• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 6 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

6.2 Rekomendasi

6.2.2 Bagi Penelitian Selanjutnya

Perbedaan antara hasil penelitian dan tinjauan pustaka yang diperoleh dapat dijadikan sebagai data masukan bagi penelitian selanjutnya tentang komunikasi terapeutik perawat dan tingkat stress hospitalisasi anak usia sekolah. Penelitian lanjutan juga perlu dilakukan di rumah sakit lain dengan instrument yang lebih valid dan jumlah sampel yang lebih banyak agar penelitian lebih representatif dan dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya tentang komunikasi terapeutik dan tingkat stres hospitalisasi anak usia sekolah. Penelitian selanjutnya juga diharapkan agar meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat stres hospitalisasi anak usia sekolah.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Komunikasi Terapeutik

2.1.1Definisi Komunikasi Terapeutik

Komunikasi terapeutik menurut Potter (2005) adalah proses di mana perawat yang menggunakan pendekatan terencana mempelajari klien. Komunikasi terapeutik adalah hubungan terapeutik dimana perawat dan klien memperoleh pengalaman belajar bersama serta memperbaiki pengalaman emosional klien yang negatif. Komunikasi terapeutik juga dapat dipersepsikan sebagai proses interaksi antara klien dan perawat yang membantu klien mengatasi stress sementara untuk hidup harmonis dengan orang lain, menyesuaikan dengan sesuatu yang tidak dapat diubah dan mengatasi hambatan psikologis yang menghalangi realisasi diri (Kozier dan Glenora, 2000). Sedangkan menurut Damaiyanti (2008), komunikasi terapeutik dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang memfasilitasi proses penyembuhan pasien. Jadi, komunikasi terapeutik adalah komunikasi antara perawat dan pasien yang bertujuan untuk mengatasi pengalaman emosional klien serta stres sementara yang dialami sehingga memfasilitasi pasien sehat atau dengan kata lain yaitu komunikasi yang mendukung proses penyembuhan pasien.

2.1.2Tujuan Komunikasi Terapeutik

Komunikasi terapeutik sengaja dirancang agar hubungan perawat dan klien menjadi efektif dalam rangka mencapai kesembuhan (Nasir, 2009).

7

Suryani (2005) menyatakan komunikasi terapeutik bertujuan untuk mengembangkan pribadi klien kearah yang lebih positif atau adaptif dan diarahkan pada pertumbuhan klien yang meliputi:

a Kesadaran diri, penerimaan diri, dan meningkatkan kehormatan diri

Melalui komunikasi terapeutik diharapkan terjadi perubahan dalam diri klien. Dengan melakukan komunikasi terapeutik pada klien tersebut, diharapkan perawat dapat mengubah cara pandang klien tentang penyakitnya, dirinya, dan menerima diri apa adanya.

b Kemampuan membina hubungan interpersonal yang tidak superfisial dan saling bergantung dengan orang lain

Melalui komunikasi terapeutik, klien belajar bagaimana menerima dan diterima orang lain. Dengan komunikasi yang terbuka, jujur, dan menerima klien apa adanya, perawat akan dapat meningkatkan kemampuan klien dalam membina hubungan saling percaya.

c Peningkatan fungsi dan kemampuan untuk memuaskan kebutuhan serta mencapai tujuan yang realistis

Perawat membimbing klien dalam membuat tujuan yang realistis dan meningkatkan kemampuan klien memenuhi kebutuhan dirinya.

d Rasa identitas personal yang jelas dan peningkatan integritas diri

Melalui komunikasi terapeutik diharapkan perawat dapat membantu klien meningkatkan integritas dirinya dan identitas diri yang jelas. Dalam hal ini perawat berusaha menggali semua aspek kehidupan klien dimasa sekarang dan masa lalu. Kemudian perawat membantu meningkatkan integritas diri klien melalui komunikasinya dengan klien.

8

2.1.3 Karakteristik Komunikasi Terapeutik

Arwani (2002) menyatakan ada 3 hal mendasar yang menjadi ciri-ciri (karakteristik) komunikasi terapeutik, yaitu:

1. Keikhlasan (Gunuineness)

Perawat dalam membantu klien harus menyadari tentang nilai, sikap dan perasaan yang dimiliki terhadap keadaan klien. Perawat yang mampu menunjukkan rasa ikhlasnya mempunyai kesadaran mengenai sikap yang dipunyai terhadap pasien sehingga mampu belajar untuk mengkomunikasikan -nya secara tepat. Perawat tidak akan menolak segala bentuk perasaan negatif yang dipunyai klien, bahkan ia akan berusaha berinteraksi dengan klien.

2. Empati (Empathy)

Empati merupakan perasaan “pemahaman” dan “penerimaan” perawat terhadap perasaan yang dialami klien dan kemampuan merasakan “dunia pribadi pasien”. Empati merupakan sesuatu yang jujur, sensitif, dan tidak dibuat-buat (objektif) didasarkan atas apa yang dialami orang lain. Empati tidak sama dengan simpati. Perawat akan mudah mengatasi nyeri yang dirasakan pasien, misalnya, jika dia mempunyai pengalaman yang sama tentang nyeri. Perawat yang berempati dengan orang lain dapat menghindarkan penilaian berdasarkan kata hati (impulsive judgement) tentang seseorang dan pada umumnya dengan empati akan menjadi lebih sensitif dan ikhlas.

3. Kehangatan (Warmth)

Dengan kehangatan, perawat akan mendorong klien untuk mengekspresikan ide-ide dan menuangkannya dalam bentuk perbuatan tanpa rasa takut dimaki atau dikonfrontasi. Suasana yang hangat, permisif, dan tanpa adanya

9

ancaman menunjukkan adanya rasa penerimaan perawat terhadap pasien. Sehingga pasien akan mengekspresikan perasaannya secara lebih mendalam.

2.1.4 Prinsip Dasar Komunikasi Terapeutik

Prinsip-prinsip komunikasi terapeutik menurut Carl Rogers (dalam Purwanto, 1994, dalam Damaiyanti, 2008) adalah:

a Perawat harus mengenal dirinya yang berarti menghayati, memahami dirinya sendiri serta nilai yang dianut.

b Komunikasi harus ditandai dengan sikap saling menerima, saling percaya, dan saling menghargai.

c Perawat harus menyadari pentingnya kebutuhan pasien baik fisik maupun mental.

d Perawat harus menciptakan suasana yang memungkinkan pasien bebas berkembang tanpa rasa takut.

e Perawat harus dapat menciptakan suasana yang memungkinkan pasien memiliki motivasi untuk mengubah dirinya baik sikap, tingkah lakunya sehingga tumbuh makin matang dan dapat memecahkan masalah - masalah yang dihadapi.

f Perawat harus mampu menguasai perasaan sendiri secara bertahap untuk mengetahui dan mengatasi perasaan gembira, sedih, marah, keberhasilan maupun frustasi.

g Mampu menentukan batas waktu yang sesuai dan dapat mempertahankan konsistensinya.

h Memahami betul arti empati sebagai tindakan yang terapeutik dan sebaliknya simpati bukan tindakan yang terapeutik.

10

i Kejujuran dan komunikasi terbuka merupakan dasar dari hubungan terapeutik. j Mampu berperan sebagai role model agar dapat menunjukkan dan

menyakinkan orang lain tentang kesehatan, oleh karena itu perawat perlu mempertahankan suatu keadaan sehat fisik mental, spiritual, dan gaya hidup. k Disarankan untuk mengekspresikan perasaan bila dianggap mengganggu. l Altruisme untuk mendapatkan kepuasan dengan menolong orang lain secara

manusiawi.

m Berpegang pada etika dengan cara berusaha sedapat mungkin mengambil keputusan berdasarkan pripsip kesejahteraan manusia.

n Bertanggung jawab dalam dua dimensi yaitu tanggung jawab terhadap diri sendiri atas tindakan yang dilakukan dan tanggung jawab terhadap orang lain.

2.1.5Teknik-Teknik Komunikasi Terapeutik

Dalam menanggapi pesan yang disampaikan klien, perawat menggunakan berbagai teknik komunikasi terapeutik. Beberapa teknik komunikasi terapeutik menurut Wilson dan Kneist (1992) serta Stuart dan Sundeen (1998) (dalam Damaiyanti, 2008) antara lain:

1. Mendengarkan dengan penuh perhatian

Dengan mendengarkan perawat mengetahui perasaan klien, memberi kesempatan lebih banyak pada klien untuk bicara (Mundakir, 2006).

2. Menunjukkan penerimaan

Menerima tidak berarti menyetujui. Menerima berarti bersedia untuk mendengarkan orang lain tanpa menunjukkan keraguan atau ketidaksetujuan. Perawat harus waspada terhadap ekspresi wajah dan gerakan tubuh yang

11

menyatakan tidak setuju, seperti mengerutkan kening atau menggeleng yang menyatakan tidak percaya.

3. Menanyakan pertanyaan berkaitan

Tujuan perawat bertanya adalah untuk mendapatkan informasi yang spesifik mengenai apa yang disampaikan oleh klien. Oleh karena itu, pertanyaan sebaiknya dikaitkan dengan topik yang dibicarakan dan gunakan kata-kata yang sesuai dengan konteks sosial budaya klien.

4. Pertanyaan tebuka

Teknik ini memberi kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya sesuai kehendak klien tanpa membatasi (Mundakir, 2006). Pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban “ya” dan “mungkin”, tetapi pertanyaan memerlukan jawaban yang luas, sehingga pasien dapat mengemukakan masalahnya, perasaannya dengan kata-kata sendiri, atau dapat memberikan informasi yang diperlukan. Misalnya: “Coba adik ceritakan apa yang adik rasakan?”.

5. Mengulang ucapan klien dengan menggunakan kata-kata sendiri

Melalui penggulangan kembali kata-kata klien, perawat memberikan umpan balik bahwa ia mengerti pesan klien dan berharap komunikasi dilanjutkan. Gunanya untuk menguatkan ungkapan klien dan memberi indikasi perawat mengikuti pembicaraan klien (Mundakir,2006). Misalnya: “Oh.. jadi adik tadi malam tidak bisa tidur karena…”.

6. Mengklarifikasi

Klarifikasi terjadi saat perawat berusaha untuk menjelaskan dalam kata-kata, idea tau pikiran (implicit maupun eksplisit) yang tidak jelas dikatakan oleh

12

klien. Tujuan teknik ini adalah untuk menyamakan pengertian. Misalnya: “Apa yang Adik maksudkan dengan…?”.

7. Memfokuskan

Metode ini bertujuan untuk membatasi bahan pembicaraan sehingga percakapan menjadi lebih spesifik dan dimengerti.

8. Menyatakan hasil observasi

Perawat harus memberikan umpan balik kepada klien dengan menyatakan hasil pengamatannya sehingga klien dapat mengetahui apakah pesannya diterima dengan benar atau tidak. Dalam hal ini perawat menguraikan kesan yang ditimbulkan oleh isyarat non verbal klien. Misalnya: “Adik tampak tegang”.

9. Menawarkan informasi

Memberikan tambahan informasi merupakan tindakan penyuluhan kesehatan untuk klien. Perawat tidak membenarkan memberikan nasehat kepada klien ketika memberikan informasi, karena tujuan dari tindakan ini adalah memfasilitasi klien untuk mengambil keputusan. Penahanan informasi yang dilakukan saat klien membutuhkan akan mengakibatkan klien menjadi tidak percaya.

10.Diam

Diam memberikan kesempatan kepada perawat dan klien untuk mengorganisir pikirannya. Penggunaan metode ini memerlukan keterampilan dan ketepatan waktu, jika tidak akan menimbulkan perasaan tidak enak. Diam memungkinkan klien untuk berkomunikasi dengan dirinya sendiri, mengorganisir pikiran dan memproses informasi. Diam sangat berguna terutama pada saat klien harus mengambil keputusan.

13

11.Meringkas

Meringkas adalah pengulangan ide utama telah dikomunikasikan secara singkat. Metode ini bermanfaat untuk membantu mengingat topik yang telah dibahas sebelum meneruskan pembicaraan berikutnya.

12.Memberikan penghargaan

Hal ini bertujuan untuk meningkatkan motivasi kepada klien untuk berbuat yang lebih baik lagi. Penghargaan dalam pelayanan keperawatan tidak berbentuk materi, akan tetapi berbentuk dorongan psikologis atau inmaterial untuk memacu lebih baik lagi (Nasir, 2009).

13.Menawarkan diri

Perawat menyediakan diri tanpa repons bersyarat atau respon yang diharapkan. Misalnya: “ Suster akan duduk menemanimu selama 15 menit”.

14.Memberikan kesempatan pada klien untuk memulai pembicaraan

Memberikan kesempatan kepada klien untuk berinisiatif dalam memilih topik pembicaraan.

15.Menganjurkan untuk meneruskan pembicaraan

Teknik ini memberikan kesempatan kepada klien untuk mengarahkan hampir seluruh pembicaraan. Teknik ini juga mengindikasikan bahwa perawat mengikuti apa yang dibicarakan dan tertarik dengan apa yang akan dibicarakan selanjutnya.

16.Menempatkan kejadian secara berurutan

Mengurutkan kejadian secara teratur akan membantu perawatan dan klien untuk melihatnya dalam suatu perspektif. Kelanjutan dari suatu kejadian menuntut

14

perawat dan klien untuk melihat kejadian berikutnya merupakan akibat dari kejadian sebelumnya dan juga dapat menemukan pola kesukaran interpersonal. 17.Memberikan kesempatan kepada klien untuk menguraikan persepsinya

Apabila perawat ingin mengerti klien, maka ia harus melihat segala sesuatunya dari perspektif klien.

18.Refleksi

Refleksi memberikan kesempatan kepada klien untuk mengemukakan dan menerima ide dan perasaannya sebagai bagian dari dirinya sendiri.

19. Assertif

Asertif adalah kemampuan dengan secara meyakinkan dan nyaman mengekspresikan pikiran dan perasaan diri dengan tetap menghargai orang lain. 20.Humor

Dugan (1989) (dalam Damaiyanti,2008) menyebutkan humor sebagai hal yang penting dalam komunikasi verbal dikarenakan tertawa mengurangi ketegangan dan rasa sakit akibat stres, dan meningkatkan keberhasilan asuhan keperawatan.

2.1.6 Sikap Komunikasi Terapeutik

Perawat hadir secara utuh (fisik dan psikologis) pada waktu berkomunikasi dengan klien.

a Kehadiran diri secara fisik

Egan (dalam Mundakir, 2006) mengidentifikasi 5 sikap atau cara untuk menghadirkan diri secara fisik, yaitu:

15

2. Mempertahankan kontak mata. Kontak mata pada level yang sama berarti menghargai klien dan menyatakan keinginan untuk tetap berkomunikasi. 3. Membungkuk ke arah klien. Posisi ini menunjukkan kepedulian dan

keinginan perawat untuk mengatakan atau mendengar sesuatu yang dialami klien.

4. Mempertahankan sikap terbuka. Tidak melipat kaki atau tangan menunjukkan keterbukaan untuk berkomunikasi. Sikap terbuka perawat ini meningkatkan kepercayaan klien kepada perawat atau petugas kesehatan lainnya.

5. Tetap rileks. Tetap dapat mengontrol keseimbangan antara ketegangan dan relaksasi dalam memberi respon terhadap klien.

b Kehadiran Diri secara psikologis

Kehadiran diri secara psikologis dapat dibagi dalam 2 dimensi yaitu: 1. Dimensi Respon

Dimensi respon merupakan sikap perawat secara psikologis dalam berkomunikasi kepada klien. Dimensi respon terdiri dari respon perawat yang ikhlas, menghargai, empati dan konkrit. Dimensi respon sangat penting pada awal berhubungan dengan klien untuk membina hubungan saling percaya dan komunikasi yang terbuka. Respon ini harus terus dipertahankan sampai pada akhir hubungan.

2. Dimensi Tindakan

Dimensi tindakan tidak dapat dipisahkan dengan dimensi respon. Tindakan yang dilaksanakan harus dalam konteks kehangatan dan pengertian. Dimensi respon membawa klien pada tingkat penilikan diri

16

yang tinggi dan kemudian dilanjutkan dengan dimensi tindakan. Dimensi tindakan terdiri dari konfrontasi, kesegeraan, keterbukaan, emotional chataris, dan bermain peran (Stuart dan Sundeen, 1987 dalam Mundakir, 2006).

2.1.7 Tahap Komunikasi Terapeutik

Stuart dan Sundee (dalam Damaiyanti, 2008) mengungkapkan dalam membina hubungan terapeutik (berinteraksi) perawat mempunyai 4 tahap yaitu: fase pra-interaksi, orientasi, kerja dan terminasi.

1. Fase Pra-interaksi

Pra-interaksi merupakan masa persiapan sebelum berhubungan dan berkomunikasi dengan klien. Hal-hal yang dipelajari dari diri sendiri adalah sebagai berikut: (a) pengetahuan yang dimiliki yang terkait dengan penyakit dan masalah klien, (b) kecemasan dan kekalutan diri, (c) analisis kekuatan diri, dan (d) waktu pertemuan baik saat pertemuan maupun lama pertemuan. Sedangkan, hal-hal yang perlu dipelajari dari diri klien yaitu: (a) perilaku klien dalam menghadapi penyakitnya, (b) adat istiadat, dan (c) tingkat pengetahuan (Nasir, 2009).

2. Fase Perkenalan

Perkenalan merupakan kegiatan yang dilakukan saat pertama kali bertemu klien. Tugas perawat pada tahap perkenalan adalah:

a Memberikan salam dan tersenyum pada klien b Memperkenalkan diri dan menanyakan nama klien

c Melakukan validasi (kognitif, psikomotor, afektif) pada pertemuan berikutnya d Menentukan mengapa klien mencari pertolongan

17

f Membuat kontrak timbal balik

g Mengeksplorasi perasaan klien, pikiran dan tindakan h Mengidentifikasi masalah klien

i Mendefinisikan tujuan dengan klien

j Menjelaskan waktu yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan k Menjelaskan kerahasiaan

3. Fase Kerja

Fase kerja merupakan inti hubungan perawatan klien yang terkait erat dengan pelaksanaan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Tugas perawat pada tahap ini adalah: (a) memberi kesempatan klien untuk bertanya, (b) menanyakan keluhan utama/ keluhan yang mungkin berkaitan dengan kelancaran pelaksanaan kegiatan, (c) memulai kegiatan dengan cara yang baik dan (d) melakukan kegiatan sesuai rencana.

4. Fase Terminasi

Terminasi merupakan akhir dari setiap pertemuan perawat dan klien. Terminasi dibagi dua, yaitu: terminasi sementara dan terminasi akhir.

a. Terminasi sementara

Terminasi sementara dilakukan bila perawat mengakhiri tindakan keperawatan, masa tugas berakhir atau operan dengan teman sejawat dalam rangka untuk peralihan tugas.

b. Terminasi akhir

Terminasi akhir dilakukan bila klien akan meninggalkan rumah sakit karena sudah sembuh atau pindah ke rumah sakit lain dengan memberikan

18

discharge planning yaitu memberikan pesan-pesan pokok yang perlu dilakukan oleh klien untuk ditindak lanjuti di rumah atau di tempat yang lain. Kegiatan yang dilakukan pada tahap terminasi adalah sebagai berikut:

a) Evaluasi subjektif, merupakan kegiatan yang dilakukan dengan mengevaluasi suasana hati setelah terjadi interaksi dengan klien.

b) Evaluasi objektif, merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengevaluasi respons objektif terhadap hasil yang diharapkan dari keluhan yang dirasakan, apakah ada kemajuan atau sebaliknya.Untuk mengevaluasi ini perawat cukup berpegang pada Nursing Outcome Clasification dari tujuan yang ingin dicapai agar tidak terjadi bias dan tepat sasaran.

c) Tindak lanjut, merupakan kegiatan yang dilakukan dengan menyampaikan pesan kepada klien mengenai lanjutan dari kegiatan yang telah dilakukan (Nasir, 2009).

2.1.8 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Komunikasi Terapeutik

Menurut Potter & Perry dalam Nurjannah (2001) (Tamsuri, 2005), ada faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi terapeutik itu, diantaranya: perkembangan, persepsi, nilai, latar belakang sosial budaya, emosi, pengetahuan, peran dan hubungan, lingkungan, jarak, dan masa kerja.

2.1.9 Komunikasi pada Anak Usia Sekolah

Anak usia sekolah, periode ini dimulai pada usia 6 tahun sampai 11 tahun atau 12 tahun (Supartini, 2004). Pada usia ini anak telah mencapai kesempurnaan fisik dan mental. Masa ini dikenal juga sebagai masa kecerdasan, masa kotor dan masa pembentukan geng, karena anak senang berkumpul dan bersatu mendirikan

19

Pada usia ini, anak kurang mengandalkan apa yang mereka lihat tetapi lebih pada apa yang mereka ketahui bila dihadapkan pada masalah baru. Mereka butuh penyelesaian untuk segala sesuatu tetapi tidak membutuhkan pengesahan dari tindakan yang dilakukan. Pada masa ini anak sudah dapat memahami penjelasan sederhana dan mampu mendemonstrasikannya. Anak perlu diizinkan untuk mengekspresikan rasa takut dan keheranan yang dialaminya (Mundakir, 2006).

Anak usia sekolah sangat peka terhadap stimulus yang dirasakannya akan mengancam keutuhan tubuhnya. Oleh karena itu, apabila perawat akan melakukan suatu tindakan, ia akan bertanya mengapa dilakukan, untuk apa, dan bagaimana caranya dilakukan? Anak membutuhkan penjelasan atas pertanyaannya. Gunakan bahasa yang dapat dimengerti anak dan berikan contoh yang jelas sesuai dengan kemampuan kognitifnya (Damaiyanti, 2008).

Anak usia sekolah sudah lebih mampu berkomunikasi dengan orang dewasa. Perbendaharaan katanya sudah lebih banyak, sekitar 3000 kata dikuasai dan anak sudah mampu berpikir secara kongkret. Apabila akan melakukan tindakan, perawat dapat menjelaskannya dengan mendemonstrasikan pada mainan anak. Misalnya, bagaimana perawat akan menyuntik diperagakan terlebih dahulu pada bonekanya (Damaiyanti, 2008).

Fokus untuk komunikasi dengan anak usia sekolah menurut Potter & Perry (2005) yaitu:

a Anak mencari alasan dan penjelasan atas segala sesuatu namun tidak membutuhkan pengesahan.

20

b Anak tertarik dalam aspek fungsional objek dan kegiatan (apa yang akan terjadi, mengapa hal itu terjadi).

c Anak memperhatikan integritas tubuh.

d Anak harus diizinkan untuk memanipulasi perlengkapan, misalnya memegang palu perkusi.

e Anak memahami penjelasan sederhana dan mendemostrasikannya. f Anak harus diizinkan untuk mengekspresikan rasa takut dan keheranan.

2.1.10 Cara Komunikasi Terapeutik pada Anak

Mundakir (2006) menyatakan bahwa cara yang terapeutik dalam berkomunikasi dengan anak adalah sebagai berikut:

1. Nada suara, bicara lambat dan jika tidak dijawab harus diulang lebih jelas dengan pengarahan yang sederhana. Hindari sikap mendesak untuk dijawab dengan mengatakan “jawab dong”.

2. Mengalihkan aktivitas, Anak lebih tertarik pada aktivitas yang disukai sehingga perlu dibuat jadwal yang bergantian antara aktivitas yang disukai dan aktivitas terapi yang diprogramkan.

3. Jarak interaksi, perawat yang mengobservasi tindakan non verbal dan sikap tubuh anak harus mempertahankan jarak yang aman dalam berinteraksi.

4. Marah, perawat yang perlu mempelajari tanda kontrol perilaku yang rendah pada anak untuk mencegah tempertantrum. Perawat menghindari bicara yang keras dan otoriter serta mengurangi kontak mata jika respon anak meningkat. Jika anak mulai dapat mengontrol perilaku, kontak mata

21

5. Kesadaran diri, perawat harus menghindari konfrontasi secara langsung, duduk yang terlalu dekat dan berhadapan. Perawat secara non verbal selalu memberi dorongan, penerimaan, dan persetujuan jika diperlukan.

6. Sentuhan, jangan sentuh anak tanpa izin anak. Salaman dengan anak merupakan cara untuk menghilangkan stres dan cemas khususnya pada anak laki-laki. Sentuhan merupakan cara interaksi yang mendasar. Ikatan kasih sayang dibentuk oleh pandangan, suara dan sentuhan yang menjadi elemen penting dalam pembentukan ego, perpisahan, dan kemandirian.

2.2Konsep Hospitalisasi

2.2.1 Definisi Hospitalisasi

Hospitalisasi menurut Supartini (2005) adalah suatu proses yang karena suatu alasan yang berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah. Selama proses tersebut, anak dan orang tua dapat mengalami berbagai kejadian yang menurut beberapa penelitian ditunjukkan dengan pengalaman yang sangat traumatik dan penuh dengan stres.

Jika seorang anak dirawat di rumah sakit, maka anak tersebut akan mudah mengalami krisis karena anak mengalami stress akibat perubahan baik terhadap status kesehatannya maupun lingkungannya dalam kebiasaan sehari-hari, anak mempunyai sejumlah keterbatasan dalam mekanismme koping untuk mengatasi masalah maupun kejadian-kejadian yang bersifat menekan. Berbagai perasaan yang sering muncul pada anak, yaitu cemas, marah, sedih, takut, dan rasa bersalah (Wong, 2008).

22

2.2.2 Stresor Hospitalisasi Anak Usia Sekolah

Menurut Wong (2008), stresor utama dari hospitalisasi antara lain: 1. Cemas akibat perpisahan

Secara umum anak usia sekolah lebih mampu melakukan koping terhadap perpisahan, stres dan sering kali disertai regresi akibat penyakit atau hospitalisasi dapat meningkatkan kebutuhan mereka akan keamanan dan bimbingan dari orang tua. Anak-anak usia sekolah pertengahan dan akhir dapat lebih cemas terhadap perpisahan dengan aktivitas mereka yang biasa dan teman sebaya daripada ketidakhadiran orang tua. Reaksi-reaksi yang umum terjadi pada anak usia sekolah seperti: kesepian, bosan, isolasi, dan depresi.

2. Kehilangan kendali

Anak usia sekolah biasanya rentan terhadap kejadian-kejadian yang dapat mengurangi rasa kendali dan kekuatan mereka, seperti rutinitas rumah sakit. Bagi anak usia sekolah, aktivitas ketergantungan seperti tirah baring yang dipaksakan, penggunaan pispot, ketidakmampuan memilih menu, kurangnya privasi, bantuan mandi di tempat tidur, atau berpindah dengan kursi roda atau brankar dapat menjadi ancaman langsung bagi rasa aman mereka. Meskipun semua prosedur ini tampak rutin dan tidak bermakna, namun prosedur tersebut tidak memungkinkan kebebasan memilih bagi anak-anak yang ingin “bertindak dewasa”. Selain lingkungan rumah sakit, penyakit juga dapat menyebabkan perasaan kehilangan kendali.

3. Cedera tubuh dan nyeri

Anak usia sekolah tidak begitu khawatir terhadap nyeri jika dibandingkan dengan disabilitas, pemulihan yang tidak pasti, atau kemungkinan kematian. Anak

23

yang menderita penyakit kronis lebih cenderung mengidentifikasi prosedur instrusif sebagai hal yang menimbulkan stres, sedangkan anak-anak yang

Dokumen terkait