• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Penga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Penga"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara XI

Tahun 2007

Materi : Pengadilan HAM

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DI

INDONESIA

Zainal Abidin, S.H.

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat

Jl Siaga II No 31 Pejaten Barat, Jakarta 12510

Telp (021) 7972662, 79192564 Fax : (021) 79192519

Website :

www.elsam.or.id

(2)

I.

PENDAHULUAN

Penegakan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM) di Indonesia mencapai kemajuan ketika pada tanggal 6 November 2000 disahkannya Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan kemudian diundangkan tanggal 23 November 2000. Undang-undang ini merupakan undang-undang yang secara tegas menyatakan sebagai undang-undang yang mendasari adanya pengadilan HAM di Indonesia yang akan berwenang untuk mengadili para pelaku pelanggaran HAM berat. Undang-undang ini juga mengatur tentang adanya pengadilan HAM ad hoc yang akan berwenang untuk mengadili pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu.

Pengadilan HAM ini merupakan jenis pengadilan yang khusus untuk mengadili kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pengadilan ini dikatakan khusus karena dari segi penamaan bentuk pengadilannya sudah secara spesifik menggunakan istilah pengadilan HAM dan kewenangan pengadilan ini juga mengadili perkara-perkara tertentu. Istilah pengadilan HAM sering dipertentangkan dengan istilah peradilan pidana karena memang pada hakekatnya kejahatan yang merupakan kewenangan pengadilan HAM juga merupakan perbuatan pidana. UU No. 26 Tahun 2000 yang menjadi landasan berdirinya pengadilan HAM ini mengatur tentang beberapa kekhususan atau pengaturan yang berbeda dengan pengaturan dalam hukum acara pidana. Pengaturan yang berbeda atau khusus ini mulai sejak tahap penyelidikan dimana yang berwenang adalah Komnas HAM sampai pengaturan tentang majelis hakim dimana komposisinya berbeda denga pengadilan pidana biasa. Dalam pengadilan HAM ini komposisi hakim adalah lima

orang yang mewajibkan tiga orang diantaranya adalah hakim ad hoc.

Pengaturan yang sifatnya khusus ini didasarkan atas kerakteristik kejahatan yang sifatnya extraordinary sehingga memerlukan pengaturan dan mekanisme yang seharusnya juga sifatnya khusus. Harapan atas adanya pengaturan yang sifatnya khusus ini adalah dapat berjalannya proses peradilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat secara kompeten dan fair. Efek yang lebih jauh adalah putusnya rantai impunity atas pelaku pelanggaran HAM yang berat dan bagi korban, adanya pengadilan HAM akan mengupayakan adanya keadilan bagi mereka.

(3)

II.

PENGADILAN HAM

1.

Latar Belakang Pembentukan Pengadilan HAM

Orde baru yang berkuasa selama 33 tahun (1965-1998) telah banyak dicatat melakukan pelanggaran-pelanggaran HAM. Orde baru yang memerintah secara otoriter selama lebih dari 30 tahun telah melakukan berbagai tindakan pelanggaran HAM karena perilaku negara dan aparatnya.1

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam laporan tahunnya menyatakan bahwa pemerintah perlu menuntaskan segala bentuk pelanggaran HAM yang pernah terjadi di tanah air sebagai akibat dari struktur kekuasaan orde baru yang otoriter.

Selanjutnya, pasca orde baru pelanggaran HAM yang berbentuk aksi kekerasan massa, konflik antar etnis yang banyak menelan korban jiwa dan pembumihangusan di Timor-timur pasca jejak pendapat menambah panjang sejarah pelanggaran HAM. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menyebutkan data pada triwulan pertama 1998 telah terjadi 1.629 pelanggaran HAM yang fundamental yang tergolong ke dalam hak-hak yang tak dapat dikurangi di 12 propinsi yang menjadi sumber data. Hak-hak tersebut adalah hak atas hidup, hak bebas dari penyiksaan, hak bebas dari penangkapan sewenang-wenang, hak bebas dari pemusnahan seketika, dan hak bebas dari penghilangan paksa.2

Berbagai pelanggaran HAM yang terjadi belum pernah terselesaikan secara tuntas sedangkan gejala pelanggaran kian

1 Ignatius Haryanto, Kejahatan Negara, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 1999, hlm.31.

2 Kompas, 15 April 1998.

bertambah. Penyelesaian kasus Tanjung Priok, DOM Aceh, Papua dan kasus pelanggaran HAM berat di Timor-timur selama pra dan pasca jajak pendapat belum ada yang terselesaikan. Atas kondisi ini sorotan dunia internasional terhadap Indonesia sehubungan dengan maraknya pelanggaran HAM yang terjadi kian menguat terlebih sorotan atas pertanggungjawaban pelanggaran HAM yang terjadi di Timor-timur selama proses jajak pendapat.

Kasus pembumihangusan di Timor-timur telah mendorong dunia internasional agar dibentuk peradilan internasional (internasional tribunal) bagi para pelakunya. Desakan untuk adanya peradilan internasional khususnya bagi pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Timor-timur semakin menguat bahkan komisi Tinggi PBB untuk Hak-hak asasi manusia telah mengeluarkan resolusi untuk mengungkapkan kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM berat di Timor-Timur. Atas resolusi Komisi HAM PBB tersebut Indonesia secara tegas menolak dan akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM dengan menggunakan ketentuan nasional karena konstitusi Indonesia memungkinkan untuk menyelenggarakan peradilan hak asasi manusia. Atas penolakan tersebut, mempunyai konsekuensi bahwa Indonesia harus melakukan proses peradilan atas terjadinya pelanggaran HAM di Timor-Timur .

(4)

HAM di Timor-timur mempunyai nuansa khusus karena adanya penyalahgunaan kekuasaan dalam arti pelaku berbuat dalam konteks pemerintahan dan difasilitasi oleh kekuasaan pemerintah sehingga akan sulit untuk diadakan pengadilan bagi pelaku kejahatan secara fair dan tidak memihak.

Dalam prakteknya jika melihat bekerjanya sistem peradilan pidana di negara hukum Indonesia ini, belum mampu memberikan keadilan yang subtansial. Keterkaitan dengan kebijakan yang formal/legalistik seringkali dijadikan alasan. Peradilan seringkali memberikan toleransi terhadap kejahatan-kejahatan tertentu, dengan konsekuensi yuridis pelaku kejahatannya harus dibebaskan. Termasuk terhadap kejahatan atau pelanggaran HAM berat ini.3

Ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia yang berkaitan dengan pelanggaran HAM yang berat juga mengatur tentang jenis kejahatan yang berupa pembunuhan, perampasan kemerdekaan, penyiksaan/penganiayaan, dan perkosaan. Jenis kejahatan yang diatur dalam KUHP tersebut adalah jenis kejahatan yang sifatnya biasa (ordinary crimes) yang jika dibandingkan dengan pelanggaran HAM yang berat harus memenuhi beberapa unsur atau karakteristik tertentu yang sesuai dengan Statuta Roma 1999 untuk bisa diklasifikasikan sebagai pelanggaran HAM yang berat. Pelanggaran HAM berat itu sendiri merupakan extra-ordinary crimes yang mempunyai perumusan dan sebab timbulnya kejahatan yang berbeda dengan kejahatan atau tindak pidana umum. Dengan perumusan yang berbeda ini tidak mungkin menyamakan perlakukan dalam menyelesaikan masalahnya, artinya KUHP tidak dapat untuk menjerat secara efektif

3 Krist L. Kleden, Peradilan Pidana

Sebagai Pendidikan Hukum, Komnas, 11 September 2000.

para pelaku pelanggaran HAM yang berat. Disamping itu sesuai dengan prinsip International Criminal Court, khususnya prinsip universal yang tidak mungkin memperlakukan pelanggaran HAM berat sebagai ordinary crimes dan adanya kualifikasi universal tentang crimes against humanity masyarakat mengharuskan didayagunakannya pengadilan HAM yang bersifat khusus, yang mengandung pula acara pidana yang bersifat khusus. 4

Pengertian tentang perlunya peradilan yang secara khusus dengan aturan yang bersifat khusus pula inilah yang menjadi landasan pemikiran untuk adanya pengadilan khusus yang dikenal dengan pengadilan HAM. Alasan yuridis lainnya yang bisa menjadi landasan berdirinya pengadilan nasional adalah bahwa pengadilan nasional merupakan “the primary forum” untuk mengadili para pelanggar HAM berat.5

4 Muladi, Pengadilan Pidana bagi

Pelanggar HAM Berat di Era Demokrasi, 2000, Jurnal Demokrasi dan HAM, Jakarta, hlm. 54.

5 Muladi, Mekanisme Domestik untuk

Mengadili Pelanggaran HAM Berat melalui Sistem Pengadilan atas Dasar UU No. 26 Tahun 2000,

(5)

2.

Landasan Yuridis Terbentuknya Undang-undang Pengadilan

HAM

Kepentingan untuk mengadakan proses peradilan untuk kejahatan yang termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan melalui mekanisme nasional mengharuskan dipenuhinya instrumen hukum nasional yang memadai sesuai dengan prinsip-prinsip dalam hukum internasional. Meskipun mekanisme/sistem hukum nasional yang akan dipilih untuk menegakkan pertanggungjawaban pelanggaran HAM yang terjadi tetapi

penting untuk memenuhi syarat adanya pengadilan nasional yang efektif.

Berdasarkan kondisi tentang perlunya instrumen hukum untuk berdirinya sebuah pengadilan HAM secara cepat maka pemerintah menerbitkan Perpu No. 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM. Perpu ini telah menjadi landasan yuridis untuk adanya penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat di Timor-timur oleh Komnas HAM.

Karena berbagai alasan Perpu No. 1 Tahun 1999 ini yang kemudian ditolak oleh DPR untuk menjadi undang-undang. Alasan mengenai ditolaknya Perpu tersebut adalah sebagai berikut :

1. Secara konstitusional pembentukan perpu tentang pengadilan HAM dengan mendasarkan pada Pasal 22 ayat 1 Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa”, yang dijadikan dasar untuk mengkualifikasikan adanya kegentingan yang memaksa dianggap tidak tepat.

2. Subtansi yang diatur dalam Perpu tentang Pengadilan HAM masih terdapat kekurangan atau kelemahan antara lain, sebagai berikut :

• Kurang mencerminkan rasa keadilan karena ketentuan dalam perpu tersebut tidak berlaku surut (retroaktif), sehingga pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan sebelum Perpu ini disahkan menjadi undang-undang tidak tercakup pengaturannya.

• Masih terdapat ketentuan yang dinilai menyimpang dari ketentuan yang diatur dalam konvensi tentang pencegahan dan penghukuman kejahatan genosida tahun 1948 dan tidak sesuai dengan asas-asas hukum yang berlaku.

• Masih menggunakan standar konvensional, yakni dengan mendasarkan pada KUHP yang hanya membatasi tuntutan pada personal sehingga tidak mampu menjangkau tuntutan secara lembaga.

• Masih terdapat subtansi yang kontradiktif dan berpotensi untuk berbenturan atau overlapping dengan hukum positif.

(6)

dalam rangka melaksanakan Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan sebagai tindak lanjut dari Pasal 104 ayat 1 Undang-undang No. 39 Tahun 1999. Ketiga, untuk mengatasi keadaan yang tidak menentu di bidang keamanan dan ketertiban umum, termasuk perekonomian nasional. Keberadaan pengadilan HAM ini sekaligus diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional terhadap penegakan hukum dan jaminan kepastian hukum mengenai penegakan HAM di Indonesia.

Dari ketiga alasan di atas, landasan hukum bahwa perlu adanya pengadilan HAM untuk mengadili pelanggaran HAM berat adalah alasan yang ketiga dimana terbentuknya pengadilan HAM ini adalah pelaksanaan dari TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan sebagai tindak lanjut dari Pasal 104 ayat 1 Undang-undang No. 39 Tahun 1999. Pasal 104 ayat 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Komnas HAM menyatakan bahwa untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat dibentuk pengadilan HAM di lingkungan peradilan umum. Ayat 2 menyatakan pengadilan sebagaimana dimaksud ayat dalam ayat 1 dibentuk dengan udang-undang dalam jangka waktu paling lama 4 tahun. Tidak sampai 4 tahun, undang-undang yang khusus mengatur tentang Pengadilan HAM adalah Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000.6

(7)

3.

Pengaturan tentang Pengadilan HAM : UU No. 26 Tahun 2000

Konsideran dari UU No. 26 Tahun 2000 ini menyatakan bahwa untuk ikut serta memelihara perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan hak asasi manusia serta memberi perlindungan, kepastian, keadilan, dan perasaan aman kepada perorangan ataupun masyarakat, perlu segera dibentuk suatu Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat sesuai dengan ketentuan Pasal 104 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Bahwa pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat telah diupayakan oleh Pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang dinilai tidak memadai, sehingga tidak disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menjadi undang-undang, dan oleh karena itu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut perlu dicabut. Berdasarkan pertimbangan diatas maka Pengadilan HAM perlu dibentuk.

Undang-undang No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan ini memberikan 3 mekanisme untuk penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat. Pertama adalah mekanisme pengadilan HAM ad hoc untuk pelanggaran HAM masa lalu sebelum adanya undang-undang ini, artinya untuk kasus-kasus yang terjadi sebelum tahun 2000 maka akan dibentuk pengadilan HAM ad hoc. Kedua adalah pengadilan HAM yang sifatnya permanen terhadap kasus setelah terbentuknya UU No. 26 Tahun 2000 dan yang ketika adalah dibukanya jalan mekanisme komisi kebenaran dan

rekonsiliasi untuk penyelesaian pelanggaran HAM yang berat.7

Pembentukan pengadilan HAM yang mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida ini dianggap tidak tepat dan banyak dikritik sebagai pengaturan yang kurang tepat. Kesalahan ini yang terutama adalah memasukkan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida dalam istilah pengadilan HAM. Pelanggaran HAM yang berat dengan dua jenis kejahatan tersebut adalah kejahatan yang merupakan bagian dari hukum pidana karena merupakan bagian dari international crimes sehingga yang digunakan adalah seharusnya terminologi “peradilan pidana.” Secara yuridis seharusnya pengklasifikasian kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida diintegrasikan ke dalam kitab undang-undang hukum pidana melalui amandemen. Dengan memasukkan jenis kejahatan ini kedalam kitab undang-undang hukum pidana maka tidak akan melampaui asas legalitas. Sedangkan pelanggaran HAM yang dilakukan sebelum adanya amandemen tersebut seharusnya dibentuk mahkamah peradilan pidana ad hoc untuk kasus tertentu. Pandangan ini sejalan dengan pemahaman bahwa pelanggaran HAM yang berat termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida secara yuridis seharusnya mengalami transformasi menjadi tindak pidana dan peradilan yang berwenang adalah peradilan pidana.

Dari argumen tentang “ketidaktepatan” ini menjadikan ada 2 lembaga yang mempunyai yurisdiksi untuk memeriksa dan mengadili perkara pidana yaitu peradilan pidana perkara pidana biasa dan pengadilan HAM untuk mengadili

(8)

kejahatan yang tergolong pelanggaran HAM yang berat menurut UU No. 26 Tahun 2000. Atas “ketidaktepatan” ini maka UU No. 26 Tahun 2000 dianggap sebagai undang-undang yang sifatnya transisional sehingga untuk masa yang akan datang harus dirubah dan diintegrasikan ke dalam ketentuan pidana atau masuk peradilan pidana. Kritik atas keadaan ini adalah bahwa UU No. 26 Tahun 2000 dianggap sebagai upaya praktis dari pemerintah untuk secara cepat mengakomodir dan menghentikan upaya-upaya ke arah peradilan internasional dan melupakan aspek-aspek yuridis.

UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM ini juga dianggap mempunyai banyak kelemahan yang mendasar dalam pengaturannya. UU No. 26 Tahun 2000 secara substansi banyak melakukan

pengadopsian dari norma-norma hukum internasional terutama norma-norma dalam Rome Statute of International Criminal Court. Kelemahan-kelemahan ini karena proses pengadopsian dari instrumen internasional yang tidak lengkap dan mengalami banyak kesalahan. Pengadopsian atas konsep kejahatan terhadap kemanusiaan dan tentang delik tanggung jawab komando tidak memadai sehingga banyak menimbulkan interpretasi dalam aplikasinya. Kelemahan lainnya adalah tidak ada hukum acara dan pembuktian secara khusus dan masih banyak menggunakan ketentuan yang berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Pengaturan tentang Pengadilan HAM sesuai dengan UU No. 26 Tahun 2000 adalah sebagai berikut :

a.

Kedudukan dan Tempat Kedudukan

Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum. Kedudukannya di daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan, sedangkan daerah khusus ibukota pengadilan HAM berkedudukan di setiap wilayah Pengadilan Negeri yang bersangkutan. pada saat undang-undang ini berlaku pertama kali maka pengadilan HAM dibentuk di Jakarta Pusat, Surabaya, Medan, dan Makassar.8

8 Ketentuan mengenai pembagian

wilayah untuk adanya pengadilan HAM pertama kali ini ada Pasal 45 UU No. 26 Tahun 2000 dalam aturan peralihan Pasal 45 UU No. 26 Tahun 2000. Pada ayat 2 bahwa wilayah Jakarta Pusat meliputi daerah khusus ibukota Jakarta, provinsi Jawa Barat, Banten, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. Surabaya meliputi Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Bali, Kalimantan Selatan,

Kedudukan dalam pengadilan HAM mengikuti Pengadilan Umum atau Pengadilan Negeri termasuk dukungan administrasinya. Hal ini membawa konsekuensi bahwa pengadilan HAM ini akan sangat tergantung dengan dukungan dari pengadilan negeri tersebut. Dukungan administratif itu adalah :

1. Ruangan pengadilan yang juga merupakan ruangan pengadilan untuk kasus lainnya dan tidak ada ruangan yang khusus untuk pengadilan HAM. Hal ini membawa konsekuensi bahwa jadwal persidangan akan sangat bergantung dengan jadwal persidangan

(9)

kasus-kasus lainnya yang juga ditangani oleh Pengadilan Negeri tempat Pengadilan HAM ini digelar.

2. Dukungan staf administrasi : staf administrasi adalah staf yang menangani perkara pengadilan HAM selain panitera yang juga bertugas untuk membantu para hakim yang mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat.

3. Dukungan panitera yang juga diambilkan dari Pengadilan Negeri setempat. Panitera ini adalah panitera biasa dan bukan panitera yang dibentuk khusus untuk menangani kasus pelanggaran HAM yang berat. Panitera ini juga menangani kasus lainnya. 4. Ruangan hakim : ruangan hakim untuk

hakim ad hoc adalah ruangan tersendiri, namun untuk hakim karir yang merupakan hakim pengadilan setempat maka mereka mempunyai ruangan tersendiri.9

9 Tentang dukungan adminsitratif ini didasarkan pada pengalaman pengadilan HAM

(10)

b.

Lingkup Kewenangan Pengadilan HAM

Kewenangan memeriksa dan mengadili

Perkara pelanggaran HAM yang berat yang berwenang memutus dan memeriksa adalah pengadilan HAM. Kewenangan untuk memutus dan memeriksa juga termasuk menyelesaikan perkara yang menyengkut perkara tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi korban pelanggaran HAM berat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kewenangan untuk memutus tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi ini sesuai dengan Pasal 35 UU No. 26 Tahun 2000 yang menyatakan bahwa kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dicantumkan dalam amar putusan pengadilan HAM.

Pengadilan HAM berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia. Dalam penjelasannya ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi warga negara Indonesia yang melakukan pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial, dalam arti tetap dihukum sesuai dengan undang-undang tentang pengadilan hak asasi manusia. 10

10

Ketentuan tentang asas ini sebetulnya sudah diatur dalam Kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) yaitu Pasal 5 yang berasaskan nasional pasif.10 Namun ketentuan ini perlu ditegaskan lagi mengingat bahwa pelanggaran HAM yang berat merupakan kejahatan internasional yang merupakan musuh umat manusia yang mengenal yurisdiksi internasional dan menjadi kewajiban setiap negara untuk melakukan penghukuman terhadap kejahatan seperti ini. Penegasan tentang asas nasional aktif ini juga bertujuan untuk menyatakan bahwa setiap pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan oleh warga negara

UU No. 26 Tahun 2000 memberikan larangan atau membatasi kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun pada saat kejahatan dilakukan. Disini diartikan bahwa seseorang yang berumur dibawah 18 tahun yang melakukan pelanggaran HAM yang berat diperiksa dan diputus dalam Pengadilan Negeri. Ketentuan tentang pembatasan perkecualian yurisdiksi terhadap mereka yang berumur dibawah 18 tahun pada saat tindak pidana dilakukan (exclusion of jurisdiction over person under eighteen) sesuai dengan norma yang diatur dalam Statuta Roma 1998.

Jenis kejahatan yang dapat diadili

Jenis kejahatan yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat yang dapat diperiksa atau diputus dan merupakan yurisdiksi pengadilan HAM adalah :

1. Kejahatan genosida yaitu setiap

perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara :

a. Membunuh anggota kelompok; b. Mengakibatkan penderitaan fisik

atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;

c. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagian;

(11)

d. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok atau;

e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

2. Kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu

salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan itu ditujukan secara langsung kepada penduduk sipil yang berupa :

a. Pembunuhan, dengan rumusan delik sebagaimana Pasal 340 KUHP.11

b. Pemusnahan, yaitu meliputi perbuatan yang menimbulkan penderitaan yang dilakukan dengan sengaja, antara lain berupa perbuatan menghambat pemasokan barang makanan dan obat-obatan yang dapat menimbulkan pemusnahan pada sebagian penduduk.

c. Perbudakan, dalam ketentuan ini termasuk perdagangan manusia, khususnya perdagangan wanita dan anak-anak.

d. Pengusiran dan pemindahan penduduk secara paksa, yaitu pemindahan orang-orang secara

11 Pasal 340 KUHP menyatakan bahwa : Barang siapa dengan sengaja dan dengan direncanakan terlebih dahulu menghilangkan nyawa orang lain, karena salah telah melakukan pembunuhan dengan direncanakan terlebih dahulu, dihukum dengan hukuman mati atau dengan hukuman penjara seumur hidup atau dengan hukuman penjara sementara selama-lamanya 20 tahun. Ketentuan yang digunakan sebagai acuan adalah ketentuan deliknya dan bukan termasuk ancaman hukumannya karena ancaman hukuman dalam kejahatan terhadap kemanusiaan dalan UU No. 26 Tahun 2000 diatur tersendiri.

paksa dengan cara pengusiran atau tindakan pemaksaan yang lain dari daerah dimana mereka bertempat tinggal secara sah, tanpa disadari alasan yang diijinkan oleh hukum internasional.

e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional.

f. Penyiksaan, yaitu sengaja melawan hukum menimbulkan kesakitan atau penderitaan yang berat baik fisik maupun mental, terhadap seorang tahanan atau seorang yang berada di bawah pengawasan.

g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara.

h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paHAM politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional.

i. Penghilangan orang secara paksa, yaitu penangkapan, penahanan, atau penculikan seseorang oleh atau dengan kuasa, dukungan atau persetujuan dari negara atau kebijakan organisasi, diikuti oleh penolakan untuk mengakui perampasan kemerdekaan tersebut, dengan maksud untuk melepaskan dari perlindungan hukum dalam jangka waktu yang panjang.

(12)

rezim kelembagaan berupa penindasan dan dominasi oleh suatu kelompok rasial atas suatu kelompok atau kelompok-kelompok ras lain dan dilakukan dengan maksud untuk mempertahankan rezim itu.

Pengaturan tentang kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam UU No. 26 Tahun 2000 dalam penjelasannya dinyatakan sebagai ketentuan yang sesuai dengan Rome Statute of International Criminal Court 1998. Penjelasan tersebut mempunyai konsekuensi bahwa kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan seperti yang tercantum dalam Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000 sama maksudnya dengan Pasal 6 dan 7 dalam Statuta Roma 1998 termasuk terhadap penyesuaian unsur-unsur tindak pidananya (element of crimes).

Definisi tentang kejahatan genosida dalam Pasal 8 UU No. 26 Tahun 2000 secara umum tidak ada persoalan dalam artian sudah sesuai dengan beberapa norma yang berkaitan dengan pengaturan genosida dalam ketentuan hukum internasional. Ketentuan tersebut adalah Pasal 6 dari Statuta Roma tentang ICC dan Article II Genocide Convention 1948 yang mendefinisikan genosida sebagai 5 (lima) perbuatan tertentu atau khusus yang dilakukan dengan maksud untuk memusnahkan (intent to destroy) suatu kelompok etnis, rasial atau agama.

Berbeda dengan pengertian tentang kejahatan genosida, definisi tentang kejahatan terhadap kemanusiaan dianggap banyak mengalami distorsi terutama dalam beberapa pengertian kunci tentang delik kejahatan ini. Dari proses adopsi tentang kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida dari Statuta Roma ke dalam UU No. 26 Tahun 2000 ini terdapat distorsi yang secara teoritis melemahkan konsep kejahatan tersebut terutama konsep

tentang kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu :

1. Tidak ada kejelasan mengenai unsur meluas (widespread), sistematik (systematic) dan diketahui (intension), hal ini akan berakibat adanya berbagai macam interpretasi atas pengertian di atas. Hal ini berbeda dengan ketentuan dalam Statuta Roma yang menjelaskan secara tegas mengenai intension.12

2. Penerjemahan directed against any civillian population menjadi ditujukan secara langsung kepada penduduk sipil, yang seharusnya ditujukan kepada populasi sipil. Kata “langsung” ini bisa berimplikasi pada seolah-olah hanya pelaku di lapangan saja yang dapat dikenakan pasal ini sedangkan pelaku diatasnya yang membuat kebijakan tidak tercakup dalam pasal ini. istilah “penduduk” untuk menterjemahkan kata “population” telah menyempitkan subyek hukum dengan menggunakan batasan-batasan wilayah yang akan menyempitkan target-target potensial korban kejahatan terhadap kemanusiaan hanya kepada warga negara dimana kejahatan tersebut berlangsung.13

12 Lihat Progress Report pemantauan pengadilan HAM ad hoc Elsam ke X. Tanggal 28 Januari 2003.

(13)

3. Penerjemahan istilah “prosecution” menjadi penganiayaan. Prosecution mempunyai arti yang lebih luas merujuk pada perlakuan diskriminatif yang menghasilkan kerugian mental maupun fisik atau ekonomis. Dengan digunakan istilah penganiayaan ini maka tindakan teror dan intimidasi atas seseorang atau kelompok sipil tertentu berdasarkan kepercayaan politik menjadi tidak termasuk dalam kategori tersebut.14

4. UU No. 26 Tahun 2000 tidak memasukkan tentang kejahatan yang termasuk rumusan kejahatan terhadap kemanusiaan seperti dalam huruf k Pasal 7 Statuta Roma yaitu perbuatan tidak manusiawi lain dengan sifat yang sama secara sengaja menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau mental atau kesehatan fisik. Alasan tidak dimasukkan rumusan ketentuan ini dalam UU No. 26 Tahun 2000 adalah adanya pengertian bahwa ketentuan ini tidak memberikan kepastian hukum dan memiliki penafsiran yang luas.15

Adanya distorsi karena proses pengadopsian dan penerjemahan yang tidak memadai ini menjadikan pengertian tentang kejahatan terhadap kemanusiaan tidak sama atau berbeda rumusannya dengan dengan pengertian yang ada dalam hukum internasional dalam hal ini dengan ketentuan Statuta Roma sebagai dasar rujukannya. Disamping itu tidak adanya element of crimes secara jelas untuk mendefinisikan bentuk-bentuk kejahatan

14 Lihat Progress Report pemantauan Pengadilan HAM ad hoc Elsam ke X. Tanggal 28 Januari 2003.

15 Lihat pandangan akhir fraksi-fraksi di DPR tentang pembentukan pengadilan HAM, Jakarta, 2000.

yang termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan ini akan melemahkan konsep kejahatan terhadap kemanusiaan karena dapat ditafsirkan sendiri-sendiri.16

16 Beberapa putusan pengadilan HAM

(14)

c.

Hukum Acara Pengadilan HAM

Pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa hukum acara yang digunakan adalah hukum acara yang berdasarkan hukum acara pidana kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. Hal ini berarti hukum acara yang akan digunakan untuk proses pemeriksaan di pengadilan menggunakan hukum acara dengan mekanisme sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

UU No. 26 Tahun 2000 mengatur Kekhususan pengadilan HAM di luar ketentuan KUHAP untuk pelanggaran HAM yang berat. Kekhususan dalam penanganan pelanggaran HAM yang berat dalam UU No. 26 Tahun 2000 adalah :

1. Diperlukan penyelidik dengan membentuk tim ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut ad hoc, dan hakim ad hoc.

2. Diperlukan penegasan bahwa penyelidik hanya dilakukan oleh komisi nasional hak asasi manusia sedangkan penyidik tidak berwenang menerima laporan atau pengaduan sebagaimana diatur dalam KUHAP.

3. Diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan.

4. Diperlukan ketentuan mengenai perlindungan korban dan saksi.

5. Diperlukan ketentuan mengenai tidak ada kadaluarsa pelanggaran HAM yang berat.

Kekhususan ini kemudian dijabarkan dalam pasa demi pasal dalam UU No. 26/2000 yang merupakan pengecualian dari pengaturan dalam KUHAP yaitu :

Penangkapan

Kewenangan untuk melakukan penangkapan di tingkat penyidikan dalam pengadilan HAM ini adalah Jaksa Agung terhadap seseorang yang diduga keras melakukan pelanggaran HAM berat berdasarkan bukti permulaan yang cukup17.

Prosedur untuk pelaksanaan penangkapan dilakukan oleh penyidik dengan memperlihatkan surat tugas dan menunjukkan surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dengan menyebutkan alasan penangkapan, tempat dilakukan pemeriksaan serta uraian singkat perkara pelanggaran HAM yang berat yang dipersangkakan. Keluarga harus mendapatkan tembusan untuk adanya penangkapan tersebut segera setelah penangkapan dilakukan.

Pelaku pelanggaran HAM berat yang tertangkap tangan, penangkapannya dilakukan tanpa surat perintah tetapi dengan segera bahwa orang yang menangkap harus segera menyerahkannya kepada penyidik. Lama penangkapan paling lama 1 hari dan masa penangkapan ini dapat dikurangkan dari pidana yang dijatuhkan.

Ketentuan khusus mengenai penangkapan ini jika dikomparasikan dengan KUHAP tidak jauh berbeda. Yang membedakan adalah yang melakukan/pelaksanaan tugas penangkapan adalah Jaksa Agung sedangkan dalam KUHAP yang melakukan

(15)

penangkapan adalah petugas kepolisian Republik Indonesia.18

Penahanan

Selama proses penyidikan dan penuntutan, penahanan atau penahan lanjutan dapat dilakukan oleh Jaksa Agung, sedangkan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan yang berwenang melakukan penahanan adalah hakim dengan mengeluarkan penetapan. Perintah penahanan ini harus didasarkan pada alasan-alasan yang disyaratkan yaitu adanya dugaan keras melakukan pelanggaran HAM berat dengan bukti yang cukup, adanya kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, atau mengulangi pelanggaran HAM berat. Alasan penahanan ini adalah alasan yang berdasarkan atas alasan subyektif dari penyidik atau majelis hakim atas kondisi yang disyaratkan tersebut, artinya pertimbangan atas adanya bukti yang cukup, kekhawatiran akan menghilangkan barang bukti atau akan melakukan pelanggaran HAM yang berat adalah alasan atas penilaian dari pihak yang berwenang untuk melakukan penyidikan atau hakim yang memeriksa terdakwa. Hal ini berbeda dengan ketentuan dalam KUHAP yang juga mensyaratkan adanya unsur obyektif untuk dapat dilakukan penahanan kepada tersangka maupun terdakwa. 19

Jangka waktu penahanan untuk penyidikan dapat dilakukan paling lama 90 hari dan dapat diperpanjang selama 90 hari oleh ketua pengadilan HAM dan jika waktu penahanan telah selesai tapi penyidikan belum dapat diselesaikan makan dapat diperpanjang selama 60 hari oleh ketua

18 Lihat Pasal 18 KUHAP.

19 Lihat Pasal 21 KUHAP tentang alasan dapat ditahannya tersangka maupun terdakwa.

pengadilan HAM yang bersangkutan. Jangka waktu penahanan untuk penuntutan paling lama 30 hari dan dapat diperpanjang 20 hari, tetapi jika belum selesai maka dapat diperpanjang selama 20 hari lagi oleh ketua pengadilan sesuai dengan daerah hukumnya.

Ketentuan mengenai lamanya penahanan ini tidak disertai dengan konsekuensi mengenai hak tersangka untuk dikeluarkan dari tahanan jika selama waktu penahanan itu proses penyidikan dan penuntutan belum dapat diselesaikan. KUHAP disamping mengatur tentang lamanya panahanan juga mengatur tentang hak tersangka untuk dikeluarkan dari tahanan jika tidak telah selesai masa penahanannya tetapi proses penyidikan dan penuntutan belum selesai. 20

Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan disidang pengadilan dapat dilakukan selama 90 hari dan dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan HAM selama 30 hari. Dalam pemeriksaan tingkat banding di pengadilan tinggi dapat dilakukan paling lama 60 hari dan dapat diperpanjang paling lama 30 hari oleh ketua pengadilan tinggi. Sedangkan untuk tingkat kasasi di Mahkamah Agung penahanan dapat dilakukan selama 60 hari dan dapat diperpanjang selama 30 hari oleh ketua MA.

20 Lihat Pasal 24 dan 25 KUHAP. Pasal 24 menyatakan bahwa lama penahanan untuk proses penyidikan adalah paling lama 20 hari dan dapat diperpanjang paling lama 40 hari, jika dalam waktu 60 hari sudah terpenuhi penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum.

(16)

Dalam KUHAP perpanjangan penahanan untuk kepentingan pemeriksaan dapat dilakukan berdasarkan alasan yang patut dan tidak dapat dihindari yaitu bahwa tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter dan perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara selama sembilan tahun atau lebih. Perpanjangan penahanan ini dapat dilakukan untuk paling lama 30 hari dan dapat diperpanjang selama 30 hari berikutnya. Selama total 60 hari tersebut, tersangka atau terdakwa harus sudah dikeluarkan demi hukum meskipun perkaranya belum selesai diperiksa maupun belum diputus.21

(17)

Penahanan berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000

No Proses Kewenangan Lama Penahanan

(hari)

Perpanjangan Pertama

(hari)

Perpanjangan Kedua

(hari)

Total (hari)

1 Penyidikan Jaksa Agung 90 90 60 240

2 Penuntutan Jaksa Agung 30 20 20 70 3 Pemeriksaan

Pengadilan (Negeri)

Hakim Pengadilan HAM

90 30

4 Tingkat Banding Hakim Pengadilan tinggi

60 30 - 90

5 Tingkat Kasasi Hakim HAM Tingkat Kasasi

60 30 - 90

Penyelidikan

Huruf 5 ketentuan umum UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa penyelidikan diartikan sebagai serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan ada tidaknya suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat guna ditindaklanjuti dengan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini.22

UU No. 26 Tahun 2000 mengatur secara berbeda dengan KUHAP tentang siapa yang berhak melakukan penyelidikan. Dalam penjelasan umumnya undang-undang ini menegaskan bahwa diperlukan langkah-langkah yang bersifat khusus, diantaranya penyelidikan yang bersifat khusus, dimana diperlukan penyelidik dengan membentuk tim ad hoc. Penyelidikan hanya dilakukan oleh Komnas HAM sedangkan penyidik tidak berwenang menerima laporan atau pengaduan. Kewenangan penyelidikan

22 Bandingkan dengan definisi

penyelidikan seperti ketentuan dalam KUHAP. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

yang berbeda dengan pengaturan dalam KUHAP inilah yang dianggap sebagai kekhususan mengenai penyelidikan dalam kasus pelanggaran HAM yang berat.23

Penyelidikan untuk pelanggaran HAM yang berat merupakan kewenangan dari Komnas HAM dan penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM ini merupakan penyelidikan yang sifatnya pro justitia.24

Kewenangan penyelidikan ini dimaksudkan untuk menjaga objektivitas hasil penyelidikan karena lembaga Komnas HAM adalah lembaga yang bersifat independen baik dari segi institusi maupun anggotanya. Secara kelembagaan Komnas HAM dianggap tidak memiliki kepantingan kecuali terhadap perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia sedangkan anggota Komnas HAM dianggap juga memiliki integrasi yang tinggi dan kemampuan teknis untuk melakukan penyelidikan. Dalam melakukan penyelidikan Komnas HAM membentuk

23 Dalam KUHAP penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.

(18)

tim ad hoc yang terdiri dari Komnas HAM dan unsur masyarakat.25

Komnas HAM mempunyai kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan dalam rangka melaksanakan penyelidikan yaitu memeriksa peristiwa yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran HAM berat, menerima laporan26 atau pengaduan dari seseorang

atau kelompok orang tentang terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat, serta mencari keterangan dan barang bukti, memanggil pihak pengadu, korban atau pihak yang diadukan untuk diminta dan didengar keterangannya, memanggil saksi untuk didengar kesaksiannya, meninjau dan mengumpulkan keterangan ditempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu, memanggil pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya. Disamping tindakan-tindakan di atas, atas perintah penyidik27

dapat melakukan tindakan berupa : 1) pemeriksaan surat, 2) penggeledahan28 dan

penyitaan, 3) pemeriksaan setempat

25 Unsur masyarakat disini adalah tokoh

dan anggota masyarakat yang profesional, berdedikasi, berintegrasi tinggi, dan menghayati bidang hak asasi manusia.

26 Arti “menerima” adalah menerima, mendaftar, dan mencatat laporan atau pengaduan tentang terjadinya pelanggaran HAM yang berat, dan dapat dilengkapi dengan barang bukti.

27 Penjelasan mengenai perintah penyidik adalah perintah tertulis yang dikeluarkan penyidik atas permintaan penyelidik dan penyidik segera mengeluarkan surat perintah setelah menerima permintaan dari penyidik.

28 Penggeledehan dalam ketentuan ini meliputi penggeledahan badan atau rumah. Hal ini sama dengan ketentuan Pasal 32 KUHAP.

terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu, dan 4) mendatangkan ahli dalam hubungan dengan penyelidikan.

Komnas HAM dalam melakukan penyelidikan terhadap dugaan adanya pelanggaran HAM yang berat maka harus memberitahukan aktivitas ini kepada penyidik. Setelah penyelidik menyimpulkan bahwa telah ada bukti permulaan yang cukup maka atas adanya pelanggaran HAM yang berat maka hasil kesimpulan diserahkan ke penyidik. Paling lambat 7 hari kerja diserahkan selanjutnya Komnas HAM menyerahkan seluruh hasil penyelidikan. Jika penyidik menganggap bahwa penyelidikan kurang lengkap29

maka penyidik mengembalikan hasil penyelidikan disertai petunjuk untuk dilengkapi dan dalam waktu 30 hari penyelidik wajib melengkapi.

Disamping mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan dalam kasus pelanggaran HAM yang berat, Komnas HAM juga mempunyai kewenangan untuk meminta keterangan secara tertulis kepada Jaksa Agung mengenai perkembangan penyidikan dan penuntutan perkara pelanggaran HAM yang berat.30

Penyidikan

Definisi tentang penyidikan tidak diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000.31 Pihak yang

29 Arti dari “kurang lengkap” adalah belum cukup memenuhi unsur pelanggaran HAM yang berat untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan.

30 Lihat Pasal 25 UU No. 26 Tahun 2000.

(19)

berwenang melakukan penyidikan terhadap kasus pelanggaran HAM yang berat adalah Jaksa Agung. Penyidikan ini tidak termasuk untuk menerima pengaduan dan laporan karena pengaduan dan laporan tersebut merupakan kewenangan Komnas HAM. Dalam upaya penyidikan ini Jaksa Agung dapat32 mengangkat penyelidik ad hoc dari

unsur masyarakat33 dan pemerintah.

Penyidikan yang dilakukan wajib diselesaikan paling lambat 90 hari terhitung sejak tanggal hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap oleh penyidik. Perpanjangan dapat dilakukuan selama 90 hari berikutnya jika selama 90 hari pertama penyidikan belum dapat diselesaikan. Perpanjangan yang kedua selama 60 hari, baik perpanjangan yang pertama maupun kedua dilakukan oleh ketua pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya masing-masing.

Jaksa Agung wajib mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) jika dalam waktu yang telah ditentukan tidak diperoleh bukti yang cukup. Adanya SP3 ini, penyidikan atas kasus dapat dibuka kembali dan dilanjutkan jika terdapat alasan dan bukti lain yang melengkapi hasil penyidikan. Atas penghentian penyidikan ini, jika tidak dapat diterima oleh korban

serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan

menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

32 Penjelasan mengenai kata “dapat” adalah bahwa dimaksudkan agar Jaksa Agung dalam mengangkat penyidik ad hoc dilakukan sesuai dengan kebutuhan.

33 Penjelasan tentang unsur masyarakat adalah dari organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan yang lain seperti perguruan tinggi.

dan keluarganya, maka ada hak untuk mengajukan pra peradilan bagi korban dan keluarganya atas penghentian penyidikan oleh Jaksa Agung kepada ketua pengadilan HAM sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam hal ini sesuai dengan KUHAP.

Penuntutan

UU No. 26 Tahun 2000 mengatur tentang ketentuan penuntutan dalam Pasal 23 dan 24. Pasal 23 menyatakan penuntutan mengenai pelanggaran HAM yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung dan dalam melakukan penuntutan. Jaksa Agung dapat mengangkat jaksa penuntut umum ad hoc.34

Untuk dapat diangkat menjadi penuntut umum ad hoc harus memenuhi syarat tertentu.35

Pasal 24 mengatur tentang jangka waktu penuntuan yaitu selama 70 hari terhitung sejak tanggal hasil penyelidikan diterima. Ketentuan mengenai jangka waktu ini berbeda dengan ketentuan dalam KUHAP dimana tidak diatur mengenai adanya jangka waktu penuntutan.

Pengalaman berberapa pengadilan HAM diantaranya pengadilan Ham ad hoc Timor-timur maupun pengadilan HAM ad hoc Tanjung Priok menunjukkan bahwa proses

34 Dalam penjelasannya penuntut umum

ad hoc dari unsur masyarakat diutamakan diambil dari mantan penuntut umum di peradilan umum atau oditur di peradilan militer.

35 Pasal 23 ayat 4 mengatur tentang syarat untuk menjadi penuntut umum ad hoc

(20)

penyidikan dan penuntutan dalam beberapa kasus tersebut mengalami keterlambatan dan tidak sesuai dengan ketentuan limitasi waktu sesuai dengan UU No. 26 Tahun 2000. Jaksa ad hoc dalam menyikapi keterlambatan ini mengajukan surat kepada pengadilan untuk persetujuan atas perpanjangan proses penyelidikan dan penuntutan. Pembatasan atau limitasi waktu dalam proses penyelidikan dan penuntutan ini berdasarkan pengalaman pengadilan HAM ad hoc yang telah terjadi menjadi alasan penasehat hukum terdakwa dalam eksepsinya untuk menyatakan bahwa proses penyidikan dan penuntutan melampaui ketentuan UU No. 26 Tahun 2000. 36

Pemeriksaan di sidang pengadilan

1. Komposisi hakim dan hakim ad hoc

Pasal 27 UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa kasus pelanggaran HAM yang berat diperiksa oleh majelis hakim yang jumlahnya 5 orang yang terdiri dari 2 orang hakim pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 orang hakim HAM ad hoc. Majelis hakim tersebut diketuai oleh hakim dari pengadilan HAM yang bersangkutan. Pada tingkat banding majelis hakimnya berjumlah 5 orang yang terdiri dari 2 orang hakim dari pengadilan setempat dan 3 orang hakim ad hoc. Demikian juga komposisi mengenai majelis hakim dalam tingkat kasasi.

Dari ketentuan diatas, pengaturan tentang hakim ad hoc hanya sampai pada tingkat kasasi. Tidak ada kejelasan mengenai hakim yang dapat mengadili di tingkat peninjauan kembali (PK),

36 Lihat eksepsi Penasehat hukum para terdakwa kasus pelanggaran HAM yang berat di Timor-timur dalam pengadilan HAM ad hoc.

mengingat bahwa dalam hukum acara pidana menyatakan bahwa peninjuan kembali atas suatu perkara pidana juga dimungkinkan dan itu merupakan hak terdakwa atau ahli warisnya tetapi dalam ketentuan UU No. 26 Tahun 2000 ini tidak diatur tentang hakim ad hoc untuk pemeriksaan upaya hukum luar biasa dengan cara peninjauan kembali. Ketentuan mengenai hakim yang akan mengadili di tingkat peninjauan kembali ini tidak diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000 ini.37

Pengertian hakim ad hoc adalah hakim yang diangkat di luar hakim karir yang memenuhi persyaratan profesional, berdedikasi dan berintegrasi tinggi, menghayati cita-cita negara hukum dan negara kesejahteraan yang berintikan keadilan, memahami dan menghormati hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia.

Jumlah hakim ad hoc di pengadilan HAM yang harus diangkat adalah sekurang-kurangnya 12 orang dan masa jabatannya adalah 5 tahun yang dapat diangkat untuk 1 kali masa jabatan lagi. Hakim ad hoc ini diangkat dan diberhentikan oleh presiden selaku Kepala Negara atas usul Ketua Mahkamah Agung. Ketentuan ini sama untuk hakim ad hoc pada pengadilan tinggi, sedangkan untuk hakim ad hoc tingkat kasasi di Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden selaku kepala negara atas usulan Dewan Perwakilan Rakyat RI dan lama jabatan hanya satu periode yaitu selama 5 tahun.

(21)

Hakim ad hoc ini dalam pemilihannya memerlukan syarat-syarat tertentu yang tertuang dalam Pasal 29.38 Hakim ad

hoc juga wajib mengucapkan sumpah. Syarat untuk menjadi hakim ad hoc ini berlaku untuk hakim tingkat banding dan hakim ad hoc tingkat kasasi. Perkecualian khusus untuk hakim ad hoc tingkat kasasi berumur sekurang-kurangnya 50 tahun dan tidak ada batasan maksimal umurnya.

(22)

Hakim ad hoc

Hakim ad hoc Diangkat oleh Jumlah mininal yang diangkat

Lama jabatan

Pengadilan HAM Presiden atas usul ketua Mahkamah Agung

12 orang 5 tahun dan diangkat 1 periode lagi

Tingkat

banding/Pengadilan Tinggi

Presiden atas usul Mahkamah Agung

12 orang 5 tahun dan dapat diangkat 1 periode lagi Tingkat kasasi/MA Presiden atas usul DPR 3 orang 5 tahun Peninjauan Kembali Tidak diatur Tidak diatur Tidak diatur

Perkara pelanggaran HAM berat diperiksa dan diputuskan oleh pengadilan dalam jangka waktu paling lama 180 hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke pengadilan HAM. Pada tingkat banding maka perkara diperiksa dan diputus paling lama 90 hari. Jika perkara dimintakan kasasi maka perkara pelanggaran HAM berat ini diperiksa dan diputus paling lama 90 hari atau selama 3 bulan.

Ketentuan yang perlu diperhatikan adalah mengenai proses pelimpahan berkas perkara dalam tingkat pertama ke tingkat banding dan dari tingkat pertama ke kasasi ketika jaksa mengajukan kasasi saat terdakwa dinyatakan bebas. Ketentuan mengenai mekanisme pelimpahan berkas dalam ke tingkat banding dan kasasi menggunakan mekanisme KUHAP.

Tabel : Jangka waktu proses penyelidikan – kasasi

No Proses Jangka waktu Perpanjangan I Perpanjangan II

1 Penyelidikan Tidak ada ketentuan lama penyelidikan

Jika penyelidikan kurang lengkap wajib dilengkapi dalam jangka waktu 30 hari

-

2 Penyidikan 90 90 60

3 Penuntutan 70 Tidak ada Tidak ada 4 Pemeriksaan

pengadilan

180 Tidak ada Tidak ada

5 Banding 90 Tidak ada Tidak ada 6 Kasasi 90 Tidak ada Tidak ada 7 Peninjauan Kembali Tidak ada (Sesuai KUHAP) - -

2. Prosedur Pembuktian

Prosedur pembuktian dalam pengadilan HAM tidak diatur tersendiri yang berarti bahwa mekanisme pembuktian di sidang pengadilan HAM menggunakan mekanisme yang diatur dalam KUHAP. Pengecualian terhadap

(23)

dengan tanpa hadirnya terdakwa.39

Ketentuan ini terdapat dalam PP No. 2 Tahun 2002 tentang perlindungan terhadap korban dan saksi pelanggaran HAM yang berat.

Berkenaan dengan alat bukti yang dapat diterima juga mengacu pada alat bukti yang sesuai dengan KUHAP yaitu Pasal 184.40 Hal-hal yang dapat dijadikan alat

bukti dalam KUHAP ini dianggap tidak memadai jika dikomparasikan dengan praktek peradilan internasional. Pengalaman-pengalaman internasional yang menyidangkan kasus pelanggaran HAM berat justru lebih banyak menggunakan alat-alat bukti di luar yang diatur oleh KUHAP. Misalnya rekaman, baik itu yang berbentuk film atau kaset yang berisi pidato, siaran pers, wawancara korban, wawancara pelaku, kondisi keadaan tempat kejadian dan sebagainya. Kemudian alat bukti yang dipakai juga diperbolehkan berbentuk dokumen-dokumen salinan, kliping koran, artikel lepas, sampai suatu opini yang terkait dengan kasus yang disidangkan.41

39 Proses kesaksian tanpa hadirya

terdakwa ini sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 173 KUHAP yang menyatakan bahwa hakim ketua sidang dapat mendengar keterangan saksi mengenai hal tertentu tanpa hadirnya terdakwa, untuk itu ia minta terdakwa ke luar dari ruang sidang akan tetapi sesudah itu pemeriksaan perkara tidak boleh diteruskan sebelum kepada terdakwa diberitahukan semua hal pada waktu tidak hadir. Hal ini berbeda dengan PP No. 2 Tahun 2002 yang tidak mengatur tentang tata cara tanpa hadirnya terdakwa untuk pemeriksaan kesaksian.

40 Alat bukti menurut Pasal 184 KUHAP adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.

41 Lihat Progress Report pemantauan pengadilan HAM ad hoc Elsam ke X. Tanggal 28 Januari 2003.

Prosedur pembuktian dalam pengadilan HAM ini sama dengan pengadilan HAM ad hoc. Pengalaman pengadilan Ham ad hoc Timor-timur menunjukkan bahwa prosedur dengan menggunakan mekanisme KUHAP ini banyak menjadi kendala dalam proses pembuktian kejahatan kemanusiaan yang seharusnya mempunyai prosedur pembuktian yang khusus pula. (lihat bagian dalam tulisan ini dalam prosedur pembuktian pengadilan HAM ad hoc).

Ketentuan Pemidanaan

Ketentuan pidana diatur dalam Bab VII dari Pasal 36 sampai dengan Pasal 40 UU No. 26 Tahun 2000. Ketentuan pidana dalam UU No. 26 Tahun 2000 ini menggunakan ketentuan pidana minimal yang dianggap sebagai ketentuan yang sangat progresif untuk menjamin bahwa pelaku pelanggaran HAM yang berat ini tidak akan mendapatkan hukuman yang ringan.42

Pasal 36 mengatur tentang ketentuan pidana untuk kejahatan genosida yakni dengan ancaman hukuman mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 tahun dan pidana paling singkat 10 tahun. Ketentuan pidana ini sama dengan kejahatan yang diatur dalam Pasal 9 (tentang kejahatan terhadap kemanusiaan) huruf a (pembunuhan), b (pemusnahan), d

42 Mengenai hukuman minimal ini ternyata dalam prakteknya di pengadilan HAM

(24)

(pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa), atau j (kejahatan apartheid).

Bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan lainnya yaitu perbudakan diancam dengan pidana selama-lamanya 15 tahun dan paling singkat 5 tahun (Pasal 38). Demikian pula dengan kejahatan kemanusiaan yang berupa dengan kejahatan terhadap kemanusiaan yang berupa penyiksaan diancan hukuman paling lama 15 tahun dan peling rendah 5 tahun (Pasal 39). Kejahatan terhadap kemanusiaan yang berupa perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran paksa, pemaksaan keHAMilan, kemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya yang setara diancam pidana selama-lamanya 20 tahun dan serendah-rendahnya selama 10 tahun (Pasal 40).

Pasal 41 mengatur khusus mengenai pihak-pihak yang melakukan pelanggaran HAM

berat berupa percobaan dan ikut serta berupa permufakatan jahat atau pembantuan terhadap terlaksanya pelanggaran HAM berat, ancaman hukumannya dipersamakan dengan ketentuan Pasal 36, 37, 38, 39 dan 40. ketentuan ini mengindikasikan bahwa apapun peranan pelaku baik karena percobaan pelanggaran HAM berat, ikut serta dalam permufakatan jahat untuk melakukan pelanggaran HAM berat maupun pembantuan terhadap terlaksananya pelanggaran HAM berat tidak ada pengaturan pengecualian terhadap mereka karena ancamannya dipersamakan. Ketentuan pemidaan yang dipersamakan dengan ketentuan Pasal 36, 37, 38, 39 dan 40 adalah untuk tindak pidana yang dilakukan oleh seorang komandan dari militer, polisi maupun sipil seperti yang diatur dalam Pasal 42 ayat 3 UU No. 26 Tahun 2000.

Ketentuan Pemidanaan

Kejahatan Hukuman minimal Hukuman maksimal

Genosida 10 tahun Mati atau seumur hidup atau penjara paling lama 25 tahun Kejahatan terhadap kemanusiaan, berupa :

a. Pembunuhan 10 tahun Mati atau seumur hidup atau penjara paling lama 25 tahun b. Pemusnahan 10 tahun Mati atau seumur

hidup atau penjara paling lama 25 tahun c. Perbudakan 5 tahun 15 tahun d. Pengusiran atau pemindahan penduduk

secara paksa

10 tahun Mati atau seumur hidup atau penjara paling lama 25 tahun e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan

kebebasan fisik secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional

10 tahun Mati atau seumur hidup atau penjara paling lama 25 tahun

(25)

g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan keHAMilan, pemandulan atau sterilisasi, secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya yang setara

10 tahun 20 tahun

h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paHAM politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional

10 tahun 20 tahun

i. Penghilangan orang secara paksa 10 tahun 20 tahun j. Kejahatan apartheid 10 tahun Mati atau seumur

hidup atau penjara paling lama 25 tahun

Percobaan, permufakatan jahat, atau pembantuan untuk melakukan pelanggaran HAM berupa kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan

Dipersamakan

dengan ketentuan di atas sesuai dengan bentuk kejahatannya

Dipersamakan dengan ketentuan di atas sesuai dengan bentuk kejahatannya

Komandan militer, polisi dan atasan sipil yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida (dengan delik by omission)

Dipersamakan

dengan ketentuan di atas sesuai dengan bentuk kejahatannya

Dipersamakan dengan ketentuan di atas sesuai dengan bentuk kejahatannya

Delik tanggung jawab komandan dan atasan polisi dan sipil

Delik tanggung jawab komandan dan atasan polisi atau sipil (responsibility of commanders and others superiors) ini diatur dalam Pasal 42 UU No. 26 Tahun 2000 yang membagi dalam 2 kategori pihak yitu unsur militer dalam ayat (1) dan unsur atasan polisi atau sipil dalam ayat (2). Ketentuan ini mengadopsi perumusan Pasal 28 Statuta Roma 1998 dimana tanggung jawab ini adalah dalam kerangka individual criminal responsibility.

Ketentuan Pasal 42 ayat (1) dan (2) UU No. 26 Tahun 2000 mengatur sebagai berikut :

1. Unsur komandan militer.

Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat

dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif, atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukan pengendalian pasukan secara patut, yaitu :

a. Komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan b. Komandan militer atau seseorang

(26)

perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk

dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

2. Unsur atasan polisi atau sipil.

Seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya, bertanggung jawab secara pidana terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebut tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar, yakni :

a. Atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan

b. Atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan

dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

Konsep tentang tanggung jawab komando ini, seperti halnya konsep tentang kejahatan terhadap kemanusiaan juga mengalami distorsi dalam perumusan di UU No. 26 Tahun 2000 ini. Pengertian tanggung jawab komando dalam Pasal 42 ayat 1 menyatakan :

“Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di

dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif…”

Pengertian yang menggunakan kata “dapat” (should) dan bukannya “akan” atau “harus” (shall), secara implisit menegaskan bahwa tanggung jawab komando dalam kasus pelanggaran berat HAM yang diatur melalui UU No. 26 Tahun 2000 ini bukanlah sebuah hal yang bersifat otomatis dan wajib. Pasal ini secara tegas menguatkan pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 yang cenderung ditujukan kepada pelaku langsung di lapangan. 43

Pasal 42 ayat 1 (a) juga mensyaratkan penanggung jawab komando untuk “seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat.” Padahal sumber dari pasal spesifik tersebut, yaitu Pasal 28 ayat 1 (a) Statuta Roma secara tegas menyatakan bahwa komandan militer seharusnya “mengetahui bahwa pasukan tersebut melakukan atau hendak melakukan kajahatan…”

Distorsi ini mengabaikan adanya kewajiban dari pemegang tanggung jawab komando untuk mencegah terjadinya kejahatan. Meskipun dalam Pasal 42 ayat 1 (b) pengabaian ini dikoreksi dengan kalimat “komando militer tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah dan menghentikan perbuatan tersebut, …” namun tidak ada definisi dan batasan yang tegas tentang apa yang “layak” dan “perlu” dilakukan oleh penanggung jawab komando.44

43 Lihat Progress Report pemantauan pengadilan HAM ad hoc Elsam ke X. Tanggal 28 Januari 2003.

(27)

Selain itu, pasal ini berimplikasi pada pengadilan terpaksa menekankan fokus perhatiannya pada proses, yaitu apakah tindakan yang dilakukan sudah layak atau tidak, apakah perlu atau tidak (obligation of conduct), dan secara otomatis mengabaikan pada kenyataan apakah tindakan yang diambil oleh penanggung jawab komando berhasil mencegah dan menghentikan kejahatan atau tidak (obligation of result). Padahal, selain harus bertanggung jawab jika menjadi pelaku langsung, penganjur, atau penyerta, seorang atasan seharusnya juga bertanggung jawab secara pidana atas kelalaian melaksanakan tugas (dereliction of duty) dan kealpaan (negligence). Standar hukum kebiasaan internasional untuk “kealpaan” dan “kelalaian” dalam arti yang luas menyatakan bahwa seorang atasan bertanggung jawab secara pidana jika : (1) ia seharusnya mengetahui (should have had knowledge) bahwa pelanggaran hukum telah dan atau sedang terjadi, atau akan terjadi dan dilakukan oleh bawahannya; (2) ia mempunyai kesempatan untuk mengambil tindakan; dan (3) ia gagal mengambil tindakan korektif yang seharusnya dilakukan sesuai keadaan yang ada atau terjadi saat itu.45 Tentang apakah seseorang

tersebut “seharusnya mengetahui” harus diuji sesuai keadaan yang terjadi dan

Pasal 42 ayat 2 yang mengatur tentang tanggung jawab atasan (polisi dan pejabat sipil).

45 Lihat artikel Jordan J. Paust “Superior

Orders and Command Responsibility” dalam M Cherif Bassiouni (ed.), International Criminal Law, Volume I, Kluwer International, 1999, hal 236-237; Lihat juga artikel Anthony D’Amato,

Superior Orders vs Command Responsibility, American Journal of International Law, edisi 80 (1986), hal. 604, 607-608; Penjelasan yang lebih panjang lebar dapat dilihat pada tulisan William Eckhardt, Command Criminal Responsibility: A Plea for a Workable Standard, Military Law Review, edisi 97 (1982). Lihat progress report pemantauan pengadilan HAM ad hoc Elsam ke X. Tanggal 28 Januari 2003.

dengan melihat juga orang/pejabat lain yang setara dengan tertuduh.

Pasal 7 (3) Statuta ICTY juga secara interpretatif mencerminkan standar kebiasaan internasional tersebut. Pasal tersebut mengakui adanya pertanggungjawaban pidana jika seseorang

“mengetahui atau mempunyai alasan untuk tahu” (knew or had reason to know) kelakuan bawahannya. Kalimat ini berkaitan dengan adanya kegagalan untuk mencegah suatu kejahatan atau menghalangi tindakan yang melanggar hukum yang dilakukan oleh bawahannya atau menghukum mereka yang telah melakukan tindak pidana. Meskipun pasal ini memfokuskan pada keadaan dimana seorang bawahan akan melakukan suatu tindak pidana atau telah melakukannya, tidak ada indikasi bahwa tanggung jawab pidana tersebut akan dihilangkan jika ada tindakan yang telah dilakukan oleh si atasan namun pelanggaran/kejahatan oleh bawahan tetap terjadi.46

Perlindungan korban dan saksi

Pasal 34 UU No. 26 Tahun 2000 adalah pasal yang secara tegas menyatakan adanya perlindungan korban dan saksi. Setiap korban dan saksi dalam pelanggaran HAM yang berat berhak atas perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun. Perlindungan ini wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan secara cuma-cuma. Pasal ini mengamanatkan adanya peraturan pemeritah tentang perlindungan saksi dan korban.

(28)

Peraturan pemerintah No. 2 tahun 2002 (PP) tentang tata cara perlindungan saksi dan korban Pelanggaran HAM yang berat mengatur tentang mekanisme pemberian perlindungan. PP ini menegaskan kembali bahwa setiap korban dan saksi dalam kasus pelanggaran HAM berat berhak mendapatkan perlindungan dari aparat penegak hukum dan aparat keamanan dan perlindungan ini diberikan sejak tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan yang meliputi sidang Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.

Bentuk-bentuk perlindungan yang dapat diberikan adalah perlindungan keamanan pribadi korban atau saksi dari ancaman fisik dan mental, perahasiaan identitas korban atau saksi dan pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka. Tata cara pemberian perlindungan dapat dilakukan atas permohonan dari korban atau saksi maupun oleh inisiatif aparat penegak hukum. Permohonan untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan tahapan perkara, artinya saksi atau korban dapat mengajukan permohonan kepada pihak-pihak pada saat pihak tersebt mempunyai kewenangan terhadap saksi dan korban. pada tahap penyelidikan permohonan dapat diajukan ke Komnas HAM, pada tahap penyidikan dan penuntutan permohonan kepada jaksa penuntut umum demikian juga pada saat pemeriksaan pengadilan permohonan dapat diajukan ke pengadilan. Para instansi yang diminta permohonannya tersebut kemudian menindaklanjuti dengan menyampaikan ke aparat keamanan.

Kelemahan yang mendasar dari perlindungan korban dan saksi ini adalah tidak ada standar atau prosedur yang baku mengenai pelaksanaan perlindungannya. Sampai saat ini tidak ada petunjuk pelaksanaan untuk proses perahasiaan

identitas bagi saksi ataupun korban yang akan ikut program perlindungan saksi.

Jika dibandingkan dengan perlindungan saksi dan korban seperti yang tertuang dalam Statuta Roma 1998, maka pengaturan tentang perlindungan saksi dan korban dalam UU No. 26 Tahun 2000 dan PP No. 2 Tahun 2000 belum memadai. Dalam Statuta Roma pengaturan tentang perlindungan saksi dan korban meliputi :

1. Adanya tindakan dari mahkamah untuk mengambil tindakan secukupnya untuk melindungi keselamatan, kesejahteraan fisik dan psikologis martabat dan privasi para korban.47

2. Adanya metode persidangan in camera atau memperbolehkan pengajuan bukti dengan sarana elektronika atau sarana khusus lainnya. Tindakan-tindakan ini secara khusus harus dilaksanakan dalam hal seorang korban kekerasan seksual atau seorang anak yang menjadi korban atau saksi.48

3. Adanya unit korban dan saksi khusus dalam kepaniteraan dimana adanya staf yang mempunyai keahlian mengatasi trauma termasuk staf dengan keahlian mengatasi trauma yang terkait dengan kejahatan seksual. Unit khusus ini mempunyai tugas untuk :

a. Menyediakan langkah-langkah perlindungan dan pengaturan keamanan.

b. Menyedikan jasa nasehat dan bantuan yang perlu bagi saksi, korban yang menghadap di depan mahkamah dan orang-orang lain yang mungkin terkena resiko karena kesaksian yang diberikan oleh saksi tersebut.

47 Pasal 68 huruf 1 Statuta Roma 1998.

(29)

c. Memberi nesehat kepada jaksa penuntut umum dan mahkamah mengenai hal-hal pada point a dan b.49

4. Adanya tindakan untuk menahan bukti dan informasi tertentu dan digantikan dengan suatu ikhtisar yang dilakukan oleh jaksa penuntut sebelum dimulainya persidangan karena adanya kekhawatiran bahwa informasi tersebut akan menimbulkan bahaya yang gawat bagi korban dan saksi.50

5. Adanya mekanisme kesaksian viva voce (lisan) atau kesaksian terekam dari seorang saksi dengan sarana teknologi video atau audio, maupun diajukannya dokmen atau transkrip tertulis.51

Kompensasi, restitusi dan rehabilitasi

Kompensasi, restitusi dan rehabilitasi terhadap korban pelanggaran HAM yang berat juga diatur oleh UU No. 26 Tahun 2000 dalam Pasal 35. Dalam ketentuan ini yang juga berhak memperoleh kompensasi, restitusi dan rehabilitasi adalah korban dan ahli waris dari korban pelanggaran HAM yang berat tersebut. Kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam Pasal 35 mensyaratkan harus dicantumkan dalam amar putusan pengadilan HAM, hal ini berarti bahwa putusan tentang adanya kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bersamaan dengan putusan tentang pelanggaran HAM berat yang menjadi pokok perkaranya.

Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara, karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung

49 Pasal 43 huruf 6 Statuta Roma 1998

50 Pasal 68 huruf 5 Statuta Roma 1998.

51 Pasal 69 huruf 2 Statuta Roma 1998.

jawabnya. Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga dimana restitusi dapat berupa penggantian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan dan penggantian biaya untuk tidakan-tindakan tertentu. Rehabilitasi adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan, atau hak-hak lain.

Pemerintah kemudian mengeluarkan peraturan pemerintah tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi korban pelanggaran HAM yang berat dengan PP No. 3 Tahun 2002. PP ini lebih banyak mengatur tentang mekanisme pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi ini harus dilaksanakan secara tepat, cepat dan layak dimana pemberian kompensasi dan rehabilitasi dilakukan oleh instansi terkait berdasarkan keputusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Pemberian restitusi dilakukan oleh pelaku atau pihak ketiga berdasarkan perintah yang tercantum dalam amar putusan.

Gambar

Tabel : Jangka waktu proses penyelidikan – kasasi

Referensi

Dokumen terkait

program acara televisi memerlukan konsep baru, bisa saja dengan memodifikasi program acara lama. Seperti karya dokumenter yang penulis buat, penulis tidak

Identitas umumnya dimengerti sebagai suatu kesadaran akan kesatuan dan kesinambungan pribadi, suatu kesatuan unik yang memelihara kesinambungan arti masa lampaunya

Pada tiang, umumnya gaya longitudinal (gaya tekan pemancangan maupun gaya tariknya), dan gaya orthogonal terhadap batang (gaya horizontal pada tiang tegak) dan

Perbedaan pengelolaan dan pengembangan antar sektoral di masing-masing provinsi menjadi salah satu alasan yang menimbulkan perbedaan tingkat PDRB per kapita yang

Penilitian penggunaan APK pada distilasi air energi surya absorber kain memperoleh hasil sebesar 0,47 liter/m2.jam dengan debit aliran air absorber kain 0,6 liter/jam dan debit

Dari kedua penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian penulis kali ini serupa namun tidak sama dengan kedua judul penelitian di atas, penulis lebih membahas

Dampak Penerapan Peraturan Pemerintah No.46 Tahun 2013 Terhadap Wajib Pajak Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) ) (Studi Kasus pada Kantor Pelayanan, Penyuluhan,

Dengan mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, karena atas segala berkah dan limpahan rahmatnya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dengan judul “Studi Deskriptif