TRADISI MASYARAKAT DESA JANJI MAULI KECAMATAN SIPIROK KABUPATEN TAPANULI SELATAN (1900-1980)
SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN OLEH :
NAMA : LASRON P. SINURAT NIM : 100706055
DEPARTEMEN SEJARAH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ABSTRAK
Desa Janji Mauli merupakan salah satu desa yang terdapat di Kecamatan Sipirok yang dihuni oleh suku Batak Toba, dan penduduknya beragama Kristen oleh karenanya sangat layak untuk diteliti. Perkembangan kehidupan sosial masyarakat pada umumnya dapat dilihat dari berbagai aspek, dalam skripsi ini penulis menganalisis dari segi tradisi yang berkembang pada masyarakat. Tradisi yang ada pada masyarakat menjadi pedoman hidup bermasyarakat.
Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan kehidupan masyarakat Janji Mauli yang dapat mempertahankan eksistensinya, melalui kebudayaan yang berkembang dan dianut oleh masyarakat. Penulisan skripsi ini dimulai pada tahun 1900, karena sejak tahun inilah desa Janji Mauli disahkan melalui Horja Godang (Pesta Besar). Berdirinya huta ini, ditandai dengan didirikannya sebuah Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Hingga tahun 1980, masyarakat masih berada di bawah naungan HKBP. Begitu besar pengaruh adat maupun tradisi sehingga masyarakat Janji Mauli mampu menjalin interaksi sosial yang baik dengan masyarakat yang ada di Sipirok yang mayoritas beragama Islam.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah yaitu heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Heuristik yaitu tahap pertama penulis untuk mengumpulkan sumber dan data-data, yang dilakukan melalui cross check wawancara narasumber dan dokumenyang terbatas. Kemudian penulis melakukan kritik ekstern dan kritik intern terhadap data-data yang telah dikumpulkan. Selanjutnya setelah memilih sumber yang telah dikritik, penulis beranjak ke tahap berikutnya yaitu tahap penulisan (historiografi).
KATA PENGANTAR
Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang
terdiri dari beberapa propinsi, dan unit terkecilnya adalah desa. Di Tapanuli Selatan
dari zaman dahulu sampai zaman sekarang ini tidak terlepas dari masyarakat desa
yang merupakan masyarakat asli yang tetap hidup dan bertahan selama beratus-ratus
tahun walaupun telah banyak mengalami bermacam-macam gejolak perubahan sosial,
peperangan, masuknya kekuasaan politik Kerajaan tertentu dari luar maupun dari
dalam daerah Tapanuli Selatan dan juga kekuasaan asing.
Kebudayaan yang terdapat di negara Indonesia tidak terlepas dari
masyarakat desa yang terus menjaga nilai-nilainya sebagai pedoman hidup.
Kebudayaan tersebut tercermin dalam perbuatan masyarakat yang dapat menjaga
suasana yang baik sesama masyarakat maupun antar umat beragama yang tubuh pada
masyarakat, seperti yang terdapat di Desa Janji Mauli, Kecamatan Sipirok.
Masyarakat menjadikan tradisi sebagai alat untuk menjaga kerukunan antar umat
beragama.
Masuknya agama Kristen ke Sipirok pada tahun 1856 yang dibawa oleh Van
Asselt membuat perubahan dalam sistem kepercayaan pada masyarakat. Sistem
kepercayaan yang ada pada masyarakat Tapanuli pada mulanya dijumpai adanya
kepercayaan tradisional yang pada hakekatnya kepercayaan ini muncul sesuai dengan
yang terbatas, maka masyarakat percaya bahwa ada kekuatan yang lebih besar di luar
kekuasaan dirinya (baca: Uli Kozok, Utusan Damai di Kemelut Perang, hal. 25).
Setelah masuknya agama Kristen dan Islam ke Tapanuli Selatan memberi
suatu kepercayaan baru yang menjadikan masyarakat lebih modern, dengan cara
berfikir secara terbuka akan munculnya pembaharuan. Pembaharuan yang terjadi
semakin kuat dengan didukung oleh pembangunan rumah-rumah ibadah yang pada
dasarnya merupakan prakarsa dari masyarakat setempat, melalui gotong royong
masyarakat bekerja sama mengumpulkan dana guna terlaksananya pembangunan.
Dalam perkembangannya, pembangunan dan pembaharuan rumah ibadat di Tapanuli
Selatan berjalan dengan baik sesuai dengan bertambahnya jumlah penduduk yang
menganut suatu kepercayaan itu.
Agama Islam merupakan paling banyak dianut atau agama mayoritas yang
ada dalam masyarakat Tapanuli Selatan, walaupun begitu, kerukunan umat beragama
sangat kental terjaga antara Agama Islam yang mayoritas dengan Agama Kristen
yang minoritas. Selain itu, pemerintah juga turut memberikan pedoman umat
beragama dalam hidup berdampingan dengan saling menjaga sikap dan perilaku
masyarakat sehingga ketentraman dan kerukunan akan tetap terjaga dengan baik
Desa Janji Mauli yang terdapat di Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli
Selatan merupakan salah satu desa yang dihuni oleh masyarakat beragama Kristen
terdapat di Sipirok. Desa Janji Mauli dikelilingi oleh desa yang masyarakatnya adalah
beragama Islam. Masyarakat dapat menjalin hubungan kekeluargaan dan komunikasi
yang baik dengan masyarakat luar dengan cara mempertahankan tradisi yang telah
dipercayai oleh masyarakat.
Medan, April 2015
Penulis,
UCAPAN TERIMAKASIH
Ungkapan ini adalah ucapan rasa syukur penulis kepada orang-orang yang
telah berjasa dan banyak membantu namun tidak pernah sekalipun mengharapkan
balasan maupun imbalan hingga penulisan skripsi ini selesai. Oleh karena itu pula
pada kesempatan ini penulis mengucapkan puji dan syukur serta terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena penyertaan-Nya kepada
penulis sehingga bisa menyelesaikan penulisan skripsi ini.
1. Kepada Dr. Syahron Lubis, M.A. selaku dekan Fakultas Ilmu Budaya.
2. Kepada Drs. Edi Sumarno, M. Hum. selaku ketua Departemen Sejarah, dan
Drs. Nurhabsyah, M.Si yang telah memberikan arahan dan masukan kepada
penulis.
3. Kepada Ibu Dra. Peninna Simanjuntak, M.S. sebagai dosen pembimbing yang
selalu mengingatkan penulis agar cepat menyelesaikan skripsi ini dan banyak
meluangkan waktu untuk berdiskusi dengan penulis guna membantu dalam
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
4. Kepada Bapak Drs. Timbun Ritonga selaku dosen wali penulis yang telah
memberikan arahan dan masukan kepada penulis semasa mengikuti
perkuliahan di jurusan Ilmu Sejarah, USU.
5. Serta kepada para dosen Departemen Sejarah, dan dosen departemen lainnya
yang pernah mengajar di jurusan Ilmu Sejarah, yang telah memberikan
6. Kepada kedua orang tua, Bapak U. Sinurat dan Ibu H. Sitanggang yang
selama ini telah banyak memberikan dukungan baik doa dan materi yang tak
pernah putus serta selalu mendukung penulis dalam setiap langkah. Semangat
yang diberikan kepada penulis sebagai anaknya untuk terus belajar dan
menggapai pendidikan setingg-tingginya juga ketulusan serta kekuatan hati
dalam mendidik penulis adalah sebuah nilai yang tiada taranya dan sebagai
penyulut semangat penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Kepada keluarga besar yang banyak memberikan dorongan dan bantuan
kepada penulis, terkhusus buat Lae Bapak Chelsi Sihotang/Br. Sinurat, Abang
Bapak Debora Sinurat/Br. Sihombing, Lae Bapak Adi Gultom/Br. Sinurat,
Lae Bapak Silvia Turnip/Br. Sinurat, Abangda Ferlandos Sinurat, Kakak
Ernita Sinurat, dan kepada adek satu-satunya Romada Sinurat. Terimakasih
atas semangat, nasehat, dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis,
sehingga menjadi salah satu pendorong bagi penulis untuk menyelesaikan
skripsi ini.
8. Kepada teman-teman mahasiswa Ilmu Sejarah yang tidak bisa penulis
sebutkan satu persatu, khususnya kepada teman-teman stambuk 2010
(KISRUH). Stepanus, Heri, Wilson, Evan, dan lain-lainnya kegilaan hidup bersama kalian tidak akan terhapus dari jejak langkah sejarah penulis.
9. Kepada rekan juang KDAS (Kelompok Diskusi dan Aksi Sosial). Bunda
Bung Jakob Siringoringo, Bung Qibing, Bung Erwin Sipahutar, Bung Hotden
Simanjuntak, Bung Andri Tarigan, Parjo, Rivay Pakpahan, Goklas, Dani,
Alponso, dan para anggota lainnya, terimakasih atas dukungan dan semua
proses yang telah dijalani penulis, sehingga penulis bisa lebih mengerti makna
sebuah kehidupan. Penulis telah tersesat di jalan yang benar bersama
kawan-kawan. HIDUP MAHASISWA!!!
10.Kepada rekan-rekan AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) Tano
Batak, Bung Ganda Simanjuntak, Bung Jakob Siringoringo, Bung Jhon Toni
Tarihoran, Bung Pancur Simanjuntak, dan Kakak Delvi Nababan, yang telah
membantu penulis dalam mengerjakan Skripsi ini, terimakasih atas kritikan
dan saran yang telah diberikan kepada penulis.
11.Kepada seluruh masyarakat Janji Mauli yang telah memberikan dukungan
kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, terimakasih penulis
sampaikan kepada Kepala Desa dan Ketua Komunitas Masyarakat Adat Janji
Mauli. Terkhusus kepada Amangboru Op. Desta Siregar/Br. Tambunan yang
telah menerima penulis untuk tinggal di rumahnya dan sebagai teman penulis
berdiskusi selama penulis tinggal di Huta Janji Mauli. Semoga perjuangan masyarakat Adat Janji Mauli dapat tercapai dan Tuhan selalu beserta kita.
Penulis menyadari bahwa skripsi sejarah ini jauh dari kesempurnaan, sehingga
tulisan ini dalam usaha melakukan rekonstruksi sejarah. Sebagai penutup penulis
menyampaikan kepada semua pihak semoga skripsi ini dapat menambah referensi
dan pembendaharaan tulisan sejarah.
Medan, April 2015
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK……….………...i
KATA PENGANTAR……….….……...ii
UCAPAN TERIMA KASIH………...v
DAFTAR ISI……….………..ix
BAB I PENDAHULUAN ...1
1.1Latar Belakang Masalah...1
1.2Rumusan Masalah...6
1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian...7
1.4Tinjauan Pustaka...8
1.5Metode Penelitian...11
BAB II GAMBARAAN UMUM DESA JANJI MAUL...14
2.1Kondisi Alam dan Geografis...14
2.2Sejarah Desa Janji Mauli...17
2.3Sejarah Gereja HKBP Janji Mauli...22
2.4Penduduk/Demografi...28
BAB III KEHIDUPAN MASYARAKAT DESA JANJI MAULI...31
3.1 Susunan Masyarakat...31
3.2 Kehidupan Sosial...34
3.3 Lembaga Adat...39
3.5 Sistem Mata Pencaharian...44
3.5.1 Tanah sawah/Persawahan...45
3.5.2 Tanah Darat/Perkebunan...47
3.5.3 Tombak/hutan…...49
3.5.4 Parjampalan/Tempat pengembalaan ternak………...49
BAB IV TRADISI DAN MASYARAKAT JANJI MAULI TAHUN 1900-1980...51
4.1 Adat Istiadat...51
4.2 Hukum Adat...61
4.2.1 Sistem Kepemilikan Tanah…...63
4.2.2 Sistem Pembagian Kerja...64
4.2.3 Sanksi Sosial...65
4.3 Kearifan Lokal...66
4.4 Tradisi Marjambar...67
BAB V PENUTUP...71
5.1 Kesimpulan...71
5.2 Saran...73
ABSTRAK
Desa Janji Mauli merupakan salah satu desa yang terdapat di Kecamatan Sipirok yang dihuni oleh suku Batak Toba, dan penduduknya beragama Kristen oleh karenanya sangat layak untuk diteliti. Perkembangan kehidupan sosial masyarakat pada umumnya dapat dilihat dari berbagai aspek, dalam skripsi ini penulis menganalisis dari segi tradisi yang berkembang pada masyarakat. Tradisi yang ada pada masyarakat menjadi pedoman hidup bermasyarakat.
Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan kehidupan masyarakat Janji Mauli yang dapat mempertahankan eksistensinya, melalui kebudayaan yang berkembang dan dianut oleh masyarakat. Penulisan skripsi ini dimulai pada tahun 1900, karena sejak tahun inilah desa Janji Mauli disahkan melalui Horja Godang (Pesta Besar). Berdirinya huta ini, ditandai dengan didirikannya sebuah Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Hingga tahun 1980, masyarakat masih berada di bawah naungan HKBP. Begitu besar pengaruh adat maupun tradisi sehingga masyarakat Janji Mauli mampu menjalin interaksi sosial yang baik dengan masyarakat yang ada di Sipirok yang mayoritas beragama Islam.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah yaitu heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Heuristik yaitu tahap pertama penulis untuk mengumpulkan sumber dan data-data, yang dilakukan melalui cross check wawancara narasumber dan dokumenyang terbatas. Kemudian penulis melakukan kritik ekstern dan kritik intern terhadap data-data yang telah dikumpulkan. Selanjutnya setelah memilih sumber yang telah dikritik, penulis beranjak ke tahap berikutnya yaitu tahap penulisan (historiografi).
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang
terdiri dari beberapa propinsi, dan unit terkecilnya adalah desa. Kurang lebih 81,2%
rakyat Indonesia bertempat tinggal di desa.1 Partisipasi masyarakat pedesaan sangat
diperlukan bagi berhasilnya pembangunan dan sekaligus dapat meningkatkan
penghidupan masyarakat di pedesaan. Desa adalah suatu hasil perpaduan antara
kegiatan sekelompok manusia dengan lingkungannya.2 Hasil dari perpaduan itu
adalah suatu wujud atau kenampakan di muka bumi yang ditimbulkan oleh
unsur-unsur fisiografi, sosial, ekonomi, politik, dan kultural yang saling berinteraksi antar
unsur tersebut dan juga dalam hubungannya dengan daerah-daerah lainnya.
Desa sebagai suatu kesatuan teritorial dan administrasi yang terkecil di
Indonesia sudah banyak mendapatkan perhatian dari para peneliti di luar ilmu
sejarah.3 Oleh karenanya, sangatlah penting bagi seorang sejarawan untuk meneliti
dan menggarap lebih dalam tentang kehidupan sosial masyarakat pedesaan, dan salah
1
R. Bintarto, Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1989, hal.11.
2
Ibid. hal. 12.
3
satunya adalah desa Janji Mauli yang terdapat di Kecamatan Sipirok, Kabupaten
Tapanuli Selatan.
Dinamika kehidupan masyarakat Sipirok yang terus berkembang menuntut
adanya perbaikan tatanan kehidupan, demi kesejahteraan masyarakat. Maka
dibentuklah sebuah huta atau desa untuk mengelola tanah yang masih kosong dan layak untuk mendorong kehidupan ekonomi masyarakat, salah satunya adalah huta
(desa) tersebut adalah Janji Mauli. Jauh sebelum masa kolonial, masyarakat Batak
tidak mengenal negara, penduduk hanya mengenal kampung-kampung yang disebut
dengan huta.4
Dalam sejarah Batak Angkola-Sipirok, untuk mendirikan sebuah huta atau desa, harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu: (1) terdapat penduduk
sekurang-kurangnya tiga keluarga „dalihan na tolu’ yang terdiri dari kahanggi (bersaudara),
anakboru (besan dari pihak perempuan), dan mora (besan dari pihak laki-laki); (2) tersedia lahan yang cukup untuk pertanian (tanaman pangan, peternakan atau
perikanan); (3) ada pemerintahan yang mampu menyelenggarakan tertib umum dan
dapat meningkatkan kemajuan serta kesejahteraan hidup terhadap semua kalangan di
dalam komunitasnya; (4) mendapat pengakuan atas keberadaan calon huta oleh seluruh huta yang sudah ada di sekitarnya di dalam luhat.5
4
Lance Castles, Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera: Tapanuli 1915-1940,
Jakarta: Gramedia, 2001, hal. 6.
5
Demikian halnya dengan huta Janji Mauli yang sudah ada sejak akhir tahun 1889 dan diresmikan pada awal tahun 1900 melalui sebuah horja godang (pesta besar). Nama Janji Mauli yang berarti janji yang indah. Masyarakat menamai desa tersebut dengan nama Janji Mauli karena masyarakat telah menepati janji mereka
kepada seorang pendeta di Sipirok untuk mendirikan gereja di desa tersebut dan desa
ini sangat indah sebagai tempat persinggahan para pedagang yang datang dari
Sidempuan menuju Sipirok, dan sebaliknya. Masyarakat yang pertama tinggal di huta
Janji Mauli pada awalnya adalah berjumlah 6 keluarga dan hanya 3 marga (klan), yaitu empat diantaranya adalah bermarga Siregar (sebagai kahanggi dan mora), Pohan Simanjuntak (sebagai anakboru), dan Simatupang adalah Pisang Raut/ Bere
dari marga Pohan Simanjuntak.6 Dalam hal pemerintahan, desa ini dipimpin oleh
seorang Kepala Kampung,7 yaitu Mangaraja Porkas Siregar.
Janji Mauli merupakan salah satu desa yang secara administratif berada di
bawah Kecamatan Sipirok, yang dihuni oleh Suku Batak Toba. Hingga akhir tahun
penulisan ini, tahun 1980, penduduk desa Janji Mauli seluruhnya menganut agama
Kristen (Huria Kristen Batak Protestan) dan menggunakan Adat Batak Angkola. Bagi
masyarakat Janji Mauli yang homogen dan masih konservatif, agama bukanlah suatu
penghambat dalam melaksanakan berbagai pesta adat dan penghalang untuk menjalin
komunikasi dengan masyarakat luar.
6
Nipleli Pohan, Artike: Sejarah Janji Mauli, 1 Juli 1993, hal. 3.
7
Kepala Kampung adalah tingkat ketujuh pada sistem pemerintahan Belanda, tingkat terendah di bawah hakuriaan. Pemerintah kolonial Hindia Belanda memperkenalkan istilah
Secara umum, mata pencaharian masyarakat Janji Mauli adalah bertani dan
berternak. Hal ini didukung oleh kondisi alam dan kontur tanah yang sangat bagus
untuk dijadikan sebagai lahan pertanian. Pertanian merupakan faktor utama dari
kelanjutan hidup masyarakat secara keseluruhan. Cara bertani masyarakat juga
dilakukan dengan sistem tradisional, dimana masyarakat masih bergantung kepada
alam. Sebagai contohnya adalah menanam padi, masyarakat masih menggunakan
kerbau sebagai peralatan untuk mengelola tanah, dan dilakukan sekali setahun dengan
mengikuti curah hujan.
Luas desa Janji Mauli adalah sekitar 600 ha, masyarakat dapat mengelolah
lahan dengan baik untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari, baik sandang
maupun pangan. Dalam hal mengelolah lahan pertanian, masyarakat membaginya
menjadi empat kategori yaitu tanah sawah, tanah darat, tombak, dan panjampalan horbo.8
Keberlangsungan hidup pada masyarakat Janji Mauli secara umum, sangat
baik dan rasa solidaritas di antara sesama masyarakat sangat kuat. Nilai-nilai tradisi
yang sudah tertanam pada diri setiap individu penduduk dan sudah ada sejak dulu
menjadi modal bagi semua masyarakat untuk menjaga kerukunan, baik sesama umat
beragama, maupun antar umat beragama.
8
Pada umumnya masyarakat Batak Angkola-Sipirok menganut agama Islam,
dan hanya sedikit yang menganut agama Kristen. Nilai religi pada masyarakat
Angkola-Sipirok adalah nilai-nilai Islam.9 Tetapi, desa Janji Mauli yang dihuni oleh
masyarakat yang beragama Kristen dapat membina hubungan yang baik dan tidak
pernah terjadi konflik sosial antar umat beragama.
Letak geografis desa Janji Mauli dikelilingi oleh desa yang penduduknya
adalah 100% beragama Islam. Secara keseluruhan, hanya desa Janji Maulilah yang
penduduknya 100% beragama Kristen di Sipirok. Namun, tidak pernah terjadi konflik
sosial pada masyarakat. Masyarakat sangat menghargai perbedaan agama, dan
menganggap bahwa seluruh masyarakat yang berada di Sipirok adalah masih
berkeluarga.
Dalam menata kehidupan yang aman dan tenteram sesama penduduk dan
antar umat beragama dengan desa luar, maka setiap keluarga menanamkan nilai-nilai
adat pada setiap individu anggota keluarganya. Adat merupakan kaidah atau
norma-norma yang menata dan memolakan perilaku orang-orang Angkola dalam hidup
bermasyarakat. Sistem sosial Dalihan Na Tolu yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Angkola-Sipirok menjadi suatu mekanisme tradisional yang berfungsi
untuk menjalankan adat sebagai suatu kekuatan penggerak perilaku hidup
bermasyarakat. Hal inilah yang juga menjadi panutan dan sebagai penopang bagi
9
masyarakat Janji Mauli untuk mempertahankan dan menjalin interaksi yang baik
dengan masyarakat luar yang berbeda agama.
Dengan adanya sebuah desa yang dapat mempertahankan eksistensinya dalam
tradisi hingga berpuluh tahun lamanya, dan mampu membangun kehidupan yang
rukun dan tenteram di sekitarnya, maka oleh penulis sangat menarik untuk
mengkajinya dalam konteks sejarah sosial. Agar pembabakan waktunya tidak terlalu
luas, maka ditentukan periodisasi penulisan. Penelitian diawali mulai dari tahun 1900
di mana pada tahun inilah diresmikan desa Janji Mauli dan mulai dibangunnya gereja
HKBP Janji Mauli. Sementara itu batas penulisan penelitian ini diakhiri pada tahun
1980, karena pada tahun inilah masyarakat tidak lagi termasuk di dalam naungan
HKBP, berpindah ke GKPA (Gereja Kristen Protestan Angkola).
1.2 Rumusan Masalah
Dalam melakukan sebuah penelitian, maka yang menjadi landasan penelitian
adalah akar masalah yang ada dalam topik yang dibahas. Hal inilah yang
diungkapkan dalam pembahasannya. Akar permasalahan merupakan hal yang sangat
penting karena di dalamnya diajukan konsep yang dibahas dalam penelitian dan
menjadi alur dalam penulisan.
mempermudah permasalahan dalam penelitian ini, maka penulis merumuskan
beberapa pokok permasalahan yang dikaji dalam penelitian ke dalam beberapa
pertanyaan sebagai berikut.
1. Bagaimana latar belakang terbentuknya Desa Janji Mauli?
2. Bagaimana kehidupan masyarakat Desa Janji Mauli dari tahun 1900
sampai 1980?
3. Apa tradisi yang berlaku pada masyarakat Desa Janji Mauli sejak tahun
1900 sampai 1980?
1.3 Tujuan dan Manfaat
Setelah penulis menetapkan apa yang menjadi pokok permasalahan yang akan
di bahas dalam penelitian ini, maka selanjutnya adalah menentukan tujuan penulis
dalam melakukan penulisan ini serta manfaat yang dapat dipetik.
Adapun tujuan penelitian ini adalah.
1. Menjelaskan latar belakang terbentuknya Desa Janji Mauli di Kecamatan
Sipirok.
2. Menjelaskan perkembangan kehidupan masyarakat desa Janji Mauli di
3. Menjelaskan tradisi yang berlaku pada masyarakat desa Janji Mauli di
Kecamatan Sipirok sejak tahun 1900 sampai 1980.
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Agar masyarakat di desa Janji Mauli mengetahui sejarah desa Janji Mauli.
2. Supaya masyarakat dapat membandingkan kehidupan sosial dulu dengan
sekarang dan juga untuk mengetahui perkembangan pola pikir masyarakat
desa Janji Mauli.
3. Menambah wawasan pembaca dalam mengetahui tradisi masyarakat Janji
Mauli di Kecamatan Sipirok.
4. Dapat menjadi acuan bagi para penulis yang lain manakala penelitian ini
dirasa perlu penyempurnaan ataupun sebagai referensi.
1.4 Tinjauan Pustaka
Dalam memahami masalah penelitian ini, diperlukan beberapa referensi yang
dapat dijadikan panduan penulisan nantinya dalam bentuk tinjauan pustaka.
Lance Castles, dalam Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera : Tapanuli 1915-1940 (2001), menjelaskan perubahan Tapanuli akibat kolonialisme yang ditulis berdasarkan penelitian. Penjajahan di Tapanuli telah membawa
dalamnya perubahan tersebut hingga tidaklah mungkin kita memahami masyarakat
Tapanuli dewasa ini tanpa terlebih dahulu mengerti sosok kekuasaan penjajah.
Buku ini bertujuan untuk menjelaskan sejarah suatu daerah di Indonesia dan
penduduknya. Daerah itu adalah Keresidenan Tapanuli minus Nias dan pulau-pulau
lepas pantai lainnya. Bagian daratan keresidenan itu didiami oleh kelompok etnis
Batak, sedangkan Nias didiami oleh kelompok etnis lainnya, dan karena itu sebaiknya
merupakan pokok penelitian yang terpisah. Karena pentingnya masalah emigrasi ke
berbagai daerah lainnya di Indonesia dalam kehidupan Tapanuli sebelum perang.
Uli Kozok, dalam Utusan Damai di Kemelut Perang : Peran Zending dalam Perang Toba (2010), mengulas perjalanan seorang zending Nomensen di Tanah Batak. Uli kozok lebih menjelaskan perjumpaan para zending dengan masyarakat Batak Toba. Uli Kozok menulis peran Misi Protestan Jerman dalam sejarah Tanah
Batak dan dalam perkembangan masyarakatnya. Melalui dokumen-dokumen otentik
(surat-surat dan artikel para misionaris), Uli Kozok membuktikan bahwa para
misionaris meminta Pemerintah Belanda agar menganeksasi daerah Silindung dan
Toba, bahkan ikut sendiri secara fisik dalam Perang Batak I, pada tahun 1878. Uli
Kozok menuliskan secara rinci pengalaman para penginjil (zending) di Tanah Batak. Dia menuliskan sejarah masuknya injil ke Tanah Batak, melalui tokoh-tokoh. Buku
ini secara beruntun memaparkan tokoh-tokoh yang pernah menginjakkan kakinya di
van Peursen dalam Strategi Kebudayaan (1998), menjelaskan suatu gambar sederhana mengenai perkembangan kebudayaan, sebuah skema yang dapat kita pakai
dalam situasi-situasi yang selalu berganti rupa dan yang kita alami sendiri.
Berpangkal pada teori informasi van Peursen melihat kebudayaan sebagai siasat
manusia menghadapi hari depan. Dia melihat kebudayaan itu sebagai suatu proses
pelajaran yang terus menerus sifatnya. Van Peursen menyajikan suatu model
kebudayaan yang bertahap tiga: tahap mitologis, ontologis, dan fungsional. Cara
pendekatannya adalah struktural dan bukan fenomenologis atau berdasarkan teori
pengetahuan.
Soetomo dalam Strategi-strategi Pembangunan Masyarakat (2008), menjelaskan dalam implementasi beberapa pengaturan tata ruang secara hirarkis
melalui kebijakan spasial yang terintegrasi, meski dapat mengurangi pemusatan
perkembangan sosial ekonomi di kota-kota besar, disparitas desa-kota dan disparitas
antarwilayah, namun demikian tidak jarang dijumpai masih adanya warga masyarakat
yang berada dalam kondisi kemiskinan baik di daerah perkotaan maupun di daerah
pedesaan. Warga masyarakat yang hidup dalam kondisi kemiskinan berada pada satu
kawasan tertentu yang seolah-olah merupakan kantung atau kluster wilayah
1.5 Metode Penelitian
Dalam penulisan sejarah yang ilmiah, pemakaian metode sejarah yang ilmiah
sangatlah penting. Metode penelitian sejarah lazim disebut dengan metode sejarah.
Metode itu sendiri berarti cara, jalan, atau petunjuk pelaksana atau petunjuk teknis.10
Sejumlah sistematika penulisan yang terangkum di dalam metode sejarah sangat
membantu setiap penelitian di dalam merekonstruksi kejadiann pada masa yang telah
berlalu.
Untuk mendapatkan penulisan sejarah yang deskriptif analitis haruslah
melalui tahapan demi tahapan, yaitu:
Tahap pertama heuristik (pengumpulan sumber) yang sesuai dan mendukung
sumber objek yang diteliti. Dalam hal ini dengan menggunakan metode penelitian
kepustakaan dan penelitian lapangan. Dalam penelitian kepustakaan dilakukan
dengan mengumpulkan beberapa buku, majalah, artikel-artikel, skripsi dan karya tulis
yang pernah ditulis sebelumnya berkaitan dengan judul yang dikaji. Kemudian
penelitian lapangan akan dilakukan dengan menggunakan metode wawancara
terhadap informan-informan yang dianggap mampu memberikan informasi yang
dibutuhkan dalam penulisan ini. Dalam fase heuristik, selain mengumpulkan
bahan-bahan seperti telah disebutkan di atas, juga digunakan ”ilmu-ilmu bantu” yang
relevan dengan fokus penelitian. Ilmu-ilmu bantu yang merupakan pendukung ilmu
10
sejarah disebut auxiliary sciences atau sister disciplines,11 yang penggunaannya tergantung pada pokok atau periode sejarah yang dikaji. Ilmu bantu mempunyai
fungsi-fungsi penting yang digunakan oleh para sejarawan dalam membantu
penelitian dan penulisan sejarah, sehingga menjadikan sejarah sebagai suatu karya
ilmiah. Ilmu bantu dalam ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, psikologi, antropologi,
politikologi, ekonomi, dan lain sebagainya. Konsep-konsep dari ilmu sosial
membantu atau menjadi alat (tools) untuk kajian sejarah yang analitis-kritis ilmiah.12
Tahapan kedua yang dilakukan adalah kritik. Dalam tahapan ini kritik
dilakukan terhadap sumber yang telah terkumpul untuk mencari kesahihan sumber
tersebut baik dari segi substansial (isi) yakni dengan cara menganalisis sejumlah
sumber tertulis misalnya buku-buku atau dokumen yang berkaitan dengan
Perpustakaan Daerah. Kritik ini disebut kritik intern. Mengkritik dari segi materialnya
untuk mengetahui keaslian atau palsukah sumber tersebut agar diperoleh
keautentikannya, kritik ini disebut kritik ekstern.
Tahapan ketiga adalah interpretasi, dalam tahapan ini data yang diperoleh
dianalisis sehingga melahirkan satu analisis yang baru yang sifatnya lebih objektif
dan ilmiah dari objek yang diteliti. Objek kajian yang cukup jauh ke belakang serta
minimnya data dan fakta yang ada membuat interpretasi menjadi sangat vital dan
11
Ibid., hal. 49.
12
dibutuhkan keakuratan serta analisis yang tajam agar mendapatkan fakta sejarah yang
objektif.
Tahap terakhir adalah historiografi, yakni penyusunan kesaksian yang dapat
dipercaya tersebut menjadi satu kisah atau kajian yang menarik dan selalu berusaha
memperhatikan aspek kronologisnya. Metode yang dipakai dalam penulisan ini
adalah deskriptif analitis. Yaitu dengan menganalisis setiap data dan fakta yang ada
untuk mendapatkan penulisan sejarah yang kritis dan ilmiah.
Dalam perkembangan penelitian dan penulisan sejarah terutama abad ke-20
dan ke-21 ini para sejarawan telah membiasakan diri mengenal dan menggunakan
sejumlah konsep-konsep, baik yang dikenal dari dalam lingkungan sejarah sendiri
maupun yang diangkat dari ilmu-ilmu sosial lain. Ketika menganalisis berbagai
peristiwa atau fenomena masa lalu, sejarawan menggunakan konsep-konsep dari
berbagai ilmu sosial tertentu yang relevan dengan pokok kajian. Ini dikenal dengan
pendekatan interdisiplin atau multidimensional yang memberikan karakteristik
“ilmiah” kepada sejarah. Penggunaan berbagai konsep disiplin ilmu sosial lain ini
memungkinkan suatu masalah dapat dilihat dari berbagai dimensi sehingga
pemahaman tentang masalah itu, baik keluasaan maupun kedalamannya, akan
semakin jelas.13
13
BAB II
Desa Janji Mauli pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda
merupakan sebuah kampung,15 yang dipimpin oleh Mangaraja Porkas Siregar16 sebagai kepala kampung. Secara administratif berada di bawah Kuria Baringin, yang
dipimpin oleh Sutan Parlindungan, tepatnya di Sipirok. Pengaruh Kuria Baringin
terhadap tatanan kehidupan pada masyarakat Janji Mauli sangat besar, mulai dari
pembangunan desa, adat, hingga agama masyarakat.
14
Badan Pusat Statistik, Tapanuli Selatan Dalam Angka 1984, Kerjasama Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Selatan dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan, hal. IV.
15
Pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda nama Huta diganti menjadi Kampung. Kampung dipimpin oleh seorang kepala kampung, dan Raja Pamusuk (RP) dan Raja Panusunan Bulung (RPB) yang memimpin Huta dihapuskan.
16
Pemukiman masyarakat desa Janji Mauli sudah sangat teratur sejak dahulu.
Rumah panggung yang dibangun berhadap-hadapan hingga membentuk sebuah
persegi panjang, dan dibelah oleh jalan untuk menuju desa tersebut. Di tengah-tengah
pemukiman, masyarakat membangun sebuah gereja sebagai tempat peribadatan
masyarakat. Jumlah pemukiman sejak didirikannya desa Janji Mauli selalu
berkembang, karena kepadatan penduduk yang semakin bertambah.
Desa ini dikelilingi oleh pohon-pohon yang rindang, karena pada dasarnya
untuk mendirikan sebuah huta atau desa, masyarakat harus menanam tiga jenis tanaman yang merupakan lambang suatu huta atau desa. Adapun tanaman yang dimaksud adalah pohon beringin, pohon bambu, dan sirih.17 Selain dikelilingi
tanaman tersebut, desa ini juga dikelilingi oleh tali air (irigasi), yang fungsinya adalah untuk mengairi persawahan yang dimiliki oleh masyarakat, dan juga untuk
kebutuhan hidup masyarakat desa Janji Mauli.
Luas wilayah desa Janji Mauli adalah sekitar 600 Ha, yang jumlah
penduduknya sekitar 150 jiwa dan 47 kepala keluarga. Wilayah itu dibagi menjadi
beberapa bagian sesuai dengan manfaat, yaitu pemukiman, persawahan, perkebunan,
pengembalaan ternak, tombak, dan pekuburan/makam masyarakat.18 Kebanyakan penghuni ataupun penduduk yang tinggal dan mendiami desa adalah anak-anak yang
berumur antara 1-15 tahun dan para orang tua yang berumur antara 40-80 tahun. Para
17
Lihat hasil musyawarah lembaga Adat-Budaya Kec. Sipirok. Berjudul: Adat Budaya Angkola-Sipirok Haruaya Mardomu Bulung Napa-Napa Ni Sibual-buali, tahun 1997, hal. 108.
18
kaum muda Janji Mauli yang berumur 16-30 tahun kebanyakan mengakses
pendidikan keluar, karena tidak tersedianya Sekolah Menengah Atas (SMA) dan
Perguruan Tinggi (PT) yang dekat dengan desa. Dan selebihnya mencari pekerjaan di
perantauan.
Desa Janji Mauli dapat ditempuh hanya dengan waktu setengah jam di
perjalanan, dengan jarak sekitar 10 km dari pusat kota Sipirok. Desa Janji Mauli
merupakan perbatasan antara Kota Sipirok dengan Sidempuan. Perjalanan dari
Sipirok menuju desa Janji Mauli melewati beberapa desa, diantaranya adalah desa
Simaningir, desa Sosopan, desa Huta Raja, desa Mandurama, desa Situmba Aek
Horsik, desa Situmba Gunung Tua Baringin, desa Situmba Godang, desa Saba Siala,
desa Aek Siporda, desa Kilang Papan, dan desa Dano Situmba. Selain melewati
desa-desa tersebut, pegunungan dan bukit yang indah dan dipenuhi dengan pohon-pohon
yang rindang ikut menghiasi perjalanan menuju desa tersebut.
Kondisi alam di desa Janji Mauli dengan iklim yang selalu berganti dan curah
hujan yang merata setiap bulan membuat daerah ini sesuai sebagai daerah pertanian.
Dengan adanya dukungan irigasi, pemakaian bibit unggul, dan pengelolaan tanah
yang tepat dapat meningkatkan hasil pertanian. Dalam hal mengelolah lahan
pertanian, masyarakat membagi dua jenis yaitu persawahan dan perkebunan. Hasil
persawahan biasanya adalah padi, kacang, dan jenis tanaman palawija. Sedangkan,
Pada saat malam musim hujan, desa Janji Mauli kerap ditutupi kabut. Air
irigasi untuk persawahan milik masyarakat mengalir dengan deras mengelilingi desa
tersebut. Saat musim kemarau tiba, masyarakat tidak perlu takut kekurangan air,
karena pada dasarnya tali air/irigasi selalu mengalir dari bukit-bukit di atas desa Janji Mauli.
Jarak antara desa Janji Mauli dengan desa-desa di sekitarnya tidak begitu
jauh, hanya dipisahkan oleh areal pertanian dan tali air milik penduduk. Adapun
batas-batas desa Janji Mauli dengan desa lainnya adalah sebagai berikut:
Sebelah Timur berbatasan dengan desa Tolang
Sebelah Barat berbatasan dengan Bulung Ihit/Ri Nabolak
Sebelah Utara berbatasan dengan Aek Batang Miha
Sebelah Selatan berbatasan dengan Jalan Bendi/Dusun Sitorbis.
2.2 Sejarah Desa Janji Mauli
Pada tahun 1882, Thomas Gelar Mangaraja Naposo bekerja sebagai Opzekter
(pengawas pembangunan) jalan di Pemerintahan Belanda. Beliau hilir mudik
melaksanakan tugas di daerah Tapanuli. Banyak pengalaman dan cara berfikir yang
sudah lebih maju, karena pada saat itu beliau menjadi mitra Pemerintahan Belanda di
Sipirok. Thomas gelar Mangaraja Naposo adalah seorang tangan kanan Pemerintahan
Pada saat itu, timbullah keinginan Thomas untuk meningkatkan pendapatan
rakyat Kuria Baringin, supaya cukup untuk keperluan sehari-hari. Muncullah
perencanaan pembukaan lahan pertanian pada saat ia menjalankan tugas pada daerah
tersebut. Areal pertaniannya cukup luas jika dikelolah dengan baik, dan akan dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat Kuria Baringin. Atas ide dari Thomas tersebut,
maka diadakan suatu musyawarah di Sipirok yang disetujui oleh Kepala Kuria
Baringin. Dalam keputusan musyawarah tersebut disimpulkan akan diberangkatkan
sebanyak 50 Kepala Keluarga ke daerah Silantom dan Danau Riman. Maka dibuatlah
suatu acara adat, makan bersama di halaman rumah Tuan Hanstein di Sipirok dengan
memotong seekor kerbau.19 Dengan marhata Horas-Horas (sepatah dua kata) secara bergiliran sesuai dengan aturan adat yang berlaku agar yang diberangkatkan
mendapatkan kesehatan dan berkah di tempat yang akan dituju.
Pada saat pengerjaan di lahan yang baru (Silantom), masyarakat selalu
mengalami kegagalan dan kesulitan dalam pembuatan air irigasi untuk persawahan,
dan selalu ada masalah di sepanjang parit yang di gali oleh masyarakat, karena
struktur tanah yang berpasir. Sehingga membuat masyarakat menjadi merasa jenuh,
yang akhirnya parit tersebut tidak terurus dan terlantar. Maka sebagian masyarakat
yang diutus dari Sipirok membuka ladang di tempat lain dan sebagian lagi pulang ke
tempat asal (Sipirok).
19
Pada tahun 1899, Mangaraja Naposo mengarahkan masyarakat yang pulang
ke Sipirok untuk bergabung dengan rakyat Baringin yang terlebih dahulu sudah
membuat air irigasi yang akan membuat ladang persawahan di huta (desa) Danau Riman. Sesuai dengan keputusan musyawarah Kuria Baringin dan rakyat yang
dijembatani oleh Thomas Gelar Mangaraja Naposo, supaya diganti/dibayarlah tenaga
orang yang telah mengerjakan parit tersebut dengan uang Rp. 25,-.20 Lalu dibuatlah
pengumuman di Kuria Baringin, agar dibuatlah huta atau desa baru berdasarkan satu ekor lembu dan makan bersama di ujung parit itu. Maka didirikanlah pemukiman
baru yang berukuran 3x4 meter. Direncanakan akan diberangkatkan 6 keluarga pada
tanggal 1 Januari 1900 dari Sipirok menuju tempat baru tersebut (Janji Mauli).
Pada tanggal 1 Januari 1900 pada pagi hari, dibuatlah acara Tahun Baru dan
memberikan sepatah dua patah kata dari penetua-penetua yang ada pada saat itu. Di
berangkatkanlah masyarakat berdasarkan firman tuhan 1 Musa 1, dan setelah selesai bersalaman tahun baru di rumah Tuan Hanstein, Tuan Hanstein memberi nasihat,21
yaitu :
“Mansai maol dope patupahon guruhuria di hamu tikkion. Tapi hudokkon do di hamu, angkon ro do hamu tu Sipirok on. Tapi muda nada
20
Ibid., hal. 4.
21
songoni angkon baen hamu do parmingguan di ari minggu di hamu asa janjina angkon parjolo do gereja paulion muna unang bagas muna, ima janjina.”22
Sesudah selesai acara pemberangkatan ke kampung yang baru, maka kira-kira
pukul 14.00 wib, berangkatlah mereka berjalan kaki sebanyak 6 kepala keluarga.
Sampailah mereka kira-kira pukul 16.00 wib, pada tanggal 1 Januari 1900 di
kampung yang baru, yang sekarang bernama Desa Janji Mauli.23 Ke-6 kepala
keluarga tersebutlah yang menjadi Generasi I (pertama) di Desa Janji Mauli, yaitu:
1. Mangaradja Laloe Siregar
Penduduk yang diberangkatkan ke Janji Mauli ini adalah penduduk dari huta
Bagaslombang yang merupakan keturunan dari Ompu Sutan Hatunggal Siregar, di
Kerajaan Sipirok. Siregar yang bertempat tinggal di Janji Mauli ini merupakan
22Arti ya adalah
Masih terlalu sulit untuk membentuk guru sekte untuk kalian pada saat ini, tetapi saya mengatakan kepada kalian, kalian harus datang ke Sipirok ini untuk beribadah, tetapi jika tidak begitu harus kalian buat peribadatan setiap hari minggu untuk kalian supaya janjinya harus duluan kalian mendirikan gereja dari pada ru ah kalia , itulah ja ji ya.
23
keluarga dari Thomas Gelar Mangaraja Naposo, mereka adalah kahanggi (abang beradik).
Desa Janji Mauli merupakan tempat persinggahan para pedagang yang datang
dari Sidempuan ke Sipirok, dan juga sebaliknya. Masyarakat dari Sipirok, Baringin,
dan Hutaraja sangat mendukung adanya desa ini, karena bisa menjadi tempat
berteduh. Desa ini juga menyajikan pemandangan yang indah sebagai tempat
persinggahan. Masyarakat membangun sebuah kedai kopi, sebagai tempat
peristirahatan para pedagang.
Untuk menjaga kedai tersebut, masyarakat menyuruh Ompu Mina untuk
berjualan goreng. Penghasilan Ompu Mina sangat besar pada masa itu, karena
sangkin banyaknya orang biasa dan para pedagang yang singgah. Dalam waktu
seminggu, Ompu Mina menjual pisang kepok (pisang goreng) dan menghabiskan dua
kaleng (ember) air dalam satu hari. Untuk membuat air yang enak dan wangi, Ompu Mina membakar daun kopi hingga berwarna merah dan mencampurkannya dengan
air tersebut. Air yang enak dan wangi itu tidak dijual oleh Ompu Mina, hanya
gorenganlah yang dijualnya sebagai penghasilannya setiap hari.24
Sebelum nama desa Janji Mauli dibuat, desa ini terkenal dengan perpindahan
orang Sipirok. Masyarakat membuat namanya sebagai desa Janji Mauli, karena
masyarakat telah menepati janjinya kepada seorang pendeta yang telah
24
menghantarkan mereka ke desa tersebut, yaitu janji untuk mendirikan gereja, dan
desa ini sangat indah dipandang dari kejauhan.
2.3Sejarah Gereja HKBP Janji Mauli
Setelah masyarakat bermukim di desa Janji Mauli, mereka tetap
melaksanakan ibadah setiap hari minggu di rumah penduduk yang kecil. Masyarakat
tidak lagi pergi ke Sipirok untuk bergereja karena jaraknya sangat jauh. Mereka
selalu mengingat nasihat dari Pendeta Tuan Hanstein di Sipirok untuk tetap
melaksanakan ibadah. Sintua yang betindak sebagai pembawa dan pelaksana ibadah
di gereja ini adalah Sintua Mangaraja Porkas Siregar.
Pada tahun 1901 masyarakat desa Janji Mauli membangun gereja dengan
swadaya yang diambil dari daerah sekitar. Mereka dapat menghasilkan 30 lembar
kayu dalam 1 hari, dan itu terus menerus dijemput oleh para ibu-ibu kalau sudah
siang hari, karena kayu sangat mudah digergaji. Dan kolekte (uang persembahan) gereja dialihkan untuk membeli papan. Harga papan pada masa itu Rp. 1,- (satu
rupiah) sudah bisa mendapatkan 10 atau 12 lembar. Belum sampai 1 tahun, mereka
mengumpulkan dan menyediakan kayu untuk keperluan gereja dan membuat atap
gereja dari seng.
Pada tahun 1905 datanglah guru ke Janji Mauli yaitu Pendeta Kalep Siregar
pertama ada di wilayah Situmba. Murid yang bersekolah hanya 15 orang. Meskipun
gereja itu belum selesai dibangun, namun sudah dipergunakan sebagai tempat belajar
anak-anak.
Pada tahun 1907 selesailah gereja itu dibangun. Hal ini tidak terlepas dari
bantuan Sutan Paruhum dari Situmba dan Mangaraja Usin dari Sialamanjulu. Pada
tahun itu juga, Gereja HKBP Janji Mauli diresmikan. Pada saat peresmian, mereka
mengundang masyarakat dari Sipirok dan Parlagutan Hutaraja, dan juga dari Padang
Matinnggi.
Pada tahun 1912, Tuan Toko Henneman dari Sibolga membuka kebun kopi ke
Sialaman dan Tuan Pendeta Kalep Siregar yang mereka percayai untuk memberikan
gaji para pekerja yang ada disitu. Dan pendeta itu menyuruh si Ernis gelar Mara
Pohan Simanjuntak menjadi mandor kebun itu. Setelah tahun 1913, Sintua Paulus
Gelar Marsaidi Simanjuntak menjadi mandor jalan dari sipirok, dan menjadi mandor
dari Adian Balakka ke Mandurana, dan mereka juga pindah ke Janji Mauli. Pada
tahun 1913 Janji Mauli memiliki kepala keluarga sebanyak 15 kk. Itulah yang masuk
ke sekte Janji Mauli, Resort Sipirok. Di Saba Tarutung, ada keluarga yang masuk
Kristen yaitu Op. Renda dan mereka sering beribadah ke Janji Mauli.25
Pada tahun 1913 Sintua HKBP Janji Mauli digantikan oleh Sintua Marah
Pohan, yang sebelumnya adalah Sintua Mangaraja Porkas. Sintua Mangaraja Porkas
25
diganti karena beliau diangkat menjadi Kepala Kampung Janji Mauli. Pada tahun
1907 sekolah zending di Situmba Gunung Tua Baringin didirikan, oleh karena itu para muridpun dipindahkan. Berhubung karena sudah dipindahkannya sekolah
zending, maka tahun 1911 guru Kalep Siregar pun pindah dari Janji Mauli. Dan digantikan oleh guru Sarael Tambunan dari Huta Rajalah sampai tahun 1919.
Pada tahun 1919, guru Sarael Tambunan digantikan oleh guru Kondrat Siregar
dari Baringin. Pada masa guru Kondrat Siregar, tahun 1925 Huria Janji Mauli merayakan pesta perak. Dibuatlah sebuah pesta syukuran dengan mengundang Huria
Hutaraja, Padangmatinggi, dan Sipirok. Acara ini dimeriahkan dengan berbagai
hidangan makanan Adat Angkola, dan disertai dengan satu ekor lembu.
Guru Kondrat Siregar pindah pada tahun 1927 dari Janji Mauli dan digantikan
oleh guru Salman Harahap dari Hasang. Tahun 1928 datanglah guru Daud Harahap
dari Padangmatinggi ke Janji Mauli, dan di Janji Maulilah mereka berdua tinggal.
Mereka berdualah yang menjadi pelayan di HKBP Janji Mauli, secara bergantian
mereka untuk berkotbah setiap ibadah. Pada masa ini, jumlah jemaat Huria Janji Mauli sudah ada 25 Kepala Keluarga. Guru Daud Harahap adalah orang yang sangat
rajin dan baik hati untuk mengajari jemaat bernyanyi. Tetapi, pada tahun 1933 guru
Daud Harahap sakit parah dan dibawa pulang ke tempat asalnya di Padangmatinggi,
Pada tahun 1931 guru Salman Harahap pindah dari Janji Mauli dan digantikan
oleh guru Lumban Lubis dari Pakantan. Guru Lumban Lubis dipindahkan pada tahun
1935, dan digantikan oleh guru Miliater Simorangkir dari Tarutung. Guru Miliater
Simorangkir tidak terlalu lama melayani di Janji Mauli, karena pada tahun 1938
beliau harus dipindah tugaskan. Guru Miliater Simorangkir digantikan oleh guru
Paruntungan Sormin dari Marancar, setelah itu di tahun 1940 guru Paruntungan
Sormin pindah dari Janji Mauli digantikan oleh guru Agustinus Dongoran dari Sungai
Pining. Dan tahun 1942, guru Agustinus Dongoran pindah dari Janji Mauli di
gantikan guru Sori Dongoran dari Sungai Pining juga.
Di tahun 1942, guru Markus Tambunan dari Sibadoar ikut dengan guru Sori
Dongoran mengajar sekolah zending di Situmba, mereka sepakat untuk memimpin jemaat Janji Mauli, tapi guru Sori Dongoranlah yang mengajari pemuda-pemudi
gereja dan para orang tua dalam bidang paduan suara. Pada tahun 1949, guru Sori
Dongoran pindah dari Janji Mauli digantikan oleh Malanton Batubara dari Sipogu
sampai tahun 1953.
Pada tahun 1943 bulan Maret masuk tentara Jepang ke Sipirok. masyarakat
Janji Mauli sering tidak kebaktian karena gotong royong. Mereka tidak membedakan
hari Minggu dengan hari biasa yang penting Jepang memerlukan tenaga masyarakat.
Masyarakat dipaksa bekerja untuk mengumpulkan hasil padi, sayur, kerbau, dan
lembu dari Padang Bolak. Masyarakat diberi upah, tapi tidak sesuai dengan
Terlebih juga bagi guru zending, mereka tidak bisa meluangkan waktu yang banyak untuk berjumpa dengan jemaat dan para murid. Pada masa ini juga, banyak anak-anak
banyak yang berhenti sekolah karena dipaksa bekerja. Sesudah itu pada tahun 1949,
sekolah zending di Situmba dibakar oleh Jepang. Tahun 1938, Mara Pohan mengundurkan diri dari majelis (guru sintua) karena faktor usia. Dan digantikan oleh
Mara Tupang Simatupang sebagai guru jemaat/kerberat dan Regen Pohan Simanjuntak yang menjadi majelis (Sintua).
Pada tahun 1949 Mara Tupang Simatupang mengundurkan diri dari majelis
dan digantikan oleh Juara Gelar Mangaraja Aman Simatupang. Tahun 1951 bulan
November, Mangaraja Aman meninggal dunia. Dan digantikan oleh Bilalung Gelar
Soripada manjadi Siregar jadi majelis. Tahun 1951 majelis Regen Simanjuntak sakit
parah dan digantikan oleh Gera Gelar Marasampe Simanjuntak. Tahun 1953, Resort
meminta agar jemaat membiayai guru jemaat masing-masing/porhanger. Seluruh
jemaat membujuk Soripada Siregar agar menjadi guru jemaat di Janji Mauli, beliau
merasa berat hati untuk menerima untuk menjabat guru jemaat, karena dia merasa
belum sanggup untuk menjadi hamba Tuhan di jemaat itu. Tapi semua jemaat
membujuk, dan akhirnya beliau menerima jabatan itu dan ternyata Tuhan memberkati
pekerjaan itu sebagai hamba tuhan. Tahun 1952, Sutan Mulia diangkat menjadi
Majelis di Janji Mauli. Tahun 1969 bulan Desember, Soripada sakit-sakitan dan
Jemaat resort Janji Mauli tetap merasa terhibur sepeninggal Soripada Manjadi,
karena meskipun begitu sakit penyakitnya, tetapi beliau masih tetap berpegang teguh
pada Firman Tuhan. Dan firman itulah yang membujuknya untuk melihat
penyakitnya dan hatinya sungguh terang. Begitu pula dengan jemaat rasa sangat
diberkati oleh Tuhan sepeninggal Soripada manjadi tanggal 20 desember 1969.
Walaupun Soripada sudah meninggal, masih tetap majelis yang membina jemaat
dalam kebaktian di hari Minggu. Tahun 1969 bulan Maret, Pendeta Resort Z.
Harahap dan guru-guru di Sipirok sangat menginginkan membuka Sekolah
Pendidikan Guru Agama (SPGA). Berkat doa kami mengambil dari Janji Mauli untuk
mengikuti sekolah itu yaitu Toni Simatupang dan tamat bulan Maret tahun 1970.
Tanggal 13 bulan maret 1970, Toni Simatupang di baptis menjadi guru jemaat
(porhanger) di Janji Mauli. Dan majelispun diganti karena faktor umur yaitu Baginda
Pardamean Siregar dan Hamonangon Siregar.
Di tahun 1978 Baginda Pardamean Siregar mengundurkan diri dari majelis
dan digantikan oleh H. Simanungkalit. Setelah H. Simanungkalit menjadi majelis, dia
mengangkat Saut Siregar sebagai majelis.
Tahun 1974 muncul berita bahwa HKBP Janji Mauli akan diubah menjadi
GKPA yang ingin berpusat di Sipirok, tapi di Huria Janji Mauli masih ragu-ragu karna belum sependapat seluruh jemaat untuk memisahkannya. Tanggal 20 Februari
Dalam rapat tersebut, ada yang tidak sepakat untuk dipisahkan dari HKBP, karena
kami sudah lama di HKBP dan kami dibaptis di HKBP.
Pada tahun 1975 majelis gereja HKBP Janji Mauli memutuskan agar
bergabung dengan GKPA, tetapi ada sebagian jemaat yang tidak sepakat. Jemaat
yang tidak sepakat memutuskan untuk tetap pada HKBP, dan mereka beribadah di
Sipirok. Perbedaan pandangan ini berlangsung selama lima tahun lamanya, selama
tahun 1975 sampai 1980. Pada tahun 1980 masyarakat Janji Mauli kembali
melakukan musyawarah dan hasilnya seluruh jemaat memutuskan untuk bergabung
dengan GKPA yang berpusat di Sipirok.
2.4Penduduk/Demografi
Penduduk asli wilayah Tapanuli Selatan memili dua jenis suku sesuai dengan
daerahnya, yaitu Batak Mandailing yang mendiami daerah Mandailing yang
berbatasan dengan Sumatera Barat dan Suku Batak Angkola yang mendiami daerah
Sipirok. Kedua Suku inilah yang mendiami sebagian besar dari keseluruhan daerah
Tapanuli Selatan sejak masa tradisional, masuknya pemerintahan Kolonial Belanda,
dan sampai sekarang.
Kecamatan Sipirok pada umumnya didiami oleh etnis Angkola-Sipirok.
Diperkirakan, etnis Angkola-Sipirok bermigrasi dari daerah Batak, yaitu Toba
sangat besar untuk mencari penghidupan dan tempat tinggal. Hal ini disebabkan lahan
di Tanah Batak sudah tidak sanggup lagi menampung masyarakat bermarga Siregar
yang berkembang pesat. Salah satu daerah yang mereka tuju adalah Sipirok, dan yang
lainnya menyebar ke daerah-daerah yang dapat menampung mereka.
Marga Siregar yang datang ke Sipirok ini merupakan Bangsa Proto Melayu
yang datang ke Pulau Sumatera karena desakan dari bangsa Palae Mongoloid.26
Mereka menyebar ke tiga daerah, yaitu; Gelombang pertama di Pulau Nias,
Mentawai, dan Siberut; Gelombang kedua di Muara Sungai Simpang atau Singkit;
Gelombang ketiga di Muara Sungai Sorkam yaitu antara Barus dan Sibolga, mereka
masuk ke daerah pedalaman dan sampai di kaki gunung Pusuk Buhit dekat Danau
Toba.27
Keturunan marga Siregar semakin berkembang, akhirnya Ompu Palti Siregar,
penguasa ketika daerah Sipirok dibuka membagi kerajaan yang dipimpinnya menjadi
tiga kerajaan, yaitu: Kerajaan Parau Sorat yang dipimpin oleh Ompu Sayur Matua,
Kerajaan Baringin dipimpin oleh Sutan Parlindungan, dan Kerajaan Sipirok dipimpin
oleh Ompu Sutan Hatunggal.
Secara turun temurun dimanapun dia bertempat tinggal, Suku
Angkola-Sipirok menganut sistem garis keturunan ayah (patrilineal) yang terdiri dari
marga-marga: Harahap, Siregar, Hutasoit, Rambe, Ritonga, Pohan, dan lain-lain. Secara
26
Mangaraja Onggang Parlindungan, Tuanku Rao, Jakarta : Tanjung Pengharapan, 1964, hal.47.
27
khusus, penduduk asli di Janji Mauli ada tiga marga yaitu Siregar, Simanjuntak
Pohan, dan Simatupang.
Penduduk yang bertempat tinggal di desa Janji Mauli menurut sejarahnya
berasal dari keturunan Ompu Sutan Hatunggal Siregar, dari huta Bagaslombang, di Kerajaan Sipirok. Pada awalnya penduduk yang bertempat tinggal di Janji Mauli
hanya berjumlah enam orang. Namun, dengan semakin bertambahnya waktu maka
jumlah pendudukpun semakin banyak.
Sebagaimana yang sudah diterangkan pada bab sebelumnya, marga yang
markahanggi dan mora adalah Siregar, anak boru adalah Simanjuntak Pohan, dan Simatupang adalah Pisang Raut (Bere) marga Simanjuntak Pohan. Dengan berpegang teguh pada filosofinya, yaitu Dalihan Na Tolu, masyarakat memiliki peran tersendiri dalam kehidupan sehari-hari dan dalam pelaksanaan upacara pesta Adat.
Tabel 1. Distribusi Penduduk Desa Janji Mauli berdasarkan jenis kelamin.
No. Jenis Kelamin Jumlah
1 Laki-laki 89
2 Perempuan 61
Jumlah 150
BAB III
KEHIDUPAN MASYARAKAT JANJI MAULI (1900-1980)
3.1 Susunan Masyarakat
Pada masa dulu, dalam masyarakat Tapanuli Selatan terdapat suatu sistem
pelapisan sosial yang terdiri dari tiga strata. Strata yang pertama terdiri dari golongan
bangsawan, atau golongan kerabat raja yang dinamakan “Namora”. Di bawah
golongan bangsawan terdapat golongan penduduk biasa (bukan bangsawan) yang
disebut sebagai “halak na bahat” (orang kebanyakan), dan status yang paling rendah
adalah terdiri dari golongan budak yang dinamakan dengan “hatoban”. Lapisan
sosial ini tidak lagi ditemukan pada masyarakat Janji Mauli, karena tidak
mencerminkan sisi kemanusiaan. Masyarakat lebih mengutamakan sistem
kekeluargaan untuk memperoleh kehidupan yang damai.
Pada dasarnya penduduk asli desa Janji Mauli adalah suku Batak Toba.
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa penduduk yang mendiami
desa Janji Mauli merupakan penduduk dari Kerajaan Sipirok, yang berada di Huta
(desa) Bagaslombang. Sejak terbentuknya desa ini sudah terjadi beberapa kali
pertukaran pemimpinnya, dan pemimpinnya adalah keturunan dari pendiri huta
(desa). Desa Janji Mauli pertama sekali dipimpin oleh Mangaradja Porkas Siregar.
Beliau diangkat menjadi seorang kepala kampung atas musyawarah dengan
Adapun susunan masyarakat yang terdapat di desa Janji Mauli, adalah sesuai
dengan adat istiadat yang berlaku di Angkola-Sipirok. Kedudukan adat pada
masyarakat sangat tinggi. Istilah „adat‟ dalam bahasa Indonesia memiliki arti
„kebiasaan‟, dan dalam kehidupan masyarakat adat merangkum semua lapangan
kehidupan, agama dan peradilan, hubungan-hubungan kekeluargaan, kehidupan dan
kematian.28 Pada masyarakat Janji Mauli peran para majelis gereja dalam menata
tatanan kehidupan sengat besar, hal ini tampak pada saat pengambilan keputusan
dalam musyawarah desa. Sistem pemerintahan di Janji Mauli sudah sangat tertata
dengan rapi, seorang Kepala Kampung merangkap juga sebagai Raja Adat. Keadaan
masyarakat Janji Mauli dapat ditinjau berdasarkan sistem kekerabatannya Dalihan Na Tolu, melalui aspek inilah masyarakat menentukan posisi dan perannya dalam melakukan interaksi dan aktivitas kehidupan sehari-hari, baik dalam adat, maupun
acara-acara lainnya.
Sistem kekerabatan yang berlaku pada masyarakat Janji Mauli tidak terlepas
dari adat Angkola-Sipirok. Masyarakat Angkola-Sipirok menganut garis keturunan
patrilineal (garis keturunan dari pihak ayah). Berdasarkan garis keturunan yang
patrilineal itu, maka masyarakat Angkola membentuk kelompok-kelompok kekerabatan besar yang disebut dengan marga, yakni sebagai gabungan dari orang-orang yang merupakan keturunan dari seorang-orang kakek yang sama. Oleh karena itu, di
dalam masyarakat Angkola-Sipirok terdapat sejumlah marga yang masing-massing
28
Lothar Schreiner, Adat dan Injil: Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak,
mempunyai namanya sendiri-sendiri, seperti marga Siregar, Ritonga, Harahap, Pane,
dan lain-lain.
Hubungan kekerabatan yang timbul akibat terjadinya perkawinan, maka
melahirkan dua macam status kekerabatan yang masing-masing disebut mora dan
anak boru. Orang-orang yang berada dalam pihak yang memberi anak gadis dalam perkawinan berstatus sebagai mora, dan orang-orang yang berada dalam pihak penerima anak gadis dalam perkawinan berstatus anak boru. Sistem kekerabatan yang berlaku pada masyarakat Angkola, setiap orang dapat memperoleh status
kekerabatan sebagai mora, kahanggi, dan anak boru. Masing-masing kekerabatan tersebut memberikan kepada seseorang hak dan kewajiban tertentu yang satu sama
lain berbeda-beda. Hak dan Kewajiban seseorang dalam statusnya sebagai mora
berlainan dengan hak dan kewajiban yang ditentukan oleh status kekerabaatan itu
dapat dilihat pada waktu seseorang ikut dalam pelaksanaan upacara adat atau pada
waktu orang-orang yang berlainan status kekerabatannya sedang berinteraksi.
Dalam ungkapan Batak Angkola-Sipirok disebutkan “Somba marmora elek
maranak boru, manat markahanggi’.29 Ungkapan ini dengan jelas mengungkapkan bahwa seseorang yang berstatus sebagai mora berhak untuk dihormati oleh kerabatnya yang berstatus anak boru, dan sebagai orang yang berstatus kahanggi, ia wajib bersikap cermat terhadap kerabatnya yang punya status sama, dan ia juga
29
mempunyai hak untuk memperoleh perlakuan yang cermat dari kerabatnya yang
mempunyai status sebagai kahanggi.
Sejalan dengan sistem kekerabatannya, masyarakat Angkola mengenal
kekerabatan yang disebut dengan tutur. Sistem istilah itu menentukan dan mengatur panggilan yang harus digunakan oleh seseorang terhadap para kerabatnya sesuai
dengan status kekerabatannya masing. Dua orang laki-laki yang
masing-masing mempunyai status kekerabatan kahanggi, misalnya menggunakan panggilan
angkang (abang) dan anggi (adik). Dalam hal ini yang usianya lebih tua menggunakan panggilan anggi terhadap yang berusia lebih muda. Sebaliknya, yang berusia lebih muda menggunakan panggilan angkang terhadap yang berusia lebih tua.
3.2 Kehidupan Sosial
Pada masyarakat Tapanuli Selatan, huta (desa) merupakan kesatuan paling kecil yang terdapat dalam suatu kumpulan dari beberapa keluarga yang menempati
huta. Keberadaan suatu huta tidak terlepas dari adanya faktor garis keturunan atau marga, karena ikatan adat, religi, teritorial, dan keturunan mengatur hubungan antar
huta. Setiap huta bersifat otonom, baik di dalam maupun ke luar daerah. Dalam hal ini, huta dapat diibaratkan sebagai suatu kesatuan republik kecil, di mana setiap huta
(geneologis) membentuk sebuah kawasan adat yang disebut dengan luhat yang
dipimpin oleh Raja Panusunan Bulung. Raja ini dipilih dari antara Raja Pamusuk
yang terdapat dalam luhat, khususnya dari pihak turunan “sipungka huta” (yang
membuka huta) di dalam luhat yang bersangkutan. Raja Panusunan Bulung ini selain
sebagai kepala pemerintahan, juga sekaligus menjadi pengetua adat atau Raja Adat
yang memimpin berbagai kegiatan seperti keagamaan, sosial hingga kegiatan
ekonomi di seputar kawasan luhat yang menjadi wilayah kekuasaannya. Dalam
menjalankan pemerintahannya, Raja Panusunan Bulung maupun Raja Pamusuk
mengacu kepada sistem adat Batak yang mengatur sedemikian rupa dengan
berlandaskan prinsip kekerabatan “Dalihan Na Tolu”.
Dalam kehidupan bermasyarakat di Desa Janji Mauli, tidak terlepas dari
falsafah/pandangan hidup Angkola, yaitu Dalihan Na Tolu. Falsafah ini tidak hanya berlaku pada saat diberlangsungkannya sebuah pesta adat, tetapi juga dalam
kehidupan sehari-hari untuk membina kerukunan, baik sesama masyarakat, maupun
masyarakat yang berada di luar desa Janji Mauli yang pada umumnya beragama
Islam.
Untuk membentuk karakter dan perilaku kepribadian yang baik pada
anak-anak, sejak masih kecil para orang tua mengajarkan Poda Na Lima (nasihat yang lima) dalam kehidupan sehari-hari.30 Nasehat tersebut merupakan upaya
pembentukan karakter dan kepribadian yang kemudian ditunjukkan dalam pola
30
tindakan. Adapun tujuannya adalah sebagai pandangan filosofis dari dasar
pembentukan kepribadian. Poda Na Lima terdiri dari Paias Rohamu (bersihkan hatimu), Paias Bagasmu (bersihkan rumahmu), Paias Parabitonmu (bersihkan pakaianmu), Paias Pamatangmu (bersihkan badanmu), Paias Pakaranganmu
(bersihkan lingkunganmu).
Paias Rohamu artinya adalah setiap orang harus memiliki mental dan jiwa spiritual yang baik, agar mampu menjadi manusia yang bersih dan berwibawa. Paias Bagasmu atrinya adalah setiap orang harus mencukupi kebutuhan pokoknya dan mempunyai tempat tinggal yang layak dihuni sehingga keluarga itu dapat hidup
sejahtera dan bahagia. Paias Parabitonmu artinya setiap orang harus membangun sarana dan prasarana untuk meningkatkan mutu dan kualitas dirinya. Paias Pamatangmu artinya adalah setiap orang harus membangun pemikiran yang jernih ataupun sebuah organisasi supaya dapat menggerakkan pembangunan. Paias Pakaranganmu artinya setiap orang harus melestarikan lingkungan dan menjaga alam yang bersih, sejuk, nyaman, indah, aman, tertib, dan sejahtera.
Keharmonisan kehidupan masyarakat Janji Mauli adalah perpaduan antara
dua filosofi hidup tersebut. Setiap keluarga yang bertempat tinggal di desa tersebut,
haruslah menanamkan nilai-nilai filosofi hidup, Dalihan Na Tolu dan Poda Na Lima
Dalam tradisi Batak Angkola, yang menjadi kesatuan adat adalah ikatan
sedarah yang disebut dengan marga. Marga berfungsi sebagai tanda adanya tali persaudaraan di antara masyarakat. Masing-masing puak mempunyai ciri khas nama
marganya dan satu puak bisa memiliki banyak marga. Sebagai contoh di Janji Mauli terdapat mayoritas marga Siregar, namun marga lain juga terdapat di dalamnya.
Kesemua marga tersebut terjalin hubungan baik sebagai satu kesatuan di dalam adat
dan lingkungan desa Janji Mauli.
Hubungan kekerabatan masyarakat dalam marga masih tetap utuh terpelihara. Melalui peraturan eksogaminya,31 perkawinan terjadi tidak hanya antar orang per orang, tetapi merupakan transaksi antara kelompok patrilineal. Kelompok yang
memberi anak perempuannya dalam perkawinan memperoleh status terhormat dan
lebih tinggi daripada kelompok yang mengambil anak perempuan itu. Lebih tepat
lagi, mora atau kelompok pemberi istri merupakan sumber berkah supernatural kepada anak borunya.32
Status sosial pada masyarakat Janji Mauli ditandai dengan pangkat/jabatan
yang dimiliki seseorang, dalam hal ini, biasanya adalah Kepala Kampung, Penetua
Adat, dan Pendeta/pengurus di gereja. Masyarakat tidak mengenal sistem kelas sosial
yang diukur secara materi. Bagi masyarakat Janji Mauli, hamoraon (kekayaan) dimanifestasikan dalam bentuk perbuatan. Tidak berbeda dengan Orang Angkola
31
Eksogami adalah prinsip perkawinan yg mengharuskan orang mencari jodoh di luar lingkungan sosialnya, spt di luar lingkungan kerabat, golongan sosial, dan lingkungan pemukiman.
32