• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. METODE PENELITIAN

3.6. Bagan Kerja

Tahapan kerja pelaksanaan penelitian disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Bagan kerja penelitian

25 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Nilai Rasio Karbon Terhadap Nitrogen Feses Gajah dan Cairan Rumen Sapi

Sebelum proses fermentasi dilakukan, perlu diketahui nilai rasio karbon terhadap nitrogen dari feses gajah dan inokulum cairan rumen sapi. Rasio C/N merupakan salah satu indikator penting untuk menentukan kualitas bahan yang akan dijadikan substrat dalam proses produksi biogas. Berdasarkan tabel di bawah, diketahui bahwa feses gajah memiliki rasio C/N 23,32 lebih besar daripada rasio C/N cairan rumen sapi yaitu 16,96 (Tabel 7).

Tabel 7. Hasil pengukuran nilai rasio C/N feses gajah dan cairan rumen sapi

Parameter Feses Gajah Cairan Rumen Sapi

Rasio C/N 23,32 16,96

Rasio C/N feses gajah termasuk dalam kategori optimum untuk dijadikan sebagai bahan baku biogas. Nilai ini sesuai dengan nilai optimum rasio C/N untuk produksi biogas yaitu sebesar 20– 30 (Deublein dan Steinhauser, 2008) . Jika rasio C/N terlalu tinggi, nitrogen akan meningkatkan pertumbuhan bakteri sedangkan yang bereaksi dengan karbon sedikit sehingga gas yang dihasilkan rendah, jika rasio C/N terlalu rendah, nitrogen berakumulasi dalam bentuk amonia yang menyebabkan peningkatan pH sehingga akan berefek toksik bagi mikroorganisme metanogenik (Abbasi, Tauseef, & Abbasi, 2012).

Rasio C/N feses gajah pada penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan dengan rasio C/N feses gajah pada penelitian Albani, Pikoli, & Sugoro (2018) yang memiliki rasio C/N sebesar 35,89 pada perlakuan pakan rumput gajah dan 38,37 pada perlakuan pakan kombinasi. Nilai rasio C/N yang bervariasi tergantung pada kandungan karbon dan nitrogen dalam pakan yang dikonsumsi oleh gajah...

26

Pengukuran rasio C/N juga dilakukan pada inokulum cairan rumen sapi. Hal ini dilakukan karena cairan rumen sapi masih mengandung bahan organik. Nilai rasio C/N cairan rumen sapi 16,96. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa selain mengandung mikroorganisme, cairan rumen sapi juga masih mengandung bahan organik. Nilai rasio C/N pada cairan rumen sapi termasuk rendah jika dibandingkan dengan kisaran nilai optimum untuk fermentasi biogas. Rasio C/N yang rendah pada cairan rumen sapi disebabkan komponen utama yang terdapat pada cairan isi rumen sapi adalah nitrogen, sedangkan kandungan karbonnya sangat rendah (Ihsan, Bahri, Musafira, 2013).

4.2. Produksi Biogas dan Metana

Produksi gas merupakan bukti bahwa terjadi proses fermentasi pada ketiga perlakuan. Jumlah produksi biogas yang dihasilkan dari masing-masing perlakuan menunjukkan perbedaan yang signifikan (Gambar 5). Berdasarkan uji statistik volume total biogas memperlihatkan hasil yang berbeda nyata antar perlakuan (Lampiran 1).

Gambar 5. Volume total biogas yang dihasilkan selama masa fermentasi pada setiap perlakuan FA (feses gajah+ air), FR (feses gajah+ cairan rumen sapi+ air), RA (cairan rumen sapi+ air)

0

Berdasarkan hasil yang didapatkan, perlakuan FA yang hanya terdiri dari feses gajah dan air menghasilkan kumulatif biogas paling besar yaitu mencapai 15,6 L. Hal ini mungkin terjadi karena rasio C/N pada feses gajah sudah berada pada rentang yang optimal untuk proses fermentasi biogas (Tabel 7).

Sementara itu, pada perlakuan FR yang terdiri dari substrat feses gajah, air, dan inokulum cairan rumen sapi, hanya menghasilkan kumulatif biogas sebesar 3,5 L selama 28 hari fermentasi. Beberapa faktor dapat menjadi penyebab terjadinya hal tersebut, pertama karena adanya kompetisi antara mikroorganisme cairan rumen dan mikroorganisme indigenus feses gajah. Substrat pada fermentor perlakuan FR lebih sedikit (3,75 kg) dibandingkan substrat pada perlakuan FA (7,5 kg). Lebih sedikitnya substrat yang tersedia pada perlakuan FR, ditambah dengan makin banyaknya mikroorganisme yang diberikan (cairan rumen sapi) menyebakan nutrisi yang akan diambil oleh mikroorganisme untuk tumbuh dan berkembang saat beradaptasi juga banyak, sehingga nutrisi yang tersisa untuk pembentukan biogas sedikit. Mikroorganisme cenderung mengambil nutrisi yang ada untuk berkembang biak, sedangkan sisanya digunakan untuk pembentukan biogas. Oleh karena itu, semakin banyak mikroorganisme yang ditambahkan, maka nutrisi yang tersisa untuk pembentukan biogas semakin sedikit.

Selain itu, faktor pH juga berpengaruh terhadap pertumbuhan dan aktifitas mikroorganisme. Mikroorganisme metanogen sangat rentan terhadap perubahan pH, jika nilai pH di bawah 6,5 maka aktifitas bakteri metanogen akan menurun sedangkan jika nilai pH mencapai di bawah 5,0 fermentasi akan terhenti.

Tingginya nilai pH juga berpengaruh negatif, pH yang lebih tinggi dari 8,5 akan menghambat pertumbuhan populasi bakteri metanogen, sehingga akan mempengaruhi laju pembentukan biogas dalam reaktor (Khaerunnisa &

Rahmawati, 2013).

Kemungkinan penyebab utama tingginya produksi gas oleh perlakuan pakan FA adalah konsentrasi VFA. Konsentrasi asam asetat yang dihasilkan oleh perlakuan FA terlihat lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya. VFA merupakan senyawa perantara yang akan diubah menjadi biogas yang dihasilkan pada tahapan asidogenesis. VFA akan diubah menjadi asam asetat, gas karbon

28

dioksida dan gas hidrogen pada tahap asetogenesis, baru kemudian diubah menjadi metana pada tahap methanogenesis (Weiland, 2010).

Perlakuan RA menghasilkan kumulatif biogas paling sedikit, yaitu sebesar 0,85 L selama 28 hari fermentasi. Hal ini disebabkan pada perlakuan RA kebutuhan nutrisi yang tersedia untuk produksi biogas tidak berimbang, karena pada perlakuan ini hanya terdapat cairan rumen sapi dan air. Komponen yang terdapat dalam cairan rumen sapi adalah nitrogen, sedangkan kandungan karbonnya sangat rendah, sehingga kondisi tersebut kurang ideal bagi perkembangan mikroorganisme dalam menghasilkan biogas (Ihsan, Bahri, Musafira, 2013).

Metana merupakan hasil utama dari proses fermentasi biogas. Hasil pengukuran terhadap proporsi dan volume metana menunjukan bahwa proporsi dan volume metana tertinggi terjadi pada perlakuan FA, dan terendah pada perlakuan RA (Gambar 6). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa CH4 pada setiap perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata (Lampiran 2).

Perlakuan FA menghasilkan volume total metana sebesar 13,24 L dengan proporsi metana mencapai 84,39% selama 28 hari fermentasi. Proporsi metan yang tinggi mengindikasikan berhasilnya proses fermentasi. Sedangkan, pada perlakuan FR menghasilkan volume total metana sebesar 1,07 L dengan proporsi metana 29,48% selama 28 hari fermentasi. Produksi metan yang rendah juga terjadi pada perlakuan RA menghasilkan volume total metana sebesar 0,05 L dengan proporsi metana mencapai 5,47% selama 28 hari fermentasi. Volume metana dan proporsi metana dalam biogas pada perlakuan FR dan RA masih rendah. Rendahnya proporsi metana pada perlakuan FR dan RA pada penelitian ini mungkin disebabkan kurang optimumnya nilai rasio C/N substrat (Tabel 7).

Selain itu, rendahnya kandungan metana yang dihasilkan juga dipengaruhi oleh nilai pH, amonia, dan konsentrasi VFA. ...

Perlakuan RA yang hanya terdiri dari cairan rumen dan air tanpa substrat feses gajah dapat menghasilkan metana karena masih terjadi metabolisme oleh metanogen yang memanfaatkan nutrisi yang ada di dalam cairan rumen.

Gambar 6. Produksi metana yang dihasilkan selama masa fermentasi (A: Proporsi metana (%) B: Volume metana (L)) pada setiap perlakuan FA (feses gajah+ air), FR (feses gajah+ cairan rumen sapi+ air), RA (cairan rumen sapi+ air)

Uji nyala api dilakukan untuk mengetahui kualitas biogas yang dihasilkan selama proses fermentasi. Nyala api merupakan salah satu indikator keberhasilan

0

30

proses produksi biogas. Adanya nyala api saat pengujian bergantung pada volume gas dan konsentrasi metana yang dihasilkan selama proses fermentasi.

Tabel 8. Hasil uji nyala api

Hari ke-

FA

(feses gajah + air)

FR

(feses gajah +cairan rumen sapi + air) berdasarkan hasil pengujian , biogas yang dihasilkan pada semua perlakuan belum dapat menyala ketika dibakar (Tabel 8). Hal sama juga terjadi pada pengujian nyala api hari ke-14. Hal ini dapat terjadi karena volume dan proporsi gas metan yang dihasilkan pada awal fermentasi biogas masih rendah. Proses produksi biogas memerlukan beberapa tahapan sebelum tahap metanogenesis yaitu, hidrolisis, asidogenesis dan metanogenesis.

Pengujian pada hari ke-21 menghasilkan nyala api hanya pada perlakuan FA, nyala api berwarna biru-jingga (Gambar 7). Sedangkan, pada perlakuan FR dan RA tidak menghasilkan nyala api ketika dibakar. Nyala api pada perlakuan FA terjadi karena proporsi metana mencapai 54,27% (Gambar 6). Pengujian pada hari ke-28 juga menunjukkan adanya nyala api pada perlakuan FA dan FR, dan tidak ada nyala api pada perlakuan RA. Nyala api yang lebih besar dengan warna api biru terjadi pada perlakuan FA, hal ini dapat terjadi karena proporsi metana

yang dihasilkan pada hari ke-28 lebih besar dari hari ke-21 yaitu mencapai 84,39

% (Gambar 6) Sementara itu, pada perlakuan FR menghasilkan nyala api kecil dan didominasi oleh warna api jingga (Gambar 7) Warna jingga pada nyala api mengindikasikan bahwa kandungan gas metana belum optimum karena masih mrngandung gas lain,dengan proporsi metana hanya 29,48% (Gambar 6).

Gambar 7. Hasil uji nyala api pada hari ke-21 dan ke-28 (A dan B: perlakuan feses dan air (FA) hari ke-21 dan 28; C: perlakuan feses dan rumen (FR) hari ke-28)

Warna nyala api yang dihasilkan pada saat pembakaran gas sesuai dengan kandungan metananya. Jika gas langsung terbakar dan warna api yang dihasilkan biru, maka gas yang dihasilkan berkualitas baik. Jika biogas mengandung lebih banyak gas-gas pengotor lainnya maka warna api yang dihasilkan adalah cenderung kemerah-merahan. Jika nyala api hampir tidak terlihat (tidak terbakar) menandakan bahwa kandungan metana dalam biogas yang terbentuk masih sangat sedikit (Yenni, Dewilda, & Sari, 2012).

4.3. Nilai pH

Salah satu faktor yang dapat mempengaruh produksi biogas adalah nilai pH.

Hal tersebut terkait dengan faktor yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroorganisme. Nilai pH menunjukkan tingkat keasaman suatu bahan. Hasil pengamatan parameter pH menunjukkan bahwa setiap perlakuan memiliki nilai pH yang berbeda selama masa fermentasi 28 hari (Gambar 7). Nilai pH tertinggi dan terendah terjadi pada perlakuan FA, yaitu sebesar 7,73 dan 5,74, secara berurutan. Hasil uji statistik analisis variansi menunjukkan bahwa nilai pH antara

32

semua perlakuan berbeda nyata (ρ≤0,05) (Lampiran 3)...

Gambar 8. Nilai pH selama masa fermentasi fermentasi pada setiap perlakuan FA (feses gajah+ air), FR (feses gajah+ cairan rumen sapi+ air), RA (cairan rumen sapi+ air)

Perlakuan FA mengalami penurunan pH dari hari ke-0 hingga hari ke-21, kemudian mengalami peningkatan kembali pada hari ke-28. Perlakuan FR mengalami penurunan nilai pH dari hari ke-0 hingga hari ke-21, dan cenderung konstan pada hari ke-28. Sedangkan perlakuan RA terus mengalami peningkatan nilai pH dari hari ke-0 hingga ke-28. Penurunan pH hingga hari ke-21 pada perlakuan FA dan FR mengindikasikan bahwa proses asidogenesis sedang berlangsung, sehingga menaikkan kadar keasaman (Ni’mah, 2014). Saat asidogenesis berlangsung, asam amino, asam lemak, dan gula sederhana dari tahap hidrolisis difermentasikan untuk membentuk VFA seperti asam asetat, propionat, dan butirat. VFA yang dihasilkan ini dapat menurunkan nilai pH fermentor, semakin lama waktu fermentasi, nilai pH akan meningkat kembali.

Seperti pada perlakuan FA yang mengalami kenaikan nilai pH pada hari ke-28, yang mengindikasikan bahwa proses metanogenesis telah berlangsung dan mikroorganisme metanogen mulai berperan. Selama tahap metanogenesis, mikroorganisme metanogen akan mengonsummsi VFA sehingga nilai pH meningkat.

Sementara itu, nilai pH hari ke-28 pada perlakuan FR cenderung konstan, yaitu 5,8. Hal ini dapat disebabkan proses degradasi oleh mikroorganisme masih pada tahapan asidogenesis. Nilai pH yang cenderung konstan dan tidak mengalami peningkatan kembali pada perlakuan FR dapat disebabkan proses metanogenesis tidak berjalan sempurna, bakteri penghasil asam tumbuh terlalu cepat sehingga asam yang dihasilkan lebih banyak dari jumlah yang dapat dikonsumsi oleh mikroorganisme metanogen (Ratnanigsih, Widyatmoko, &

Yananto, 2009). Perlakuan RA terus mengalami peningkatan nilai pH hingga hari ke-28. Peningkatan pH yang terus-menerus mengindikasikan proses fermentasi tidak berlangsung, sehingga tidak dihasilkan asam-asam organik yang dapat menurunkan pH fermentor. Hal ini didukung oleh hasil pengukuran VFA pada perlakuan RA (Gambar 10).

Nilai pH merupakan salah satu faktor pendukung pertumbuhan mikroorganisme dalam pembentukan biogas. Mikroorganisme akan bekerja aktif pada rentang pH yang spesifik. Prosses pembentukan metana berlangsung dalam interval pH yang relatif sempit, yaitu kisaran 6,8 – 7,2 (Gerardi, 2003). Apabila Nilai pH di bawah 6,5 maka aktifitas bakteri metanogen akan menurun dan apabila nilai pH di bawah 5,0, maka fermentasi akan terhenti dan jika pH lebih tinggi dari 8,5 akan mengakibatkan pengaruh yang negatif pada populasi bakteri metanogen, sehingga akan mempengaruhi laju pembentukan biogas dalam reaktor (Khaerunnisa & Rahmawati, 2013). Perubahan nilai pH pada semua perlakuan selama fermentasi 28 hari tidak termasuk ke dalam kriteria optimum untuk proses fermentasi biogas. Hal tersebut dapat menghambat proses produksi biogas.

4.4. Konsentrasi Amonia

Konsentrasi amonia merupakan salah satu parameter dasar proses produksi biogas. Amonia (NH3) adalah produk utama dari hasil fermentasi protein dalam substrat oleh mikroorganisme. Hasil pengukuran amonia menunjukkan bahwa setiap perlakuan memiliki konsentrasi amonia yang berbeda selama masa fermentasi 28 hari (Gambar 9). Konsentrasi amonia tertinggi dan terendah terjadi pada perlakuan RA, yaitu sebesar 27,74 mg/100ml dan 8,27 mg/100ml, secara

34

berurutan. Hasil uji statistik analisis variansi menunjukkan bahwa konsentrasi amonia antara semua perlakuan berbeda nyata (ρ≤ 0,05) (Lampiran 4).

Gambar 9. Konsentrasi amonia selama masa fermentasi fermentasi pada setiap perlakuan FA (feses gajah+ air), FR (feses gajah+ cairan rumen sapi+

air), RA (cairan rumen sapi+ air)

Perlakuan FA mengalami fluktuasi konsentrasi amonia selama masa fermentasi. Peningkatan konsentrasi amonia pada hari ke-0 hingga hari ke-7 dan pada hari ke-14 hingga ke-21, menunjukkan bahwa sedang terjadi proses degradasi protein dalam substrat menjadi asam-asam amino, sebagian diubah menjadi amonia. Asam-asam amino hasil degradasi protein selain dirombak menjadi amonia juga digunakan sebagian oleh mikroorganisme untuk memenuhi kebutuhan sumber nitrogen. Hal tersebut menyebabkan penurunan konsentrasi amonia pada perlakuan FA pada hari ke-7 hingga hari ke-14 dan hari ke-21 hingga hari ke-28.

Berbeda dengan perlakuan FA yang memiliki konsentrasi amonia berfluktuasi, perlakuan FR dan RA terus mengalami peningkatan konsentrasi amonia dari hari ke-0 hingga hari ke-28. Peningkatan konsentrasi amonia yang terus terjadi selama proses fermentasi mengindikasikan adanya akumulasi amonia pada fermentor. Terlihat konsentrasi amonia pada hari ke-28 mencapai 23,06 mg/100 ml pada perlakuan FR dan 27,74 mg/ 100 ml pada perlakuan RA.

Konsentrasi amonia pada kedua perlakuan tersebut tidak masuk dalam kategori yang aman bagi kelangsungan hidup mikroorganisme metanogenik, yaitu 20 mg/100 ml (Chen, Cheng, & Creame, 2008). Konsentrasi amonia yang terlalu tinggi dapat menghambat produksi biogas pada perlakuan FR dan FA (Gambar 5).

Hasil amonia berkaitan dengan pH, pH juga dipengaruhi oleh amonia, amonia akan meningkatkan nilai pH jika konsentrasinya tinggi. Peningkatan konsentrasi amonia pada hari ke-0 hingga ke-28 pada perlakuan FR seharusnya meningkatkan nilai pH fermentor, tetapi hasil pengukuran pH pada perlakuan FR justru menunjukkan penurunan (Gambar 8). Nilai pH terlihat turun hingga mencapai 5,8 pada hari ke-28. Hal ini dapat disebabkan peningkatan amonia secara cepat dapat menyebabkan peningkatan VFA, kehilangan alkalinitas dan penurunan pH (Gerardi, 2003). Sehingga nilai pH tidak naik meskipun produksi amonia meningkat. Berbeda dengan perlakuan FR, peningkatan konsentrasi amonia menyebabkan peningkatan pH (Gambar 8) pada perlakuan RA.

4.5. Konsentrasi Volatile Fatty Acids (VFA) Parsial

Volatile fatty acids parsial merupakan sebagian dari asam lemak total, seperti asam asetat, propionat, dan butirat. Hasil pengamatan VFA parsial pada hari ke-0 dan ke-28 menunjukkan bahwa kandungan asam asetat lebih tinggi dibandingkan dengan asam propionat dan asam butirat pada semua perlakuan (Gambar 10).

Perlakuan FA mengalami peningkatan konsentrasi asam asetat pada hari ke-28. Sedangkan konsentrasi asam propionat dan asam butiratnya mengalami penurunan pada hari ke-28.Penumpukkan asetat bisa disebabkan asam propionat dan butirat diuraikan oleh bakteri asetogenik menjadi asam asetat pada tahap asetogenesis(Manurung, 2004).

Sementara itu, konsentrasi VFA parsial pada perlakuan FR dan RA mengalami penurunan baik pada asam asetat, propionat, mapun butirat pada hari ke-28. Penurunan konsentrasi VFA secara parsial diduga berhubungan dengan proses degradasi substrat dalam fermentor selama masa fermentasi. VFA hasil fermentasi digunakan oleh mikroorganisme metanogenik untuk memproduksi metana, sehingga konsentrasinya menurun. Namun, penurunan konsentrasi VFA parsial pada perlakuan FR dan RA tidak diiringi dengan tingginya produksi

36

metana. Hal ini mungkin terjadi karena adanya persaingan antara mikroorganisme asetogenk dan metanogenik. Penurunan produksi asam asetat mengindikasikan kondisi di dalam fermentor yang semakin anaerob, yaitu pada saat bahan organik mulai habis dan mikroorganisme asetogenik menggunakan H2 untuk memproduksi asam asetat, sedangkan H2 untuk memproduksi metan oleh mikroorganisme metanogenik sedikit.

Gambar 10. Konsentrasi VFA parsial hari ke-0 dan ke-28 fermentasi pada setiap perlakuan FA (feses gajah+ air), FR (feses gajah+ cairan rumen sapi+ air), RA (cairan rumen sapi+ air)

4.6. Analisis Mikroorganisme

Proses produksi biogas berhubungan erat dengan peran mikroorganisme.

Untuk itu, perlu dilakukan pengamatan mikroskopis untuk mengetahui keberadaan mikroorganisme pada setiap perlakuan. Hasil pengamatan mikroskopis pada hari ke-28 menunjukkan keberadaan mikroorganisme baik pada perlakuan FA, FR, maupun RA (Lampiran 6).

Mikroorganisme memiliki peranan penting dalam produksi biogas dan pembentukan metana, khususnya mikroorganisme metanogen. Kualitas biogas yang dihasilkan selam fermentasi bergantung pada proporsi metana di dalamnya.

Proses pembentukan metana atau metanogenesis merupakan tahap akhir dari

0

fermentasi biogas yang melibatkan peran penting mikroorganisme metanogen.

Produksi metana melalui proses metanogenesis dapat dihasilkan tidak hanya melalui asam asetat (asetotrofik) melainkan dapat melalui gas karbon dioksida dengan gas hidrogen (hidrogenotrofik), dan melalui metanol (metilotrofik). Ketiga jalur metanogenesis tersebut melibatkan kelompok mikroorganisme yang berbeda.

Hasil perhitungan konsentrasi mikroorganisme metanogenik menunjukkan bahwa konsentrasi tertinggi yaitu kelompok asetotrofik, kelompok tertinggi kedua hidrogenotrofik, dan yang terendah metilotrofik (Gambar 11).

Gambar 11. Konsentrasi bakteri metanogen di berbagai media fermentasi pada setiap perlakuan FA (feses gajah+ air), FR (feses gajah+ cairan rumen sapi+ air), RA (cairan rumen sapi+ air)

Konsentrasi mikroorganisme metanogen asetotrofik pada semua perlakuan yaitu berkisar 0-51,65 CFU/mL. Kelompok asetotrofik memanfaatkan asetat sebagai subtratnya. Ketersediaan asetat akan menyuplai mikroba asetotrofik untuk menghasilkan metan dan melepaskan CO2. Asetat merupakan zat utama dalam pembentukan metana. Liu & Whitman (2008) menyatakan bahwa mikroorganisme metanogenik mengoksidasi gugus karboksil menjadi CO2 dan mengurangi gugus metil menjadi CH4.. Selain asetotropik, keberadaan mikroorganisme kelompok hidrogenotrofik dan metilotrofik juga terdeteksi. Konsentrasi mikroorganisme metanogen hidrogenotrofik pada semua perlakuan yaitu berkisar 0,9-24,6 CFU/ml

0

38

Kelompok hidrogenotrofik memanfaatkan H2 dan CO2 sebagai reaktan pembentukan metan. Sedangkan konsentrasi mikroorganisme metilotrofik pada semua perlakuan berkisar 0,22-5,8 CFU/mL, kelompok metilotrofik menghasilkan gas metan dari senyawa berbasis metil seperti metanol (CH3OH) dan metil alkohol (C2H5OH).

39 BAB V PENUTUP

5.1. Simpulan

Penambahan inokulum cairan rumen sapi sebesar 3,75 liter pada feses gajah sebesar 3,75 kg belum mampu meningkatkan volume biogas dan proporsi metana.

Perlakuan tersebut menghasilkan volume biogas 3,63 L dengan proporsi metana 29,48%, yang lebih rendah dibandingkan tanpa penambahan cairan rumen sapi pada feses gajah, yaitu volume biogas 15,69 L dengan proporsi metana metana 84,38%.

5.2. Saran

1. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut dengan pengaturan nilai pH fermentor, agar pH tetap optimum selama fermentasi.

2. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut dengan penambahan cairan rumen dari berbagai jenis sapi.

3. Perlu dilakukan pengukuran rasio C/N pada perlakuan kombinasi sebelum fermentasi.

40

DAFTAR PUSTAKA

Abbasi, T., Tauseef, S. M., & Abbasi, S. A. (2012). Biogas Energy. New York.

Agus, C., Faridah, E., & Wulandari, D. (2014). Peran Mikroba Starter dalam Dekomposisi Kotoran Ternak dan Perbaikan Kualitas Pupuk Kandang.

Jurnal Manusia dan Lingkungan, 21(2), 179-187.

Agustina, S. (2006). Bioremediasi sebagai Alternatif Penanganan Pencemaran Akibat Tambang Batubara. Universitas Negeri Medan.

Albani, F., Pikoli, M. R., & Sugoro, I. (2018). Jenis Pakan Mempengaruhi Produksi Biogas dari Feses Gajah, Studi Kasus Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus Temminck, 1847) di Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta Selatan. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, 8(2), 264-270.

Amini, S. (2013). Investigation of Biogas as Renewable Energy Source.

International Journal of Agriculture and Crop Sciences, 6(21), 1453-1457.

Association of Official Analytical Chemist. (1999). Official Methods of Analysis 16th Edition. Association of Analytical Chemists. Washington DC.

Association of Zoo and Aquarium. (2003). AZA Standard for Elephant Management and Care. AZA. Washington DC.

Ben-menachem, M. (2015). Mil-Spec Biomass Reality. Journal of Defense Management, 5(1), 1-14.

Budiansyah, A., Wiryawan, K. G., Maggy, T., & Widyastuti, Y. (2011).

Karakteristik Endapan Cairan Rumen Sapi Asal Rumah Potong Hewan sebagai Feed Supplement. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan, 14(1), 1-13.

Chen Y., Cheng J. J., & Creame K. S. (2008). Inhibition of Anaerobic Digestion Process: A Review. Bioresource Technology. 99, 4044-4064.

Christy, P. M., Gopinath, L. R., & Divya, D. (2014). Microbial Dynamics During Anaerobic Digestion of Cow Dung. International Journal of Plant, Animal and Environmental Sciences, 4(4), 86-94.

Cu’ellar, A. D., & Webber, M. E. (2008). Cow Power: The Energy and Missions Benefits of Converting Manure to Biogas. Environmental Research Letters.

3,1-8.Deublein, D. & Steinhauser, A. (2008). Biogas from Waste and Renewable Resources. Wiley-VCH. Weinheim.

Dioha, I. J., Ikeme, C. H., Nafi'u, T., Soba, N. I., & Yusuf, M. B. S. (2013). Effect of Carbon to Nitrogen Ratio on Biogas Production. International Research Journal of Natural Sciences, 1(3), 1-10.

Ertem, F. C. (2011). Improving Biogas Production by Anaerobic Digestion of Different Substrates - Calculation of Potential Energy Outcomes. Thesis.

Hamsald University.

Farah, N., Amna, M., Naila, Y., & Ishtiaq, R. (2014). Processing of Elephant Dung and its Utilization as a Raw Material for Making Exotic Paper.

Research Journal of Chemical Sciences, 4(8), 94-103.

Fatawy, R. M. (2016). Produksi Gas Metana dari Substrat Batubara Lignit oleh Mikroorganisme Cairan Rumen dengan Metode Scale Up dalam Fermentor 1000 L. Skripsi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ferdiansyah, H. (2012). Pengaruh Campuran Sampah Dapur, Kotoran Sapi Potong dan Molase pada Proses Pencernaan Anaerobik serta terhadap Kelayakan Usaha Penerapannya. Tesis. Program Studi Ilmu Lingkungan.

Bandung.

Fiala, K., Phabjanda, M., & Maneechom, P. (2014). Biohydrogen Production from Xylose by Anaerobic Mixed Cultures in Elephant Dung. Walailak Journal of Sciences and Technology, 12(3), 267-278.

Fowler, M. E. & Mikota, S. K. (2006). Biology, Medicine and Surgery of Elephants. Blackwell Publishing. Oxford.

Fujiati, A. K. (2008). Analisis Kandungan Volatile Fatty Acids (VFA) Kultur Probiotik Isolat Khamir R1 dan R2 dalam Fermentor Air-Lift Skala 18 Liter. Skripsi. Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi

Fujiati, A. K. (2008). Analisis Kandungan Volatile Fatty Acids (VFA) Kultur Probiotik Isolat Khamir R1 dan R2 dalam Fermentor Air-Lift Skala 18 Liter. Skripsi. Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi

Dokumen terkait