• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODOLOGI PENELITIAN III.1 Waktu dan Tempat

III.2 Bahan dan Alat

Hewan yang digunakan pada penelitian ini yaitu tikus putih (Rattus sp.) galur Sprague Dawley yang terdiri dari tikus betina bunting sebanyak 8 ekor dengan bobot badan sekitar 150-200 gram dan tikus jantan yang berumur 8 bulan sebanyak 4 ekor yang diperoleh dari Animal Facility. Bahan lain yang digunakan yaitu sekam, pakan tikus, larutan fisiologis NaCl 0.9%, metanol, larutan giemsa, eter, akuades, ekstrak akar purwoceng.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu kandang tikus yang terbuat dari plastik, jaring kawat penutup kandang, botol minum tikus, alat bedah minor, erlenmeyer, gelas ukur, corong, blender, kain saring, gelas objek, gelas penutup, mikroskop, kamera digital, pompa vakum, rotary vacuum evaporator (Buchi Rotavapor R-205), chiller, spoit 1 ml, sonde lambung dari stainless steel, oven, wadah porselen, cotton bud, tissue, kapas, kertas label, dan timbangan digital. III.3 Metode Penelitian

Pembuatan Larutan Ekstrak Akar Purwoceng

Semua bagian tanaman purwoceng, yaitu akar, batang, dan daun dapat dimanfaatkan sebagai bahan afrodisiak. Tetapi hanya bagian akarnya saja yang digunakan sebagai bahan ekstrak. Akar dikeringkan melalui penjemuran dengan sinar matahari selama beberapa hari. Selanjutnya akar purwoceng yang telah kering dipotong tipis-tipis dan dihaluskan dengan menggunakan blender sehingga diperoleh bentuk serbuk (simplisia). Serbuk akar purwoceng diekstraksi dengan metode maserasi sebanyak 350 gram direndam dalam 3.5 liter etanol 70% sebagai

15

zat pelarut selama 24 jam, setiap 2 jam sekali diaduk agar homogen. Kemudian disaring dengan menggunakan kain saring. Hasil ekstrak disimpan di dalam erlenmeyer sedangkan ampasnya direndam kembali dalam 3.5 liter etanol 70% selama 24 jam dan diaduk setiap 2 jam sekali. Setelah itu larutan disaring dan ekstraknya disatukan dengan hasil ekstrak yang pertama di dalam erlenmeyer ukuran 5 liter. Kemudian dilakukan proses evaporasi agar zat pelarut terpisah dengan menggunakan rotary vacum evaporator (rotavapor) Buchi dengan suhu 48oC dengan kecepatan 60 rpm. Selanjutnya ekstrak kering diperoleh dengan menggunakan alat pengering beku (freeze drying). Ekstrak kering disimpan di dalam botol kaca steril dan dilarutkan kembali dengan akuades sesuai dosis saat perlakuan terhadap hewan coba. Jumlah ekstrak kering yang didapatkan dari 350 gram simplisia adalah sejumlah 95 gram. Ekstrak ini kemudian dibuat dalam larutan stok sebesar 5% yaitu 5 gram dalam 100cc akuades.

Penentuan Dosis Ekstrak Purwoceng

Penentuan dosis ekstrak purwoceng pada tikus didasarkan pada penelitian terdahulu (Taufiqurrahman 1999) yaitu 25mg/ 0,5 ml untuk bobot badan tikus sebesar 300 gram. Pemberian ekstrak akar purwoceng sebanyak 50 mg mampu memperbaiki kinerja reproduksi tikus jantan yaitu meningkatkan kadar hormon

Luteinizing hormone (LH) dan testosteron pada tikus jantan Sprague Dawley

(Taufiqurrahman 1999). Pada penelitian ini larutan stok mengandung 50 mg/ml sehingga jumlah ekstrak purwoceng yang diberikan pada tikus yaitu 0,5 ml untuk bobot badan tikus 300 gram atau setara dengan dosis 83,33 mg/kg BB

Persiapan Hewan Penelitian

Tikus percobaan hidup di dalam kandang selama satu minggu agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan kandang. Pemberian pakan dan minum dilakukan ad libitum. Pakan yang diberikan yaitu pellet dan air minum diberikan dengan memasukkan ke dalam botol-botol kecil dan dijepitkan pada jaring-jaring kawat. Botol-botol berisi air tersebut dibuat lubang pada tutupnya agar air tersebut bisa diminum tikus. Penggantian sekam dan pencucian kandang dilakukan setiap satu minggu sekali. Tikus betina bunting diperoleh melalui perkawinan secara

alami dengan mencampurkan tikus betina dan tikus jantan dalam satu kandang dengan rasio 2:1. Salah satu tikus betina tersebut diberi tanda dengan spidol pada bagian badan atau ekor agar tidak tertukar. Deteksi perkawinan dilakukan pada pagi hari dengan cara ulas vagina menggunakan cotton swab dan dioleskan pada gelas objek. perkawinan ditandai dengan adanya spermatozoa dalam ulasan vagina setelah diperiksa di bawah mikroskop dan dicatat sebagai hari pertama kebuntingan. Tikus yang bunting harus dipisahkan dari jantan dan diletakkan pada satu kandang. Tikus yang tidak bunting dikembalikan ke kandang untuk dikawinkan.

Pelaksanaan Penelitian

Delapan ekor tikus betina bunting yang diperoleh dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:

A : 4 ekor tikus bunting yang tidak diberi perlakuan (kontrol)

B : 4 ekor tikus bunting yang diberikan peroral ekstrak purwoceng dengan dosis 83,33 mg/kg BB untuk bobot badan tikus sebesar 300 gram diberikan 1 kali sehari sampai 13 hari kebuntingan.

Selanjutnya dari masing-masing kelompok tersebut dikorbankan pada hari ke-13 kebuntingan untuk melihat adanya perubahan makroanatomi dari alat reproduksi baik dari induk yang diberi perlakuan maupun induk yang tidak diberi perlakuan. Tikus-tikus tersebut dinekropsi untuk diambil ovarium dan dihitung jumlah korpus luteumnya. Sedangkan uterus diambil untuk diamati titik implantasi dan dihitung jumlahnya. Selanjutnya dilihat rasio jumlah titik implantasi terhadap jumlah korpus luteum untuk melihat keberhasilan implantasi.

17

Gambar 7 Alur penelitian III.4 Analisis Data

Variabel yang diamati adalah jumlah korpus luteum dan jumlah titik implantasi pada hari ke-13 kebuntingan. Hasil yang diperoleh kemudian dianalisis dengan metode analisis nonparametrik. Nilai keberhasilan implantasi dapat dihitung melalui rasio jumlah titik implantasi dengan jumlah korpus luteum.

Rasio = Titik Implantasi

x 100%

Korpus luteum

Tikus bet ina bunt ing Kelompok A (kont rol) 4 ekor Tikus jantan dewasa kelamin

Tikus bet ina dewasa kelamin Kelompok B (perlakuan) 4 ekor Pengamatan: Jumlah korpus luteum dan Tit ik Implantasi Dinekropsi pada hari ke-13 kebunt ingan Purw oceng diberikan secara oral dari hari 1-13

Data hasil penelitian jumlah korpus luteum dan jumlah titik implantasi pada tikus kelompok kontrol dan tikus kelompok perlakuan yang diberi ekstrak etanol purwoceng dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Jumlah korpus luteum, titik implantasi, dan rasionya pada tikus (13 hari kebuntingan )

Tikus

Kontrol Perlakuan Rasio = ∑IT

∑KL x 100% Korpus luteum Titik implantasi Korpus luteum Titik implantasi Kontrol Perlakuan 1 9 9 10 10 100 % 100 % 2 12 10 11 10 83.3 % 90.9 % 3 11 9 12 12 81.8 % 100 % 4 8 4 9 7 50 % 77.8 %

Berdasarkan data jumlah korpus luteum dan jumlah titik implantasi pada Tabel 3 dapat dihitung nilai rasio jumlah titik implantasi terhadap jumlah korpus luteum. Rasio jumlah titik implantasi terhadap jumlah korpus luteum menggambarkan keberhasilan implantasi yang terjadi. Nilai rasio jumlah titik implantasi terhadap jumlah korpus luteum dihitung secara nonparametrik. Terdapat perbedaan antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan. Kelompok perlakuan memiliki nilai rasio lebih besar dibandingkan kelompok kontrol. Jumlah titik implantasi pada kelompok perlakuan mendekati jumlah korpus luteum yang sudah terbentuk. Sedangkan pada kelompok kontrol terdapat selisih jumlah yang terbentuk dari jumlah titik implantasi terhadap korpus luteum. Hal ini menunjukkan keberhasilan pembentukan titik implantasi kelompok tikus yang diberi purwoceng lebih baik daripada kelompok kontrol. Morfologi atau struktur dari folikel pada Gambar 8 masih tampak banyak berisi cairan dan bewarna kemerahan. Sedangkan korpus luteum tidak lagi banyak berisi cairan dan berwarna putih kekuning-kuningan.

19

Gambar 8 Folikel dan korpus luteum

Pengaruh Ekstrak Etanol Purwoceng Terhadap Korpus Luteum

Korpus luteum adalah sebuah massa dari ovarium yang terbentuk karena ovulasi ovum. Ovulasi merupakan proses terlepasnya sel ovum dari ovarium sebagai akibat pecahnya folikel yang telah masak. Tidak semua folikel mengalami perkembangan menjadi ovum sebagian akan mengalami atresia. Tikus merupakan hewan politokus yang akan mengovulasikan sejumlah ovum. Jumlah korpus luteum menggambarkan jumlah ovum yang berhasil diovulasikan. Tahap pertama pertumbuhan folikel berupa pembesaran ovum, diikuti dengan pertumbuhan lapisan sel-sel granulosa tambahan yang disebut dengan folikel primer. Guyton (1994) menyatakan Pertumbuhan awal folikel primer dirangsang oleh Follicle Stimulating Hormone (FSH). Folikel terus berkembang menjadi folikel sekunder dan folikel De graaf yang dihasilkan di setiap siklus birahi. Folikel- folikel ini berisi estrogen, folikel de Graaf ini akan menghasilkan estrogen dalam jumlah yang banyak dari folikel lainnya. Estrogen mempunyai 2 fungsi dalam pengaturan sekresi gonadotropin (FSH dan LH). Estrogen ini menekan produksi FSH, sehingga hipofisis mengeluarkan hormon LH. Produksi hormon LH maupun FSH berada di bawah pengaruh Releasing Hormones (RH) yang disalurkan hipotalamus ke hipofisis. Penyaluran RH dipengaruhi oleh mekanisme umpan balik estrogen terhadap hipotalamus. Produksi hormon gonadotropin (FSH dan LH) yang baik akan menyebabkan pematangan dari folikel de graaf yang mengandung estrogen. LH yang bekerja pada sel granulosa dan sel teka akan menimbulkan luteinisasi. Luteinisasi adalah suatu proses perubahan sel granulosa

Korpus Luteum

dan sel teka menjadi sel lutein yang merupakan bagian sel dari korpus luteum (Guyton & Hall 1997).

Folikel yang mengalami ovulasi akan menjadi korpus luteum. Kemudian korpus luteum akan berinvolusi dan akhirnya kehilangan fungsi sekresi juga warna kekuningan menjadi korpus albicans (Guyton & Hall 1997). Pada penelitian yang dilakukan, jumlah korpus luteum perlakuan ekstrak etanol purwoceng pada tikus putih bunting tidak bertambah karena korpus luteum sudah terbentuk sebelum diberikan perlakuan. Tetapi penambahan ekstrak etanol purwoceng diduga dapat menambah estrogen endogen karena kandungan steroid yang ada pada purwoceng tersebut. Steroid adalah prekursor hormon estrogen. Steroid mengisyaratkan otak untuk menghasilkan hormon estrogen yang akan mengatur produksi LH. Fungsi estrogen pada kebuntingan adalah untuk mengawali terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar uterus sehingga dapat mempertebal dinding endometrium sebagai tempat implantasi agar terbentuk lebih banyak titik implantasi. Seperti yang telah dijelaskan oleh Toelihere (1985) estrogen dapat merangsang pertumbuhan uterus dengam mempertebal dinding endometrium dan miometrium, merangsang kontraktil uterus, merangsang peningkatan pertumbuhan epithelium vagina, merangsang estrus, merangsang perkembangan duktus kelenjar ambing dan mempengaruhi perkembangan alat kelamin sekunder. Jika pemberian ekstrak etanol purwoceng dilakukan sebelum kebuntingan (praimplantasi) tikus, kemungkinan akan terjadi penambahan kadar estrogen yang signifikan dan memperbesar ukuran folikel sehingga menambah jumlah hormon estrogen.

Hasil uji fitokimia purwoceng pada Tabel 1 menunjukkan bahwa purwoceng kandungan flavonoid dan alkaloid pada purwoecng adalah yang terbanyak. Alkaloid dan flavonoid digolongkan kedalam fitoestrogen. Fitoestrogen merupakan subtrat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan yang strukturnya hampir sama dengan estrogen. Beberapa senyawa fitoestrogen yang diketahui banyak terdapat dalam tanaman antara lain isoflavon, flavon, lignin, coumestans, tripterpene glycoside, acrylics dan lainnya. Fitoestrogen berkhasiat seperti estrogen dan mempunyai inti yang sama tetapi rumus bangun kimianya berbeda dengan estrogen. Fitoestrogen merupakan suatu subtrat berefek estrogenik jika

21

bisa berikatan dengan reseptor estrogen (Tsorounis 2004). Molekul-molekul fitoestrogen dapat menempati reseptor estrogen (Anggraini 2008). Berbagai hasil penelitian meunjukan bahwa fitoestrogen dapat mengurangi menopause, memperbaiki lemak dalam plasma, menghambat perkembangan arterosklerosis, serta menghambat pertumbuhan sel tumor pada payudara dan endometrium (Hidayati 2003).

Menurut Markham (1988) flavonoid adalah senyawa polar sehingga dapat larut dalam pelarut polar seperti etanol, metanol, aseton, dimetil sulfoksida (DMSO), dimetil fontamida (DMF), dan air. Senyawa flavonoid terbukti mempunyai efek hormonal, khususnya efek estrogenik. Efek estrogenik ini terkait dengan struktur flavonoid yang dapat ditransformasi menjadi molekul. Molekul-molekul ini mempunyai struktur mirip hormon estrogen dan diduga dapat menduduki reseptor estrogen. Reseptor dari hormon estrogen terdapat di dalam sitoplasma sel dan jaringan dari organ uterus, hipofisa pars anterior, kelenjar ambing, dan jaringan organ reproduksi lainnya.

Estrogen mempunyai 2 jenis reseptor yaitu reseptor estrogen alfa (REα) dan

reseptor estrogen beta (REβ). Reseptor α terdapat pada organ uterus, testis,

hipofisis, ginjal, epididimis, dan adrenal sedangkan pada reseptor β ditemukan pada organ ovarium. Flavonoid mempunyai efek estrogenik yaitu dapat bekerja seperti estrogen dengan cara menduduki reseptor estrogen. Pada uterus, estrogen akan menduduki reseptor estrogen α, sehingga pada uterus terjadi proliferasi. Flavonoid juga berfungsi melancarkan peredaran darah ke seluruh tubuh dan mencegah penyumbatan pada pembuluh darah, mengurangi penimbunan lemak pada dinding pembuluh darah, mengurangi kadar resiko penyakit jantung koroner, mengandung antiinflamasi, berfungsi sebagai antioksidan, dan membantu mengurangi rasa sakit jika terjadi pendarahan atau pembengkakan (Susanti 2001). Kandungan zat-zat lain yang terdapat di dalam purwoceng diantaranya turunan senyawa verol seperti sitosterol, stigma sterol dan turunan senyawa furanokumarin yaitu bergapten dan vitamin E. Kandungan sitosterol dan stimasterol berfungsi berfungsi sebagai aprodisiak atau meningkatkan vitalitas seks.

Toelihere (1985) menjelaskan bahwa korpus luteum merupakan penghasil hormon progesteron terbesar bersama plasenta. Terbentuknya korpus luteum diinduksi dengan adanya peningkatan kadar luteinizing hormone (LH) di dalam tubuh. Hormon LH akan mengubah struktur sel teka dan granulosa untuk menghasilkan progesteron. Peningkatan korpus luteum pada awal kebuntingan diperlukan untuk meningkatkan produksi progesteron dalam menjaga kebuntingan. Progesteron mempunyai peranan penting dalam memelihara kebuntingan. Konsentrasi progesteron dalam serum induk sangat berpengaruh terhadap kematian fetus dalam uterus (Refsal et al.1991). Apabila hormon progesteron ini tidak cukup akan menyebabkan kontraksi uterus secara terus menerus yang menyebabkan kegagalan implantasi embrio sehingga terjadi aborsi (Arkaraviehin & Kendle 1990). Korpus luteum pada tikus tidak hanya memproduksi progesteron tapi juga memproduksi hormon estrogen, androgen, dan hampir semua hormon steroid yang aktif (Khan et al. 1985).

Pengaruh Ekstrak Etanol Purwoceng Terhadap Titik Implantasi

Istilah implantasi digunakan pada proses melekatnya blastosis ke endometrium uterus diawali dengan menempelnya embrio pada permukaan epitel endometrium, menembus lapisan epitelium selanjutnya membuat hubungan dengan sistem sirkulasi induk. Implantasi terjadi dalam beberapa waktu setelah terjadinya fertilisasi. Titik implantasi adalah tempat melekatnya embrio pada dinding uterus. Menurut Satyaningtijas (2001) terbentuknya titik implantasi pada tikus terjadi pada hari ke-5 kebuntingan yang ditandai dengan meningkatnya kandungan total RNA. RNA adalah asam ribonukleat yang berfungsi sebagai pelaksanaan tugas DNA yaitu untuk replikasi dan transkripsi. Replikasi bertujuan untuk pembelahan sel sedangkan transkripsi untuk sintesa protein. Pada saat terjadi implantasi kandungan total RNA meningkat yang menunjukan terjadi pembelahan sel dan sintesis protein pada uterus.

23

Gambar 9 Alur ovulasi sampai terjadinya implantasi (Sumber: Haibin & Sudhansu 2006)

Pada saat implantasi terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah yang diikuti penebalan stroma yang mengililingi blastosis. Otot-otot uterus melakukan aksi penting agar embrio menyebar sepanjang uterus pada hewan politokus. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya penumpukan embrio pada satu area di dalam uterus yang bisa menyebabkan kematian pada embrio. Titik implantasi yang terbentuk pada tikus yang diberi perlakuan lebih banyak dibanding tikus kontrol. Hal ini dapat dijelaskan karena purwoceng yang bersifat estrogenik dapat memperbaiki lingkungan uterus akibat adanya peningkatan estrogen. Estrogen bersirkulasi dalam darah selama beberapa menit kemudian menuju sel target. Estrogen berikatan dengan protein reseptor dalam sitoplasma sel target membentuk kompleks hormon reseptor kemudian bermigrasi. Estrogen memulai proses transkripsi DNA-RNA dalam area kromosom spesifik dan akhirnya mengakibatkan pembelahan sel (Guyton & Hall 1997). Selama masa kebuntingan pada mamalia estrogen dan progesteron dihasilkan oleh plasenta (Tunner & Bagnara 1988). Hormon estrogen berperan untuk rnemelihara korpus luteum agar tetap mensekresikan progesteron. Dengan pemberian ekstrak etanol purwoceng diharapkan bisa memperbesar ukuran korpus luteum pada tikus selama kebuntingan sehingga menambah sekresi progesteron. Endometrium akan berproliferasi akibat pengaruh progesteron dengan meningkatkan efektifitas

kelenjar dan sekresinya ke uterus. Sekresi ini akan membentuk cairan uterus dikenal dengan istilah susu uterus. Cairan uterus ini akan mempengaruhi perkembangan blastula hingga menjadi fetus (Miller & Zhang 1984). Cairan ini akan menjadi nutrisi bagi ovum dimulai dari proses pematangan sampai terimplantasi pada uterus (Guyton 1994). Dengan kata lain Progesteron bisa mempertahankan kebuntingan dengan menciptakan lingkungan endometrial yang sesuai untuk kelanjutan hidup dan perkembangan embrio (Toelihere 1985).

Rasio antara jumlah titik implantasi terhadap jumlah korpus luteum pada tikus bunting menunjukkan tingkat keberhasilan embrio untuk hidup. Semakin tinggi nilai rasio antara jumlah titik implantasi terhadap jumlah korpus luteum maka keberhasilan terbentuknya embrio semakin tinggi. Hunter (1995) mengatakan implantasi dan plasentasi terwujud dalam berbagai bentuk, tetapi status hormon induk sangat penting dalam menentukan berlangsungnya implantasi. Jumlah titik implantasi sesuai dengan kapasitas uterus yang berkaitan dengan panjang uterus. Keberhasilan implantasi adalah kemampuan induk dalam mempertahankan implantasi. Keberhasilan implantasi ditandai dengan banyaknya jumlah titik implantasi yang terdapat di sepanjang uterus bagian kanan dan kiri. Purwoceng yang diduga bersifat estrogenik dapat diharapkan untuk meningkatkan tingkat keberhasilan implantasi dengan kandungan zat aktifnya yang berupa flavanoid, alkaloid, sterol. Zat-zat ini diduga membantu estrogen endogen dengan cara menempati reseptor estrogen dan mempengaruhi kerjanya terhadap dinding uterus dalam masa proliferasi.

BAB V

Dokumen terkait