• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.2 Kajian Pustaka

2.2.7 Anak Autis

Autisme (autism), gangguan autistic, adalah salah satu gangguan terparah di masa kanak-kanak. Autisme bersifat kronis dan berlangsung sepanjang hidup. Kata autisme berasal dari bahasa Yunani, autos yang berarti “self”. Istilah ini digunakan pertama kali pada tahun 1906 oleh psikiater Swiss, Eugen Bleuler, untuk merujuk pada gaya berpikir yang aneh pada penderita skizofrenia (autisme adalah salah satu dari “empat A” Bleuler). Cara berpikir autistik adalah kecenderungan untuk memandang diri sendiri sebagai pusat dari dunia, percaya bahwa kejadian-kejadian eksternal mengacu pada diri sendiri. Pada tahun 1943, psikiater lain, Leo Kanner, menerapkan diagnosis “autisme infantil awal” kepada

Universitas Sumatera Utara

sekelompok anak yang terganggu yang tampaknya tidak dapat berhubungan dengan orang lain, seolah-olah mereka hidup dalam dunia mereka sendiri. Berbeda dari anak-anak dengan retardasi mental, anak-anak ini tampaknya menutup diri dari setiap masukan dunia luar, menciptakan semacam “kesendirian autistik” (Kanner, 1943)

Mereka yang bergerak dibidang kesehatan saat ini yakin bahwa autisme lebih sering muncul daripada yang diyakini dahulu, yaitu menyerang sekitar 2 sampai 20 orang dari 10.000 orang dalam populasi (APA, 2000; Fox, 2000). Gangguan yang lebih banyak terjadi pada anak laki-laki ini umumnya mulai tampak pada anak usia 18-30 bulan (Rapin, 1997). Namun demikian, barulah pada usia sekitar 6 tahun rata-rata anak yang mengalami gangguan ini untuk pertama kali memperoleh diagnosis (Fox, 2000). Keterlambatan dalam diagnosis dapat merugikan, karena anak-anak autistik umumnya akan menjadi lebih baik bila memperoleh diagnosis dan penanganan lebih awal (Fox, 2000).

Anak-anak autistik sering digambarkan oleh orang tua mereka sebagai “bayi yang baik” di awal masa balita. Ini biasanya berarti mereka tidak banyak menuntut. Namun, setelah mereka berkembang, mereka mulai menolak afeksi fisik seperti pelukan dan ciuman. Perkembangan bahasanya berada di bawah standar. Ciri-ciri klinis dari gangguan ini muncul sebelum usia 3 tahun (APA, 2000). Autisme merupakan gangguan yang empat sampai lima kali lebih sering terdapat pada anak laki-laki dibanding anak perempuan (APA, 2000) (dalam buku Nevid, 2005:145-146).

Anak autis seringkali ditemukan kemiripan dengan anak tunagrahita, karena umumnya anak autis sering didiagnosa dari karakteristik perilaku yang nampak dan tidak jarang guru SLB sulit untuk membedakan antara anak autis dengan anak tunagrahita. Untuk memudahkan pemahaman tentang anak autis berikut ini akan dijelaskan beberapa pendapat yang mendeskripsikan tentang pengertian anak autis sebagai berikut:

1. Leo Kanner dalam Handoyo (2004:12) menyatakan “autisma berasal dari kata auto yang berarti sendiri, penyandang autis seakan-akan hidup dalam dunianya sendiri”. Berdasarkan pendapat Kanner ini banyak guru

Universitas Sumatera Utara

dan orangtua menganggap anak yang tidak dapat melakukan interaksi dengan lingkungan sekitar diidentikkan sebagai anak autis, padahal tidak sedikit anak tidak dapat berinteraksi dengan lingkungan disebabkan oleh masalah-masalah yang bersifat psikologis.

2. Bonny Danuatmaja (2003:2) menjelaskan bahwa “autis merupakan suatu kumpulan sindrom (gejala-gejala) akibat kerusakan syaraf, dan mengganggu perkembangan anak”.

3. Mif Baihaqi Dan Sugiarmin (2005:135), menjelaskan “autis merupakan suatu gangguan yang kompleks dan berbeda-beda dari yang ringan sampai berat dan mengalami tiga bidang kesulitan, yaitu komunikasi, imajinasi, sosialisasi”.

4. Sumarna (2004:3) mendeskripsikan pengertian autis sebagai berikut “autis merupakan bagian dari anak berkelainan dan mempunyai tingkah laku yang khas, memiliki pikiran yang terganggu dan terpusat pada diri sendiri serta hubungan yang miskin terhadap realitas eksternal”.

5. Melly Budiman dalam Sumarna (2004:4) menjelaskan “autis adalah gangguan perkembangan pada anak, oleh karena itu diagnosis ditegakkan dari gejala-gejala yang nampak dan menunjukkan adanya penyimpangan dari perkembangan yang normal sesuai umurnya”.

6. Rudi Sutadi (2002:1) menyatakan “autis adalah gangguan perkembangan berat yang antara lain mempengaruhi cara seseorang untuk berkomunikasi dan bereaksi (berhubungan) dengan orang lain, karena penyandang autis tidak mampu berkomunikasi verbal maupun non-verbal.

Dari kesimpulan diatas, autis dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

“anak yang mengalami gangguan perkembangan yang khas mencakup persepsi, linguistik, kognitif, komunikasi dari yang ringan sampai yang berat, dan seperti hidup dalam dunianya sendiri, ditandai dengan ketidakmampuan berkomunikasi secara verbal dan non-verbal dengan lingkungan eksternalnya”(dalam buku

Universitas Sumatera Utara

Secara umum anak autis dari sisi kecerdasan dapat dikelompokkan dalam 3 kelompok besar, yaitu anak dengan kecerdasan rata-rata, dibawah rata-rata, dan diatas rata-rata. Di Sekolah Luar Biasa (SLB) yang menangani anak autis, umumnya terdiri dari anak-anak autis yang memiliki tingkat kecerdasan dibawah rata-rata atau lebih dikenal anak autis dengan hambatan kecerdasan. Dengan melihat kondisi aktual anak autis, anak autis dalam layanan pembelajaran dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu layanan pembelajaran bagi anak autis dengan hambatan kecerdasan dan layanan pembelajaran anak autis tanpa hambatan kecerdasan (Koswara, 2013:2).

Anak autis memiliki karakteristik yang khas bila dibandingkan dengan anak berkebutuhan khusus lainnya. Secara umum anak autis memiliki karakteristik sebagai berikut:

a. Tidak memiliki kontak mata/kontak mesra dengan orang lain atau lingkungannya. Yang dimaksud dengan kontak mata atau kontak mesra, anak autis umumnya tidak dapat melakukan kontak mata atau menatap guru, orang tua atau lawan bicaranya ketika melakukan komunikasi. b. Selektif berlebihan terhadap rangsang, anak autis diantaranya sangat

selektif terhadap rangsang, seperti tidak suka dipeluk, merasa seperti sakit ketika dibelai guru atau orangtuanya. Beberapa anak ada yang sangat terganggu dengan warna-warna tertentu.

c. Respon stimulasi diri yang mengganggu interaksi sosial. Anak autis seringkali melakukan atau menunjukkan sikap seperti mengepak- ngepakkan tangan, memukul-mukul kepala, menggigit jari tangan ketika merasa kesal atau panik dengan situasi lingkungan yang baru dimasukinya

d. Ketersendirian yang ekstrim. Anak autis umumnya senang bermain sendiri, hal ini karena anak tidak melakukan interaksi sosial dengan lingkungannya. Anak akan menjadi lebih parah bila mereka dibiarkan bermain sendiri.

e. Melakukan gerakan tubuh yang khas, seperti menggoyang-goyangkan tubuh, jalan berjinjit, menggerakkan jari ke meja.

Universitas Sumatera Utara

Dalam kemampuan komunikasi dan bahasa anak autis memiliki karakteristik sebagai berikut:

a. Ekspresi wajah yang datar, pada beberapa anak seringkali guru dan orangtua sangat sulit membedakan apakah anak sedang merasa senang, sedih ataupun marah.

b. Tidak menggunakan bahasa/isyarat tubuh. c. Jarang sekali memulai komunikasi.

d. Tidak meniru aksi atau suara e. Bicara sedikit atau tidak ada.

f. Membeo kata-kata kalimat atau nyanyian. g. Intonasi ritme vokal yang aneh.

h. Tampak tidak mengerti arti kata.

i. Mengerti dan menggunakan kata secara terbatas. j. Pemahaman bahasa kurang.

k. Tidak melakukan kontak mata saat bicara (Koswara, 2013: 12-13) Ciri autisme yang paling menonjol adalah kesendirian yang amat sangat. Ciri-ciri lain mencakup masalah dalam bahasa, komunikasi, dan perilaku ritualistik atau stereotip. Anak dapat pula tidak bicara, atau bila terdapat keterampilan berbahasa, biasanya digunakan secara tidak lazim seperti dalam ekolalia (mengulang kembali apa yang didengar dengan nda suara tinggi dan monoton); penggunaan kata ganti orang secara terbalik (menggunakan “kamu” atau “dia”, bukan “saya”); menggunakan kata-kata yang hanya dimengerti artinya oleh mereka yang kenal dekat dengan si anak; dan kecenderungan untuk meninggikan nada suara diakhir kalimat, seolah-olah mengajukan pertanyaan. Dapat pula hendaya komunikasi nonverbal, misalnya anak autistik tidak dapat melakukan kontak mata atau menunjukkan ekspresi wajah. Mereka juga berespons secara lambat terhadap orang dewasa yang berusaha mendapatkan perhatian mereka, itu juga jika mereka mau memperhatikan (Leekam & Lopez, 2000). Walaupun mereka tidak responsif terhadap orang lain, para peneliti menemukan bahwa mereka dapat memperlihatkan emosi-emosi yang kuat,

Universitas Sumatera Utara

terutama emosi negatif seperti marah, sedih, dan takut (Capps dkk., 1993; Kasari dkk., 1993).

Ciri utama dari autisme adalah gerakan stereotip berulang yang tidak memiliki tujuan – berulang-ulang memutar benda, mengepakkan tangan, berayun kedepan dan kebelakang dengan lengan memeluk kaki. Sebagian anak autistik menyakiti diri sendiri, bahkan saat mereka berteriak kesakitan. Mereka mungkin membenturkan kepala, menampar wajah, menggigit tangan dan pundak, atau menjambak rambut mereka. Mereka dapat pula menjadi tantrum atau merasa panik secara tiba-tiba. Ciri lain dari autisme adalah menolak perubahan pada lingkungan – ciri yang diberi istilah “penjagaan kesamaan”. Bila ada objek-objek yang dikenal dan digeser dari tempatnya, walaupun sedikit, anak autistik dapat menjadi tantrum atau menangis terus-menerus sampai objek tersebut dikembalikan pada tempatnya. Anak autistik dikuasai oleh ritual (Nevid, 2005: 146-147).

Masalah belajar pada anak autis sangat kompleks dan luas, dimana satu masalah dapat menjadi pencetus atau member pengaruh pada masalah lainnya. Terdapat tiga masalah besar dalam belajar yang dihadapi anak autis, yaitu: 1) Komunikasi, 2) Interaksi sosial, 3) Perilaku. Masalah komunikasi bagi anak autis dalam belajar akan terus menjadi masalah anak, apabila tidak dilakukan intervensi sejak dini. Masalah komunikasi ini akan terus menjadi masalah anak khususnya dalam berinteraksi sosial dengan lingkungan dimana anak tumbuh dan berkembang. Proses belajar/pembelajaran merupakan proses interaksi sosial antara anak sebagai peserta didik dengan guru ataupun orangtua. Kegagalan dalam melakukan interaksi dalam proses pembelajaran umumnya berdampak pada masalah perilaku anak di kelas, baik untuk anak itu sendiri maupun teman lain di kelasnya. Kemampuan dan keberhasilan anak autis dalam melakukan interaksi sosial sangat ditentukan kemampuan anak melakukan komunikasi.

Perilaku autis umumnya disebabkan oleh keterbatasan anak dalam melakukan interaksi sosial atau komunikasi. Perilaku/sikap anak sering juga digunakan sebagai alat komunikasi anak dalam berkomunikasi dan breinteraksi dengan lingkungannya, misalnya anak menarik-narik tangan orang tua atau

Universitas Sumatera Utara

gurunya ketika menginginkan sesuatu, atau anak memberikan piring pada ibunya ketika meminta makan dan perilaku lainnya yang sangat personal dan hanya dapat dipahami oleh lingkungan terdekatnya. Perilaku yang dimunculkan anak seperti dijelaskan diatas sesungguhnya merupakan peluang bagi orang tua dan guru untuk memulai pembelajaran komunikasi dengan anak. Banyak guru dan orangtua membuang peluang tersebut, karena tidak sabar dan langsung memberikan benda atau apa yang diinginkan anak, sehingga anak setelah mendapat apa yang diinginkannya kembali masuk pada dunianya sendiri (Koswara, 2013:14-16).

Pada komunikasi dengan anak autis seorang guru harus mengembangkan kemampuan tidak hanya bicara, tetapi perlu dikembangkan kemampuan anak dalam mengekspresikan apa yang dikomunikasikannya dengan gerakan tangan, ekspresi wajah, dan gerakan tubuh yang lain untuk menegaskan apa yang dikomunikasikan. Komunikasi bagi anak autis lebih ditekankan pada bagaimana bentuk-bentuk pemancaran dan pengekspresian pesan secara baik dan serasi. Komunikasi yang harus dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi harus melibatkan unsur kemampuan berpikir anak sehingga simbol- simbol bahasa dapat dipahami anak dan lawan bicaranya yang dirumuskan dalam tatanan bunyi bahasa sehingga terangkai menjadi jalinan kata dan kalimat yang baik serta bermakna bagi anak dan lawan bicaranya (Koswara, 2013:27-28).

Anak autis umumnya mengalami kesulitan dalam pragamatik atau mengalami kesulitan menginterpretasikan bahasa dalam konteks sosial, fisik maupun linguistik. Anak autis yang mengalami kesulitan dalam pragmatik, seperti yang dijelaskan Kanner (1946) dalam Kathleen An (2001:51) “anak autis tidak dapat memulai percakapan walaupun ia bisa berbicara, kalau sedang berbicara ia cenderung meminta objek atau mainan”. Pada anak nonverbal seringkali merespon pertanyaan dengan gambar, misalnya guru bertanya “ade mau apa?” anak menjawab dengan menunjukkan gambar kue, atau menunjuk pada objek tertentu. Guru dituntut mampu membantu anak merespon dalam komunikasi tidak hanya sebatas melakukan intervensi (Koswara, 2013:39).

Universitas Sumatera Utara

Secara umum penyandang autis menunjukkan gangguan komunikasi yang menyimpang dari anak-anak pada umumnya. Gangguan komunikasi tersebut dapat terlihat dalam bentuk keterlambatan bicara, tidak bicara, bicara dengan bahasa yang tidak dimengerti orang lain, atau dapat bicara hanya dengan meniru saja (echolalia). Selain gangguan komunikasi anak autis juga umumnya menunjukkan gangguan interaksi dengan orang lain yang ada disekitar baik anak sebaya maupun orang dewasa (Koswara, 2013:43).

Kemampuan berbahasa merupakan proses paling kompleks diantara semua proses perkembangan manusia. Kemampuan berbahasa bersama kemampuan perkembangan pemecahan masalah visio motor merupakan petunjuk baik dari ada tidaknya gangguan intelegensi pada seorang anak. Perkembangan bahasa memerlukan fungsi reseptif dan ekspresif yang sejalan dan seimbang. Fungsi ekspresif merupakan kemampuan anak mengutarakan pikirannya dimulai dengan komunikasi nonverbal, komunikasi dengan ekspresi wajah atau mimic, gerakan tubuh dan akhirnya komunikasi dengan menggunakan kata-kata.

Selain bicara ekspresif, anak autis juga mempunyai kesulitan mengartikan ucapan orang lain, terutama yang bersifat abstrak. Anak autis seringkali salah mengartikan pertanyaan, komentar atau cerita yang panjang (Koswara, 2013:62- 63).

Dokumen terkait