilaku yang berhubungan dengan afek dan mood.(Sadock dkk, 2007)

Kehidupan mental diekspesikannya secara kelihatan sebagai tingkah laku verbal dan gestural dan perubahan somatik dimana secara kolektif dihubungkan sebagai behavior. Tingkah laku gestural pada konteks ini mencakup behavior non-verbal dan motorik. Behavior merupakan manisfestasi pikiran orang lain maka ia jelas dapat diamati dan dinilai. Kognitif, emosi dan motivasi merupakan dasar kehidupan mental normal. Kognitif mengacu pada proses informasi, yang mana pengetahuan diperoleh, disimpan, dimanipulasi, didapat kembali dan digunakan oleh individu sebagai instrumen dan adaptasi dalam lingkungan yang kompleks. Mind dan behavior merupakan produk interaksi kompleks yang melibatkan sistem proyeksi neural regional dan yang luas.(Rizzo dkk, 2004)

(10)

dibuat marah sedangkan depresi adalah perasaan kesedihan yang psikopatologis.(Sadock dkk, 2007)

Gejala emosi yang lain adalah ansietas yaitu perasaan ketakutan yang disebabkan oleh dugaan bahaya / anticipation of danger, yang mungkin berasal dari dalam atau luar.(Sadock dkk, 2007)

II.2.1. The Beck Scales

Dua buah inventori self-report ditulis oleh Aaron Beck memperoleh popularitas diseluruh dunia sebagai alat ukur yang informatif dan cocok aspek mood dan emosi. The beck Depression Inventory (BDI, 1987) memberikan suatu metode mudah dan cepat untuk mengukur beragam gejala dan keluhan depresi termasuk kognitif, behavioral dan masalah somatik. Beck Depression Inventory sangat berguna dalam menetapkan kehadiran dan keparahan keluhan depresi walaupun tidak memberikan informasi mengenai durasinya. The Beck Anxiety Inventory (BAI) merupakan paralel dalam bentuk terhadap BDI, dan berfokus khusus pada keluhan yang berhubungan dengan ansietas. Sama seperti BDI, BAI mudah dan cepat untuk dilakukan dan memberikan informasi yang berguna tentang pasien dan partisipan penelitian mengenai status terkini ansietas dan kerentanan umum terhadap ansietas.(Rizzo dkk, 2004)

(11)

kemampuan bekerja dan kekuatiran tentang kesehatan mungkin secara jelas dipengaruhi oleh keluhan kelainan neurologi.(Rizzo dkk, 2004)

II.3. EPILEPSI

II.3.1. Definisi

Epilepsi merupakan suatu kumpulan penyakit kompleks otak dimana melibatkan rentang lebar manifestasi klinis dan banyak variasi penyebabnya. International League Againts Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for Epilepsy (IBE) menetapkan definisi epilepsi sebagai suatu kejadian sementara gejala dan/atau keluhan yang berhubungan dengan aktifitas neuron berlebihan atau synchronous yang abnormal di otak. Walaupun terdapat perselisihan kecil dengan definisi ini, terdapat catatan berharga bahwa bangkitan epilepsi tidaklah sesederhana hasil langsung dari eksitasi yang meningkat.(Panayiotopoulos, 2010)

(12)

Dikenal juga istilah penyakit epilepsi yang merupakan suatu keadaan patologik dengan satu etiologi yang spesifik.(Kelompok studi epilepsI, 2011).

II.3.2. Epidemiologi

Pada tahun 2004, WHO memperkirakan bahwa hampir 80% dari beban epilepsi di seluruh dunia ditanggung oleh sumber daya di negara miskin. Di negara maju, angka prevalensi seumur hidup untuk epilepsi berkisar 3,5-10,7 per 1.000 orang/tahun, dan rentang angka insiden 24-53 per 100.000 orang/tahun. Pada systemic review terkini, angka prevalensi seumur hidup untuk epilepsi aktif bervariasi 1,5 -14 per 1.000 orang/tahun di Asia, 5,1-57,0 per 1.000 orang/tahun di Amerika Latin, dan 5,2-74,4 per 1.000 orang/tahun di Afrika. Angka median prevalensi seumur hidup di Asia (6 per 1.000 orang/tahun) lebih rendah daripada di Afrika dan Amerika Latin (masing-masing 15 dan 18 per 1.000 orang/tahun). Angka insiden tahunan untuk epilepsi di Asia (29-60 per 100.000 orang/tahun) tidak berbeda secara signifikan dengan negara maju.(Meyer dkk, 2010)

Berapa banyak pasien epilepsi di Indonesia, sampai sekarang belum tersedia data hasil studi berbasis populasi. Bila dibandingkan dengan negara berkembang lain dengan tingkat ekonomi sejajar, probabilitas penyandang epilepsi di Indonesia sekitar 0,7-1,0% dan bila jumlah penduduk sekitar 220 juta maka 1,5-2 juta orang kemungkinan mengidap epilepsi dengan kasus baru 250.000 pertahun.(Hawari, 2012)

(13)

bangkitan tunggal unprovoked akan mengalami bangkitan kedua diatas lima tahun berikutnya. Tanpa terapi, setelah bangkitan kedua, sekitar 75% akan mengalami bangkitan yang lain dalam satu atau dua tahun berikutnya. Epilepsi simtomatik mempunyai rasio mortalitas lebih tinggi dibanding epilepsi idiopatik.(Nadir dkk, 2005)

Bangkitan secara dependen umur, pola bimodal dengan puncak awal pada insiden selama tahun pertama kehidupan dan kemudian terus menerus meningkat pada insiden sekitar umur 60 tahun dimana jauh melebihi insiden pada semua golongan umur yang lain.(Hiba, 2010)

II.3.3. Klasifikasi

(14)

Tabel 3. Klasifikasi Epilepsi

Dikutip dari: Habibi, Mitra. 2009. Refractory Epilepsy. US Pharm. 34:8-14

II.3.4. Hubungan antara Epilepsi dengan Kognitif dan behavior

Pemburukkan kognitif dan behavior telah diobservasi sebagai konsekuensi adanya bangkitan. Adanya pemburukkan kognitif dan gangguan behavior sering berhubungan dengan kerusakkan struktur otak. Penting secara khusus pada epilepsi simtomatik dimana terdapat penyebab yang mendasari kerusakkan otak tersebut seperti trauma kepala, stroke atau alcoholism-related epilepsy. Kerusakkan otak juga dapat disebabkan oleh bangkitan kejang yang tidak terkontrol. (Aldenkamp dkk, 2005)

(15)

sering berhubungan dengan defek memori dan epilepsi lobus frontalis dengan defisit fungsi eksekutif sedangkan masalah bahasa lebih sering terlihat pada epilepsi fokal dimana berlokasi pada hemisfer dominan. Berbeda dengan epilepsi umum idiopatik lebih jarang berhubungan dengan pemburukkan intelektual.(Aldenkamp dkk, 2005)

Umur saat onset juga tampaknya menjadi faktor yang krusial pada dampak epileps terhadap kognitif dan behavior , dimana onset bangkitan sebelum berumur 5 tahun tampaknya menjadi faktor resiko untuk IQ rendah sementara berbeda dengan keluhan behavior yang muncul pada late seizure onset.(Aldenkamp dkk, 2005)

Depresi interiktal merupakan keadaan yang biasa, namum prevalensi yang pasti belum diketahui. Tampaknya depresi cenderung timbul sekitar sepuluh tahun setelah onset epilepsi. Beragam faktor penyebab telah diajukan terhadap perkembangan depresi tetapi etiologinya kebanyakkan adalah multifaktorial. Riwayat keluarga depresi telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Beberapa studi menemukan depresi lebih sering pada penderita bangkitan parsial kompleks khususnya epilepsi lobus temporal.(Rizzo dkk, 2004)

II.4. OBAT ANTI EPILEPSI (OAE)

II.4.1. Sejarah Obat Anti Epilepsi

(16)

pengobatan epilepsi. Pada tahun 1912, phenobarbital pertama kali digunakan untuk terapi epilepsi, dan 25 tahun berikutnya, 35 analog phenobarbital dipelajari sebagai antikejang. Pada tahun 1938, phenitoin ditemukan efektif melawan bangkitan pada kucing.(Porter dkk, 2001)

Antara 1935 dan 1960, langkah hebat diciptakan pada pengembangan model eksperimental dan metode untuk skrining dan tes obat ati epilepsi baru. Selama periode tersebut, 13 obat anti epilepsi dikembangkan dan dipasarkan. Menyusul pengumunan kewajiban untuk membuktikan drug efficacy pada tahun 1962, pengembangan obat anti kejang menurun dramatis, dan hanya sedikit obat baru yang ditemukan dan dipasarkan dalam 3 dekade berikutnya. Namun, serentetan komposisi obat baru bermunculan pada era tahun 1990-an.(Porter dkk, 2001)

Obat anti epilepsi sering dikelompokkan menjadi agen lama (berkembang sebelum tahun 1990-an) dan agen terbaru (dikenalkan selama tahun 1990-an atau kemudian). Dimana OAE agen lama/klasik adalah phenitoin (PHT), carbamazepine (CBZ), sodium valproat (VPA), phenobarbital (PB) dan benzodiazepine sementara agen terbaru adalah felbamate (FBM), gabapentin (GBP), lamotrigine (LTG), oxcarbazepine (OXC), topiramate (TPM), tiagabine (TGB), vigabatrin (VGB), zonisamide (ZNS), pregabalin (PGB) dan levetiracetam (LEV).(Sung-Pa dkk, 2008)

(17)

Hingga tahun 1990, 16 anti epilepsi telah ada, dan 13 diantaranya diklasifikasikan kedalam 5 kel. kimiawi, yaitu: barbiturat, hydantoin, oxazolidinediones, succinimides dan acetylureas.(Porter dkk, 2001)

Gambar 1. Struktur kimiawi obat anti epilepsi.

Dikutip dari: Lullmann, H., Mohr, K., Ziegler, A., Bieger, D. 2000. Color Atlas of Pharmacology. New York. Theme Stuutgart.

(18)

Tabel 4. Parameter farmakokinetik obat anti epilepsi.

Dikutip dari: Henry, J.C., Gross, R.A. 2008. ”Epilepsy”. Principles of drugs theraphy in Neurology. Johnston, Michael. New York. Oxford Univesity Press.

(19)

Tabel 5. Dosis obat anti epilepsi

Dikutip dari: Panayiotopoulos, C.P. 2010. Atlas of epilepsies. Springer-Verlag London Limited.

II.4.3. Mekanisme kerja Obat Anti Epilepsi

Pengelompokkan OAE berdasarkan neurobiologi dibagi menjadi:

a. Modulasi voltage gated ion channel atau membatasi cetusan yang lama bertahan (sustained repetitive neuronal firing) melalui blokage pada voltage dependent sodium channel.

(20)

c. Inhibisi eksitasi sinaptik atau memblokade neurotransmiter eksitatorik glutamatergik.(Porter dkk, 2001)

Tabel 6. Mekanisme kerja obat anti epilepsi

Dikutip dari: Panayiotopoulos, C.P. 2010. Atlas of epilepsies. Springer-Verlag London Limited.

(21)

mereka menghambat eksitasi sinaptik, mempunyai efek yang menonjol dalam penyebaran bangkitan.(Bittigau dkk. 2002)

Gambar 2. Aksi obat anti epilepsi pada inhibisi (A) dan eksitasi (B).

Dikutip dari : Stafstrom, C.E. 1998. The pathophysiology of epileptic seizure: a primer for pediatrician. Pediatrics in review. 19(10):342-35

(22)

Adverse effect obat anti epilepsi dapat dibagi berdasarkan sistem organ dan lebih secara kasar menjadi yang mempengaruhi susunan saraf pusat dan fungsinya dan yang mempengaruhi bagian tubuh lainnya. (Henry dkk, 2008).

Tabel 7. Adverse effect pemakaian obat anti epilepsi jangka panjang.

(23)

Tabel 8. Efek kejiwaan dan behavior OAE.

Dikutip dari: Panayiotopoulos, C.P. 2010. Atlas of epilepsies. Springer-Verlag London Limited.

II.5. HUBUNGAN ANTARA OBAT ANTI EPILEPSI DENGAN KOGNITIF DAN

BEHAVIOR

(24)

pengobatan epilepsi termasuk obat anti epilepsi (OAE) dan operasi epilepsi. Semua faktor yang saling berhubungan ini berkonstribusi membuat kompleksnya defisit kognitif. Pasien dan beberapa klinikus cenderung menyalahkan masalah kognitif pada OAE karena lebih dapat diidentifikasi dibandingkan dengan faktor lain. Stigma epilepsi dan ketakutan akan serangan kejang didepan umum dapat menyebabkan kepercayaan diri rendah, isolasi sosial dan depresi, semua ini dapat mempengaruhi negatif fungsi kognitif. Obat anti epilepsi dapat memberikan pengaruh buruk terhadap fungsi kognitif dengan menekan perangsangan neuronal atau mempertinggi neurotransmisi inhibitor. Efek utama kognitif obat anti epilepsi adalah menganggu atensi, kewaspadaan dan kecepatan psikomotorik tapi efek sekunder dapat bermanisfestasi pada fungsi kognitif yang lain seperti memori. Walaupun, penggunaan jangka panjang OAE dapat secara pasti mendatangkan disfungsi kognitif pada pasien epilepsi, efek kognitifnya yang berakhir hingga setahun lamanya tidak memberikan bukti yang menyakinkan sehubungan dengan masalah metodologi.(Sung-Pa Park, 2008 dan Ghaydaa 2009)

Kognitif dapat dipengaruhi secara kronik oleh obat anti epilepsi dengan mensupresi kemampuan eksibilitas neuronal atau peningkatan neurotansmiter inhibisi sehingga mengakibatkan pemburukkan atensi/konsentrasi, kewaspadaan dan gangguan kecepatan psikomotorik. Carbamazepine, asam valproat berhubungan dengan resiko yang lebih kecil terkena depresi dan dilain pihak dapat meningkatkan mood yang berhubungan dengan efek serotonergic pada obat ini.(Panaylotopoulos, 2010)

(25)

berdasarkan empiris, serangkaian kasus kecil atau laporan anekdot. Beberapa penelitian menyatakan adanya hubungan phenobarbital dengan efek samping iritabel dan perilaku agresif. Bettina, 2006)

Obat anti epilepsi memiliki keduanya efek negatif dan positif terhadap kognitif dan behavior. Obat anti epilepsi dapat meningkatkan kognitif dan behavior dimana berkaitan dengan pengurangan aktifitas kejang dan efek modulasi pada neurotransmiter dan efek psikotropi. Obat anti epilepsi mengurangi iritabilitas neuron dan meningkatkan inhibisi postsinaptik atau mengubah sinkronisasi jaringan saraf untuk menurunkan eksitabilitas neuron yang berlebihan terkait dengan perkembangan bangkitan dan penyebaran sekunder aktifitas epilepsi ke sekitar jaringan otak normal. Namun, pengurangan berlebihan eksitabilitas neuronal dapat mengakibatkan kecepatan motorik dan psikomotorik melambat, dan atensi buruk dan terganggu pengolahan memori, yang merupakan efek samping umum pada blokade sodium channel dan peningkatan aktivitas inhibisi GABAergik (Ghaydaa, 2009)

Suatu studi yang menilai kemunduran kognitif dengan menggunakan Sternberg test kemudian dilakukan fMRI menemukan bahwa working memory berhubungan dengan aktivasi spesifik korteks frontal dorsolateral, kortikal lainnya dan area thalamus juga teraktivasi saat melakukan tes tersebut termasuk korteks cingulate anterior yang berhubungan dengan fungsi eksekutif dan korteks parietal posterior berhubungan dengan attention. (Aldenkamp, 2005)

(26)

area dorsolateral termasuk area broca dapat sebagai penyebab pemburukkan produksi bahasa. Penggunaan obat anti epilepsi dengan aksi primer tidak pada GABAergic neurotransmission seperti lamotrigine dapat berhubungan dengan pemburukkan kognitif dan behavior yang lebih kecil. (Aldenkamp, 2005)

Terapi dengan obat anti epilepsi memberi efek terhadap behavior dan kejiwaan meskipun hubungan anatomi dan biokimiawi yang tepat belum dketahui sepenuhnya. Obat anti epilepsi secara umum diklasifikasikan oleh apakah mereka mempunyai efek positif dan negatif pada fungsi behavior dan kejiwaan. Kemungkinan efek negatif yaitu depresi (Levetiracetam, Tiagabine, Topiramat dan Vigabatrin), irritabilitas (Felbamate Levetiracetam dan Vigabatrin), hiperaktifitas & impulsif (Phenobarbital), aggresif (Lamotrigine, Phenobarbital, Topiramat dan Vigabatrin) dan psikosis (Levetiracetam dan Topiramat) sedangkan efek positif yaitu stabilisasi mood (Carbamazepine, Lamotrigine), anti-mania (Carbamazepine dan Asam valproat) dan menurunkan ansietas (Gabapentin, Phenobarbital dan Pregabaline). Efek obat anti epilepsi pada kejiwaan pasien dapat berhubungan dengan dosis atau idiosinkronisasi dan mungkin muncul secara bebas dari efeknya terhadap frekuensi bangkitan dan keparahan epilepsinya.(Panayiotopoulo, 2010)

Walaupun mekanisme bagaimana OAE dapat mempengaruhi behavior masih belum diketahui secara pasti. Namun, terdapat beberapa teori yang mendukung hal diatas. Phenitoin dapat menginduksi perburukkan fungsi behavior oleh karena penurunan aktifitas enzim asetilkolinesterase di hippokampus, serebellum dan korpus striatum. Efek phenobarbital terhadap behavior akibat penurunan pelepasan neurotransmiter dan eksitasi postsinaptik dengan cara

(27)

GABA. Efek carbamazepine terhadap behavior yang menguntungkan disebabkan beberapa faktor, yaitu: 1) Struktur CBZ yang mirip dengan tricyclic antidepresant, 2) Efek stabilisasi pada sistem limbik yang dimediasi oleh pelemahan neurotransmiter eksitatorik glutamanergik dan pengurangan discharge neuronal paroksismal di sistem limbik. 3) Penuruanan turnover dopamin dan norepinefrin, 4) Efek meningkat pada serotonin. Sedangkan efek asam valproat yang menguntungkan behavior adalah 1) Efek GABA-ergic dimana terjadi peningkatan neurotransmisi dan regulasi reseptor b GABA yang memodulasi aktifitas noradrenergik yang memegang peranan penting gangguan afek bipolar, 2) Pengurangan aktifitas glutamat dekarbosilase di korteks frontal, 3) Pengurangan GABA di cairan liquor serebri. (Kantoush dkk, 1998)

(28)

II.6. KERANGKA TEORI

Penurunan irritability neuron memberikan efek behavior dan penurunan kognitif

PENURUNAN

IRRITABILITY

Clare, 2011

Penurunan kognitif & gangguan behavior

→ menurunkan kualitas hidup pasien.

Ghaydaa, 2009 Buruk → digit forward,

immeddiate memory. Durasi OAE → memori objek

Sung-Pa, 2008

Studi paralel pada onset baru epilepsi → sedikit perubahan kognitif setelah di th/ OAE.

Palanisamy dkk, 2011

MMSE lebih buruk pada pasein epilepsi telah th/

Perucca dkk, 2011 Tidak terdapat perbedaan

adverse effect profile

signifikan setelah pasien epilepsi diterapi OAE.

Loring & Meador, 2009

Marco, 2009 Depresi, psikosis, ansietas dan perubahan prilaku. Loring dan Meador, 2009

CBZ, PHT → gangguan memori

Hiba dkk, 2010 Gangguan psikiatri 2 - 4,9%.

Carbamazepine tidak menyebabkan gangguan psikiatri.

Asam valproat → Kognitif

(29)

II.7. KERANGKA KONSEP

Depresi rendah → CBZ Depresi tinggi → PB

Panaylotopoulos, 2010 CBZ & PHT → resiko lebih kecil terkena depresi & meningkatkan mood Hiba dkk,

2010 GBP → psikiatri

(30)

Kognitif

Gambar

Tabel 1. Skor median MMSE adjustment terhadap usia dan lama pendidikan.
Tabel 2. Skor median MMSE
Tabel 3. Klasifikasi Epilepsi
Gambar 1. Struktur kimiawi obat anti epilepsi.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam akuntansi biaya, umumnya penggolongan biaya ditentukan atas dasar tujuan yang hendak dicapai dengan penggolongan tersebut, karena dalam akuntansi

Konselor SFBC diinvestasikan dalam membantu konseli menemukan cara berpikir menjadi yang baru, melakukan dan mengintegrasikan intervensi seni kreatif dalam metode inovatif

Dengan adanya kemajuan Tekhnologi di dunia ini akal pikiran manusia semakin mahir dalam menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan mereka, salah satunya dalam

Bahan baku yang kami pergunakan dalam proses produksi ialah telur

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber... SIMULASI DYNAMIC ROUTING MENGGUNAKAN ANT ROUTING DI GEDUNG GIRI SANTIKA

Hasil penelitian pada aliran satu fase horizontal menunjukkan bahwa pada pipa dengan groove berjumlah 2, 8 dan 32 aliran fluida mengalami pengurangan gesekan karena ukuran

Aplikasi Smart Election mampu melakukan pengelolaan data yang berkaitan dengan pemilihan umum yaitu data kandidat calon yang akan dipilih. Aplikasi Smart Election mampu

Kemampuan siswa dalam memanfaatkan media sosial yang mereka miliki untuk menjalin relasi sosial dilihat dari jumlah pertemanan yang mereka miliki, frekuensi mereka dalam