• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V. SIMPULAN DAN SARAN

B. Saran

1. Bagi Peneliti Selanjutnya

Penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber referensi pada penelitian selanjutnya mengenai media budidaya cacing tanah (Eudrilus eugeniae).

2. Bagi masyarakat

a. Masyarakat dapat mendapat ilmu untuk membudidayakan cacing tanah.

b. Masyarakat dapat mengetahui media yang baik untuk budidaya cacing tanah.

G. Definisi Operasional

1. Cacing tanah yang digunakan dalam penelitian ini adalah cacing tanah

Eudrilus eugeniae sebanyak 35 gram untuk satu bak penelitian, umur cacing tidak ditentukan, hanya cacing yang telah memiliki klitelum. Cacing Eudrilus eugeniae didapatkan dari peternakan cacing di daerah Godean, Yogyakarta.

2. Media dalam penelitian ini yang dimaksud adalah substansi yang diisikan ke dalam tempat pemeliharaan cacing tanah Eudrilus eugeniae, yaitu serbuk gergaji batang pohon kelapa (Cocos nucifera,L.) dan rumput manila (Zoysia matrella).

3. Serbuk gergaji batang pohon kelapa yang digunakan yaitu serbuk gergaji batang pohon kelapa yang tidak berbau oli, yang merupakan limbah dari penggergajian kayu kelapa di daerah Bantul. Serbuk gergaji didiamkan selama satu bulan dan disiram air beberapa kali

sampai serbuk gergaji mengalami pelapukan sehingga serbuk gergaji batang pohon kelapa mudah dicerna oleh tubuh cacing tanah.

4. Rumput manila yang digunakan yaitu bagian daun rumput manila hasil pemotongan rutin lapangan sepak bola Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Yogyakarta yang sudah berada di dalam plastik

trash bag selama satu bulan, sehingga bau rumput hilang dan kondisi rumput sudah layu serta lembab. Hal ini perlu dilakukan karena cacing tanah menyukai bahan organik yang sedang dalam proses pembusukan daripada bahan organik yang masih segar, sehingga mudah dicerna oleh tubuh cacing tanah.

5. Pertumbuhan cacing tanah diidentifikasi dari pertambahan ukuran atau biomassa cacing tanah, dalam penelitian ini yang diukur adalah pertambahan biomassa cacing tanah pada akhir penelitian.

6. Produksi kokon adalah banyaknya kokon yang dihasilkan oleh cacing tanah Eudrilus eugeniae selama penelitian (2 bulan), dalam penelitian ini yang diukur adalah jumlah kokon, bobot kokon, dan indeks kokon pada akhir penelitian.

7. Indeks kokon dalam penelitian ini adalah bentuk kokon yang didapatkan dengan membagi lebar kokon dengan panjang kokon dikali 100%. Panjang dan lebar kokon diukur dengan menggunakan jangka sorong vernier caliper ketelitian 0,05 mm.

BAB II KAJIAN TEORI

A. Cacing tanah Eudrilus eugeniae 1. Klasifikasi

Cacing tanah Eudrilus eugeniae tergolong pada kelompok binatang lunak karena tidak memiliki tulang belakang (avertebrata). Eudrilus eugeniae sering disebut cacing Afrika, atau ANC (African Night Crawler). Kedudukan Eudrilus eugeniae dalam taksonomi adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Annelida Kelas : Oligochaeta Ordo : Megadrilacea Famili : Eudrilidae Genus : Eudrilus

Spesies : Eudrilus eugeniae

(Kinberg, 1867 dalam Blakemore, 2015: 527) 2. Morfologi

Cacing Eudrilus eugeniae berasal dari dataran tropis hangat benua Afrika yang telah banyak dikembangkan untuk keperluan ternak di berbagai penjuru dunia. Tampilan tubuh cacing tanah dapat dideskripsi menjadi lima bagian yang terdiri atas bagian depan (anterior), bagian tengah, bagian belakang (posterior), bagian punggung (dorsal), dan bagian bawah perut (ventral) seperti gambar di bawah ini.

Gambar 1. Tampilan Bagian Tubuh Cacing Tanah (Rukmana, 2008: 17)

Bentuk tubuh cacing Eudrilus eugeniae silindris memanjang dengan didominasi warna ungu muda hingga ungu gelap, warna merah tua memudar pada bagian posterior, warna-warni kemilau dari difraksi kutikula pada bagian anterior. Struktur tubuh cacing tanah terlihat seperti gambar di bawah ini.

Gambar 2. Struktur Tubuh Cacing Tanah (Rukmana, 2008: 17)

Tubuh cacing Eudrilus eugeniae dibedakan atas bagian anterior dan posterior. Cacing Eudrilus eugeniae tidak memiliki mata, tetapi pada tubuh cacing tanah terdapat prostomium. Prostomium ini merupakan organ

saraf perasa dan berbentuk seperti bibir. Organ ini terbentuk dari tonjolan daging yang dapat menutupi lubang mulut. Prostomium terdapat di bagian depan tubuh cacing tanah. Adanya prostomium ini membuat cacing

Eudrilus eugeniae peka terhadap benda-benda di sekelilingnya (Palungkun, 2010: 15). Pada cacing tanah dewasa terdapat alat untuk menyiapkan proses perkembangbiakan yang disebut “klitelum”. Klitelum

merupakan penebalan dari jaringan epitel permukaan kulit dan mengandung banyak sel-sel kelenjar. Sel-sel ini menghasilkan sekreta berlendir yang berguna untuk pembentukan kokon yang melindungi saat perkembangan embrio. Klitelum membentuk semacam selaput yang membungkus anak-anak cacing yang sedang tumbuh. Klitelum terletak di antara anterior dan posterior, warna klitelum lebih terang daripada warna tubuhnya. Klitelum dapat ditemukan pada segmen 13, 14-18 dengan bentuk lebih menonjol (Gates, 1972: 51).

Tubuh cacing tanah terdiri dari segmen-segmen. Terdiri dari 161-211 segmen (Gates, 1972: 61 ) atau 250-300 (Viljoen & Reinecke, 1994: 27). Di setiap segmen terdapat rambut yang keras dan berukuran pendek yang disebut seta. Terdapat 8 seta per segmen. Seta berfungsi sebagai pencengkram atau pelekat yang kuat pada tempat cacing tanah itu berada. Lubang kelamin jantan terletak pada segmen ke 17 dan lubang kelamin betina terdapat pada segmen ke 14.

Bagian bawah (ventral) terdapat pori-pori yang letaknya tersusun atas segmen dan berhubungan dengan alat ekskresi (nephredia) yang ada

dalam tubuh. Nephredia ini mengeluarkan zat-zat sisa yang telah berkumpul di dalam rongga tubuh (rongga selomik) berupa cairan. Fungsi pori-pori adalah untuk menjaga kelembaban kulit cacing tanah agar selalu basah karena cacing bernapas melalui kulit basah tersebut. Kulit luar (kutikula) selalu dibasahi oleh kelenjar-kelenjar lendir (kelenjar mukus). Lendir ini terus-menerus diproduksi cacing tanah untuk membasahi tubuhnya agar dapat bergerak dan melicinkan tubuhnya (Rukmana, 2008: 16-18).

Dari segi ukuran, cacing Eudrilus eugeniae lebih besar dibandingkan dengan jenis cacing tanah yang lain, atau sekitar dua kali dari besar cacing merah. Panjang tubuh cacing Eudrilus eugeniae 90-185 mm atau bisa mencapai 250-400 mm dalam kondisi budidaya yang optimal. Lebar cacing sekitar 4-8 mm. Bobot per cacing dewasa 1,0 g atau maksimal 5,0-6,0 g (Parthasarathi, 2007: 347-350). Kokon cacing Eudrilus eugeniae juga lebih berisi daripada kokon cacing yang lain sehingga populasinya cepat bertambah. Cacing ini mempunyai gerakan yang lamban.

3. Sistem Pencernaan

Sistem pencernaan cacing Eudrilus eugeniae sama dengan cacing tanah lainnya yaitu terdiri dari mulut, faring, esofagus (kerongkongan), tembolok, lambung, usus, dan anus. Mulut terdapat di ujung anterior yang tertutupi oleh suatu tonjolan daging yang disebut prostomium. Prostomium ini merupakan organ syaraf perasa sehingga cacing tanah menjadi peka

terhadap benda-benda di sekelilingnya dan dapat menemukan bahan-bahan organik sebagai bahan makanannya.

Gambar 3. Struktur Sistem Pencernaan Cacing Tanah. (Rukmana, 2008: 19)

Makanan masuk ke mulut dan faring melalui prostomium yang kemudian dihisap dan masuk ke esofagus. Di dalam esofagus makanan tercampur dengan cairan hasil sekresi kelenjar kapur yang terdapat pada dinding esofagus. Dari esofagus makanan terus masuk ke dalam tembolok untuk disimpan sementara waktu, selanjutnya makanan masuk ke dalam lambung. Di dalam lambung makanan dihancurkan oleh gerakan lambung otot, untuk dicerna menjadi partikel-partikel yang lebih kecil dan dapat diabsorpsi. Kemudian makanan yang telah halus masuk ke usus halus. Di dalam usus halus makanan dipecah dari bentuk kompleks menjadi bentuk sederhana, aktivitas ini dilakukan oleh enzim-enzim tertentu, serta aktivitas bakteri dan protozoa yang masuk bersama makanan. Dinding usus mengandung kelenjar-kelenjar yang menghasilkan enzim-enzim

untuk mencernakan partikel-partikel makanan menjadi karbohidrat, lemak, dan protein. Kelenjar kalsiferus yang dihasilkan oleh organ pencernaan berfungsi untuk menyerap kalsium dari bahan yang dicerna. Kalsium berguna untuk menetralisir media jika kondisinya asam. Tiflosol merupakan bagian usus yang berlipat-lipat, berguna untuk memperluas permukaan usus. Lambung dan usus mensekret enzim-enzim seperti protease, lipase, amilase, sellulase, dan kitinase. Selain itu fungi, algae, aktinomisetes dan mikroba hidup pada usus cacing tanah. Lambung dan usus bekerja sebagai bioreactor dan hanya 5-10% komponen organik dicerna dan diserap oleh tubuh selanjutnya dikeluarkan berupa butiran yang dilapisi mucus disebut kascing (Hand, 1988). Sisa-sisa makanan akan dikeluarkan melalui anus dan diletakkan di atas permukaan tanah di dekat lubang dari liang tempat cacing itu berada (Rukmana, 2008: 18 ).

4. Sistem Peredaran Darah

Sistem peredaran darah pada cacing tanah terdiri dari pembuluh darah dorsal (punggung) yang terletak di atas alat pencernaan, pembuluh darah median (perut) yang terletak di bawah alat pencernaan makanan. Pembuluh darah median ini tidak berkontraksi, berfungsi untuk mengedarkan makanan ke alat-alat tubuh dan mengalir ke arah belakang. Pada tiap segmen, kedua pembuluh darah ini saling dihubungkan oleh pembuluh-pembuluh darah transversal kanan dan kiri. Fungsi dari pembuluh transversal adalah memompa darah dengan melalui pembuluh-pembuluh darah ventral (Sugiri, 1989).

Gambar 4. Letak Pembuluh Darah Cacing Tanah. (Sylvia Mader, 2012)

Darah cacing tanah terdiri atas cairan plasma yang berisi sel darah putih (leukosit), dan sel darah merah (hemoglobin). Sistem peredaran darahnya adalah tertutup, karena darah mengalir ke bagian-bagian tubuh melalui pembuluh darah. Darah dialirkan atau dipompa dari 5 pasang jantung ke seluruh bagian-bagian tubuh. Darah kembali masuk jantung melalui saluran darah punggung. Dalam proses peredaran darah terjadi pengangkutan zat makanan dan oksigen (O2) ke sel-sel atau jaringan tubuh dengan melepaskan karbondioksia (CO2) ke udara. Darah yang mengandung oksigen akan masuk kembali ke dalam jantung (Rukamana, 2008: 19).

5. Sistem Pernafasan

Cacing tanah tidak memiliki organ pernafasan yang spesifik, hanya terdapat pembuluh darah kapiler yang mengandung hemoglobin. Pembuluh darah ini melekat pada dinding tubuh cacing tanah, di bagian bawah kutikula. Proses pengangkutan oksigen dan pelepasan karbon dioksida di dalam darah melalui difusi. Proses difusi terjadi pada jaringan

epidermis dan kutikula yang terdapat di permukaan tubuh cacing tanah (Edward & Lofty, 1972).

Pernapasan cacing tanah sangat dipengaruhi oleh kandungan hemoglobin dan tekanan cairan di dalam tubuh. Hemoglobin mampu menyerap dan mengalirkan oksigen melalui plasma darah ke seluruh tubuh. Proses bernafas dapat berlangsung dengan baik apabila kelembaban lingkungan cukup tinggi (Rukmana, 2008: 19). Kelembaban tubuh diatur oleh kutikula melalui proses sekresi kelenjar mucus pada jaringan epidermis, sehingga menurunkan tekanan cairan di dalam tubuh.

6. Sistem Reproduksi

Cacing tanah bersifat hermaprodit artinya pada tubuhnya terdapat dua alat kelamin, yaitu jantan dan betina. Namun, untuk pembuahan cacing tanah tidak dapat melakukannya sendiri, tetapi harus dilakukan oleh sepasang cacing tanah karena kematangan sel kelamin atau gamet dari kedua jenis alat kelamin itu berbeda waktunya. Waktu kematangan sel sperma pada testis berbeda dengan waktu kematangan sel telur atau ovum pada ovarium. Waktu lematangan sel gamet ini tidak pernah terjadi secara bersamaan dalam satu individu. Jadi, walaupun salah satu alat kelamin cacing telah siap melakukan proses pembuahan, alat kelamin yang lainnya masih dalam proses pematangan sel gamet yang artinya belum siap melakukan pembuahan. Dari perkawinan tersebut, masing-masing cacing tanah dapat menghasilkan satu kokon yang didalamnya terdapat beberapa

butir telur. Proses pertukaran spermatozoid cacing tanah dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Proses Reproduksi Cacing Tanah (Ilyas, 2009: 28)

Cacing menjadi dewasa dan siap kawin setelah berumur 2 sampai 3 bulan terhitung semenjak menetas dari kokon. Masa produktif cacing dewasa terjadi pada umur 4 sampai 11 bulan, yaitu ketika cacing sudah mempunyai alat perkembangbiakan yang disebut dengan klitelum (Rukmana, 2008: 20).

Menurut Edwards & Lofty (1972), metode kopulasi ketika akan melakukan perkawinan dua spesies cacing tanah saling berdekatan dengan mendeteksi mukus yang dikeluarkan oleh bagian ventral tubuhnya secara bersama-sama. Ujung kepala cacing tanah terletak pada arah yang berlawanan. Keduanya saling mendekatkan diri pada daerah pembukaan spermateka dimana daerah klitelum salah satu cacing tanah menyentuh permukaan spermateka yang lainnya. Pada saat kopulasi, kedua cacing tanah tidak sensitif dalam merespon rangsangan luar seperti sentuhan dan

cahaya. Banyak mukus yang disekresikan sehingga masing-masing cacing tanah diselubungi oleh mukus.

Sebuah celah semen terbentang dari gonofor jantan sampai klitelum dan Nampak seperti benang. Tiap-tiap celah semen merupakan bagian dari dinding luar tubuh yang melekuk ke dalam akibat dari terbentuknya rangkaian pori-pori oleh kontraksi otot yang terbentang pada lapisan otot longitudinal. Kontraksi otot membawa cairan sperma dari gonofor jantan menuju daerah klitelum. Cairan sperma berkumpul di daerah klitelum, dan akhirnya memasuki spermateka cacing tanah lainnya (Edwards & Lofty, 1972).

Menurut Palungkun (2010: 16-17), saat melakukan perkawinan sepasang cacing tanah akan saling melekat di bagian depannya dengan posisi saling berlawanan dan dibantu oleh seta, sehingga akan semakin kuat melekat. Cacing tanah akan mengeluarkan lendir melalui klitelum untuk melindungi sel-sel sperma yang dikeluarkan alat kelamin jantan masing-masing cacing tanah, kemudian sel sperma akan bergerak ke ke arah belakang dan masuk ke kantong penerima sperma (ovarium) yang banyak mengandung sel telur. Proses perkawinan dapat berlangsung beberapa jam dan akan memisahkan diri apabila keduanya telah menerima sperma. Setelah itu, klitelum akan membentuk selubung kokon dan bergerak ke arah mulut. Saat bergerak itulah selubung kokon akan bertemu sel telur yang telah dibuahi sel sperma pada lubang saluran sel telur, sehingga sel telur akan terselubungi menjadi kokon. Selanjutnya kokon

yang berisi sel telur bergerak ke arah mulut dan keluar dari tubuh cacing tanah.

Setelah kopulasi berlangsung, cacing tanah terpisah dan masing-masing klitelum mengeluarkan getah mukus yang akhirnya mengeras di sekeliling permukaan luarnya. Ketika getah mukus mengeras, cacing tanah bergerak ke arah belakang kemudian membuat selubung di sekeliling kepalanya dan ketika cacing tanah terpisah sempurna, ujung selubung menutup untuk membentuk kokon. Kokon mengandung cairan albumin yang diproduksi oleh kelenjar klitelum, ovum dan spermatozoa yang disalurkan ke dalamnya ketika melewati pembukaan spermateka. Kokon akan terus diproduksi sampai cairan sperma yang tersedia habis. Fertilisasi terjadi secara eksternal tubuh cacing tanah, yaitu di dalam kokon. Warna kokon berubah sesuai dengan perkembangannya. Pada saat terbentuk kokon berwarna keputihan, kemudian berubah menjadi kuning, kehijauan dan kecoklat-coklatan. Kokon yang berwarna kecoklatan mengindikasikan perkembangan yang matang dan siap untuk menetas.

Setiap perkawinan, masing-masing cacing tanah dapat menghasilkan satu kokon dengan ukuran rata-rata 6 x 3 mm. Setiap kokon rata-rata dapat menghasilkan 1-8 anak cacing. Perbedaan jumlah juvenil disebabkan karena perubahan suhu, terbatasnya sumber cadangan makanan di dalam kokon (Chaudhari & Bhattacharjee, 2002).

Cacing tanah akan mencapai kelamin dewasa setelah berumur 80 sampai 100 hari. Sedangkan menurut Sugiantoro (2012: 20), cacing

dewasa yang berumur 3 bulan dapat menghasilkan kokon sebanyak 3 kokon perminggu. Telur tersebut akan menetas menjadi juvenil atau bayi cacing setelah 2 sampai 5 minggu. Rata-rata persentase hidup bibit cacing tanah adalah 2 ekor perkokon. Proses pembentukan dan pelepasan selubung kokon dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Proses Pembentukan dan Pelepasan Selubung Kokon (Rukmana, 2008: 21)

Keterangan:

B = selubung kokon yang berisi kokon bergerak ke depan menuju arah mulut

C = selubung kokon bersama dengan kokonnya terlepas D = kokon dan kapsul

7. Siklus Hidup dan Habitat

Palungkun (2010: 18), menjelaskan siklus hidup cacing tanah dimulai dari kokon, cacing muda (juvenil), cacing produktif dan cacing tua. Lama siklus hidup cacing tanah antara 1-5 tahun tergantung pada kesesuaian kondisi lingkungan, cadangan makanan, dan jenis cacing tanah. Kokon Eudrilus eugeniae menetas hanya dalam 12 hari pada suhu 25ºC (Jorge Dominguez., dkk., 2001: 341). Setelah menetas, cacing tanah berukuran kecil dan terlihat seperti potongan benang putih dengan panjang seperenambelas-seperempat inci. Viljoen dan Reinecke (1989) melaporkan

bahwa kokon yang dihasilkan oleh cacing dewasa antara usia 70-100 hari dalam kotoran ternak pada suhu 25ºC menetas selama 17 hari dengan memproduksi 2-7 cacing. Cacing tanah muda ini dapat mencapai dewasa dalam waktu 35-50 hari. Masa produktif cacing dewasa terjadi pada umur 4 sampai 11 bulan, yaitu ketika cacing sudah mempunyai alat perkembangbiakan yang disebut dengan klitelum. Pertumbuhan cacing tanah dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, antara lain: kelembaban, suhu, pH, bahan organik, serta kecukupan suplai makanan.

Kelembaban sangat berpengaruh terhadap aktivitas pergerakan cacing tanah karena sebagian tubuhnya terdiri atas air berkisar 75-90% dari berat tubuhnya. Meskipun demikian cacing tanah masih mampu hidup dalam kondisi kelembaban yang kurang menguntungkan dengan cara berpindah ke tempat yang lebih sesuai atau pun diam. Kelembaban media yang terlalu tinggi kurang baik bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan cacing tanah, karena semakin lembab kandungan oksigen pada media akan semakin berkurang dan menyebabkan cacing tanah berwarna pucat dan kemudian mati. Sebaliknya jika kelembaban media rendah maka udara akan kering dan akan merusak kulit cacing tanah, yang akhirnya dapat mengganggu sistem pernafasannya. Menurut Rukmana (2008: 28), kelembaban yang ideal untuk cacing tanah adalah antara 15-50% dengan cara menyemprotkan air pada bagian permukaan media dengan menggunakan penyemprot air selain itu, hindarkan berbagai faktor yang

bisa mengganggu tingkat kelembaban media seperti sinar matahari langsung, dan tiupan angin yang terlalu kencang.

Pertumbuhan cacing tanah juga sangat dipengaruhi oleh suhu. Perubahan suhu dapat mempengaruhi semua aktivitas cacing tanah termasuk metabolisme, pertumbuhan, respirasi, dan perkembangbiakan. Di daerah tropika, suhu yang ideal untuk pertumbuhan cacing tanah dan penetasan kokon berkisar antara 15-25 oC, tetapi suhu yang lebih sedikit dari 25 oC masih cocok untuk pertumbuhan cacing tanah namun harus diimbangi dengan naungan dan kelembaban yang memadai (Rukmana, 2008: 28).

Cacing tanah dapat berkembang dengan baik pada pH netral, atau agak sedikit basa, pH yang ideal adalah antara 6,5-7,2. Cacing tanah sangat sensitif terhadap kadar keasaman tanah. Tanah dengan pH asam dapat mengganggu pertumbuhan dan daya berkembang biak cacing tanah, karena tersediaan bahan organik dan unsur hara (pakan) cacing tanah relatif terbatas (Sugiantoro, 2012: 61).

8. Kandungan dan Manfaat Cacing Tanah

Tabel 1. Komposisi Kandungan Asam Amino pada Cacing Tanah (Palungkun, 2010: 20)

Asam Amino Komposisi (%)

Asam Amino Esensial - Arginin - Histidin - Isoleusin - Leusin - Lisin - Metionin - Fenilalanin - Treonin - Ralin 4.13 1.56 2.58 4.84 4.33 2.18 2.25 2.95 3.01 Asam Amino Non Esensial

- Sistin - Glisin - Serin - Tirosin 2.29 2.92 2.88 2.36

Cacing Eudrilus eugeniae mempunyai kemampuan reproduksi yang tinggi. Sesuai ukurannya cacing Eudrilus eugeniae juga mempunyai porsi makan yang lebih banyak. Berat cacing Eudrilus eugeniae dapat mencapai 2,5 gram dalam waktu 8-10 minggu. Cacing

Eudrilus eugeniae cocok sebagai produsen kascing yang dapat diunggulkan karena cacing ini memiliki nafsu makan yang tinggi dan perkembangbiakannya lebih cepat dibandingkan cacing lainnya. Oleh sebab itu, dalam pemanfaatannya cacing Eudrilus eugeniae lebih banyak digunakan untuk keperluan pakan atau umpan dan pengkomposan (vermicomposting).

Tanah dengan kepadatan populasi cacing tanah yang tinggi tanahnya akan menjadi subur, sebab kotoran cacing tanah (kascing)

yang bercampur dengan tanah merupakan pupuk yang kaya akan nitrat organik posfat dan kalium yang membuat tanaman mudah menerima pupuk yang diberikan ke tanah. Menurut Sugiantoro (2012: 109), kascing adalah hasil sampingan dari budidaya cacing tanah, yang merupakan kotoran cacing tanah yang dikeluarkan melalui anus. Rata-rata setiap bahan organik yang dihancurkan oleh cacing tanah bisa menghasilkan produk kascing antara 20-30% dari total bahan organik yang diberikan. Produk kascing sangat baik untuk digunakan sebagai pupuk organik. Kascing banyak mengandung unsur hara seperti Nitrogen (N), fosfor (P), dan kalsium (Ca).

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa cacing tanah mempunyai manfaat yang dapat digunakan sebagai bahan pakan ternak, bahkan di beberapa negara telah dijadikan makanan manusia. Tepung cacing tanah mempunyai kandungan protein cukup tinggi (64-76%) lebih tinggi dari protein pada daging dan tepung ikan, selain itu cacing mengandung asam amino paling lengkap, lemaknya rendah, mudah dicerna dan tidak mengandung racun (Palungkun, 2010: 33). Dalam dunia pengobatan tradisional, cacing tanah telah digunakan sebagai bahan ramuan obat untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Bahkan di negara-negara maju juga digunakan dalam industri kosmetik dan minyak cacing hasil ekstraksi dapat digunakan sebagai pelembab kulit (Sugiantoro, 2012: 30).

B. Media Pemeliharaan

Menurut Sugiantoro (2012: 56-58), media pemeliharaan atau sarang cacing adalah sekumpulan bahan-bahan organik yang sudah terfermentasi sempurna sehingga bisa memberikan tempat bagi cacing tanah untuk hidup dan bereproduksi secara optimal. Media pemeliharaan juga menjadi sumber makanan cacing tanah.

Bahan organik yang bisa digunakan sebagai media pemeliharaan cacing tanah antara lain adalah kotoran hewan ternak (ayam, kelinci, kambing), ampas tahu, ampas singkong, ampas sagu, kompos, jerami padi, sekam padi, kulit pisang, bubur kertas, bubur kayu, eceng gondok, rumput, serbuk gergaji, rumen atau kotoran yang masih berada didalam perut hewan ruminansia, dan sebagainya. Media harus mengandung karbohidrat, protein, vitamin, dan mineral.

Media yang digunakan harus terfermentasi sempurna atau telah mengalami proses pelapukan minimal 60%, serta tidak mengeluarkan gas yang merupakan hasil dari proses pembusukan yang tidak disukai cacing. Waktu yang dibutuhkan untuk proses fermentasi berkisar antara 7 sampai 35 hari (Sugiantoro, 2012: 59).

Menurut Sugiantoro (2012: 62-63), cacing tanah sangat membutuhkan media hidup sekaligus makanan yang lunak, gembur, dan tidak panas supaya lebih mudah dicerna atau terurai oleh alat cerna di tubuhnya. Media hidup yang gembur juga bisa menjaga porositas sarang, menjaga ketersediaan oksigen, dan menjaga sirkulasi udara di dalamnya. Media hidup yang

digunakan sebaik mungkin mempunyai daya serap yang tinggi terhadap air sehingga tidak mudah menjadi kering dan juga kehilangan tingkat kelembaban. Media pemeliharaan harus bebas atau steril dari zat atau bahan-bahan yang bisa mengganggu pencernaan cacing tanah antara lain sabun dan

Dokumen terkait