63 Atas dasar International Customary
Law, alasan dapat digunakan asas retroaktif adalah 1) atas dasar principle of justice yang artinya bahwa impunity terhadap pelaku pelanggaran HAM yang berat akan dirasakan lebih tidak adil dibandingkan dengan tidak menerapkan asas legalitas, yang juga ditujukan untuk menciptakan kepastian hukum dan keadilan, dan b) dalam hal ini tidak ada persoalan asas legalitas, sebab tidak ada perundang-undangan yang baru. Yang terjadi adalah penerapan hukum kebiasaan internasional dalam peradilan ad hoc dengan
locus dan tempos delicti tertentu yang sudah dikenal dalam praktek hukum internasional (Nurenberg, Tokyo, Rwanda dan Yugoslavia) dalam hal ini berlaku asas nullum delictum nulla poena sine iure. Lihat Muladi, Mekanisme Domestik untuk Mengadili Pelanggaran HAM Berat melalui sistem Pengadilan atas Dasar UU No. 26 Tahun 2000, Makalah dalam Diskusi Panel 4 Bulan Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, Jakarta, 20 Januari 2004
64 Argumen-argumen ini merupakan argumen yang dikemukakan dalam eksepsi tim
Argumen majelis hakim dalam menentukan berlakunya asas retroaktif adalah apabila ditinjau lebih jauh lagi UU No. 26 Tahun 2000 dalam bentuk atau formatnya sejalan dengan penyimpangan atas asas non retroaktif berdasarkan pada preseden proses peradilan Nuremberg tahun 1946 yang mengawali pengecualian atas asas legalitas. Sementara substansi atau norma hukum yang diterapkan terutama yang berkaitan dengan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Bahwa proses peradilan Nuremberg tersebut yang menerapkan asas retroaktif telah dianggap sebagai norma kebiasaan Internasional dan telah memiliki ciri-ciri ius cogen yaitu norma tertinggi yang harus dipatuhi dan tidak boleh dikurangi sehingga semua negara anggota PBB termasuk Indonesia secara hukum terkait untuk melaksankannya tanpa harus meratifikasinya. Bahwa kemudian putusan peradilan Nuremberg tersebut dikuatkan melalui Resolusi PBB tanggal 11 Desember 1946 sebagai suatu aplikasi prinsip-prinsip hukum internasional, seterusnya diikuti pula oleh Peradilan Tokyo 1948, Peradilan Bekas Yugoslavia/International Criminal Tribunal for former Yugoslavia (ICTY) 1993, Peradilan Rwanda/International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) 1995, RUU Peradilan ad hoc Khmer Merah 1999 khususnya terhadap pelanggaran HAM yang berat (gross violation of human rights), sekalipun untuk kurun waktu tertentu saja. Bahwa Pemberlakuan asas retroaktif pada peradilan Nuremberg memberikan justifikasi terhadap pengecualian asas legalitas. Kemudian tentunya setelah diikuti dan diterapkan pada negara-negara sesudahnya asas retroaktif ini menjadi asas legalitas untuk pengadilan-pengadilan sesudahnya, karena menjadi dasar hukum
penasehat hukum terdakwa dalam Pengadilan HAM ad hoc Timor-timur.
terhadap peristiwa pelanggaran HAM yang berat yang terjadi kemudian khususnya kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida.65
Majelis hakim menyatakan bahwa dapat diberlakukannya asas retroaktif adalah berdasarkan pengkajian terhadap praktek pengadilan pidana internasional dari praktek negara-negara sejak pengadilan penjahat perang di Nurenberg dan Tokyo dan pengadilan pidana internasional ad hoc untuk Yugoslavia (ICTY) dan Rwanda (ICTR), dan Kasus Adolf Eichman di pengadilan distrik Yerusalem ternyata asas non retroaktif disimpangi demi tegaknya keadilan.
Kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, dan genosida merupakan hostis human generis (musuh bersama seluruh umat manusia) yang termasuk dalam kejahatan internasional sehingga di bawah yurisdiksi universal. Berdasarkan prinsip yurisdiksi universal ini setiap negara berhak untuk mengadili pelaku kejahatan ini atau untuk mengekstradisikannya ke negara atau pihak lain yang memiliki yurisdiksi tanpa melihat kejadian, kewarganegaraan pelaku maupun kewarganegaraan korban.
Kejahatan terhadap kemanusiaan telah diakui sebagai kejahatan yang mengguncang nurani umat manusia sehingga penghukuman terhadap pelaku mutlak diperlukan tanpa dibatasi waktu dan tempat maka praktek internasional telah menghapuskan batas daluwarsa pemeriksaan sebagaimana disebutkan dalam penjelasan UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa pelanggaran HAM yang berat merupakan extra ordinary crime dan berdampak secara luas. Dengan ungkapan lain asas retroaktif dapat diperlakukan
65 Lihat Putusan sela dengan terdakwa M. Noer Muis (Mantan Komandan Korem) 164, Timor-timur. Tanggal 20 AUSTUS 2002.
dalam rangka melindungi HAM itu sendiri berdasarkan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945.66
Terlepas dari pemberlakuan asas retroaktif yang berdasarkan praktek internasional tersebut, majelis hakim juga menyatakan bahwa nilai keadilan lebih tinggi daripada kepastian hukum terlebih-lebih perwujudan keadilan universal seperti dalam kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat tidak mengenal ruang dan waktu. Oleh karena itu dalam hal ini non retroaktif dapat dikesampingkan dan masalah ini sebagai aturan khusus. Argumen tentang masalah apakah ada pertentangan antara kepastian hukum dengan keadilan majelis hakim menyatakan bahwa apabila terjadi pertentangan antara dua prinsip maka yang didahulukan adalah prinsip yang dapat mewujudkan keadilan yang lebih nyata.67
66 Lihat putusan sela dengan terdakwa Abilio Jose Osorio Soares (Mantan Gubernur Timor-timur) tanggal 4 April 2002.
67 Argumen ini didasarkan pada komparasi mengenai ukuran untuk menetukan ada tidaknya kepastian hokum dan keadilan khusus dalam penegakan HAM yaitu nilai keadilan tidak diperoleh melalui tingginya nilai kepastian hukum melainkan dari keseimbangan perlindungan hukum atas korban, dan pelaku kejahatan dan semakin serius suatu kejahatan maka semakin besar nilai keadilan yang harus di pertahankan lebih dari nilai kepastian hukum. Lihat Putusan sela dengan terdakwa M. Noer Muis (Mantan Komandan Korem) 164, Timor-timur. Tanggal 20 Agustus 2002.
3. Hukum Acara
Pasal 44 UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa pemeriksaan di pengadilan HAM ad hoc dan upaya hukumnya dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini. Hal ini berarti bahwa hukum acara yang digunakan dalam pengadilan HAM ad hoc sama dengan ketentuan yang digunakan dalam pengadilan HAM yaitu menggunakan ketentuan dalam UU No. 26 Tahun 2000. Seperti halnya dengan Pengadilan HAM, ketentuan mengenai hukum acara yang digunakan juga mengacu pada Pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000 yang mensyaratkan digunakannya ketentuan dalam KUHAP kecuali yang ditentukan secara khusus dalam UU No. 26 Tahun 2000. Hukum acara yang digunakan dalam pengadilan HAM ad hoc dalam prakteknya ternyata juga mengalami beberapa hambatan. Pengalaman pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM berat di Timor-timur bisa menjadi referensi yang dapat digunakan untuk menganalisa efektivitas berlakunya. Beberapa contoh penerapan hukum acara dalam proses peradilan HAM ad hoc kasus pelanggaran HAM berat di Timor–timur mengenai hal-hal sebagai berikut :
a. Jangka waktu penyidikan dan penuntutan pemeriksaan di sidang pengadilan
Adanya limitasi jangka waktu untuk proses penyelidikan dan penuntutan menjadi batasan bagi pihak penyidik dan penuntut umum untuk melakukan proses penyidikan dan penuntutan. Dalam berbagai kasus yang disidangkan untuk pelanggaran HAM yang berat di Timor-timur ini nota keberatan/eksepsi dari terdakwa terhadap proses pemeriksaan dan penuntutan yang dianggap tidak sesuai atau sudah
melampaui ketentuan undang-undang.68
Ketentuan tentang jangka waktu ini terdapat ketidakjelasan mengenai jangka waktu antara penyidikan dinyatakan selesai dan kapan hasil penyidikan itu harus diserahkan untuk dilakukan penuntutan. Dalam UU No. 26 Tahun 2000 hanya dinyatakan bahwa penuntutan harus diselesaikan dalam jangka waktu 70 hari terhitung sejak tanggal hasil penyelidikan diterima. Jadi UU No. 26 Tahun 2000 hanya mengatur tentang lama penyidikan dan lama penuntutan tetapi tidak diatur mengenai kewajiban atau batasan waktu diserahkannya hasil penyelidikan ke penuntutan.
68 Lihat misalnya eksepsi dari tim penasehat hukum terdakwa Leonito Martins (mantan Bupati Liquica) yang menyatakan dakwaan harus batal demi hukum karena jangka waktu penyidikan dan penuntutan melanggar undang-undang. Argumentasi yang dibangun adalah bahwa Pasal 22 menyatakan lama penyidikan adalah 240 hari (selama 90 hari, dapat diperpanjang 90 hari dan dapat diperpanjang lagi selama 90 hari). Penyidikan terhadap terdakwa sudah dilakukan sejak tanggal 18 April 2000 (vide surat perintah Jaksa Agung RI No. Print-43/E/04/2000 tertanggal 18 April 2000 untuk memulai/melaksanakan penyidikan atas pelanggaran HAM yang berat di Timor-timur baik pra maupun pasca jajak pendapat), dan dari keterangan ini penyidikan harus sudah diselesaikan tanggal 18 Desember 2000 (240 hari). Surat dakwaan untuk penuntutan disusun tertanggal 19 Juni 2002, artinya ada jangka waktu yang melampai ketetuan Pasal 24 UU No. 26 Tahun 2000 tentang jangka waktu penuntutan yang lamanya 70 hari. Penasehat hukum menyatakan bahwa surat dakwaan harus dinyatakan batal demi hukum karena melebihi jangka waktu sesuai yang ditentukan oleh undang-undang dan seharusnya penyidikan harus dihentikan sesuai dengan Pasal 24 ayat 4 UU No. 26 Tahun 2000 .
b. Jangka waktu pemeriksaan di sidang pengadilan
Ketentuan Pasal 31 yang menyatakan pengadilan mempunyai jangka waktu selama 180 hari untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat ternyata juga tidak dapat diterapkan sepenunya dalam proses peradilan HAM ad hoc ini. Beberapa majelis hakim membuat ketetapan-ketetapan untuk adanya perpanjangan masa persidangan ketika melewati masa 180 hari. Alasan perpanjangan ini adalah dikarenakan kurangnya waktu yang diperlukan oleh majelis hakim untuk mencari kebenaran materiil.69
c. Proses pembuktian
Selama proses pemeriksaan kesaksian terutama terhadap saksi korban mekanismenya menggunakan pemeriksaan biasa dalam artian saksi menghadiri persidangan untuk memberikan keterangannya sesuai dengan ketentuan KUHAP. Mekanisme tentang dapat digunkannya pemeriksaan kesaksian tanpa hadirnya terdakwa juga tidak pernah dipakai selama proses pemeriksaan kesaksian, demikian juga dengan hak saksi dan korban untuk dirahasiakan identitasnya.70 Proses pemeriksaan saksi yang termasuk progresif adalah diijinkannya videoconference untuk
69 Lihat surat penentapan tentang perpanjangan masa sidang dari majelis hakim yang mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat di Tim-tim untuk terdakwa Adam Damiri, Noer Muis, Tono Suratman, Soejarwo dan Hulman Gultom.
70 Hal ini sesuai dengan hak-hak untuk perlindungan korban dan saksi sesuai dengan PP No. 2 Tahun 2002.
pemeriksaan saksi.71 Proses pemeriksaan melalui videoconference ini adalah sebetulnya belum diatur dalam hukum acara kita (KUHAP) tetapi majelis hakim yang mengijinkan adanya video conference ini mengacu pada praktek peradilan internasional.72
Prosedur pembuktian dan alat bukti yang digunakan selama proses peradilan tidak cukup memadai. Dilihat dari alat bukti yang ditampilkan di muka persidangan tidak bisa dilihat atau menunjukkan secara pasti dan detail tentang terjadinya perkara. Demikian pula dengan para saksi terutama saksi korban yang sulit menggambarkan secara detail, jelas dan konkret tentang unit militer, polisi atau sipil bersenjata, seragam dan siapa yang melakukan langsung. Hal ini pada gilirannya akan sangat sulit untuk mendapatkan bukti tentang adanya “command responsibility”.
71 Pemeriksaan saksi dengan
menggunakan videoconference ini hanya untuk terdakwa Adam Damiri, Noer Muis, Hulman Gultom, dan Soejarwo. Videocoference
dilaksanakan pada tanggal 16, 17 dan 18 Desember 2002.
72 Argumen yang digunakan hakim adalah bahwa adanya adagium bahwa hukum itu berkembang dan cenderung tertinggal. Hakim sebagai penegak hukum mempunyai kewajiban untuk menggali hukumnya. Pelanggaran HAM berat merupakan kejahatan internasional dan merupakan yurisdiksi internasional. Dimana dalam hukum internasional media teleconference telah lazim digunakan. Hal ini juga sejalan dengan PP No. 2 tahun 2002 tentang tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi dalam pelanggaran HAM berat yang menyatakan bahwa pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka. Maka majelis berpendapat bahwa media teleconference dapat digunakan.
IV. PENUTUP
Pengaturan tentang pengadilan HAM dan pengadilan HAM ad hoc berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM. Yurisdiksi dari pengadilan HAM adalah untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida. Pengadilan HAM juga mempunyai kewenangan untuk memutuskan tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada para korban pelanggaran HAM yang berat.
UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM masih banyak mengandung kelemahan-kelemahan yang mengakibatkan hambatan-hambatan yuridis dalam penerapan UU No. 26 Tahun 2000 tersebut. Kelemahan-kelemahan tersebut antara lain tidak secara lengkap menyesuaikan tindak pidana yang diatur yaitu kajahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida yang seharusnya juga disertai
dengan penjelasan mengenai unsur-unsur tindak pidananya (elements of crimes). UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilah HAM ini juga tidak mengatur tentang prosedur pembuktian secara khusus untuk mengadili kejahatan yang sifatnya “ extra-ordinary crimes”.
Kelemahan-kelemahan UU No. 26 Tahun 2000 dalam prakteknya menyulitkan proses peradilan HAM yang mengakibatkan majelis hakim melakukan terobosan-terobosan hukum untuk menafsirkan atau menerjemahkan peraturan sesuai dengan pertimbangan majelis hakim. Kedepan, untuk memperkuat jaminan kepastian hukum dan pencapaian keadilan kepada korban maka UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM ini perlu diamandemen sesuai dengan kebutuhan dan pengalaman pelaksanaan peradilan-peradilan HAM sebelumnya.