• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA II.1 Purwoceng

II.3 Organ Reproduksi Ovarium

Organ reproduksi betina terdiri atas organ reproduksi primer dan sekunder. Organ reproduksi primer terdiri dari ovarium sedangkan organ reproduksi sekunder terdiri atas tuba falopii, uterus, serviks, vagina. Ovarium menghasilkan sel telur dan hormon kelamin betina. Ovarium mengandung oosit dalam jumlah banyak namun hanya sedikit dari jumlah oosit tersebut yang dimatangkan dan diovulasikan selama masa reproduktif. Organ reproduksi sekunder berfungsi menerima dan menyalurkan sel-sel kelamin jantan dan betina, memberi makan dan melahirkan individu baru (Toelihere 1985). Ovarium pada mamalia memiliki sepasang organ yang mensekresikan progesteron, estrogen, prostaglandin, relaksin dan oksitosin. Ovarium terletak pada rongga abdomen dan permukaan ovariumnya dibungkus oleh satu lapisan epitel dan digantung oleh mesovarium (Hafez 2000).

Gambar 4 Ovarium Tikus

Ovarium terbagi atas medula dan korteks. Bagian korteks menjadi tempat pembentukan folikel primer, sekunder, de Graaf dan korpus luteum serta tempat terbentuknya hormon-hormon reproduksi. Ukuran ovarium sangat tergantung pada umur dan status reproduksi. Pada ovarium dewasa ditemukan beberapa

9

folikel yaitu folikel primer, folikel sekunder dan folikel de Graaf (Hafez 2000). Morfologi folikel sebelum masa pubertas hanya terlihat sebagai foliker primer. Pada usia dewasa kelamin, folikel primer akan berkembang menjadi folikel sekunder dan folikel de Graaf yang akan mengalami ovulasi sehingga terbentuk korpus luteum dan folikel atresia.

FSH dan LH yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisa anterior akan merangsang sel target ovarium dengan berkombinasi pada reseptor FSH dan LH yang sangat spesifik pada membran sel sehingga ovarium dapat berfungsi. Reseptor yang diaktifkan akan meningkatkan laju kecepatan sekresi sel-sel target dan pertumbuhan proliferasi sel (Guyton 1994). FSH berfungsi dalam perangsangan dan pematangan folikel de Graaf kemudian bersama LH akan merangsang pembentukan dan sekresi estrogen. Estrogen yang dihasilkan folikel akan merangsang sekresi LH. Sekresi LH yang terjadi secara cepat dengan konsentrasi tinggi akan menyebabkan terjadinya ovulasi (Johnson & Everitt 1984). Ovulasi adalah pelepasan sel telur (ovum) dari folikel sel de Graaf (Partodiharjo 1987). Folikel yang pecah tadi nantinya akan membentuk korpus rubrum. Perkembangan dari korpus rubrum ini akan membentuk korpus luteum jika terjadi fertilisasi pada endometrium dan akan membentuk korpus albikans jika tidak terjadi pembuahan pada ovum.

Korpus Luteum

Korpus luteum adalah bagian dari ovarium yang berasal dari ruptura folikel pada saat ovulasi. Jumlah korpus luteum yang terbentuk bergantung kepada jumlah telur yang diovulasi. Menurut Guyton (1994) korpus luteum merupakan organ yang dapat menghasilkan estrogen dalam jumlah lebih sedikit dan progesteron dalam jumlah banyak pada fase luteal. Korpus luteum mempunyai efek umpan balik negatif yang kuat terhadap kelenjar hipofisa anterior untuk mengurangi sekresi LH dan FSH. Sel luteal akan mensekresikan inhibin dalam jumlah cukup banyak sehingga kadar LH dan FSH dalam darah jadi rendah. Keadaan ini menyebabkan korpus luteum mengalami degenerasi menyeluruh yang disebut deengan involusi korpus luteum.

Korpus luteum berperan dalam menjaga ketebalan endometrium dengan cara memproduksi hormon progesteron. Proses ini dikenal dengan fase sekresi dari endometrium. Jika terbentuk korpus albikans, maka hormon progesteron tidak akan terbentuk dan dinding endometrium tidak menebal. Korpus luteum akan tetap terpelihara selama kebuntingan untuk selalu mensekresi progesteron karena adanya estrogen. Estrogen dalam masa kebuntingan berperan dalam memelihara korpus luteum agar tetap mensekresikan progesteron. Estrogen bekerja dengan cara merangsang biosintesis kolesterol agar tetap tersedia kolesterol bebas yang akan digunakan oleh korpus luteum agar terbentuk hormon progesteron (Azhar et al. 1989). Jumlah korpus luteum merupakan faktor penting dalam menentukan kadar progesteron dalam serum induk. Penelitian yang dilakukan Satyaningtijas & Isdoni (1995) melaporkan adanya korelasi antara jumlah korpus luteum dengan kadar progesteron pada domba lokal peranakan ekor kurus. Peningkatan progesteron dengan peningkatan jumlah korpus luteum menjadi signal biologis untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan uterus dalam mempersiapkan lingkungan yang cocok untuk implantasi dan pertumbuhan serta perkembangan embrio .

II.3 Hormon hormon

Fungsi utama ovarium adalah memproduksi ova dan membuat hormon rerpoduksi. Hormon yang diproduksi oleh ovarium adalah hormon yang termasuk kelompok steroid, seperti estrogen, progesteron, androgen dan hormon non steroid (peptida) yaitu relaksin (Binkley 1995). Prekursor hormon steroid adalah kolesterol. Hormon steroid menimbulkan respon terhadap aktivitas reproduksi seperti sifat seksual sekunder, perilaku persiapan kawin, mempersiapkan uterus untuk implantasi blastosit, menyiapkan perkembangan kelenjar susu untuk memproduksi susu, dan mengatur kontraksi uterus pada saat kelahiran (Hafez 2000). Peranan hormon-hormon reproduksi sangat penting dalam hal perkembangan organ kelamin, inisiasi, dan regulasi siklus birahi, ovulasi, fertilisasi, kebuntingan, inisiasi kelahiran, dan laktasi. Hormon reproduksi yang memberikan pengaruh sangat besar terhadap proses-proses produksi adalah

11

estrogen dan progesteron. Hormon ini diperlukan untuk proses kebuntingan maupun fetus (Hafez 2000).

Estrogen

Estrogen adalah hormon yang bisa menimbulkan birahi atau estrus pada hewan betina (Toelihare 1985). Hormon steroid alamiah ini dihasilkan oleh sel teka interna folikel de Graaf dari ovarium. Estrogen juga dapat dihasilkan oleh jaringan tubuh lainnya seperti testis, kelenjar adrenal, dan plasenta (Guyton 1994). Sekresi estrogen dalam jumlah besar terjadi pada ovarium betina normal yang tidak bunting dan sekresi dalam jumlah kecil pada korteks adrenal. Tapi pada saat bunting plasenta mensekresikan estrogen dalam jumlah besar (Guyton 1994). Selama masa kebuntingan plasenta menjadi sumber penghasil estrogen utama pada mamalia (Tunner & Bagnara 1988). Ada tiga jenis estrogen yang dihasilkan mamalia, yaitu beta estradiol, estrone, dan estriol. Secara biologis, estradiol adalah yang paling aktif. Menurut Guyton (1994) beta estradiol merupakan estrogen utama yang dihasilkan oleh sel teka interna folikel de Graaf.

Gambar 5 Struktur estrogen (Sumber: Guyton & Hall 1997)

Sekresi estrogen dikeluarkan lewat urin dan empedu setelah bergabung dengan asam glukoronat atau asam sulfat sehingga hasil metabolisme estrogen dan estradiol dapat diidentifikasi dan disiolasi lewat urin (Turner & Bagnara 1988). Menurut Sellman (1996) kelebihan estrogen dapat menyebabkan percepatan proses penuaan, alergi, penurunan kemampuan kelamin, depresi, kelelahan, osteoporosis, kanker rahim, disfungsi tiroid, dan pembentukan jaringan ikat pada uterus.

Estrogen berfungsi dalam merangsang pertumbuhan uterus dengan meningkatkan massa endometrium dan miometrium (Toelihere 1985) dengan cara

meningkatkan kecepatan sintesis protein. Estradiol merupakan hormon estrogen primer yang disintesa dari androstenedion didalam stroma ovarium, folikel dan ovarium. Sebagai estrogen primer estradiol memiliki potensi lebih kuat dari estron dan estriol. Estradiol juga berperan untuk rnemelihara korpus luteum agar tetap mensekresikan progesteron. Kehadiran estradiol di korpus luteum sesuai dengan fungsinya, yaitu untuk merangsang biosintesis kolesterol, mengatur aktivitas asilCoA: kolesterol asiltranferase (ACAT) agar tersedia kolesterol bebas untuk pembentukan hormon steroid progesteron (Azhar et al. 1989). Hormon estrogen juga berperan dalam pertumbuhan dan pematangan tulang. Efek estrogen terjadi pada modifikasi kerangka hewan tikus, yaitu penambahan tulang mengikuti pertumbuhan epifise pada anak- anak (Turner & Bagnara 1988).

Progesteron

Progesteron merupakan hormon steroid yang berasal dari kolesterol. Prgesteron memiliki memiliki 21 atom karbon, dua diantaranya terdapat rantai samping C-17. 3β-hidroksisteroid dehidrogenasi mengubah pregnanolon menjadi progesteron. Selama proses sintesis steroid seks, progesteron disintesis dan sebagian besar diubah menjadi estrogen (Guyton 1994). Progesteron dalam jumlah besar disekresikan oleh sel-sel lutein korpus luteum dan plasenta (Toelihaere 1985). Pada wanita progesteron disekresikan oleh korpus luteum dalam jumlah besar selama separuh akhir dari setiap siklus ovarium. Selama separuh pertama siklus ovarium, progesteron di dalam plasma hanya sedikit sedangkan pada masa kehamilan progesteron disekresikan dalam jumlah besar oleh plasenta (Guyton 1994).

13

Progesteron direduksi dalam hati menjadi pregnanediol dan dieksresikan melalui urin dalam bentuk pregnanediol glukoronat. Fungsi utama progesteron adalah mempertahankan kebuntingan dengan menciptakan lingkungan endometrial yang sesuai untuk kelanjutan hidup dan perkembangan embrio (Toelihere 1985). Perubahan endometrium bertujuan untuk memproduksi nutrien yang disebut susu uterus untuk menutrisi embrio (Guyton 1994). Progesteron menghambat kontraksi selama kehamilan sehingga mencegah aborsi. Apabila terjadi kekurangan hormon ini bisa menyebabkan kontraksi uterus secara kontinu sehingga menyebabkan kegagalan implantasi embrio maupun aborsi (Guyton & Hall 1997).

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III.1 Waktu dan Tempat

Penelitian mulai dilakukan pada bulan Desember 2010 sampai bulan Maret 2011 di kandang percobaan Fakultas Kedokteran Hewan ,Institut Pertanian Bogor. Pengamatan dan pengukuran terhadap organ reproduksi betina dilakukan di laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

III.2 Bahan dan Alat

Hewan yang digunakan pada penelitian ini yaitu tikus putih (Rattus sp.) galur Sprague Dawley yang terdiri dari tikus betina bunting sebanyak 8 ekor dengan bobot badan sekitar 150-200 gram dan tikus jantan yang berumur 8 bulan sebanyak 4 ekor yang diperoleh dari Animal Facility. Bahan lain yang digunakan yaitu sekam, pakan tikus, larutan fisiologis NaCl 0.9%, metanol, larutan giemsa, eter, akuades, ekstrak akar purwoceng.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu kandang tikus yang terbuat dari plastik, jaring kawat penutup kandang, botol minum tikus, alat bedah minor, erlenmeyer, gelas ukur, corong, blender, kain saring, gelas objek, gelas penutup, mikroskop, kamera digital, pompa vakum, rotary vacuum evaporator (Buchi Rotavapor R-205), chiller, spoit 1 ml, sonde lambung dari stainless steel, oven, wadah porselen, cotton bud, tissue, kapas, kertas label, dan timbangan digital. III.3 Metode Penelitian

Pembuatan Larutan Ekstrak Akar Purwoceng

Semua bagian tanaman purwoceng, yaitu akar, batang, dan daun dapat dimanfaatkan sebagai bahan afrodisiak. Tetapi hanya bagian akarnya saja yang digunakan sebagai bahan ekstrak. Akar dikeringkan melalui penjemuran dengan sinar matahari selama beberapa hari. Selanjutnya akar purwoceng yang telah kering dipotong tipis-tipis dan dihaluskan dengan menggunakan blender sehingga diperoleh bentuk serbuk (simplisia). Serbuk akar purwoceng diekstraksi dengan metode maserasi sebanyak 350 gram direndam dalam 3.5 liter etanol 70% sebagai

15

zat pelarut selama 24 jam, setiap 2 jam sekali diaduk agar homogen. Kemudian disaring dengan menggunakan kain saring. Hasil ekstrak disimpan di dalam erlenmeyer sedangkan ampasnya direndam kembali dalam 3.5 liter etanol 70% selama 24 jam dan diaduk setiap 2 jam sekali. Setelah itu larutan disaring dan ekstraknya disatukan dengan hasil ekstrak yang pertama di dalam erlenmeyer ukuran 5 liter. Kemudian dilakukan proses evaporasi agar zat pelarut terpisah dengan menggunakan rotary vacum evaporator (rotavapor) Buchi dengan suhu 48oC dengan kecepatan 60 rpm. Selanjutnya ekstrak kering diperoleh dengan menggunakan alat pengering beku (freeze drying). Ekstrak kering disimpan di dalam botol kaca steril dan dilarutkan kembali dengan akuades sesuai dosis saat perlakuan terhadap hewan coba. Jumlah ekstrak kering yang didapatkan dari 350 gram simplisia adalah sejumlah 95 gram. Ekstrak ini kemudian dibuat dalam larutan stok sebesar 5% yaitu 5 gram dalam 100cc akuades.

Penentuan Dosis Ekstrak Purwoceng

Penentuan dosis ekstrak purwoceng pada tikus didasarkan pada penelitian terdahulu (Taufiqurrahman 1999) yaitu 25mg/ 0,5 ml untuk bobot badan tikus sebesar 300 gram. Pemberian ekstrak akar purwoceng sebanyak 50 mg mampu memperbaiki kinerja reproduksi tikus jantan yaitu meningkatkan kadar hormon

Luteinizing hormone (LH) dan testosteron pada tikus jantan Sprague Dawley

(Taufiqurrahman 1999). Pada penelitian ini larutan stok mengandung 50 mg/ml sehingga jumlah ekstrak purwoceng yang diberikan pada tikus yaitu 0,5 ml untuk bobot badan tikus 300 gram atau setara dengan dosis 83,33 mg/kg BB

Persiapan Hewan Penelitian

Tikus percobaan hidup di dalam kandang selama satu minggu agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan kandang. Pemberian pakan dan minum dilakukan ad libitum. Pakan yang diberikan yaitu pellet dan air minum diberikan dengan memasukkan ke dalam botol-botol kecil dan dijepitkan pada jaring-jaring kawat. Botol-botol berisi air tersebut dibuat lubang pada tutupnya agar air tersebut bisa diminum tikus. Penggantian sekam dan pencucian kandang dilakukan setiap satu minggu sekali. Tikus betina bunting diperoleh melalui perkawinan secara

alami dengan mencampurkan tikus betina dan tikus jantan dalam satu kandang dengan rasio 2:1. Salah satu tikus betina tersebut diberi tanda dengan spidol pada bagian badan atau ekor agar tidak tertukar. Deteksi perkawinan dilakukan pada pagi hari dengan cara ulas vagina menggunakan cotton swab dan dioleskan pada gelas objek. perkawinan ditandai dengan adanya spermatozoa dalam ulasan vagina setelah diperiksa di bawah mikroskop dan dicatat sebagai hari pertama kebuntingan. Tikus yang bunting harus dipisahkan dari jantan dan diletakkan pada satu kandang. Tikus yang tidak bunting dikembalikan ke kandang untuk dikawinkan.

Pelaksanaan Penelitian

Delapan ekor tikus betina bunting yang diperoleh dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:

A : 4 ekor tikus bunting yang tidak diberi perlakuan (kontrol)

B : 4 ekor tikus bunting yang diberikan peroral ekstrak purwoceng dengan dosis 83,33 mg/kg BB untuk bobot badan tikus sebesar 300 gram diberikan 1 kali sehari sampai 13 hari kebuntingan.

Selanjutnya dari masing-masing kelompok tersebut dikorbankan pada hari ke-13 kebuntingan untuk melihat adanya perubahan makroanatomi dari alat reproduksi baik dari induk yang diberi perlakuan maupun induk yang tidak diberi perlakuan. Tikus-tikus tersebut dinekropsi untuk diambil ovarium dan dihitung jumlah korpus luteumnya. Sedangkan uterus diambil untuk diamati titik implantasi dan dihitung jumlahnya. Selanjutnya dilihat rasio jumlah titik implantasi terhadap jumlah korpus luteum untuk melihat keberhasilan implantasi.

17

Gambar 7 Alur penelitian III.4 Analisis Data

Variabel yang diamati adalah jumlah korpus luteum dan jumlah titik implantasi pada hari ke-13 kebuntingan. Hasil yang diperoleh kemudian dianalisis dengan metode analisis nonparametrik. Nilai keberhasilan implantasi dapat dihitung melalui rasio jumlah titik implantasi dengan jumlah korpus luteum.

Rasio = Titik Implantasi

x 100%

Korpus luteum

Tikus bet ina bunt ing Kelompok A (kont rol) 4 ekor Tikus jantan dewasa kelamin

Tikus bet ina dewasa kelamin Kelompok B (perlakuan) 4 ekor Pengamatan: Jumlah korpus luteum dan Tit ik Implantasi Dinekropsi pada hari ke-13 kebunt ingan Purw oceng diberikan secara oral dari hari 1-13

Data hasil penelitian jumlah korpus luteum dan jumlah titik implantasi pada tikus kelompok kontrol dan tikus kelompok perlakuan yang diberi ekstrak etanol purwoceng dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Jumlah korpus luteum, titik implantasi, dan rasionya pada tikus (13 hari kebuntingan )

Tikus

Kontrol Perlakuan Rasio = ∑IT

∑KL x 100% Korpus luteum Titik implantasi Korpus luteum Titik implantasi Kontrol Perlakuan 1 9 9 10 10 100 % 100 % 2 12 10 11 10 83.3 % 90.9 % 3 11 9 12 12 81.8 % 100 % 4 8 4 9 7 50 % 77.8 %

Berdasarkan data jumlah korpus luteum dan jumlah titik implantasi pada Tabel 3 dapat dihitung nilai rasio jumlah titik implantasi terhadap jumlah korpus luteum. Rasio jumlah titik implantasi terhadap jumlah korpus luteum menggambarkan keberhasilan implantasi yang terjadi. Nilai rasio jumlah titik implantasi terhadap jumlah korpus luteum dihitung secara nonparametrik. Terdapat perbedaan antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan. Kelompok perlakuan memiliki nilai rasio lebih besar dibandingkan kelompok kontrol. Jumlah titik implantasi pada kelompok perlakuan mendekati jumlah korpus luteum yang sudah terbentuk. Sedangkan pada kelompok kontrol terdapat selisih jumlah yang terbentuk dari jumlah titik implantasi terhadap korpus luteum. Hal ini menunjukkan keberhasilan pembentukan titik implantasi kelompok tikus yang diberi purwoceng lebih baik daripada kelompok kontrol. Morfologi atau struktur dari folikel pada Gambar 8 masih tampak banyak berisi cairan dan bewarna kemerahan. Sedangkan korpus luteum tidak lagi banyak berisi cairan dan berwarna putih kekuning-kuningan.

19

Gambar 8 Folikel dan korpus luteum

Pengaruh Ekstrak Etanol Purwoceng Terhadap Korpus Luteum

Korpus luteum adalah sebuah massa dari ovarium yang terbentuk karena ovulasi ovum. Ovulasi merupakan proses terlepasnya sel ovum dari ovarium sebagai akibat pecahnya folikel yang telah masak. Tidak semua folikel mengalami perkembangan menjadi ovum sebagian akan mengalami atresia. Tikus merupakan hewan politokus yang akan mengovulasikan sejumlah ovum. Jumlah korpus luteum menggambarkan jumlah ovum yang berhasil diovulasikan. Tahap pertama pertumbuhan folikel berupa pembesaran ovum, diikuti dengan pertumbuhan lapisan sel-sel granulosa tambahan yang disebut dengan folikel primer. Guyton (1994) menyatakan Pertumbuhan awal folikel primer dirangsang oleh Follicle Stimulating Hormone (FSH). Folikel terus berkembang menjadi folikel sekunder dan folikel De graaf yang dihasilkan di setiap siklus birahi. Folikel- folikel ini berisi estrogen, folikel de Graaf ini akan menghasilkan estrogen dalam jumlah yang banyak dari folikel lainnya. Estrogen mempunyai 2 fungsi dalam pengaturan sekresi gonadotropin (FSH dan LH). Estrogen ini menekan produksi FSH, sehingga hipofisis mengeluarkan hormon LH. Produksi hormon LH maupun FSH berada di bawah pengaruh Releasing Hormones (RH) yang disalurkan hipotalamus ke hipofisis. Penyaluran RH dipengaruhi oleh mekanisme umpan balik estrogen terhadap hipotalamus. Produksi hormon gonadotropin (FSH dan LH) yang baik akan menyebabkan pematangan dari folikel de graaf yang mengandung estrogen. LH yang bekerja pada sel granulosa dan sel teka akan menimbulkan luteinisasi. Luteinisasi adalah suatu proses perubahan sel granulosa

Korpus Luteum

dan sel teka menjadi sel lutein yang merupakan bagian sel dari korpus luteum (Guyton & Hall 1997).

Folikel yang mengalami ovulasi akan menjadi korpus luteum. Kemudian korpus luteum akan berinvolusi dan akhirnya kehilangan fungsi sekresi juga warna kekuningan menjadi korpus albicans (Guyton & Hall 1997). Pada penelitian yang dilakukan, jumlah korpus luteum perlakuan ekstrak etanol purwoceng pada tikus putih bunting tidak bertambah karena korpus luteum sudah terbentuk sebelum diberikan perlakuan. Tetapi penambahan ekstrak etanol purwoceng diduga dapat menambah estrogen endogen karena kandungan steroid yang ada pada purwoceng tersebut. Steroid adalah prekursor hormon estrogen. Steroid mengisyaratkan otak untuk menghasilkan hormon estrogen yang akan mengatur produksi LH. Fungsi estrogen pada kebuntingan adalah untuk mengawali terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar uterus sehingga dapat mempertebal dinding endometrium sebagai tempat implantasi agar terbentuk lebih banyak titik implantasi. Seperti yang telah dijelaskan oleh Toelihere (1985) estrogen dapat merangsang pertumbuhan uterus dengam mempertebal dinding endometrium dan miometrium, merangsang kontraktil uterus, merangsang peningkatan pertumbuhan epithelium vagina, merangsang estrus, merangsang perkembangan duktus kelenjar ambing dan mempengaruhi perkembangan alat kelamin sekunder. Jika pemberian ekstrak etanol purwoceng dilakukan sebelum kebuntingan (praimplantasi) tikus, kemungkinan akan terjadi penambahan kadar estrogen yang signifikan dan memperbesar ukuran folikel sehingga menambah jumlah hormon estrogen.

Hasil uji fitokimia purwoceng pada Tabel 1 menunjukkan bahwa purwoceng kandungan flavonoid dan alkaloid pada purwoecng adalah yang terbanyak. Alkaloid dan flavonoid digolongkan kedalam fitoestrogen. Fitoestrogen merupakan subtrat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan yang strukturnya hampir sama dengan estrogen. Beberapa senyawa fitoestrogen yang diketahui banyak terdapat dalam tanaman antara lain isoflavon, flavon, lignin, coumestans, tripterpene glycoside, acrylics dan lainnya. Fitoestrogen berkhasiat seperti estrogen dan mempunyai inti yang sama tetapi rumus bangun kimianya berbeda dengan estrogen. Fitoestrogen merupakan suatu subtrat berefek estrogenik jika

21

bisa berikatan dengan reseptor estrogen (Tsorounis 2004). Molekul-molekul fitoestrogen dapat menempati reseptor estrogen (Anggraini 2008). Berbagai hasil penelitian meunjukan bahwa fitoestrogen dapat mengurangi menopause, memperbaiki lemak dalam plasma, menghambat perkembangan arterosklerosis, serta menghambat pertumbuhan sel tumor pada payudara dan endometrium (Hidayati 2003).

Menurut Markham (1988) flavonoid adalah senyawa polar sehingga dapat larut dalam pelarut polar seperti etanol, metanol, aseton, dimetil sulfoksida (DMSO), dimetil fontamida (DMF), dan air. Senyawa flavonoid terbukti mempunyai efek hormonal, khususnya efek estrogenik. Efek estrogenik ini terkait dengan struktur flavonoid yang dapat ditransformasi menjadi molekul. Molekul-molekul ini mempunyai struktur mirip hormon estrogen dan diduga dapat menduduki reseptor estrogen. Reseptor dari hormon estrogen terdapat di dalam sitoplasma sel dan jaringan dari organ uterus, hipofisa pars anterior, kelenjar ambing, dan jaringan organ reproduksi lainnya.

Estrogen mempunyai 2 jenis reseptor yaitu reseptor estrogen alfa (REα) dan

reseptor estrogen beta (REβ). Reseptor α terdapat pada organ uterus, testis,

hipofisis, ginjal, epididimis, dan adrenal sedangkan pada reseptor β ditemukan pada organ ovarium. Flavonoid mempunyai efek estrogenik yaitu dapat bekerja seperti estrogen dengan cara menduduki reseptor estrogen. Pada uterus, estrogen akan menduduki reseptor estrogen α, sehingga pada uterus terjadi proliferasi. Flavonoid juga berfungsi melancarkan peredaran darah ke seluruh tubuh dan mencegah penyumbatan pada pembuluh darah, mengurangi penimbunan lemak pada dinding pembuluh darah, mengurangi kadar resiko penyakit jantung koroner, mengandung antiinflamasi, berfungsi sebagai antioksidan, dan membantu mengurangi rasa sakit jika terjadi pendarahan atau pembengkakan (Susanti 2001). Kandungan zat-zat lain yang terdapat di dalam purwoceng diantaranya turunan senyawa verol seperti sitosterol, stigma sterol dan turunan senyawa furanokumarin yaitu bergapten dan vitamin E. Kandungan sitosterol dan stimasterol berfungsi berfungsi sebagai aprodisiak atau meningkatkan vitalitas seks.

Toelihere (1985) menjelaskan bahwa korpus luteum merupakan penghasil hormon progesteron terbesar bersama plasenta. Terbentuknya korpus luteum diinduksi dengan adanya peningkatan kadar luteinizing hormone (LH) di dalam tubuh. Hormon LH akan mengubah struktur sel teka dan granulosa untuk menghasilkan progesteron. Peningkatan korpus luteum pada awal kebuntingan diperlukan untuk meningkatkan produksi progesteron dalam menjaga kebuntingan. Progesteron mempunyai peranan penting dalam memelihara kebuntingan. Konsentrasi progesteron dalam serum induk sangat berpengaruh terhadap kematian fetus dalam uterus (Refsal et al.1991). Apabila hormon progesteron ini tidak cukup akan menyebabkan kontraksi uterus secara terus menerus yang menyebabkan kegagalan implantasi embrio sehingga terjadi aborsi (Arkaraviehin & Kendle 1990). Korpus luteum pada tikus tidak hanya memproduksi progesteron tapi juga memproduksi hormon estrogen, androgen, dan hampir semua hormon steroid yang aktif (Khan et al. 1985).

Dokumen terkait