• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP

B. Badan Pengawas Perlindungan Pemegang Polis Pada PT Asuransi

Tentang Perlindungan Konsumen dan UU No 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian.

1. Badan Pengawas Perlindungan Pemegang Polis Pada PT Asuransi Allianz Utama Indonesia (AAUI) berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Pemerintah bertanggung jawab dalam memberikan perlindungan terhadap konsumen, melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Badan Pengawas Perlindungan Pemegang Polis Pada PT Asuransi Allianz utama Indonesia adalah Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Dirjen Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga, dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan konsumen dibentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN).281

Keanggotaan BPKN terdiri dari unsur pemerintah, pelaku usaha, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), Akademisi, dan tenaga ahli. Masa Jabatan mereka adalah tiga tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya.282 Berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional Pasal 4 ayat 1, BPKN terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota.283 BPKN berkedudukan di Jakarta dan bertanggung jawab kepada Presiden RI. Apabila BPKN diperlukan, bisa dibentuk perwakilan di ibu kota

281 Pasal 31 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

282 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2000) hal. 105.

283 Pasal 4 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional

daerah provinsi untuk membantu pelaksanaan tugasnya. Kedudukan BPKN yang langsung bertanggung jawab kepada presiden adalah sangat kuat. Tentunya, kedudukan ini sangat penting dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen.284

Menurut pandangan Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, BPKN yang bertanggung jawab langsung kepada presiden merupakan bentuk perlindungan dari arus atas (top-down), sedangkan arus bawah (bottom-up) diperankan oleh Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) yang representatif bisa menampung dan memperjuangkan aspirasi konsumen.285

Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai fungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan Perlindungan Konsumen di Indonesia.286 Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai tugas:287

a. Memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen;

b. Melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen;

c. Melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen;

d. Mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;

e. Menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen;

f. Menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha;

g. Melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.

284 Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional

285 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit, hal. 111.

286 Pasal 33 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

287 Pasal 34 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Tugas-tugas BPKN tersebut memiliki banyak kesamaan dengan tujuan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Tujuan berdirinya YLKI adalah untuk memberikan bimbingan dan perlindungan kepada masyarakat konsumen menuju kesejahteraan keluarga. Secara praktis, tujuan tersebut diimplementasikan dalam bentuk penelitian, pendidikan, penerbitan, dan warta konsumen.288

Di luar BPKN yang independen, dalam Pasal 29 dan 30 Undang-Undang Perlindungan Konsumen diamanatkan, pemerintah khususnya menteri yang membidangi perdagangan, ditugasi juga untuk mengkoordinasikan pembinaan dan pengawasan perlindungan konsumen secara nasional. Pembinaan dan pengawasan yang lebih khusus dilakukan oleh menteri-menteri teknis sesuai bidang tugas mereka.289

Menteri yang membidangi perdagangan itu berwenang membentuk tim koordinasi pengawasan barang dan/atau jasa yang beredar di pasar. Tim ini terdiri atas wakil instansi terkait, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM). Fungsi tim pun hanya sebatas memberikan rekomendasi kepada menteri untuk melakukan tindakan konkret, seperti penghentian produksi atau peredaran barang/jasa yang dinilai melanggar peraturan yang berlaku.290

288 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit, hal. 112.

289 Happy Susanto, Op. Cit., Hal. 74.

290 Ibid.

Dengan demikian, ada perbedaan antara BPKN dan tim diatas. BPKN berfungsi memberikan rekomendasi kepada Pemerintah dalam rangka penyusunan kebijakan di bidang perlindungan konsumen, sementara tim koordinasi yang dibentuk oleh menteri itu berfungsi memberikan rekomendasi berupa tindakan konkret atas setiap permasalahan yang timbul di lapangan.291

Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga, Kementerian Perdagangan dalam pengawasan perlindungan pemegang polis asuransi melaksanakan pengawasan dalam hal kegiatan perdagangan, pengawasan barang beredar dan/atau jasa serta pengawasan metrologi legal. Pengawasan terhadap jasa asuransi yang antara lain terkait klasula baku, cara menjual, dan pencantuman harga.292

Terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha asuransi, Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga telah banyak melakukan penindakan. Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, terhadap pelaku usaha yang melakukan pelanggaran dapat dikenakan sanksi administratif dan sanksi pidana. Sanksi administratif yang dapat dikenakan berupa sanksi teguran tertulis, pembekuan dan pencabutan perizinan di bidang perdagangan, sedangkan pengenaan sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada pelaku usaha adalah pidana penjara yang terbesar selama 5 tahun dan/atau pidana denda yang terbesar adalah Rp

291 Ibid, hal. 75.

292 https://adv.kompas.id/baca/perlindungan-konsumen-dan-tertib-niaga-dorong-pertumbuhan-ekonomi-indonesia/, diakses pada tanggal 8 April 2021.

5 miliar. Ketegasan dari Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga dimaksudkan untuk memberikan efek jera kepada pelaku usaha asuransi.293

Selain itu, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) juga melakukan pengawasan terhadap pemegang polis asuransi. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) merupakan suatu badan yang berkewenangan menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen. BPSK adalah konsekuensi yuridis dari adanya UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.294

Ditegaskan dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Perlindungan Konsumen ini, tercantum tugas BPSK yaitu: memberikan konsultasi perlindungan konsumen, melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku, dan menerima pengaduan konsumen atas terjadinya pelanggaran perlindungan konsumen, serta tugas-tugas lainnya.295 Pencantuman klausul baku yang sifatnya dilarang berdasarkan Pasal 18 ayat (1) UUPK masih banyak ditemukan dalam berbagai penawaran produk jasa asuransi, sekalipun dijelaskan telah dibentuk BPSK sebagai sebuah badan yang mempunyai kewenangan melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausul baku.296 Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) hanya dibebankan tugas menyelesaikan sengketa konsumen menggunakan

293 Ibid.

294 Sophar Maru Hutagalung, Op.Cit, hal. 332.

295 Pasal 52 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Perlindungan Konsumen

296 Sri Turatmiyah dan Arfianna Novera, “Peran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam Pengawasan Klausula Baku di Kota Palembang”. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum Faculty of Law. Vol. 24 No. 1, Januari 2017, hal. 150.

beberapa cara yang diamanatkan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu dengan cara arbitrase, konsiliasi, dan mediasi.297

2. Badan Pengawas Perlindungan Pemegang Polis Pada PT Asuransi Allianz Utama Indonesia (AAUI) berdasarkan UU No. 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian, mengatur satu bab khusus (Bab 13) mengenai “Pengaturan dan Pengawasan Kegiatan Usaha Perasuransian”, yakni dalam pasal 57 sampai dengan pasal 67. Badan pengawas perlindungan pemegang polis pada PT. Asuransi Allianz Utama Indonesia (AAUI), dalam Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian ini dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pengaturan dan pengawasan kegiatan usaha perasuransian oleh OJK, antara lain menyangkut tata kelola, perilaku usaha, dan Kesehatan keuangan.298

Menurut Pasal 8 Undang- Undang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tugas pengaturan yang diemban oleh OJK sangat luas sekali, meliputi wewenang sebagai berikut:299

a. Menetapkan Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini

b. Menetapkan Peraturan Perundang-undangan di sector jasa keuangan c. Menetapkan peraturan dan keputusan OJK

d. Menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan e. Menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK

f. Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu

g. Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa Keuangan

297 Ahmad Miru dan Sutarman, Op. Cit, hal. 233.

298 Mulhadi, Op.Cit, hal. 183.

299 Pasal 8 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

h. Menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban

i. Menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

Seirama dengan tugas pengaturan (umum) oleh OJK yang diatur dalam UU OJK, maka kemudian ditegaskan lagi di dalam Pasal 60 UU Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian yang menyatakan bahwa: “dalam rangka pelaksanaan fungsi pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian, OJK menetapkan peraturan perundang undangan di bidang perasuransian.”300

Pasal 9 Undang-Undang OJK kemudian menjelaskan tugas pengawasan oleh OJK, meliputi beberapa kewenangan sebagai berikut:301

a. Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan

b. Mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif

c. Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan

d. Memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak tertentu

e. Melakukan penunjukan pengelola statuter f. Menetapkan penggunaan pengelola statuter

g. Menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan

h. Memberikan dan/atau mencabut izin usaha; izin orang perseorangan;

efektifnya pernyataan pendaftaran; surat tanda terdaftar; persetujuan melakukan kegiatan usaha; pengesahan; persetujuan atau penetapan

300 Pasal 60 ayat 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian

301 Pasal 9 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

pembubaran; dan penetapan lain sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

Wewenang OJK di bidang pengawasan, terutama wewenang yang disinggung pada huruf h di atas, kemudian dikembangkan dan dipertegas ulang di dalam Pasal 60 ayat 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian, sebagai berikut:302

a. Menyetujui atau menolak memberikan izin Usaha Perasuransian;

b. Mencabut izin Usaha Perasuransian;

c. Menyetujui atau menolak memberikan pemyataan pendaftaran bagi konsultan aktuaria, akuntan publik, penilai, atau pihak lain yang memberikan jasa kepada Perusahaan Perasuransian;

d. Membatalkan pernyataan pendaftaran bagi konsultan aktuaria, duta akuntan publik, penilai, atau pihak lain yang memberikan jasa kepada Perusahaan Perasuransian;

e. Mewajibkan Perusahaan Perasuransian menyampaikan laporan slun secara berkala;

f. Melakukan pemeriksaan terhadap Perusahaan Perasuransian dan pihak lain yang sedang atau pernah menjadi pihak terafiliasi atau memberikan jasa kepada Perusahaan Perasuransian;

g. Menetapkan Pengendali dari Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, atau Perusahaan SInopsis Reasuransi syariah;

h. Menyetujui atau mencabut persetujuan suatu Pihak menjadi mer Pengendali Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, atau Perusahaan Reasuransi syariah;

i. Mewajibkan suatu Pihak untuk berhenti menjadi Pengendali dari Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, atau Perusahaan Reasuransi syariah:

j. Melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi dan dewan gar komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dewan pengawas syariah, aktuaris perusahaan, auditor internal sandal dan Pengendali;

k. Menonaktifkan direksi, dewal komisaris, atau yang setara dengan direksi dan dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha

302 Pasal 60 ayat 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian

bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dan/atau dewan pengawas syariah, dan menetapkan Pengelola Statuter;

l. Memberi perintah tertulis kepada:

1) Pihak tertentu untuk membuat laporan mengenai hal tertentu, atas biaya Perusahaan Perasuransian dan disampaikan kepada OJK;

2) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, atau Perusahaan Reasuransi Syariah untuk mengalihkan sebagian atau seluruh portofolio pertanggungannya kepada Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, atau Perusahaan Reasuransi Syariah lain;

3) Perusahaan Perasuransian untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu guna memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian;

4) Perusahaan Perasuransian untuk memperbaiki atau menyempurnakan sistem pengendalian intern untuk mengidentifikasi dan menghindari pemanfaatan Perusahaan modelar Perasuransian untuk kejahatan keuangan;

5) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah untuk menghentikan pemasaran produk asuransi tertentu;

6) Perusahaan perasuransian untuk menggantikan seseorang dari jabatan atau posisi tertentu, atau menunjuk seseorang dengan kualifikasi tertentu untuk menempati jabatan atau sketsa posisi tertentu, dalam hal orang tersebut tidak kompeten, tidak memenuhi kualifikasi tertentu, tidak berpengalaman, Tanam atau melakukan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian:

m. Mengenakan sanksi kepada perusahaan perasuransian, pemegang saham, direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan pemegang saham, direksi, dan dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dewan pengawas syariah, aktuaris perusahaan, dan/atau auditor internal;

n. Melaksanakan kewenangan lain berdasarkan peraturan perundang undangan.

Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) huruf f vakni:

“Pemeriksaan terhadap perusahaan perasuransian dan pihak lain yang sedang/pernah menjadi pihak terafiliasi atau memberikan jasa kepada perusahaan perasuransian, dilakukan secara berkala dan/atau sewaktu waktu.

Pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan di kantor perusahaan perasuransian dan/atau pemeriksaan di kantor OJK. Pemeriksaan di kantor perusahaan perasuransian dapat dilakukan terhadap seluruh aspek penyelenggaraan kegiatan usaha perusahaan perasuransian dan/atau terhadap aspek tertentu dari penyelenggaraan kegiatan usaha perusahaan perasuransian.

Sedangkan, pemeriksaan di kantor OJK dilakukan hanya terhadap aspek tertentu dari penyelenggaraan kegiatan usaha perusahaan perasuransian.”303 Pemeriksaan di kantor OJK dapat ditindaklanjuti dengan pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian, apabila:304

a. Data, dokumen, dan/atau keterangan dari Perusahaan Perasuransian yang diperiksa tidak dapat memberikan dasar yang cukup bagi pegawai OJK dan/atau pihak lain yang ditunjuk dan melakukan pemeriksaan di kantor Otoritas Jasa Keuangan untuk membuat kesimpulan atas hasil pemeriksaan; dan/atau

b. Adanya tanggapan perusahaan perasuransian yang diperiksa terhadap kesimpulan hasil pemeriksaan di kantor OJK.

Masih berkenaan dengan pemeriksaan terhadap perusahaan perasuransian dan pihak lain yang sedang atau pernah menjadi pihak terafiliasi atau memberikan jasa kepada perusahaan perasuransian, OJK dapat menugaskan pihak lain untuk dan atas nama OJK. Yang dimaksud dengan pihak lain disini adalah “badan, lembaga, institusi atau orang, baik dari dalam maupun luar Otoritas Jasa Keuangan. Pihak tersebut, antara lain akuntan publik, konsultan aktuaria, penilai kerugian, pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan/atau pejabat penyidik Kepolisian Republik Indonesia.”305

Selama berlangsungnya pemeriksaan oleh OJK dan/atau pihak lain yang ditugaskan, sehingga tujuan pemeriksaan bisa dicapai sepenuhnya, maka anggota direksi, anggota dewan komisaris, atau yang setara pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama, dewan syariah, aktuaris perusahaan, auditor internal, pegawai lain, pemegang saham, pengendali, pihak teraliliasi, dan pihak yang

303 Mulhadi, Op.Cit, hal. 187.

304 Pasal 61 ayat 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian

305 Mulhadi, Op.Cit, hal. 187.

menerima pengalihan sebagian fungsi dalam penyelenggaraan usaha untuk kepentingan Perusahaan Perasuransian, wajib memberikan keterangan dan/atau data, kesempatan untuk melihat semua pembukuan, catatan, dokumen, dan sarana fisik yang berkaitan dengan kegiatan usahanya dan hal lain diperlukan oleh pemeriksa.306

Menurut Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian, OJK dapat menonaktifkan direksi, dewan komisaris, atau yang setara pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama, dan/atau dewan pengawas syariah, serta menetapkan Pengelola Statuter untuk mengambil alih kepengurusan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, atau Perusahaan Reasuransi Syariah dalam hal:307

a. Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, atau Perusahaan Reasuransi Syariah tersebut telah dikenai sanksi pembatasan kegiatan usaha;

b. Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, atau Perusahaan Reasuransi Syariah tersebut memberikan informasi kepada OJK bahwa menurut pertimbangannya perusahaan diperkirakan tidak mampu memenuhi kewajibannya atau akan menghentikan pelunasan kewajiban yang jatuh tempo;

c. Menurut pertimbangan OJK, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, atau Perusahaan Reasuransi syariah tersebut diperkirakan tidak mampu memenuhi kewajiban atau akan menghentikan pelunasan kewajiban yang jatuh tempo;

d. Menurut pertimbangan OJK, Perusahaan Asuransi, Perusahaan l Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, atau Perusahaan Reasuransi Syariah tersebut melakukan kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian atau secara finansial dinilai tidak sehat: atau

e. Menurut pertimbangan OJK, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, atau Perusahaan Reasuransi Syariah

306 Ibid, hal.188.

307 Pasal 62 ayat 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian

tersebut dimanfaatkan untuk memfasilitasi dan/atau melakukan kejahatan keuangan.

Pengelola Statuter sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40Tahun 2014 Tentang Perasuransian adalah “pihak yang ditunjuk oleh OJK untuk mengambil alih kepengurusan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, atau Perusahaan Reasuransi Syariah.

Pengelola Statuter ini sewaktu-waktu bisa diberhentikan oleh OJK.”308

Menurut undang-undang, ada lebih kurang 5 (lima) tugas pokok Pengelola Statuter yang telah ditetapkan oleh OJK, yaitu:309

a. Menyelamatkan kekayaan dan/atau kumpulan dana peserta Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, atau Perusahaan Reasuransi Syariah;

b. Mengendalikan dan mengelola kegiatan usaha dari Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, atau Perusahaan Reasuransi Syariah sesuai dengan undang-undang ini;

c. Menyusun langkah-langkah apabila Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, atau Perusahaan Reasuransi Syariah tersebut masih dapat diselamatkan;

d. Mengajukan usulan agar OJK mencabut izin usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, atau Perusahaan Reasuransi Syariah apabila perusahaan tersebut dinilai tidak dapat diselamatkan; dan

e. Melaporkan kegiatannya kepada OJK.

Pengelola Statuter dalam menjalankan tugasnya memiliki beberapa kewajiban sebagai berikut:310

a. Wajib mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian.

308 Mulhadi, Op.Cit, hal. 189.

309 Pasal 62 ayat 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian

310 Pasal 63 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian

b. Wajib mematuhi setiap perintah tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan mengenai pengendalian dan pengelolaan kegiatan usaha dari Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, atau Perusahaan Reasuransi syariah. Yang dimaksud 'perintah tertulis' adalah perintah secara tertulis untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan kegiatan tertentu guna memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan dan/atau mencegah dan mengurangi kerugian Pemegang Polis, Tertanggung atau Peserta.

c. Wajib mempertanggungjawabkan segala keputusan dan tindakannya dalam mengendalikan dan mengelola Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, atau Perusahaan Reasuransi Syariah kepada OJK.

Pengelola Statuter memiliki seluruh wewenang dan fungsi direksi, dewan komisaris, atau yang setara pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama, dan/atau dewan pengawas syariah dari Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, atau Perusahaan Reasuransi Syariah.

Selain kewenangan sebagaimana di atas, Pengelola Statuter juga memiliki kewenangan membatalkan atau mengakhiri perjanjian yang dibuat oleh Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, atau Perusahaan Reasuransi Syariah dengan pihak ketiga, yang menurut Pengelola Statuter dapat merugikan kepentingan perusahaan dan Pemegang Polis, dan melakukan pengalihan sebagian atau seluruh portofolio pertanggungan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, atau Perusahaan Reasuransi Syariah, yang menurut Pengelola Statuter dapat mencegah kerugian lebih besar bagi Pemegang Polis.311

311 Mulhadi, Op.Cit, hal. 190.

Di samping tugas, kewajiban, kewenangan, dan fungsi sebagaimana disebut di atas, Pengelola Statuter bertanggung jawab atas kerugian Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, atau Perusahaan Reasuransi Syariah dan/atau pihak ketiga, jika kerugian tersebut disebabkan oleh kecurangan, ketidakjujuran atau kesengajaannya untuk tidak mematuhi ketentuan peraturan perundangan-undangan di bidang perasuransian.312

Pengendalian dan pengelolaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi atau Perusahaan Reasuransi Syariah oleh Pengelola Statuter berakhir apabila OJK memutuskan:313

a. Pengendalian dan pengelolaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, atau Perusahaan Reasuransi Syariah oleh Pengelola Statuter tidak diperlukan lagi; atau

b. Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, atau Perusahaan Reasuransi Syariah telah dicabut izin usahanya.

312 Ibid

313 Pasal 65 ayat 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pembahasan yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka diperoleh kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut:

1. Ketentuan hukum mengenai hak dalam upaya melindungi pemegang polis berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 yaitu pemegang polis berhak diberikan penggantian karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, yang mungkin diderita pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti, dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana. Pengaturan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, ketentuan di dalamnya lebih banyak mengatur tentang perilaku pelaku usaha karena kerugian yang diderita oleh konsumen seringkali akibat dari pelaku usaha, sehingga perilaku pelaku usaha ini perlu diatur dan bagi para pelanggar dikenakan sanksi yang setimpal.

2. Bentuk perlindungan hukum terhadap pemegang polis Pada PT Asuransi Allianz Utama Indonesia (AAUI) dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian adalah standardisasi perusahaan

asuransi, pengawasan oleh OJK, Penyelesaian sengeketa dengan mediasi, Lembaga penjaminan pemegang polis, kewajiban perusahaan asuransi untuk menjadi anggota asosiasi, dan kode etik perusahaan asuransi.

asuransi, pengawasan oleh OJK, Penyelesaian sengeketa dengan mediasi, Lembaga penjaminan pemegang polis, kewajiban perusahaan asuransi untuk menjadi anggota asosiasi, dan kode etik perusahaan asuransi.

Dokumen terkait