• Tidak ada hasil yang ditemukan

JURNAL LINEAR Volume 02 Nomor. 04 Edisi Oktober 2018

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JURNAL LINEAR Volume 02 Nomor. 04 Edisi Oktober 2018"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN NORMATIF TERHADAP SURAT KAPOLRI NOMOR: B/3022/XII/2009 PERIHAL PENANGANAN KASUS PIDANA MELALUI ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION (ADR) DALAM PENERAPAN ASAS PERADILAN SEDERHANA, CEPAT DAN BIAYA RINGAN

M. Ikhwan Rays

Email: [email protected]

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tompotika Luwuk Abstrak

Dalam bekerjanya sistem Peradilan Pidana Indonesia yang berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sistem peradilan pidana itu diawali pada Institusi Kepolisian, Kejaksaan, dan Kehakiman (Hakim) pada saat peradilan. Dalam proses sistem peradilan pidana, membutuhkan waktu yang agak lama dan panjang bahkan terkadang berbelit-belit, sehingga dibutuhkan sebuah terobosan hukum yakni dengan mengunakan mediasi penal. Mediasi penal merupakan salah satu bentuk dari pelaksanaan restorative justice. Mediasi penal merupakan sebuah langkah terobosan hukum dalam rangka pembaharuan hukum pidana.

Penelitian ini bertujuan untuk bagaimana penanganan kasus pidana melalui Alternative Dispute Resolution (ADR) dalam rangka menerapkan azas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan menurut Surat Kepala Kepolisian Negara Repoblik Indonesia Nomor: B/3022/XII/2009.

Untuk mengetahui tujuan dimaksud maka penelitian ini menggunakan pendekatan Yuridis Normatif dimana metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.

Kesimpulan yang dapat penulis ambil setelah membahas mengenai penanganan kasus pidana melalui Alternative Dispute Resolution (ADR) dalam rangka menerapkan azas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan menurut Surat Kepala Kepolisian Negara Repoblik Indonesia Nomor: B/3022/XII/2009 adalah dengan adanya Surat Kepolisian Negara Republik Indonesia dimaksud maka salah satu asas dalam hukum acara pidana yaitu “Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan” dapat dimaksimalkan karena dapat mempersingkat waktu penanganan suatu perkara, namun penanganan perkara pidana dengan alternative dispute resolution ini hanya berlaku bagi perkara-perkara tindak pidana ringan maupun beberapa bentuk KDRT serta hanya dapat diterapkan apabila pihak-pihak yang berperkara (tersangka dan korban) menyetujui menggunakan penyelesaian melalui mediasi penal.

Kata Kunci: Asas Contante Justitie, Alternative Dispute Resolution (ADR). PENDAHULUAN

Dimensi ilmu hukum hakikatnya teramat luas dapat dikaji dari perspektif asasnya, sumbernya, pembedaannya, penggolongannya dan lain sebagainya.

Menurut Lilik Mulyadi (2012: 439), apabila dikaji dari perspektif penggolongannya hukum dapat diklasifikasikan berdasarkan sumbernya, bentuknya, isinya, tempat berlakunya, masaberlakunya, cara mempertahankannya sifatnya, dan berdasarkan wujudnya. Dikaji dari perspektif sejarahnya, hukum pidana yang bersifat hukum publik seperti dikenal sekarang ini telah melalui suatu perkembangan panjang. Perkembangan hukum pidana dipandang sebagai suatu tindakan merusak atau merugikan kepentingan orang lain yang diakhiri dengan suatu pembalasan. Pembalasan itu umumnya tidak hanya merupakan kewajiban seseorang yang dirugikan atau terkena tindakan melainkan meluas menjadi kewajiban seluruh keluarga, dan bahkan beberapa hal menjadi kewajiban masyarakat. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, perubahan dan dinamika masyarakat yang teramat kompleks di satu sisi, sedangkan disisi lainnya terhadap regulasi pembuatan peraturan perundang-undangan sebagai kebijakan legislasi yang bersifat parsial ternyata sifat publik hukum pidana bergeser sifatnya karena relatif juga memasuki ranah privat dengan dikenal dan dipraktekkan mediasi penal (penal mediation) sebagai sebuah bentuk penyelesaian perkara diluar pengadilan.

Dalam bekerjanya sistem Peradilan Pidana Indonesia yang berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sistem peradilan pidana itu diawali pada Institusi Kepolisian, Kejaksaan, dan Kehakiman (Hakim) pada saat peradilan. Dalam proses sistem peradilan pidana, membutuhkan waktu yang agak lama dan panjang bahkan terkadang berbelit-belit, sehingga dibutuhkan sebuah terobosan hukum yakni dengan mengunakan mediasi penal. Mediasi penal merupakan salah satu bentuk dari pelaksanaan restorative justice. Mediasi penal merupakan sebuah langkah terobosan hukum dalam rangka pembaharuan hukum pidana.

Menurut Umi Rozah (2012; 318), perkara yang berpotensi diselesaikan melalui Mediasi Penal, adalah Perkara Kecelakaan Lalu Lintas, KDRT, ataupun perkara perkara dengan delik Aduan. Meskipun dalam Perkara kecelakaan, hanya menyangkut kecilnya kerugian yang ditimbulkan, apabila

menyebabkan kematian, maka pemulihan kerugian tidak dapat menghapus pidana.

Untuk penanganan kasus pidana, sekilas mediasi penal hampir sama dengan yang kita kenal diskresi (discretion) yang dimiliki oleh lembaga sistem peradilan pidana kita, seperti kepolisian dan kejaksaan untuk menyaring kasus-kasus yang masuk untuk tidak meneruskan sebagian kasus tertentu melalui proses peradilan pidana. Namun demikian terdapat esensi yang berbeda dengan sistem diskresi tersebut. Mediasi penal lebih mengedepankan kepentingan pelaku tindak pidana dan sekaligus kepentingan korban, sehingga tercapai win-win solution yang menguntungkan pelaku tindak pidana dan korbannya. Dalam mediasi penal korban dipertemukan secara langsung dengan pelaku tindak pidana dan dapat mengemukakan tuntutannya sehingga dihasilkan perdamaian para pihak.

Mediasi Penal merupakan salah satu jalan alternatif untuk menyelesaikan perkara khususnya tindak pidana ringan. Melalui mediasi penal proses penanganan perkara dilakukan secara transparan sehingga dapat mengurangi penyimpangan yang seringkali terjadi dalam proses peradilan pidana. Mengingat banyaknya keuntungan yang ada pada mediasi penal, sebagaimana telah dipraktekkan di beberapa negara, maka diperlukan upaya berupa kajian untuk menerapkan mediasi penal dalam proses peradilan pidana Indonesia sebagai bagian dari sistem peradilan pidana di Indonesia.

Perkembangan mediasi pidana dipengaruhi oleh beberapa macam faktor (Jonlar Purba, 2017: 14) pertama tingkat kejahatan dan reaksi melalui sistem peradilan pidana, kedua perkembangan penyelesaian sengketa alternatif, ketiga penerimaan oleh publik akan nilai-nilai rerstorativ justice, keempat gerakan perlindungan hak korban, kelima pendekatan politik terhadap penanggulangan kejahatan.

Restorativ Justice merupakan pendekatan penyelesaian perkara pidana diluar prosedur hukum pidana formil atau dengan kata lain merupakan suatu paradigma yang dipakai sebagai bingkai dari strategi penanganan perkara pidana. Restoratif Justice merupakan konsep pemikiran dalam rangka merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitik beratkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini.

(2)

Dasar hukum penyelesaian kasus diluar sistem peradilan pidana khususnya kasus-kasus tindak pidana ringan adalah Surat Kapolri Nomor: B/3022/XII/2009 tgl 14 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus melalui Alternatif Dispute Resolusion (ADR). Dasar hukum selanjutnya adalah Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dalam Penyelesaian Perkara Pidana

Ditinjau dari segi kodratnya, manusia pada dasarnya memiliki sifat yang kurang puas. Dimana sifat yang kurang puas tersebut manusia selalu berusaha untuk memenuhinya, apabila telah terpenuhi kemudian timbul kebutuhan lain yang ingin dipenuhi sehingga menimbulkan ketidakpuasan atas dirinya sendiri dan bahkan menimbulkan kerugian pada pihak lain.

Sengketa merupakan salah satu hal yang bisa muncul kapan saja dalam kehidupan manusia. Sengketa dapat terjadi mulai dari lingkup keluarga hingga lingkup yang lebih luas. Sejak dulu kala, penyelesaian sengketa sudah ada dalam latar budaya masyarakat Indonesia sebagai pola penyelesaian sengketa berdasarkan musyawarah, misalnya rembung desa dan kerapatan adat. Dalam penyelesaian sengketa hukum, ada beberapa pilihan dalam menyelesaikan sengketa hukum. Penyelesaian sengketa hukum yang paling sering dilakukan dan paling dikenal oleh masyarakat adalah penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Namun demikian, penyelesaian sengketa melalui pengadilan terkadang tidak memberikan penyelesaian sebagaimana diinginkan oleh kedua belah pihak. Penyelesaian sengketa di pengadilan juga dikenal memakan waktu yang cukup lama dan biaya yang cukup mahal.

Dalam perkembangaan selanjutnya, masyarakat yang sangat kompleks itu selalu berusaha agar kebutuhannya cepat selesai, termasuk juga dalam proses berperkara di pengadilan. Bersamaan dengan itu dalam Hukum Acara terdapat suatu azas yang berbunyi : “Peradilan dilaksanakan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan“. Azas tersebut penting bagi mereka yang berperkara. Hakim dan aparat penegak hukum lainnya mengingat untuk menjaga agar supaya perkara yang telah masuk ke Pengadilan Negeri tidak banyak yang tertumpuk serta tidak berlarut-larut penyelesaiannya. Jika mengingat suatu perkara itu tidak sekali selesai, akan tetapi memerlukan waktu untuk mengumpulkan bukti-bukti, saksi-saksi dan data-data belum lagi jauhnya jarak dari para yang berperkara dari suatu pengadilan yang memeriksanya, itupun masih lama lagi apabila dalam suatu keputusan ada pihak yang tidak puas atas putusan Pengadilan tingkat pertama yang kemudian putusan tersebut dimintakan banding oleh pihak yang tidak puas tadi. Dapat kita bayangkan berapa lama lagi waktu yang diperlukan lagi apabila sampai pada tahap kasasi yang juga membutuhkan waktu lagi untuk penyelesaiannya.

Persoalan penting yang harus diperhatikan dalam penyelesaian suatu sengketa adalah mengenai upaya perdamaian (mediasi) dengan menerapkan azas sederhana, cepat dan biaya ringan dalam pemeriksaan perkara. Dalam rangka mewujudkan proses sederhana, cepat dan murah sesuai dengan azas hukum acara, maka diaturlah upaya perdamaian yakni dengan cara mengintegrasikan proses mediasi di Pengadilan.

Menurut Rachmadi Usman (2012; 22) Mediasi adalah alternatif penyelesaian sengketa yang tepat, sebab pelembagaaan dan pemberdayaan mediasi di pengadilan tidak lepas dari landasan filosofi yang bersumber pada dasar Negara kita yaitu: Pancasila, terutama sila keempat yang berbunyi “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Mediasi muncul sebagai jawaban atas ketidak puasan yang berkembang pada sistem peradilan yang bermuara pada persoalan waktu, biaya, dan kemampuannya dalam menangani kasus yang kompleks. “Mediation is not easy to define”.

Perumusan Masalah

Berdasarkan Latar belakang diatas maka rumusan masalah yang akan dibahas pada penelitian ini adalah Bagaimana

Penanganan kasus pidana melalui Alternative Dispute Resolution (ADR) dalam rangka menerapkan azas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan menurut Surat Kepala Kepolisian Negara Repoblik Indonesia Nomor: B/3022/XII/2009 ?

Tujuan dan Kegunaan Penelitian a. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai pada penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui bagaimana penanganan kasus pidana melalui Alternative Dispute Resolution (ADR) dalam rangka menerapkan azas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan menurut Surat Kepala Kepolisian Negara Repoblik Indonesia Nomor: B/3022/XII/2009

b. Kegunaan Penelitian

Penulis berharap penelitian ini dapat berguna / bermanfaat dari segi teoritis dan praktis. Untuk manfaat teoritis penulis berharap penelitian ini dapat menjadi masukan dalam perkembangan ilmu hukum acara dan hukum pidana secara umum khususnya tentang penerapan penerapan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan dalam Surat Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor B/3022/XII/2009 Perihal Penanganan Kasus Pidana Melalui Alternative Dispute Resolution (ADR), sedangkan untuk manfaat praktisnya penulis berharap dapat dijadikan rujukan untuk penelitian sejenis berikutnya

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan Umum Alternative Dispute Resolution (ADR)

Alternative Dispute Resolution (ADR) adalah merupakan istilah asing yang masih perlu dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia. Beberapa istilah dalam bahasa Indonesia telah diperkenalkan dalam berbagai forum oleh berbagai pihak. Beberapa diantaranya yang telah dapat diindentifikasi adalah; penyelesaian sengketa alternatif, alternatif penyelesaian sengketa (APS), mekanisme alternative penyelesaian sengketa (MAPS) dan pilihan penyelesaian sengketa (PPS), lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam kaitan ini perlu dipahami terlebih dahulu bahwa APS adalah mekanisme penyelesaian sengketa yang berdampingan dengan penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Selanjutnya, APS lazimnya dilakukan di luar yurisdiksi pengadilan. Ada beberapa pendapat mengenai APS atau Alternative Dispute Resolution (ADR). Pertama, APS adalah mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Dalam konteks ini, mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat berupa penyelesaian sengketa melalui arbitrase, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan lain-lain. Kedua, APS adalah forum penyelesaian sengketa di luar pengadilan dan arbitrase. Hal ini mengingat penyelesaian sengketa melalui APS tidak dilakukan oleh pihak ketiga. Sedangkan dalam forum pengadilan atau arbitrase, pihak ketiga (hakim atau arbiter) mempunyai kewenangan untuk memutus sengketa. APS di sini hanya terbatas pada teknik penyelesaian sengketa yang bersifat kooperatif, seperti halnya negosiasi, mediasi, dan konsiliasi, serta teknik-teknik penyelesaian sengketa kooperatif lainnya. Ketiga, APS adalah seluruh penyelesaian sengketa yang tidak melalui pengadilan tetapi juga tidak terbatas pada arbitrase, negosiasi, dan sebagainya. Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan APS termasuk juga penyelesaian sengketa yang diatur oleh peraturan perundang-undangan, tetapi berada di luar pengadilan, seperti Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dan sebagainya (Achmad Romsam, 2016: 2-6).

Pendapat Phillip D. Bostwick (dalam Abdurrasyid, 2002: 5) mengartikan ADR sebagai sebuah perangkat pengalaman dan teknik hukum yang bertujuan:

a. Menyelesaikan sengketa hukum di luar pengadilan demi keuntungan para pihak;

b. Mengurangi biaya litigasi konvensional dan pengunduran waktu yang biasa terjadi;

c. Mencegah terjadinya sengketa hukum yang biasanya diajukan ke pengadilan.

(3)

Di dalam sistem pengambilan keputusan konvensional (keputusan melalui peradilan dan arbitrase), pihak pemenang akan mengambil segalanya (winner takes all). Di dalam sistem ADR, penyelesaiannya diusahakan sebisa mungkin dilakukan secara kooperatif (co-operative solutions).Penyelesaian kooperatif ini biasa diistilahkan sebagai “win-win solutions” yaitu suatu penyelesaian di mana semua pihak merasa sama-sama menang.

Asas-asas yang dipegang teguh dalam penyelesaian masalah/sengketa dengan ADR (Jonlar Purba, 2017: 15-22) adalah:

a. Asas Kebebasan Berkontrak (mufakat), ADR dilakukan oleh para pihak didasarkan atas kesepakatan. Kesepakatan ini menunjuk pada asas kebebasan berkontrak dimana pihak-pihak akan menyelesaikan sengketanya secara musyawarah (Konsultasi, Negosiasi, Konsiliasi, Mediasi atau Penilaian Ahli) b. Asas Itikad Baik, Asas ini berperan sebagai perekat bagi para

pihak untuk dapat membahas sengketa yang diantara mereka menurut kepatutan, terbuka dan kedua pihak bertujuan untuk tidak pergi ke pengadilan.

c. Asas Pacta Sunt Servanda (Perjanjian Mengikat) d. Asas Final and Binding (Putusan terakhir dan mengikat) e. Asas Confidensial (Kerahasiaan)

Bentuk (ADR) / (APS) dalam UU Nomor: 30 Thn 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dpt dilaksanakan melalui konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli (dalam Frans Hendra Winata, 2011: 7-9) adapun pengertin dimaksud adalah sebagai berikut:

a. Konsultasi

Konsultasi adalah suatu tindakan yang bersifat personal antara satu pihak tertentu yang disebut klien dengan pihak lain yang disebut konsultan, yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluannya. Klien tidak terikat atau berkewajiban untuk memenuhi pendapat konsultan.

b. Negosiasi

Negosiasi adalah bentuk penyelesaian sengketa anatara para pihak sendiri, tanpa bantuan dari pihak lain dengan cara bermusyawarah atau berunding untuk mencari pemecahan yang dianggap adil oleh para pihak. Hasil dari negosiasi berupa penyelesaian secara kompromi, tidak mengikat secara hukum.

c. Konsiliasi / pemufakatan

Konsiliasi adalah penyelesaian sengketa dengan intervensi pihak ketiga (konsiliator), dimana konsiliator bersifat lebih aktif, dengan mengambil inisiatif menyusun dan merumuskan langkah-langkah penyelesaian, yang selanjutnya ditawarkan dan diajukan kepada para pihak yang bersengketa.Konsiliator tidak berwenang membuat putusan, tetapi hanya berwenang membuat rekomendasi yang pelaksanaannya tergantung dari itikad baik para pihak yang bersengketa itu sendiri. Pendapat para ahli untuk suatu hal yang bersifat teknis sesuai dengan bidang keahliannya d. Mediasi

Mediasi sebenarnya disamakan dengan konsep yang berlaku dalam islah. Secara harfiah islah adalah memutus pertengkaran atau perselisihan. Dalam pengertian syariah dirumuskan bahwa mediasi adalah suatu jenis akad (perjanjian) untuk mengakhiri perlawanan (perselisihan) antara dua pihak yang berlawanan. Dalam perdamaian ini terdapat dua pihak, yang sebelumnya diantara mereka ada suatu persengketaan, dan kemudian para pihak sepakat untuk melepaskan semua atau sebagian dari tuntutannya, hal ini dimaksudkan agar persengketaan diantara mereka (pihak yang bersengketa) dapat berakhir.

e. Arbitrase

Arbitrase dapat diidentifikasi defenisinya berdasarkan Pasal 1 UU Nomor 30 Tahun 1999, yakni suatu cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Kemudian

dalam Pasal 5 ayat 1 selanjutnya ditegaskan bahwa sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Dengan demikian dalam sebuah arbitrase mesti ada kesepakatan tertulis dari para pihak untuk menyerahkan penyelesaian sengketa yang akan ataupun sudah terjadi, kepada seorang atau beberapa orang pihak ketiga di luar pengadilan umum untuk mendapatkan putusan. Dengan adanya kesepkatan tertulis tersebut, menekankan bahwa para pihak melepaskan haknya untuk menyelesaikan sengketanya di pengadilan.

Hal lain yang perlu dicermati dari substansi undang-undang tersebut bahwa arbitrase tidak menjadi bagian dari ADR yang dinyatakan dalam Pasal 1 angka 10 undang-undang tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan yang prinsip antara ADR dengan arbitrase. Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa (Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 30 tahun 1999). Dalam ADR pelaksanaan putusannya tergantung pada kesepakatan para pihak, tidak perlu didaftarkan ke pengadilan. Sedangkan dalam arbitrase putusan yang diperoleh harus didaftarkan ke pengadilan sebelum dilaksanakan, hal ini dinyatakan dalam pasal 59 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, yang selengkapnya dinyatakan bahwa :

1) Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri.

2) Penyerahan dan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan dengan pencatatan dan penandatanganan pada bagian akhir atau di pinggir putusan oleh Panitera Pengadilan Negeri dan arbiter atau kuasanya yang menyerahkan, dan catatan tersebut merupakan akta pendaftaran.

3) Arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan putusan dan lembar asli pengangkatan sebagai arbiter atau salinan otentiknya kepada Panitera Pengadilan Negeri.

4) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan.

5) Semua biaya yang berhubungan dengan pembuatan akta pendaftaran dibebankan kepada para pihak.

Pasal 5 ayat (1) undang-undang tersebut juga menyatakan bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak menurut hukum dan peraturan perundang-undangan di kuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.

Menurut Hadimulyo (1997;35), Obyek sengketa yang bisa diajukan melalui proses ADR sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 6 ayat (1) undang-undang tersebut, hanya terhadap sengketa atau beda pendapat perdata. Padahal kalau dilihat dari sifat penyelesaiannya yaitu win-win solution yang tujuannya adalah untuk:

1. mengurangi menumpuknya penyelesaian perkara di pengadilan;

2. meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa;

3. memperlancar jalur keadilan, memberikan kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang menghasilkan keputusan yang diterima semua pihak.

Lebih lanjut dikatakan ADR mestinya tidak hanya ditujukan pada sengketa atau beda pendapat perdata tetapi dimungkinkan juga pada sengketa publik, bahkan pada kasus-kasus pidana tertentu, seperti :

1. Kecelakaan lalu lintas ringan (yang akibatnya tidak sampai membahayakan nyawa). Dalam kecelakaan lalu lintas seperti itu, biasanya korban hanya menderita kerugian secara

(4)

materiil, seperti biaya untuk perbaikan kendaraan, biaya berobat untuk luka-luka ringan, yang tidak bersifat permanen dan tidak membahayakan nyawa yang bersangkutan. Walaupun pelaku dalam kecelakaan lalu lintas juga memenuhi unsur-unsur tindak pidana, yaitu adanya perbuatan yang dilarang, adanya unsur kesalahan berupa kealpaan, dan adanya sanksi pidana tetapi karena kerugian yang diderita hanyalah kerugian materiil maka semestinya ada aturan perundang-undangan yang memungkinkan perbuatan itu diselesaikan di luar peradilan, yaitu melalui ADR. Aturan perundang-undangan tersebut tentu bisa mengenyampingkan aturan yang lebih umum di dalam KUHAP, karena kita menganut asas lex specialis derogat lex generalis yang diartikan aturan yang khusus mengenyampingkan aturan yang lebih umum.

2. Delik Aduan; suatu delik atau tindak pidana yang hanya bisa diproses menurut hukum pidana (penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan seterusnya) apabila ada pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan.

Penggunaan ADR dalam kasus-kasus pidana tertentu, senada dengan pendapat Hadimulyo (1997), yang menyatakan bahwa ruang lingkup kajian dalam ADR mengenai penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat banyak, atau dikenal dengan public domain. Dengan demikian, kasus-kasus yang dikaji adalah kasus-kasus yang memiliki kaitan dengan kepentingan masyarakat banyak.

Tinjauan Umum Mediasi Penal

Istilah mediasi Penal dibeberapa negara dikenal dengan istilah mediation in criminal cases, mediation in penal matters, victim offenders mediation, offender victim arrangement (Inggris), strafbemiddeling (Belanda), der AuBergerichtliche Tatausgleich (Jerman), de mediation penale (Perancis), dalam Barda Nawawi Arief (2008;1).

Mediasi Penal merupakan dimensi baru yang dikaji dari aspek teoretis dan praktek. Dikaji dari dimensi praktek maka mediasi penal akan berkorelasi dengan pencapaian dunia peradilan. Seiring berjalannya waktu dimana semakin hari terjadi peningkatan jumlah volume perkara dengan segala bentuk maupun variasinya yang masuk ke pengadilan, sehingga konsekuensinya menjadi beban bagi pengadilan dalam memeriksa dan memutus perkara sesuai asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan tanpa harus mengorbankan pencapaian tujuan peradilan yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.

Perkembangan dan Latar Belakang Ide ADR – Mediasi Penal Ide atau wacana dimasukkannya ADR dalam penyelesaian perkara pidana, antara lain terlihat dari perkembangan sebagai berikut: (Barda Nawawi Arief, 2008; 7-15) a. Dalam dokumen penunjang Kongres PBB ke-9/1995 yang berkaitan dengan manajemen peradilan pidana (yaitu dokumen A/CONF.169/6) diungkapkan perlunya semua negara mempertimbangkan “privatizing some law enforcement and justice functions” dan “alternative dispute resolu-tion/ADR” (berupa mediasi, konsiliasi, restitusi, dan kompensasi) dalam sistem peradilan pidana. Khususnya mengenai ADR, yang telah dikembangkan dalam lingkungan hukum perdata, seyogyanya juga dapat diterapkan secara luas di bidang hukum pidana. Dicontohkan misalnya, untuk perkara-perkara pidana yang mengandung unsur “fraud” dan “white collar-crime” atau apabila terdakwanya adalah korporasi/badan usaha. Ditegaskan pula, bahwa apabila terdakwanya adalah korporasi/badan usaha, maka tujuan utama dari pemeriksaan pengadilan seharusnya tidaklah menjatuhkan pidana, tetapi mencapai suatu hasil yang bermanfaat bagi kepentingan masyarakat secara menyeluruh dan mengurangi kemungkinan terjadinya pengulangan (recidive).

b. Dalam laporan Kongres PBB ke-9/1995 tentang “The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders” (dokumen A/CONF. 169/16), antara lain dikemukakan : - untuk mengatasi problem kelebihan muatan

(penumpukan perkara) di pengadilan, para peserta kongres mene-kankan pada upaya pelepasan bersyarat, mediasi, restitusi, dan kompensasi, khususnya untuk pelaku pemula dan pelaku muda

- Ms. Toulemonde (Menteri Kehakiman Perancis) mengemukakan “mediasi penal” (penal mediation) sebagai suatu alternatif penuntutan yang memberikan kemungkinan penyelesaian negosiasi antara pelaku tindak pidana dengan korban.

c. Dalam ”International Penal Reform Conference” yang diselenggarakan di Royal Holloway College, University of London, pada tanggal 13-17 April 1999 dikemukakan, bahwa salah satu unsur kunci dari agenda baru pembaharuan hukum pidana (the key elements of a new agenda for penal reform) ialah perlunya memperkaya sistem peradilan formal dengan sistem atau mekanisme informaldalam penyelesaian sengketa yang sesuai dengan standar-standar hak asasi manusia (the need to enrich the formal judicial system with informal, locally based, dispute resolution mechanisms which meet human rights standards).

Konferensi ini juga mengidentifikasikan sembilan strategi pengembangan dalam melakukan pembaharuan hukum pidana, yaitu mengembangkan/ membangun :

1) Restorative justice

2) Alternative dispute resolution 3) Informal justice

4) Alternatives to Custody

5) Alternative ways of dealing with juveniles 6) Dealing with Violent Crime

7) Reducing the prison population 8) The Proper Management of Prisons 9) The role of civil society in penal reform

d. Pada 15 September 1999, Komisi Para Menteri Dewan Eropa (the Committee of Ministers of the Council of Europe) telah menerima Re-commendation No. R (99) 19 tentang “Mediation in Penal Matters”.

e. Dalam Deklarasi Wina, Kongres PBB ke-10/2000 (dokumen A/CONF. 187/4/Rev.3), antara lain dikemukakan bahwa untuk memberikan perlindungan kepada korban kejahatan, hendaknya diintrodusir mekanis-me mediasi dan peradilan restoratif (resto-rative justice).

f. Pada 15 Maret 2001, Uni Eropa membuat the EU Council Framework Decision ten-tang “kedudukan korban di dalam proses pidana” (the Standing of Victims in Criminal Proceedings) - EU (2001/220/JBZ) yang di dalamnya termasuk juga masalah mediasi. Pasal 1 (e) dari Framework Decision ini mendefinisikan “mediation in criminal cases” sebagai :‘the search prior to or during criminal proceedings, for a nego-tiated solution between the victim and the author of the offence, mediated by a com-petent person’. Pasal 10nya menyatakan, setiap negara anggota akan berusaha “to promote mediation in criminal cases for offences which it considers appropriate for this sort of measure”. Walaupun Pasal 10 ini terkesan hanya memberi dorongan (encouragement), berdasarkan penjelasan di dalam website Uni Eropa, negara anggota wajib mengubah UU dan hukum acara pidananya, antara lain mengenai “the right to mediation”.

g. Pada tanggal 24 Juli 2002, Ecosoc (PBB) telah menerima Resolusi 2002/12 mengenai “Basic Principles on the Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters” yang di dalamnya juga mencakup masalah mediasi.

Pengertian dan Dasar Hukum Asas Peradilan Sederhana, Cepat, dan biaya ringan.

(5)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indoneia (KBBI) ( Asas secara bahasa artinya dasar hukum, dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan berfikir atau berpendapat), dasar cita-cita (perkumpulan atau organisasi) Sedangkan sederhana secara bahasa artinya sedang (dalam arti pertengahan, tidak tinggi, tidak rendah). Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, sederhana adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efesien dan efektif.

Menurut Sidik Sunaryo (2005;53), Sederhana juga dapat dimaknai sebagai suatu proses yang tidak berbelit-belit, tidak rumit, jelas, lugas, non interpretable, mudah dipahami, mudah dilakukan, mudah diterapkan, sistematis, konkrit baik dalam sudut pandang pencari keadilan, maupun dalam sudut pandang penegak hukum yang mempunyai tingkat kualifikasi yang sangat beragam, baik dalam bidang potensi pendidikan yang dimiliki, kondisi sosial ekonomi, budaya dan lain-lain. Maksud dari sederhana dapat diartikan bahwa hakim dalam mengadili para pihak yang sedang berperkara diwajibkan untuk menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami oleh para pihak yang sedang berperkara dan berusaha semaksimal mungkin agar perkaranya dapat diupayakan perdamaian dengan cara memberikan keterangan tentang akibat negatif adanya keputusan pengadilan yang dapat diselesaikan dengan cara paksa, jika para pihak tetap mempertahankan kehendaknya dan tidak mau berdamai, maka perkaranya baru diselesaikan melalui persidangan.

Acara yang sudah sederhana, jangan sengaja dipersulit oleh hakim kearah proses pemeriksaan yang berbelit-belit, sampai jalannya pemeriksaan ditunda untuk sekian kali atas berbagai alasan yang tidak sah menurut hukum. Pemeriksaan mundur terus dan tak pernah sampai diakhir tujuan. Cara-cara yang demikian menunjukan hakim tidak profesional.

b. Asas Cepat.

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, cepat secara bahasa artinya waktu singkat, dalam waktu singkat; segera, tidak banyak seluk beluknya (tidak banyak pernik). Menurut Setiawan (1992;427), cepat atau yang pantas mengacu pada “tempo” cepat atau lambatnya penyelesaian perkara. Cepat, harus dimaknai sebagai upaya strategis untuk menjadikan sistem peradilan sebagai institusi yang dapat menjamin terwujudnya/ tercapainya keadilan dalam penegakan hukum secara cepat oleh pencari keadilan.

Menurut Sarwono (2012;6), maksud asas cepat dalam suatu persidangan adalah bahwa hakim dalam memeriksa para pihak yang sedang berperkara harus mengupayakan agar proses penyelasaiannya setelah ada bukti-bukti yang akurat dari para pihak dan para saksi segera memberikan keputusan dan waktuya tidak diulur-ulur atau mengadakan penundaan persidangan yang jarak waktu antara persidangan yang pertama dan kedua dan seterusnya tidak terlalu lama.

Asas cepat ini bukan bertujuan untuk menyuruh hakim memeriksa dan memutus perkara dalam tempo satu atau setengah jam. Suatu proses yang relatif tidak memakan jangka waktu yang lama sampai bertahun-tahun sesuai dengan kesederhanaan hukum acara itulah yang diharapkan.

Jadi yang dituntut dari hakim dalam penerapan asas ini ialah sikap tidak cenderung secara ekstrim melakukan pemeriksaan yang buru-buru tidak ubahnya seperti mesin, sengaja dilambat-lambatkan, sehingga jalannya pemeriksaan menanggalkan harkat dan derajat kemanusiaan. Menurut M. Yahya Harahap (1989;71), hakim hendaknya melakukan pemeriksaan yang seksama dan wajar, rasional dan obyektif dengan cara memberi kesempatan yang berimbang dan sepatutnya kepada masing-masing pihak yang berperkara. Hal kedua penerapan asas ini tidak boleh mengurangi ketepatan pemeriksaan dan penilaian menurut hukum dan keadilan. Akan tetapi sebaliknya apa kebenaran dan keadilan

yang diperoleh dengan penuh kesengsaraan dan kepahitan dan dalam satu penantian yang tidak kunjung tiba.

c. Asas Biaya Ringan

Dalam KBBI secara bahasa, biaya artinya uang yang dikeluarkan untuk mengadakan (mendirikan, melakukan, dan sebagainya) sesuatu, ongkos (administrasi ; ongkos yang dikeluarkan untuk pengurusan surat dan sebagainya), biaya perkara seperti pemanggilan saksi dan materai. Sedangkan biaya ringan dalam penejalasan Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disini mengacu pada banyak atau sedikitnya biaya yang harus dikeluarkan oleh pencari keadilan dalam menyelesaikan sengketanya di depan pengadilan. Biaya ringan menurut Sidik Sunaryo (2005;53) adalah biaya perkara yang dapat dijangkau oleh masyarakat. Pengadilan harus mempertanggung jawabkan uang tersebut kepada yang bersangkutan dengan mencatatkannya dalam jurnal keuangan perkara sehingga yang bersangkutan dapat melihatnya sewaktu-waktu. Dalam kaitannya dengan biaya perkara di Pengadilan, bagi orang yang tidak mampu diberikan pelayanan untuk memperoleh perlindungan hukum dan keadilan secara cuma-cuma (prodeo).

Apabila asas cepat dan sederhana telah dilaksanakan oleh hakim pengadilan khususnya dalam hal hakim dapat mengupayakan perdamaian maupun memberikan keputusan yang serta merta dalam menyelasaikan perkara, sudah tentu selain masalah akan cepat selesai, biaya yang akan dikeluarkan oleh para pihak juga akan semakin ringan, begitupun sebalikanya apabila asas cepat dan sederhana tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya maka biaya yang dikeluarkan oleh para pihak akan semakin banyak karna adanya perlawanan dari pihak yang terkalahkan oleh keputusan hakim.

Jadi, agara perkara dilaksanakan dengan cepat sederhana dan biaya ringan maka hakim yang menyelasaikan perkara harus profesional dan betul-betul orang yang ahli di bidangnya serta penuh kearifan didalam menangani suatu perkara.

d. Dasar Hukum Asas Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan.

Dasar hukum asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan ini termuat dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 2 ayat (4) yang berbunyi, “Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan” dan Pasal 4 ayat (2) berbunyi, “Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan”.

METODE PENELITIAN a. Jenis Penelitian

Menurut Johnny Ibrahim (2006;295) penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. Sedangkan menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji (2009;13), Metode penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.

Berdasarakan penjelasan di atas, penulis memutuskan menggunakan metode penelitian hukum normatif untuk meneliti dan menulis pembahasan skripsi ini sebagai metode penelitian hukum. Penggunaan metode penelitian normatif dalam upaya penelitian dan penulisan skripsi ini dilatari kesesuaian teori dengan metode penelitan yang dibutuhkan penulis.

b. Sumber Data

Adapun sumber data pada penelitian ini adalah :

1. Bahan hukum primer, yaitu semua bahan/materi hukum yang mempunyai kedudukan mengikat secara yuridis. Bahan hukum primer dimaksud meliputi: Kitab

(6)

Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang-Undang-Undang Nomor: 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman, Surat Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor B/3022/XII/2009 Perihal Penanganan Kasus Pidana Melalui Alternative Dispute Resolution (ADR), Surat Edaran KAPOLRI Nomor: SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restorativ (Restorative Justice) dalam Penyelesaian Perkara Pidana.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu berupa bahan atau materi yang berkaitan dan menjelaskan mengenai permasalahan dari bahan hukum primer yang terdiri dari buku-buku dan literature-literatur terkait dengan asas-asas dalam hukum beracara khususnya mengenai asas asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan

3. Bahan Hukum Tersier misalnya kamus-kamus hukum c. Teknik Pengumpula Data

Untuk memperoleh data yang dilakukan penulis dalam penulisan skripsi ini, berupa data primer dan sekunder, maka penulis mengadakan kegiatan yang pada umumnya digunakan dalam penelitian hukum, yaitu:

1. Studi Pustaka

Menurut Abdulkadir Muhammad (2004;66), studi pustaka dilakukan dengan cara menginventarisasikan dan mengutip buku-buku literatur ilmu hukum, ketentuan perundang-undangan, serta karangan-karanagan ilmiah dan catatan-catatan kuliah yang ada kaitannya dengan penulisan skripsi ini. Serta dengan cara membaca, mempelajari, mengutip dan menghimpun data yang diperoleh dari buku literatur, serta peraturan-peraturan lainnya yang berhubugan dengan permasalahan yang akan di bahas.

2. Pengelolaan Data

Data yang terkumpul dari studi kepustakaan diperiksa, diteliti dan disusun kembali secara seksama.Data tersebut diklasifikasikan menurut bidang masing-masing dan diperiksa, kemudian dipersiapkan untuk dianalisa.

d. Teknik Analisa Data

Untuk menganalisis data yang diperoleh, akan digunakan metode analisis normatif, merupakan cara menginterpretasikan dan mendiskusikan bahan hasil penelitian berdasarkan pada pengertian hukum, norma hukum, teori-teori hukum serta doktrin yang berkaitan dengan pokok permasalahan. Norma hukum diperlukan sebagai premis mayor, kemudian dikorelasikan dengan fakta-fakta yang relevan (legal facts) yang dipakai sebagai premis minor dan melalui proses silogisme akan diperoleh kesimpulan (conclution) terhadap permasalahannya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaturan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan yaitu terdapat pada Pasal 50 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, selain itu juga terdapat pada Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Namun dalam penjabaran yang lebih jelas yaitu terdapat pada pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Rumusan mengenai asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Pasal 4 Ayat (2) tentang Kekuasaan Kehakiman adalah sebagai berikut : “Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.”Ketentuan ini dimaksudkan untuk memenuhi harapan para pencari keadilan.Namun demikian, dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara tidak mengorbankan ketelitian dalam mencari kebenaran dan keadilan.

1. Asas Peradilan Cepat

Menurut Luhut M.P. Pangaribuan (2000; 98) pengertian ”peradilan cepat” tolak ukur yang dipergunakan mendasarkan pada ukuran batas waktu proses peradilan. Proses peradilan dimulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan serta pemeriksaan didepan persidangan. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana secara tegas disebutkan dalam hal pembatasan jangka waktu penangkapan, yakni dalam waktu satu kali dua puluh empat jam.Selanjutnya tentang jangka waktu penahanan, Kitab Undang-Undang telah menetapkan jangka waktu penahanan beserta perpanjangan penahanan secara limitatif.Hal ini dapat dicermati dari ketentuan mengenai batas waktu penahanan dari penyidik adalah 20 (dua puluh) hari.Penahanan ini dapat diperpanjang oleh penyidik ditambah 30 (tiga puluh) hari dengan izin dari Kepala Kejaksaan Negeri setempat.Selanjutnya penuntut umum berwenang untuk melakukan penahanan terhadap terdakwa dalam waktu 30 (tiga puluh) hari yang bisa diperpanjang selama 30 (tiga puluh) hari, dengan izin Ketua Pengadilan Negeri setempat. Selanjutnya hakim Pengadilan Negeri berwenang untuk melakukan penahanan terhadap terdakwa paling lama 30 (tiga puluh) hari, bisa diperpanjang 60 (enam puluh) hari dengan izin dari Ketua Pengadilan Tinggi. Kemudian Hakim Pengadilan Tinggi berwenang untuk melakukan penahanan terhadap terdakwa paling lama 30 (tiga puluh) hari, bisa diperpanjang 60 (enam puluh) hari dengan izin dari Ketua Mahkamah Agung. Selanjutnya Hakim Agung dapat melakukan penahanan terhadap terdakwa paling lama 30 (tiga puluh) hari, bisa diperpanjang 50 (lima puluh) hari dengan izin dari Ketua Mahkamah Agung. Berikut ini ketentuan-ketentuan tentang hal-hal tersebut :

a. Dalam Pasal 50 mengatakan bahwa; tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum; tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum; terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan guna mempercepat proses penyelesaian perkara pidananya Diberikannya hak kepada tersangka atau terdakwa dalam pasal ini adalah untuk menjauhkan kemungkinan terkatung-katungnya nasib seorang yang disangka melakukan tindak pidana terutama mereka yang dikenakan penahanan, jangan sampai lama tidak mendapat pemeriksaan sehingga dirasakan tidak adanya kepastian hukum, adanya perlakuan sewenang-wenang dan tidak wajar. Selain itu juga untuk mewujudkan peradilan yang dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Dalam pasal tersebut mengatur tentang hak tersangka dan terdakwa untuk segera diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu dimulai pemeriksaan.

b. Ketentuan mengenai jangka waktu penangkapan yaitu diatur dalam Pasal 19 adalah sebagai berikut : Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dapat dilakukan untuk paling lama satu hari, kemudian terhadap tersangka pelaku pelanggaran tidak diadakan penangkapan kecuali dalam hal ia telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memehuhi panggilan itu tanpa alasan yang sah.

c. Kemudian mengenai penahanan, yang menekankan terhadap jangka waktu penahanan yang telah ditentukan agar proses penyelesaian perkara dapat segera diselesaikan, yaitu terdapat dalam Pasal 24 Ayat (1), (2), ketentuan Pasal 25 Ayat (1), (2), ketentuan Pasal 26 Ayat (1), (2), ketentuan Pasal 27 Ayat (1), (2), serta ketentuan Pasal 28 Ayat (1), (2), Pasal 29. Rumusan pasal-pasal tersebut antara lain sebagai berikut :

1) Pasal 24; Perintah penahanan yang diberikan oleh penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, hanya berlaku paling lama dua puluh hari; Jangka waktu sebagaimana tersebut pada Ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan

(7)

pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang untuk paling lama empat puluh hari; Ketentuan sebagaimana tersebut pada Ayat (1) dan Ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi; Setelah waktu enam puluh hari tersebut, penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum. Setiap perpanjangan penahanan hanya dapat diberikan oleh pejabat yang berwenang untuk itu atas dasar alasan dan resume hasil pemeriksaan yang diajukan kepadanya.Dalam Pasal 24 tersebut mengatur bahwa penahanan diberikanoleh penyidik yaitu paling lama dua puluh hari. Jangka waktutersebut dapat diperpanjang apabila pemeriksaan yang dilakukanbelum selesai. Sedangkan apabila pemeriksaan telah selesai sebelum berakhirnya waktu penahanan, maka tersangka harus sudah dikeluarkan.

2) Pasal 25; Perintah penahanan yang diberikan oleh penuntut umumsebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, hanya berlaku paling lama dua puluh hari; Jangka waktu sebagaimana tersebut pada Ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri yang berwenang untuk paling lama tiga puluh hari; Ketentuan sebagaimana tersebut pada Ayat (1) dan Ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi; Setelah waktu lima puluh hari tersebut, penuntut umum harus mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum. Setiap perpanjangan penahanan hanya dapat diberikan oleh pejabat yang berwenang untuk itu atas dasar alasan dan resume hasil pemeriksaan yang diajukan kepadanya.

3) Pasal 26; Hakim pengadilan negeri yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84, guna kepentingan pemeriksaan berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama tiga puluh hari; Jangka waktu sebagaimana tersebut pada Ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri yang bersangkutan untuk paling lama enam puluh hari; Ketentuan sebagaimana tersebut pada Ayat (1) dan Ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi; Setelah waktu Sembilan puluh hari walaupun perkara tersebut belum diputus, terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum.

4) Pasal 27; Hakim pengadilan tinggi yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87, guna kepentingan pemeriksaan banding berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama tiga puluh hari; Jangka waktu sebagaimana tersebut pada Ayat (1) apabila diperlukan gunakepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjangoleh ketua pengadilan tinggi yang bersangkutan untuk paling lamaenam puluh hari; Ketentuan sebagaimana tersebut pada Ayat (1)dan Ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya terdakwadari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jikakepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi; Setelah waktu Sembilan puluh hari walaupun perkara tersebut belum diputus, terdakwaharus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum.

5) Pasal 28; Hakim Mahkamah Agung yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, guna kepentingan pemeriksaan kasasi berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama lima puluh hari; Jangka waktu sebagaimana tersebut pada Ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung untuk paling lama enam pulah hari; Ketentuan sebagaimana tersebut pada Ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya

terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi; Setelah waktu seratus sepuluh hari walaupun perkara tersebut belum diputus, terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum.

6) Rumusan bunyi Pasal 29 yaitu sebagai berikut; Dikecualikan dari jangka waktu penahanan sebagaimana tersebut pada Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28, guna kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap tersangka atau terdakwa dapat diperpanjang berdasar alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena: (tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat dokter; atau perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara sembilan tahun atau lebih); Perpanjangan tersebut pada Ayat (1) diberikan untuk paling lama tiga puluh hari dan dalam hal penahanan tersebut masih diperlukan, dapat diperpanjang lagi untuk paling lama tiga puluh hari. Yang dimaksud dengan “kepentingan pemeriksaan” ialah pemeriksaan yang belum dapat diselesaikan dalam waktu penahanan yang ditentukan. Yang dimaksud dengan “gangguan fisik atau mental yang berat” ialah keadaan tersangka atau terdakwa yang tidak memungkinkan untuk diperiksa karena alasan fisik atau mental. Pasal 29 tersebut mengatur bahwa penahanan dapat diperpanjang lagi yaitu dengan alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan, dengan memperhatikan keadaan dari tersangka atau terdakwa. Hal ini berarti bahwa peraturan tersebut telah memperhatikan kepentingan tersangka atau terdakwa.

d. Asas peradilan cepat dapat juga dilihat dari ketentuan mengenai perintah yang ditujukan kepada penyelidik untuk melakukan penyelidikan pada saat segera sesudah menerima laporan dan pengaduan tentang terjadinya tindak pidana. Selanjutnya dalam hal kondisi tertangkap tangan, penyelidik wajib segera melakukan berbagai tindakan yang diperlukan tanpa harus menunggu perintah dari penyidik. Hal ini mengingat tindakan dari penyelidik harus senantiasa dibawah perintah dan koordinasi dari penyidik. Ketentuan dari Pasal 102, adalah sebagai berikut; Penyelidikan yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan; Dalam hal tertangkap tangan tanpa menunggu perintah penyidik, penyelidik wajib segera melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka penyelidikan sebagaimana tersebut pada Pasal 5 Ayat (1) huruf b. Pasal tersebut mengatakan penyelidik yang menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan. e. Selanjutnya asas peradilan cepat secara teoritis juga dapat

dilihat dalam hal hubungan antara penyidik dengan Penuntut Umum. Penyidik setelah selesai melakukan penyidikan segera menyerahkan berkas perkara kepada Penuntut Umum. Seterusnya Penuntut Umum mempelajari berkas perkara penyidikan dari Kepolisian untuk diteliti secara saksama materi dan berita acara penyidikan. Proses penyerahan berkas acara penyidikan dari Kepolisian ke Kejaksaan didalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ditentukan batas waktu 14 (empat belas) hari. Apabila dalam waktu tersebut penuntut umum tidak mengembalikan berkas dari penyidik, maka penyidikan dianggap telah selesai. Hal ini menandakan adanya batas waktu yang tegas dalam proses prapenuntutan. Ketentuan tentang penyidikan diatur dalam Pasal 106 dan Pasal 110, Pasal 111 tentang Penyidikan.

Pasal 106; “Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan.” Pasal tersebut mengatur tentang penyidikan, dimana penyidikan harus segera dilakukan

(8)

apabila menerima laporan yang merupakan tindak pidana untuk kepentingan pemeriksaan.

Pasal 110 yaitu; Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum; Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut ternyata masih kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi; Dalam hal penuntutumum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum; Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu empat belas hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik. Pasal tersebut mengatur tentang penyerahan berkas perkara oleh penyidik kepada penuntut umum dan dari penuntut umum kepada penyidik. Didalam ketentuan tersebut penyerahan berkas perkara harus dilakukan dengan segera.

Pasal 111; Dalam hal tertangkap tangan setiap orang berhak, sedangkan setiap orang yang mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketentraman dan keamanan umum wajib, menangkap tersangka guna diserahkan beserta atau tanpa barang bukti kepada penyelidik atau penyidik; Setelah menerima penyerahan tersangka sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) penyelidik atau penyidik wajib segera melakukan pemeriksaan dan tindakan lain dalam rangka penyidikan; Penyelidik dan penyidik yang telah menerima laporan tersebut segera datang ketempat kejadian dapat melarang setiap orang untuk meninggalkan tempat itu selama pemeriksaan disitu belum selesai; Pelanggar larangan tersebut dapat dipaksa tinggal ditempat itu sampai pemeriksaan dimaksud diatas selesai.

Ketentuan tentang penuntutan diatur dalam Pasal 138, Pasal 139, Pasal140, Pasal 143 Ayat (1) tentang Penuntutan. Bunyi perumusan pasal-pasal tersebut selengkapnya adalah sebagai berikut :

a) Pasal 138; Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera mempelajari dan meneliti dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum; Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum. Yang dimaksud dengan “meneliti” adalah tindakan penuntut umum dalam mempersiapkan penuntutan apakah orang dan/atau benda yang tersebut dalam hasil penyidikan telah sesuai ataukah telah memenuhi syarat pembuktian yang dilakukan dalam rangka pemberian petunjuk kepada penyidik.

b) Pasal 139; “Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan”. Dalam pasal tersebut ditentukan bahwa penuntut umum yang telah menerima hasil penyidikan apabila sudah lengkap, maka harus segera dilimpahkan ke pengadilan agar diperiksa dan dapat diputus oleh pengadilan.

c) Pasal 140; Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa darihasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan; a. Dalam hal pununtut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan, b. Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila ia ditahan, wajib segera dibebaskan, c. Turunan surat ketetapan itu

wajib disampaikan kepada tersangka atau keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik dan hakim, d.Apabila kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut umum dapatmelakukan penuntutan terhadap tersangka.

d) Pasal 143; “Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilannegeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan.” Pasal tersebut mengatakan bahwa pengadilan harus secepatnya mengadili perkara yang telah dilimpahkan oleh penuntut umum guna mempercepat proses penyelesaian perkara.

Mengenai pengajuan banding, yaitu diatur dalam Pasal 233 Ayat (2),Ketentuan Pasal 236 Ayat (1), (2), Pasal 238 Ayat (3). a) Pasal 233 (2); “Hanya permintaan banding sebagaimana

dimaksuddalam Ayat (1) boleh diterima oleh panitera pengadilan negeri dalam waktu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 Ayat (2)”. Dengan memperhatikan Pasal 233 Ayat (1) dan Pasal 234 Ayat (1) panitera dilarang menerima permintaan banding perkara yang tidak dapat dibanding atau permintaan banding yang diajukan setelah tenggang waktu yang ditentukan berakhir.

b) Pasal 236; Selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari sejak permintaan banding diajukan, panitera mengirimkan salinan putusan pengadilan negeri dan berkas perkara serta surat bukti kepada pengadilan tinggi; Selama tujuh hari sebelum pengiriman berkas perkara kepada pengadilan tinggi, pemohon banding wajib diberi kesempatan untuk mempelajari berkas perkara tersebut di Pengadilan Negeri; Dalam hal pemohon banding yang dengan jelas menyatakan secara tertulis bahwa ia akan mempelajari berkas tersebut di pengadilan tinggi, maka kepadanya wajib diberi kesempatan untuk itu secapatnya tujuh hari setelah berkas perkara diterima oleh pengadilan tinggi; Kepada setiap pemohon bandingwajib diberi kesempatan untuk sewaktu-waktu meneliti keaslianberkas perkaranya yang sudah ada di pengadilan tinggi. Maksud pemberian batas waktu empat belas hari ialah agar perkara banding tersebut tidak tertumpuk di pengadilan negeri dan segera diteruskan ke pengadilan tinggi.

c) Pasal 238 (3); “Dalam waktu tiga hari sejak menerima berkasperkara banding dari pengadilan negeri, pengadilan tinggi wajib mempelajarinya untuk menetapkan apakah terdakwa perlu tetap ditahan atau tidak, baik karena wewenang jabatannya maupun atas permintaan terdakwa. Tentang pengajuan kasasi, yaitu Pasal 245, Pasal 246.

a) Pasal 245; Permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama, dalam waktu empat belas hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa; Permintaan tersebut oleh panitera ditulis dalam sebuah surat keterangan yang ditandatangani oleh panitera serta pemohon, dan dicatat dalam daftar yang dilampirkan pada berkas perkara; Dalam hal pengadilan negeri menerima permohonan kasasi, baik yang diajukan oleh penuntut umum atau terdakwa maupun yang diajukan oleh penuntut umum dan terdakwa sekaligus, maka panitera wajib memberitahukan permintaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain.

b) Pasal 246; Apabila tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam

c) Pasal 245 Ayat (1) telah lewat tanpa diajukan permohonan kasasi oleh yang bersangkutan, maka yang bersangkutan dianggap menerima putusan; Apabila dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), pemohon terlambat mengajukan permohonan kasasi maka hak untuk itu gugur; Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) atau Ayat (2), makapanitera mencatat dan membuat akta mengenai hal itu sertamelekatkan akta tersebut pada berkas perkara.

(9)

Asas Peradilan Sederhana dan Biaya Ringan, Menurut Lilik Mulyadi (2007;56) kesederhanaan proses dalam acara pidana dalam hal ini dapat dicermati dari penggabungan perkara dan gugatan ganti kerugian merupakan pengaturan yang baru dalam KUHAP. Pengaturan tentang ini mencerminkan adanya kesederhanaan dalam proses acara pidana. Menggabungkan dua proses yang berbeda yakni proses pemeriksaan perkara pidana dan sekaligus proses perkara perdata. Proses perkara pidana dalam hal ini membuktikan tindak pidana yang telahdilakukan oleh terdakwa, serta permohonan ganti kerugian yang berupa keperdataan yang ditimbulkan atas tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa. Dahulu sebelum KUHAP, proses demikian melalui dua tahap yakni proses hukum acara pidana terlebih dahulu, kemudian sesudah proses acara pidana selesai baru proses acara perdata berupa permohonan ganti kerugian. Dengan demikian jelas, asas peradilan sederhana dan biaya ringan dapat dicapai melalui ketentuan yang terdapat dalam beberapa pasal KUHAP sebagai berikut :

1. Ketentuan Pasal 98, Pasal 99, Pasal 100, Pasal 101 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tentang penggabungan pemeriksaan perkara pidana dengan tuntutan ganti rugi yang bersifat perdata oleh seorang korban yang mengalami kerugian sebagai akibat langsung dari tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa.

a) Pasal 98; Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan didalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu; Permintaan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) hanya dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Dalam hal penuntut umum tidak hadir permintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan. Maksud penggabungan perkara gugatan pada perkara pidana ini adalah supaya perkara gugatan tersebut pada suatu ketika yang sama diperiksa serta diputus sekaligus dengan perkara pidana yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan “kerugian bagi orang lain” termasuk kerugian pihak korban.

b) Pasal 99; Apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara gugatannya pada perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, maka pengadilan negeri menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan tersebut; Kecuali dalam hal pengadilan negeri menyatakan tidak berwenang mengadili gugatan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) atau gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, putusan hakim hanya memuat tentang penetapan hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan; Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya mendapat kekuatan tetap, apabila putusan pidananya juga mendapat kekuatan hukum tetap.

c) Pasal 100; Apabila terjadi penggabungan antara perkara perdata dan perkara pidana, maka penggabungan itu dengan sendirinya berlangsung dalam pemeriksaan tingkat banding; Apabila terhadap suatu perkara pidan tidak diajukan permintaan banding, maka permintaan banding mengenai putusan ganti rugi tidak diperkenankan.

d) Pasal 101; “Ketentuan dari hukum acara perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian sepanjang dalam undang-undang ini tidakdiatur lain.”

2. Pasal 83 Ayat (1), putusan praperadilan tidak dapat dimintakan banding. Pasal 83; Terhadap putusan praperadilan dalam hal sebagimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80, Pasal 81 tidak dapat dimintakan banding; Dikecualikan dari ketentuan Ayat (1) adalah putusan

praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, yang untuk tiu dapat dimintakan putusan akhir ke Pengadilan Tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan.

3. Ketentuan Pasal 67 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,yaitu; “Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat. Menurut Syaiful Bakhri(2014;84) Demi untuk terciptanya kepastian hukum dan memenuhi tuntutan asas peradilan yang cepat maka terhadap putusan pengadilan tingkat pertama “tidak dapat dimintakan banding”, jika putusan itu berupa :

a) putusan bebas (vrijspraak).

b) dan putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum (onslag van rechtsvervolging).

Jadi dengan adanya ketentuan ini terhadap setiap putusan pembebasan dan pelepasan dari semua tuntutan hukum, tidak dapat dimintakan peninjauan pemeriksaan pada tingkat instansi peradilan yang lebih tinggi.

Dalam proses seperti uraian sebelumnya menunjukan bahwa sistem peradilan pidana, membutuhkan waktu yang agak lama dan panjang bahkan terkadang berbelit-belit, hal ini merupakan suatu keharusan yang diatur oleh hukum positif yang sesuai dengan azas Legalitas, prosedur dan mekamisme yang tetap dalam perwujudannya, acapkali yang oleh pencari keadilan (para pihak ) dianggap suatu ketidak adilan bagi pihak tertentu yang dirugikan atau pihak korban (pada hukum publik), kasus kasus pelangaran HAM misalnya.

Menurut Jonlar Purba (2017: 168) bahwa fenomena penegakan hukum dalam kerangka presfektis normatif sebagai penegakan hukum yang buta atas realitas dimana hukum itu dibuat hidup dan bekerja, keadilan formal yang mengacu sepenuhnya terpenuhinya unsur-unsur materiil dari tindakan serta prosedur dan mekanisme dari pelaksanaan hukum tanpa menghiraukan adanya aspek-aspek social, moral, politik, cultural. Hal ini sesuai apa yang disampaikan oleh Fukuyama (dalam Jonlar Purba, 2017: 168) bahwa penegakan hukum di Indonesia mengalami “pengerdilan moral” (moral miniaturization) suatu ungkapan kritis dalam mengapresiasi penegakan hukum yang menafikan aspek-aspek keadilan dalam tataran praktis.

Dengan membaca uraian-uraian diatas menunjukan kepada bahwa penerapan “ Asas Peradilan Sederhana dan Biaya Ringan” akan susah untuk dapat diwujudkan dalam praktrek (khusunya pada hukum public) namun jika asas ini kita kaitkan dengan “restorative Justice” tidak tertutup kemungkinan asas ini bias berjalan sebagimana makna dari asas ini (khusus pada beberapa bentuk tindak pidana)

Dalam rangka mewujudkan “Asas Peradilan Sederhana dan Biaya Ringan” dibutuhkan sebuah terobosan hukum yakni dengan mengunakan mediasi penal. Mediasi penal merupakan salah satu bentuk dari pelaksanaan restorative justice. Mediasi penal untuk pertama kali dikenal dalam peristilahan hukum positif di Indonesi sejak keluarnya Surat Kapolri No Pol: B/3022/ XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui Alternative Dispute Resolution (ADR) meskipun sifatnya parsial. Pada intinya prinsip-prinsip mediasi penal yang dimaksud dalam Surat Kapolri ini menekankan bahwa penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR, harus disepakati oleh pihak-pihak yang berperkara namun apabila tidak terdapat kesepakatan baru diselesaikan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku secara profesional dan proporsional.

Pada Surat Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 ditentukan beberapa langkah-langkah penanganan kasus melalui ADR yaitu:

1. Mengupayakan penanganan kasus pidana yang mempunyai kerugian materi kecil, penyelesaiannya dapat diarahkan melalui konsep ADR.

Referensi

Dokumen terkait

Melayu menjadi bahasa Indonesia, yang kini menjai bahasa persatuan untuk. seluruh bangsa Indonesia dalam Sumpah Pemuda 28

Perihal : Undangan Klarifikasi dan Negosiasi Teknis dan Biaya Pekerjaan Perencanaan Pembangunan Sistem Penyediaan Air Bersih (SPAM) Perdesaan Dsn Kubu.

Pemberian pupuk dari limbah cair aren difermentasi dengan berbagai starter dekomposisi meliputi EM-4, rumen sapi, isi usus ayam dan sisa organik sayuran tidak

[r]

Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, taufiq, hidayah dan karunia Nya sehingga rangkaian penelitian dan penulisan skripsi yang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian kotoran sapi dan pupuk KCl secara nyata meningkatkan, C-organik tanah, K- dd (K tukar) tanah, tinggi tanaman, bobot kering akar,

pengeluaran agregat yang pengeluaran agregat yang direncanakan lebih besar direncanakan lebih besar dari pada pendapatan dari pada pendapatan nasional (AE > Y) dan

In this compound, six valence electrons remain for the Nb–Nb bonding states, a good agreement with previous molecular orbital calculations performed on Nb 3 cluster compounds..