• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV BUSANA PAKU BUWONO XIII PADA

H. Bagan Verifikasi Data

Seluruh data beserta analisisnya diatas telah tersusun secara naratif berdasarkan urutan periodenya. Data-data yang terkumpul merupakan

representasi kronologis penggunaan busana pada upacara Tingalan

Jumênêngandalêm Paku Buwono XIII dari tahun 2005 hingga 2011. Representasi kronologi tersebut disederhanakan pada bagan dibawah ini:

commit to user 158

BAB V

PENUTUP

A.Simpulan

Setelah wafatnya Paku Buwono XII, tahta kerajaan diwarisi oleh putra tertuanya, yakni KGPH. Hangabei sebagai Paku Buwono XIII. Dalam masa tahtanya, Paku Buwono XII melakukan penyederhanaan bentuk busana

kebesaran, yang selalu dipakai saat prosesi upacara Tingalan

Jumênêngandalêm. Penyederhanaan tersebut sangat terlihat pada baju takwä, dan penggunaan sinjang-nya. Bentuk penyederhanaan busana yang pernah ditetapkan Paku Buwono XII merupakan bentuk simbolis yang membawa

dampak pada busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan

Jumênêngandalêm 2005-2011.

Berdasarkan pengumpulan data dan analisis data maka diperoleh bahwa Busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005 sampai 2011 merupakan bentuk sikap pribadi beliau sebagai pewaris tahta Paku Buwono XII. Hal tersebut adalah hak prerogratif Paku Buwono XIII dalam lingkup berbusana. Busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005 sampai 2011 menggunakan baju takwä dan sinjang serta lengkapannya seperti kulük, selop atau cênèla, keris, sabuk, èpèk, timang , lêrêp, dan asessorisnya yang berupa kalung ulür, bintang sri kabadyä, bros bunga mawar, bros dengan relief makuthä bertulis PB X dan cincin.

commit to user

Seluruh atribut diatas merupakan busana secara lengkap (jangkêp) yang

digunakan raja. Busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan

Jumênêngandalêm mengalami perubahan setiap tahunnya. Antara tahun 2005 dengan tahun berikutnya busana yang digunakan berbeda, begitu pula tahun 2006, 2007, 2008, 2009, 2010, 2011. Busana Paku Buwono XIII merupakan atribut yang didalamnya terdapat simbol-simbol, sehingga maknanya merupakan esensi gagasan sang raja dalam menduduki tahta keraton Surakarta.

Temuan-temuan yang diperoleh dalam penelitian mengungkapkan adanya pergerakan dari tahun-ketahun. Pergerakan tersebut nampak pada bentuk-bentuk simbolisnya yang cenderung berganti setiap tahunnya, hal tersebut sangat nampak pada warna baju takwä-nya dan motif batiknya. Tahun 2005 ditemukan bahwa Paku Buwono XIII menggunakan baju takwä berbahan thaisilk berwarna magenta (ungu kemerahan) tua, dihiasi ornamen lung-lungan

emas, sedangkan sinjang-nya bermotif parang garudhä. Bermakna

kebangkitan, kekuasaan, kecerdasan, kewibawaan, dan kemuliaan raja penerus tahta. Pemaknaan ini menunjukkan kebangkitan kekuasaan raja baru yang direpresentasikan dalam simbolisme warna magenta atau ungu kemerahan yang bermakna bangkit. Didalam kebangkitannya tersebut terdapat pencitraan diri seorang raja yang ditunjukkan melalui pemakaian batik parang garudha. Mengingat parang garudhä merupakan motif batik yang posisinya berada diluar tatanan tradisi busana raja pada Tingalan Jumênêngandalêm. Parang garudha sendiri bermakna cerdas, yang artinya seorang raja harus mampu

commit to user

berfikir bijak dalam menyelesaikan permasalahan, sehingga tidak terjadi perseteruan fisik.

Tahun 2006 ditemukan penggunaan baju takwä beludru berwarna hijau terang. Penggunaan sinjang-nya berbeda dari tahun 2005 yakni kain batik bermotif parang barong. Maknanya adalah kewibawaan, kebesaran, serta nilai kemuliaan yang setara dengan para raja pendahulunya. Sehingga tahun 2006 menunjukkan adanya ekspresi simbolis yang mengacu pada ranah eksistensi Paku Buwono XIII sesuai dengan eksistensi raja-raja terdahulu. Dalam ekspresi simbolisnya terungkap pula pencitraan raja yang selaras dengan nilai raja sebelumnya, sehingga dengan penggunaan simbolnya sebagai usaha melekatkan eksistensinya sebagai benar-benar seorang raja penerus. Dalam pemaknaan batik parang barongnya mengisyaratkan adanya kekuatan dan kewibawaan, yang berarti seorang raja harus tahan cobaan dan tetap terpancar kewibawaannya. Hal inilah yang kemudian mengungkap gagasan eksistensi raja.

Tahun 2007 ditemukan penggunaan baju takwä beludru berwarna

merah tua. Sedangkan sinjang-nya berupa kain batik bermotif parang barong. Maknanya adalah keberanian, kekuatan, ketegasan, yang memancarkan kewibawaan agung seperti para raja pendahulunya. Makna simbolis tersebut menunjukkan adanya sikap berani Paku Buwono XIII dalam menunjukkan eksistensinya sebagai raja. Dalam makna yang muncul mengisyaratkan bahwa

commit to user

Tahun 2008 ditemukan penggunaan baju takwä berwarna violet tua, Sedangkan sinjang-nya, masih seperti tahun 2007 dan 2006, yaitu parang barong. Maknanya adalah kebangkitan, kekuasaan, kemuliaan, dan kewibawaan raja. Hal ini menyiratkan esensi gagasan bahwa kebangkitan sang raja pewaris masih tetap eksis. Makna simbolis busana Paku Buwono XIII (2008) juga menunjukkan adanya perumusan kembali atau pengingatan kembali bangkitnya raja pewaris tahta. Mengingat, raja adalah pribadi yang berkuasa dan harus teguh.

Tahun 2009 ditemukan penggunaan baju takwä beludru berwarna violet terang, Sedangkan sinjang-nya bermotif parang barong seperti tahun 2006, 2007, dan 2008. Maknanya adalah kebangkitan, kekuasaan, kemuliaan, dan kewibawaan raja. Makna simbolis busana tersebut masih memiliki keserupaan dengan tahun 2008, sehingga esensi yang terungkap juga memiliki kecenderungan yang sama. Sehingga tahun 2008 dan 2009 merupakan tahun yang digunakan Paku Buwono XIII sebagai tahun kebangkitan kembali eksistensi raja keraton Surakarta.

Tahun 2010 ditemukan penggunaan baju takwä beludru berwarna hijau tua. Kain batik yang digunakan sebagai sinjang bermotif parang barong, namun polanya berukuran lebih besar dari motif parang barong tahun sebelumnya. Maknanya adalah baik budi, kesejahteraan, kekuatan, dan kewibawaan raja. Makna simbolisme pada atribut Paku Buwono XIII tersebut menyiratkan bahwa raja dalam menjalani kepemerintahannya haruslah bijak dan tegar, supaya kesejahteraan dapat tercapai.

commit to user

Tahun 2011, ditemukan penggunaan baju takwä berbahan thaisilk berwarna magenta (ungu kemerahan) terang. Sinjang yang digunakan adalah kain batik bermotif parang barong dengan ukuran pola seperti yang digunakan pada tahun 2010. Maknanya adalah kebangkitan, kekuatan, dan kemuliaan raja. Pada tahun ini raja kembali menggunakan warna baju takwa yang serupa dengan warna baju takwä tahun 2005, oleh karena itu kebangkitan raja sebagai pewaris tahta, kembali dipaparkan. Hal ini mengisyaratkan bahwa raja selalu tegak berdiri dalam menjalani liku-liku hidup, dan itulah cerminan kewibawaan raja yang berimbas pada eksistensi dirinya yang agung.

Ketentuan busana Paku Buwono XIII yang berjalan pada tahun 2005- 2011 saat upacara Tingalan Jumênêngandalêm menunjukkan adanya beberapa esensi pokok, yaitu:

1. Paku Buwono XIII menggunakan ketetapan Paku Buwono XII dalam

lingkup gaya berbusana. Sehingga simbol-simbol yang ada didalamnya mengisyaratkan adanya eksistensi individu raja yang meliputi citra kewibawaan, kekuasaan, kecerdasan, kekuatan, kemuliaan, dan keagungan seorang raja sebagai pemimpin tertinggi keraton Surakarta.

2. Pembentukan nilai terhadap Paku Buwono XIII sesuai simbol-simbol pada

atributnya merupakan usaha penerapan eksistensi raja yang benar-benar memiliki pengakuan secara penuh. Artinya, bahwa simbol-simbol pada atribut beliau mengacu pada pemuliaan seseorang yang berposisi sebagai pewaris tunggal tahta kerajaan. Hal ini juga sebagai usaha memperkuat pengakuannya sebagai penguasa keraton Kasunanan Surakarta.

commit to user

3. Dalam bentukan simbolis pada busana Paku Buwono XIII terdapat

kepercayaan pada benda mati yang dianggap memiliki kekuatan. Hal semacam ini merupakan pemahaman masyarakat Jawa yang telah ada sejak jaman animisme dan dinamisme. Seperti parang barong yang dikaitkan dengan kekuatan seperti singa, sehingga yang mengenakannya pun memiliki pancaran kewibawaan dan pribadi yang kuat. Pancaran tersebut diharapkan dapat menjadi rumusan pribadi raja dalam menjalani kehidupannya.

4. Terdapat ajaran-ajaran baik yang berdasarkan pandangan masyarakat Jawa, pandangan tersebut adalah kiblat papat limä pancêr dan bilangan sakral 9 (8+1) atau yang dikenal astabrata. Kiblat papat mengajarkan pengendalian diri atas lima unsur dasar yang ada pada diri manusia. Sedangkan bilangan sakral 9 (8+1) mengajarkan sembilan pokok sikap pemimpin yang ideal bagi kesejahteraan rakyatnya. Selain itu simbol-simbol pada busana Paku

Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm 2005-2011

mengajarkan kekuatan serta pengendalian diri dalam menjalani liku kehidupan, yang mengacu pada ketakwaan kepada yang maha Esa.

5. Konsep dwitunggal yang disepakati ada dalam diri raja, memberikan implementasi pada busana Paku Buwono XIII. Konsep dwi tunggal adalah gagasan dasar dari penyatuan antara dua, yaitu kepercayaan terhadap raja sebagai Tuhan yang nampak. Melekatnya konsep ini pada simbolisme dalam busana Paku Buwono XIII merupakan pertanda bahwa raja memiliki seluruh keagungan, keindahan, dan pengajaran yang patut dicontoh.

commit to user B.Saran-Saran

Busana kebesaran Paku Buwono XIII merupakan busana yang sarat dengan makna simbolisme dan sarat akan konsepsi tradisional dan historis. Dalam kaitannya dengan hal tersebut hendaknya ditempatkan dengan baik sesuai manifestasi tradisi keraton Surakarta yang dalam era terkini menjadi aset wisata budaya dan sejarah. Penulis berharap pada kerangka aset, keraton Surakarta hendaknya mampu menjaga kelangsungan aset tersebut sehingga bersifat langgeng.

Perlunya pemikiran kembali mengenai relevansi aset dan makna simbolisme yang sebagian besar memuat penekanan-penekanan pada sifat dan perilaku yang baik. Sehingga dengan memperhatikan relevasi tersebut, penulis berharap busana kebesaran Paku Buwono XIII mampu mengungkapkan idealis tradisi Jawa yang konon integral dengan masyarakatnya. Oleh karena itu, masyarakat Jawa dewasa ini yang semakin terbuka dengan identitas budaya global diharapkan mampu merespon busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm sebagai contoh referensial identitas asli bangsa Jawa.

commit to user DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Adib. 2010. Filsafat Ilmu. Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dan Logika Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Syaiful Arif. 2010. Refilosofi Kebudayaan. Pergeseran Pasca Struktural. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Barnard, Malcolm. 1996. Fashion Sebagai Komunikasi (edisi terjemahan oleh Idy Subandi Ibrahim dan Yosal Iriantara). Yogyakarta: Jalasutra.

Dharsono (Sony Kartika). 2007. Kebudayaan Nusantara. Kajian Konsep Mandala dan Konsep Tri-Loka Terhadap Pohon Hayat pada Batik Klasik. Bandung: Rekayasa Sains.

Dilistone, F.W. 1986. The Power of Symbols. London: SCM Press Ltd.

Hadisiswaya, AM. 2011. Pergolakan Raja Mataram. Konflik dan Tradisi Pewarisan Tahta Studi Kasus Keraton Solo. Yogyakarta: Interprebook. Benny H Hoed. 2008. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Fakultas

Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI Depok.

Kalinggo Honggopuro. 2002. Bathik Sebagai Busana dalam Tatanan dan

Tuntunan. Surakarta: Yayasan Peduli Karaton Surakarta Hadiningrat.

Budiono Kusumohamidjodjo. 2009. Filsafat Kebudayaan. Proses Realisasi

commit to user

Ardian Kresna. 2011. Sejarah Panjang Mataram.Menengok Berdirinya

Kesultanan Yogyakarta. Yogyakarta: Diva Press

Muzir, Inyak Ridwan. 2010. Hermeneutika Filosofis. Hans-Georg Gadamer. Yogyakarta: Ar-Ruz Media.

Purwadi, dkk. 2009. Sri Susuhunan Paku Buwono X. Perjuangan, Jasa dan Pengabdiannya untuk Nusa Bangsa. Jakarta: PT.Bangun Bangsa.

Purwadi. 2007. Busana Jawa. Jenis-jenis Pakaian adat, sejarah, Nilai Filosofis dan Penerapannya. Yogyakarta: Pura Pustaka.

Pemberton, John. 1994. Java. On The Subject of Java. Ithaca: Cornell University Press.

Ratih Poeradisastra. 2002. Busana Pria masa kini. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Rustopo. 2008. Jawa Sejati: Otobiografi Go Tik Swan Harjonagoro. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Ratna Endah Santoso, 2010. Busana Paku Buwono XII, Tesis”: Program Pasca Sarjana Institut Seni Indonesia, Surakarta.

Santos, Arysio, 2010. Atlantis, The Lost Continent Finaly Found. Cetakan III. Jakarta: PT: Ufuk Publising House.

Samovar, Larry A. Porter, Richard E. McDaniel, Edwin R. 2010. Komunikasi Lintas Budaya. Edisi 7. Jakarta : Penerbit Salemba Humanika.

commit to user

Sarwono, 2004. Simbolisme Motif Parang Dalam Busana Wayang Kulit Purwa Gaya Surakarta, “Tesis”: Program Pasca Sarjana, Institut Seni Indonesia Surakarta.

Bram Setiadi. 2006. Hanaluri Tradisi Demi Kejayaan Negeri. Catatan Tahun Kedua di Atas Tahta. Surakarta: Yayasan Pawiyatan Kabudayan Karaton Surakarta.

Mooryat Soedibyo. 2003. Busana Keraton Surakarta Hadiningrat. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

JB Soeranto. Sri Mulyani. YE. 2004. Budaya Jawi. Surakarta: CV. Cendrawasih. Soeratman, Darsiti. 2000. Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939.

Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia.

E Sumaryono. 1999. Hermeneutik. Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Sutopo, H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Dasar Teori dan

Penerapannya Dalam Penelitian. Surakarta: Sebelas Maret University Press.

Wirastodipuro, BcAP, KRMT H. 2003. Busana Adat Jawi. Surakarta: Paguyuban Mekar Budaya Surakarta.

Moeloeng, M.A. Prof. Dr. Lexy J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

commit to user DAFTAR NARASUMBER

KP. Winarnokusumo (58 th), Humas Keraton Kasunanan Surakarta, Budayawan Surakarta, Wawancara 26 September 2011, 10 Oktober 2011, 22 Desember 2011, 3 Januari 2012.

Hartoyo (59 th), Dosen ISI Surakarta, Penata Busana Paku Buwono XII dan XIII, Wawancara, 08 Januari 2012.

GRAy. Kus Murtiyah Wirabumi (52 th), Adik Kandung Paku Buwono XIII, Mendesain Busana Paku Buwono XIII tahun 2005. Wawancara 20 Januari 2012.

KGPH. Puger, BA (57 th), Adik Kandung Paku Buwono XIII, Pangeran Dalem Keraton Surakarta, Wawancara 8 Desember 2011.

GKR Galuh Kencono (60th) Wawancara 30 Januari 2012.

Dharsono (Sony Kartika) 58 th), Guru Besar Senirupa Timur Institut Seni Surakarta, Ulas kritik 15 Maret 2012.

Sugeng Tukiyo (67 th), Dosen Universitas Sahid Surakarta, Ulas kritik 18 Maret 2012.

Sugiyatno (80 th), Budayawan Surakarta, Ulas kritik 21 Maret 2012.

Joko Purnomo, (38 th), Abdi Dalem, Fotografer kraton Surakarta, Sumber foto Paku Buwono XIII pada Tingalan Jumenengandalem 2005-2011.

Andar Putu Wijaya, (24 th), penerjemah teks-teks bahasa Jawa. Mahasiswa Program Pasca Sarjana ISI Surakarta.

Dokumen terkait