• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III KONSEP SIRI’ DALAM MASYARAKAT BUGIS

C. Nilai- Nilai Dasar Budaya Siri’

3. Awaraningeng (Keberanian)

Kata warani dalam bahasa Bugis sama dengan berani dalam bahasa Indonesia. Orang yang berani adalah orang yang tidak gampang takut, tidak mudah terkecut dan tidak tergolong pencemas atau pengecut. Keberanian biasa dikaitkan dengan kenjantanan atau kelaki-lakian. Dalam masyarakat Bugis, orang yang berani sering di sanjung dengan gelar ‚orowane‛atau ‚jantan‛.24

Keberanian yang sesungguhnya tentulah bukan semata-mata diartikan dengan perkelahian. Kita harus melihat potensi keberanian secara luas. Yang dibutuhkan adalah tekad (keberanian untuk membuktikan kepada diri sendiri dan orang lain kemampuan yang kita miliki untuk berprestasi atau sukses) bukan nekat (keberanian yang tanpa diperhitungkan). Sifat berani harus dikelola dengan baik. Menyalurkan potensi keberanian yang ada guna mencapai kesuksesan. Dalam dunia bisnis dibutuhkan keberanian, dalam dunia pendidikan juga dibutuhkan keberanian, dan juga dalam segala aspek kehidupan yang lainnya. Keberanian untuk berubah, keberanian untuk mengendalikan emosi, keberanian

untuk memaafkan orang lain, keberanian untuk mengakui kesalahan dan lain-lain. Semua itu adalah dunia nyata yang membutuhkan keberanian. Keberanian yang sesungguhnya adalah mengalahkan rasa takut.

Hal yang paling utama dalam menanamkan keberanian adalah keberanian moral yang selalu menunjukkan diri dalam tekad untuk tetap mempertahankan sikap yang telah diyakini sebagai kewajiban demi harkat martabat kemanusiaan. Sedang dalam lontara orang yang memiliki keberanian adalah mereka yang tidak mundur dari tugas dan tanggungjawab dalam membela kebenaran walaupun orang tersebut diisolasi dari lingkungan, dicela, ditendang atau diancam oleh orang banyak, oleh orang yang kuat dan mempunyai kedudukan dan juga oleh mereka yang penilaiannya disegani.25

Orang yang memiliki keberanian moral adalah mereka yang selalu mempertimbangkan apa yang mereka ingin kerjakan secara matang. Mereka memiliki sikap mandiri yang mampu dalam menilai suatu masalah, yang selalu melawan kemungkaran dan tidak tidak tunduk pada kekuatan yang mengiming-imingi akan kedudukan, maupun kekayaan. Ia selalu teguh pada pendirian yang benar. Seperti dikatakan dalam lontara latoa Bugis, sebagai berikut:

Tettakini napolei ada maja’, ada madeceng, de’ najampangiwi karebae.

Naengkalengai tenna engkalinga toi, temmataui ri pariolo, temmataui ri parimunri. Temmetaui mita bali, waraniwi taro pangkaukeng ri maperrie ri temmaperrie riakkuannae waraniwi mappasu ada matojo, malemma ri

sipato’nae. Waraniwi nrete’ bicara materre, bicara mapecca’ ri sitongennae. Waraniwi mappakainge’, mappangaja ri tomarajae, ri

tobaiccu’e, ri nasagenae. Waraniwi mate.26

25 Mashadi Said, Jati Diri Manusia Bugis, h. 162.

Artinya:

Tidak terkejut mendengar berita baik atau buruk, mempertimbangkan berita yang didengarkannya secara matang, tidak takut disuruh ke depan, tidak takut ia ditempatkan di belakang, tidak takut menghadapi musuh, berani mengambil tindakan, baik pada situasi yang sulit maupun situasi yang biasa. Berani mengeluarkan perkataan yang keras maupun lunak secara wajar. Berani memutuskan perkara baik yang sulit maupun mudah berdasarkan kebenaran. Berani mengingatkan atau memberi nasihat baik kepada penguasa/pembesar, maupun kepada orang kecil dan orang yang disegani. Berani mati.

Keberanian secara moral yang telah lama terkonsep di masyarakat Bugis menjadikan diri mereka kuat mempertahankan sikap yang diyakini, bahkan ia merasa lebih kuat dan semakin kokoh dalam pendirian. Semakin kuat tantangan yang diberikannya, semakin kuat pula semangatnya untuk melakukan perbuatan yang baik. Bahkan memberikan motivasi semangat yang lebih tinggi bagi mereka yang lemah atau menderita akibat kezaliman oleh pihak yang memiliki kekuatan dan kewenangan. Bahkan mereka diumpamakan sebagai batu karang yang di laut yang tetap kokoh dan tidak ikut arus ombak.

Sedangkan bagi orang Bugis, orang yang tidak memiliki keberanian moral

disebut penakut atau pengecut. Bagi lontara’, orang penakut tidak mempunyai

kebaikan, bahkan keburukan semata. Orang penakut tidak percaya diri, ia tidak mampu melakukan sesuatu atau tidak kreatif. Bahkan ia sangat serakah mengambil barang yang sudah ada. Sehingga dalam berpikir, ia lebih banyak khayalan dari pada tindakannya dan tidak mampu mewujudkan khayalan tersebut pada perbuatan nyata. Sehingga khayalannya itu menjelma dalam perbuatan tercela. Orang yang berbuat seperti itu, berarti tidak mempunyai rasa malu

(siri’).27 Apa yang mereka lakukan hanyalah omong kosong dan orang seperti ini tidak dikategorikan dalam orang berani yang hanya mengandalkan otot tanpa pertimbangan otak dan hati yang bersih.

Hanya dengan keberanian, maka prinsip lempu (jujur), ada tongeng (berkata benar) dan getteng (tegas) dan ammacanggeng (kecendekiwanan) bisa ditegakkan dalam kehidupan sebagai individu dan warga masyarakat. Keberanian pun harus selalu bertolak dari ketiga prinsip tersebut. Disebutkan bahwa jika jalan itu kau lalui (ketiga prinsip tersebut) maka hanya tuhan yang harus ditakuti. Dalam prinsip masyarakat Bugis nilai-nilai siri’ sangat berfungsi sebagai upaya pengekangan bagi seseorang untuk melakukan perbuatan yang tercela. Nilai kejujuran, kecendekiaan, serta keberanian tidak boleh lepas dari kehidupan serta menjaga norma-norma yang ada dalam budaya siri’, serta menjaga perbuatan yang menjadi pangkal kebajikan di dunia.

D. Siri’ Sebagai Bagian dari Budaya Bugis

Berbicara masalah siri’ berarti berbicara tentang bagaimana budaya yang

ada di sulawesi selatan. Dalam masyarakat Bugis sendiri, siri’ mendapatkan

kedudukan penting, baik dalam pembicaraan sehari-hari terutama dalam kebudayaan Bugis.28 Sehingga masyarakat Bugis masih menjunjung tinggi nilai budaya yang telah tertanam sejak dulu, yang merupakan hasil dari kelakuan masyarakat tersebut. Adapun pandangan antrophologi dalam mendefinisi kebudayaan bahwa, kebudayaan ialah keseluruhan dari kelakuan dan hasil

27 Mashadi Said, Jati Diri Manusia Bugis, h. 164.

kelakuan manusia yang teratur oleh tata-kelakuan yang harus didapatnya dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.29

Budaya siri’ merupakan inti dari kebudayaan serta menjadi kekuatan pendorong peradabaan Bugis. Siri’ merupakan adat kebiasaan yang masih melembaga dan masih besar pengaruhnya dalam budaya kehidupan masyarakat Sulawesi-Selatan.30 Siri’ bukan semata-mata persoalan pribadi yang muncul dengan spontan. Siri’ lebih kepada sesuatu yang dirasakan bersama dan merupakan bentuk solidaritas sosial. Hal ini dapat menjadi motif penggerak penting kehidupan sosial dan pendorong tercapainya suatu prestasi sosial bagi masyarakat Bugis.

Siri’ sebagai sistem nilai budaya berada pada lapisan sistem budaya Bugis-Makassar. Siri’ niscaya dicita-citakan, digagaskan, dikonsepkan mereka dalam kondisi kesadaran yang sehat, disertai cara perenungan akal budi.31 Sehingga budaya siri’ berasal dari endapan kaidah-kaidah yang diterima dan berlaku dalam lingkungan masyarakat, dan mengalami pertumbuhan berabad-abad sehingga membudaya.32

Disisi lain, budaya siri’ mengajarkan moralitas kesusilaan yang berupa anjuran, larangan, hak dan kewajiban yang mendominasi tindakan manusia untuk menjaga dan mempertahankan diri dan kehormatannya. Siri' adalah rasa malu yang terurai dalam dimensi-dimensi harkat dan martabat manusia. Siri' adalah

29 Bhimokurniawan, Menggali Nilai Nilai Budaya Bugis Makassar, dalam Website http://id.scribd.com/doc. diakses, 21-11-2016

30 Rahman Rahim, Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis, h.168.

31 M. Laica Marzuki, Siri’, Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis-Makassar, h. 138.

sesuatu yang 'tabu' bagi masyarakat Bugis dalam berinteraksi dengan orang lain.33

Selain mempertahankan harga diri manusia, Siri’ juga merupakan campuran dari pikiran, perasaan dan nilai-nilai budaya serta nilai-nilai agama yang disebut kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual.34

Melihat beberapa penjelasan diatas, bahwa siri’ adalah bagian dari budaya

Bugis yang lahir dari masyarakat, tindakan, pemikiran, serta kebiasaan masyarakat. Siri’ di Sulawesi-Selatan khususnya di kabupaten Pinrang merupakan sebuah budaya yang harus ditegakkan serta dipertahankan dalam menjaga norma-norma adat dan agama, agar masyarakat terhindar dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh adat dan agama. Sedangkan menurut salah satu responden yang telah kami wawancara, mengatakan bahwa siri’

merupakan budaya yang selalu tertanam dalam diri seorang manusia Bugis, akan

tetapi budaya siri’ yang mayoritas berkembang dalam masyarakat Bugis mulai

mengalami pergeseran makna yang sebenarnya. Siri’ yang berkembang saat ini hanya tertuju pada aspek sombolisme-eksternal dari seseorang, maksudnya siri’

ini hanya dianggap sebagai sebab dari perbuataan seseorang kepadanya.

Contohnya masyarakat sekarang dianggap siri’ apabila dipermalukan, apabila

tidak dihargai, serta dianggap remeh dan dihini oleh orang lain.35

33 http://bugismakassartrip.blogspot.co.id/2014/05/siri-na-pacce-dalam-nilai-dan-falsafah.html 21-12-2016

34http://wargasawitto.blogspot.co.id/2013/01/siri-sebagai-budaya-masyarakat-bugis.html 21-12-16

35 Wawancara penulis dengan Firdaus Gaffar sebagai salah satu mahasiswa di perguruan tinggi, di Perumahan Bukit Cirendeu, pada tanggal 4 Maret 2017, 17.00-17.35 WIB

Budaya siri’ dalam masyarakat Bugis Pinrang, selain mengajarkan

kehidupan bermasyarakat, budaya siri’ juga mengajarkan masing-masing

individual masyarakat dalam menata atau membina keluarga serta menjaga harga diri agar terhindar dari perbuatan siri’ (Malu).

65 A. Profil Desa Sabbang Paru

Dokumen terkait