HUBUNGAN ANTARA OBAT ANTI EPILEPSI DENGAN KOGNITIF DAN BEHAVIOR PADA PASIEN EPILEPSI
TESIS
SISKA IMELDA TAMBUNAN NIM: 107112006
PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK SPESIALIS ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
HUBUNGAN ANTARA OBAT ANTI EPILEPSI DENGAN KOGNITIF DAN
BEHAVIORPADA PASIEN EPILEPSI
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Kedokteran Klinis Spesialis Saraf Pada
Program Studi Magister Kedokteran Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Oleh
SISKA IMELDA TAMBUNAN NIM: 107112006
PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK SPESIALIS ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013
Judul Tesis : Hubungan Antara Obat Anti Epilepsi Dengan Kognitif Dan Behavior Pada Pasien Epilepsi
Nama Mahasiswa : Siska Imelda Tambunan Nomor Induk Mahasiswa : 107112006
Program Magister : Magister Kedokteran Klinik Konsentrasi : Ilmu Penyakit Saraf
Menyetujui
Komisi Pembimbing
Prof. DR. dr. Hasan Sjahrir, Sp.S (K) Ketua
Ketua Program Studi
dr. Yuneldi Anwar, Sp.S (K)
Ketua TKP PPDS I
dr. Zainuddin Amir,Sp.P (K)
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Tesis : HUBUNGAN ANTARA OBAT ANTI EPILEPSI DENGAN KOGNITIF DAN BEHAVIOR PADA PASIEN EPILEPSI
Nama : SISKA IMELDA TAMBUNAN
NIM : 107112006
Program Studi : ILMU PENYAKIT SARAF
Menyetujui
Pembimbing I : Dr. Rusli Dhanu, Sp.S(K) ...
Pembimbing II : Dr. Kiki M. Iqbal, SpS ...
Pembimbing III : Dr. Alfansuri Kadri, SpS ...
Mengetahui / Mengesahkan :
Ketua Departemen / SMF Ilmu Penyakit Saraf FK USU/RSUPHAM Medan
dr. Rusli Dhanu, Sp.S (K) NIP. 19530916 198203 1 003
Ketua Program Studi/ SMF Ilmu Penyakit Saraf
FK USU/ RSUP HAM Medan
dr. Yuneldi Anwar , Sp.S (K)
NIP. 19530601 198103 1 004
Telah diuji pada
Tanggal : Selasa, 02 April 2013
PANITIA PENGUJI TESIS
1. Prof. DR. dr. Hasan Sjahrir,Sp.S(K)
2. Prof. dr. Darulkutni Nasution,Sp.S(K) (Penguji) 3. dr. Darlan Djali Chan,Sp.S 4. dr. Yuneldi Anwar,Sp.S(K) (Penguji) 5. dr. Rusli Dhanu,Sp.S(K)
6. dr. Kiking Ritarwan,MKT,Sp.S(K) (Penguji) 7. dr. Aldy S Rambe,Sp.S(K) (Penguji) 8. dr. Puji Pinta O. Sinurat, Sp.S
9. dr. Khairul P. Surbakti,Sp.S
10. dr. Cut Aria Arina,Sp.S 11. dr. Kiki M. Iqbal,Sp.S
12. dr. Alfansuri Kadri,Sp.S 13. dr. Aida Fithrie, Sp.S
14. dr.Irina Kemala Nasution, Sp.S 15. dr.Haflin Soraya Hutagalung, Sp.S
16. dr. Fasifah Irfani Fitri, Sp.S
PERNYATAAN
HUBUNGAN ANTARA OBAT ANTI EPILEPSI DENGAN KOGNITIF DAN BEHAVIOR PADA PASIEN EPILEPSI
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah dituliskan atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, 02 April 2013
SISKA IMELDA TAMBUNAN
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas penyertaan segala berkat dan kasihNYA sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis magister kedokteran klinik ini.
Tesis ini dibuat untuk memenuhi persyaratan penyelesaian program magister kedokteran klinik pada Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Saraf di Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan.
Dengan segala keterbatasan, penulis menyadari dalam penelitian ini dan penulisan tesis ini masih dijumpai banyak kekurangan. Oleh sebab itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan masukan yang berharga dari semua pihak untuk kebaikan dimasa yang akan datang.
Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyatakan penghargaan dan ucapan terimakasih yang sebesar – besarnya kepada:
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, dan Ketua TKP PPDS I Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik Spesialis Ilmu Penyakit Saraf di Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. DR. dr. Hasan Sjahrir, Sp.S(K), selaku Guru Besar Tetap
Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
bimbingan dan masukan yang berharga dengan penuh kesabaran dan ketelitian kepada penulis sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
3. Dr. Rusli Dhanu, Sp.S(K), Ketua Departemen/ SMF Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/ RSUP H.
Adam Malik Medan saat tesis ini disusun dan sebagai pembimbing pertama tesis, yang dengan sepenuh hati telah mendorong, mengarahkan serta membimbing dan mengoreksi dengan penuh kesabaran dan ketelitian sehingga penulis dapat menyelesaian tesis ini.
4. Dr. Yuneldi Anwar, Sp.S(K), Ketua Program Studi Departemen/
SMF Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan masukan berharga kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
5. Dr. Kiki M. Iqbal, Sp.S selaku pembimbing kedua yang dengan sepenuh hati , kesabaran dan ketelitian telah membimbing, mendorong dan mengarahkan penulis mulai dari perencanaan, pembuatan dan penyelesaian tesis magister ini.
6. Dr. Alfansuri Kadri, Sp.S selaku pembimbing ketiga yang dengan sepenuh hati, kesabaran dan ketelitian telah membimbing, mendorong dan mengarahkan penulis mulai dari perencanaan, pembuatan dan penyelesaian tesis magister ini.
7. Guru-guru penulis: Prof. dr. Darulkutni Nasution, Sp.S(K), dr.
Darlan Djali Chan, Sp.S, dr. Kiking Ritarwan, MKT, Sp.S(K), dr.
Aldy S. Rambe, Sp.S(K), dr. Irsan NHN Lubis,Sp.S, dr. Puji Pinta O. Sinurat, Sp.S, dr. Khairul P. Surbakti, Sp.S, Alm.dr, S.
Irwansyah, Sp.S, dr. Iskandar Nasution, Sp.S, dr. Cut Aria Arina, Sp.S, dr. Aida Fithrie, Sp.S, dr. Dina Listyanigrum, Sp.S, Msi,med, dr. Irina Kemala Nasution, Sp.S, dr. Haflin Soraya Hutagalung, Sp.S, dr. Fasifah Irfani Fitri, Sp.S dan lain – lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, baik di Departemen Ilmu Penyakit Saraf, maupun Departemen/SMF lainnya di lingkungan FK – USU/
RSUP H. Adam Malik Medan, terima kasih yang setulus – tulusnya saya ucapkan atas segala bimbingan selama ini.
8. Drs. Abdul Jalil A. A, M.Kes, selaku pembimbing statistik yang telah membimbing, membantu dan meluangkan waktunya dalam pembuatan tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih.
9. Direktur RSUP. H. Adam Malik Medan, yang telah memberikan kesempatan, fasilitas dan suasana kerja yang baik sehingga penulis dapat mengikuti pendidikan magister ini sampai selesai.
10. Ucapan terima kasih penulis kepada Bapak Amran Sitorus dan Syafrizal serta seluruh perawat dan pegawai yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
11. Semua pasien epilepsi yang berobat jalan di poli epilepsi
RSUP.H.Adam Malik, Medan yang telah bersedia berpartisipasi
dalam penelitian ini, penulis ucapkan terima kasih yang mendalam.
12. Rekan-rekan sejawat peserta PPDS-1 Departemen Ilmu Penyakit Saraf FK-USU/RSUP. H. Adam Malik, Medan, yang telah banyak memberikan masukkan berharga kepada penulis melalui diskusi- diskusi kritis, serta selalu memberikan dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan tesis magister ini.
13. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus penulis ucapkan kepada kedua orang tua saya: Eclon Tambunan dan Netty Nainggolan serta ibu mertua saya, Nellys Simamora, yang selalu memberikan dorongan, semangat dan nasehat serta doa yang tulus agar tetap sabar dan semangat dalam mengikuti pendidikan magister sampai selesai.
14. Teristimewa kepada suami tercinta Kardat Arnes Sihotang, ST, yang sangat membantu saya dengan penuh kesabaran dan pengertian, setia mendampingi dengan luapan cinta dan kasih sayang dalam suka maupun duka dalam menjalani pendidikan dan menyelesaikan tesis ini, saya ucapkan terima kasih yang setulus- tulusnya.
15. Tersangat istimewa kepada anak saya tercinta, Bramantio Praja
Sihotang untuk semua pengertian dan kemandiriannya serta telah
menjadi penyemangat, penghilang rasa penat, sumber motivasi
dan inspirasi dalam menjalani program pendidikan dan
penyelesaian tesis magister ini.
16. Kepada semua keluarga, rekan dan sahabat yang tidak mungkin saya sebutkan satu persatu yang telah membantu saya sekecil apapun, saya haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih membalas semua jasa dan budi baik mereka yang telah membantu penulis tanpa pamrih dalam mewujudkan cita-cita penulis. Akhirnya penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Amin.
Medan, 02 April 2013
Dr. Siska Imelda Tambunan
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I.IDENTITAS
1. Nama : dr. Siska Imelda Tambunan 2. Tempat/Tgl.Lahir : Sidikalang, 07 Mei 1979 3. Agama : Protestan
4. Pekerjaan : PNS di RSUD dr. F.L. Tobing, Sibolga 5. Nama Ayah : Eclon Tambunan
6. Nama Ibu : Netty Nainggolan
7. Nama Suami : Kardat Arnes Sihotang, ST 8. Nama Anak : Bramantio Praja Sihotang
II. RIWAYAT PENDIDIKAN
1. 1985-1991 : SD Negeri 030277 - Sidikalang 2. 1991-1994 : SMP Negeri 1 - Sidikalang 3. 1994-1997 : SMU Negeri 1 - Medan
4. 1998 - 2005 : Fakultas Kedokteran UKI – Jakarta
5. 2010 - sekarang : PPDS Ilmu Penyakit Saraf FK USU - Medan
III. RIWAYAT PEKERJAAN
1. 2005 – 2006 : Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FK UKI.
2. 2006 – 2007 : PTT Puskesmas di Kec. Bawolatu, Nias.
3. 2007 – 2008 : IBU Foundation, Nias.
4. 2008 - sekarang : PNS RSUD dr. F.L. Tobing, Sibolga.
III. KEANGGOTAAN PROFESI
1. 2005 – 2008 : Anggota IDI Cabang Jakarta Timur 2. 2008 – 2010 : Anggota IDI Cabang Tapteng-Sibolga 3. 2010 - Sekarang : Anggota IDI Cabang Medan
4. 2010 - Sekarang : Anggota Muda PERDOSSI Cabang Medan
DAFTAR ISI
Halaman
PANITIA PENGUJI TESIS ii
LEMBARAN PERNYATAAN iii
KATA PENGANTAR iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ix
DAFTAR ISI x
DAFTAR SINGKATAN xiv
DAFTAR LAMBANG xvi
DAFTAR TABEL xvii
DAFTAR GAMBAR xviii
DAFTAR LAMPIRAN xix
ABSTRAK xx
ABSTRACT xxi
BAB.I PENDAHULUAN 1
I.1. Latar Belakang 1
I.2. Perumusan Masalah 6
I.3. Tujuan Penelitian 6
I.3.1. Tujuan Umum 6
I.3.2. Tujuan Khusus 6
I.4. Hipotesa 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9
II.1. Fungsi kognitif 9
1. Atensi 9
2. Bahasa 10
3. Memori 10
4. Visuospatial 11
5. Fungsi eksekutif 12
II.1.1. Assesmen kognitif 13
1. Mini-Mental State Examination 13
2. Digit Span 14
II.2. Behavior 15
II.2.1. The Beck Scale 17
II.3. Epilepsi 18
II.3.1. DefInisi 18
II.3.2. Epidemiologi 19
II.3.3. Klasifikasi 20
II.3.4. Hubungan epilepsi dengan kognitif & behavior 21
II.4. Obat anti epilepsi 22
II.4.1. Sejarah Obat Anti epilepsi 22
II.4.2. Farmakologi Dasar Obat Anti epilepsi 24
II.4.3. Mekanisme kerja Obat Anti epilepsi 26
II.4.4. Adverse Effect Obat Anti epilepsi 28
II.5. Hubungan obat anti epilepsi dengan kognitif dan behavior 30
II.6. Kerangka Teori 35
II.7. Kerangka Konsepsional 36
BAB III. METODE PENELITIAN 37
III.1. Tempat dan Waktu 37
III.2. Subjek Penelitian 37
III.2.1. Populasi sasaran 37
III.2.2. Populasi terjangkau 37
III.2.3. Besar sampel 38
III.2.4. Kriteria inklusi 38
III.2.5. Kriteria eksklusi 39
III.2.6. Instrumen Penelitian 39
III.3. Batasan Operasional 39
III.4. Rancangan Penelitian 42
III.5. Pelaksanaan Penelitian 42
III.5.1. Pengambilan sampel 42
III.5.2. Variabel yang diamati 43 III.5.3. Kerangka operasional 44
III.5.4. Analisa statistik 45
III.5.5. Jadwal penelitian 46
III.5.6. Biaya Penelitian 46
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 47
IV.1. Hasil penelitian 47
IV.1.2. Distribusi kognitif dan behavior subjek penelitian. 50 IV.1.3. Hubungan jenis obat anti epilepsi dengan kognitif. 51 IV.1.4. Hubungan jumlah obat anti epilepsi dengan kognitif. 52 IV.1.5. Hubungan durasi obat anti epilepsi dengan kognitif. 53 IV.1.6. Hubungan jenis obat anti epilepsi dengan behavior. 57 IV.1.7. Hubungan jumlah obat anti epilepsi dengan behavior. 58 IV.1.8. Hubungan durasi obat anti epilepsi dengan behavior. 60
IV.2. Pembahasan 63
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 70
V.1. Kesimpulan 70
V.2. Saran 72
DAFTAR PUSTAKA 73
LAMPIRAN
DAFTAR SINGKATAN
AMPA : Amino-methyl-propanoic acid APT : Amnesia pasca trauma BAI : Beck Anxiety Inventory BDI : Beck Depression Inventory Ca
2+cAMP : Cyclic adenosine monophosphate : Calsium
CBZ ; Carbamazepine CLB : Clobazam
CNS : Central nervous system ETS : Ethosuximide
EEG : Electroencephalography FBM : Felbamate
fMRI : Fungsional magnetic resonance imaging GABA : Gamma-aminobutyric acid
GBP : Gabapentine
IQ : Intelligence quotient K
+LEV : Levetiracetam : Kalium
LTG : Lamotrigine
Na
+: Natrium
NMDA : N-methyl D-aspartate OAE : Obat anti epilepsi OXC : Oxcarbazepine PB : Phenobarbital
PERDOSSI : Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia PGB : Pregabalin
PHT : Phenitoin
SKG : Skala koma Glascow TGB : Tiagabine
TPM : Topiramate VGB : Vigabatrin
VPA : Sodium valproat
WHO : World health organization
ZNS : Zonisamide
DAFTAR LAMBANG
n : Besar sampel α : Alfa
β : Beta
(1−β)
Z : Power, ditetapkan 0,10 1,282
− 1 α2
Z : Kesalahan tipe 1, ditetapkan 0,05 1,96
P : Hasil jumlah proporsi sasaran dan proporsi yang diteliti dibagi dua P
1P
: Proporsi sasaran
2
p : Tingkat kemaknaan : Proporsi yang diteliti
% : Persen
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Skor median MMSE adjustment pada usia dan lama pendidikan 14
Tabel 2 Skor median MMSE 14
Tabel 3 Klasifikasi epilepsy 21
Tabel 4 Parameter Farmakokinetik obat anti epilepsy 25
Tabel 5 Dosis obat anti epilepsy 26
Tabel 6 Mekanisme kerja obat anti epilepsi 27
Tabel 7 Adverse effect pemakaian obat anti epilepsi jangka panjang 29
Tabel 8 Efek kejiwaan dan behavior OAE 29
Tabel 9 Jadwal kegiatan penelitian 46
Tabel 10 Karakteristik subjek penelitian 48
Tabel 11 Hubungan antara jenis dan jumlah obat anti epilepsi dengan kognitif pada pasien epilepsi
53
Tabel 12 Hubungan antara durasi konsumsi obat anti epilepsi dengan kognitif pada pasien epilepsi
56
Tabel 13 Hubungan antara jenis obat anti epilepsi dengan behavior pada pasien epilepsi
57
Tabel 14 Hubungan antara jumlah obat anti epilepsi dengan behavior pada pasien epilepsi
59
Tabel 15 Hubungan antara durasi konsumsi obat anti epilepsi dengan behavior pada pasien epilepsi
62
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1 Struktur kimiawi obat anti epilepsi 24 Gambar 2. Aksi obat anti epilepsI pada inhibisi dan eksitasi 28 Gambar 3. Diagram jenis kelamin sampel penelitian 47 Gambar 4. Diagram lama pendidikan sampel penelitian 48 Gambar 5. Diagram jenis bangkitan sampel penelitian 48 Gambar 6. Grafik distribusi jenis obat anti epilepsi 49
Gambar 7. Grafik distribusi kognitif 50
Gambar 8. Grafik distribusi behavior 51
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Lembar Penjelasan Kepada Subjek penelitian Lampiran 2. Surat Persetujuan ikut dalam Penelitian
Lampiran 3. Lembar Pengumpul Data Penelitian
Lampiran 4. Nilai skor Mini Mental State Examination
Lampiran 5. Digit Span
Lampiran 6. Beck Depression Inventory II Lampiran 7. Beck Anxiety Inventory
Lampiran 8. Surat Komite Etik Penelitian Bidang Kesehatan FK-USU
Lampiran 9. Data Dasar Sampel Penelitian
ABSTRAK
Latar Belakang dan Tujuan: Epilepsi adalah penyakit kronis yang merupakan masalah medik dan sosial, dimana masalah medik bisa berdampak pada gangguan kognitif dan mental. Di lain pihak, obat anti epilepsi dapat mempengaruhi fungsi kognitif dan behavior dengan menekan eksitabilitas neuron atau meningkatkan neurotransmiter inhibitor.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara obat anti epilepsi dengan kognitif dan behavior pada pasien epilepsi.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan terhadap pasien epilepsi umum idiopatik yang berobat ke poliklinik epilepsi bagian Neurologi RSUP H. Adam Malik Medan periode 10 September sampai 31 Desember 2012. Pada pasien yang telah mengkomsumsi obat anti epilepsi lebih dari 4 minggu dilakukan pemeriksaan MMSE dan digit span untuk menilai kognitif serta pengisian kuisioner Beck Depresion Inventory (BDI) dan Beck Anxiety Inventory (BAI) untuk mendeteksi depresi dan ansietas terhadap 57 penderita yang memenuhi kriteria inklusi penelitian.
Hasil: Terdapat 57 pasien dalam penelitian ini, terdiri dari 35 org (61,4%) perempuan dan 22 (38,6%) lelaki. Jenis bangkitan terdiri dari 47 (92,5%) tonik-klonik dan 10 (17,5%) absence. Terdapat hubungan yang signifikan antara jenis obat anti epilepsi dengan gangguan kognitif (p=0,003) sedangkan terhadap behavior diperoleh hubungan yang signifikan antara jenis obat anti epilepsi dengan depresi (p 0,001) namun tidak ada hubungan yang signifikan dengan ansietas (p 0,469). Terhadap jumlah obat anti epilepsi diperoleh hubungan yang signifikan antara jumlah obat anti epilepsi dengan gangguan kognitif tetapi tidak ada hubungan yang signifikan dengan behavior. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara durasi konsumsi obat anti epilepsi dengan gangguan kognitif dan behavior kecuali hubungan antara durasi konsumsi phenitoin dengan MMSE (p=0,027) dan depresi (p=0,021).
Kesimpulan: Ada hubungan yang signifikan antara jenis dan jumlah obat anti epilepsi dengan gangguan kognitif. Sedangkan adverse effect obat anti epilepsi dengan behavior diperoleh hubungan yang signifikan antara jenis obat anti epilepsi dengan depresi.
Kata Kunci: Obat anti epilepsi–kognitif–behavior-epilepsi umum idiopatik
ABSTRACT
Backgound and Purpose: Epilepsy is a chronic disease which is a medical and social problem, where medical problems can affect the cognitive and mental disorder. On the other hand, antiepileptic drugs can adversely affect cognitive function and behavior by suppressing neuronal excitability or enhancing inhibitory neurotransmission. The aim of this study is to determine the association between antiepileptic drugs with cognitive and behavior in epilepsy patient.
Methods: This is a cross sectional study which is perform to idiopathic generalized epileptic patients in the epileptic clinic of H. Adam Malik hospital from period September 10 until December 31, 2012. Fifty seven patients whom comsumption antiepileptic drugs more than four weeks and fulfil the inclusion criteria will done investigate of MMSE and digit span to assess the cognitive and then admission filling the questionnaire of Beck Depression Inventory (BDI) and Beck Anxiety Inventory (BAI) to detect depression and anxiety.
Result: Fifty seven patients are participating in this study; consist of 35 (61.4%) women and 22 (38.6%) men. Seizure type consist 47 (92.5%) tonic-clonic and 10 (17.5%) absence. There is significant association between kind of antiepileptic drugs with cognitive impairment (p=0,003), while towards behavior got significant association between kind of antiepilepstic drugs with depression (p=0,001) but no significant association with anxiety (p=0,469). There is significant association between numbers of antiepileptic drugs with cognitive impairment but no significant association with behavior. There are no significant association between duration of antiepileptic drugs with cognitive impairment and behavior except significant association between comsumption duration of Phenitoin with MMSE (p=0,027) and depression (p=0,021).
Conclusions: There are significant associations between number and kind of antiepileptic drugs with cognitive impairment. While the behavior adverse effect of antiepileptic drugs get the significant association between kinds of antiepileptic drugs with depression.
Key words: Antiepileptic drugs-cognitive-behavior-idiopathic generalized
epileptic.
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG
Epilepsi yang merupakan penyakit kronik masih tetap merupakan masalah medik dan sosial. Masalah medik yang disebabkan oleh gangguan komunikasi neuron bisa berdampak pada gangguan kognitif dan mental. Dilain pihak obat-obatan anti epilepsi juga bisa berefek terhadap gangguan kognitif dan behavior. Oleh sebab itu pertimbangan untuk pemberian obat yang tepat adalah penting mengingat efek obat yang bertujuan untuk menginhibisi bangkitan listrik tapi juga bisa berefek pada gangguan kognitif dan behavior.
Epilepsi terjadi di seluruh dunia, hampir di seluruh daerah tidak kurang dari tiga kejadian tiap 1000 orang. Setiap tahunnya, diantara setiap 100.000 orang akan terdapat 40-70 kasus baru. Epilepsi mempengaruhi 50 juta orang diseluruh dunia, dan 80% dari mereka tinggal di negara berkembang. Epilepsi lebih sering timbul pada usia anak-anak atau orang tua diatas 65 tahun, namum epilepsi dapat muncul kapan saja. Pada systemic review terkini, angka prevalensi untuk epilepsi aktif bervariasi dari 1,5-14 per 1.000 orang/tahun di Asia, Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki sedikit lebih besar kemungkinan terkena epilepsi daripada perempuan.(Meyer dkk, 2010)
Berapa banyak pasien epilepsi di Indonesia, sampai sekarang belum tersedia data hasil studi berbasis populasi. Bila dibandingkan dengan negara
epilepsi di Indonesia sekitar 0,7-1,0% dan bila jumlah penduduk Indonesia sekitar 220 juta maka sekitar 1,5-2 juta orang kemungkinan mengidap epilepsi dan kasus baru sekitar 250.000 pertahun.(Hawari, 2012)
Epilepsi diterapi dengan obat-obatan anti epilepsi jangka panjang dimana akan dititrasi hingga berhenti jika minimal selama 2 tahun bebas kejang.
Sementara obat anti epilepsi dapat menyebabkan perburukkan kognitif dan gangguan behavior yang nantinya dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien.(Eddy dkk, 2011)
Kerja obat anti epilepsi (OAE) akan menurunkan irritability neuron dimana mungkin menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan seperti penurunan fungsi kognitif dan efek behavior dimana terhadap behavior mungkin memberikan rentang efek mulai dari iritabel dan hiperaktifitas hingga efek psikotropik positif pada mood.(Loring dkk, 2007)
Suatu studi yang membandingkan fungsi kognitif antara pasien epilepsi yang belum mendapat terapi dengan kelompok yang telah diterapi selama setahun menemukan bahwa pasien yang telah diterapi obat anti epilepsi (OAE) menunjukkan hasil cognitive perfomance buruk dengan pemeriksaan MMSE Adanya pemburukkan kognitif secara langsung akan mempengaruhi kualitas hidup pasien.(Palanisamy dkk, 2011)
Adverse effects obat anti epilepsi dapat mengakibatkan gangguan behavior, dimana yang tersering adalah depresi (phenobarbital, vigabatrin, tiagabine, topiramat); ansietas (lamotrigine, felbamate, levetiracetam).(Marco, 2009)
Studi parallel yang dilakukan untuk membandingkan efek kognitif carbamazepine, phenobarbital, phenitoin dan pirimidone pada pasien dengan onset baru epilepsi menemukan tidak konsekuennya pola semua obat anti epilepsi dan sedikit perubahan pada kognitif setelah terapi obat anti epilepsi (OAE). Studi lain yang membandingkan carbamazepine (CBZ) dan valproat acid (VPA) menemukan efek negatif pada kognitif untuk keduanya. Berbeda dengan phenobarbital (PB) bermakna mengakibatkan gangguan kognitif lebih jelek dibandingkan yang lain. Obat anti epilepsi terbaru tampaknya memberikan adverse effect kognitif lebih sedikit seperti gabapentine (GBP), lamotrigine (LTG) dan levetiracetam (LEV) dibandingkan carbamazepine (CBZ) sedangkan topiramat (TPM) menunjukkan asosiasi dengan resiko gangguan kognitif yang lebih besar.(Sung-Pa dkk, 2008)
Penelitian Ogunrin Olubunmi dkk di afrika terhadap carbamazepine (CBZ), phenitoin (PHT) dan phenobarbital (PB) menunjukkan bahwa efek obat pada kognitif memperlihatkan pemburukan bermakna pada mental speed dengan pengecualian pada hasil kelompok PHT yang menunjukkan perbaikan pada auditory reaction time; CBZ tidak signifikan mempengaruhi memori verbal. Ketiga obat anti epilepsi tersebut signifikan menurunkan kemampuan atensi pasien. PB menunjukkan skor yang buruk pada memori verbal dan non-verbal.(Olubunmi dkk, 2005)
Penelitian yang membandingkan keefektipan beberapa obat anti epilepsi pada 417 orang tua yang berumur ≥ 55 tahun dengan epilepsi, Hi ba Arif dkk, menemukan bahwa topiramat (TPM) terbanyak menyebabkan adverse effect terhadap kognitif dan pskiatri; clobazam (CLB), oxcarbazepine (OXC) dan
5-9,9% dan 2-4,9% namun tidak menyebabkan pemburukan kognitif;
carbamazepine (CBZ) tidak menganggu fungsi kognitif dan psikiatri. Secara keseluruhan dari kesepuluh OAE tersebut terhadap 417 sampel menyebabkan pemburukan kognitif 5-9,9% dan gangguan psikiatri 2-4,9%. Dimana pemburukan kognitif yang dilaporkan adalah afasia, konsentrasi rendah, memori buruk, perlambatan psikomotor, perlambatan kognitif, bingung/disorientasi sementara gangguan psikiatri adalah ansietas, iritabel, psikosis, depresi.(Hiba dkk, 2010)
Suatu studi kasus kontrol pada pasien-pasien dengan bangkitan onset baru, dibandingkan antara kelompok yang mendapat obat anti epilepsi lebih dari 4 minggu (212 kasus) dengan kelompok tanpa pengobatan (206 kontrol).
Hasilnya menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan adverse event profile di antara kelompok kasus dengan monoterapi (valproat acid, carbamazepine, phenitoin, levetiracetam, lamotrigine) dengan kelompok kontrol.(Perucca dkk, 2011)
Menurut Christian E. Elger, dkk menulis bahwa obat anti epilepsi menimbulkan adverse effect depresi rendah (carbamazepine, clobazam, felbamate, gabapentine, levetiracetam, lamotrigine, pregabalin, topiramat, valproat acid, zonisamide) dan tinggi (ethosuximide, phenobarbital, phenitoin, tiagabine, vigabatrin); pemburukan kognitif rendah (ethosuximide, felbamate, gabapentine, levetiracetam, lamotrigine, oxcarbazepine, pregabalin, tiagabine, vigabatrin, valproat acid) dan tinggi (carbamazepine, clobazam, phenobarbital, phenitoin, topiramat, zonisamide).(Elger dkk, 2008)
Penelitian Ghaydaa tahun 2009 menemukan bahwa pasien epilepsi yang belum diterapi dan mendapat terapi menunjukkan hasil kinerja lebih jelek pada
kognitif yang berbeda dan tes behavior dibandingkan dengan kelompok kontrol (populasi normal). Pasein yang mendapat terapi obat anti epilepsi mempunyai skor buruk pada memori untuk digit forward and backward, memori jangka pendek. Durasi asupan obat anti epilepsi berhubungan dengan memori objek, memori non-verbal jangka pendek. Pasien epilepsi belum diterapi dan sudah diterapi mempunyai kinerja buruk pada tingkat sama pada tes fungsi behavior.
Dosis obat anti epilepsi berkorelasi dengan skor agresi verbal dan non-verbal sedangkan durasi asupan obat anti epilepsi berkorelasi dengan skor agresi non- verbal.(Ghaydaa, 2009)
Efek negatif obat anti epilepsi terhadap kognitif seperti phenobarbital dapat menyebabkan penurunan atensi; carbamazepine dan phenitoin menganggu memori; sedangkan valproat acid paling kecil mempengaruhi kognitif.(Loring dkk, 2004)
I.2. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang penelitian-penelitian terdahulu seperti yang telah diuraikan di atas, dirumuskan masalah sebagai berikut:
Bagaimanakah hubungan antara obat anti epilepsi dengan kognitif dan behavior pada pasien epilepsi?
I.3. TUJUAN PENELITIAN
I.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara obat anti epilepsi dengan kognitif dan behavior pada pasien epilepsi.
I.3.2. Tujuan Khusus
I.3.2.1. Untuk mengetahui hubungan antara jenis obat anti epilepsi dengan kognitif pada pasien epilepsi di RSUP H. Adam Malik.
1.3.2.2. Untuk mengetahui hubungan antara jenis obat anti epilepsi dengan behavior pada pasien epilepsi di RSUP H.Adam Malik
I.3.2.3. Untuk mengetahui hubungan antara jumlah obat anti epilepsi dengan kognitif pada pasien epilepsi di RSUP H.Adam Malik.
I.3.2.4. Untuk mengetahui hubungan antara jumlah obat anti epilepsi dengan behavior pada pasien epilepsi di RSUP H.Adam Malik.
I.3.2.5. Untuk mengetahui hubungan antara durasi konsumsi obat anti epilepsi dengan kognitif pada pasien epilepsi di RSUP H.Adam Malik.
I.3.2.6. Untuk mengetahui hubungan antara durasi konsumsi obat anti epilepsi dengan behavior pada pasien epilepsi di RSUP H.Adam Malik.
I.3.2.7. Untuk mengetahui karakteristik demografi (umur, jenis kelamin, pendidikan), onset dan tipe bangkitan epilepsi, variabel obat anti
epilepsi (jenis, dosis dan jumlah OAE) pada pasien epilepsi di RSUP H.Adam Malik Medan.
I.4. HIPOTESIS
Terdapat hubungan antara obat anti epilepsi dengan kognitif dan behavior pada pasien epilepsi.
I.5. MANFAAT PENELITIAN
I.5.1. Manfaat penelitian untuk ilmu pengetahuan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi secara keilmuwan tentang hubungan antara obat anti epilepsi dengan kognitif dan behavior pada pasien epilepsi, dimana perlunya pemeriksaan fungsi kognitif dan behavior secara berkala.
I.5.2. Manfaat penelitian untuk penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar untuk penelitian selanjutnya tentang hubungan antara obat anti epilepsi dengan kognitif dan behavior secara farmakologi.
I.5.3. Manfaat penelitian untuk masyarakat
Dengan mengetahui hubungan antara obat anti epilepsi dengan kognitif dan behavior bisa menjadi dasar pertimbangan dalam pemilihan jenis obat anti epilepsi demi tercapai kualitas hidup penderita yang lebih baik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dengan mengetahui hubungan antara obat anti epilepsi dengan kognitif dan behavior bisa menjadi dasar pertimbangan dalam pemilihan jenis obat anti epilepsi demi tercapai kualitas hidup penderita yang lebih baik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. FUNGSI KOGNITIF
Kognitif berasal dari bahasa latin ”cognoscere” yang artinya together (co) dan know (nos). Kognitif termasuk sebagai sifat sensasi,
berpikir, persepsi, arousal dan kesadaran.(Whitehouse, 2006)
Fungsi Kognitif adalah merupakan aktivitas mental secara sadar seperti berpikir, mengingat, belajar, dan menggunakan bahasa. Fungsi kognitif juga merupakan kemampuan atensi, memori, pertimbangan, pemecahan masalah, serta kemampuan eksekutif seperti merencanakan, menilai, mengawasi, dan melakukan evaluasi.(Strub dkk, 2000; Rizzo dkk, 2004).
Fungsi kognitif terdiri dari :
1. AtensiAtensi merupakan kemampuan untuk bereaksi atau memperhatikan satu stimulus tertentu (spesifik) dengan mampu mengabaikan stimulus lain baik internal atau eksternal yang tidak dibutuhkan. Setelah menentukan kesadaran, pemeriksaan atensi harus dilakukan saat awal pemeriksaan neurobehavior karena pemeriksaan modalitas kognitif lainnya sangat dipengaruhi oleh atensi yang cukup terjaga. (Rizzo dkk, 2004)
Atensi dan konsentrasi sangat penting dalam mempertahankan fungsi kognitif, terutama dalam proses belajar. Gangguan atensi dan konsentrasi akan mempengaruhi fungsi kognitif lain seperti memori, bahasa dan fungsi eksekutif.
Gangguan atensi dapat berupa dua kondisi klinik berbeda. Pertama ketidakmampuan mempertahankan atensi maupun atensi yang terpecah atau
tidak atensi sama sekali, dan kedua inatensi spesifik unilateral terhadap stimulus pada sisi tubuh kontralateral lesi otak.(Rizzo dkk, 2004)
2. Bahasa
Bahasa merupakan perangkat dasar komunikasi dan modalitas dasar yang membangun kemampuan fungsi kognitif. Oleh karena itu pemeriksaan bahasa harus dilakukan pada awal pemeriksaan neurobehavior. Jika terdapat gangguan bahasa, pemeriksaan kognitif seperti memori verbal, fungsi eksekutif akan mengalami kesulitan atau tidak mungkin dilakukan.(Rizzo dkk, 2004)
Gangguan bahasa (afasia) sering terlihat pada lesi otak fokal maupun difus, sehingga merupakan gejala patognomonik disfungsi otak. Penting bagi klinikus untuk mengenal gangguan bahasa karena hubungan yang spesifik antara sindroma afasia dengan lesi neuroanatomi. Kemampuan berkomunikasi menggunakan bahasa penting, sehingga setiap gangguan berbahasa akan menyebabkan hendaya fungsional.(Rizzo dkk, 2004)
3. Memori
Memori adalah proses bertingkat dimana informasi pertama kali harus dicatat dalam area korteks sensorik kemudian diproses melalui sistem limbik untuk terjadinya pembelajaran baru. Secara klinik memori dibagi menjadi tiga tipe dasar : immediate, recent, dan remote memory berdasarkan rentang waktu antara stimulus dan recall (Rizzo dkk, 2004)
a. Immediate memory merupakan kemampuan untuk merecall stimulus dalam interval waktu beberapa detik.
b. Recent memory merupakan kemampuan untuk mengingat kejadian sehari-hari (misalnya tanggal, nama dokter, apa yang dimakan saat sarapan, atau kejadian- kejadian baru) dan mempelajari materi baru serta mencari materi dalam rentang waktu menit, jam, hari, bulan, tahun.
c. Remote memory merupakan rekoleksi kejadian yang terjadi bertahun tahun yang lalu (misalnya tanggal lahir, sejarah, nama teman).
Gangguan memori merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan pasien. Amnesia secara umum merupakan efek fungsi memori. Ketidak mampuan untuk mempelajari materi baru setelah brain insult disebut amnesia anterograd. Amnesia anterograd merujuk pada amnesia kejadian yang terjadi sebelum brain insult. Hampir semua pasien demensia menunjukkan masalah memori pada awal perjalanan penyakitnya. Tidak semua gangguan memori merupakan gangguan organik. Pasien depresi dan ansietas sering mengalami kesulitan memori. Amnesia psikogenik jika amnesia hanya pada satu periode tertentu, dan pada pemeriksaan tidak dijumpai defek pada recent memory.(Rizzo dkk, 2004)
4. Visuospasial
Kemampuan visuospasial dapat dievaluasi melalui kemampuan kontruksional seperti menggambar atau meniru berbagai macam gambar (misal : lingkaran, kubus) dan menyusun balok-balok. Semua lobus berperan dalam kemampuan konstruksi ini tetapi lobus parietal terutama hemisfer kanan
mempunyai peran yang paling dominan. Menggambar jam sering digunakan untuk skrining kemampuan visuospasial dan fungsi eksekutif dimana berkaitan dengan gangguan di lobus frontal dan parietal.(Rizzo dkk, 2004)
5. Fungsi Eksekutif
Fungsi eksekutif adalah kemampuan kognitif tinggi seperti cara berpikir dan kemampuan pemecahan masalah. Kemampuan eksekusi diperankan oleh lobus frontal, tetapi pengalaman klinis menunjukkan bahwa semua sirkuit yang terkait dengan lobus frontal juga menyebabkan sindroma lobus frontal.
Diperlukan atensi, bahasa, memori dan visuospasial sebagai dasar untuk menyusun kemampuan kognitif. (Kolegium Neurologi Indonesia, 2008a )
Pemburukkan kognitif ada yang bersifat normal yang banyak ditemukan pada warga usia lanjut secara fisiologis karena faktor penuaan dan dianggap tidak ada hubungannya dengan Alzheimer, yang disebut forgetfulness.
(Sjahrir,1999) Dan kondisi ini disebut juga Age-associated memory impairment, dimana salah satu kriteria diagnostik inti adalah usia paling sedikit 50 tahun.
(Crook, 2006) Berbagai penelitian menemukan angka kejadian forgetfulness 39%
pada usia 50-59 tahun. (Sjahrir, 1999) sedangkan menurut Thomas Crook angka kejadian Age-associated memory impairment adalah 46%.(Crook, 2006)
II.1.1. Assesmen kognitif
Beberapa instrumen skiring tersedia untuk membantu klinisi dalam penilaian status mental, yaitu:
Pemeriksaan dikembangkan pada pertengahan 1970-an oleh Folstein.
Mini-mental state examination telah digunakan secara luas untuk literatur klinik atau epidemiologi sehingga MMSE merupakan instrumen skrining kognitif yang paling luas digunakan. Dimana lama tes ini hanya membutuhkan waktu sekitar 5 menit dan menilai enam domain yaitu: orientasi, bahasa, atensi/konsentrasi, working memory, memori jangka pendek dan constructional copy.(Rizzo dkk, 2004)
Sensitifitas MMSE untuk mendeteksi pemburukkan kognitif meningkat ketika skor cut-off (26-28) digunakan atau ketika dilakukan adjustment terhadap umur dan pendidikan. Walaupun skor cut-off untuk dementia secara umum adalah dibawah 24, skor median bervariasi tergantung umur dan lama pendidikan.(Fink, 2004)
Tabel 1. Skor median MMSE adjustment terhadap usia dan lama pendidikan.
Lama pendidikan
Usia (tahun)
18 - 69 70 – 79 > 79 Tingkat keempat 22 - 25 21 – 22 19 - 20 Tingkat kedelapan 26 - 27 25 23 - 25 Sekolah tingkat atas 28 - 29 27 25 - 26
Perguruan tinggi 28 - 29 28 27
Dikutip dari: Fink, Vivian. 2004. “Mild Cognitive Impairment : Pre-Alzheimers disease state provides opportunity for early detection and possible treatment”.
The Institute For medical Education Bulletin V(6):1-11
Sebuah studi yang dilakukan pada 473 orang sehat yang berumur lebih dari 15 tahun dengan latar belakang pekerjaan dan pendidikan yang beragam di Medan didapatkan skor median MMSE berdasarkan usia dan lama pendidikan sebagai berikut:(Sjahrir dkk, 2001)
Tabel 2. Skor median MMSE
Median
Lama pendidikan:
0 - 6 tahun 24
7 - 9 tahun 26
10 - 12 tahun 26
> 12 tahun 28
Usia:
< 20 tahun 27
21 - 30 tahun 28
31 - 40 tahun 28
41 - 50 tahun 26
51 - 60 tahun 27
> 60 tahun 21
Dikutip dari: Sjahrir, H., Ritarwan, K., Tarigan, S., Rambe, A.S., Lubis, I.D., Bhakti, I. 2001. “The Mini Mental State Examination in healthy individuals in Medan, Indonesia by age and education level”. Neurol J Southeast Asia;6:19-22
2. Digit span atau Digit repetition
Level dasar atensi pasien dapat dengan mudah ditentukan dengan menggunakan tes ini. Penampilan prima pada tes ini menjamin bahwa pasien mampu memusatkan perhatian terhadap stimulus verbal dan atensi terus- menerus untuk periode waktu yang dibutuhkan untuk mengulang deretan angka tersebut. Tes ini tidak dapat dilakukan pada pasien yang mengalami gangguan bahasa. Penilaian digit span berdasarkan berapa banyak angka yang dapat diulang dengan urutan yang benar. Pasien dengan intelegensia rata-rata dapat mengulang angka dengan akurat lima hingga tujuh angka tanpa kesulitan. Pasien non-retardasi mental tidak dapat mengulang lebih atau sama dengan lima mengindikasikan atensi kurang baik.(Strub dkk, 2000)
II.2. BEHAVIOR
Otak manusia merupakan suatu organ yang merupakan dasar apakah pikiran seseorang sehat, yang harus dikerjakan, merasakan, dan berpikir atau pada istilah yang lebih formal adalah pengalaman sensori kita, behavioral, affective dan kognitif. Dengan memproses stimulus eksternal kedalam impuls neuronal, sistem sensori menciptakan suatu representation internal dunia eksternal. Sistem motorik memampukan seseorang untuk mengerakkan (manipulate) lingkungan mereka dan untuk mempengaruhi behavior yang lain
melalui komunikasi. Pada otak, input sensori, representing dunia eksternal diintegrasikan dengan drivers stimulus internal, memori dan emosional di association units, dimana akan memberi umpan balik pada aktifitas motorik. Bila terjadi distorsi yang diintrodusir oleh psikopatologi pada fungsi asosiasi otak maka akan terjadi gangguan psikiatri.(Sadock dkk, 2007)
Behavior adalah respon total jiwa termasuk gerak hati, motivasi, hasrat, drives, insting dan idaman seperti diekspresikan dengan tingkah laku seseorang dan aktivitas motorik (konasi), sedangkan emosi adalah suatu kompleks keadaan perasaan dengan komponen psikis, somatik dan perilaku yang berhubungan dengan afek dan mood.(Sadock dkk, 2007)
Kehidupan mental diekspesikannya secara kelihatan sebagai tingkah laku verbal dan gestural dan perubahan somatik dimana secara kolektif dihubungkan sebagai behavior. Tingkah laku gestural pada konteks ini mencakup behavior non-verbal dan motorik. Behavior merupakan manisfestasi pikiran orang lain maka ia jelas dapat diamati dan dinilai. Kognitif, emosi dan motivasi merupakan dasar kehidupan mental normal. Kognitif mengacu pada proses informasi, yang mana pengetahuan diperoleh, disimpan, dimanipulasi, didapat kembali dan digunakan oleh individu sebagai instrumen dan adaptasi dalam lingkungan yang kompleks. Mind dan behavior merupakan produk interaksi kompleks yang melibatkan sistem proyeksi neural regional dan yang luas.(Rizzo dkk, 2004)
Mood adalah suatu emosi yang meresap dan dipertahanan, yang dialami secara subjektif dan dilaporkan oleh pasien dan terlihat oleh orang lain, seperti depresi dan iritabel. Mood yang irritabel adalah dengan mudah diganggu atau
dibuat marah sedangkan depresi adalah perasaan kesedihan yang psikopatologis.(Sadock dkk, 2007)
Gejala emosi yang lain adalah ansietas yaitu perasaan ketakutan yang disebabkan oleh dugaan bahaya / anticipation of danger, yang mungkin berasal dari dalam atau luar.(Sadock dkk, 2007)
II.2.1. The Beck Scales
Dua buah inventori self-report ditulis oleh Aaron Beck memperoleh popularitas diseluruh dunia sebagai alat ukur yang informatif dan cocok aspek mood dan emosi. The beck Depression Inventory (BDI, 1987) memberikan suatu metode mudah dan cepat untuk mengukur beragam gejala dan keluhan depresi termasuk kognitif, behavioral dan masalah somatik. Beck Depression Inventory sangat berguna dalam menetapkan kehadiran dan keparahan keluhan depresi walaupun tidak memberikan informasi mengenai durasinya. The Beck Anxiety Inventory (BAI) merupakan paralel dalam bentuk terhadap BDI, dan berfokus khusus pada keluhan yang berhubungan dengan ansietas. Sama seperti BDI, BAI mudah dan cepat untuk dilakukan dan memberikan informasi yang berguna tentang pasien dan partisipan penelitian mengenai status terkini ansietas dan kerentanan umum terhadap ansietas.(Rizzo dkk, 2004)
The beck Depression Inventory adalah kuisioner self-rated, dimana kemungkinan tidak dapat dijawab oleh pasien dengan masalah pemahaman sedang hingga berat. Beberapa soal dalam skala, seperti penampilan diri sendiri,
kemampuan bekerja dan kekuatiran tentang kesehatan mungkin secara jelas dipengaruhi oleh keluhan kelainan neurologi.(Rizzo dkk, 2004)
II.3. EPILEPSI
II.3.1. Definisi
Epilepsi merupakan suatu kumpulan penyakit kompleks otak dimana melibatkan rentang lebar manifestasi klinis dan banyak variasi penyebabnya.
International League Againts Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for Epilepsy (IBE) menetapkan definisi epilepsi sebagai suatu kejadian sementara gejala dan/atau keluhan yang berhubungan dengan aktifitas neuron berlebihan atau synchronous yang abnormal di otak. Walaupun terdapat perselisihan kecil dengan definisi ini, terdapat catatan berharga bahwa bangkitan epilepsi tidaklah sesederhana hasil langsung dari eksitasi yang meningkat.(Panayiotopoulos, 2010)
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan epilepsi berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa provokasi. Sedangkan bangkitan epilepsi adalah manisfestasi klinik yang disebabkan oleh aktivitas listrik otak yang abnormal dan berlebihan dari sekelompok neuron. Manisfestasi klinik ini terjadi secara tiba-tiba dan sementara berupa perubahan perilaku yang stereotipik, dapat menimbulkan gangguan kesadaran, gangguan motorik, sensorik, otonom ataupun psikik. Sindrom epilepsi merupakan kumpulan gejala dan tanda klinik yang unik untuk suatu epilepsi.
Dikenal juga istilah penyakit epilepsi yang merupakan suatu keadaan patologik dengan satu etiologi yang spesifik.(Kelompok studi epilepsI, 2011).
II.3.2. Epidemiologi
Pada tahun 2004, WHO memperkirakan bahwa hampir 80% dari beban epilepsi di seluruh dunia ditanggung oleh sumber daya di negara miskin. Di negara maju, angka prevalensi seumur hidup untuk epilepsi berkisar 3,5-10,7 per 1.000 orang/tahun, dan rentang angka insiden 24-53 per 100.000 orang/tahun.
Pada systemic review terkini, angka prevalensi seumur hidup untuk epilepsi aktif bervariasi 1,5 -14 per 1.000 orang/tahun di Asia, 5,1-57,0 per 1.000 orang/tahun di Amerika Latin, dan 5,2-74,4 per 1.000 orang/tahun di Afrika. Angka median prevalensi seumur hidup di Asia (6 per 1.000 orang/tahun) lebih rendah daripada di Afrika dan Amerika Latin (masing-masing 15 dan 18 per 1.000 orang/tahun).
Angka insiden tahunan untuk epilepsi di Asia (29-60 per 100.000 orang/tahun) tidak berbeda secara signifikan dengan negara maju.(Meyer dkk, 2010)
Berapa banyak pasien epilepsi di Indonesia, sampai sekarang belum tersedia data hasil studi berbasis populasi. Bila dibandingkan dengan negara berkembang lain dengan tingkat ekonomi sejajar, probabilitas penyandang epilepsi di Indonesia sekitar 0,7-1,0% dan bila jumlah penduduk sekitar 220 juta maka 1,5-2 juta orang kemungkinan mengidap epilepsi dengan kasus baru 250.000 pertahun.(Hawari, 2012)
Hasil survei population-based ditemukan bahwa dua per tiga kasus diklasifikasikan sebagai idiopatik atau kriptogenik. Satu dari tiga orang dengan
bangkitan tunggal unprovoked akan mengalami bangkitan kedua diatas lima tahun berikutnya. Tanpa terapi, setelah bangkitan kedua, sekitar 75% akan mengalami bangkitan yang lain dalam satu atau dua tahun berikutnya. Epilepsi simtomatik mempunyai rasio mortalitas lebih tinggi dibanding epilepsi idiopatik.(Nadir dkk, 2005)
Bangkitan secara dependen umur, pola bimodal dengan puncak awal pada insiden selama tahun pertama kehidupan dan kemudian terus menerus meningkat pada insiden sekitar umur 60 tahun dimana jauh melebihi insiden pada semua golongan umur yang lain.(Hiba, 2010)
II.3.3. Klasifikasi
Klasifikasi yang dipakai adalah klasifikasi menurut ILAE, dimana terdiri dari dua macam klasifikasi, yaitu jenis bangkitan epilepsi dan sindrom epilepsi.(Kelompok studi epilepsi, 2011)
Tabel 3. Klasifikasi Epilepsi
Dikutip dari: Habibi, Mitra. 2009. Refractory Epilepsy. US Pharm. 34:8-14
II.3.4. Hubungan antara Epilepsi dengan Kognitif dan behavior
Pemburukkan kognitif dan behavior telah diobservasi sebagai konsekuensi adanya bangkitan. Adanya pemburukkan kognitif dan gangguan behavior sering berhubungan dengan kerusakkan struktur otak. Penting secara khusus pada epilepsi simtomatik dimana terdapat penyebab yang mendasari kerusakkan otak tersebut seperti trauma kepala, stroke atau alcoholism-related epilepsy. Kerusakkan otak juga dapat disebabkan oleh bangkitan kejang yang tidak terkontrol. (Aldenkamp dkk, 2005)
Lokalisasi fokus epilepsi juga merupakan faktor penting adanya penurunan kognitif atau gangguan behavior, misalnya, epilepsi lobus temporalis
sering berhubungan dengan defek memori dan epilepsi lobus frontalis dengan defisit fungsi eksekutif sedangkan masalah bahasa lebih sering terlihat pada epilepsi fokal dimana berlokasi pada hemisfer dominan. Berbeda dengan epilepsi umum idiopatik lebih jarang berhubungan dengan pemburukkan intelektual.(Aldenkamp dkk, 2005)
Umur saat onset juga tampaknya menjadi faktor yang krusial pada dampak epileps terhadap kognitif dan behavior , dimana onset bangkitan sebelum berumur 5 tahun tampaknya menjadi faktor resiko untuk IQ rendah sementara berbeda dengan keluhan behavior yang muncul pada late seizure onset.(Aldenkamp dkk, 2005)
Depresi interiktal merupakan keadaan yang biasa, namum prevalensi yang pasti belum diketahui. Tampaknya depresi cenderung timbul sekitar sepuluh tahun setelah onset epilepsi. Beragam faktor penyebab telah diajukan terhadap perkembangan depresi tetapi etiologinya kebanyakkan adalah multifaktorial. Riwayat keluarga depresi telah dilaporkan oleh beberapa peneliti.
Beberapa studi menemukan depresi lebih sering pada penderita bangkitan parsial kompleks khususnya epilepsi lobus temporal.(Rizzo dkk, 2004)
II.4. OBAT ANTI EPILEPSI (OAE)
II.4.1. Sejarah Obat Anti Epilepsi
Sebelum obat anti epilepsi ditemukan dan dikembangkan, pengobatan epilepsi dengan pemberian obat herbal dan ekstrak hewan. Pada tahun 1857, Sir
pengobatan epilepsi. Pada tahun 1912, phenobarbital pertama kali digunakan untuk terapi epilepsi, dan 25 tahun berikutnya, 35 analog phenobarbital dipelajari sebagai antikejang. Pada tahun 1938, phenitoin ditemukan efektif melawan bangkitan pada kucing.(Porter dkk, 2001)
Antara 1935 dan 1960, langkah hebat diciptakan pada pengembangan model eksperimental dan metode untuk skrining dan tes obat ati epilepsi baru.
Selama periode tersebut, 13 obat anti epilepsi dikembangkan dan dipasarkan.
Menyusul pengumunan kewajiban untuk membuktikan drug efficacy pada tahun 1962, pengembangan obat anti kejang menurun dramatis, dan hanya sedikit obat baru yang ditemukan dan dipasarkan dalam 3 dekade berikutnya. Namun, serentetan komposisi obat baru bermunculan pada era tahun 1990-an.(Porter dkk, 2001)
Obat anti epilepsi sering dikelompokkan menjadi agen lama (berkembang sebelum tahun 1990-an) dan agen terbaru (dikenalkan selama tahun 1990-an atau kemudian). Dimana OAE agen lama/klasik adalah phenitoin (PHT), carbamazepine (CBZ), sodium valproat (VPA), phenobarbital (PB) dan benzodiazepine sementara agen terbaru adalah felbamate (FBM), gabapentin (GBP), lamotrigine (LTG), oxcarbazepine (OXC), topiramate (TPM), tiagabine (TGB), vigabatrin (VGB), zonisamide (ZNS), pregabalin (PGB) dan levetiracetam (LEV).(Sung-Pa dkk, 2008)
II.4.2. Farmakologi Dasar Obat Anti Epilepsi
Hingga tahun 1990, 16 anti epilepsi telah ada, dan 13 diantaranya diklasifikasikan kedalam 5 kel. kimiawi, yaitu: barbiturat, hydantoin, oxazolidinediones, succinimides dan acetylureas.(Porter dkk, 2001)
Gambar 1. Struktur kimiawi obat anti epilepsi.
Dikutip dari: Lullmann, H., Mohr, K., Ziegler, A., Bieger, D. 2000. Color Atlas of Pharmacology. New York. Theme Stuutgart.
Obat anti epilepsi menunjukkan beberapa sifat farmakokinetik sama walaupun struktur dan sifat kimiawi lumayan berbeda. Walaupun, beberapa komposisi mudah larut hanya sedikit, absorbsi biasanya baik dengan 80-100%
dosis sudah mencapai sirkukasi.(Porter dkk, 2001)
Tabel 4. Parameter farmakokinetik obat anti epilepsi.
Dikutip dari: Henry, J.C., Gross, R.A. 2008. ”Epilepsy”. Principles of drugs theraphy in Neurology. Johnston, Michael. New York. Oxford Univesity Press.
Untuk status penyakit dengan gangguan konsentrasi serum albumin (biasanya hipoalbunemia), dosis obat yang berikatan tinggi mungkin lebih pantas berdasarkan konsentrasi obat bebas. Dimana umumnya konsentrasi obat bebas tidak terganggu, konsentrasi total obat mungkin menurun menyebabkan klinisi menaikkan dosis; sementara peningkatan pada dosis akan menghasilkan level obat bebas lebih tinggi lagi dan kemungkinan akan terjadi toksisitas obat.(Porter dkk, 2001)
Tabel 5. Dosis obat anti epilepsi
Dikutip dari: Panayiotopoulos, C.P. 2010. Atlas of epilepsies. Springer-Verlag London Limited.
II.4.3. Mekanisme kerja Obat Anti Epilepsi
Pengelompokkan OAE berdasarkan neurobiologi dibagi menjadi:
a. Modulasi voltage gated ion channel atau membatasi cetusan yang lama bertahan (sustained repetitive neuronal firing) melalui blokage pada voltage dependent sodium channel.
c. Inhibisi eksitasi sinaptik atau memblokade neurotransmiter eksitatorik glutamatergik.(Porter dkk, 2001)
Tabel 6. Mekanisme kerja obat anti epilepsi
Dikutip dari: Panayiotopoulos, C.P. 2010. Atlas of epilepsies. Springer-Verlag London Limited.
Voltage gated ion channel (termasuk natrium, kalium dan kalsium) menentukan sub ambang perilaku listrik dari neuron, mengizinkan cetusan aksi potensial, mengatur respon pada signal sinaps, konstribusi pada pergeseran depolarisasi paroksismal, dan akhirnya perlu untuk melengkapi terjadinya letupan bangkitan. Sebagai tambahan, voltage gated ion channel merupakan elemen yang rumit pada pelepasan neurotransmiter sebagai syarat transmisi sinaps.
Konsekuensinya, ada target kunci untuk obat anti epilepsi yang akan menghambat cetusan sinkronisasi dan penyebaran bangkitan. Inhibisi sinapsis dan eksitasi dimediasi oleh saluran regulasi neurotransmiter; saluran ini mengijinkan sinkronisasi gesekan neuron dan mengijinkan propagasi dari cetusan abnormal pada lokal yang jauh. Obat anti epilepsi yang memodifikasi neurotransmisi eksitasi dan inhibisi juga dapat menekan cetusan dan saat
mereka menghambat eksitasi sinaptik, mempunyai efek yang menonjol dalam penyebaran bangkitan.(Bittigau dkk. 2002)
Gambar 2. Aksi obat anti epilepsi pada inhibisi (A) dan eksitasi (B).
Dikutip dari : Stafstrom, C.E. 1998. The pathophysiology of epileptic seizure: a primer for pediatrician. Pediatrics in review. 19(10):342-35
II.4.4. Adverse Effect Obat Anti Epilepsi
Adverse effect obat anti epilepsi dapat dibagi berdasarkan sistem organ dan lebih secara kasar menjadi yang mempengaruhi susunan saraf pusat dan fungsinya dan yang mempengaruhi bagian tubuh lainnya. (Henry dkk, 2008).
Tabel 7. Adverse effect pemakaian obat anti epilepsi jangka panjang.
Dikutip dari: Panayiotopoulos, C.P. 2010. Atlas of epilepsies. Springer-Verlag London Limited.
Tabel 8. Efek kejiwaan dan behavior OAE.
Dikutip dari: Panayiotopoulos, C.P. 2010. Atlas of epilepsies. Springer-Verlag London Limited.
II.5. HUBUNGAN ANTARA OBAT ANTI EPILEPSI DENGAN KOGNITIF DAN BEHAVIOR
Pasien dengan epilepsi sering sekali mengalami disfungsi kognitif dan gangguan behavior. Beragam faktor dapat mempengaruhi kognitif pada epilepsi termasuk etiologi kejang, lesi serebral sebelum onset kejang, tipe kejang, umur saat onset kejang, frekuensi, durasi dan keparahan kejang, disfungsi fisiologi intraiktal dan interiktal, kerusakan struktur serebral disebabkan oleh kejang
pengobatan epilepsi termasuk obat anti epilepsi (OAE) dan operasi epilepsi.
Semua faktor yang saling berhubungan ini berkonstribusi membuat kompleksnya defisit kognitif. Pasien dan beberapa klinikus cenderung menyalahkan masalah kognitif pada OAE karena lebih dapat diidentifikasi dibandingkan dengan faktor lain. Stigma epilepsi dan ketakutan akan serangan kejang didepan umum dapat menyebabkan kepercayaan diri rendah, isolasi sosial dan depresi, semua ini dapat mempengaruhi negatif fungsi kognitif. Obat anti epilepsi dapat memberikan pengaruh buruk terhadap fungsi kognitif dengan menekan perangsangan neuronal atau mempertinggi neurotransmisi inhibitor. Efek utama kognitif obat anti epilepsi adalah menganggu atensi, kewaspadaan dan kecepatan psikomotorik tapi efek sekunder dapat bermanisfestasi pada fungsi kognitif yang lain seperti memori. Walaupun, penggunaan jangka panjang OAE dapat secara pasti mendatangkan disfungsi kognitif pada pasien epilepsi, efek kognitifnya yang berakhir hingga setahun lamanya tidak memberikan bukti yang menyakinkan sehubungan dengan masalah metodologi.(Sung-Pa Park, 2008 dan Ghaydaa 2009)
Kognitif dapat dipengaruhi secara kronik oleh obat anti epilepsi dengan mensupresi kemampuan eksibilitas neuronal atau peningkatan neurotansmiter inhibisi sehingga mengakibatkan pemburukkan atensi/konsentrasi, kewaspadaan dan gangguan kecepatan psikomotorik. Carbamazepine, asam valproat berhubungan dengan resiko yang lebih kecil terkena depresi dan dilain pihak dapat meningkatkan mood yang berhubungan dengan efek serotonergic pada obat ini.(Panaylotopoulos, 2010)
Hampir tidak terdapat data yang sistematis pada efek samping psikiatri oleh obat anti epilepsi klasik. Pengetahuan yang ada sebagian besar
berdasarkan empiris, serangkaian kasus kecil atau laporan anekdot. Beberapa penelitian menyatakan adanya hubungan phenobarbital dengan efek samping iritabel dan perilaku agresif. Bettina, 2006)
Obat anti epilepsi memiliki keduanya efek negatif dan positif terhadap kognitif dan behavior. Obat anti epilepsi dapat meningkatkan kognitif dan behavior dimana berkaitan dengan pengurangan aktifitas kejang dan efek modulasi pada neurotransmiter dan efek psikotropi. Obat anti epilepsi mengurangi iritabilitas neuron dan meningkatkan inhibisi postsinaptik atau mengubah sinkronisasi jaringan saraf untuk menurunkan eksitabilitas neuron yang berlebihan terkait dengan perkembangan bangkitan dan penyebaran sekunder aktifitas epilepsi ke sekitar jaringan otak normal. Namun, pengurangan berlebihan eksitabilitas neuronal dapat mengakibatkan kecepatan motorik dan psikomotorik melambat, dan atensi buruk dan terganggu pengolahan memori, yang merupakan efek samping umum pada blokade sodium channel dan peningkatan aktivitas inhibisi GABAergik (Ghaydaa, 2009)
Suatu studi yang menilai kemunduran kognitif dengan menggunakan Sternberg test kemudian dilakukan fMRI menemukan bahwa working memory berhubungan dengan aktivasi spesifik korteks frontal dorsolateral, kortikal lainnya dan area thalamus juga teraktivasi saat melakukan tes tersebut termasuk korteks cingulate anterior yang berhubungan dengan fungsi eksekutif dan korteks parietal posterior berhubungan dengan attention. (Aldenkamp, 2005)
Beberapa obat anti epilepsi meningkatkan konsentrasi GABA di kortikal serebral terutama di lobus frontal. Disfungsi GABAergic di korteks prefrontal
area dorsolateral termasuk area broca dapat sebagai penyebab pemburukkan produksi bahasa. Penggunaan obat anti epilepsi dengan aksi primer tidak pada GABAergic neurotransmission seperti lamotrigine dapat berhubungan dengan pemburukkan kognitif dan behavior yang lebih kecil. (Aldenkamp, 2005)
Terapi dengan obat anti epilepsi memberi efek terhadap behavior dan kejiwaan meskipun hubungan anatomi dan biokimiawi yang tepat belum dketahui sepenuhnya. Obat anti epilepsi secara umum diklasifikasikan oleh apakah mereka mempunyai efek positif dan negatif pada fungsi behavior dan kejiwaan.
Kemungkinan efek negatif yaitu depresi (Levetiracetam, Tiagabine, Topiramat dan Vigabatrin), irritabilitas (Felbamate Levetiracetam dan Vigabatrin), hiperaktifitas & impulsif (Phenobarbital), aggresif (Lamotrigine, Phenobarbital, Topiramat dan Vigabatrin) dan psikosis (Levetiracetam dan Topiramat) sedangkan efek positif yaitu stabilisasi mood (Carbamazepine, Lamotrigine), anti- mania (Carbamazepine dan Asam valproat) dan menurunkan ansietas (Gabapentin, Phenobarbital dan Pregabaline). Efek obat anti epilepsi pada kejiwaan pasien dapat berhubungan dengan dosis atau idiosinkronisasi dan mungkin muncul secara bebas dari efeknya terhadap frekuensi bangkitan dan keparahan epilepsinya.(Panayiotopoulo, 2010)
Walaupun mekanisme bagaimana OAE dapat mempengaruhi behavior masih belum diketahui secara pasti. Namun, terdapat beberapa teori yang mendukung hal diatas. Phenitoin dapat menginduksi perburukkan fungsi behavior oleh karena penurunan aktifitas enzim asetilkolinesterase di hippokampus, serebellum dan korpus striatum. Efek phenobarbital terhadap behavior akibat penurunan pelepasan neurotransmiter dan eksitasi postsinaptik dengan cara memblok ca2+ memasuki neuron dan dengan peninggian maksimal respon
GABA. Efek carbamazepine terhadap behavior yang menguntungkan disebabkan beberapa faktor, yaitu: 1) Struktur CBZ yang mirip dengan tricyclic antidepresant, 2) Efek stabilisasi pada sistem limbik yang dimediasi oleh pelemahan neurotransmiter eksitatorik glutamanergik dan pengurangan discharge neuronal paroksismal di sistem limbik. 3) Penuruanan turnover dopamin dan norepinefrin, 4) Efek meningkat pada serotonin. Sedangkan efek asam valproat yang menguntungkan behavior adalah 1) Efek GABA-ergic dimana terjadi peningkatan neurotransmisi dan regulasi reseptor b GABA yang memodulasi aktifitas noradrenergik yang memegang peranan penting gangguan afek bipolar, 2) Pengurangan aktifitas glutamat dekarbosilase di korteks frontal, 3) Pengurangan GABA di cairan liquor serebri. (Kantoush dkk, 1998)
Obat anti epilepsi GABAergic dapat berhubungan dengan perkembangan sedasi, depresi, hiperaktiftas, agresif, impulsiveness dan gangguan tidur dan efek positifnya adalah anxiogenic dan anti-mania. Sedangkan obat anti-glutamatergic dapat sebagai anxiogenic dan anti depresan. Pada tahun 2008, US Food and Drug administration (FDA) mengeluarkan peringatan bahwa obat anti epilepsi dapat meningkatkan pikiran dan tindakan bunuh diri pada pasien-pasien epilepsi.
Hal ini didasarkan pada studi meta-analysis yang mereka lakukan dimana pada sebelas penelitian secara konsisten ditemukan peningkatan resiko pikiran maupun tindakan bunuh diri.(Panayiotopoulos, 2010)
II.6. KERANGKA TEORI
EPILEPSI OBAT ANTI EPILEPSI
MENINGKATKAN INHIBISI
MENGURANGI EKSITASI
Loring, 2007
Penurunan irritability neuron memberikan efek behavior dan penurunan kognitif PENURUNAN
IRRITABILITY
Clare, 2011
Penurunan kognitif & gangguan behavior
→ menurunkan kualitas hidup pasien.
Ghaydaa, 2009 Buruk → digit forward, immeddiate memory.
Durasi OAE → memori objek
Sung-Pa, 2008
Studi paralel pada onset baru epilepsi → sedikit perubahan kognitif setelah di th/ OAE.
Palanisamy dkk, 2011
MMSE lebih buruk pada pasein epilepsi telah th/
Perucca dkk, 2011 Tidak terdapat perbedaan adverse effect profile signifikan setelah pasien epilepsi diterapi OAE.
Loring & Meador, 2009
PB → gangguan
Marco, 2009 Depresi, psikosis, ansietas dan perubahan prilaku.
KOGNITIF BEHAVIOR
Loring dan Meador, 2009 CBZ, PHT → gangguan memori
Hiba dkk, 2010 Gangguan psikiatri 2 - 4,9%.
Carbamazepine tidak menyebabkan gangguan psikiatri.
Asam valproat → Kognitif
II.7. KERANGKA KONSEP
Olubunmi, 2005 PB→ Skor buruk memori
Olubunmi, 2005 CBZ & PHT→
menurunkan atensi.
Elger, 2008
↓ kognitif rendah → VPA.
↓ kognitif tinggi
→ CBZ, PB, PHT
Elger, 2008
Depresi rendah → CBZ Depresi tinggi → PB
Panaylotopoulos, 2010 CBZ & PHT → resiko lebih kecil terkena depresi
& meningkatkan mood
Hiba dkk, 2010 GBP → psikiatri
Epilepsi
Kognitif Behavior