• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PERKEMBANGAN PERTENUNAN DI SIPIROK 1980-2006

4.2 Bahan Baku

Bahan baku yang digunakan dalam kerajinan tenun ATBM adalah benang

polyster yaitu benang jahit biasa yang berwarna-warni dan telah tergulung pada

gulungan berupa pipa plastik atau kertas. Satu gulung benang biasanya panjangnya

mencapai sekitar 20 meter. Benang ini adalah benang yang sudah siap pakai untuk

digunakan pengrajin. Benang tekstil polyster yang umum digunakan merupakan

benang bernomor rendah yaitu sekitar Ne1 20-30.

38

1. Pengelosan, yaitu proses pembersihan benang yang umumnya masih kotor

sekaligus meratakan diameter atau gulungan benang yang tidak sama.

Kain yang dibuat dengan cara ditenun, memiliki dua arah serat benang yang

saling berlawanan, yaitu benang lungsin (benang yang disusun lurus secara vertikal)

dan benang pakan (benang yang disusun lurus secara horizontal). Dua set benang ini

saling menyeberang atau menyilang satu sama lainnya sehingga membentuk garis

kotak-kotak. Pada proses persiapan pertenunan, dilakukan beberapa perlakuan

terhadap benang tunggal yang akan dijadikan benang lungsin, yaitu:

2. Penghanian, yaitu penggulungan atau pengaturan benang-benang lungsin

pada boom dengan sistem penggulungan sejajar.

38

3. Penganjian, yang bertujuan untuk meningkatkan daya tenun benang yang

akan digunakan sebagai benang lungsin. Penganjian ini menjadikan benang

lebih licin, daya tahan benang terhadap gesekan bertambah dan benang

menjadi lebih kompak.

4. Pencucukan, yaitu proses memasukkan benang lungsin dari boom lungsin ke

dalam lubang mata gun dan lubang lungsin. Pencucukan dilakukan sebelum

penggulungan benang pada boom lungsin dipasang untuk diatur sedemikian

rupa.

5. Pemaletan, yaitu penggulungan benang dalam bentuk benang pakan.

4.3 Modal

Dalam perkembangan kegiatan usaha pertenunan di Sipirok, modal dapat

diperoleh dari berbagai sumber. Perolehan modal awalnya berasal dari modal milik

sendiri, dan ditambah dengan modal yang diperoleh melalui pinjaman dari saudara.

Selanjutnya, sejalan dengan perkembangan kegiatan usaha pertenunan di Sipirok

maka perolehan modal pun kian bertambah, yaitu

1. Modal sendiri ditambah pinjaman dari toke

Sistem ini merupakan sistem yang sangat sering terjadi antara penenun

dengan toke. Ketika toke memesan kain tenun pada penenun, maka akan disertai

dengan bantuan pinjaman modal finansial yang dikenal dengan istilah uang muka.

Modal tersebut digunakan oleh penenun terutama digunakan untuk membiayai

kebutuhan hidup seharai-hari. Walaupun berbentuk pinjaman, namun dalam

pengembaliannya tidak disertai dengan bunga uang. Pinjaman uang tersebut akan

diperhitungkan ketika pengerjaan kain tenun selesai. Penenun akan memperoleh upah

dari pembuatan kain tenun setelah dikurangi dengan jumlah pinjaman yang telah

dilakukan sebelumnya.

Transaksi pinjam meminjam uang ini juga dapat terjadi apabila penenun

membutuhkan uang untuk keperluan yang mendesak diluar dari kebutuhan menenun.

Pinjaman tersebut dilakukan karena adanya hubungan saling percaya antara

keduanya. Pinjaman oleh toke tidak mensyaratkan berbagai ketentuan seperti

jaminan, bunga, dan tidak membutuhkan waktu yang lama, dan pengembalian dapat

dilakukan dengan tunai atau pun secara berangsur. Oleh karenanya, para toke

seringkali dianggap sebagai “bapak angkat” bagi para penenun di Sipirok. Hal ini

dapat dijadikan sebagai instrumen untuk memelihara loyalitas dan keterikatan para

penenun tersebut kepada toke.

2. Modal sendiri ditambah pinjaman dari perusahaan atau pemerintah

Modal ini diberikan langsung kepada penenun yang tergabung dalam suatu

kelompok dengan ketentuan pengembaliannya dilakukan secara berangsur, dan dana

tersebut akan dilakukan dengan sistem bergilir. Sejak tahun 1985 hingga tahun 1990

Bidang Pendidikan Masyarakat Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Tapanuli Selatan memberikan bantuan modal dan pembinaaan terhadap para

penenun. Bantuan diberikan melalui program Paket Kejar Usaha dengan bantuan

dana sebesar Rp. 200.000,- untuk tiap kelompok yang terdiri dari 5 orang.

39

4.4. Tenaga Kerja

Para penenun yang menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin tidak berbeda

dengan penenun yang menggunakan alat tenun Hasaya, yaitu para perempuan di

Sipirok. Sebagian perempuan di Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan,

tidak lagi harus menjual beras setiap kali belanja ke pasar. Pemasukan dari menenun

dapat digunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Anak gadis yang masih

sekolah dapat membantu membiayai kebutuhan sekolahnya sendiri dan anak gadis

yang sudah menyelesaikan sekolahnya (umumnya tingkat SMA atau berhenti hanya

pada tingkat SLTP) menjadikan bertenun sebagai kegiatan mata pencaharian untuk

membantu perekonomian keluarganya. Meskipun belum ada ukuran pasti atau data

statistik yang menunjukkan berapa tingkat kesejahteraan masyarakat Sipirok yang

terdongkrak dari kegiatan bertenun ini. Secara perlahan, kegiatan bertenun yang

awalnya hanya pekerjaan sampingan beralih menjadi mata pencaharian utama.

Berikut ini adalah gambaran tentang jumlah pengrajin atau tenaga kerja yang

berprofesi sebagai penenun di Sipirok. Data yang dikemukakan bukan data statistik

resmi, melainkan hanya angka taksiran oleh informasi yang menurut bersangkutan

banyak mengetahui keadaan kegiatan pertenunan di Sipirok.

39

Tabel III. 1

JUMLAH PENGRAJIN KAIN TENUN SIPIROK (1988)

No. Desa Jumlah Pengrajin (orang)

1 Silangge 26

2 Sigiring – giring 30

3 Paran Julu 300

4 Bagas Lombang 125

5 Pangurabaan 78

6 Purba Sinomba 40

7 Aturmangan 40

8 Purbatua 25

9 Hutasuhut 100

10 Padang Bujur 250

11 Sampean 20

12 Baringan 10

13 Paran Padang 20

14 Huraba 10

15 Padang Bulan 20

16 Sigelgel 20

17 Tanjung Medan 10

18 Poldung 20

19 Bulumario 20

20 Bagasnagodang 100

Jumlah 1.264 orang

Sumber : Wawancara dengan Bapak Humuntal Sitompul BkTeks, Staf kantor

Dinas Perindustrian Tapanuli Selatan yang khusus membidangi pembinaan Kerajinan

Tenun di Sipirok. Tgl. 11-9-1992.

40

Selanjutnya, tidak pernah dilakukan lagi pencatatan rutin tentang perkembangan

kegiatan pengrajin dan jumlahnya sehingga gambaran mengenai hal itu tidak

diperoleh dengan baik.

40

4.4.1.Hubungan Penenun dengan Toke

Toke kaitannya dengan penenun dalam bidang ketenagakerjaan lebih pada

upaya memanfaatkan keahlian yang telah dimiliki penenun, dapat dikatakan tidak ada

suatuupaya atau proses pembentukan tenaga kerja dengan cara yang sistematis oleh

toke kepada penenun, bahkan toke sendiri belum tentu memiliki kemampuan dalam

hal bertenun.

Dari hasil penelitian yang dilakukan di Kecamatan Sipirok, sistem hubungan

yang terjadi antara penenun dengan toke dalam pengerjaan kain tenun terjadi secara

spontan, informal dan tidak tertulis. Kesepakatan yang terjadi lebih berdasarkan pada

hubungan kepercayaan. Hubungan ini terbentuk atas dasar kebutuhan internal, yang

terjadi tanpa diprogramkan terlebih dahulu, dan muncul sebagai akibat dari kegiatan

ekonomi itu sendiri atau adanya suatu motif ekonomi dalam usaha mengembangkan

kerajinan tenun oleh masyarakat Sipirok. Hubungan yang terjalin dan mengikat antara

penenun dengan toke ini akan dapat memberikan dan saling mengisi keterbatasan

masing-masing dalam penguasaan faktor-faktor produksi seperti pemasaran, bahan

baku, tenaga kerja dan permodalan.

Hubungan yang terjadi antara penenun dan toke lebih pada proses pengerjaan

kain tenun yang sepenuhnya dilakukan oleh penenun dan toke melakukan kegiatan

pemasaran kepada konsumen. Dengan sumber-sumber input seperti modal dan bahan

baku sepenuhnya disiapkan oleh toke dan disampaikan kepada penenun bersamaan

ketika terjadi transaksi pemesanan kain tenun.

Hubungan yang terjalin antara penenun dan toke pada akhirnya akan

memperlihatkan bagaimana posisi kedua belah pihak, baik partonun maupun toke

dalam menjalani suatu usaha yang sama yaitu industri kerajinan tenun dan bagaimana

hubungan tersebut berakibat pada usaha mereka masing-masing.

4.4.2. Pengupahan

Pada prakteknya sistem kerja pertenunan di Sipirok hampir mirip dengan

sistem kerja yang berlaku di perusahaan manufaktur, dimana setiap pekerja

mengambil bagian kerja tertentu dan diupah berdasarkan kategori pekerjaannya.

Jumlah upah yang berlaku untuk masing-masing bagian pekerjaan sangat bervariasi,

tergantung pada faktor kesulitan/ kerumitan kerjanya, dan banyaknya waktu yang

diperlukan untuk penyelesaiannya.

Tentu merupakan suatu hal yang lazim bahwa pendapatan yang diperoleh oleh

masing-masing penenun dari upah kerjanya sangat beragam, karena hal ini sangat

bergantung pada kecepatan, kerajinan, kerapian, dan kehalusan tenunan, dan juga

kualitas kain tenun yang dihasilkan. Selain karena bahannya terpilih, kualitas

tenunannya halus dan rapi, maka upah pembuatannya juga lebih tinggi.

Pembayaran upah biasanya berlangsung pada hari Rabu yaitu sehari

menjelang hari pekan di Pasar Sipirok. Hari itu merupakan hari yang sibuk bagi

seorang toke, karena selain harus membayar gaji para penenun, pada kesempatan itu

pula akan didistribusikan berbagai bahan yang diperlukan penenun untuk pekerjaan

seminggu berikutnya. Bagi penenun sendiri, hari itu merupakan ujung kepenatannya

bekerja selama seminggu dan akan terobati dengan menerima upah yang menjadi

haknya. Dan hari berikutnya, yaitu pada hari pekan, para penenun benar-benar bebas

dari urusan bertenun.

Dokumen terkait