• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas Pemberian Ektrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina) pada Hari 1-13 Kebuntingan terhadap Keberhasilan Implantasi pada Tikus Putih (Rattus sp.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efektivitas Pemberian Ektrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina) pada Hari 1-13 Kebuntingan terhadap Keberhasilan Implantasi pada Tikus Putih (Rattus sp.)"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

DIVO JONDRIATNO. Efektivitas Pemberian Ektrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina) pada Hari 1-13 Kebuntingan terhadap Keberhasilan Implantasi pada Tikus Putih (Rattus sp.). Dibimbing oleh ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS dan ISDONI.

(2)

EFEKTIVITAS PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL

PURWOCENG (

Pimpinella alpina

) PADA HARI 1-13

KEBUNTINGAN TERHADAP KEBERHASILAN

IMPLANTASI PADA TIKUS PUTIH (

Rattus

sp.)

DIVO JONDRIATNO

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Efektivitas Pemberian Ektrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina) pada Hari 1-13 Kebuntingan terhadap Keberhasilan Implantasi pada Tikus Putih (Rattus sp.) adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2012

Divo Jondriatno

(4)

ABSTRAK

DIVO JONDRIATNO. Efektivitas Pemberian Ektrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina) pada Hari 1-13 Kebuntingan terhadap Keberhasilan Implantasi pada Tikus Putih (Rattus sp.). Dibimbing oleh ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS dan ISDONI.

(5)

DIVO JONDRIATNO. The Effectivity of Ethanol Extract Purwoceng (Pimpinella alpina) starting from day 1 until 13 days of pregnancy on Implantation in Rats (Rattus sp). Under direction of ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS and ISDONI.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atua tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

EFEKTIVITAS PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL

PURWOCENG (

Pimpinella alpina

) PADA HARI 1-13

KEBUNTINGAN TERHADAP KEBERHASILAN

IMPLANTASI PADA TIKUS PUTIH (

Rattus

sp.)

DIVO JONDRIATNO

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Judul Skripsi : Efektivitas Pemberian Ektrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina) pada Hari 1-13 Kebuntingan terhadap Keberhasilan Implantasi pada Tikus Putih (Rattus sp.)

Nama : Divo Jondriatno NIM : B04070146

Menyetujui,

Pembimbing 1 Pembimbing 2

Dr. Drh. Aryani S. Satyaningtijas, M.Sc drh. Isdoni M. Biomed NIP. 19600914 198603 2 001 NIP. 19610922 198703 1 005

Diketahui

drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

(9)

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan hidayah dan kemampuan kepada penulis untuk melewati rintangan selama penyusunan skripsi ini. Judul penelitian adalah Efektivitas Pemberian Ektrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina) sampai Hari ke-13 Kebuntingan terhadap Keberhasilan Implantasi pada Tikus Putih (Rattus sp.). Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Kedokteran Hewan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

Selama proses penyusunan skripsi ini tidak lepas dari dukungan berbagai pihak. Dengan penuh rasa hormat dan ketulusan hati, penulis mengucapkan terima kasih setulus-tulusnya kepada:

1. Papa, Mama, Meta Novitasari, Putri Rahayu, Abak dan Amak sebagai keluarga yang sangat dicintai penulis, terima kasih atas kasih sayang, doa, motivasi, nasihat dan cerita-cerita yang bisa membuat penulis selalu menegakkan kepala dan terus jalan ke depan.

2. Dr. drh. Aryani S. Satyaningtijas, M.Sc dan drh. Isdoni M. Biomed sebagai dosen pembimbing yang dengan penuh kesabaran memberikan bimbingan, motivasi, waktu, dan pemikiran selama proses penelitian dan penyusunan skripsi ini.

3. Ibu Sri Wahyuni, Amd, SE, MP dan sanak saudara yang ada di tanah rantau.

4. Drh. Ekowati Handaryani MSi, Ph.D dan drh. Elok Budi Retnani MS sebagai dosen penguji terima kasih atas saran dan kritik yang sangat membantu dalam penyempurnaan skripsi ini.

5. Dr. drh. Heru Setijanto, PAVet.(K) sebagai dosen pembimbing akademik terima kasih atas bimbingan, arahan, motivasi, waktu, selama di FKH IPB.

(10)

v

penelitian. Dosen Departemen AFF, Dosen Departemen KRP, Dosen Departemen IPHK, Laboran, staff dan Teknisi FKH IPB.

7. Niken Rostika atas kesabaran, kasih sayang, perhatian, doa, dan semangat kepada penulis yang sangat tangka.

8. Tim Purwoceng (Copi, Wisnu, Junto, Sandra, Levi) atas kerjasama, dukungan, bantuan selama penelitian dan penyusunan skripsi. Teman PA (Aul, Ganjar, Santi, Tami, Annisa, Retno, Tita)

9. FKMPS seperjuangan (Rido, Deo, Feky, Firman, Tika, Yani, Lili, Ayu, Vina, Ria, Riri, Mega, Fela), Senior FKMPS dan Junior FKMPS yang jumlahnya melebihi kuota tidak bisa penulis tuliskan disini karena kalian gadang cimeeh.

10. Koce, Adek onjau, Qori ncus, Apra, Noi, Anggi, Mude, delele

11. Teman-teman Gianuzzi FKH 44 (B04070001- B04074001) terima kasih penulis bisa belajar dari karakter kalian, Para senior dan junior yang jumlahnya ratusan terima kasih atas kebersamaan dan suasana kekeluargaan dalam menempuh pendidikan di IPB.

Penulis menyadari penyusunan skripsi ini tidak luput dari kekurangan, oleh karena itu penulis berterima kasih atas kritik dan saran-saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Bogor, Februari 2012

(11)

Penulis dilahirkan di Tampuniak, Sumatera Barat pada tanggal 26 Agustus 1988 dari ayah Ijon dan ibu Ratmawarnis. Penulis merupakan putra pertama dari tiga bersaudara.

Pendidikan formal penulis dimulai dari SD 37 Tampunik hingga lulus pada tahun 2000, yang kemudian dilanjutkan ke SLTPN 2 Lengayang dan lulus pada tahun 2003. Pendidikan SMA penulis selesaikan di SMAN 1 Lengayang dan lulus pada tahun 2006, kemudian melanjutkan ke IPB pada tahun 2007 melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD). Mayor yang dipilih penulis adalah Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (FKH IPB).

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ...i

DAFTAR ISI ...iv

DAFTAR TABEL ...vi

DAFTAR GAMBAR ...vii

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang ...1

I.2 Tujuan Penelitian ...2

I.3 Manfaat Penelitian ...2

I.4 Hipotesa Penelitian ...2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Purwoceng ...3

II.2 Biologis Tikus ...4

Kebuntingan pada tikus...6

II.3 Organ Reproduksi ...8

Ovarium ...8

Korpus Luteum...9

II.4 Hormon Reproduksi ...10

Estrogen ...11

Progesteron ...12

BAB III MATERI DAN METODE PENELITIAN III.1 Waktu dan Tempat Penelitian...14

III.2 Bahan dan Alat ...14

III.3 Metode Penelitian ...14

Pembuatan Larutan Ekstrak Akar Purwoceng...14

Penentuan Dosis Ekstrak Purwonceng...15

Persiapan Hewan Penelitian...15

Pelaksanaan Penelitian...16

(13)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Ekstrak Etanol Purwoceng Terhadap Korpus Luteum...19 Pengaruh Ekstrak Etanol Purwoceng Terhadap Titik Implantasi...22 BAB V PENUTUP

(14)

DAFTAR TABEL

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Tanaman Purwoceng... 3

2 Rattus sp. ... 5

3 Embrio pada uterus ... 7

4 Ovarium tikus ... 8

5 Struktur estrogen ... 11

6 Struktur progesteron... 12

7 Alur penelitian ... 17

8 Folikel dan korpus luteum... 19

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang sangat besar, bahkan menempati urutan ke tiga terbesar di dunia. Hutan tropika Indonesia ditumbuhi sekitar 30.000 spesies tumbuhan berbunga dan diperkirakan sekitar 3.689 spesies di antaranya merupakan tumbuhan obat (Endjo & Hernami 2004). Berbagai macam tumbuhan yang ada di hutan tropika Indonesia belum dapat dimanfaatkan secara optimal untuk pengobatan. Di pedesaan sudah menjadi tradisi dalam memanfaatkan obat-obatan yang diolah secara tradisional. Obat tradisional yang biasa dibuat dari batang, rimpang, buah, daun, dan bunga tanaman . Obat tradisional ini digunakan berdasarkan pada pengalaman secara turun temurun, namun kebanyakan belum memberikan pembuktian dasar ilmiah. Purwoceng (Pimpinella alpina) merupakan tanaman obat asli Indonesia endemik dataran tinggi. Habitat alami purwoceng berada pada ketinggian 1.800 – 3.500 m dari permukaan laut (Heyne 1987). Daerah pengembangan budidaya purwoceng saat ini hanya di Dataran Tinggi Dieng dengan luasan terbatas, pada ketinggian 1.850-2.050 m dari permukaan laut, dan suhu antara 15–21°C (Rahardjo et al. 2006).

(17)

I.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pemberian ekstrak purwoceng pada jumlah titik implantasi dan korpus luteum pada tikus putih bunting, serta rasio dari jumlah titik implantasi terhadap korpus luteum yang digunakan sebagai indikator keberhasilan implantasi

I.3 Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan informasi pengaruh pemberian ekstrak etanol purwoceng yang diberikan selama 13 hari kebuntingan dimulai hari 1 sampai dengan hari ke-13 terhadap keberhasilan implantasi tikus bunting Sprague Dawley. Data yang diperoleh diharapkan bisa dimanfaat sebagai acuan referensi penelitian dalam bidang kedokteran khususnya dibidang reproduksi pada hewan politokus lainnya.

I.4 Hipotesis

(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Purwoceng

Purwoceng yang memiliki nama latin Pimpinella alpina diklasifikasikan dalam famili Umbelliferae. Famili Umbelliferae umumnya berupa terna yaitu tumbuhan yang berbatang lunak karena tidak membentuk kayu. Tumbuhan ini berukuran kecil dan merambat di tanah, daunnya tunggal atau majemuk tanpa daun penumpu. Bunga tersusun sebagai bunga payung, banci, aktimorf, dan berbilangan 4 atau 5. Kelopak bunganya kecil, daun mahkota bebas, dan benang sari dalam satu lingkaran berhadapan dengan daun-daun kelopaknya. Bakal buah beruang dua dan tiap ruang terdiri dari satu atau dua bakal biji yang kebanyakan hanya mempunyai satu integumen (Tjitrosoepomo 1994).

Gambar 1 Tanaman Purwoceng (Sumber: Pulungan 2008)

(19)

Akarnya merupakan akar tunggang berwarna putih kotor (Pulungan 2008). Purwoceng ditanam dengan biji. Di habitatnya akan berkecambah setelah berumur satu bulan, berbunga antara bulan ke-5 sampai bulan ke-6 dan dapat dipanen pada umur 7 - 8 bulan (Yuhono 2004).

Purwoceng mengandung sterol, furanokumarin bergapten, isobergapten, dan sphondin. Senyawa-senyawa aktif itu banyak terdapat di batang dan akar. Senyawa sterol akan dikonversi menjadi testosteron di dalam tubuh. Sedangkan senyawa aktif lain merangsang susunan saraf pusat untuk memproduksi

Luteinizing Hormone (LH). Banyak orang sudah membuktikan khasiat purwoceng sebagai obat penghilang sakit, penurun panas, anti fungi, dan anti bakteri (Ajijah

et al. 2010). Zat aktif yang terkandung di dalam purwoceng telah dianalisis melalui uji fitokimia purwoceng di Balittro (2011) dengan hasil pada Tabel 2.

Tabel 1 Hasil uji fitokimia purwoceng

No Zat aktif Hasil uji

1 Alkaloid +++

2 Saponin -

3 Tanin +

4 Fenolik -

5 Flavonoid +++

6 Triterpenoid +

7 Steroid +

8 Glikosida +

Ket : - (Negatif), + (Positif lemah), ++ (Positif) , +++ (Positif kuat) (Sumber: Balitro 2011)

II.2 Biologi Tikus

Tikus merupakan salah satu hewan mamalia yang mempunyai peranan penting untuk tujuan ilmiah, karena memiliki daya adaptasi yang baik. Tikus memiliki beberapa galur yang merupakan hasil persilangan sesama jenis. Galur yang sering digunakan untuk penelitian adalah galur Wistar, Long-Evans dan

(20)

5

dari tubuhnya. Tikus yang banyak digunakan sebagai hewan percobaan adalah tikus putih (Rattus norvegicus). Hewan percobaan ini memiliki beberapa keunggulan yaitu penanganan dan pemeliharaannya mudah, umur relatif pendek, sifat reproduksi menyerupai mamalia besar, lama kebuntingan singkat, angka kelahiran tinggi, siklus estrus pendek dan karakteristik setiap fase siklus jelas (Malole & Pramono 1989). Tikus sebagai hewan laboratorium banyak digunakan dalam penelitian dan percobaan antara lain untuk mempelajari pengaruh obat-obatan, toksisitas, metabolisme, embriologi, teratologi, onkologi, hematologi, nutrisi, maupun dalam mempelajari tingkah laku.

Gambar 2 Rattus sp.

(21)

Cara mengetahui telah terjadinya perkawinan tikus dengan memperhatikan adanya massa putih yang menyumbat vagina (vaginal plug) atau melalukan papsmer pada vagina untuk memeriksa adanya spermatozoa menggunakan mikroskop.

Tabel 2 Data biologi tikus putih

Kriteria Nilai

Berat lahir 5-6 gr

Berat badan

Jantan 300-400 gr Betina 250-300 gr

Lama hidup 2-3 tahun

Konsumsi makanan perhari 10 gr/ 100 gr BB Konsumsi air minum tikus dewasa 20-45 ml/ hari Umur pubertas (betina) 50-60 hari Umur saat dikawinkan

Jantan 8-9 minggu Betina 8-9 minggu Lama siklus estrus 4-5 hari

Lama estrus 9-10 jam

Lama kebuntingan 20-22 hari Jumlah anak per kelahiran 6-12 ekor anak

Umur disapih 21 hari

Berat lepas sapih 20-30 gr (Sumber: Smith & Mangkoewidjojo 1988)

Siklus estrus dikendalikan oleh hormon gonadotropin Folicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH) yang dihasilkan oleh hipofisis anterior, serta hormon steroid seks (estrogen dan progesteron) dihasilkan oleh ovarium. Pengaturannya berlangsung melalui poros hipotalamus-hipofisis-ovarium (Binkley 1995).

Kebuntingan pada Tikus

(22)

7

1997). Transpor ini dipengaruhi oleh arus cairan lemah di dalam tuba akibat sekresi epitel ditambah kerja epitel bersilia yang melapisi tuba. Tuba falopii berkontraksi secara spastik selama 3 hari pertama setelah ovulasi dan pada waktu yang bersamaan terjadi peningkatan progesteron yang disekresikan oleh korpus luteum. Ovum akan mengalami pembelahan dan membentuk sel bola padat yang disebut blastomer tanpa terjadi perubahan massa (Guyton & Hall 1997). Blastomer membelah dan membentuk kelompok besar yang disebut morula (Hunter 1995). Sel-sel morula kemudian membentuk bola berongga berisi cairan kental yang disebut blastokista (Chart & Lilford 1995). Blastokista yang sedang berkembang akan tetap tinggal di uterus selama 1 sampai 3 hari sebelum berimplantasi dalam endometrium.

Gambar 3 Embrio pada uterus

Implantasi merupakan interaksi langsung yang kompleks antara embrio trofoblast dengan jaringan maternal uterus yang mengalami perubahan terus- menerus. Implantasi terjadi pada hari ke- 5 dan ke- 6 masa kebuntingan dan selesai pada hari ke- 7 (Guyton & Hall 1997). Tidak semua ovum yang diovulasikan akan diimplantasikan. Masa implantasi tergantung pada kadar hormon estrogen dan progesteron. Estrogen adalah hormon yang pertama kali bekerja terhadap endometrium sebelum progesteron memulai aksinya. Hormon progesteron mengakibatkan proliferasi endometrium dengan meningkatkan efektivitas kelenjar dan sekresi susu uterus (Hunter 1995). Susu uterus merupakan nutrisi bagi ovum yang sedang membelah sejak proses pematangan ovum dimulai sampai blastosis terimplantasi di uterus (Guyton 1994). Induk tikus yang baru

(23)

melahirkan kemudian melakukan perkawinan, implantasi blastosisnya akan mengalami penundaan selama 2-4 hari. Pada rodensia saat terjadi implantasi menunjukan blastosis bersifat pasif dan endometrium dipengaruhi progesteron (Smith & Mangkoewidjojo 1988).

II.3 Organ Reproduksi Ovarium

Organ reproduksi betina terdiri atas organ reproduksi primer dan sekunder. Organ reproduksi primer terdiri dari ovarium sedangkan organ reproduksi sekunder terdiri atas tuba falopii, uterus, serviks, vagina. Ovarium menghasilkan sel telur dan hormon kelamin betina. Ovarium mengandung oosit dalam jumlah banyak namun hanya sedikit dari jumlah oosit tersebut yang dimatangkan dan diovulasikan selama masa reproduktif. Organ reproduksi sekunder berfungsi menerima dan menyalurkan sel-sel kelamin jantan dan betina, memberi makan dan melahirkan individu baru (Toelihere 1985). Ovarium pada mamalia memiliki sepasang organ yang mensekresikan progesteron, estrogen, prostaglandin, relaksin dan oksitosin. Ovarium terletak pada rongga abdomen dan permukaan ovariumnya dibungkus oleh satu lapisan epitel dan digantung oleh mesovarium (Hafez 2000).

Gambar 4 Ovarium Tikus

(24)

9

folikel yaitu folikel primer, folikel sekunder dan folikel de Graaf (Hafez 2000). Morfologi folikel sebelum masa pubertas hanya terlihat sebagai foliker primer. Pada usia dewasa kelamin, folikel primer akan berkembang menjadi folikel sekunder dan folikel de Graaf yang akan mengalami ovulasi sehingga terbentuk korpus luteum dan folikel atresia.

FSH dan LH yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisa anterior akan merangsang sel target ovarium dengan berkombinasi pada reseptor FSH dan LH yang sangat spesifik pada membran sel sehingga ovarium dapat berfungsi. Reseptor yang diaktifkan akan meningkatkan laju kecepatan sekresi sel-sel target dan pertumbuhan proliferasi sel (Guyton 1994). FSH berfungsi dalam perangsangan dan pematangan folikel de Graaf kemudian bersama LH akan merangsang pembentukan dan sekresi estrogen. Estrogen yang dihasilkan folikel akan merangsang sekresi LH. Sekresi LH yang terjadi secara cepat dengan konsentrasi tinggi akan menyebabkan terjadinya ovulasi (Johnson & Everitt 1984). Ovulasi adalah pelepasan sel telur (ovum) dari folikel sel de Graaf (Partodiharjo 1987). Folikel yang pecah tadi nantinya akan membentuk korpus rubrum. Perkembangan dari korpus rubrum ini akan membentuk korpus luteum jika terjadi fertilisasi pada endometrium dan akan membentuk korpus albikans jika tidak terjadi pembuahan pada ovum.

Korpus Luteum

(25)

Korpus luteum berperan dalam menjaga ketebalan endometrium dengan cara memproduksi hormon progesteron. Proses ini dikenal dengan fase sekresi dari endometrium. Jika terbentuk korpus albikans, maka hormon progesteron tidak akan terbentuk dan dinding endometrium tidak menebal. Korpus luteum akan tetap terpelihara selama kebuntingan untuk selalu mensekresi progesteron karena adanya estrogen. Estrogen dalam masa kebuntingan berperan dalam memelihara korpus luteum agar tetap mensekresikan progesteron. Estrogen bekerja dengan cara merangsang biosintesis kolesterol agar tetap tersedia kolesterol bebas yang akan digunakan oleh korpus luteum agar terbentuk hormon progesteron (Azhar et al. 1989). Jumlah korpus luteum merupakan faktor penting dalam menentukan kadar progesteron dalam serum induk. Penelitian yang dilakukan Satyaningtijas & Isdoni (1995) melaporkan adanya korelasi antara jumlah korpus luteum dengan kadar progesteron pada domba lokal peranakan ekor kurus. Peningkatan progesteron dengan peningkatan jumlah korpus luteum menjadi signal biologis untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan uterus dalam mempersiapkan lingkungan yang cocok untuk implantasi dan pertumbuhan serta perkembangan embrio .

II.3 Hormon hormon

(26)

11

estrogen dan progesteron. Hormon ini diperlukan untuk proses kebuntingan maupun fetus (Hafez 2000).

Estrogen

Estrogen adalah hormon yang bisa menimbulkan birahi atau estrus pada hewan betina (Toelihare 1985). Hormon steroid alamiah ini dihasilkan oleh sel teka interna folikel de Graaf dari ovarium. Estrogen juga dapat dihasilkan oleh jaringan tubuh lainnya seperti testis, kelenjar adrenal, dan plasenta (Guyton 1994). Sekresi estrogen dalam jumlah besar terjadi pada ovarium betina normal yang tidak bunting dan sekresi dalam jumlah kecil pada korteks adrenal. Tapi pada saat bunting plasenta mensekresikan estrogen dalam jumlah besar (Guyton 1994). Selama masa kebuntingan plasenta menjadi sumber penghasil estrogen utama pada mamalia (Tunner & Bagnara 1988). Ada tiga jenis estrogen yang dihasilkan mamalia, yaitu beta estradiol, estrone, dan estriol. Secara biologis, estradiol adalah yang paling aktif. Menurut Guyton (1994) beta estradiol merupakan estrogen utama yang dihasilkan oleh sel teka interna folikel de Graaf.

Gambar 5 Struktur estrogen (Sumber: Guyton & Hall 1997)

Sekresi estrogen dikeluarkan lewat urin dan empedu setelah bergabung dengan asam glukoronat atau asam sulfat sehingga hasil metabolisme estrogen dan estradiol dapat diidentifikasi dan disiolasi lewat urin (Turner & Bagnara 1988). Menurut Sellman (1996) kelebihan estrogen dapat menyebabkan percepatan proses penuaan, alergi, penurunan kemampuan kelamin, depresi, kelelahan, osteoporosis, kanker rahim, disfungsi tiroid, dan pembentukan jaringan ikat pada uterus.

(27)

meningkatkan kecepatan sintesis protein. Estradiol merupakan hormon estrogen primer yang disintesa dari androstenedion didalam stroma ovarium, folikel dan ovarium. Sebagai estrogen primer estradiol memiliki potensi lebih kuat dari estron dan estriol. Estradiol juga berperan untuk rnemelihara korpus luteum agar tetap mensekresikan progesteron. Kehadiran estradiol di korpus luteum sesuai dengan fungsinya, yaitu untuk merangsang biosintesis kolesterol, mengatur aktivitas asilCoA: kolesterol asiltranferase (ACAT) agar tersedia kolesterol bebas untuk pembentukan hormon steroid progesteron (Azhar et al. 1989). Hormon estrogen juga berperan dalam pertumbuhan dan pematangan tulang. Efek estrogen terjadi pada modifikasi kerangka hewan tikus, yaitu penambahan tulang mengikuti pertumbuhan epifise pada anak- anak (Turner & Bagnara 1988).

Progesteron

Progesteron merupakan hormon steroid yang berasal dari kolesterol. Prgesteron memiliki memiliki 21 atom karbon, dua diantaranya terdapat rantai samping C-17. 3β-hidroksisteroid dehidrogenasi mengubah pregnanolon menjadi progesteron. Selama proses sintesis steroid seks, progesteron disintesis dan sebagian besar diubah menjadi estrogen (Guyton 1994). Progesteron dalam jumlah besar disekresikan oleh sel-sel lutein korpus luteum dan plasenta (Toelihaere 1985). Pada wanita progesteron disekresikan oleh korpus luteum dalam jumlah besar selama separuh akhir dari setiap siklus ovarium. Selama separuh pertama siklus ovarium, progesteron di dalam plasma hanya sedikit sedangkan pada masa kehamilan progesteron disekresikan dalam jumlah besar oleh plasenta (Guyton 1994).

(28)

13

(29)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III.1 Waktu dan Tempat

Penelitian mulai dilakukan pada bulan Desember 2010 sampai bulan Maret 2011 di kandang percobaan Fakultas Kedokteran Hewan ,Institut Pertanian Bogor. Pengamatan dan pengukuran terhadap organ reproduksi betina dilakukan di laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

III.2 Bahan dan Alat

Hewan yang digunakan pada penelitian ini yaitu tikus putih (Rattus sp.) galur Sprague Dawley yang terdiri dari tikus betina bunting sebanyak 8 ekor dengan bobot badan sekitar 150-200 gram dan tikus jantan yang berumur 8 bulan sebanyak 4 ekor yang diperoleh dari Animal Facility. Bahan lain yang digunakan yaitu sekam, pakan tikus, larutan fisiologis NaCl 0.9%, metanol, larutan giemsa, eter, akuades, ekstrak akar purwoceng.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu kandang tikus yang terbuat dari plastik, jaring kawat penutup kandang, botol minum tikus, alat bedah minor, erlenmeyer, gelas ukur, corong, blender, kain saring, gelas objek, gelas penutup, mikroskop, kamera digital, pompa vakum, rotary vacuum evaporator (Buchi Rotavapor R-205), chiller, spoit 1 ml, sonde lambung dari stainless steel, oven, wadah porselen, cotton bud, tissue, kapas, kertas label, dan timbangan digital.

III.3 Metode Penelitian

Pembuatan Larutan Ekstrak Akar Purwoceng

(30)

15

zat pelarut selama 24 jam, setiap 2 jam sekali diaduk agar homogen. Kemudian disaring dengan menggunakan kain saring. Hasil ekstrak disimpan di dalam erlenmeyer sedangkan ampasnya direndam kembali dalam 3.5 liter etanol 70% selama 24 jam dan diaduk setiap 2 jam sekali. Setelah itu larutan disaring dan ekstraknya disatukan dengan hasil ekstrak yang pertama di dalam erlenmeyer ukuran 5 liter. Kemudian dilakukan proses evaporasi agar zat pelarut terpisah dengan menggunakan rotary vacum evaporator (rotavapor) Buchi dengan suhu 48oC dengan kecepatan 60 rpm. Selanjutnya ekstrak kering diperoleh dengan menggunakan alat pengering beku (freeze drying). Ekstrak kering disimpan di dalam botol kaca steril dan dilarutkan kembali dengan akuades sesuai dosis saat perlakuan terhadap hewan coba. Jumlah ekstrak kering yang didapatkan dari 350 gram simplisia adalah sejumlah 95 gram. Ekstrak ini kemudian dibuat dalam larutan stok sebesar 5% yaitu 5 gram dalam 100cc akuades.

Penentuan Dosis Ekstrak Purwoceng

Penentuan dosis ekstrak purwoceng pada tikus didasarkan pada penelitian terdahulu (Taufiqurrahman 1999) yaitu 25mg/ 0,5 ml untuk bobot badan tikus sebesar 300 gram. Pemberian ekstrak akar purwoceng sebanyak 50 mg mampu memperbaiki kinerja reproduksi tikus jantan yaitu meningkatkan kadar hormon

Luteinizing hormone (LH) dan testosteron pada tikus jantan Sprague Dawley

(Taufiqurrahman 1999). Pada penelitian ini larutan stok mengandung 50 mg/ml sehingga jumlah ekstrak purwoceng yang diberikan pada tikus yaitu 0,5 ml untuk bobot badan tikus 300 gram atau setara dengan dosis 83,33 mg/kg BB

Persiapan Hewan Penelitian

(31)

alami dengan mencampurkan tikus betina dan tikus jantan dalam satu kandang dengan rasio 2:1. Salah satu tikus betina tersebut diberi tanda dengan spidol pada bagian badan atau ekor agar tidak tertukar. Deteksi perkawinan dilakukan pada pagi hari dengan cara ulas vagina menggunakan cotton swab dan dioleskan pada gelas objek. perkawinan ditandai dengan adanya spermatozoa dalam ulasan vagina setelah diperiksa di bawah mikroskop dan dicatat sebagai hari pertama kebuntingan. Tikus yang bunting harus dipisahkan dari jantan dan diletakkan pada satu kandang. Tikus yang tidak bunting dikembalikan ke kandang untuk dikawinkan.

Pelaksanaan Penelitian

Delapan ekor tikus betina bunting yang diperoleh dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:

A : 4 ekor tikus bunting yang tidak diberi perlakuan (kontrol)

B : 4 ekor tikus bunting yang diberikan peroral ekstrak purwoceng dengan dosis 83,33 mg/kg BB untuk bobot badan tikus sebesar 300 gram diberikan 1 kali sehari sampai 13 hari kebuntingan.

(32)

17

Gambar 7 Alur penelitian

III.4 Analisis Data

Variabel yang diamati adalah jumlah korpus luteum dan jumlah titik implantasi pada hari ke-13 kebuntingan. Hasil yang diperoleh kemudian dianalisis dengan metode analisis nonparametrik. Nilai keberhasilan implantasi dapat dihitung melalui rasio jumlah titik implantasi dengan jumlah korpus luteum.

Rasio = Titik Implantasi x 100%

∑ Korpus luteum

Tikus bet ina bunt ing Kelompok A

(kont rol)

4 ekor

Tikus jantan dewasa kelamin

Tikus bet ina dewasa kelamin

Kelompok B (perlakuan)

4 ekor

Pengamatan:

Jumlah korpus luteum dan Tit ik Implantasi

Dinekropsi pada hari ke-13 kebunt ingan

(33)

Data hasil penelitian jumlah korpus luteum dan jumlah titik implantasi pada tikus kelompok kontrol dan tikus kelompok perlakuan yang diberi ekstrak etanol purwoceng dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Jumlah korpus luteum, titik implantasi, dan rasionya pada tikus (13 hari kebuntingan )

Tikus

Kontrol Perlakuan Rasio = ∑IT

∑KL x 100%

Korpus luteum

Titik implantasi

Korpus luteum

Titik implantasi

Kontrol Perlakuan

1 9 9 10 10 100 % 100 %

2 12 10 11 10 83.3 % 90.9 %

3 11 9 12 12 81.8 % 100 %

4 8 4 9 7 50 % 77.8 %

(34)
[image:34.595.206.414.84.222.2]

19

Gambar 8 Folikel dan korpus luteum

Pengaruh Ekstrak Etanol Purwoceng Terhadap Korpus Luteum

Korpus luteum adalah sebuah massa dari ovarium yang terbentuk karena ovulasi ovum. Ovulasi merupakan proses terlepasnya sel ovum dari ovarium sebagai akibat pecahnya folikel yang telah masak. Tidak semua folikel mengalami perkembangan menjadi ovum sebagian akan mengalami atresia. Tikus merupakan hewan politokus yang akan mengovulasikan sejumlah ovum. Jumlah korpus luteum menggambarkan jumlah ovum yang berhasil diovulasikan. Tahap pertama pertumbuhan folikel berupa pembesaran ovum, diikuti dengan pertumbuhan lapisan sel-sel granulosa tambahan yang disebut dengan folikel primer. Guyton (1994) menyatakan Pertumbuhan awal folikel primer dirangsang oleh Follicle Stimulating Hormone (FSH). Folikel terus berkembang menjadi folikel sekunder dan folikel De graaf yang dihasilkan di setiap siklus birahi. Folikel- folikel ini berisi estrogen, folikel de Graaf ini akan menghasilkan estrogen dalam jumlah yang banyak dari folikel lainnya. Estrogen mempunyai 2 fungsi dalam pengaturan sekresi gonadotropin (FSH dan LH). Estrogen ini menekan produksi FSH, sehingga hipofisis mengeluarkan hormon LH. Produksi hormon LH maupun FSH berada di bawah pengaruh Releasing Hormones (RH) yang disalurkan hipotalamus ke hipofisis. Penyaluran RH dipengaruhi oleh mekanisme umpan balik estrogen terhadap hipotalamus. Produksi hormon gonadotropin (FSH dan LH) yang baik akan menyebabkan pematangan dari folikel de graaf yang mengandung estrogen. LH yang bekerja pada sel granulosa dan sel teka akan menimbulkan luteinisasi. Luteinisasi adalah suatu proses perubahan sel granulosa

Korpus Luteum

(35)

dan sel teka menjadi sel lutein yang merupakan bagian sel dari korpus luteum (Guyton & Hall 1997).

Folikel yang mengalami ovulasi akan menjadi korpus luteum. Kemudian korpus luteum akan berinvolusi dan akhirnya kehilangan fungsi sekresi juga warna kekuningan menjadi korpus albicans (Guyton & Hall 1997). Pada penelitian yang dilakukan, jumlah korpus luteum perlakuan ekstrak etanol purwoceng pada tikus putih bunting tidak bertambah karena korpus luteum sudah terbentuk sebelum diberikan perlakuan. Tetapi penambahan ekstrak etanol purwoceng diduga dapat menambah estrogen endogen karena kandungan steroid yang ada pada purwoceng tersebut. Steroid adalah prekursor hormon estrogen. Steroid mengisyaratkan otak untuk menghasilkan hormon estrogen yang akan mengatur produksi LH. Fungsi estrogen pada kebuntingan adalah untuk mengawali terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar uterus sehingga dapat mempertebal dinding endometrium sebagai tempat implantasi agar terbentuk lebih banyak titik implantasi. Seperti yang telah dijelaskan oleh Toelihere (1985) estrogen dapat merangsang pertumbuhan uterus dengam mempertebal dinding endometrium dan miometrium, merangsang kontraktil uterus, merangsang peningkatan pertumbuhan epithelium vagina, merangsang estrus, merangsang perkembangan duktus kelenjar ambing dan mempengaruhi perkembangan alat kelamin sekunder. Jika pemberian ekstrak etanol purwoceng dilakukan sebelum kebuntingan (praimplantasi) tikus, kemungkinan akan terjadi penambahan kadar estrogen yang signifikan dan memperbesar ukuran folikel sehingga menambah jumlah hormon estrogen.

(36)

21

bisa berikatan dengan reseptor estrogen (Tsorounis 2004). Molekul-molekul fitoestrogen dapat menempati reseptor estrogen (Anggraini 2008). Berbagai hasil penelitian meunjukan bahwa fitoestrogen dapat mengurangi menopause, memperbaiki lemak dalam plasma, menghambat perkembangan arterosklerosis, serta menghambat pertumbuhan sel tumor pada payudara dan endometrium (Hidayati 2003).

Menurut Markham (1988) flavonoid adalah senyawa polar sehingga dapat larut dalam pelarut polar seperti etanol, metanol, aseton, dimetil sulfoksida (DMSO), dimetil fontamida (DMF), dan air. Senyawa flavonoid terbukti mempunyai efek hormonal, khususnya efek estrogenik. Efek estrogenik ini terkait dengan struktur flavonoid yang dapat ditransformasi menjadi molekul. Molekul-molekul ini mempunyai struktur mirip hormon estrogen dan diduga dapat menduduki reseptor estrogen. Reseptor dari hormon estrogen terdapat di dalam sitoplasma sel dan jaringan dari organ uterus, hipofisa pars anterior, kelenjar ambing, dan jaringan organ reproduksi lainnya.

Estrogen mempunyai 2 jenis reseptor yaitu reseptor estrogen alfa (REα) dan

reseptor estrogen beta (REβ). Reseptor α terdapat pada organ uterus, testis,

(37)

Toelihere (1985) menjelaskan bahwa korpus luteum merupakan penghasil hormon progesteron terbesar bersama plasenta. Terbentuknya korpus luteum diinduksi dengan adanya peningkatan kadar luteinizing hormone (LH) di dalam tubuh. Hormon LH akan mengubah struktur sel teka dan granulosa untuk menghasilkan progesteron. Peningkatan korpus luteum pada awal kebuntingan diperlukan untuk meningkatkan produksi progesteron dalam menjaga kebuntingan. Progesteron mempunyai peranan penting dalam memelihara kebuntingan. Konsentrasi progesteron dalam serum induk sangat berpengaruh terhadap kematian fetus dalam uterus (Refsal et al.1991). Apabila hormon progesteron ini tidak cukup akan menyebabkan kontraksi uterus secara terus menerus yang menyebabkan kegagalan implantasi embrio sehingga terjadi aborsi (Arkaraviehin & Kendle 1990). Korpus luteum pada tikus tidak hanya memproduksi progesteron tapi juga memproduksi hormon estrogen, androgen, dan hampir semua hormon steroid yang aktif (Khan et al. 1985).

Pengaruh Ekstrak Etanol Purwoceng Terhadap Titik Implantasi

(38)
[image:38.595.117.488.85.312.2]

23

Gambar 9 Alur ovulasi sampai terjadinya implantasi (Sumber: Haibin & Sudhansu 2006)

(39)

kelenjar dan sekresinya ke uterus. Sekresi ini akan membentuk cairan uterus dikenal dengan istilah susu uterus. Cairan uterus ini akan mempengaruhi perkembangan blastula hingga menjadi fetus (Miller & Zhang 1984). Cairan ini akan menjadi nutrisi bagi ovum dimulai dari proses pematangan sampai terimplantasi pada uterus (Guyton 1994). Dengan kata lain Progesteron bisa mempertahankan kebuntingan dengan menciptakan lingkungan endometrial yang sesuai untuk kelanjutan hidup dan perkembangan embrio (Toelihere 1985).

Rasio antara jumlah titik implantasi terhadap jumlah korpus luteum pada tikus bunting menunjukkan tingkat keberhasilan embrio untuk hidup. Semakin tinggi nilai rasio antara jumlah titik implantasi terhadap jumlah korpus luteum maka keberhasilan terbentuknya embrio semakin tinggi. Hunter (1995) mengatakan implantasi dan plasentasi terwujud dalam berbagai bentuk, tetapi status hormon induk sangat penting dalam menentukan berlangsungnya implantasi. Jumlah titik implantasi sesuai dengan kapasitas uterus yang berkaitan dengan panjang uterus. Keberhasilan implantasi adalah kemampuan induk dalam mempertahankan implantasi. Keberhasilan implantasi ditandai dengan banyaknya jumlah titik implantasi yang terdapat di sepanjang uterus bagian kanan dan kiri. Purwoceng yang diduga bersifat estrogenik dapat diharapkan untuk meningkatkan tingkat keberhasilan implantasi dengan kandungan zat aktifnya yang berupa flavanoid, alkaloid, sterol. Zat-zat ini diduga membantu estrogen endogen dengan cara menempati reseptor estrogen dan mempengaruhi kerjanya terhadap dinding uterus dalam masa proliferasi.

(40)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pemberian ekstrak etanol purwoceng dengan dosis 83,33 mg/kg BB bisa meningkatkan rasio jumlah titik implantasi terhadap korpus luteum yang berarti dapat meningkatkan keberhasilan implantasi.

Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang batas dosis optimum terhadap efektivitas pemberian ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) tehadap keberhasilan implantasi pada tikus putih (Rattus sp).

(41)

DAFTAR PUSTAKA

Ajijah N, Darwati I, Yudiwanti, Roostika I. 2010. Pengaruh suhu inkubasi terhadap pertumbuhan dan perkembangan embrio somatik purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.). J Litri 16: 56-63.

Anggraini W. 2008. Fitoestrogen sebagai alternative alami terapi sulih hormon untuk pengobatan osteoporosis primer pada wanita pascamenopouse. M. I. Kedokteran Gigi. 23(1): 27, 29.

Arkaraviehien W, Kendle KE. 1990. Critical progesterone requirement for maintenance of pregnancy in ovariectomized rats. J Reprod Fertil 90:63-70

Azhar S, Khan I, G Gibori. 1989. The influence of estradiol on cholesterol processing by the corpus luteum. Biol Reprod. 40 : 961-971.

[BALITTRO] Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. 2011. Hasil uji fitokimia dari akar purwoceng. Bogor: Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik.

Binkley SA. 1995. Endocrinology. New York: Harper Collins College Pub.

Chart T, Lilford R. 1995. Basic sciences for obstetrics and gynaecology. Springer. Hlm 18. [terhubung berkala]. http://books.google.com/books%3Fid% 3DMsPsw4ejMxwC%26pg%3DPA18&usg=ALkJrhhpCgkagAQhmTGXS6 HR4R-FnLkg#v=onepage&q&f=false [21 juli 2011].

Endjo D, Hernami. 2004. Gulma Berkhasiat Obat. Jakarta: Penebar Swadaya.

Guyton AC. 1994. Fisiologi Kedokteran. Ed. ke-7. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Guyton AC, Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-9. Setiawan, Tengadi, Santoso, penerjemah; Setiawan, editor. Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Textbook of Medical Phisiology.

Haibin W & Sudhansu KD. 2006. Roadmap to embryo implantation: clues from mouse models. Nature Reviews Genetics. 7:185-199

Hafez ESE. 2000. Reproduction in Farm Animals. Ed ke-7. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins.

Harkness JE, Wagner JE. 1989. The Biology and Medecine of Rabbits and Rodent.

Philadelphia: Lea and Febiger.

(42)

27

Hidayati. 2003. Peran isoflavon untuk kesehatan reproduksi wanita. Cermin dunia kedokteran 139.

Hunter RHF. 1995. Fisiologi dan Teknologi Reproduksi Hewan Betina Domestik. DK Harya Putra, penerjemah. Bandung: ITB Pr.

Johnson MH, Everitt BJ. 1984. Essential Reproduction. Ed ke-2. Blackwell Scientific Pub.

Khan I, A Belanger, Chen YDI, G Gibori. 1985. Influence of HDL on estradiol stimulation of luteal steroidogenesis. Biol Reprod. 32: 96-104.

Malole MBM, Pramono CSU. 1989. Penggunaan Hewan-hewan Percobaan di Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Bogor: IPB Pr.

Markham. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Bandung: ITB pr.

Miller BG, Zhang X. 1984. Protein secreted by the endometrium of the ewe during pregnancy. in: Reproduction in Sheep. Lindsay, D.R and D.T Piearce (Edit). Cambridge Univ. Press. Cambridge p. 134-136.

Partodiharjo S. 1987. Ilmu Reproduksi Hewan. Jakarta: Mutiara Jakarta.

Partodiharjo S. 1992. Ilmu Reproduksi Hewan. Ed. Ke-3. Jakarta: Mutiara Sumber Widya.

Pulungan MY. 2008. Keragaan karakter purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk,) hasil induksi mutasi sinar gamma di tiga lokasi [skripsi]. Bogor. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Rahardjo M, Wahyuni S, Trisilawati O, Djauhariya E. 2006. Ciri agronomis, mutu dan lingkungan tumbuh tanaman obat langka purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk). Di dalam: Supriadi, M. Januwati, R. Balfas, N. Bermawie, M. Rahardjo, Editor. Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia XXVIII; Bogor, 15 – 16 September 2005. Bogor: Balittro-POKJANAS TOI-Dir. Tanaman Sayuran dan Biofarmaka. hlm 62-71.

Refsal KR, JV Marteniuk, CSF Williams, RF Nachreiner. 1991. Cosentration of estrone sulfate in peripheral serum of pregnant goats : relationsips with gestation length, fetal number and the occurance of the fetal death i utero.

Theriogenology 36: 449-461.

Satyaningtyas AS, Isdoni. 1995. Hubungan antara Jumlah Korpus Luteum dengan Kadar Progesteron dalam Serum saat Siklus Birahi pada Domba LokalPpeternakan Ekor Kurus. Bogor: Media Peternakan (20).

(43)

Sellman S. 1996. Hormone Heresy. Nexus Magazine Supl 3.

Smith JB, Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: UI Pr.

Susanti L. 2001. Khasiat ekstrak etanol buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) sebagai antibakteri terhadap Pseudomonas aeruginosa. J Kimia dan Tekno. 2 (5):67-72.

Taufiqqurrachman. 1999. Pengaruh ekstrak purwoceng (Pimpinella alpina Molk) dan akar pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack.) terhadap peningkatan kadar testosteron, LH, dan FSH serta perbedaan peningkatannya pada tikus jantan Spragul Dawley [Tesis]. Semarang: Program pascasarjana, Universitas Diponegoro.

Tjitrosoepomo G. 1994. Taksonomi Tumbuhan Obat-obatan. Yogyakarta: UGM Pr.

Toelihere MR. 1985. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Bandung: Penerbit Angkasa.

Tsourounis C. 2004. Clinical effects of fitoestrogens. Clin Obst Gynecol 44:836-842.

Turner CD, Bagnara JT. 1988. Endokrinologi Umum. Ed ke-6. Surabaya: Unair Pr.

Wahyuni S. 2010. Evaluasi karakter morfologi purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) generasi M2 hasil induksi mutasi sinar gamma di Cicurug dan Cibadak [skripsi]. Bogor. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Weihe WH. 1989. The Laboratory Rat. In the UFAW Hand Book on the Care and Management of laboratory Animals 6th. TB Poole, Robinson, editor. Terjemahan dari: Longman Scientific & Technical. England: Bath Pr.

(44)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang sangat besar, bahkan menempati urutan ke tiga terbesar di dunia. Hutan tropika Indonesia ditumbuhi sekitar 30.000 spesies tumbuhan berbunga dan diperkirakan sekitar 3.689 spesies di antaranya merupakan tumbuhan obat (Endjo & Hernami 2004). Berbagai macam tumbuhan yang ada di hutan tropika Indonesia belum dapat dimanfaatkan secara optimal untuk pengobatan. Di pedesaan sudah menjadi tradisi dalam memanfaatkan obat-obatan yang diolah secara tradisional. Obat tradisional yang biasa dibuat dari batang, rimpang, buah, daun, dan bunga tanaman . Obat tradisional ini digunakan berdasarkan pada pengalaman secara turun temurun, namun kebanyakan belum memberikan pembuktian dasar ilmiah. Purwoceng (Pimpinella alpina) merupakan tanaman obat asli Indonesia endemik dataran tinggi. Habitat alami purwoceng berada pada ketinggian 1.800 – 3.500 m dari permukaan laut (Heyne 1987). Daerah pengembangan budidaya purwoceng saat ini hanya di Dataran Tinggi Dieng dengan luasan terbatas, pada ketinggian 1.850-2.050 m dari permukaan laut, dan suhu antara 15–21°C (Rahardjo et al. 2006).

(45)

I.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pemberian ekstrak purwoceng pada jumlah titik implantasi dan korpus luteum pada tikus putih bunting, serta rasio dari jumlah titik implantasi terhadap korpus luteum yang digunakan sebagai indikator keberhasilan implantasi

I.3 Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan informasi pengaruh pemberian ekstrak etanol purwoceng yang diberikan selama 13 hari kebuntingan dimulai hari 1 sampai dengan hari ke-13 terhadap keberhasilan implantasi tikus bunting Sprague Dawley. Data yang diperoleh diharapkan bisa dimanfaat sebagai acuan referensi penelitian dalam bidang kedokteran khususnya dibidang reproduksi pada hewan politokus lainnya.

I.4 Hipotesis

(46)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Purwoceng [image:46.595.106.487.183.665.2]

Purwoceng yang memiliki nama latin Pimpinella alpina diklasifikasikan dalam famili Umbelliferae. Famili Umbelliferae umumnya berupa terna yaitu tumbuhan yang berbatang lunak karena tidak membentuk kayu. Tumbuhan ini berukuran kecil dan merambat di tanah, daunnya tunggal atau majemuk tanpa daun penumpu. Bunga tersusun sebagai bunga payung, banci, aktimorf, dan berbilangan 4 atau 5. Kelopak bunganya kecil, daun mahkota bebas, dan benang sari dalam satu lingkaran berhadapan dengan daun-daun kelopaknya. Bakal buah beruang dua dan tiap ruang terdiri dari satu atau dua bakal biji yang kebanyakan hanya mempunyai satu integumen (Tjitrosoepomo 1994).

Gambar 1 Tanaman Purwoceng (Sumber: Pulungan 2008)

(47)

Akarnya merupakan akar tunggang berwarna putih kotor (Pulungan 2008). Purwoceng ditanam dengan biji. Di habitatnya akan berkecambah setelah berumur satu bulan, berbunga antara bulan ke-5 sampai bulan ke-6 dan dapat dipanen pada umur 7 - 8 bulan (Yuhono 2004).

Purwoceng mengandung sterol, furanokumarin bergapten, isobergapten, dan sphondin. Senyawa-senyawa aktif itu banyak terdapat di batang dan akar. Senyawa sterol akan dikonversi menjadi testosteron di dalam tubuh. Sedangkan senyawa aktif lain merangsang susunan saraf pusat untuk memproduksi

Luteinizing Hormone (LH). Banyak orang sudah membuktikan khasiat purwoceng sebagai obat penghilang sakit, penurun panas, anti fungi, dan anti bakteri (Ajijah

et al. 2010). Zat aktif yang terkandung di dalam purwoceng telah dianalisis melalui uji fitokimia purwoceng di Balittro (2011) dengan hasil pada Tabel 2.

Tabel 1 Hasil uji fitokimia purwoceng

No Zat aktif Hasil uji

1 Alkaloid +++

2 Saponin -

3 Tanin +

4 Fenolik -

5 Flavonoid +++

6 Triterpenoid +

7 Steroid +

8 Glikosida +

Ket : - (Negatif), + (Positif lemah), ++ (Positif) , +++ (Positif kuat) (Sumber: Balitro 2011)

II.2 Biologi Tikus

Tikus merupakan salah satu hewan mamalia yang mempunyai peranan penting untuk tujuan ilmiah, karena memiliki daya adaptasi yang baik. Tikus memiliki beberapa galur yang merupakan hasil persilangan sesama jenis. Galur yang sering digunakan untuk penelitian adalah galur Wistar, Long-Evans dan

(48)

5

dari tubuhnya. Tikus yang banyak digunakan sebagai hewan percobaan adalah tikus putih (Rattus norvegicus). Hewan percobaan ini memiliki beberapa keunggulan yaitu penanganan dan pemeliharaannya mudah, umur relatif pendek, sifat reproduksi menyerupai mamalia besar, lama kebuntingan singkat, angka kelahiran tinggi, siklus estrus pendek dan karakteristik setiap fase siklus jelas (Malole & Pramono 1989). Tikus sebagai hewan laboratorium banyak digunakan dalam penelitian dan percobaan antara lain untuk mempelajari pengaruh obat-obatan, toksisitas, metabolisme, embriologi, teratologi, onkologi, hematologi, nutrisi, maupun dalam mempelajari tingkah laku.

Gambar 2 Rattus sp.

(49)
[image:49.595.111.518.176.467.2]

Cara mengetahui telah terjadinya perkawinan tikus dengan memperhatikan adanya massa putih yang menyumbat vagina (vaginal plug) atau melalukan papsmer pada vagina untuk memeriksa adanya spermatozoa menggunakan mikroskop.

Tabel 2 Data biologi tikus putih

Kriteria Nilai

Berat lahir 5-6 gr

Berat badan

Jantan 300-400 gr Betina 250-300 gr

Lama hidup 2-3 tahun

Konsumsi makanan perhari 10 gr/ 100 gr BB Konsumsi air minum tikus dewasa 20-45 ml/ hari Umur pubertas (betina) 50-60 hari Umur saat dikawinkan

Jantan 8-9 minggu Betina 8-9 minggu Lama siklus estrus 4-5 hari

Lama estrus 9-10 jam

Lama kebuntingan 20-22 hari Jumlah anak per kelahiran 6-12 ekor anak

Umur disapih 21 hari

Berat lepas sapih 20-30 gr (Sumber: Smith & Mangkoewidjojo 1988)

Siklus estrus dikendalikan oleh hormon gonadotropin Folicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH) yang dihasilkan oleh hipofisis anterior, serta hormon steroid seks (estrogen dan progesteron) dihasilkan oleh ovarium. Pengaturannya berlangsung melalui poros hipotalamus-hipofisis-ovarium (Binkley 1995).

Kebuntingan pada Tikus

(50)

7

1997). Transpor ini dipengaruhi oleh arus cairan lemah di dalam tuba akibat sekresi epitel ditambah kerja epitel bersilia yang melapisi tuba. Tuba falopii berkontraksi secara spastik selama 3 hari pertama setelah ovulasi dan pada waktu yang bersamaan terjadi peningkatan progesteron yang disekresikan oleh korpus luteum. Ovum akan mengalami pembelahan dan membentuk sel bola padat yang disebut blastomer tanpa terjadi perubahan massa (Guyton & Hall 1997). Blastomer membelah dan membentuk kelompok besar yang disebut morula (Hunter 1995). Sel-sel morula kemudian membentuk bola berongga berisi cairan kental yang disebut blastokista (Chart & Lilford 1995). Blastokista yang sedang berkembang akan tetap tinggal di uterus selama 1 sampai 3 hari sebelum berimplantasi dalam endometrium.

[image:50.595.104.497.87.701.2]

Gambar 3 Embrio pada uterus

Implantasi merupakan interaksi langsung yang kompleks antara embrio trofoblast dengan jaringan maternal uterus yang mengalami perubahan terus- menerus. Implantasi terjadi pada hari ke- 5 dan ke- 6 masa kebuntingan dan selesai pada hari ke- 7 (Guyton & Hall 1997). Tidak semua ovum yang diovulasikan akan diimplantasikan. Masa implantasi tergantung pada kadar hormon estrogen dan progesteron. Estrogen adalah hormon yang pertama kali bekerja terhadap endometrium sebelum progesteron memulai aksinya. Hormon progesteron mengakibatkan proliferasi endometrium dengan meningkatkan efektivitas kelenjar dan sekresi susu uterus (Hunter 1995). Susu uterus merupakan nutrisi bagi ovum yang sedang membelah sejak proses pematangan ovum dimulai sampai blastosis terimplantasi di uterus (Guyton 1994). Induk tikus yang baru

(51)

melahirkan kemudian melakukan perkawinan, implantasi blastosisnya akan mengalami penundaan selama 2-4 hari. Pada rodensia saat terjadi implantasi menunjukan blastosis bersifat pasif dan endometrium dipengaruhi progesteron (Smith & Mangkoewidjojo 1988).

II.3 Organ Reproduksi Ovarium

[image:51.595.103.509.83.805.2]

Organ reproduksi betina terdiri atas organ reproduksi primer dan sekunder. Organ reproduksi primer terdiri dari ovarium sedangkan organ reproduksi sekunder terdiri atas tuba falopii, uterus, serviks, vagina. Ovarium menghasilkan sel telur dan hormon kelamin betina. Ovarium mengandung oosit dalam jumlah banyak namun hanya sedikit dari jumlah oosit tersebut yang dimatangkan dan diovulasikan selama masa reproduktif. Organ reproduksi sekunder berfungsi menerima dan menyalurkan sel-sel kelamin jantan dan betina, memberi makan dan melahirkan individu baru (Toelihere 1985). Ovarium pada mamalia memiliki sepasang organ yang mensekresikan progesteron, estrogen, prostaglandin, relaksin dan oksitosin. Ovarium terletak pada rongga abdomen dan permukaan ovariumnya dibungkus oleh satu lapisan epitel dan digantung oleh mesovarium (Hafez 2000).

Gambar 4 Ovarium Tikus

(52)

9

folikel yaitu folikel primer, folikel sekunder dan folikel de Graaf (Hafez 2000). Morfologi folikel sebelum masa pubertas hanya terlihat sebagai foliker primer. Pada usia dewasa kelamin, folikel primer akan berkembang menjadi folikel sekunder dan folikel de Graaf yang akan mengalami ovulasi sehingga terbentuk korpus luteum dan folikel atresia.

FSH dan LH yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisa anterior akan merangsang sel target ovarium dengan berkombinasi pada reseptor FSH dan LH yang sangat spesifik pada membran sel sehingga ovarium dapat berfungsi. Reseptor yang diaktifkan akan meningkatkan laju kecepatan sekresi sel-sel target dan pertumbuhan proliferasi sel (Guyton 1994). FSH berfungsi dalam perangsangan dan pematangan folikel de Graaf kemudian bersama LH akan merangsang pembentukan dan sekresi estrogen. Estrogen yang dihasilkan folikel akan merangsang sekresi LH. Sekresi LH yang terjadi secara cepat dengan konsentrasi tinggi akan menyebabkan terjadinya ovulasi (Johnson & Everitt 1984). Ovulasi adalah pelepasan sel telur (ovum) dari folikel sel de Graaf (Partodiharjo 1987). Folikel yang pecah tadi nantinya akan membentuk korpus rubrum. Perkembangan dari korpus rubrum ini akan membentuk korpus luteum jika terjadi fertilisasi pada endometrium dan akan membentuk korpus albikans jika tidak terjadi pembuahan pada ovum.

Korpus Luteum

(53)

Korpus luteum berperan dalam menjaga ketebalan endometrium dengan cara memproduksi hormon progesteron. Proses ini dikenal dengan fase sekresi dari endometrium. Jika terbentuk korpus albikans, maka hormon progesteron tidak akan terbentuk dan dinding endometrium tidak menebal. Korpus luteum akan tetap terpelihara selama kebuntingan untuk selalu mensekresi progesteron karena adanya estrogen. Estrogen dalam masa kebuntingan berperan dalam memelihara korpus luteum agar tetap mensekresikan progesteron. Estrogen bekerja dengan cara merangsang biosintesis kolesterol agar tetap tersedia kolesterol bebas yang akan digunakan oleh korpus luteum agar terbentuk hormon progesteron (Azhar et al. 1989). Jumlah korpus luteum merupakan faktor penting dalam menentukan kadar progesteron dalam serum induk. Penelitian yang dilakukan Satyaningtijas & Isdoni (1995) melaporkan adanya korelasi antara jumlah korpus luteum dengan kadar progesteron pada domba lokal peranakan ekor kurus. Peningkatan progesteron dengan peningkatan jumlah korpus luteum menjadi signal biologis untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan uterus dalam mempersiapkan lingkungan yang cocok untuk implantasi dan pertumbuhan serta perkembangan embrio .

II.3 Hormon hormon

(54)

11

estrogen dan progesteron. Hormon ini diperlukan untuk proses kebuntingan maupun fetus (Hafez 2000).

Estrogen

Estrogen adalah hormon yang bisa menimbulkan birahi atau estrus pada hewan betina (Toelihare 1985). Hormon steroid alamiah ini dihasilkan oleh sel teka interna folikel de Graaf dari ovarium. Estrogen juga dapat dihasilkan oleh jaringan tubuh lainnya seperti testis, kelenjar adrenal, dan plasenta (Guyton 1994). Sekresi estrogen dalam jumlah besar terjadi pada ovarium betina normal yang tidak bunting dan sekresi dalam jumlah kecil pada korteks adrenal. Tapi pada saat bunting plasenta mensekresikan estrogen dalam jumlah besar (Guyton 1994). Selama masa kebuntingan plasenta menjadi sumber penghasil estrogen utama pada mamalia (Tunner & Bagnara 1988). Ada tiga jenis estrogen yang dihasilkan mamalia, yaitu beta estradiol, estrone, dan estriol. Secara biologis, estradiol adalah yang paling aktif. Menurut Guyton (1994) beta estradiol merupakan estrogen utama yang dihasilkan oleh sel teka interna folikel de Graaf.

Gambar 5 Struktur estrogen (Sumber: Guyton & Hall 1997)

Sekresi estrogen dikeluarkan lewat urin dan empedu setelah bergabung dengan asam glukoronat atau asam sulfat sehingga hasil metabolisme estrogen dan estradiol dapat diidentifikasi dan disiolasi lewat urin (Turner & Bagnara 1988). Menurut Sellman (1996) kelebihan estrogen dapat menyebabkan percepatan proses penuaan, alergi, penurunan kemampuan kelamin, depresi, kelelahan, osteoporosis, kanker rahim, disfungsi tiroid, dan pembentukan jaringan ikat pada uterus.

(55)

meningkatkan kecepatan sintesis protein. Estradiol merupakan hormon estrogen primer yang disintesa dari androstenedion didalam stroma ovarium, folikel dan ovarium. Sebagai estrogen primer estradiol memiliki potensi lebih kuat dari estron dan estriol. Estradiol juga berperan untuk rnemelihara korpus luteum agar tetap mensekresikan progesteron. Kehadiran estradiol di korpus luteum sesuai dengan fungsinya, yaitu untuk merangsang biosintesis kolesterol, mengatur aktivitas asilCoA: kolesterol asiltranferase (ACAT) agar tersedia kolesterol bebas untuk pembentukan hormon steroid progesteron (Azhar et al. 1989). Hormon estrogen juga berperan dalam pertumbuhan dan pematangan tulang. Efek estrogen terjadi pada modifikasi kerangka hewan tikus, yaitu penambahan tulang mengikuti pertumbuhan epifise pada anak- anak (Turner & Bagnara 1988).

Progesteron

Progesteron merupakan hormon steroid yang berasal dari kolesterol. Prgesteron memiliki memiliki 21 atom karbon, dua diantaranya terdapat rantai samping C-17. 3β-hidroksisteroid dehidrogenasi mengubah pregnanolon menjadi progesteron. Selama proses sintesis steroid seks, progesteron disintesis dan sebagian besar diubah menjadi estrogen (Guyton 1994). Progesteron dalam jumlah besar disekresikan oleh sel-sel lutein korpus luteum dan plasenta (Toelihaere 1985). Pada wanita progesteron disekresikan oleh korpus luteum dalam jumlah besar selama separuh akhir dari setiap siklus ovarium. Selama separuh pertama siklus ovarium, progesteron di dalam plasma hanya sedikit sedangkan pada masa kehamilan progesteron disekresikan dalam jumlah besar oleh plasenta (Guyton 1994).

(56)

13

(57)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III.1 Waktu dan Tempat

Penelitian mulai dilakukan pada bulan Desember 2010 sampai bulan Maret 2011 di kandang percobaan Fakultas Kedokteran Hewan ,Institut Pertanian Bogor. Pengamatan dan pengukuran terhadap organ reproduksi betina dilakukan di laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

III.2 Bahan dan Alat

Hewan yang digunakan pada penelitian ini yaitu tikus putih (Rattus sp.) galur Sprague Dawley yang terdiri dari tikus betina bunting sebanyak 8 ekor dengan bobot badan sekitar 150-200 gram dan tikus jantan yang berumur 8 bulan sebanyak 4 ekor yang diperoleh dari Animal Facility. Bahan lain yang digunakan yaitu sekam, pakan tikus, larutan fisiologis NaCl 0.9%, metanol, larutan giemsa, eter, akuades, ekstrak akar purwoceng.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu kandang tikus yang terbuat dari plastik, jaring kawat penutup kandang, botol minum tikus, alat bedah minor, erlenmeyer, gelas ukur, corong, blender, kain saring, gelas objek, gelas penutup, mikroskop, kamera digital, pompa vakum, rotary vacuum evaporator (Buchi Rotavapor R-205), chiller, spoit 1 ml, sonde lambung dari stainless steel, oven, wadah porselen, cotton bud, tissue, kapas, kertas label, dan timbangan digital.

III.3 Metode Penelitian

Pembuatan Larutan Ekstrak Akar Purwoceng

(58)

15

zat pelarut selama 24 jam, setiap 2 jam sekali diaduk agar homogen. Kemudian disaring dengan menggunakan kain saring. Hasil ekstrak disimpan di dalam erlenmeyer sedangkan ampasnya direndam kembali dalam 3.5 liter etanol 70% selama 24 jam dan diaduk setiap 2 jam sekali. Setelah itu larutan disaring dan ekstraknya disatukan dengan hasil ekstrak yang pertama di dalam erlenmeyer ukuran 5 liter. Kemudian dilakukan proses evaporasi agar zat pelarut terpisah dengan menggunakan rotary vacum evaporator (rotavapor) Buchi dengan suhu 48oC dengan kecepatan 60 rpm. Selanjutnya ekstrak kering diperoleh dengan menggunakan alat pengering beku (freeze drying). Ekstrak kering disimpan di dalam botol kaca steril dan dilarutkan kembali dengan akuades sesuai dosis saat perlakuan terhadap hewan coba. Jumlah ekstrak kering yang didapatkan dari 350 gram simplisia adalah sejumlah 95 gram. Ekstrak ini kemudian dibuat dalam larutan stok sebesar 5% yaitu 5 gram dalam 100cc akuades.

Penentuan Dosis Ekstrak Purwoceng

Penentuan dosis ekstrak purwoceng pada tikus didasarkan pada penelitian terdahulu (Taufiqurrahman 1999) yaitu 25mg/ 0,5 ml untuk bobot badan tikus sebesar 300 gram. Pemberian ekstrak akar purwoceng sebanyak 50 mg mampu memperbaiki kinerja reproduksi tikus jantan yaitu meningkatkan kadar hormon

Luteinizing hormone (LH) dan testosteron pada tikus jantan Sprague Dawley

(Taufiqurrahman 1999). Pada penelitian ini larutan stok mengandung 50 mg/ml sehingga jumlah ekstrak purwoceng yang diberikan pada tikus yaitu 0,5 ml untuk bobot badan tikus 300 gram atau setara dengan dosis 83,33 mg/kg BB

Persiapan Hewan Penelitian

(59)

alami dengan mencampurkan tikus betina dan tikus jantan dalam satu kandang dengan rasio 2:1. Salah satu tikus betina tersebut diberi tanda dengan spidol pada bagian badan atau ekor agar tidak tertukar. Deteksi perkawinan dilakukan pada pagi hari dengan cara ulas vagina menggunakan cotton swab dan dioleskan pada gelas objek. perkawinan ditandai dengan adanya spermatozoa dalam ulasan vagina setelah diperiksa di bawah mikroskop dan dicatat sebagai hari pertama kebuntingan. Tikus yang bunting harus dipisahkan dari jantan dan diletakkan pada satu kandang. Tikus yang tidak bunting dikembalikan ke kandang untuk dikawinkan.

Pelaksanaan Penelitian

Delapan ekor tikus betina bunting yang diperoleh dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:

A : 4 ekor tikus bunting yang tidak diberi perlakuan (kontrol)

B : 4 ekor tikus bunting yang diberikan peroral ekstrak purwoceng dengan dosis 83,33 mg/kg BB untuk bobot badan tikus sebesar 300 gram diberikan 1 kali sehari sampai 13 hari kebuntingan.

(60)

17

Gambar 7 Alur penelitian

III.4 Analisis Data

Variabel yang diamati adalah jumlah korpus luteum dan jumlah titik implantasi pada hari ke-13 kebuntingan. Hasil yang diperoleh kemudian dianalisis dengan metode analisis nonparametrik. Nilai keberhasilan implantasi dapat dihitung melalui rasio jumlah titik implantasi dengan jumlah korpus luteum.

Rasio = Titik Implantasi x 100%

∑ Korpus luteum

Tikus bet ina bunt ing Kelompok A

(kont rol)

4 ekor

Tikus jantan dewasa kelamin

Tikus bet ina dewasa kelamin

Kelompok B (perlakuan)

4 ekor

Pengamatan:

Jumlah korpus luteum dan Tit ik Implantasi

Dinekropsi pada hari ke-13 kebunt ingan

(61)

Data hasil penelitian jumlah korpus luteum dan jumlah titik implantasi pada tikus kelompok kontrol dan tikus kelompok perlakuan yang diberi ekstrak etanol purwoceng dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Jumlah korpus luteum, titik implantasi, dan rasionya pada tikus (13 hari kebuntingan )

Tikus

Kontrol Perlakuan Rasio = ∑IT

∑KL x 100%

Korpus luteum

Titik implantasi

Korpus luteum

Titik implantasi

Kontrol Perlakuan

1 9 9 10 10 100 % 100 %

2 12 10 11 10 83.3 % 90.9 %

3 11 9 12 12 81.8 % 100 %

4 8 4 9 7 50 % 77.8 %

(62)
[image:62.595.206.414.84.222.2]

19

Gambar 8 Folikel dan korpus luteum

Pengaruh Ekstrak Etanol Purwoceng Terhadap Korpus Luteum

Korpus luteum adalah sebuah massa dari ovarium yang terbentuk karena ovulasi ovum. Ovulasi merupakan proses terlepasnya sel ovum dari ovarium sebagai akibat pecahnya folikel yang telah masak. Tidak semua folikel mengalami perkembangan menjadi ovum sebagian akan mengalami atresia. Tikus merupakan hewan politokus yang akan mengovulasikan sejumlah ovum. Jumlah korpus luteum menggambarkan jumlah ovum yang berhasil diovulasikan. Tahap pertama pertumbuhan folikel berupa pembesaran ovum, diikuti dengan pertumbuhan lapisan sel-sel granulosa tambahan yang disebut dengan folikel primer. Guyton (1994) menyatakan Pertumbuhan awal folikel primer dirangsang oleh Follicle Stimulating Hormone (FSH). Folikel terus berkembang menjadi folikel sekunder dan folikel De graaf yang dihasilkan di setiap siklus birahi. Folikel- folikel ini berisi estrogen, folikel de Graaf ini akan menghasilkan estrogen dalam jumlah yang banyak dari folikel lainnya. Estrogen mempunyai 2 fungsi dalam pengaturan sekresi gonadotropin (FSH dan LH). Estrogen ini menekan produksi FSH, sehingga hipofisis mengeluarkan hormon LH. Produksi hormon LH maupun FSH berada di bawah pengaruh Releasing Hormones (RH) yang disalurkan hipotalamus ke hipofisis. Penyaluran RH dipengaruhi oleh mekanisme umpan balik estrogen terhadap hipotalamus. Produksi hormon gonadotropin (FSH dan LH) yang baik akan menyebabkan pematangan dari folikel de graaf yang mengandung estrogen. LH yang bekerja pada sel granulosa dan sel teka akan menimbulkan luteinisasi. Luteinisasi adalah suatu proses perubahan sel granulosa

Korpus Luteum

(63)

dan sel teka menjadi sel lutein yang merupakan bagian sel dari korpus luteum (Guyton & Hall 1997).

Folikel yang mengalami ovulasi akan menjadi korpus luteum. Kemudian korpus luteum akan berinvolusi dan akhirnya kehilangan fungsi sekresi juga warna kekuningan menjadi korpus albicans (Guyton & Hall 1997). Pada penelitian yang dilakukan, jumlah korpus luteum perlakuan ekstrak etanol purwoceng pada tikus putih bunting tidak bertambah karena korpus luteum sudah terbentuk sebelum diberikan perlakuan. Tetapi penambahan ekstrak etanol purwoceng diduga dapat menambah estrogen endogen karena kandungan steroid yang ada pada purwoceng tersebut. Steroid adalah prekursor hormon estrogen. Steroid mengisyaratkan otak untuk menghasilkan hormon estrogen yang akan mengatur produksi LH. Fungsi estrogen pada kebuntingan adalah untuk mengawali terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar uterus sehingga dapat mempertebal dinding endometrium sebagai tempat implantasi agar terbentuk lebih banyak titik implantasi. Seperti yang telah dijelaskan oleh Toelihere (1985) estrogen dapat merangsang pertumbuhan uterus dengam mempertebal dinding endometrium dan miometrium, merangsang kontraktil uterus, merangsang peningkatan pertumbuhan epithelium vagina, merangsang estrus, merangsang perkembangan duktus kelenjar ambing dan mempengaruhi perkembangan alat kelamin sekunder. Jika pemberian ekstrak etanol purwoceng dilakukan sebelum kebuntingan (praimplantasi) tikus, kemungkinan akan terjadi penambahan kadar estrogen yang signifikan dan memperbesar ukuran folikel sehingga menambah jumlah hormon estrogen.

(64)

21

bisa berikatan dengan reseptor estrogen (Tsorounis 2004). Molekul-molekul fitoestrogen dapat menempati reseptor estrogen (Anggraini 2008). Berbagai hasil penelitian meunjukan bahwa fitoestrogen dapat mengurangi menopause, memperbaiki lemak dalam plasma, menghambat perkembangan arterosklerosis, serta menghambat pertumbuhan sel tumor pada payudara dan endometrium (Hidayati 2003).

Menurut Markham (1988) flavonoid adalah senyawa polar sehingga dapat larut dalam pelarut polar seperti etanol, metanol, aseton, dimetil sulfoksida (DMSO), dimetil fontamida (DMF), dan air. Senyawa flavonoid terbukti mempunyai efek hormonal, khususnya efek estrogenik. Efek estrogenik ini terkait dengan struktur f

Gambar

Gambar 1 Tanaman Purwoceng (Sumber: Pulungan 2008)
Tabel 2 Data biologi tikus putih
Gambar 3 Embrio pada uterus
Gambar 4 Ovarium Tikus
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penelitian terdahulu, purwoceng yang diberikan pada induk tikus betina yang bunting pada hari kebuntingan yang berbeda yaitu selama 1-13 hari kebuntingan

Ekstrak akar purwoceng (Pimpinella alpina KDS) yang diberikan pada induk bunting secara oral setiap hari selama 1-13 hari masa kebuntingan dapat mempercepat

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat peran ekstrak akar purwoceng yang diberikan pada induk bunting selama 1 sampai 13 hari terhadap bobot badan dan

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Efektivitas Pemberian Ekstrak Etanol Purwoceng ( Pimpinella alpina KDS) Selama 21 Hari Laktasi terhadap Bobot Badan Anak Tikus

Pada kontrol positif dan purwoceng pasar menunjukkan tidak beda secara nyata berarti purwoceng pasar mempunyai efek yang sama terhadap motilitas spermatozoa tikus

UJI EFEKTIVITAS EKSTRAK ETANOL PURWOCENG ( Pimpinella pruatjan Molk ) TERHADAP PENURUNAN KADAR GULA DARAH TIKUS PUTIH YANG DIINDUKSI

Pemberian ekstrak etanol akar purwoceng (Pimpinella alpina) selama 1-13 hari kebuntingan memberikan peningkatan terhadap perkembangan tulang kepala anak tikus pada hari ke-42,

Pemberian ekstrak etanol purwoceng selama 13 hari kebuntingan pada tikus putih yang sedang bunting menunjukkan bahwa rata-rata bobot ovarium dan uterus cenderung lebih