• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGADILAN HAM AD HOC

Dalam dokumen Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Penga (Halaman 31-35)

Pasal 42 ayat 2 yang mengatur tentang tanggung

III. PENGADILAN HAM AD HOC

Pengadilan HAM ad hoc adalah pengadilan yang dibentuk khusus untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan sebelum adanya UU No. 26 Tahun 2000.

Hal inilah yang membedakan dengan pengadilan HAM permanen yang dapat memutus dan mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat yang terjadi setelah diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000.

Kasus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Indonesia misalnya untuk kasus pelanggaran HAM di Tanjung Priok dan Timur-timur dapat diselesaikan melalui pengadilan HAM ad hoc ini. Sampai saat ini sudah berdiri pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Timor-timur dan Tanjung Priok.54 Pengalaman pengadilan HAM ad hoc menunjukkan bahwa penerapan ketentuan dalam UU No. 26 Tahun 2000 tidak dapat diaplikasikan secara konsekuen karena pengaturan yang lemah. Di samping itu terobosan hukum juga banyak dilakukan oleh majelis hakim yang menangani perkara pelanggaran HAM di Timor-timur ini.

54 Selain dua pengadilan HAM ad hoc tersebut, saat ini juga telah dilakukan pengadilan HAM untuk kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Abepura, Papua. Sidang pertama dilakukan pada tanggal 7 Mei 2004.

1. Legitimasi Berdirinya

Legitimasi atas adanya pengadilan HAM ad hoc didasarkan pada Pasal 43 UU No. 26 tahun 2000. Ayat (1) menyatakan bahwa pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh pengadilan HAM ad hoc. Ayat (2) menyatakan bahwa pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan peristiwa tertentu dengan keputusan presiden. Ayat (3) menyatakan bahwa pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada dalam pengadilan umum. Dalam penjelasannya, Dewan Perwakilan Rakyat yang juga sebagai pihak yang mengusulkan dibentuknya pengadilan HAM ad hoc mendasarkan usulannya pada dugaan terjadinya pelanggaran HAM yang berat yang dibatasi pada locus delicti dan tempos delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini. Ketentuan tentang adanya bebarapa tahap untuk diadakannya pengadilan HAM ad hoc terhadap kasus pelanggaran HAM yang berat yang berbeda dengan pengadilan HAM biasa. Hal-hal yang merupakan syarat adanya pengadilan HAM ad hoc yaitu : 1. Dugaan adanya pelanggaran HAM ad

hoc yang terjadi sebelum Tahun 2000 atau sebelum disyahkannya UU No. 26 Tahun 2000.

2. Adanya dugaan pelanggaran HAM yang berat atas hasil penyelidikan Komnas HAM.

3. Adanya hasil penyidikan dari Kejaksaan Agung.

4. Adanya rekomendasi DPR kepada pemerintah untuk mengusulkan pengadilan HAM ad hoc dengan tempos dan locus delicti tertentu.

5. Adanya keputusan presiden (Keppres) untuk berdirinya pengadilan HAM ad hoc.

Ketentuan Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000 tidak mengatur secara jelas mengenai alur atau mekanisme bagaimana sebetulnya proses perjalanan pembentukan pengadilan HAM ad hoc setelah adanya penyelidikan dari Komnas HAM tentang adanya pelanggaran HAM yang berat. Pengalaman pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM berat di Timor-timor menjelaskan bahwa mekanismenya adalah Komnas HAM melakukan penyelidikan lalu hasilnya diserahkan ke kejaksaan agung, Kejaksaan agung melakukan penyidikan. Hasil penyidikan diserahkan ke Presiden. Presiden mengirimkan surat ke DPR lalu DPR mengeluarkan rekomendasi. Kemudian Presiden mengeluarkan keppres yang melandasi dibentuknya pengadilan HAM ad hoc.

Skema alur pengadilan HAM ad hoc Surat ke DPR 1 1 2 2 3

4 Penuntutan Rekomendasi /usulan 6 5

Keppres Pengadilan HAM ad hoc Dari proses menuju pengadilan HAM ad hoc ini, sorotan yang paling tajam adalah adanya kewenangan DPR untuk dapat mengusulkan adanya pengadilan HAM ad hoc. DPR sebagai lembaga politik dianggap sebagai pihak yang dapat menentukan untuk mengusulkan adanya pengadilan HAM ad hoc untuk pelanggaran HAM yang berat di masa lalu karena pelanggaran HAM yang berat tersebut lebih banyak bernuansa politik sehingga lembaga politik yang paling cocok adalah DPR. Adanya ketentuan ini oleh sebagian kalangan dianggap sebagai kontrol atas adanya pengadilan HAM ad hoc sehingga adanya pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu tidak akan dapat dilaksanakan tanpa adanya usulan atau rekomendasi dari DPR. Hal ini secara implisit sama halnya dengan memberikan kewenangan kepada DPR memandang pelanggaran HAM berat ini dalam konteks politik dan dapat menyatakan ada tidaknya pelanggaran HAM yang berat.55

55 Adanya kewenangan DPR untuk

mengusulkan adanya pengadilan HAM ad hoc

inilah yang banyak menghambat proses ke arah adanya pengadilan HAM ad hoc karena DPR menganggap tidak ada pelanggaran HAM berat

Dalam pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Timor-timur juga melalui mekanisme dalam Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000. Langkah pertama adalah adanya penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM sesuai dengan ketentuan dalam Perpu No. 1 Tahun 1999 mengenai pengadilan HAM. Dalam perpu ini dinyatakan pihak yang berwenang melakukan penyelidikan adalah Komnas HAM, terutama dalam hal kejahatan terhadap kemanusian. Komnas HAM kemudian untuk penyelidikan membentuk KPP-HAM yang memiliki ruang lingkup tugas yaitu mengumpulkan fakta dan mencari berbagai data, informasi tentang pelanggaran HAM di Tim-tim yang terjadi sejak Januari 1999 sampai dikeluarkannya TAP MPR yang mengesahkan hasil jejak pendapat. Dengan memberikan perhatian khsusus kepada pelanggaran berat hak asasi manusia antara lain genocida, massacre, torture, enforced displacement, crime against woman and children dan politik bumi hangus. Menyelidiki

dari hasil penyelidikan komnas HAM. Contohnya adalah kasus trisaksi dan semanggi yang sampai sekarang tidak dapat dibawa ke pengadilan HAM ad hoc.

Komnas HAM penyelidikan

Jaksa Agung

penyidikan DPR

Pengadilan HAM ad hoc

tingkat keterlibatan aparatur negara dan atau badan lain nasional dan internasional dalam pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sejak Januri 1999 di Timor-Timur. Proses selanjutnya adalah dilakukannya penyidikan oleh Kejaksaan Agung dari hasil penyelidikan oleh komnas HAM. Setelah melalui proses persetujuan DPR dari hasil usulan sidang pleno DPR melalui keputusan DPR-RI No 44/DPR-RI/III/2001 tanggal 21 Maret 2001 akhirnya Presiden mengeluarkan dua buah Keppres yaitu Keppres No. 53 Tahun 2001 dan Keppres No. 96 Tahun 2001. Keluarnya dua buah Keppres ini karena Keppres Nomor 53 tahun 2001, oleh pemerintah dianggap mempunyai wilayah yurisdiksi yang terlalu luas (tidak membatasi secara spesifik baik wilayah maupun waktunya). Kemudian wilayah dan waktu ini dipersempit dengan Keppres No. 96 tahun 2001 dan yuridiksi menjadi tiga wilayah yaitu wilayah Liquica, Dili, dan Suai dengan batasan waktu antara bulan April dan September 1999.56

56 Penyempitan yurisdiksi ini menimbulkan konsekuensi serius yaitu kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Timor Timur dalam rentang pasca jajak pendapat tidak semuanya dapat diungkap, termasuk para pelakunya sehingga kesempatan untuk membuktikan adanya unsur sistematik dan meluas

dalam kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Timor Timur dalam rentang antara pra dan pasca jajak pendapat pun sedikit-banyak terhalang. Lihat Progress Report pemantauan pengadilan HAM ad hoc Elsam ke X. Tanggal 28 Januari 2003

2. Asas Retroaktif

Ketentuan yang sangat erat hubungannya dengan adanya pengadilan HAM ad hoc adalah ketentutan mengenai berlakunya asas retroaktif atau asas berlaku surut. Betuk pengadilan HAM ad hoc yang dalam Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000 yang berlaku untuk locus dan tempus delicti tertentu mengacu pada bentuk pengadilan internasional ad hoc, yang antara lain memungkinkan berlakunya prinsip retroaktivitas. Prinsip retroaktif ini menjadi ketentuan yang paling banyak diperdebatkan karena dianggap bertentangan dengan asas legalitas dalam hukum pidana.

a. Dasar pengaturan

Asas berlaku surut ini menjadi sebuah asas yang paling kontroversial dalam aturan mengenai pengadilan HAM ad hoc ini. Pasal 43 ayat 1 yang menyatakan bahwa pelanggaran HAM yang berat yang yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini diperiksa dan diputus oleh pengadilan HAM ad hoc. Dalam pengaturan mengenai kasus-kasus masa lalu sebelum diundangkannya undang-undang ini tidak memberikan batasan secara limitatif sampai tahun berapa kasus-kasus masa lalu dapat diperiksa.

Seperti diketahui bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida sebelumnya memang belum dijadikan delik tersendiri dalam hukum pidana kita. Dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) yang ada adalah kejahatan yang berupa pembunuhan (murder), perampasan kemerdekaan (imprisonment), penyiksaan/penganiayaan (torture), dan perkosaan (rape) yang sifatnya biasa. Bentuk-bentuk kejahatan diatas menjadi elemen spesifik untuk adanya kejahatan terhadap kemanusiaan yang membutuhkan elemen umum yang dalam UU No. 26

Tahun 2000 ini unsur-unsurnya adalah adanya unsur sistematik atau meluas dan adanya kebijakan. Delik kejahatan terhadap kemanusiaan dengan rumusan yang seperti inilah yang dianggap sebagai delik baru dalam hukum pidana sehingga kalau delik ini akan diberlakukan kepada para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan sebelum diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000 maka akan berlaku prinsip retroaktif.

Kontroversi mengenai adanya prinsip retroaktif ini karena dalam hukum pidana asas kardinal yang dipegang teguh adalah asas legalitas dimana tidak ada penghukuman tanpa adanya pemidanaan terlebih dahulu. 57 Diluar ketentuan KUHP, larangan untuk pemberlakuan pengaturan yang berlaku surat juga terdapat dalam Pasal 28 I undang-undang 1945. Dalam konvensi internasional untuk hak sipil dan politik juga dilarang digunakannya peraturan yang bersifat surut.

Dalam UU No. 26 Tahun 2000 disinggung mengenai dasar yuridis digunakannya prinsip retroaktif ini. Landasan yang digunakan adalah Pasal 28 huruf j ayat (2) yang berbunyi bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Dengan ungkapan lain bahwa asas retroaktif dapat diberlakukan dalam rangka melindungi hak asasi manusia itu sendiri. 58

Dalam dokumen Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Penga (Halaman 31-35)

Dokumen terkait