DAFTAR INFORMAN
1.
Nama
: Nia
Umur
: 45 tahun
Pendidikan
: SMP
Pekerjaan
: Penenun Kain Adat
Alamat
: Desa Padang Bujur
2.
Nama
: Lanna Siregar
Umur
: 49 tahun
Pendidikan
: SMP
Pekerjaan
: Penenun Kain Adat
Alamat
: Desa bagas Godang
3.
Nama
: Lela Siregar
Umur
: 69 tahun
Pendidikan
: SD
Pekerjaan
: Pengrajin
Alamat
: Desa Pangurabaan
4.
Nama
: Boru Pane
Umur
: 56 tahun
Pendidikan
: SMP
Pekerjaan
: Pengrajin
Alamat
: Desa Pangurabaan
5.
Nama
: Umak Sakinah
Umur
: 48 tahun
Pendidikan
: SMA
Pekerjaan
: Pengrajin
Alamat
: Desa Paran Julu
6.
Nama
: Nurlan
Umur
: 52 tahun
Pendidikan
: SMA
7.
Nama
: Dermawati Hasibuan
Umur
: 40 tahun
Pendidikan
: SMP
Pekerjaan
: Pengrajin
Alamat
: Desa Silangge
8.
Nama
: Ompung Majid
Umur
: 68 tahun
Pendidikan
: SD
Pekerjaan
: Pengrajin
Alamat
: Desa Pangurabaan
9.
Nama
: Umak Doli
Umur
: 48
Pendidikan
: SD
Pekerjaan
: Pengrajin Souvenir
Alamat
: Desa Hutasuhut I
10. Nama
: Khairani Nasution
Umur
: 29 tahun
Pendidikan
: SMA
Pekerjaan
: Pengrajin
Alamat
: Desa Silangge
11. Nama
: Aji
Umur
: 60 tahun
Pendidikan
: SMA
Pekerjaan
: Pedagang Kerajinan Sipirok
Alamat
: Padangsidimpuan
12. Nama
: Daud Siregar
Umur
: 60 tahun
Pendidikan
: SMA
Pekerjaan
: Tokoh Adat
13. Nama
: Nisra Harahap
Umur
: 48 tahun
Pendidikan
: Sarjana
Pekerjaan
: Staf Kantor Badan Pusat Statistik Kab. Tapanuli Selatan
Alamat
: Padangsidimpuan
14. Nama
: Hedi
Umur
: 48 tahun
Pendidikan
: Sarjana Pertanian
Pekerjaan
: Staff Kantor Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan
Alamat
: Padangsidimpuan
15. Nama
: Hamzah Siregar
Umur
: 68 tahun
Pendidikan
: SMP
Pekerjaan
: Tokoh Adat
Alamat
: Padangsidimpuan
16. Nama
: Baharuddin Harahap
Umur
:71 tahun
LAMPIRAN I.
PETA: KABUPATEN TAPANULI SELATAN
PETA: KECAMATAN SIPIROK DAN LOKASI PENGRAJIN TENUN
LAMPIRAN II.
Motif atau Ragam Hias pada
Abit Godang
dan
Parompa Sadun
Motif
Pusuk Robung
Motif Jarak
Motif Hiok-Hiok
Motif
Sijobang
Motif
Ruang
Motif
Lus-Lus
Motif
Iran-Iran
Motif
Sorat
Rambu Na Ginjang
LAMPIRAN III.
Seorang Penenun
Abit Godang
Menggunakan
Hasaya
Proses
Manjomur
/ Pengeringan Benang yang sudah dikanji pada
Pangunggasan.
Ulkulan
atau Alat yang digunakan untuk penggulungan benang
Gulungan-gulungan benang yang sudah siap
diulkul
atau digulung dan siap
untuk
dianian.
Proses
Mangani
/ Pengaturan atau Penyusunan Benang Kain Adat
Benang yang telah
dianian
dan siap untuk dipakai sebagai benang kain adat.
LAMPIRAN IV
PRODUK KERJINAN TENUN SIPIROK
Abit Godang
Abit Godang yang telah mengalami perubahan ragam hias.
Kain Songket dan Selendang Tenunan
Kemeja Tenun/ Kain Tenun Siap Pakai
Selendang
DAFTAR PUSTAKA
Gottschalk, Louis. 1995. Mengerti Sejarah(terj.) Nugroho Notosusanto, Jakarta: UI Press.
Gultom,J.,dkk. 1991. Pengrajin Tradisional di Daerah Provinsi Sumatera Utara. Tanpa Kota dan Penerbit.
Harahap, Anwar. Tanpa Tahun. Asal-Usul Marga Tapanuli Selatan. Medan: Yayasan Manula Glamur.
Koentjaraningrat. 2007.
Manusia dan Kebudayaan di Indonesia
. Jakarta : Djambatan.
_______. 1980.
Pengantar Ilmu Antropologi
. Jakarta: Penerbit AksaraBaru.
Kuntowijoyo. 1995.
Pengantar Ilmu Sejarah
. Yogyakarta : Yayasan Bentang
Budaya.
Managor, Sutan. 1995.
Pastak-Pastak Ni Paradaton Masyarakat Tapanuli Selatan
.
Tanpa Penerbit.
Nasution, Pandapotan. 2005.
Adat Budaya Mandailing dalam Tantangan Zaman
.
Medan :Forkala.
Pangaduan, Z. Lubis dan Zulkifli B. Lubis. 1998.
Sipirok Na Soli Bianglala
Kebudayaan Masyarakat Sipirok
. Medan: BPPS dan USU Press.
Ritonga, Ahmad husin., dkk. 1993.
Kerajinan Tradisional Abit Godang dan parompa
Sadun.
Medan: Tanpa Penerbit.
Ritonga, Parlaungan. 1997.
Makna Simbolik dalam Upacara Adat Mangupa
Masyarakat Angkola Sipirok di Tapanuli Selatan
. Medan: USU PRESS.
Rukminto, Isbandi. 2008.
Intervensi Komunitas: Pengembangan Masyarakat Sebagai
Upaya Pemberdayaan Masyarakat.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sangti, Batara. 1977.
Sejarah Batak
. Tanpa Kota dan Penerbit.
Siregar, Baumi. 1980.
Kain Adat Sejarah, Ornamen dan Fungsi
. Padangsidimpuan:
Tanpa Penerbit.
Siregar, Rahim. 1989.
Pembinaan dan Pengembangan Industri Kecil dan Kerajinan
Rumah Tangga di Sumatera Utara.
Medan: USU Press.
Suharto, Edi. 2009.
Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian
Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial.
Bandung: Refika Aditama.
Warneck, J. 2001.
Kamus Batak Toba Indonesia
. Medan: Bina Media.
Katalog, Makalah, Laporan Penelitian dan Tesis
Arifin, Bontor Hutasoit. 2005. “Hubungan Subkontrak Antara Partonun dengan Toke:
Studi Kasus pada Industri Kerajinan Ulos di Kecamatan Siatas Barita
Kabupaten Tapanuli Utara”,
Tesis S-2.
Medan: Universitas Sumatera Utara.
Katalog Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Selatan. 1990. “Kabupaten
Tapanuli Selatan Dalam Angka 1990”.
________. 2000. “Kabupaten Tapanuli Selatan Dalam Angka 2000”
.
Katalog Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi/UKM Kabupaten Tapanuli
Selatan. 2008. “Standarisasi dan Proses Produksi kerajinan Tenun dan
Manik”.
Muhammad Takari, “Ulos dan Sejenisnya dalam Budaya Batak di Sumatera Utara:
Makna, Fungsi dan Teknologi”, Makalah pada Seminar Antarbangsa
Tenunan Nusantara, di Kuantan, Malaysia, 12 April 2009.
Siregar, Raja Inal. 1997. “Gerakan Marsipature Hutana Be dan Pemberdayaan
Mayarakat Desa. Laporan Penelitian, Medan: Depdikbud.
Yahya, Idkar. 1998. “Ketergantungan Industri Kecil pada Bapak Angkat”. Laporan
Penelitian. Medan: USU Press.
Sumber Internet
http://tapanuliselatankab.bps.go.id/
BAB III
TENUN
ULOS
DI SIPIROK SEBELUM TAHUN 1980
Kegiatan bertenun sudah lama dilakukan oleh masyarakat Sipirok.
Diperkirakan sebelum tahun 1900 kegiatan bertenun ini telah ada, pada masa tersebut
bertenun dilakukan oleh kelompok masyarakat tertentu karena penggunaan
Abit
Godang
dan
Parompa Sadun
ketika itu masih dikalangan para bangsawan dan
turunannya.
30Dalam cerita-cerita lisan semisal
turi-turian
bagi masyarakat Sipirok,
sering digambarkan kepandaian bertenun seorang gadis. Dalam sebuah kerajaan
biasanya terdapat sebuah bangunan khusus yang disebut
sopo partonunan
atau balai
pertenunan tempat para gadis melakukan kegiatan bertenun.
31Setelah tahun 1900 terutama pada awal pergerakan Indonesia, kegiatan ini
mengalami perkembangan seiring dengan semakin longgarnya aturan-aturan tentang
siapa saja yang boleh menggunakan kain tersebut.
Abit godang
dan
Parompa sadun
kemudian dapat digunakan oleh golongan rakyat biasa.
Teknik dan cara pembuatannya pada masa itu masih menggunakan peralatan
sederhana yaitu
hasaya
dengan motif atau corak yang sederhana dengan warna-warna
dasar, merah, hitam dan putih, yang memiliki nilai religius dan magis.
30
Ahmad Husin Ritonga,dkk., op. cit., hal. 42.
3131
3.1. Kerajinan Tradisional
Abit Godang
dan
Parompa Sadun
Abit Godang
dan
Parompa Sadun
merupakan hasil ataupun wujud
kebudayaan masyarakat Angkola Sipirok.
Abit Godang
biasa juga disebut dengan
ulos.
Secara harfiah ulos berarti selimut yaitu pemberi kehangatan badaniah dari
terpaan udara dingin. Dalam kamus Batak Toba Indonesia, defenisi ulos dapat
diartikan sebagai berikut, yaitu: 1) Kain tenun tradisional, pakaian Batak yang
ditenun dan 2) Kain yang dikenakan di atas dan di bawah lutut.
32Menurut pandangan
orang Batak, dahulu terdapat tiga unsur essensial untuk dapat hidup, yaitu darah,
nafas dan panas. Tentang darah dan nafas, orang Batak tidak begitu memikirkannya
karena kedua-duanya berasal dari pemberian Tuhan dan tidak perlu dicari. Lain
halnya dengan panas. Panas matahari dianggap tidak cukup, seperti yang diketahui
bahwa daerah-daerah tempat berdiamnya suku Batak dahulu adalah tanah tinggi di
pegunungan yang tentu saja berhawa dingin. Adapun tiga sumber panas atau
kehangatan bagi orang Batak adalah matahari, api dan ulos. Dari ketiga sumber
kehangatan tersebut, ulos yang dianggap paling nyaman dan akrab dengan kehidupan
sehari-hari. Matahari sebagai sumber utama kehangatan tidak bisa diperoleh pada
malam hari, sedangkan api dapat menjadi bencana jika lalai menggunakannya.
33Selanjutnya, dari kata ulos kemudian muncul kata
mangulosi
(memberikan
ulos), yang melambangakan pemberian kehangatan dan kasih sayang kepada
penerima ulos, dan biasanya ulos diberikan orang tua kepada anak-anaknya.
32
J. Warneck, Kamus Batak Toba Indonesia, Medan: Bina Media, 2001, hal. 373.
33
Kemudian dalam perkembangannya ulos kemudian juga dapat diberikan kepada
orang non Batak yang bisa diartikan sebagai penghormatan dan kasih sayang pada
penerima ulos.
3.1.1.
Warna, Ukuran dan Bentuk
Abit Godang
dan
Parompa Sadun
Warna dasar yang terdapat pada kain tenun
abit godang
dan
parompa sadun
adalah warna putih, merah, dan hitam. Masing-masing dari ketiga warna dasar atau
warna pokok ini memiliki arti, seperti warna putih yang melambangkan kesucian dan
kejujuran, warna merah melambangkan keberanian dan kepahlawanan, sedangkan
warna hitam melambangkan duka. Penafsiran terhadap tiga warna dasar ini
merupakan perubahan penafsiran warna setelah masyarakat mengenal agama-agama
samawi seperti Islam dan Kristen. Selain itu, warna putih, merah, hitam adalah tiga
warna magis bagi masyarakat tradisional Tapanuli Selatan khususnya Sipirok. Ketiga
warna tersebut merupakan perlambangan dari kosmologi mereka yaitu warna putih
melambangkan “dunia atas” atau
Lumban Ibata I Ginjang
yang menyiratkan
kekuatan supra-alami, atau kuasa diatas kuasa yang berada diluar diri manusia, warna
merah melambangkan “dunia tengah” atau
Lumban Ibata I Tonga
yang
menggambarkan kehidupan yang sedang berlangsung dan warna hitam
melambangkan “dunia bawah” atau
Lumban Ibata I Toru
yang menggambarkan
adanya “kehidupan lain” sesudah kematian.
hijau, ungu, dan oranye yang kesemuanya tampil dalam berbagai ragam hias yang
terdapat dalam kain tenun Sipirok.
Untuk ukuran
abit godang
dan
parompa sadun
, tidak ada ukuran yang pasti.
Secara umum, dapat dikatakan bahwa ukuran
abit godang
hampir dua kali lebih besar
(lebar) dari pada ukuran
parompa sadun.
Panjang sebuah
abit godang
berkisar antara
1 meter-1,8 meter, dan ukuran
parompa sadun
berkisar antara 100 cm - 200cm.
Abit godang
dan
parompa sadun
berbentuk persegi panjang, dan pada kedua
sisi lebarnya terdapat rumbai-rumbai benang yang disebut rambu-rambu.
3.1.2.
Ragam Hias dan Makna Simbolik
Abit Godang
dan
Parompa Sadun
Setiap motif yang terdapat pada kain tenun masyarakat Sipirok memiliki
makna yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Sipirok. Motif-motif
ini umumnya mengambil simbol dari alam sekitar, baik dalam flora dan fauna bahkan
dari jagad raya. Berikut ini akan diuraikan jenis-jenis ragam hias dan makna
simboliknya masing-masing.
•
Pusuk Robung
beduk atau alat komunikasi, dan sebagainya. Sifat serba guna dari tumbuhan
bambu ini yang diabadikan dalam kain adat ini memiliki makna atau pesan
bagi kehidupan, yaitu jadilah manusia yang berguna dalam kehidupan sejak
masih muda hingga berumur senja.
•
Jarak
Tenunan hitam polos yang berada diantara
sirat
dan
pusuk robung
.
Jarak
ini mengandung makna bahwa dalam aspek kehidupan kita harus
terdapat jarak, tidak boleh terlalu dekat. Kita tidak boleh memberitahu atau
membuka segala hal yang ada pada kita kepada orang lain.
•
Tutup Mumbang
Tutup Mumbang
adalah putih atau bakal kelapa. Seperti halnya
bambu, kelapa adalah jenis tumbuhan serba guna. Hampir semua bagian
tumbuhan ini bermanfaat bagi kehidupan manusia. Sehingga sifat serba guna
dari tumbuhan kelapa ini dijadikan simbol yang menyimpan pesan bahwa
hidup haruslah berguna atau memberikan manfaat bagi sekitar kita.
•
Hiok-Hiok
Sehingga bisa ditafsirkan pesan yang disimbolkan motif
hiok – hiok
ini adalah
pentingnya membina dan memelihara kesetiakawanan dalam hubungan sosial.
•
Sijobang
Sijobang
merupakan motif yang berbentuk deretan prajurit. Jumlahnya
harus ganjil, disisi-sisi terluar berwarna merah menggambarkan
Mora
(Raja).
Mora dipakkal, mora di ujung
. Artinya, sebagai
Mora
harus bertanggung
jawab terhadap seluruh aspek kehidupan orang-orang yang ada disekitarnya.
•
Singap
Motif ragam hias
singap
tampak sebagai garis-garis simetris yang
membentuk segitiga sama sisi.
Singap
adalah visualisasi dari tiga kelompok
kekerabatan yang menjadi unsur utama dalam sistem sosial
Dalihan Na Tolu
di Tapanuli Selatan.
•
Simata Na Maridopan
Simata
adalah istilah setempat yang berarti benda hias berupa
manik-manik. Terdapat dua jenis pemakaian manik-manik pada
abit godang
dan
parompa sadun
, yaitu berupa hiasan penabur dan terletak disela-sela ragam
hias yang lain, serta serangkaian manik-manik yang tersusun rapi pada bagian
pinggir kain.
Tuhan, sebagaimana langit yang kelam diterangi oleh gemerlapnya
bintang-bintang.
•
Simata Na Maraturan
Motif ragam hias ini berupa susunan dari beberapa baris manik-manik
berwarna putih, dan kadang-kadang dihiasi sedikit dengan manik-manik
berwarna lain, membentuk satu untaian yang teratur pada bagian ujung atau
sisi lebar dari kain
abit godang
dan
parompa sadun
. Makna dari
simata na
maraturan
ialah suatu ajaran bahwa dalam menjalani hidup ini manusia harus
mengenal dan menghormati aturan-aturan yang ada.
•
Ruang
Ruang
merupakan bahagian motif tenunan yang tampak sangat
menonjol khususnya dari segi pewarnaan yaitu warna merah dengan
kombinasi hitam, putih dan hijau cerah. Ragam hias
ruang
ini mengambil
sejenis ular bernama sende atau
sibaganditua
sebagai simbol. Motif ini
menyimbolkan agar memiliki sikap kehati-hatian atau sikap waspada dalam
menjalani kehidupan.
•
Lus-Lus
(
tangkas dia ujung dia bonangna
). Dalam bahasa andung disebut “
lus-lussama lus-lus, barat sama barat, tali munmun manopi duru
” yang
pengertian sederhananya adalah menempatkan sesuatu menurut tempatnya
yang benar, atau meletakkan sesuatu pada tempatnya sesuai aturan.
•
Bunga Ros
Bunga ros adalah simbol keharuman, dan bersifat melengkapi semua
motif lainnya. Dengan mengamalkan nilai-nilai luhur yang disimbolkan oleh
berbagai motif tadi, maka keharuman akan menandai perjalanan hidup
seseorang.
•
Iran-Iran
Iran-Iran
,
andege ni mocci
, yang berarti jejak kaki tikus. Motif ragam
hias ini melambangkan agar meninggalkan jejak kebaikan dimanapun kita
berada.
•
Akar Cino
mengandung makna keterbukaan, atau sikap tidak boleh menutup diri untuk
bergaul dengan orang lain.
•
Surat
Pada setiap
abit godang
dan
parompa sadun
terdapat aksara latin
berupa sebaris kalimat yang diambil dari ungkapan setempat. Kalimat yang
tertulis sebagai
surat
pada
abit godang
anatar lain
Horas tondi madingin, pir
tondi matogu, horas ma hita, gabe hita sude na mamake
. Sedangkan pada
kain
parompa sadun
biasanya tertulis kalimat
simbur magodang
.
Ungkapan-ungkapan tersebut merupakan harapan dan doa, semoga orang yang
memakainya menerima keadaan seperti yang diungkapkan kalimat tersebut.
•
Rambu na Ginjang
Rambu na ginjang
adalah ujung-ujung benang kain pada dua sisi
lebarnya yang dibiarkan menjuntai-juntai.
Itulah beberapa motif ragam hias yang ada dalam kain
abit godang
dan
parompa sadun
tenunan Sipirok.
3.1.3.
Lapangan Penggunaan
Abit Godang
dan
Parompa Sadun
Dalam Sistem
Sosial.
1. Lapangan penggunaan
abit godang
a.
Sebagai
ulos ni tondi dohot badan
, diserahkan oleh
Mora
kepada
Anak
Borunya.
b.
Sebagai
sabe-sabe
(selendang penari) pada waktu
manortor
pada upacara adat
yang menyertakan tarian tor-tor.
c.
Sebagai penutup hidangan
pangup
a dalam upacara
mangupa
.
Abit Godang
dalam upacara
mangupa
bermakna memberi kehangatan dalam pelaksanaan
pedoman hidup yang disimbolkan oleh materi dalam
pangupa.
d.
Sebagai selimut peti atau keranda jenazah pada upacara kematian. Setelah
jenazah dimasukkan kedalam keranda, maka keranda tersebut ditutup dengan
tiga lembar
abit godang.
e.
Sebagai selimut kayu
bungkulan
(kayu hubungan atap rumah) ketika akan
mendirikan rumah baru.
f.
Sebagai alas persembahan sirih
burangir na hombang
, yaitu sirih yang
digunakan dalam setiap memulai pembicaraan pada sidang adat.
g.
Sebagai pemberian atau barang pegantin wanita yang diberikan oleh orang tua
kepada pengantin wanita pada upacara perkawinan.
2. Lapangan penggunaan
parompa sadun
batik panjang. Upacara pemberian kain adat ini disebut
Mangalehen Parompa
yang
diberikan oleh orang tua seorang wanita yang baru dianugerahi anak pertama.
3.2.
Teknologi Produksi
3.2.1.
Bahan Baku
Bahan baku utama kain tenun ulos adalah kapas atau kapok. Bahan baku ini
tidak ditanam di sekitar wilayah Sipirok. Bahan baku yang diperoleh pengrajin tenun
sudah berupa benang. Benang yang menjadi bahan baku yang digunakan pengrajin
tenun terdiri dari beberapa jenis, yaitu:
a.
Benang Ikat
Benang ikat terdiri dari ikatan-ikatan benang yang belum tergulung melainkan
terurai dalam satu ikatan. Benang jenis ini harus terlebih dahulu diolah atau diproses,
sebelum digunakan oleh pengrajin. Biasanya para pengrajin membelinya satu kotak
atau satu kemasan, dalam satu kemasan berisi 10 ikat benang.
Para pengrajin tradisional yang menggunakan bahan baku jenis benang ikat ini
telah mengenal pembagian kerja atau spesialisasi kerja. Ada yang khusus
pekerjaannya
mangunggas, mangulkul
dan
mangani
. Masing-masing benang ikat
yang telah melewati beberapa proses pekerjaan tambahan agar menjadi benang tenun
siap pakai, dijual dengan harga bervariasi. Umumnya para pengrajin sudah
menggunakan benang yang telah siap tenun ini.
Benang ball adalah benang jahit biasa berwarna putih (berupa gulungan) yang
biasa digunakan dalam lingkungan rumah tangga. Benang ini digunakan pengrajin
untuk membuat motif atau hiasan
parompa sadun
dan
abit godang
yang menuntut
warna putih. Selain itu, pengrajin juga menggunakan benang sulam (benang yang
biasa digunakan untuk menyulam) yang terdiri dari aneka warna. Warna yang
digunakan pengrajin disesuaikan dengan tuntutan motif atau hiasan
parompa sadun
dan
abit godang
. Benang ball yang digunakan pengrajin dijual secara bebas ada di
pasaran dan dengan mudah didapatkan para penenun.
3.2.2.
Peralatan dan Proses Pembuatan
Peralatan dan perlengkapan tenun tradisional yang sederhana relatif dapat
dipindah-pindahkan, sehingga para pengrajin dapat bertenun sesuai dengan tempat
yang diinginkannya, seperti, pengrajin dapat bertenun di teras rumah, di ruang tengah,
di dapur, dan tempat-tempat lainnya sesuai dengan keinginannya.
Untuk dapat lebih memahami berbagai peralatan tenun tersebut, berikut ini
akan diuraikan proses produksi serta satu persatu bagian-bagian dari peralatan atau
perlengkapan bertenun.
a.
Mangunggas
Mangunggas
adalah kegiatan menganji atau menajin benang yang akan
ditenun supaya keras dan tidak berbulu-bulu dengan menggunakan peralatan
“unggas”.
Bahan yang dipergunakan pada kegiatan
mangunggas
ini adalah nasi
sebanyak tiga kepal, air setengah cangkir, kemiri dua buah, dan air nasi atau tajin
secukupnya.
Pangunggasan
terdiri dari empat bagian peralatan yang utama, yaitu
s
1.
Unggas
yaitu berupa kuas yang terbuat dari ijuk pohon enau yang
berfungsi untuk mengoleskan kanji atau tajin pada benang yag akan
ditenun. Tujuan pengolesan bahan baku benang dengan kanji atau air tajin
adalah supaya benang mengeras dan tidak mudah kusut.
Unggas
juga
berfungsi untuk meratakan bahan pengeras benang menganji.
2.
Hantaran
adalah alat yang dibuat dari kayu dan dipergunakan untuk
menjemur benang yang akan
diunggas
.
tempat penjemuran benang yang diletakkan pada bagian bawah dan
berfungsi pula sebagai pemberat agar benang yang dijemur tetap tegang
dan lebih mudah dikuas serta lebih merata.
4.
Giling-giling
adalah alat yang terbuat dari bambu yang agak kecil dengan
diameter berkisar antara 4 cm sampai dengan 6 cm.
Giling-giling
juga
tempat penjemuran benang yang terletak pada bagian atas.
b.
Manjomur
Manjomur
artinya adalah menjemur.
Manjomur
yaitu proses pengeringan
benang yang sudah selesai dikanji atau
diunggas
dibawah sinar matahari dan tetap
berada pada
pangunggasan.
c.
Mangulkul
benang, baling-baling berputar pada porosnya, dengan demikian penggulungan
mudah dilakukan.
d.
Manghasoli
Manghasoli
adalah proses penggulungan benang pada sepotong bambu yang
dinamakan
hasoli
sehingga membentuk kumparan benang yang siap untuk ditenun.
Hasoli
adalah sebilah bambu berbentuk bulat yang panjangnya kira-kira 20 - 25 cm
dan diameternya kira-kira 0,5 cm. Alat ini berfungsi sebagai gulungan benang atau
gelondong benang. Pada waktu bertenun,
hasoli
dimasukkan ke dalam
turak
, yaitu
seruas bambu yang dibentuk sedemikian rupa sehingga
hasoli
bebas berputar
didalamnya. Kalau dilihat dari segi fungsinya, pada hakekatnya alat ini sama dengan
sekoci pada mesin jahit.
e.
Mangani
Mangani
adalah kegiatan mengatur dan menyusun lungsin (benang yang
terletak memanjang pada kain tenunan) dengan menggunakan alat
anian
, dimana
helai demi helai benang dililitkan pada kerangka atau bingkai
anian
dengan posisi
dan jarak yang dapat diatur sesuai dengan yang dikehendaki.
Anian
terbuat dari kayu
bilahan papan dan berfungsi sebagai ram, yakni untuk tempat mengatur, menyusun
dan memasang lungsin.
f.
Martonun
dilakukan oleh ibu rumah tangga dan para gadis yang sudah tidak bersekolah lagi
(putus sekolah atau sudah tamat SLTP, tetapi tidak melanjut ketingkat SMA).
Untuk menyelesaikan sehelai kain tenun sangatlah tergantung pada
kemampuan dan keterampilan seorang pengrajin. Lamanya mengerjakan suatu
produk sangat berbeda antara satu pengrajin dengan pengrajin lainnya. Seorang
pemula biasanya mampu menyelesaikan satu produk selama lima hari dengan
ketentuan pengerjaan kira-kira 8 jam per sehari, sedangkan untuk pengrajin yang
sudah terampil atau senior membutuhkan 2 sampai 3 hari untuk menyelesaikan satu
helai kain tenun. Waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan suatu produk juga
dipengaruhi oleh banyaknya ragam hias yang bentuk dan jenisnya rumit serta
variasinya banyak, tentu akan memerlukan waktu yang relatif lama. Dengan
demikian, lamanya mengerjakan suatu hasil tenunan, sangat dipengaruhi oleh
kemampuan dan keterampilan seorang pengrajin serta motif dan ragam hias dari
tenunan.
3.2.3.
Hasaya
atau Alat Tenun Tradisional
cara memangku peralatan tersebut. Hasaya sebagai seperangkat alat tenun terdiri atas
beberapa bagian, yaitu:
•
Guyun
Guyun
adalah alat yang terbuat dari dua bilah kayu bulat yang
diameternya berkisar 0,5 cm – 1 cm dan panjangnya kira-kira 70 cm – 100
cm. Kedua bilah kayu tersebut dijalin oleh untaian benang bercelah-celah,
sehingga menyerupai sisir yang bercelah jarang. Alat ini digunakan untuk
memisahkan benang atas dan benang bawah lungsin. Jadi, pada setiap
celahnya dilewati oleh benang lungsin, sehingga kalau diangkat salat satu
belahan kayunya (belah kayu bagian atas) makan terpisahlah benang lungsin
atas dan benang lungsin bawah.
•
Pagabe
Pagabe
adalah peralatan tenun yang terbuat dari kayu broti berukuran
3 x 4 cm dan panjangnya kira-kira 100 cm. Kayu broti tersebut diketam
sehingga menjadi licin dan rata. Adapun fungsi dari
pagabe
ini adalah sebagai
gulungan kain yang telah selesai ditenun.
•
Pamunggung
Kayu atau alat ini gunanya adalah sebagai penahan punggung
sipenenun, sehingga tidak bergeser dari posisinya ketika melakukan kegiatan
bertenun. Pada bagian depan sipenenun, tepatnya pada pangkuan (diatas paha)
diletakkan
pagabe
dan kemudian diantara
pagabe
dan
pamunggung
dihubungkan dengan tali pengikat berupa tali plastik atau tali nilon. Jadi,
posisi pinggang sipenenun ketika bertenun berada pada celah antara
pagabe
dan
pamunggung.
•
Tadokan
bergerak-gerak ketika dipijak. Dengan posisi yang demikian, letak duduk dan
kaki sipenenun menjadi tetap (tidak berubah-ubah).
•
Pemapan
Pemapan
adalah berupa kayu broti atau bambu bulat yang biasanya
dipakukan ke dinding rumah (tempat bertenun), panjang dan besarnya
disesuaikan dengan peralatan tenun. Alat ini berfungsi sebagai penahan
peralatan tenun supaya tidak bergeser pada waktu kegiatan bertenun
dilakukan. Pada
pemapan
inilah diikatkan peralatan tenun, terutama diikatkan
pada “
hapit
”, yaitu berupa dua buah potongan kayu dengan permukaan rata
disatukan, sehingga dapat menjepit benang lungsin.
•
Tipak, Balobas, Pambirbir
, dan
Corot
Keempat alat ini terdiri dari bilahan papan tipis yang rata, yang
digunakan untuk memisah-misahkan benang lungsin ketika melakukan
pembuatan motif atau hiasan kain yang akan ditenun.
3.3.
Modal
Dalam proses bertenun, modal bagi masyarakat Sipirok terdiri dari modal tetap
dan modal berjalan. Modal tetap adalah modal yang tidak habis dalam sekali pakai
dalam proses produksi, yang terdiri dari peralatan serta sarana untuk bertenun, yang
umumnya disebut dengan
hasaya
oleh masyarakat Sipirok. Modal tetap ini umumnya
dimiliki masing-masing penenun karena sifatnya yang masih tradisional dapat dengan
mudah dibuat oleh kaum laki-laki di Sipirok dengan menggunakan peralatan yang
terdapat di sekitar kawasan tempat tinggal masyarakat Sipirok. Modal berjalan adalah
modal yang membiayai pelaksanaan proses produksi, yaitu untuk membeli bahan
baku dan biaya operasional lainnya.
Selain modal milik sendiri, terdapat modal yang diperoleh melalui pinjaman
dari saudara atau keluarga. Modal pinjaman ini merupakan tambahan untuk modal
milik sendiri. Hal ini terjadi apabila penenun tidak memiliki sejumlah uang yang
cukup untuk proses bertenun yang masih berkelanjutan. Peminjaman juga dapat
dilakukan pada konsumen yang melakukan pemesanan
abit godang
dan
parompa
sadun,
dan perhitungan pengembalian pinjaman tersebut akan diperhitungkan setelah
pesanan
abit godang
atau
parompa sadun
tersebut selesai.
3.4.
Tenaga Kerja
Berbeda dengan jenis usaha lainnya, kegiatan bertenun di daerah Sipirok
merupakan pekerjaan khas wanita. Para penenun beranggapan bahwa pekerjaan
bertenun merupakan bidang pekerjaan yang hanya sesuai untuk wanita, salah satunya
karena dalam mengerjakan tenunan dibutuhkan kesabaran yang tinggi sehingga kaum
pria dianggap tidak mampu melakukannya, dan seorang pria yang mau melakukan
pekerjaan itu dianggap aneh dan bahkan memiliki kelainan. Akan tetapi, anggapan
yang demikian hanya berlaku pada proses produksi, sedangkan pada proses
pemasaran kain hasil tenunan kehadiran pria tidak dianggap aneh sama sekali.
pekerjaan ketimbang bekerja disektor pertanian. Bertenun tidak mengharuskan
seseorang bekerja sesuai dengan aturan musim, juga tidak menuntut jam kerja yang
ketat, dan dapat dilakukan di rumah sendiri pada sembarang waktu. Hal ini menjadi
salah satu alasan pendorong bagi anak gadis di Sipirok untuk menjadi seorang
penenun.
Berbeda halnya dengan para ibu rumah tangga yang menjadikan bertenun kain
abit godang
dan
parompa sadun
sebagai usaha sambilan. Mereka ini memilih waktu
bertenun yang disesuaikan dengan kesibukan-kesibukan di sawah. Kegiatan bertenun
umumnya dilakukan oleh para ibu rumah tangga selepas kegiatan menanam padi
sampai musim panen. Hal ini dikarenakan intensitas pekerjaan di sawah menurun
sehingga mereka punya banyak waktu kosong yang kemudian dimanfaatkan untuk
kegiatan bertenun. Seperti yang sudah penulis jelaskan bahwa dalam kegiatan
bertenun terdiri dari beberapa tahap. Ibu-ibu yang tergolong dalam kategori ini
(menjadikan kegiatan pertenunan sebagai sampingan) tidak memilih tahapan
martonun
karena membutuhkan waktu yang lama, mereka pada umumnya
mengerjakan tahapan-tahapan yang lebih ringan dan sedikit waktu kerja saja seperti
mangunggas, mangulkul
atau
mangani.
Diantara mereka juga memilih bidang
pekerjaan ini karena sebagian dari mereka tidak memiliki keahlian dalam hal
bertenun. Sedangkan para anak-anak gadis umumnya lebih berkonsentrasi pada
tahapan
manonun
atau bertenun dan
manyimatai
atau memasang manik-manik.
bisa belajar dari ibunya yang pandai dan pernah menjadi penenun. Selain itu, juga
bisa belajar kepada kerabat, teman atau bahkan pada seorang pelatih. Belajar kepada
seorang teman atau pelatih biasanya berlaku aturan pengupahan, yaitu berupa beras 1
sampai 3 kaleng
343.5.
Jaringan Pemasaran
sampai yang bersangkutan pandai. Selain itu ada juga sistem
pengupahan dimana 3 lembar kain hasil tenunan pertama akan menjadi hak milik
yang mengajari calon penenun. Setelah pandai atau cukup mampu, seorang gadis
akan mulai menekuni pekerjaannya sebagai penenun.
Seperti yang telah penulis jelaskan,
abit godang
dan
parompa sadun
adalah dua
jenis kain yang digolongkan sebagai kain adat di daerah Tapanuli Selatan. Keduanya
terikat oleh aturan-aturan adat dalam hal penggunaannya. Konsumen utama untuk
kedua jenis kain adat ini adalah warga pendukung budaya dimana kain tersebut eksis,
yaitu masyarakat Tapanuli Selatan, baik yang mengidentifikasi dirinya sebagai
Angkola, Sipirok, Mandailing, Padang Bolak, Padang Lawas, dan lain-lain.
34
BAB IV
PERKEMBANGAN PERTENUNAN DI SIPIROK 1980-2006
Kain tenun dalam perkembangannya melalui banyak proses interen dan
eksteren sehingga mampu bertahan hingga pada saat sekarang ini. Dalam melihat
suatu perkembangan yang berarti membawa perubahan, terdapat beberapa aspek
yang harus diperhatikan hingga perubahan tersebut terjadi.
Kain tenun hasil produksi masyarakat Sipirok awalnya hanya terdiri dari dua
jenis yaitu
Abit Godang
dan
Parompa Sadun
, mempunyai kedudukan istimewa dan
memiliki makna simbolis dan filosofis sesuai dengan tatanan budaya yang lazim
berlaku dalam kehidupan masyarakat Sipirok. Pilihan warna, desain, corak, dan
ukurannya selalu mengikuti standar yang sudah baku, yang dilandasi sistem makna
yang harus didukungnya. Akan tetapi, seiring dengan terjadinya berbagai perubahan
sosial dan budaya pada masyarakat Sipirok, kegiatan dan tujuan pertenunan agaknya
juga mengalami proses transformasi.
tetapi sudah dipergunakan untuk keperluan lain misalnya sebagai cinderamata atau
souvenir
.
Adanya transformasi nilai budaya memungkinkan usaha pertenunan
berkembang dan usaha seperti ini telah menemukan dimensi baru dalam kehidupan
masyarakat Sipirok, karena produksi mereka tidak hanya diarahkan untuk konsumen
setempat yang memerlukannya dalam berbagai aktivitas upacara adat melainkan juga
diarahkan ke pasar yang lebih luas.
4.1. Alat Tenun Bukan Mesin
Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) adalah alat tenun dengan tingkat teknologi
pertenunan yang sudah lebih maju, menggunakan peralatan rangka kayu yang
gerakan mekanisnya dihasilkan oleh tenaga manusia.
35Hadirnya Alat Tenun Bukan Mesin diantara para pengrajin tenun Sipirok
adalah salah satu bentuk dukungan pemerintah daerah Kabupaten Tapanuli Selatan.
Alat Tenun Bukan Mesin ini pertama kali diberikan oleh pemerintah daerah
Kabupaten Tapanuli Selatan pada tahun 1985 sebanyak 20 unit, yang masing –
Alat ini merupakan
perombakan dari alat berpenahan pinggang menjadi alat penggerak kaki. Alat Tenun
Bukan Mesin ini digerakkan oleh injakan kaki yang mengatur naik turunnya benang,
yang dipergunakan sambil duduk di kursi yang menyatu dengan kerangka kayu Alat
Tenun Bukan Mesin ini.
35
Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi/UKM Kabupaten Tapanuli Selatan,
masing berharga Rp. 350.000,-. Bantuan ATBM tersebut antara lain diberikan kepada
pengrajin di desa Hutasuhut (8 unit), Silangge (6 unit), Padang Bujur (2 unit),
Pangurabaan (1 unit), Baringin (2 unit), dan Paran Padang (1 unit).
36Alat Tenun Bukan Mesin yang digunakan oleh masyarakat penenun di Sipirok
adalah Alat Tenun Bukan Mesin jenis dobby. Alat tenun ini adalah alat tenun yang
umum ditemukan dikerajinan tenun di Sumatera Utara. Alat tenun jenis ini dapat
menghasilkan beberapa macam corak serta anyaman, dimana alat ini dapat dilengkapi
dengan 16 buah gun.
Alat Tenun
Bukan Mesin ini lebih dikenal masyarakat Sipirok dengan sebutan Silungkang,
sehingga kain tenunan dari hasil alat tenun ini juga dikenal sebagai kain tenun
Silungkang oleh masyarakat Sipirok.
37
1.
Jugukan
atau tempat duduk ketika sedang menenun. Pada alat tenun ini
dilengkapi dengan tempat duduk yang menyatu dengan alat tenun.
Penganekaragaman jenis produksi tenun seperti kain sarung
atau songket, hiasan dinding, taplak meja, gorden, sajadah, bakal baju dan
sebagainya, dimulai dari pengenalan alat tenun jenis ini.
Berikut ini akan dijelaskan bagian-bagian serta fungsi-fungsi yang terdapat
pada Alat Tenun Bukan Mesin, yaitu:
36
Ahmad Husin Ritonga,dkk., op.cit., hal. 64.
37
2.
Gun atau Guyun
, adalah bagian alat tenun yang terdiri dari empat buah, yang
biasanya terbuat dari kawat baja untuk menyusun benang. Gun berfungsi
untuk mengatur naik turunnya benang ketika berlangsung proses menenun.
3.
Suri
atau sisir tenunan yang berfungsi untuk merapatkan benang sewaktu
terjadi proses menenun kain.
4.
Tijak-tijak,
yaitu alat untuk mengatur naik turunnya
gun
ketika terjadi proses
menenun, alat ini diinjak dengan kaki untuk menurun dan menaikkan
gun
sebagai kontrol benang dan motif.
5.
Teropong,
sebagai tempat atau alat pembawa palet pada waktu terjadi
peluncuran benang atau penjalinan benang. Bentuk dan besarnya teropong
harus disesuaikan sedemikian rupa sehingga dapat menjalin benang dengan
baik.
6.
Boom,
adalah alat untuk penggulung benang lungsin.
Boom
memiliki panjang
140 sampai 150 cm, dan lebar 20 cm dengan ketebalan 4 cm. Boom
dipasangkan pada dua buah balok yang dipahat.
Alat Tenun Bukan Mesin ini dapat menghasilkan lembaran kain ukuran 2,5
meter dengan kisaran harga Rp. 200.000,- hingga Rp. 500.000,-, akan tetapi, terdapat
juga dengan harga diatas Rp. 1.000.000,- sesuai dengan penggunaan bahan dasar kain
tenun tersebut.
ataupun Pengusaha kain tenun ini membeli Alat Tenun Bukan Mesin ini secara
pribadi melalui untung yang diperoleh dari hasil penjualan kain tenun sebelumnya.
4.2. Bahan Baku
Bahan baku yang digunakan dalam kerajinan tenun ATBM adalah benang
polyster yaitu benang jahit biasa yang berwarna-warni dan telah tergulung pada
gulungan berupa pipa plastik atau kertas. Satu gulung benang biasanya panjangnya
mencapai sekitar 20 meter. Benang ini adalah benang yang sudah siap pakai untuk
digunakan pengrajin. Benang tekstil polyster yang umum digunakan merupakan
benang bernomor rendah yaitu sekitar Ne1 20-30.
381.
Pengelosan,
yaitu proses pembersihan benang yang umumnya masih kotor
sekaligus meratakan diameter atau gulungan benang yang tidak sama.
Kain yang dibuat dengan cara ditenun, memiliki dua arah serat benang yang
saling berlawanan, yaitu benang lungsin (benang yang disusun lurus secara vertikal)
dan benang pakan (benang yang disusun lurus secara horizontal). Dua set benang ini
saling menyeberang atau menyilang satu sama lainnya sehingga membentuk garis
kotak-kotak. Pada proses persiapan pertenunan, dilakukan beberapa perlakuan
terhadap benang tunggal yang akan dijadikan benang lungsin, yaitu:
2.
Penghanian,
yaitu penggulungan atau pengaturan benang-benang lungsin
pada
boom
dengan sistem penggulungan sejajar.
38
3.
Penganjian,
yang bertujuan untuk meningkatkan daya tenun benang yang
akan digunakan sebagai benang lungsin. Penganjian ini menjadikan benang
lebih licin, daya tahan benang terhadap gesekan bertambah dan benang
menjadi lebih kompak.
4.
Pencucukan, yaitu proses memasukkan benang lungsin dari
boom
lungsin ke
dalam lubang mata
gun
dan lubang lungsin. Pencucukan dilakukan sebelum
penggulungan benang pada
boom
lungsin dipasang untuk diatur sedemikian
rupa.
5.
Pemaletan,
yaitu penggulungan benang dalam bentuk benang pakan.
4.3 Modal
Dalam perkembangan kegiatan usaha pertenunan di Sipirok, modal dapat
diperoleh dari berbagai sumber. Perolehan modal awalnya berasal dari modal milik
sendiri, dan ditambah dengan modal yang diperoleh melalui pinjaman dari saudara.
Selanjutnya, sejalan dengan perkembangan kegiatan usaha pertenunan di Sipirok
maka perolehan modal pun kian bertambah, yaitu
1.
Modal sendiri ditambah pinjaman dari toke
pengembaliannya tidak disertai dengan bunga uang. Pinjaman uang tersebut akan
diperhitungkan ketika pengerjaan kain tenun selesai. Penenun akan memperoleh upah
dari pembuatan kain tenun setelah dikurangi dengan jumlah pinjaman yang telah
dilakukan sebelumnya.
Transaksi pinjam meminjam uang ini juga dapat terjadi apabila penenun
membutuhkan uang untuk keperluan yang mendesak diluar dari kebutuhan menenun.
Pinjaman tersebut dilakukan karena adanya hubungan saling percaya antara
keduanya. Pinjaman oleh toke tidak mensyaratkan berbagai ketentuan seperti
jaminan, bunga, dan tidak membutuhkan waktu yang lama, dan pengembalian dapat
dilakukan dengan tunai atau pun secara berangsur. Oleh karenanya, para toke
seringkali dianggap sebagai “bapak angkat” bagi para penenun di Sipirok. Hal ini
dapat dijadikan sebagai instrumen untuk memelihara loyalitas dan keterikatan para
penenun tersebut kepada toke.
2.
Modal sendiri ditambah pinjaman dari perusahaan atau pemerintah
penenun. Bantuan diberikan melalui program Paket Kejar Usaha dengan bantuan
dana sebesar Rp. 200.000,- untuk tiap kelompok yang terdiri dari 5 orang.
394.4. Tenaga Kerja
Para penenun yang menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin tidak berbeda
dengan penenun yang menggunakan alat tenun
Hasaya,
yaitu para perempuan di
Sipirok. Sebagian perempuan di Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan,
tidak lagi harus menjual beras setiap kali belanja ke pasar. Pemasukan dari menenun
dapat digunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Anak gadis yang masih
sekolah dapat membantu membiayai kebutuhan sekolahnya sendiri dan anak gadis
yang sudah menyelesaikan sekolahnya (umumnya tingkat SMA atau berhenti hanya
pada tingkat SLTP) menjadikan bertenun sebagai kegiatan mata pencaharian untuk
membantu perekonomian keluarganya. Meskipun belum ada ukuran pasti atau data
statistik yang menunjukkan berapa tingkat kesejahteraan masyarakat Sipirok yang
terdongkrak dari kegiatan bertenun ini. Secara perlahan, kegiatan bertenun yang
awalnya hanya pekerjaan sampingan beralih menjadi mata pencaharian utama.
Berikut ini adalah gambaran tentang jumlah pengrajin atau tenaga kerja yang
berprofesi sebagai penenun di Sipirok. Data yang dikemukakan bukan data statistik
resmi, melainkan hanya angka taksiran oleh informasi yang menurut bersangkutan
banyak mengetahui keadaan kegiatan pertenunan di Sipirok.
39
Tabel III. 1
JUMLAH PENGRAJIN KAIN TENUN SIPIROK (1988)
No.
Desa
Jumlah Pengrajin (orang)
1
Silangge
26
2
Sigiring – giring
30
3
Paran Julu
300
4
Bagas Lombang
125
5
Pangurabaan
78
6
Purba Sinomba
40
7
Aturmangan
40
8
Purbatua
25
9
Hutasuhut
100
10
Padang Bujur
250
11
Sampean
20
12
Baringan
10
13
Paran Padang
20
14
Huraba
10
15
Padang Bulan
20
16
Sigelgel
20
17
Tanjung Medan
10
18
Poldung
20
19
Bulumario
20
20
Bagasnagodang
100
Jumlah
1.264 orang
Sumber
: Wawancara dengan Bapak Humuntal Sitompul BkTeks, Staf kantor
Dinas Perindustrian Tapanuli Selatan yang khusus membidangi pembinaan Kerajinan
Tenun di Sipirok. Tgl. 11-9-1992.
40Selanjutnya, tidak pernah dilakukan lagi pencatatan rutin tentang perkembangan
kegiatan pengrajin dan jumlahnya sehingga gambaran mengenai hal itu tidak
diperoleh dengan baik.
40
4.4.1.Hubungan Penenun dengan Toke
Toke kaitannya dengan penenun dalam bidang ketenagakerjaan lebih pada
upaya memanfaatkan keahlian yang telah dimiliki penenun, dapat dikatakan tidak ada
suatuupaya atau proses pembentukan tenaga kerja dengan cara yang sistematis oleh
toke kepada penenun, bahkan toke sendiri belum tentu memiliki kemampuan dalam
hal bertenun.
Dari hasil penelitian yang dilakukan di Kecamatan Sipirok, sistem hubungan
yang terjadi antara penenun dengan toke dalam pengerjaan kain tenun terjadi secara
spontan, informal dan tidak tertulis. Kesepakatan yang terjadi lebih berdasarkan pada
hubungan kepercayaan. Hubungan ini terbentuk atas dasar kebutuhan internal, yang
terjadi tanpa diprogramkan terlebih dahulu, dan muncul sebagai akibat dari kegiatan
ekonomi itu sendiri atau adanya suatu motif ekonomi dalam usaha mengembangkan
kerajinan tenun oleh masyarakat Sipirok. Hubungan yang terjalin dan mengikat antara
penenun dengan toke ini akan dapat memberikan dan saling mengisi keterbatasan
masing-masing dalam penguasaan faktor-faktor produksi seperti pemasaran, bahan
baku, tenaga kerja dan permodalan.
Hubungan yang terjalin antara penenun dan toke pada akhirnya akan
memperlihatkan bagaimana posisi kedua belah pihak, baik
partonun
maupun toke
dalam menjalani suatu usaha yang sama yaitu industri kerajinan tenun dan bagaimana
hubungan tersebut berakibat pada usaha mereka masing-masing.
4.4.2. Pengupahan
Pada prakteknya sistem kerja pertenunan di Sipirok hampir mirip dengan
sistem kerja yang berlaku di perusahaan manufaktur, dimana setiap pekerja
mengambil bagian kerja tertentu dan diupah berdasarkan kategori pekerjaannya.
Jumlah upah yang berlaku untuk masing-masing bagian pekerjaan sangat bervariasi,
tergantung pada faktor kesulitan/ kerumitan kerjanya, dan banyaknya waktu yang
diperlukan untuk penyelesaiannya.
Tentu merupakan suatu hal yang lazim bahwa pendapatan yang diperoleh oleh
masing-masing penenun dari upah kerjanya sangat beragam, karena hal ini sangat
bergantung pada kecepatan, kerajinan, kerapian, dan kehalusan tenunan, dan juga
kualitas kain tenun yang dihasilkan. Selain karena bahannya terpilih, kualitas
tenunannya halus dan rapi, maka upah pembuatannya juga lebih tinggi.
bekerja selama seminggu dan akan terobati dengan menerima upah yang menjadi
haknya. Dan hari berikutnya, yaitu pada hari pekan, para penenun benar-benar bebas
dari urusan bertenun.
4.5. Modifikasi Kain Tenun
Kegiatan usaha pertenunan di Sipirok, sebagai bagian dari kebudayaan
masyarakat Tapanuli Selatan yang dinamis, juga memperlihatkan gerak perubahan
dan penyesuaian dengan tantangan zaman yang sedang berubah.
Penggunaan kreatifitas imajinasi dapat diimplementasikan para penenun pada
hasil tenunan menggunakan ATBM. Hal ini tentu tidak dapat digunakan oleh
penenun yang menggunakan
hasaya
dalam memproduksi
abit godang
dan
parompa
sadun,
yang sudah mutlak menggunakan motif-motif baku. Oleh karenanya,
pengenalan ATBM kepada penenun di Sipirok membuka cakrawala baru dalam
kegiatan usaha pertenunan di Sipirok. Alat tenun ini memang tidak dipergunakan
untuk memproduksi
abit godang
dan
parompa sadun
, melainkan untuk memproduksi
kain songket, bakal baju, hiasan dinding dan sebagainya.
Penggunaan ATBM menghasilkan produk-produk baru yang tidak termasuk
dalam kategori kain adat. Proses pengerjaan juga semakin singkat, karena bahan baku
yang digunakan terutama benangnya sudah menggunakan benang polyster dan tidak
perlu dicelup lagi seperti halnya dalam pembuatan
abit godang
dan
parompa sadun.
motif ragam hias
pusuk robung,
bunga ros,
lus-lus, jojak
dan sebagainya. Akan tetapi,
kebebasan berkreasi lebih luas bagi para penenun, termasuk dalam hal pemilihan
warna dan penentuan motif ragam hias.
4.6. Diversifikasi Jenis Produksi
Kain tenun yang dihasilkan dengan menggunakan alat ATBM sudah beraneka
ragam, seperti kain bakal baju, kain songket, sajadah, gorden dari kain tenun, kemeja
tenun,hiasan dinding dan sebagainya, dengan menggunakan corak khas yang diambil
dari motif kain adat. Produk-produk yang demikian banyak dibuat oleh penenun yang
menggunakan ATBM, misalnya yang terdapat di Hutasuhut, Silangge, Pangurabaan
dan Baringin. Dibeberapa desa di Sipirok hingga kini masih terdapat beberapa unit
ATMB bantuan Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan yang masih
produktif, disamping ATBM milik pribadi para toke atau pengusaha kain tenun di
Sipirok.
4.7. Prospek Jaringan Pemasaran Produk
Pasar merupakan faktor yang sangat penting bagi kalangan penenun untuk
dapat menjual produk-produk yang dihasilkan. Tanpa terbukanya pasar yang luas
maka usaha yang mereka geluti tidak akan bertahan atau berkembang.
untuk melakukan pesanan tenun kepada penenun dan kemudian meneruskannya
kepada pedagang di pasar atau konsumen. Kemudian penenun, yaitu yang bekerja
untuk menenun kain namun dalam suatu waktu dapat juga bertindak sebagai penjual.
Konsumen utama untuk tenun kain Sipirok ini adalah warga pendukung
budaya dimana kain tersebut eksis, yaitu masyarakat Tapanuli Selatan. Akan tetapi
tidak menutup kemungkinan masyarakat diluar yang mengidentifikasikannya sebagai
penduduk asli Tapanuli Selatan. Hal ini dikarenakan penganekaragaman produksi
yang dilakukan, yang kini lebih kepada kekinian (fashionable) juga dalam bentuk
souvenir
/ hiasan. Sehingga selain pemasaran diwilayah-wilayah masyarakat
pendukungnya, wilayah-wilayah yang menjadi kawasan wisata merupakan salah satu
sasaran pemasaran produk tenun Sipirok. Seperti di Parapat, Porsea, Tarutung,
pematang Siantar, Medan hingga Jakarta.
Selain itu oleh Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan serta Dewan
Kerajinan dan Kesenian Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan, juga memberikan
berbagai kesempatan berupa keikutsertaan dalam pameran yang diadakan secara rutin
yang juga menjadi ajang promosi dan pemasaan hasil produksi tenunan Sipirok.
Misalnya kesempatan pameran pembangunan di Kabupaten Tapanuli Selatan, Medan
Fair, Pesta Danau Toba, Jakarta Fair dan sejenisnya.
BAB V
PERANAN PEMERINTAH DALAM PERKEMBANGAN PERTENUNAN DI
SIPIROK 1980-2006
5.1 Memberdayakan Wanita Sipirok
Secara konseptual, memberdayakan (
empowerment
) berasal dari kata ‘power’
yang berarti kekuasaan. Karenanya, ide utama memberdayakan bersentuhan dengan
konsep mengenai kekuasaan. Kekuasaan seringkali dikaitkan dengan kemampuan kita
untuk membuat orang lain melakukan apa yang kita inginkan, terlepas dari keinginan
dan minat mereka. Ilmu sosial tradisional menekankan bahwa kekuasaan berkaitan
dengan pengaruh dan kontrol.
aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan
mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya.
41Pemberdayaan wanita Sipirok oleh pemerintah daerah dalam kegiatan
bertenun pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan
tiap keluarga di Sipirok, yang pada akhirnya diharapkan membawa dampak yang
positif bagi daerah Tapanuli Selatan terkhusus wilayah Kecamatan Sipirok. Meskipun
Dari penjabaran diatas, hal ini dapat terlihat pada masyarakat Sipirok
diberdayakan oleh pemerintah daerah. Pemberdayaan maasyarakat Sipirok oleh
pemerintah daerah adalah bertujuan untuk mengupayakan tingkat kesejahteraan yang
lebih baik bagi masayarakat Sipirok. Masyarakat Sipirok adalah masyarakat yang
sangat bergantung pada sektor pertanian, padahal jika dilihat dari keadaan geografis
wilayah Sipirok bukan merupakan wilayah yang luas untuk kegiatan pertanian. Selain
itu waktu luang yang dimiliki petani ketika selesai menanam padi begitu banyak.
Sehingga agar waktu luang ini dapat menghasilkan perlu dilakukan kegiatan yang
positif.
Seperti yang sudah diketahui pertenunan sudah sejak lama dilakukan oleh
masyarakat Sipirok, sehingga kegiatan bertani sering diselingi dengan kegiatan
bertenun. Oleh pemerintah daerah melihat peluang ini, agar dapat memberdayakan
wanita Sipirok, baik yang berprofesi sebagai petani maupun anak gadis yang putus
sekolah atau pengangguran.
41
data statistik mengenai pengaruh pertenunan terhadap tingkat kesejahteraan keluarga
di Sipirok belum dapat didata/ diprediksi. Akan tetapi melihat banyaknya wanita
Sipirok yang diberdayakan menjadi penenun terus menerus bertambah setiap
tahunnya.
5.2. Bantuan Alat Tenun Bukan Mesin
Perkembangan tenun di Sipirok jelas tampak dimulai pada tahun 1980 ketika
pemerintah daerah melalui Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan
membagikan Alat Tenun Bukan Mesin kepada penenun sebanyak 20 unit yang
terbagi dalam beberapa wilayah desa di Sipirok untuk meningkatkan usaha bertenun
ini. Hal ini sudah penulis jelaskan secara detail diatas. Kemudian, pemberian Alat
Tenun Bukan Mesin kepada penenun dilakukan kembali pada tahun 1996 dan 2002,
yang disebar ke penenun diberbagai desa di Kecamatan Sipirok, akan tetapi tidak
diketahui secara pasti total Alat Tenun Bukan Mesin yang dibagikan dan wilayah
penyebarannya.
4242
Wawancara dengan penenun, Ompung Majid dan Boru Pane tanggal 27 Mei 2016.
Sesungguhnya, pada tahun 1991 terdapat PT. Indosat yang juga melibatkan
diri dalam kegiatan pertenunan di Sipirok. PT. Indosat pada masanya dikenal sebagai
“bapak angkat” bagi penenun di Sipirok. Keterlibatan PT. Indosat dalam
perkembangan pertenunan di Sipirok merupakan realisasi dari program
Marsipature
Huta Na Be
(Martabe) yang mengandung arti Saling Memperbaiki Kampung
Masing-Masing. Program pembangunan ini merupakan gagasan salah satu Gubernur
Sumatera Utara saat itu, Raja Inal Siregar. PT. Indosat membangun dua unit balai
pertenunan permanen di desa Bunga Bondar dan Padang Bujur. Peralatan yang
digunakan di balai pertenunan PT. Indosat ini adalah Alat Tenun Bukan Mesin,
dengan total 15 unit ATBM. Kegiatan pertenunan mitra usaha PT. Indosaat membuat
produk yang lebih beraneka ragam. Antara lain produk tenunan yang digunakan
sebagai hiasan dinding, alas meja, tikar/ alas sembahyang, dan lain-lain.
43Dalam
membuat produk tenunan, para penenun disini sudah mengikuti pola atau desain
tertentu sesuai dengan yang dipesankan oleh PT. Indosat yang berpusat di Medan.
Motif ragam hias masih menirukan motif ragam hias kain adat, akan tetapi beberapa
motif sudah dimodifikasi sedemikian rupa menjadi motif atau ragam hias baru.
4443
Ahmad Husin Ritonga,dkk., op.cit., hal. 114.
44
Ibid., hal. 116-117.
5.3 Pelatihan Tenaga Kerja
Proses belajar menenun biasnaya berlangsung sekitar 1 bulan, tergantung pada
tingkat apresiasi dan bakat seseorang dalam menerima pelajaran/ latihan. Setelah
pandai atau cukup mampu, seorang gadis akan mulai menekuni pekerjaannya sebagai
penenun.
Ketika Alat Tenun Bukan Mesin sudah diperkenalkan kepada para penenun di
Sipirok, oleh Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan serta Dewan Kerajinan
Nasional Daerah Tapanuli Selatan juga memberikan kesempatan magang atau
pelatihan kepada anak-anak gadis yang berminat belajar menenun, melalui balai-balai
pertenunan yang dikelola dan dibina oleh kantor dinas tersebut. Orientasi pelatihan
lebih kepada menenun kain songket atau bakal baju serta modifikasi ragam hias.
Dukungan total pemerintah terhadap pengembangan pertenunan di Sipirok
sangat diharapkan guna memperluas pasar kain tenunan Sipirok. Seperti pada tahun
2006, pemerintah khususnya Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan beserta
Dewan Kerajinan Nasional Daerah Tapanuli Selatan telah mengundang dan
melibatkan sejumlah perancang busana dan desainer tekstil untuk membantu para
penenun membuat kain tenun yang berkualitas dengan motif yang sesuai dengan
selera pasar, diantaranya adalah Samuel Wattimena untuk tenun Sumatera utara, Tuty
Cholid untuk tenun Bali, dan Ghea S. Panggabean untuk tenun Sumatera Selatan.
4545
Pelatihan-pelatihan yang dilakukan dengan mendatangkan para desainer ini
diharapkan membuka cakrawala baru serta menggali kreatifitas masyarakat penenun
Sipirok dalam menghasilkan sebuah hasil tenunan yang sesuai dengan selera pasar.
Dari hasil-hasil pelatihan yang dilakukan terdapat motif-motif baru yang diciptakan
oleh para penenun, misalnya motif angkar yang kini sangat sering dijumpai dalam
produk-produk tenun masyarakat Sipirok. Motif ini diciptakan oleh seorang pengrajin
bernama Advenius Ritonga yang kini lebih sering disebut “bapak angkat” bagi para
penenun di Sipirok.
46Kegiatan promosi merupakan hal yang sangat penting dalam keberlangsungan
suatu kegiatan usaha. Hal ini sangatlah disadari oleh Pemerintah Daerah Kabupaten
Tapanuli Selatan, khusunya yang Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan dan
Dewan Kerajinan Nasional Daerah Tapanuli Selatan yang menangani langsung para
penenun di Sipirok. Para penenun yang dibina oleh Pemerintah Daerah Tapanuli
Selatan ini juga sering diikutsertakan dalam pameran-pameran di daerah-daerah,
seperti keikutsertaan dalam pameran kebudayaan di Porsea (1990), di Binjai (1991),
Sibolga (1992), Sipirok (1993)
5.4. Kain Tenun Sebagai Ikon Sipirok
47
46
Wawancara dengan Ibu Sakinah seorang penenun pada tanggal 20 April 2016.
47
Ahmad Husin Ritonga,dkk., op.cit., hal. 79.
Kemudian pada tahun 2006, oleh Bupati Tapanuli Selatan ketika itu Ongku P.
Hasibuan mengeluarkan Surat Keputusan yang mewajibkan kepada seluruh pegawai
pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan untuk menggunakan seragam yang berasal
dari kain tenunan masyarakat Sipirok. Kebijakan ini mulai diberlakukan pada tahun
2008. Sehingga, pegawai pemerintah daerah Tapanuli Selatan setiap hari kamis
menggunakan seragam kain tenun Sipirok.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Seiring dengan perkembangannya, kegiatan bertenun tidak lagi ditujukan pada
suplai kebutuhan kain adat untuk kegiatan upacara-upacara adat. Melainkan sudah
ditujukan pada keperluan yang lebih luas, dan produk tenun yang dihasilkan juga kini
banyak dipandang sebagai komoditi ekonomis. Pengenalan sekaligus pemberian Alat
Tenun Bukan Mesin (ATBM) oleh pemerintah daerah Kabupaten Tapanuli Selatan
pada penenun Sipirok membuka potensi serta kreatifitas kegiatan pertenunan kain di
wilayah Tapanuli Selatan khususnya Sipirok. Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM)
secara teknologis lebih maju jika dibandingkan dengan alat tenun
hasaya
. Potensi
serta prospek kegiatan pertenunan mulai dikembangkan melalui penggunaan ATBM
ini. Dengan ATBM ini lebih banyak alternatif yang tersedia dalam rangka
pengembangan mode, pemerkayaan jenis produksi dan peningkatan kuantitas
produksinya, karenanya,tidak dapat dipungkiri lagi bahwa ia berperan dalam sistem
perekonomian masyarakat Sipirok, meskipun secara stastistik belum bisa ditunjukkan
besarnya potensi ataupun pengaruh keberadaan pertenunan bagi perekonomian
masyarakat Sipirok. Kenyataan bahwa hingga saat sekarang ini kegiatan bertenun di
Sipirok masih bertahan dan malah bergerak kearah kemajuan, sekaligus membuktikan
peranan ekonomisnya. Sehingga, disamping pendapatan dari sektor pertanian,
masyarakat Sipirok dapat menambah pendapatannya dari kegiatan bertenun.
6.2. Saran
Setidaknya studi yang penulis kerjakan ini telah menggambarkan
perkembangan pertenunan di Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan,
meskipun masih banyak terdapat kekurangan. Penulis menyarankan agar kiranya
pemerintah bekerjasama dengan instansi-instansi lain sekaligus masyarakat dapat
melestarikan hasil budaya beserta nilai-nilai luhur dan ajaran moral yang terkandung
sebagai makna dari motif ragam hias
abit godang
dan
parompa sadun,
baik melalui
jalur formal maupun informal. Salah satunya adalah dengan mendirikan museum
tenun ulos masyarakat Tapanuli Selatan, yang nantinya menjadi sarana pembelajaran
bagi generasi penerus. Keterlibatan pemerintah daerah dalam kegiatan pembinaan
usaha pertenunan agar semakin baik dan tepat. Pembinaan yang dilakukan hendaknya
tidak hanya sebatas yang pernah dilakukan selama ini. Agar semakin bertumbuh
kembang usaha pertenunan dengan terobosan-terobosan baru dalam hal mode, bahan,
kualitas, corak atau motif dan sebagainya agar dapat menembus lingkup pemasaran
yang lebih luas.
BAB II
GAMBARAN UMUM KECAMATAN SIPIROK
2.1 Wilayah Sipirok di Kabupaten Tapanuli Selatan
2.1.1 Pembentukan dan Unifikasi Kabupaten Tapanuli Selatan
Kabupaten Tapanuli Selatan, awalnya, merupakan gabungan dari tiga
kabupaten yang berada di wilayah Tapanuli Bagian Selatan.
13Unifikasi wilayah Kabupaten Tapanuli Bagian Selatan menjadi Kabupaten
Tapanuli Selatan mengakibatkan seluruh pegawai yang berada di Kantor Bupati
Adapun tiga kabupaten
yang dikepalai Bupati tersebut adalah Kabupaten Angkola Sipirok dengan ibukota
kabupaten di Padangsidimpuan, Kabupaten Padang Lawas dengan ibukota kabupaten
di Gunung Tua, dan Kabupaten Mandailing Natal dengan ibukota kabupaten di
Panyabungan.
Setelah Indonesia mendapatkan kedaulatan penuh pada akhir tahun 1949,
maka pembagian daerah administrasi mengalami perubahan. Pada tahun 1950,
Kabupaten Daerah Tapanuli Bagian Selatan dibentuk menjadi Kabupaten Tapanuli
Selatan dengan Undang – Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1950. Dalam pasal 1 ayat
10 disebutkan bahwa Kabupaten Tapanuli Selatan dengan batas-batas yang meliputi
wilayah
Afdeeling
Padangsidimpuan sesuai dengan
Staatsblad
1937 Nomor 536.
13
Angkola Sipirok, Kantor Bupati Padang Lawas, Kantor Bupati Mandailing diakuisisi
menjadi pegawai Kantor Bupati Kabupaten Tapanuli Selatan yang ibukotanya
berkedudukan di Padangsidimpuan. Unifikasi wilayah Tapanuli Selatan ini pada
akhirnya memiliki 18 kecamatan
14Selanjutnya, telah terjadi beberapa kali pemekaran wilayah tingkat kecamatan
di Kabupaten Tapauli Selatan ini, yang dimulai pada tahun 1982, kemudian berlanjut
pada tahun 1992 yaitu pemekaran wilayah kecamatan Natal
, yaitu Dolok, Barumun, Barumun Tengah, Batang
Angkola, Batang Natal, Batang toru, Kotanopan, Muarasipongi, Natal, Padang Bolak,
Padangsidimpuan, Panyabungan, Saipar Dolok Hole, Simangambat, Siabu, Sipirok,
Sosa, Sosopan.
15
dan Kecamatan Siais
dengan ibukotanya Simarpinggan yang berasal dari sebagian Kecamatan
Padangsidimpuan Barat, kemudian tahun 1996 pembentukan Kecamatan Halongonan
dengan ibukotanya Hutaimbaru, yang merupakan pemekaran dari Kecamatan Padang
Bolak.
16Kemudian, dengan keluarnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12
Tahun 1998 dan disahkan pada tanggal 23 Nopember 1998 tentang pembentukan
14
Daftar 18 kecamatan ini bertahan hingga tahun 1982, ketika pada tanggal 30 Nopember 1982 terjadi pemekaran di Kecamatan Padangsidimpuan menjadi empat kecamatan yaitu Kecamatan Padangsidimpuan Utara, Kecamatan Padangsidimpuan Selatan, Kecamatan Padangsidimpuan Barat dan Kecamatan Padangsidimpuan Timur, yang kemudian nama Kecamatan Padangsidimpuan dihapus.Selanjutnya Kecamatan Padangsidimpuan Utara dan Padangsidimpuan Selatan mejadi bagian dari Kota Administratif Padangsidimpua yang dibentuk berdasarkan PP No. 32 Tahun 1982.Kota administrative bukanlah daerah otonom sebagaimana Kabupaten atau Kota.Kota administrative ini tidak memiliki DPRD.Kota administrative hanya dipimpin oleh seorang walikota dan dibantu oleh wakil walikota yang diangkat oleh gubernur dari kalangan Pegawai Negeri Sipil.
15
Kecamatan Natal ini dimekarkan menjadi 3 kecamatan, yaitu Kecamatan Natal dengan ibukotanya Natal, Kecamatan Muara Batang Gadis dengan ibukotanya Singkuang, dan Kecamatan Batahan dengan ibukotanya Batahan.
16
Kebupaten Mandailing Natal maka Kabupaten Tapanuli Selatan dimekarkan menjadi
2 Kabupaten, yaitu Kabupaten Mandailing Natal dengan ibukotanya Panyabungan
(dengan jumlah daerah administrasi 8 kecamatan) dan Kabupaten Tapanuli Selatan
dengan ibukotanya Padangsidimpuan (dengan jumlah daerah administrasi 16
kecamatan).
Tabel II. 1
Susunan Pejabat Bupati Kabupaten Tapanuli Selatan 1950-2010
No
Nama
Masa Bakti
1
Muda Siregar Gelar Sulta Doli
1950-1951
2
Raja Junjungan Lubis
1951-1954
3
Abdul Azis Lubis
1954
4
Wahid R
1954
5
Muhammad Nasib Nasution
1954-1955
6
Abdul Azis Lubis
1955-1956
7
M. Nurdin Nasution
1956-1961
8
M. Nurdin Nasution
1961-1969
9
Ahmad Negara Nasution
1969-1970
10
M. Nurdin Nasution
1970-1974
11
Bgd. Syarif Nasution
1974-1979
12
Hamzah Lubis
1979-1984
13
H.A. Rasyid nasution
1984-1989
14
Drs. Toharuddin Siregar
1989-1994
15
Drs. H. Sualoon Siregar
1994-1999
16
Ir. Suangkupon Siregar
1999-2000
17
Drs. H.M. Saleh harahap
2000-2004
18
Abdul Rahim Siregar
2004-2005
19
Ongku P. Hasibuan
2005-2010
2.1.2 Lokasi Penelitian
Secara umum Kabupaten Tapanuli Selatan menjadi lokasi cakupan wilayah
penelitian ini dan Kecamatan Sipirok merupakan wilayah sasaran utama tentang
perkembangan pertenunan di wilayah tersebut.