• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA TEORITIS

C. Atribut Kualitas Audit

Atribut kualitas audit merupakan suatu cara yang dilakukan auditor dalam memberikan jasa kepada klien, ditujukan agar klien mendapatkan kepuasan dan tercapainya tujuan yang telah diharapkan klien (Mukhlasin, 2004:29).

Kualitas memiliki hubungan yang erat dengan kepuasan pelanggan dalam rangka untuk menjalin ikatan hubungan yang kuat dengan perusahaan, dalam jangka panjang dapat menciptakan kesetiaan pelanggan kepada perusahaan, dan perusahaan akan memiliki daya saing berkelanjutan, serta dapat meningkatkan pendapatan perusahaan, sehingga kelangsungan hidup perusahaan akan terjamin (Nasution, 2004:45).

Kualitas audit merupakan ciri atau sifat dari suatu jasa yang dapat berpengaruh pada kemampuannya untuk memberikan kebutuhan akan

kepuasan klien (Majalah Ekonomi, tahun XIV, No.1, April 2004:18). Kualitas audit sangat mengacu pada standar yang telah ditetapkan meliputi standar umum, standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan. Pihak pengguna jasa audit selalu dilupakan, banyak pengguna laporan akuntan mengkritik tentang kualitas pekerjaan akuntan (Sutton, 1993) dalam Majalah Ekonomi, 1 April 2004). Audit yang berkualitas bagi auditor adalah audit yang dilaksanakan dengan benar-benar memenuhi standar auditing dan kode etik akuntan publik. Penelitian Mukhlasin (2004) dengan menggunakan dua belas atribut kualitas audit yang telah dikembangkan oleh Carcello (1992) dan Behn et.al (1997) ini menemukan adanya Sembilan atribut yang memiliki pengaruh positif terhadap kepuasan klien, yaitu atribut client experience, industry expertise, responsiveness, technical competence, due care, quality commitment, field work conduct, audit committee, ethical standard. Berikut ini dijabarkan atribut kualitas audit yang berkaitan dengan kepuasan klien. 1. Pengalaman Auditor dalam Melakukan Audit (Client Experience)

Sebagai seorang yang profesional, auditor dalam melakukan audit di perusahaan klien harus bertindak sebagai seorang ahli dalam bidang akuntansi dan auditing, terutama dalam melaksanakan audit sampai proses akhir audit, yaitu pernyataan pendapat. Pencapaian keahlian tersebut dapat dicapai dengan dimulainya pendidikan formal yang diperluas melalui pengalaman-pengalaman dan selanjutnya praktik audit. Auditor harus dapat mendeteksi adanya kesalahan yang material, memahami kesalahan tersebut dan mengetahui penyebab kesalahan. Tubs

(1992) dalam Mukhlasin (2004:30) mengatakan bahwa auditor yang berpengalaman akan memiliki keunggulan dalam hal mendeteksi kesalahan, memahami kesalahan secara akurat, dan mencari penyebab kesalahan. Keunggulan tersebut akan bermanfaat bagi klien untuk melakukan perbaikan-perbaikan dan klien akan merasa puas.

2. Memahami Industri Klien (Industry Expertise)

Pengetahuan dan pemahaman mengenai bisnis klien dan industri klien adalah paling penting dalam audit. Standar audit mensyaratkan tim audit untuk memperoleh dengan teliti atau seksama pendirian dari sebuah bisnis untuk merencanakan dan melakukan pekerjaan audit. Auditor harus memahami bisnis dan kliennya, serta harus mengetahui berbagai kondisi luar biasa dalam industri tersebut yang mungkin dapat mempengaruhi audit terkait. Para auditor harus membaca berbagai literature yang berkaitan dengan industri dan membuat diri mereka mengenal baik berbagai literature yang berkaitan dengan industri dan membuat diri mereka mengenal baik berbagai risiko yang inheren dalam bisnis tersebut (Hall dan Singleton, 2007:29).

Agar dapat membuat perencanaan audit dengan sebaik-baiknya, auditor harus memahami bisnis klien dengan sebaik-baiknya (understanding client business), termasuk sifat dan jenis usaha klien, struktur organisasinya, struktur permodalan, metode produksi, pemasaran, distribusi, dan lain-lain. Pengetahuan mengenai bisnis satuan usaha biasanya diperoleh auditor melalui pengalaman dengan satuan usaha atau

industrinya serta dari pengajuan pertanyaan kepada pegawai perusahaan (Sukrisno Agoes, 2004:126).

Memahami bisnis klien berarti memperkecil risiko audit. Dengan memahami industri klien berarti menjadi bagian integral yang tidak terpisahkan dengan pekerjaan profesi sehingga dapat menghasilkan audit yang memenuhi standar mutu auditing (Harry Suharto, 2002) dalam Mukhlasin (2004:30). Selain itu, pemahaman terhadap industri klien juga kan mempermudah auditor dalam bekerja sehingga pekerjaan audit tidak akan mengganggu aktivitas perusahaan.

3. Responsif atas Kebutuhan Klien (Responsiveness)

Menurut Nasution (2004:56), responsiveness yaitu kemauan atau persiapan para karyawan untuk memberikan jasa yang dibutuhkan pelanggan (Perusahaan publik yang menjadi klien KAP). Responsibility auditor dalam melaksanakan tanggung jawab sebagai profesional yaitu auditor harus melakukan profesional yang sensitif dan pentingnya moral dalam semua aktivitas mereka. Responsibility yang dimaksud yaitu dalam melayani masyarakat yang merupakan sebuah perhatian yang harus menjadi dasar yang memotivasi sebuah profesi (Amin Widjaja Tunggal, 2010:29).

Pada saat KAP melakukan audit terhadap suatu perusahaan, opini yang dikeluarkan oleh auditor setelah melakukan proses audit menjadi pusat perhatian dari klien dan para pengguna laporan keuangan. Padahal di lain pihak klien membutuhkan hal lain yang lebih dari sekedar opini.

Klien berharap akan menerima keuntungan dari keahlian dan pengetahuan auditor di bidang usaha dan member nasihat tanpa diminta (Media Akuntansi No. 25, Maret 1998) dalam Mukhlasin (2004).

4. Menaati Prosedur atau Standar Umum yang Berlaku di Indonesia (Tehnical Competence )

Standar auditing adalah pedoman umum bagi seorang auditor dalam menjalankan tanggung jawab profesinya. Standar ini mencakup pertimbangan mengenai kualitas profesional mereka, seperti kemampuan dan independensi atau kemandirian, persyaratan pelaporan, dan bukti-bukti (Amin Widjaja Tunggal, 2010:15). Standar auditing yang harus dimiliki auditor yaitu keahlian, independensi, dan cermat sebagai syarat mutu dalam pelaksanaan audit. Ini memberikan kepercayaan klien atas kualitas suatu KAP yang baik.

Anggota Kantor Akuntan Publik (KAP) yang melaksanakan penugasan jasa auditing, atestasi, review, kompilasi, konsultasi manajemen, perpajakan, atau jasa professional lainnya, harus memenuhi standar beserta interpretasi yang terkait yang dikeluarkan oleh badan pengatur standar yang ditetapkan IAI yaitu kompetensi, profesional, kecermatan dan keseksamaan profesional, perencanaan dan supervisi, data relevan yang memadai (IAI, 2006).

Standar umum berhubungan terhadap kualifikasi auditor dan terhadap kualitas kerja auditor. Setiap profesi meletakkan standar technical competence. Kompetensi auditor ditentukan oleh tiga faktor

yaitu pendidikan formal universitas untuk menjadi profesi, pelatihan praktis dan pengalaman dalam mengaudit, pendidikan profesional berkelanjutan selama karir profesional auditor. Selain kompetensi, auditor juga harus bebas dari pengaruh manajemen dalam melakukan audit dan melaporkan temuan-temuannya. Auditor juga harus menjaga persyaratan independen dalam AICPA’s Code of Professional Conduct (Boynton dan Johnson, 2005:50).

IAI telah menetapkan dan mengesahkan standar auditing yang terdiri dari sepuluh standar. Standar auditing terdiri dari tiga bagian yaitu standar umum, standar pekerjaan lapangan, standar pelaporan. Dalam Amin Widjaja Tunggal, 2010:15) Standar umum sendiri terdiri dari :

a) Audit harus dilakukan oleh seseorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor.

b) Dalam semua hal yang berhubungan dengan penugasan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan auditor.

c) Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama.

5. Independensi (Independence)

Menurut Boynton Johnson (2005:106) seorang CPA yang berpraktik publik harus bersikap independen dalam melaksanakan jasa profesional sebagaimana disyaratkan oleh standar resmi yang diumumkan oleh badan-badan yang ditunjuk oleh Dewan. Independensi adalah sikap

seorang auditor yang memiliki prinsip integritas dan objektifitas, serta dalam pelaksanaanya tidak memiliki kepentingan pribadi. Independensi merupakan syarat penting bagi auditor dalam menilai kewajaran dan keakuratan informasi yang disajikan pihak manajemen kepada pengguna informasi khususnya pengguna laporan keuangan.

Independensi merupakan salah satu komponen etika yang harus di jaga oleh Akuntan Publik. Independensi berarti Akuntan Publik tidak mudah dipengaruhi karena Akuntan Publik melaksanakan pekerjaan untuk kepentingan umum. Akuntan Publik tidak dibenarkan memihak kepentingan siapa pun. Akuntan Publik berkewajiban untuk jujur tidak hanya kepada manajemen dan pemilik perusahaan namun juga kepada kreditur dan pihak lain yang meletakkan kepercayaan atas pekerjaan Akuntan Publik.

Auditor harus mempertahankan objektivitas dan bebas dari benturan kepentingan dalam melaksanakan tanggung jawab profesional. Auditor dalam praktik publik harus independen dalam fakta (independence in fact) dan independensi dalam penampilan (independence in appearance) ketika memberikan jasa auditing dan jasa atestasi yang lain. Independence in fact mencakup suatu state of mind. Akuntan publik harus independence dalam sikap mental dalam seluruh masalah yang berkaitan dengan penugasan. Dalam penerapan di dalam KAP seorang akuntan publik mampu mempertahankan sikap independensinya dengan baik yaitu tidak memihak sepanjang pelaksanaan

audit dilakukan. Independence in appearance berkaitan dengan bagaimana pemakai laporan keuangan memandang independensi (Amin Widjaja Tunggal, 2010:29).

6. Bersikap Hati-hati (Due Care)

Menurut Amin Widjaja Tunggal (2010:30), due care berarti auditor harus mengamati standar-standar teknis dan etika profesi, berusaha secara kontinyu memperbaiki kompetensi dari mutu jasa-jasa yang diberikan, dan melaksanakan tanggung jawab profesional dengan kemampuan yang terbaik.

Auditor seharusnya merencanakan audit untuk mendeteksi tindakan illegal yang material pada laporan keuangan dan mengimplementasikan rencananya dengan due professional care. Sikap due care yaitu auditor di dalam melaksanakan responsibilitas profesionalnya dilakukan dengan kompetensi dan ketekunan. Kompetensi adalah produk dari pendidikan dan pengalaman, sedangkan ketekunan meliputi upaya terus menerus, sungguh-sungguh, dan pelaksanaan dengan giat dan berusaha dalam melaksanakan jasa professional (Boynton dan Johson, 2005:109).

Menurut SNA (2002) dalam penelitian Muhammad Aria Umar (2007), disebutkan bahwa seorang auditor yang memiliki sikap hati-hati akan bekerja dengan cermat dan teliti, sehingga dapat menghasilkan hasil pemeriksaan audit yang baik, dapat mendeteksi dan melaporkan kekeliruan serta ketidakberesan, terutama mengungkapkan fraud.

7. Komitmen yang Kuat Terhadap Kualitas Audit (Quality Commitment) Menurut SNA (2002) dalam Lamtiar Agnes Shanryda (2008), komitmen didefinisikan sebagai: (a) sebuah kepercayaan kepada dan penerimaan terhadap tujuan dari nilai-nilai organisasi atau profesi, (b) sebuah kemauan untuk menggunakan usaha yang sungguh-sungguh guna kepentingan organisasi atau profesi, (c) sebuah keinginan untuk memelihara keanggotaan dalam organisasi atau profesi. Sedangkan, kualitas audit (audit quality) didefinisikan sebagai profitabilitas bahwa laporan keuangan tidak memuat penghilangan ataupun kesalahan penyajian yang material. Kualitas audit juga didefinisikan dari segi risiko audit, dengan jasa yang bermutu tinggi akan mencerminkan risiko audit yang kecil (Ahmed Riahi Belkaoui, 2004:85). Jadi auditor yang memiliki komitmen yang kuat terhadap kualitas audit adalah auditor yang memegang teguh prinsip-prinsip atau nilai-nilai dalam mengaudit laporan keuangan klien dengan memberikan jasa yang bermutu tinggi.

Profesi Akuntan Publik pun memperhatikan kualitas audit sebagai hal yang sangat penting untuk memastikan bahwa profesi auditor dapat memenuhi kewajibannya kepada para pemakai jasanya. Para pemakai laporan keuangan mengandalkan auditor independen dalam menjaga kredibilitas laporan keuangan. Auditor diharapkan memenuhi standar kualitas dan professinalisme dalam setiap penugasan, sehingga dapat memberikan pelayanan yang baik kepada publik, memperoleh

kepercayaan publik, dan menunjukkan komitmen professionalisme (Abdul Halim, 2001:17-18).

8. Keterlibatan Pimpinan KAP (Executive Involvement)

Manajemen puncak (dalam hal ini pimpinan KAP) harus memimpin perusahaan (KAP) untuk meningkatkan kinerja kualitasnya, tanpa adanya kepemimpinan manajemen puncak, maka usaha untuk meningkatkan kualitas hanya berdampak kecil terhadap perusahaan (Nasution, 2004:60). Keterlibatan pimpinan KAP dapat membantu terbentuknya komunikasi dua arah yang lebih intensif antara klien dan auditor karena pimpinan mempunyai keahlian dan pengalaman yang lebih baik serta mempunyai citra yang lebih tinggi dibanding staf auditor sehingga dapat menjadi mediator antara klien dan auditor yang bertanggung jawab (Media Akuntansi No.25, Maret 1988) dalam Mukhlasin (2004). Terdapat keunggulan tersendiri bagi KAP, yaitu dapat memberikan jasa sesuai yang diinginkan klien.

9. Melakukan Pekerjaan Lapangan dengan Tepat (Field Work Conduct) Standar pekerjaan lapangan berkaitan dengan pelaksanaan pemeriksaan akuntan dilapangan (audit field work), mulai dari perencanaan audit dan supervisi, pemahaman dan evaluasi pengendalian intern, pengumpulan bukti-bukti audit melalui compliance test, substantive test, analytical review, sampai selesainya audit field work (Sukrisno Agoes, 2004:38).

Dalam standar pekerjaan lapangan disebutkan bahwa pekerjaan harus dilaksanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten harus disupervisi dengan semestinya, dan pemahaman yang memadai atas struktur pengendalian intern harus diperoleh untuk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup pengujian yang akan dilakukan, serta disebutkan pula bahwa bukti yang cukup harus diperoleh untuk memberikan dasar rasional bagi kesimpulan yang dinyatakan dalam laporan (SA Seksi 311, IAI, 2006).

10. Komitmen Komite Audit (Audit Committee)

Dalam hal ini, komite audit yang ditunjuk terutama terdiri dari anggota yang berasal dari luar dewan, dapat bertindak sebagai penghubung antara auditor dan manajemen. Meningkatnya penggunaan komite audit sebagai alat untuk memperkuat independensi auditor. Menurut Amin Widjaja Tunggal (2010:30), komite audit memiliki tugas, sebagai berikut:

a) Meningkatkan disiplin korporat dan lingkungan pengendalian untuk mencegah kecurangan dan penyalahgunaan.

b) Memperbaiki mutu dalam pengungkapan pelaporan keuangan, dan c) Memperbaiki ruang lingkup, akurasi dan efektivitas biaya dan dari

audit eksternal dan independensi dan objektivitas dari audit eksternal.

Dewan komisaris perusahaan yang besar dan yang diperdagangkan secara publik membentuk sebuah sub komite yang disebut komite audit yang bertanggung jawab khusus mengenai audit. Perusahaan membutuhkan komite audit untuk beberapa alasan, tetapi yang paling utama adalah tanggung jawab kepemilikan yang dimilikinya kepada pemegang saham. Komite audit berfungsi sebagai “pemeriksa dan penyeimbang” yang independen untuk fungsi audit internal dan perantara dengan para auditor eksternal. Komite ini berinteraksi dengan dua kelompok ini dengan tujuan untuk memastikan integritas data dalam laporan keuangan dan menghindarkan penipuan atau aktivitas illegal (Hall dan Singleton, 2007:15).

Keberadaan komite audit di perusahaan telah mendapat respon yang cukup positif oleh berbagai pihak, antara lain pemerintah, Bapepam, BEI, investor, profesi penasehat hukum, profesi akuntan, staf perusahaan penilai independen (Muharief Effendi, 2009:32) dalam Zakiyah (2009:30). Salah satu tanggung jawab komite audit adalah menilai laporan audit dari auditor eksternal. Kedudukan komite audit yang merupakan kepanjangan dari dewan komisaris dan kompetensi yang dimiliki diharapkan dapat mengoptimalkan fungsi auditor eksternal bagi perusahaan.

Dalam SPAP 380 mengatur mengenai komunikasi antara akuntan publik dengan komite audit. Bentuk komunikasi dengan komite audit dapat berbentuk lisan maupun tulisan. Masalah yang dapat

dikomunikasikan diantaranya mengenai tanggung jawab auditor berdasarkan standar audit yang ditetapkan oleh IAI, kebijakan akuntansi yang signifikan, pertimbangan manajemen dan estimasi akuntansi, penyesuaian audit yang signifikan, informasi terkait dikomunikasikan bersama laporan keuangan auditan, ketidaksepakatan dengan manajemen, konsultasi dengan akuntan lain, masalah besar yang dibiarkan manajemen sebelum mengambil keputusan untuk mempertahankan auditor, kesulitan yang dialami selama pelaksanaan audit (Muharief Effendi, 2009:39) dalam Zakiyah (2009:30).

Menurut Menon dan Williams (1994) dalam mukhlasin (2004:32), dijelaskan bahwa komite audit diperlukan dalam suatu organisasi bisnis, antara lain karena komite ini mengawasi proses audit dan memungkin terwujudnya kejujuran pelaporan keuangan. Namun hal ini dapat tercapai jika komite audit bekerja secara efektif.

11. Standar Etika yang Tinggi (Ethical Standard)

Etika (ethics) berasal dari bahasa Yunani ethos, yang berarti “karakter”. Kata lain untuk etika ialah moralitas (morality), yang berasal dari bahasa latin mores, yang berarti “kebiasaan”. Moralitas berpusat pada “benar” dengan pertanyaan tentang bagaimana orang akan berperilaku tehadap sesamanya. Sedangkan etika sama dengan pertanyaan tentang bagaimana orang bertindak terhadap orang lainnya. Kode etika secara signifikan berpengaruh terhadap reputasi dari seorang profesional dan kepercayaan yang dimiliki (Boynton dan Johnson, 2005:104).

Etika adalah prinsip-prinsip moral dan berhubungan dengan seperti kejujuran dan integritas, keterandalan, dan akuntabilitas, dan juga aspek yang lain tentang perilaku yang benar dan salah. Perilaku etis merupakan suatu “state of mind” bukanlah kumpulan dari peraturan (a collection of rules). Dalam memberikan jasa profesional, akuntan publik harus selalu memperhatikan kepentingan publik (public interest) yang mereka layani. Kepercayaan publik (public trust) tidak boleh disubordinasi untuk kepentingan pribadi (Amin Widjaja Tunggal, 2010:28).

Etika profesional meliputi standar sikap para anggota profesi yang dirancang agar praktis dan realitis, tetapi sedapat mungkin idealis. Tuntutan etika profesi harus diatas hukum tetapi dibawah standar ideal (absolut) agar etika tersebut mempunyai arti dan berfungsi sebagaimana mestinya (Abdul Halim, 2001:18). Etika pengambilan keputusan dalam bisnis adalah kompleks, dengan banyak prinsip, nilai, dan pendekatan sebagai pedoman bagi individu atau kelompok (Birt et.al, 2008) dalam Zakiyah (2009:34).

Kebanyakan klien lebih menyukai auditor yang bisa dikenakan tindakan dislipiner oleh suatu organisasi profesi yang memberlakukan kode etika yang ketat, daripada auditor-auditor yang tidak dapat diatur. Menurut Sukrisno Agoes (2004:43), setiap manusia yang memberikan jasa dari pengetahuan dan keahliannya pada pihak lain seharusnya memiliki rasa tanggung jawab pada pihak-pihak yang dipengaruhi oleh jasanya itu. Kode Etik Akuntan Indonesia adalah pedoman bagi para

anggota Ikatan Akuntan Indonesia untuk bertugas secara bertanggung jawab dan objektif.

12. Tidak Mudah Percaya (Skepticism)

Professional skepticism berarti bahwa auditor mengakui membutuhkan objektivas dalam mengevaluasi kondisi observasi dan bukti-bukti yang diperoleh selama audit. Auditor seharusnya tidak percaya asersi manajemen dapat diterima tanpa dasar-dasar bukti yang cukup (Boynton dan Johnson, 2005:47). Audit harus direncanakan dan dilaksanakan dengan sikap skeptisme profesional dalam semua aspek penugasan. Misalnya auditor tidak boleh menganggap bahwa manajemen tidak jujur, tapi kemungkinan tersebut harus dipertimbangkan.

Sebuah peristiwa kesalahan dan kecurangan dalam pelaporan keuangan menjadi aspek dasar dari professional skepticism. Professional skepticism seharusnya menunjukkan bahwa auditor secara tepat menyelidiki tentang setiap petunjuk yang memungkinkan adanya kecurangan atau fraud (Louwers et.al, 2005:12).

Penggunaan kemahiran profesional dengan cermat dan seksama menuntut auditor untuk melaksanakan skeptisme profesional. Skeptisme profesional adalah sikap yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti audit. Auditor menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang dituntut oleh profesi akuntan publik untuk melaksananakan dengan cermat dan seksama, dengan maksud baik dan integritas, pengumpulan

dan penilaian bukti audit secara objektif. Pengumpulan dan penilaian bukti audit secara objektif menuntut auditor mempertimbangkan kompetensi dan kecukupan bukti tersebut. Oleh karena itu, dikumpulkan dan dinilai selama proses audit, skeptisme profesional harus digunakan selama proses tersebut. Auditor tidak menganggap bahwa manajemen adalah tidak jujur, namun juga tidak menganggap bahwa kejujuran manajemen tidak dipertanyakan lagi karena kemungkinan tersebut harus dipertimbangkan (Amin Widjaja Tunggal, 2010:52). Dalam menggunakan skeptisme profesional, auditor tidak harus puas dengan bukti yang kurang persuasif karena keyakinnya bahwa manajemen adalah jujur (SA Seksi 230, IAI, 2006).

Dokumen terkait