• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP

Bagan 1 Bagan Stimulus dan Respon

Dorongan adalah suatu kekuatan dalam diri seseorang yang jika telah mencapai kekuatan yang maksimum akan menyebabkan orang tersebut melakukan sesuatu. Menurut Dollard & Miller (dalam Wibowo, 1988:127) terdapat 2 (dua) macam dorongan pada manusia yaitu dorongan primer dan dorongan sekunder. Dorongan primer adalah dorongan bawaan seperti lapar, haus, sakit dan seks. Dorongan sekunder adalah dorongan yang bersifat sosial dan dipelajari misalnya dorongan untuk mendapat upah, pujian, perhatian dan sebagainya.

STIMULUS  ORGANISME:  1. PERHATIAN  2. PENGERTIAN  3. PENERIMAAN  RESPONSE (Perubahan  Sikap) 

B. Penelitian yang Relevan

Hasil penelitian sebelumnya yang relevan dengan penelitian ini adalah:

1. Skripsi Asri Widya Ningrum Jurusan Pedidikan Sosiologi Universitas Negeri Yogyakarta (04413244015) tentang Profil Pergeseran Fungsi Keluarga Pada Anak Berperilaku Menyimpang Di Lembaga Pemasyarakatan Anak Kutoarjo, Jawa Tengah.

Dalam penelitian diatas dituliskan bahwa terdapat pergeseran fungsi keluarga pada anak berperilaku menyimpang, mengenai hal ini berbagai konteks terkait dengan fungsi pendidikan dan fungsi ekonomi, dalam hal ini dari segi pendidikan yang dilakukan oleh orang tua terjadi pergeseran seperti tidak lagi memandang bahwa sang anak dianggap harus dan wajib mendapatkan fungsi pendidikan dalam keluarga, akan tetapi pada anak yang berperilaku menyimpang sudah tidak diperhatikan lagi dari segi pendidiknya, dari segi ekonomi sang anak yang dianggap sudah menjalankan perilaku menyimpang tidak lagi disuplay dari segi dan sisi ekonominya, akan tetapi seorang anak dalam hal ini sudah mulai diikutsertakan dalam dunia pekerjaan ataupun sang anak sudah mulai bekerja secara mandiri.

2. Penelitian Berjudul “ Pola Asuh Orang Tua dalam Meningkatkan Disiplin Anak di Perumahan Muria Indah Desa Gondangmanis Kecamatan Bae Kabupaten Kudus” oleh Herlin Prasetiyanti Jurusan Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Yogyakarta. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2005. Dalam hal ini diungkapkan bahwa ada suatu sisi pada keadaan orang tua dimana, kedua orang tua mempunyai tipe ataupun perilaku otoriter terhadap anak-anaknya. Dimana orang tua menginginkan seorang anak untuk berperilaku dan bertindak disiplin, namun di sisi lain orang tua juga mengimpelentasikan pola asuh otoriter, dimana justru cenderung mengekang anak dan membuat anak lebih cenderung bersikap sebaliknya.

Kedua sumber penelitian yang relevan diatas, dapat digunakan oleh peneliti sebagai bahan pembanding dalam melakukan penelitian ini. dari kedua penelitian diatas, fokus objek penelitian yang diambil pada dasarnya adalah sama yakni mengenai pola asuh orang tua dalam sebuah keluarga, sedangkan persamaan dari penelitian-penelitian di atas dengan penelitian ini adalah mengenai pola asuh yang diterapkan oleh orang tua kepada anak. sedikit berbeda dengan penelitian yang dilakukan keduanya adalah pada latar belakang keluarga yang ada dan menjadi objek penelitian. Dalam penelitian ini kami memfokuskan pada keluarga yang berlatar belakang militer dengan segala

otoritasinya dalam mendidik serta menerapkan pola pengasuhan anak yang dilakukan dalam mendidik serta mengarahkan kehidupan seorang anak dalam keluarganya.

C. Kerangka Pikir

Keluarga merupakan sebuah komponen terpenting dan utama dalam sebuah prosesi sosialisasi yang dilakukan oleh seorang individu dalam persiapannya menuju sebuah kehidupan bermasyarakat secara langsung dan nyata. Dalam keluarga sendiri selalu dijaga dan dikonsepsikan sebuah fungsi yang mana langsung menjadi dan berkembang dalam sebuah sistem yang terjaga dan selalu dipertahankan satu sama lainya. Dalam hal ini adanya pembagian peran dan sebuah realitas yang mana pembagian tugas dan kewenangan yang ada dan memang saling dikonsepsikan oleh anggotanya satu sama lainya. Sebuah potret nyata tentang kehidupan sebuah keluarga tentunya akan dilalui dan dilakukan oleh seorang individu itu sendiri, tak terkecuali dalam hal ini adalah bagaimana seorang anak itu mulai mengerti arti dan makna akan sebuah kehidupan yang nyata. Dalam keluarga itu sendiri tentunya seorang anak yang dipandang sebagai salah seorang penerus dari sebuah keluarga dan keberlangsungan dari pondasi dasar keluarga tersebut. sebuah afeksi, prosesi pendidikan, serta pemenuhan kehidupan yang

selalu menjadi kebutuhan primer dari seorang anak maupun individu dalam masa tumbuh dan kembangnya.

Pola asuh anak dalam konteks ini yang kami bahas tentang bagaimana pola asuh itu diterapkan dan diaplikasikan dalam sebuah keluarga itu dengan sebagaimana mestinya. Pola asuh yang diterapkan dalam sebuah keluarga tentunya akan berbeda dan memiliki karakteristik masing-masing dari keluarga itu sendiri. Hal ini tentunya menjadi sebuah kesempatan bagi seorang anak maupun individu diri memiliki karakteristik tersendiri dalam diri dan aplikasi yang diterapkan dalam kehidupanya. Lebih spesifik dalam hal ini adalah bagaimana pola penerapan tipe Authoritative atau Otoriter dalam penerapannya dalam sebuah keluarga. Kompleks perumahan militer yang dipandang sebagai sebuah sarana pendidikan yang dihasilkan dan diteruskan dalam kehidupan seorang anak tentunya menjadi sebuah dilematis bagi tumbuh kembang seorang anak itu sendiri, dalam perumahan Korem 072/ Pamungkas, seorang anak mulai dididik dan dibesarkan dalam lingkup keluarga yang berlatar belakang dari seorang ayah yang memiliki pengalaman pendidikan militer. Dalam hal ini pula seorang anak mulai dibiasakan untuk disiplin dan mematuhi peraturan yang ada dan memang dibentuk dan dikonsepsikan dalam sebuah keluarga itu sendiri. Dalam hal ini

mereka yang mendapatkan pola pengasuhan yang dianggap tidak sejalan dengan pemikirannya, menganggap apa yang dilakukan oleh orang tuanya tidaklah benar dan kurang pas bagi kehidupan sang anak tersebut. anak-anak yang seharusnya mendapatkan perilaku dan pemenuhan kebutuhan dalam tumbuh kembangnya sama dan tak harus dan tak selayaknya dibedakan dalam konteks perbedaan jenis kelamin. Disini (dalam kompleks perumahan militer Korem 072/ Pamungkas), apresiasi dan kebanggaan yang ada lebih memihak dengan keberadaan anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan. Sang ayah dan keluarga menilai bahwa sang anak laki-laki dipandang akan menjadi sebuah penerus tongkat estafet dalam meneruskan regenerasi menjadi seorang angkatan militer dan dipandang dapat menjadikan kebanggaan tersendiri bagi keluarganya kelak. Mindset keluarga disana (Militer) memandang sebuah keberhasilan dari tolak ukur dan standar keberhasilan sebuah keluarga dari kebanggaanya dari anak laki-laki sendiri. Sedangkan sang anak perempuan hanya dipandang sebagai sebuah sarana penerus keluarga militer keluarga, dalam hal ini seorang anak perempuan dipandang sebagai pendamping laki-laki ataupun calon istri bagi seorang laki-laki, namun perlu diketahui pula dalam konteks ini sang anak perempuan pun juga diberikan batasan dan kriteria tertentu untuk klasifikasi pasangan oleh para orang tua, bahwa calon suami yang akan menjadi pendamping bagi sang anak

perempuannya, dalam hal ini jelasnya adalah seorang anak perempuan harus dan diberikan sebuah arahan yang jelas tentang calon suami yang akan dinikahinya hendaknya juga berlatar belakang dari ranah militer, ataupun minimal tidak boleh menjadi istri di luar konteks pegawai negeri, karena dianggap mendapatkan mantu yang berlatar belakang dari militer juga merupakan sebuah kebanggaan yang nyata terhadap kebanggaan dari sebuah keluarga itu sendiri.

Kondisi di atas, menjadikan sebuah anekdot dan realitas yang sesungguhnya tidak dikehendaki dan diminati serta diminta oleh sang anak perempuan, karena dari segi sisi kebanggaan dan prestis orang tua dan keluarga lebih berpandangan bahwa sang anak laki-laki lebih membanggakan dari pada anak perempuan itu sendiri, dari segi pemenuhan kebutuhan dan permintaan dari sang anak perempuan juga terasa didiskriminasi dan diperlakukan seperti tak adil. Anak perempuan memang sedikit menerima dan memberikan sebuah

pressure ataupun tekanan bagi dirinya secara kodrati, akan tetapi

dalam konteks pergaulan dan konteks mencari pasangan para anak perempuan seakan melakukan sebuah pemberontakan dari apa yang telah mereka terima selama ini. seakan menjadi sebuah ledakan dan pertunjukan dari emosional yang ada pada mereka, mereka yang mulai melampiaskan dengan tindakan yang mungkin menjadi sebuah aib dan

menjadi corengan serta tamparan keras bagi keluarganya. Tidak hanya satu dua kasus yang memunculkan bahwa perempuan melakukan tindakan yang dianggap sebagai sebuah klausal yang sebenarnya tak pantas dilakukan dan diproyeksikan sebelumnya. Dalam hal ini tentunya peningkatan kasus MBA (Married By Accident) dilakukan oleh sang anak perempuan sebagai sebuah penyalur dan kanalisasi dari emosi yang selama ini dianggap terlalu menekan dan mendiskritkan kaum perempuan selama ini. tak hanya dalam satu dua konteks saja diskriminasi itu ditemukan tapi lebih kompleks lagi perihal dalam perilaku yang dianggap tidak mencerminkan bahwa keadilan dalam pengasuhan anak itu sendiri. Perlahan namun pasti seorang anak perempuan menunjukkan bahwa “aku” mampu dan aku juga harus diakui keberadaannya sebagai sebuah pemberontakan dari apa yang diterimanya selama ini. memang terkadang kehidupan seperti tak adil dan tak memihak namun demi sebuah intitas dari apa yang ingin ditunjukannya itulah yang memang mereka perjuangkan sebagai sebuah agregat dari yang didapatnya.

Bagan 2 : Kerangka Pikir

Dokumen terkait