• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tradisi Masyarakat Desa Janji Mauli Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan (1900-1980)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tradisi Masyarakat Desa Janji Mauli Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan (1900-1980)"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

TRADISI MASYARAKAT DESA JANJI MAULI KECAMATAN SIPIROK KABUPATEN TAPANULI SELATAN (1900-1980)

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN OLEH :

NAMA : LASRON P. SINURAT NIM : 100706055

DEPARTEMEN SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Desa Janji Mauli merupakan salah satu desa yang terdapat di Kecamatan Sipirok yang dihuni oleh suku Batak Toba, dan penduduknya beragama Kristen oleh karenanya sangat layak untuk diteliti. Perkembangan kehidupan sosial masyarakat pada umumnya dapat dilihat dari berbagai aspek, dalam skripsi ini penulis menganalisis dari segi tradisi yang berkembang pada masyarakat. Tradisi yang ada pada masyarakat menjadi pedoman hidup bermasyarakat.

Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan kehidupan masyarakat Janji Mauli yang dapat mempertahankan eksistensinya, melalui kebudayaan yang berkembang dan dianut oleh masyarakat. Penulisan skripsi ini dimulai pada tahun 1900, karena sejak tahun inilah desa Janji Mauli disahkan melalui Horja Godang (Pesta Besar). Berdirinya huta ini, ditandai dengan didirikannya sebuah Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Hingga tahun 1980, masyarakat masih berada di bawah naungan HKBP. Begitu besar pengaruh adat maupun tradisi sehingga masyarakat Janji Mauli mampu menjalin interaksi sosial yang baik dengan masyarakat yang ada di Sipirok yang mayoritas beragama Islam.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah yaitu heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Heuristik yaitu tahap pertama penulis untuk mengumpulkan sumber dan data-data, yang dilakukan melalui cross check wawancara narasumber dan dokumenyang terbatas. Kemudian penulis melakukan kritik ekstern dan kritik intern terhadap data-data yang telah dikumpulkan. Selanjutnya setelah memilih sumber yang telah dikritik, penulis beranjak ke tahap berikutnya yaitu tahap penulisan (historiografi).

(7)

KATA PENGANTAR

Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang

terdiri dari beberapa propinsi, dan unit terkecilnya adalah desa. Di Tapanuli Selatan

dari zaman dahulu sampai zaman sekarang ini tidak terlepas dari masyarakat desa

yang merupakan masyarakat asli yang tetap hidup dan bertahan selama beratus-ratus

tahun walaupun telah banyak mengalami bermacam-macam gejolak perubahan sosial,

peperangan, masuknya kekuasaan politik Kerajaan tertentu dari luar maupun dari

dalam daerah Tapanuli Selatan dan juga kekuasaan asing.

Kebudayaan yang terdapat di negara Indonesia tidak terlepas dari

masyarakat desa yang terus menjaga nilai-nilainya sebagai pedoman hidup.

Kebudayaan tersebut tercermin dalam perbuatan masyarakat yang dapat menjaga

suasana yang baik sesama masyarakat maupun antar umat beragama yang tubuh pada

masyarakat, seperti yang terdapat di Desa Janji Mauli, Kecamatan Sipirok.

Masyarakat menjadikan tradisi sebagai alat untuk menjaga kerukunan antar umat

beragama.

Masuknya agama Kristen ke Sipirok pada tahun 1856 yang dibawa oleh Van

Asselt membuat perubahan dalam sistem kepercayaan pada masyarakat. Sistem

kepercayaan yang ada pada masyarakat Tapanuli pada mulanya dijumpai adanya

kepercayaan tradisional yang pada hakekatnya kepercayaan ini muncul sesuai dengan

(8)

yang terbatas, maka masyarakat percaya bahwa ada kekuatan yang lebih besar di luar

kekuasaan dirinya (baca: Uli Kozok, Utusan Damai di Kemelut Perang, hal. 25).

Setelah masuknya agama Kristen dan Islam ke Tapanuli Selatan memberi

suatu kepercayaan baru yang menjadikan masyarakat lebih modern, dengan cara

berfikir secara terbuka akan munculnya pembaharuan. Pembaharuan yang terjadi

semakin kuat dengan didukung oleh pembangunan rumah-rumah ibadah yang pada

dasarnya merupakan prakarsa dari masyarakat setempat, melalui gotong royong

masyarakat bekerja sama mengumpulkan dana guna terlaksananya pembangunan.

Dalam perkembangannya, pembangunan dan pembaharuan rumah ibadat di Tapanuli

Selatan berjalan dengan baik sesuai dengan bertambahnya jumlah penduduk yang

menganut suatu kepercayaan itu.

Agama Islam merupakan paling banyak dianut atau agama mayoritas yang

ada dalam masyarakat Tapanuli Selatan, walaupun begitu, kerukunan umat beragama

sangat kental terjaga antara Agama Islam yang mayoritas dengan Agama Kristen

yang minoritas. Selain itu, pemerintah juga turut memberikan pedoman umat

beragama dalam hidup berdampingan dengan saling menjaga sikap dan perilaku

masyarakat sehingga ketentraman dan kerukunan akan tetap terjaga dengan baik

Desa Janji Mauli yang terdapat di Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli

Selatan merupakan salah satu desa yang dihuni oleh masyarakat beragama Kristen

(9)

terdapat di Sipirok. Desa Janji Mauli dikelilingi oleh desa yang masyarakatnya adalah

beragama Islam. Masyarakat dapat menjalin hubungan kekeluargaan dan komunikasi

yang baik dengan masyarakat luar dengan cara mempertahankan tradisi yang telah

dipercayai oleh masyarakat.

Medan, April 2015

Penulis,

(10)

UCAPAN TERIMAKASIH

Ungkapan ini adalah ucapan rasa syukur penulis kepada orang-orang yang

telah berjasa dan banyak membantu namun tidak pernah sekalipun mengharapkan

balasan maupun imbalan hingga penulisan skripsi ini selesai. Oleh karena itu pula

pada kesempatan ini penulis mengucapkan puji dan syukur serta terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena penyertaan-Nya kepada

penulis sehingga bisa menyelesaikan penulisan skripsi ini.

1. Kepada Dr. Syahron Lubis, M.A. selaku dekan Fakultas Ilmu Budaya.

2. Kepada Drs. Edi Sumarno, M. Hum. selaku ketua Departemen Sejarah, dan

Drs. Nurhabsyah, M.Si yang telah memberikan arahan dan masukan kepada

penulis.

3. Kepada Ibu Dra. Peninna Simanjuntak, M.S. sebagai dosen pembimbing yang

selalu mengingatkan penulis agar cepat menyelesaikan skripsi ini dan banyak

meluangkan waktu untuk berdiskusi dengan penulis guna membantu dalam

menyelesaikan penulisan skripsi ini.

4. Kepada Bapak Drs. Timbun Ritonga selaku dosen wali penulis yang telah

memberikan arahan dan masukan kepada penulis semasa mengikuti

perkuliahan di jurusan Ilmu Sejarah, USU.

5. Serta kepada para dosen Departemen Sejarah, dan dosen departemen lainnya

yang pernah mengajar di jurusan Ilmu Sejarah, yang telah memberikan

(11)

6. Kepada kedua orang tua, Bapak U. Sinurat dan Ibu H. Sitanggang yang

selama ini telah banyak memberikan dukungan baik doa dan materi yang tak

pernah putus serta selalu mendukung penulis dalam setiap langkah. Semangat

yang diberikan kepada penulis sebagai anaknya untuk terus belajar dan

menggapai pendidikan setingg-tingginya juga ketulusan serta kekuatan hati

dalam mendidik penulis adalah sebuah nilai yang tiada taranya dan sebagai

penyulut semangat penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Kepada keluarga besar yang banyak memberikan dorongan dan bantuan

kepada penulis, terkhusus buat Lae Bapak Chelsi Sihotang/Br. Sinurat, Abang

Bapak Debora Sinurat/Br. Sihombing, Lae Bapak Adi Gultom/Br. Sinurat,

Lae Bapak Silvia Turnip/Br. Sinurat, Abangda Ferlandos Sinurat, Kakak

Ernita Sinurat, dan kepada adek satu-satunya Romada Sinurat. Terimakasih

atas semangat, nasehat, dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis,

sehingga menjadi salah satu pendorong bagi penulis untuk menyelesaikan

skripsi ini.

8. Kepada teman-teman mahasiswa Ilmu Sejarah yang tidak bisa penulis

sebutkan satu persatu, khususnya kepada teman-teman stambuk 2010

(KISRUH). Stepanus, Heri, Wilson, Evan, dan lain-lainnya kegilaan hidup bersama kalian tidak akan terhapus dari jejak langkah sejarah penulis.

9. Kepada rekan juang KDAS (Kelompok Diskusi dan Aksi Sosial). Bunda

(12)

Bung Jakob Siringoringo, Bung Qibing, Bung Erwin Sipahutar, Bung Hotden

Simanjuntak, Bung Andri Tarigan, Parjo, Rivay Pakpahan, Goklas, Dani,

Alponso, dan para anggota lainnya, terimakasih atas dukungan dan semua

proses yang telah dijalani penulis, sehingga penulis bisa lebih mengerti makna

sebuah kehidupan. Penulis telah tersesat di jalan yang benar bersama

kawan-kawan. HIDUP MAHASISWA!!!

10.Kepada rekan-rekan AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) Tano

Batak, Bung Ganda Simanjuntak, Bung Jakob Siringoringo, Bung Jhon Toni

Tarihoran, Bung Pancur Simanjuntak, dan Kakak Delvi Nababan, yang telah

membantu penulis dalam mengerjakan Skripsi ini, terimakasih atas kritikan

dan saran yang telah diberikan kepada penulis.

11.Kepada seluruh masyarakat Janji Mauli yang telah memberikan dukungan

kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, terimakasih penulis

sampaikan kepada Kepala Desa dan Ketua Komunitas Masyarakat Adat Janji

Mauli. Terkhusus kepada Amangboru Op. Desta Siregar/Br. Tambunan yang

telah menerima penulis untuk tinggal di rumahnya dan sebagai teman penulis

berdiskusi selama penulis tinggal di Huta Janji Mauli. Semoga perjuangan masyarakat Adat Janji Mauli dapat tercapai dan Tuhan selalu beserta kita.

Penulis menyadari bahwa skripsi sejarah ini jauh dari kesempurnaan, sehingga

(13)

tulisan ini dalam usaha melakukan rekonstruksi sejarah. Sebagai penutup penulis

menyampaikan kepada semua pihak semoga skripsi ini dapat menambah referensi

dan pembendaharaan tulisan sejarah.

Medan, April 2015

(14)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK……….………...i

KATA PENGANTAR……….….……...ii

UCAPAN TERIMA KASIH………...v

DAFTAR ISI……….………..ix

BAB I PENDAHULUAN ...1

1.1Latar Belakang Masalah...1

1.2Rumusan Masalah...6

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian...7

1.4Tinjauan Pustaka...8

1.5Metode Penelitian...11

BAB II GAMBARAAN UMUM DESA JANJI MAUL...14

2.1Kondisi Alam dan Geografis...14

2.2Sejarah Desa Janji Mauli...17

2.3Sejarah Gereja HKBP Janji Mauli...22

2.4Penduduk/Demografi...28

BAB III KEHIDUPAN MASYARAKAT DESA JANJI MAULI...31

3.1 Susunan Masyarakat...31

3.2 Kehidupan Sosial...34

3.3 Lembaga Adat...39

(15)

3.5 Sistem Mata Pencaharian...44

3.5.1 Tanah sawah/Persawahan...45

3.5.2 Tanah Darat/Perkebunan...47

3.5.3 Tombak/hutan…...49

3.5.4 Parjampalan/Tempat pengembalaan ternak………...49

BAB IV TRADISI DAN MASYARAKAT JANJI MAULI TAHUN 1900-1980...51

4.1 Adat Istiadat...51

4.2 Hukum Adat...61

4.2.1 Sistem Kepemilikan Tanah…...63

4.2.2 Sistem Pembagian Kerja...64

4.2.3 Sanksi Sosial...65

4.3 Kearifan Lokal...66

4.4 Tradisi Marjambar...67

BAB V PENUTUP...71

5.1 Kesimpulan...71

5.2 Saran...73

(16)

ABSTRAK

Desa Janji Mauli merupakan salah satu desa yang terdapat di Kecamatan Sipirok yang dihuni oleh suku Batak Toba, dan penduduknya beragama Kristen oleh karenanya sangat layak untuk diteliti. Perkembangan kehidupan sosial masyarakat pada umumnya dapat dilihat dari berbagai aspek, dalam skripsi ini penulis menganalisis dari segi tradisi yang berkembang pada masyarakat. Tradisi yang ada pada masyarakat menjadi pedoman hidup bermasyarakat.

Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan kehidupan masyarakat Janji Mauli yang dapat mempertahankan eksistensinya, melalui kebudayaan yang berkembang dan dianut oleh masyarakat. Penulisan skripsi ini dimulai pada tahun 1900, karena sejak tahun inilah desa Janji Mauli disahkan melalui Horja Godang (Pesta Besar). Berdirinya huta ini, ditandai dengan didirikannya sebuah Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Hingga tahun 1980, masyarakat masih berada di bawah naungan HKBP. Begitu besar pengaruh adat maupun tradisi sehingga masyarakat Janji Mauli mampu menjalin interaksi sosial yang baik dengan masyarakat yang ada di Sipirok yang mayoritas beragama Islam.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah yaitu heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Heuristik yaitu tahap pertama penulis untuk mengumpulkan sumber dan data-data, yang dilakukan melalui cross check wawancara narasumber dan dokumenyang terbatas. Kemudian penulis melakukan kritik ekstern dan kritik intern terhadap data-data yang telah dikumpulkan. Selanjutnya setelah memilih sumber yang telah dikritik, penulis beranjak ke tahap berikutnya yaitu tahap penulisan (historiografi).

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang

terdiri dari beberapa propinsi, dan unit terkecilnya adalah desa. Kurang lebih 81,2%

rakyat Indonesia bertempat tinggal di desa.1 Partisipasi masyarakat pedesaan sangat

diperlukan bagi berhasilnya pembangunan dan sekaligus dapat meningkatkan

penghidupan masyarakat di pedesaan. Desa adalah suatu hasil perpaduan antara

kegiatan sekelompok manusia dengan lingkungannya.2 Hasil dari perpaduan itu

adalah suatu wujud atau kenampakan di muka bumi yang ditimbulkan oleh

unsur-unsur fisiografi, sosial, ekonomi, politik, dan kultural yang saling berinteraksi antar

unsur tersebut dan juga dalam hubungannya dengan daerah-daerah lainnya.

Desa sebagai suatu kesatuan teritorial dan administrasi yang terkecil di

Indonesia sudah banyak mendapatkan perhatian dari para peneliti di luar ilmu

sejarah.3 Oleh karenanya, sangatlah penting bagi seorang sejarawan untuk meneliti

dan menggarap lebih dalam tentang kehidupan sosial masyarakat pedesaan, dan salah

1

R. Bintarto, Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1989, hal.11.

2

Ibid. hal. 12.

3

(18)

satunya adalah desa Janji Mauli yang terdapat di Kecamatan Sipirok, Kabupaten

Tapanuli Selatan.

Dinamika kehidupan masyarakat Sipirok yang terus berkembang menuntut

adanya perbaikan tatanan kehidupan, demi kesejahteraan masyarakat. Maka

dibentuklah sebuah huta atau desa untuk mengelola tanah yang masih kosong dan layak untuk mendorong kehidupan ekonomi masyarakat, salah satunya adalah huta

(desa) tersebut adalah Janji Mauli. Jauh sebelum masa kolonial, masyarakat Batak

tidak mengenal negara, penduduk hanya mengenal kampung-kampung yang disebut

dengan huta.4

Dalam sejarah Batak Angkola-Sipirok, untuk mendirikan sebuah huta atau desa, harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu: (1) terdapat penduduk

sekurang-kurangnya tiga keluarga „dalihan na tolu’ yang terdiri dari kahanggi (bersaudara),

anakboru (besan dari pihak perempuan), dan mora (besan dari pihak laki-laki); (2) tersedia lahan yang cukup untuk pertanian (tanaman pangan, peternakan atau

perikanan); (3) ada pemerintahan yang mampu menyelenggarakan tertib umum dan

dapat meningkatkan kemajuan serta kesejahteraan hidup terhadap semua kalangan di

dalam komunitasnya; (4) mendapat pengakuan atas keberadaan calon huta oleh seluruh huta yang sudah ada di sekitarnya di dalam luhat.5

4

Lance Castles, Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera: Tapanuli 1915-1940,

Jakarta: Gramedia, 2001, hal. 6.

5

(19)

Demikian halnya dengan huta Janji Mauli yang sudah ada sejak akhir tahun 1889 dan diresmikan pada awal tahun 1900 melalui sebuah horja godang (pesta besar). Nama Janji Mauli yang berarti janji yang indah. Masyarakat menamai desa tersebut dengan nama Janji Mauli karena masyarakat telah menepati janji mereka

kepada seorang pendeta di Sipirok untuk mendirikan gereja di desa tersebut dan desa

ini sangat indah sebagai tempat persinggahan para pedagang yang datang dari

Sidempuan menuju Sipirok, dan sebaliknya. Masyarakat yang pertama tinggal di huta

Janji Mauli pada awalnya adalah berjumlah 6 keluarga dan hanya 3 marga (klan), yaitu empat diantaranya adalah bermarga Siregar (sebagai kahanggi dan mora), Pohan Simanjuntak (sebagai anakboru), dan Simatupang adalah Pisang Raut/ Bere

dari marga Pohan Simanjuntak.6 Dalam hal pemerintahan, desa ini dipimpin oleh

seorang Kepala Kampung,7 yaitu Mangaraja Porkas Siregar.

Janji Mauli merupakan salah satu desa yang secara administratif berada di

bawah Kecamatan Sipirok, yang dihuni oleh Suku Batak Toba. Hingga akhir tahun

penulisan ini, tahun 1980, penduduk desa Janji Mauli seluruhnya menganut agama

Kristen (Huria Kristen Batak Protestan) dan menggunakan Adat Batak Angkola. Bagi

masyarakat Janji Mauli yang homogen dan masih konservatif, agama bukanlah suatu

penghambat dalam melaksanakan berbagai pesta adat dan penghalang untuk menjalin

komunikasi dengan masyarakat luar.

6

Nipleli Pohan, Artike: Sejarah Janji Mauli, 1 Juli 1993, hal. 3.

7

Kepala Kampung adalah tingkat ketujuh pada sistem pemerintahan Belanda, tingkat terendah di bawah hakuriaan. Pemerintah kolonial Hindia Belanda memperkenalkan istilah

(20)

Secara umum, mata pencaharian masyarakat Janji Mauli adalah bertani dan

berternak. Hal ini didukung oleh kondisi alam dan kontur tanah yang sangat bagus

untuk dijadikan sebagai lahan pertanian. Pertanian merupakan faktor utama dari

kelanjutan hidup masyarakat secara keseluruhan. Cara bertani masyarakat juga

dilakukan dengan sistem tradisional, dimana masyarakat masih bergantung kepada

alam. Sebagai contohnya adalah menanam padi, masyarakat masih menggunakan

kerbau sebagai peralatan untuk mengelola tanah, dan dilakukan sekali setahun dengan

mengikuti curah hujan.

Luas desa Janji Mauli adalah sekitar 600 ha, masyarakat dapat mengelolah

lahan dengan baik untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari, baik sandang

maupun pangan. Dalam hal mengelolah lahan pertanian, masyarakat membaginya

menjadi empat kategori yaitu tanah sawah, tanah darat, tombak, dan panjampalan horbo.8

Keberlangsungan hidup pada masyarakat Janji Mauli secara umum, sangat

baik dan rasa solidaritas di antara sesama masyarakat sangat kuat. Nilai-nilai tradisi

yang sudah tertanam pada diri setiap individu penduduk dan sudah ada sejak dulu

menjadi modal bagi semua masyarakat untuk menjaga kerukunan, baik sesama umat

beragama, maupun antar umat beragama.

8

(21)

Pada umumnya masyarakat Batak Angkola-Sipirok menganut agama Islam,

dan hanya sedikit yang menganut agama Kristen. Nilai religi pada masyarakat

Angkola-Sipirok adalah nilai-nilai Islam.9 Tetapi, desa Janji Mauli yang dihuni oleh

masyarakat yang beragama Kristen dapat membina hubungan yang baik dan tidak

pernah terjadi konflik sosial antar umat beragama.

Letak geografis desa Janji Mauli dikelilingi oleh desa yang penduduknya

adalah 100% beragama Islam. Secara keseluruhan, hanya desa Janji Maulilah yang

penduduknya 100% beragama Kristen di Sipirok. Namun, tidak pernah terjadi konflik

sosial pada masyarakat. Masyarakat sangat menghargai perbedaan agama, dan

menganggap bahwa seluruh masyarakat yang berada di Sipirok adalah masih

berkeluarga.

Dalam menata kehidupan yang aman dan tenteram sesama penduduk dan

antar umat beragama dengan desa luar, maka setiap keluarga menanamkan nilai-nilai

adat pada setiap individu anggota keluarganya. Adat merupakan kaidah atau

norma-norma yang menata dan memolakan perilaku orang-orang Angkola dalam hidup

bermasyarakat. Sistem sosial Dalihan Na Tolu yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Angkola-Sipirok menjadi suatu mekanisme tradisional yang berfungsi

untuk menjalankan adat sebagai suatu kekuatan penggerak perilaku hidup

bermasyarakat. Hal inilah yang juga menjadi panutan dan sebagai penopang bagi

9

(22)

masyarakat Janji Mauli untuk mempertahankan dan menjalin interaksi yang baik

dengan masyarakat luar yang berbeda agama.

Dengan adanya sebuah desa yang dapat mempertahankan eksistensinya dalam

tradisi hingga berpuluh tahun lamanya, dan mampu membangun kehidupan yang

rukun dan tenteram di sekitarnya, maka oleh penulis sangat menarik untuk

mengkajinya dalam konteks sejarah sosial. Agar pembabakan waktunya tidak terlalu

luas, maka ditentukan periodisasi penulisan. Penelitian diawali mulai dari tahun 1900

di mana pada tahun inilah diresmikan desa Janji Mauli dan mulai dibangunnya gereja

HKBP Janji Mauli. Sementara itu batas penulisan penelitian ini diakhiri pada tahun

1980, karena pada tahun inilah masyarakat tidak lagi termasuk di dalam naungan

HKBP, berpindah ke GKPA (Gereja Kristen Protestan Angkola).

1.2 Rumusan Masalah

Dalam melakukan sebuah penelitian, maka yang menjadi landasan penelitian

adalah akar masalah yang ada dalam topik yang dibahas. Hal inilah yang

diungkapkan dalam pembahasannya. Akar permasalahan merupakan hal yang sangat

penting karena di dalamnya diajukan konsep yang dibahas dalam penelitian dan

menjadi alur dalam penulisan.

(23)

mempermudah permasalahan dalam penelitian ini, maka penulis merumuskan

beberapa pokok permasalahan yang dikaji dalam penelitian ke dalam beberapa

pertanyaan sebagai berikut.

1. Bagaimana latar belakang terbentuknya Desa Janji Mauli?

2. Bagaimana kehidupan masyarakat Desa Janji Mauli dari tahun 1900

sampai 1980?

3. Apa tradisi yang berlaku pada masyarakat Desa Janji Mauli sejak tahun

1900 sampai 1980?

1.3 Tujuan dan Manfaat

Setelah penulis menetapkan apa yang menjadi pokok permasalahan yang akan

di bahas dalam penelitian ini, maka selanjutnya adalah menentukan tujuan penulis

dalam melakukan penulisan ini serta manfaat yang dapat dipetik.

Adapun tujuan penelitian ini adalah.

1. Menjelaskan latar belakang terbentuknya Desa Janji Mauli di Kecamatan

Sipirok.

2. Menjelaskan perkembangan kehidupan masyarakat desa Janji Mauli di

(24)

3. Menjelaskan tradisi yang berlaku pada masyarakat desa Janji Mauli di

Kecamatan Sipirok sejak tahun 1900 sampai 1980.

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Agar masyarakat di desa Janji Mauli mengetahui sejarah desa Janji Mauli.

2. Supaya masyarakat dapat membandingkan kehidupan sosial dulu dengan

sekarang dan juga untuk mengetahui perkembangan pola pikir masyarakat

desa Janji Mauli.

3. Menambah wawasan pembaca dalam mengetahui tradisi masyarakat Janji

Mauli di Kecamatan Sipirok.

4. Dapat menjadi acuan bagi para penulis yang lain manakala penelitian ini

dirasa perlu penyempurnaan ataupun sebagai referensi.

1.4 Tinjauan Pustaka

Dalam memahami masalah penelitian ini, diperlukan beberapa referensi yang

dapat dijadikan panduan penulisan nantinya dalam bentuk tinjauan pustaka.

Lance Castles, dalam Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera : Tapanuli 1915-1940 (2001), menjelaskan perubahan Tapanuli akibat kolonialisme yang ditulis berdasarkan penelitian. Penjajahan di Tapanuli telah membawa

(25)

dalamnya perubahan tersebut hingga tidaklah mungkin kita memahami masyarakat

Tapanuli dewasa ini tanpa terlebih dahulu mengerti sosok kekuasaan penjajah.

Buku ini bertujuan untuk menjelaskan sejarah suatu daerah di Indonesia dan

penduduknya. Daerah itu adalah Keresidenan Tapanuli minus Nias dan pulau-pulau

lepas pantai lainnya. Bagian daratan keresidenan itu didiami oleh kelompok etnis

Batak, sedangkan Nias didiami oleh kelompok etnis lainnya, dan karena itu sebaiknya

merupakan pokok penelitian yang terpisah. Karena pentingnya masalah emigrasi ke

berbagai daerah lainnya di Indonesia dalam kehidupan Tapanuli sebelum perang.

Uli Kozok, dalam Utusan Damai di Kemelut Perang : Peran Zending dalam Perang Toba (2010), mengulas perjalanan seorang zending Nomensen di Tanah Batak. Uli kozok lebih menjelaskan perjumpaan para zending dengan masyarakat Batak Toba. Uli Kozok menulis peran Misi Protestan Jerman dalam sejarah Tanah

Batak dan dalam perkembangan masyarakatnya. Melalui dokumen-dokumen otentik

(surat-surat dan artikel para misionaris), Uli Kozok membuktikan bahwa para

misionaris meminta Pemerintah Belanda agar menganeksasi daerah Silindung dan

Toba, bahkan ikut sendiri secara fisik dalam Perang Batak I, pada tahun 1878. Uli

Kozok menuliskan secara rinci pengalaman para penginjil (zending) di Tanah Batak. Dia menuliskan sejarah masuknya injil ke Tanah Batak, melalui tokoh-tokoh. Buku

ini secara beruntun memaparkan tokoh-tokoh yang pernah menginjakkan kakinya di

(26)

van Peursen dalam Strategi Kebudayaan (1998), menjelaskan suatu gambar sederhana mengenai perkembangan kebudayaan, sebuah skema yang dapat kita pakai

dalam situasi-situasi yang selalu berganti rupa dan yang kita alami sendiri.

Berpangkal pada teori informasi van Peursen melihat kebudayaan sebagai siasat

manusia menghadapi hari depan. Dia melihat kebudayaan itu sebagai suatu proses

pelajaran yang terus menerus sifatnya. Van Peursen menyajikan suatu model

kebudayaan yang bertahap tiga: tahap mitologis, ontologis, dan fungsional. Cara

pendekatannya adalah struktural dan bukan fenomenologis atau berdasarkan teori

pengetahuan.

Soetomo dalam Strategi-strategi Pembangunan Masyarakat (2008), menjelaskan dalam implementasi beberapa pengaturan tata ruang secara hirarkis

melalui kebijakan spasial yang terintegrasi, meski dapat mengurangi pemusatan

perkembangan sosial ekonomi di kota-kota besar, disparitas desa-kota dan disparitas

antarwilayah, namun demikian tidak jarang dijumpai masih adanya warga masyarakat

yang berada dalam kondisi kemiskinan baik di daerah perkotaan maupun di daerah

pedesaan. Warga masyarakat yang hidup dalam kondisi kemiskinan berada pada satu

kawasan tertentu yang seolah-olah merupakan kantung atau kluster wilayah

(27)

1.5 Metode Penelitian

Dalam penulisan sejarah yang ilmiah, pemakaian metode sejarah yang ilmiah

sangatlah penting. Metode penelitian sejarah lazim disebut dengan metode sejarah.

Metode itu sendiri berarti cara, jalan, atau petunjuk pelaksana atau petunjuk teknis.10

Sejumlah sistematika penulisan yang terangkum di dalam metode sejarah sangat

membantu setiap penelitian di dalam merekonstruksi kejadiann pada masa yang telah

berlalu.

Untuk mendapatkan penulisan sejarah yang deskriptif analitis haruslah

melalui tahapan demi tahapan, yaitu:

Tahap pertama heuristik (pengumpulan sumber) yang sesuai dan mendukung

sumber objek yang diteliti. Dalam hal ini dengan menggunakan metode penelitian

kepustakaan dan penelitian lapangan. Dalam penelitian kepustakaan dilakukan

dengan mengumpulkan beberapa buku, majalah, artikel-artikel, skripsi dan karya tulis

yang pernah ditulis sebelumnya berkaitan dengan judul yang dikaji. Kemudian

penelitian lapangan akan dilakukan dengan menggunakan metode wawancara

terhadap informan-informan yang dianggap mampu memberikan informasi yang

dibutuhkan dalam penulisan ini. Dalam fase heuristik, selain mengumpulkan

bahan-bahan seperti telah disebutkan di atas, juga digunakan ”ilmu-ilmu bantu” yang

relevan dengan fokus penelitian. Ilmu-ilmu bantu yang merupakan pendukung ilmu

10

(28)

sejarah disebut auxiliary sciences atau sister disciplines,11 yang penggunaannya tergantung pada pokok atau periode sejarah yang dikaji. Ilmu bantu mempunyai

fungsi-fungsi penting yang digunakan oleh para sejarawan dalam membantu

penelitian dan penulisan sejarah, sehingga menjadikan sejarah sebagai suatu karya

ilmiah. Ilmu bantu dalam ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, psikologi, antropologi,

politikologi, ekonomi, dan lain sebagainya. Konsep-konsep dari ilmu sosial

membantu atau menjadi alat (tools) untuk kajian sejarah yang analitis-kritis ilmiah.12

Tahapan kedua yang dilakukan adalah kritik. Dalam tahapan ini kritik

dilakukan terhadap sumber yang telah terkumpul untuk mencari kesahihan sumber

tersebut baik dari segi substansial (isi) yakni dengan cara menganalisis sejumlah

sumber tertulis misalnya buku-buku atau dokumen yang berkaitan dengan

Perpustakaan Daerah. Kritik ini disebut kritik intern. Mengkritik dari segi materialnya

untuk mengetahui keaslian atau palsukah sumber tersebut agar diperoleh

keautentikannya, kritik ini disebut kritik ekstern.

Tahapan ketiga adalah interpretasi, dalam tahapan ini data yang diperoleh

dianalisis sehingga melahirkan satu analisis yang baru yang sifatnya lebih objektif

dan ilmiah dari objek yang diteliti. Objek kajian yang cukup jauh ke belakang serta

minimnya data dan fakta yang ada membuat interpretasi menjadi sangat vital dan

11

Ibid., hal. 49.

12

(29)

dibutuhkan keakuratan serta analisis yang tajam agar mendapatkan fakta sejarah yang

objektif.

Tahap terakhir adalah historiografi, yakni penyusunan kesaksian yang dapat

dipercaya tersebut menjadi satu kisah atau kajian yang menarik dan selalu berusaha

memperhatikan aspek kronologisnya. Metode yang dipakai dalam penulisan ini

adalah deskriptif analitis. Yaitu dengan menganalisis setiap data dan fakta yang ada

untuk mendapatkan penulisan sejarah yang kritis dan ilmiah.

Dalam perkembangan penelitian dan penulisan sejarah terutama abad ke-20

dan ke-21 ini para sejarawan telah membiasakan diri mengenal dan menggunakan

sejumlah konsep-konsep, baik yang dikenal dari dalam lingkungan sejarah sendiri

maupun yang diangkat dari ilmu-ilmu sosial lain. Ketika menganalisis berbagai

peristiwa atau fenomena masa lalu, sejarawan menggunakan konsep-konsep dari

berbagai ilmu sosial tertentu yang relevan dengan pokok kajian. Ini dikenal dengan

pendekatan interdisiplin atau multidimensional yang memberikan karakteristik

“ilmiah” kepada sejarah. Penggunaan berbagai konsep disiplin ilmu sosial lain ini

memungkinkan suatu masalah dapat dilihat dari berbagai dimensi sehingga

pemahaman tentang masalah itu, baik keluasaan maupun kedalamannya, akan

semakin jelas.13

13

(30)

BAB II

Desa Janji Mauli pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda

merupakan sebuah kampung,15 yang dipimpin oleh Mangaraja Porkas Siregar16 sebagai kepala kampung. Secara administratif berada di bawah Kuria Baringin, yang

dipimpin oleh Sutan Parlindungan, tepatnya di Sipirok. Pengaruh Kuria Baringin

terhadap tatanan kehidupan pada masyarakat Janji Mauli sangat besar, mulai dari

pembangunan desa, adat, hingga agama masyarakat.

14

Badan Pusat Statistik, Tapanuli Selatan Dalam Angka 1984, Kerjasama Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Selatan dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan, hal. IV.

15

Pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda nama Huta diganti menjadi Kampung. Kampung dipimpin oleh seorang kepala kampung, dan Raja Pamusuk (RP) dan Raja Panusunan Bulung (RPB) yang memimpin Huta dihapuskan.

16

(31)

Pemukiman masyarakat desa Janji Mauli sudah sangat teratur sejak dahulu.

Rumah panggung yang dibangun berhadap-hadapan hingga membentuk sebuah

persegi panjang, dan dibelah oleh jalan untuk menuju desa tersebut. Di tengah-tengah

pemukiman, masyarakat membangun sebuah gereja sebagai tempat peribadatan

masyarakat. Jumlah pemukiman sejak didirikannya desa Janji Mauli selalu

berkembang, karena kepadatan penduduk yang semakin bertambah.

Desa ini dikelilingi oleh pohon-pohon yang rindang, karena pada dasarnya

untuk mendirikan sebuah huta atau desa, masyarakat harus menanam tiga jenis tanaman yang merupakan lambang suatu huta atau desa. Adapun tanaman yang dimaksud adalah pohon beringin, pohon bambu, dan sirih.17 Selain dikelilingi

tanaman tersebut, desa ini juga dikelilingi oleh tali air (irigasi), yang fungsinya adalah untuk mengairi persawahan yang dimiliki oleh masyarakat, dan juga untuk

kebutuhan hidup masyarakat desa Janji Mauli.

Luas wilayah desa Janji Mauli adalah sekitar 600 Ha, yang jumlah

penduduknya sekitar 150 jiwa dan 47 kepala keluarga. Wilayah itu dibagi menjadi

beberapa bagian sesuai dengan manfaat, yaitu pemukiman, persawahan, perkebunan,

pengembalaan ternak, tombak, dan pekuburan/makam masyarakat.18 Kebanyakan penghuni ataupun penduduk yang tinggal dan mendiami desa adalah anak-anak yang

berumur antara 1-15 tahun dan para orang tua yang berumur antara 40-80 tahun. Para

17

Lihat hasil musyawarah lembaga Adat-Budaya Kec. Sipirok. Berjudul: Adat Budaya Angkola-Sipirok Haruaya Mardomu Bulung Napa-Napa Ni Sibual-buali, tahun 1997, hal. 108.

18

(32)

kaum muda Janji Mauli yang berumur 16-30 tahun kebanyakan mengakses

pendidikan keluar, karena tidak tersedianya Sekolah Menengah Atas (SMA) dan

Perguruan Tinggi (PT) yang dekat dengan desa. Dan selebihnya mencari pekerjaan di

perantauan.

Desa Janji Mauli dapat ditempuh hanya dengan waktu setengah jam di

perjalanan, dengan jarak sekitar 10 km dari pusat kota Sipirok. Desa Janji Mauli

merupakan perbatasan antara Kota Sipirok dengan Sidempuan. Perjalanan dari

Sipirok menuju desa Janji Mauli melewati beberapa desa, diantaranya adalah desa

Simaningir, desa Sosopan, desa Huta Raja, desa Mandurama, desa Situmba Aek

Horsik, desa Situmba Gunung Tua Baringin, desa Situmba Godang, desa Saba Siala,

desa Aek Siporda, desa Kilang Papan, dan desa Dano Situmba. Selain melewati

desa-desa tersebut, pegunungan dan bukit yang indah dan dipenuhi dengan pohon-pohon

yang rindang ikut menghiasi perjalanan menuju desa tersebut.

Kondisi alam di desa Janji Mauli dengan iklim yang selalu berganti dan curah

hujan yang merata setiap bulan membuat daerah ini sesuai sebagai daerah pertanian.

Dengan adanya dukungan irigasi, pemakaian bibit unggul, dan pengelolaan tanah

yang tepat dapat meningkatkan hasil pertanian. Dalam hal mengelolah lahan

pertanian, masyarakat membagi dua jenis yaitu persawahan dan perkebunan. Hasil

persawahan biasanya adalah padi, kacang, dan jenis tanaman palawija. Sedangkan,

(33)

Pada saat malam musim hujan, desa Janji Mauli kerap ditutupi kabut. Air

irigasi untuk persawahan milik masyarakat mengalir dengan deras mengelilingi desa

tersebut. Saat musim kemarau tiba, masyarakat tidak perlu takut kekurangan air,

karena pada dasarnya tali air/irigasi selalu mengalir dari bukit-bukit di atas desa Janji Mauli.

Jarak antara desa Janji Mauli dengan desa-desa di sekitarnya tidak begitu

jauh, hanya dipisahkan oleh areal pertanian dan tali air milik penduduk. Adapun

batas-batas desa Janji Mauli dengan desa lainnya adalah sebagai berikut:

 Sebelah Timur berbatasan dengan desa Tolang

 Sebelah Barat berbatasan dengan Bulung Ihit/Ri Nabolak

 Sebelah Utara berbatasan dengan Aek Batang Miha

 Sebelah Selatan berbatasan dengan Jalan Bendi/Dusun Sitorbis.

2.2 Sejarah Desa Janji Mauli

Pada tahun 1882, Thomas Gelar Mangaraja Naposo bekerja sebagai Opzekter

(pengawas pembangunan) jalan di Pemerintahan Belanda. Beliau hilir mudik

melaksanakan tugas di daerah Tapanuli. Banyak pengalaman dan cara berfikir yang

sudah lebih maju, karena pada saat itu beliau menjadi mitra Pemerintahan Belanda di

Sipirok. Thomas gelar Mangaraja Naposo adalah seorang tangan kanan Pemerintahan

(34)

Pada saat itu, timbullah keinginan Thomas untuk meningkatkan pendapatan

rakyat Kuria Baringin, supaya cukup untuk keperluan sehari-hari. Muncullah

perencanaan pembukaan lahan pertanian pada saat ia menjalankan tugas pada daerah

tersebut. Areal pertaniannya cukup luas jika dikelolah dengan baik, dan akan dapat

meningkatkan pendapatan masyarakat Kuria Baringin. Atas ide dari Thomas tersebut,

maka diadakan suatu musyawarah di Sipirok yang disetujui oleh Kepala Kuria

Baringin. Dalam keputusan musyawarah tersebut disimpulkan akan diberangkatkan

sebanyak 50 Kepala Keluarga ke daerah Silantom dan Danau Riman. Maka dibuatlah

suatu acara adat, makan bersama di halaman rumah Tuan Hanstein di Sipirok dengan

memotong seekor kerbau.19 Dengan marhata Horas-Horas (sepatah dua kata) secara bergiliran sesuai dengan aturan adat yang berlaku agar yang diberangkatkan

mendapatkan kesehatan dan berkah di tempat yang akan dituju.

Pada saat pengerjaan di lahan yang baru (Silantom), masyarakat selalu

mengalami kegagalan dan kesulitan dalam pembuatan air irigasi untuk persawahan,

dan selalu ada masalah di sepanjang parit yang di gali oleh masyarakat, karena

struktur tanah yang berpasir. Sehingga membuat masyarakat menjadi merasa jenuh,

yang akhirnya parit tersebut tidak terurus dan terlantar. Maka sebagian masyarakat

yang diutus dari Sipirok membuka ladang di tempat lain dan sebagian lagi pulang ke

tempat asal (Sipirok).

19

(35)

Pada tahun 1899, Mangaraja Naposo mengarahkan masyarakat yang pulang

ke Sipirok untuk bergabung dengan rakyat Baringin yang terlebih dahulu sudah

membuat air irigasi yang akan membuat ladang persawahan di huta (desa) Danau Riman. Sesuai dengan keputusan musyawarah Kuria Baringin dan rakyat yang

dijembatani oleh Thomas Gelar Mangaraja Naposo, supaya diganti/dibayarlah tenaga

orang yang telah mengerjakan parit tersebut dengan uang Rp. 25,-.20 Lalu dibuatlah

pengumuman di Kuria Baringin, agar dibuatlah huta atau desa baru berdasarkan satu ekor lembu dan makan bersama di ujung parit itu. Maka didirikanlah pemukiman

baru yang berukuran 3x4 meter. Direncanakan akan diberangkatkan 6 keluarga pada

tanggal 1 Januari 1900 dari Sipirok menuju tempat baru tersebut (Janji Mauli).

Pada tanggal 1 Januari 1900 pada pagi hari, dibuatlah acara Tahun Baru dan

memberikan sepatah dua patah kata dari penetua-penetua yang ada pada saat itu. Di

berangkatkanlah masyarakat berdasarkan firman tuhan 1 Musa 1, dan setelah selesai bersalaman tahun baru di rumah Tuan Hanstein, Tuan Hanstein memberi nasihat,21

yaitu :

“Mansai maol dope patupahon guruhuria di hamu tikkion. Tapi hudokkon do di hamu, angkon ro do hamu tu Sipirok on. Tapi muda nada

20

Ibid., hal. 4.

21

(36)

songoni angkon baen hamu do parmingguan di ari minggu di hamu asa janjina angkon parjolo do gereja paulion muna unang bagas muna, ima janjina.”22

Sesudah selesai acara pemberangkatan ke kampung yang baru, maka kira-kira

pukul 14.00 wib, berangkatlah mereka berjalan kaki sebanyak 6 kepala keluarga.

Sampailah mereka kira-kira pukul 16.00 wib, pada tanggal 1 Januari 1900 di

kampung yang baru, yang sekarang bernama Desa Janji Mauli.23 Ke-6 kepala

keluarga tersebutlah yang menjadi Generasi I (pertama) di Desa Janji Mauli, yaitu:

1. Mangaradja Laloe Siregar

Penduduk yang diberangkatkan ke Janji Mauli ini adalah penduduk dari huta

Bagaslombang yang merupakan keturunan dari Ompu Sutan Hatunggal Siregar, di

Kerajaan Sipirok. Siregar yang bertempat tinggal di Janji Mauli ini merupakan

22Arti ya adalah

Masih terlalu sulit untuk membentuk guru sekte untuk kalian pada saat ini, tetapi saya mengatakan kepada kalian, kalian harus datang ke Sipirok ini untuk beribadah, tetapi jika tidak begitu harus kalian buat peribadatan setiap hari minggu untuk kalian supaya janjinya harus duluan kalian mendirikan gereja dari pada ru ah kalia , itulah ja ji ya.

23

(37)

keluarga dari Thomas Gelar Mangaraja Naposo, mereka adalah kahanggi (abang beradik).

Desa Janji Mauli merupakan tempat persinggahan para pedagang yang datang

dari Sidempuan ke Sipirok, dan juga sebaliknya. Masyarakat dari Sipirok, Baringin,

dan Hutaraja sangat mendukung adanya desa ini, karena bisa menjadi tempat

berteduh. Desa ini juga menyajikan pemandangan yang indah sebagai tempat

persinggahan. Masyarakat membangun sebuah kedai kopi, sebagai tempat

peristirahatan para pedagang.

Untuk menjaga kedai tersebut, masyarakat menyuruh Ompu Mina untuk

berjualan goreng. Penghasilan Ompu Mina sangat besar pada masa itu, karena

sangkin banyaknya orang biasa dan para pedagang yang singgah. Dalam waktu

seminggu, Ompu Mina menjual pisang kepok (pisang goreng) dan menghabiskan dua

kaleng (ember) air dalam satu hari. Untuk membuat air yang enak dan wangi, Ompu Mina membakar daun kopi hingga berwarna merah dan mencampurkannya dengan

air tersebut. Air yang enak dan wangi itu tidak dijual oleh Ompu Mina, hanya

gorenganlah yang dijualnya sebagai penghasilannya setiap hari.24

Sebelum nama desa Janji Mauli dibuat, desa ini terkenal dengan perpindahan

orang Sipirok. Masyarakat membuat namanya sebagai desa Janji Mauli, karena

masyarakat telah menepati janjinya kepada seorang pendeta yang telah

24

(38)

menghantarkan mereka ke desa tersebut, yaitu janji untuk mendirikan gereja, dan

desa ini sangat indah dipandang dari kejauhan.

2.3Sejarah Gereja HKBP Janji Mauli

Setelah masyarakat bermukim di desa Janji Mauli, mereka tetap

melaksanakan ibadah setiap hari minggu di rumah penduduk yang kecil. Masyarakat

tidak lagi pergi ke Sipirok untuk bergereja karena jaraknya sangat jauh. Mereka

selalu mengingat nasihat dari Pendeta Tuan Hanstein di Sipirok untuk tetap

melaksanakan ibadah. Sintua yang betindak sebagai pembawa dan pelaksana ibadah

di gereja ini adalah Sintua Mangaraja Porkas Siregar.

Pada tahun 1901 masyarakat desa Janji Mauli membangun gereja dengan

swadaya yang diambil dari daerah sekitar. Mereka dapat menghasilkan 30 lembar

kayu dalam 1 hari, dan itu terus menerus dijemput oleh para ibu-ibu kalau sudah

siang hari, karena kayu sangat mudah digergaji. Dan kolekte (uang persembahan) gereja dialihkan untuk membeli papan. Harga papan pada masa itu Rp. 1,- (satu

rupiah) sudah bisa mendapatkan 10 atau 12 lembar. Belum sampai 1 tahun, mereka

mengumpulkan dan menyediakan kayu untuk keperluan gereja dan membuat atap

gereja dari seng.

Pada tahun 1905 datanglah guru ke Janji Mauli yaitu Pendeta Kalep Siregar

(39)

pertama ada di wilayah Situmba. Murid yang bersekolah hanya 15 orang. Meskipun

gereja itu belum selesai dibangun, namun sudah dipergunakan sebagai tempat belajar

anak-anak.

Pada tahun 1907 selesailah gereja itu dibangun. Hal ini tidak terlepas dari

bantuan Sutan Paruhum dari Situmba dan Mangaraja Usin dari Sialamanjulu. Pada

tahun itu juga, Gereja HKBP Janji Mauli diresmikan. Pada saat peresmian, mereka

mengundang masyarakat dari Sipirok dan Parlagutan Hutaraja, dan juga dari Padang

Matinnggi.

Pada tahun 1912, Tuan Toko Henneman dari Sibolga membuka kebun kopi ke

Sialaman dan Tuan Pendeta Kalep Siregar yang mereka percayai untuk memberikan

gaji para pekerja yang ada disitu. Dan pendeta itu menyuruh si Ernis gelar Mara

Pohan Simanjuntak menjadi mandor kebun itu. Setelah tahun 1913, Sintua Paulus

Gelar Marsaidi Simanjuntak menjadi mandor jalan dari sipirok, dan menjadi mandor

dari Adian Balakka ke Mandurana, dan mereka juga pindah ke Janji Mauli. Pada

tahun 1913 Janji Mauli memiliki kepala keluarga sebanyak 15 kk. Itulah yang masuk

ke sekte Janji Mauli, Resort Sipirok. Di Saba Tarutung, ada keluarga yang masuk

Kristen yaitu Op. Renda dan mereka sering beribadah ke Janji Mauli.25

Pada tahun 1913 Sintua HKBP Janji Mauli digantikan oleh Sintua Marah

Pohan, yang sebelumnya adalah Sintua Mangaraja Porkas. Sintua Mangaraja Porkas

25

(40)

diganti karena beliau diangkat menjadi Kepala Kampung Janji Mauli. Pada tahun

1907 sekolah zending di Situmba Gunung Tua Baringin didirikan, oleh karena itu para muridpun dipindahkan. Berhubung karena sudah dipindahkannya sekolah

zending, maka tahun 1911 guru Kalep Siregar pun pindah dari Janji Mauli. Dan digantikan oleh guru Sarael Tambunan dari Huta Rajalah sampai tahun 1919.

Pada tahun 1919, guru Sarael Tambunan digantikan oleh guru Kondrat Siregar

dari Baringin. Pada masa guru Kondrat Siregar, tahun 1925 Huria Janji Mauli merayakan pesta perak. Dibuatlah sebuah pesta syukuran dengan mengundang Huria

Hutaraja, Padangmatinggi, dan Sipirok. Acara ini dimeriahkan dengan berbagai

hidangan makanan Adat Angkola, dan disertai dengan satu ekor lembu.

Guru Kondrat Siregar pindah pada tahun 1927 dari Janji Mauli dan digantikan

oleh guru Salman Harahap dari Hasang. Tahun 1928 datanglah guru Daud Harahap

dari Padangmatinggi ke Janji Mauli, dan di Janji Maulilah mereka berdua tinggal.

Mereka berdualah yang menjadi pelayan di HKBP Janji Mauli, secara bergantian

mereka untuk berkotbah setiap ibadah. Pada masa ini, jumlah jemaat Huria Janji Mauli sudah ada 25 Kepala Keluarga. Guru Daud Harahap adalah orang yang sangat

rajin dan baik hati untuk mengajari jemaat bernyanyi. Tetapi, pada tahun 1933 guru

Daud Harahap sakit parah dan dibawa pulang ke tempat asalnya di Padangmatinggi,

(41)

Pada tahun 1931 guru Salman Harahap pindah dari Janji Mauli dan digantikan

oleh guru Lumban Lubis dari Pakantan. Guru Lumban Lubis dipindahkan pada tahun

1935, dan digantikan oleh guru Miliater Simorangkir dari Tarutung. Guru Miliater

Simorangkir tidak terlalu lama melayani di Janji Mauli, karena pada tahun 1938

beliau harus dipindah tugaskan. Guru Miliater Simorangkir digantikan oleh guru

Paruntungan Sormin dari Marancar, setelah itu di tahun 1940 guru Paruntungan

Sormin pindah dari Janji Mauli digantikan oleh guru Agustinus Dongoran dari Sungai

Pining. Dan tahun 1942, guru Agustinus Dongoran pindah dari Janji Mauli di

gantikan guru Sori Dongoran dari Sungai Pining juga.

Di tahun 1942, guru Markus Tambunan dari Sibadoar ikut dengan guru Sori

Dongoran mengajar sekolah zending di Situmba, mereka sepakat untuk memimpin jemaat Janji Mauli, tapi guru Sori Dongoranlah yang mengajari pemuda-pemudi

gereja dan para orang tua dalam bidang paduan suara. Pada tahun 1949, guru Sori

Dongoran pindah dari Janji Mauli digantikan oleh Malanton Batubara dari Sipogu

sampai tahun 1953.

Pada tahun 1943 bulan Maret masuk tentara Jepang ke Sipirok. masyarakat

Janji Mauli sering tidak kebaktian karena gotong royong. Mereka tidak membedakan

hari Minggu dengan hari biasa yang penting Jepang memerlukan tenaga masyarakat.

Masyarakat dipaksa bekerja untuk mengumpulkan hasil padi, sayur, kerbau, dan

lembu dari Padang Bolak. Masyarakat diberi upah, tapi tidak sesuai dengan

(42)

Terlebih juga bagi guru zending, mereka tidak bisa meluangkan waktu yang banyak untuk berjumpa dengan jemaat dan para murid. Pada masa ini juga, banyak anak-anak

banyak yang berhenti sekolah karena dipaksa bekerja. Sesudah itu pada tahun 1949,

sekolah zending di Situmba dibakar oleh Jepang. Tahun 1938, Mara Pohan mengundurkan diri dari majelis (guru sintua) karena faktor usia. Dan digantikan oleh

Mara Tupang Simatupang sebagai guru jemaat/kerberat dan Regen Pohan Simanjuntak yang menjadi majelis (Sintua).

Pada tahun 1949 Mara Tupang Simatupang mengundurkan diri dari majelis

dan digantikan oleh Juara Gelar Mangaraja Aman Simatupang. Tahun 1951 bulan

November, Mangaraja Aman meninggal dunia. Dan digantikan oleh Bilalung Gelar

Soripada manjadi Siregar jadi majelis. Tahun 1951 majelis Regen Simanjuntak sakit

parah dan digantikan oleh Gera Gelar Marasampe Simanjuntak. Tahun 1953, Resort

meminta agar jemaat membiayai guru jemaat masing-masing/porhanger. Seluruh

jemaat membujuk Soripada Siregar agar menjadi guru jemaat di Janji Mauli, beliau

merasa berat hati untuk menerima untuk menjabat guru jemaat, karena dia merasa

belum sanggup untuk menjadi hamba Tuhan di jemaat itu. Tapi semua jemaat

membujuk, dan akhirnya beliau menerima jabatan itu dan ternyata Tuhan memberkati

pekerjaan itu sebagai hamba tuhan. Tahun 1952, Sutan Mulia diangkat menjadi

Majelis di Janji Mauli. Tahun 1969 bulan Desember, Soripada sakit-sakitan dan

(43)

Jemaat resort Janji Mauli tetap merasa terhibur sepeninggal Soripada Manjadi,

karena meskipun begitu sakit penyakitnya, tetapi beliau masih tetap berpegang teguh

pada Firman Tuhan. Dan firman itulah yang membujuknya untuk melihat

penyakitnya dan hatinya sungguh terang. Begitu pula dengan jemaat rasa sangat

diberkati oleh Tuhan sepeninggal Soripada manjadi tanggal 20 desember 1969.

Walaupun Soripada sudah meninggal, masih tetap majelis yang membina jemaat

dalam kebaktian di hari Minggu. Tahun 1969 bulan Maret, Pendeta Resort Z.

Harahap dan guru-guru di Sipirok sangat menginginkan membuka Sekolah

Pendidikan Guru Agama (SPGA). Berkat doa kami mengambil dari Janji Mauli untuk

mengikuti sekolah itu yaitu Toni Simatupang dan tamat bulan Maret tahun 1970.

Tanggal 13 bulan maret 1970, Toni Simatupang di baptis menjadi guru jemaat

(porhanger) di Janji Mauli. Dan majelispun diganti karena faktor umur yaitu Baginda

Pardamean Siregar dan Hamonangon Siregar.

Di tahun 1978 Baginda Pardamean Siregar mengundurkan diri dari majelis

dan digantikan oleh H. Simanungkalit. Setelah H. Simanungkalit menjadi majelis, dia

mengangkat Saut Siregar sebagai majelis.

Tahun 1974 muncul berita bahwa HKBP Janji Mauli akan diubah menjadi

GKPA yang ingin berpusat di Sipirok, tapi di Huria Janji Mauli masih ragu-ragu karna belum sependapat seluruh jemaat untuk memisahkannya. Tanggal 20 Februari

(44)

Dalam rapat tersebut, ada yang tidak sepakat untuk dipisahkan dari HKBP, karena

kami sudah lama di HKBP dan kami dibaptis di HKBP.

Pada tahun 1975 majelis gereja HKBP Janji Mauli memutuskan agar

bergabung dengan GKPA, tetapi ada sebagian jemaat yang tidak sepakat. Jemaat

yang tidak sepakat memutuskan untuk tetap pada HKBP, dan mereka beribadah di

Sipirok. Perbedaan pandangan ini berlangsung selama lima tahun lamanya, selama

tahun 1975 sampai 1980. Pada tahun 1980 masyarakat Janji Mauli kembali

melakukan musyawarah dan hasilnya seluruh jemaat memutuskan untuk bergabung

dengan GKPA yang berpusat di Sipirok.

2.4Penduduk/Demografi

Penduduk asli wilayah Tapanuli Selatan memili dua jenis suku sesuai dengan

daerahnya, yaitu Batak Mandailing yang mendiami daerah Mandailing yang

berbatasan dengan Sumatera Barat dan Suku Batak Angkola yang mendiami daerah

Sipirok. Kedua Suku inilah yang mendiami sebagian besar dari keseluruhan daerah

Tapanuli Selatan sejak masa tradisional, masuknya pemerintahan Kolonial Belanda,

dan sampai sekarang.

Kecamatan Sipirok pada umumnya didiami oleh etnis Angkola-Sipirok.

Diperkirakan, etnis Angkola-Sipirok bermigrasi dari daerah Batak, yaitu Toba

(45)

sangat besar untuk mencari penghidupan dan tempat tinggal. Hal ini disebabkan lahan

di Tanah Batak sudah tidak sanggup lagi menampung masyarakat bermarga Siregar

yang berkembang pesat. Salah satu daerah yang mereka tuju adalah Sipirok, dan yang

lainnya menyebar ke daerah-daerah yang dapat menampung mereka.

Marga Siregar yang datang ke Sipirok ini merupakan Bangsa Proto Melayu

yang datang ke Pulau Sumatera karena desakan dari bangsa Palae Mongoloid.26

Mereka menyebar ke tiga daerah, yaitu; Gelombang pertama di Pulau Nias,

Mentawai, dan Siberut; Gelombang kedua di Muara Sungai Simpang atau Singkit;

Gelombang ketiga di Muara Sungai Sorkam yaitu antara Barus dan Sibolga, mereka

masuk ke daerah pedalaman dan sampai di kaki gunung Pusuk Buhit dekat Danau

Toba.27

Keturunan marga Siregar semakin berkembang, akhirnya Ompu Palti Siregar,

penguasa ketika daerah Sipirok dibuka membagi kerajaan yang dipimpinnya menjadi

tiga kerajaan, yaitu: Kerajaan Parau Sorat yang dipimpin oleh Ompu Sayur Matua,

Kerajaan Baringin dipimpin oleh Sutan Parlindungan, dan Kerajaan Sipirok dipimpin

oleh Ompu Sutan Hatunggal.

Secara turun temurun dimanapun dia bertempat tinggal, Suku

Angkola-Sipirok menganut sistem garis keturunan ayah (patrilineal) yang terdiri dari

marga-marga: Harahap, Siregar, Hutasoit, Rambe, Ritonga, Pohan, dan lain-lain. Secara

26

Mangaraja Onggang Parlindungan, Tuanku Rao, Jakarta : Tanjung Pengharapan, 1964, hal.47.

27

(46)

khusus, penduduk asli di Janji Mauli ada tiga marga yaitu Siregar, Simanjuntak

Pohan, dan Simatupang.

Penduduk yang bertempat tinggal di desa Janji Mauli menurut sejarahnya

berasal dari keturunan Ompu Sutan Hatunggal Siregar, dari huta Bagaslombang, di Kerajaan Sipirok. Pada awalnya penduduk yang bertempat tinggal di Janji Mauli

hanya berjumlah enam orang. Namun, dengan semakin bertambahnya waktu maka

jumlah pendudukpun semakin banyak.

Sebagaimana yang sudah diterangkan pada bab sebelumnya, marga yang

markahanggi dan mora adalah Siregar, anak boru adalah Simanjuntak Pohan, dan Simatupang adalah Pisang Raut (Bere) marga Simanjuntak Pohan. Dengan berpegang teguh pada filosofinya, yaitu Dalihan Na Tolu, masyarakat memiliki peran tersendiri dalam kehidupan sehari-hari dan dalam pelaksanaan upacara pesta Adat.

Tabel 1. Distribusi Penduduk Desa Janji Mauli berdasarkan jenis kelamin.

No. Jenis Kelamin Jumlah

1 Laki-laki 89

2 Perempuan 61

Jumlah 150

(47)

BAB III

KEHIDUPAN MASYARAKAT JANJI MAULI (1900-1980)

3.1 Susunan Masyarakat

Pada masa dulu, dalam masyarakat Tapanuli Selatan terdapat suatu sistem

pelapisan sosial yang terdiri dari tiga strata. Strata yang pertama terdiri dari golongan

bangsawan, atau golongan kerabat raja yang dinamakan “Namora”. Di bawah

golongan bangsawan terdapat golongan penduduk biasa (bukan bangsawan) yang

disebut sebagai “halak na bahat” (orang kebanyakan), dan status yang paling rendah

adalah terdiri dari golongan budak yang dinamakan dengan “hatoban”. Lapisan

sosial ini tidak lagi ditemukan pada masyarakat Janji Mauli, karena tidak

mencerminkan sisi kemanusiaan. Masyarakat lebih mengutamakan sistem

kekeluargaan untuk memperoleh kehidupan yang damai.

Pada dasarnya penduduk asli desa Janji Mauli adalah suku Batak Toba.

Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa penduduk yang mendiami

desa Janji Mauli merupakan penduduk dari Kerajaan Sipirok, yang berada di Huta

(desa) Bagaslombang. Sejak terbentuknya desa ini sudah terjadi beberapa kali

pertukaran pemimpinnya, dan pemimpinnya adalah keturunan dari pendiri huta

(desa). Desa Janji Mauli pertama sekali dipimpin oleh Mangaradja Porkas Siregar.

Beliau diangkat menjadi seorang kepala kampung atas musyawarah dengan

(48)

Adapun susunan masyarakat yang terdapat di desa Janji Mauli, adalah sesuai

dengan adat istiadat yang berlaku di Angkola-Sipirok. Kedudukan adat pada

masyarakat sangat tinggi. Istilah „adat‟ dalam bahasa Indonesia memiliki arti

„kebiasaan‟, dan dalam kehidupan masyarakat adat merangkum semua lapangan

kehidupan, agama dan peradilan, hubungan-hubungan kekeluargaan, kehidupan dan

kematian.28 Pada masyarakat Janji Mauli peran para majelis gereja dalam menata

tatanan kehidupan sengat besar, hal ini tampak pada saat pengambilan keputusan

dalam musyawarah desa. Sistem pemerintahan di Janji Mauli sudah sangat tertata

dengan rapi, seorang Kepala Kampung merangkap juga sebagai Raja Adat. Keadaan

masyarakat Janji Mauli dapat ditinjau berdasarkan sistem kekerabatannya Dalihan Na Tolu, melalui aspek inilah masyarakat menentukan posisi dan perannya dalam melakukan interaksi dan aktivitas kehidupan sehari-hari, baik dalam adat, maupun

acara-acara lainnya.

Sistem kekerabatan yang berlaku pada masyarakat Janji Mauli tidak terlepas

dari adat Angkola-Sipirok. Masyarakat Angkola-Sipirok menganut garis keturunan

patrilineal (garis keturunan dari pihak ayah). Berdasarkan garis keturunan yang

patrilineal itu, maka masyarakat Angkola membentuk kelompok-kelompok kekerabatan besar yang disebut dengan marga, yakni sebagai gabungan dari orang-orang yang merupakan keturunan dari seorang-orang kakek yang sama. Oleh karena itu, di

dalam masyarakat Angkola-Sipirok terdapat sejumlah marga yang masing-massing

28

Lothar Schreiner, Adat dan Injil: Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak,

(49)

mempunyai namanya sendiri-sendiri, seperti marga Siregar, Ritonga, Harahap, Pane,

dan lain-lain.

Hubungan kekerabatan yang timbul akibat terjadinya perkawinan, maka

melahirkan dua macam status kekerabatan yang masing-masing disebut mora dan

anak boru. Orang-orang yang berada dalam pihak yang memberi anak gadis dalam perkawinan berstatus sebagai mora, dan orang-orang yang berada dalam pihak penerima anak gadis dalam perkawinan berstatus anak boru. Sistem kekerabatan yang berlaku pada masyarakat Angkola, setiap orang dapat memperoleh status

kekerabatan sebagai mora, kahanggi, dan anak boru. Masing-masing kekerabatan tersebut memberikan kepada seseorang hak dan kewajiban tertentu yang satu sama

lain berbeda-beda. Hak dan Kewajiban seseorang dalam statusnya sebagai mora

berlainan dengan hak dan kewajiban yang ditentukan oleh status kekerabaatan itu

dapat dilihat pada waktu seseorang ikut dalam pelaksanaan upacara adat atau pada

waktu orang-orang yang berlainan status kekerabatannya sedang berinteraksi.

Dalam ungkapan Batak Angkola-Sipirok disebutkan “Somba marmora elek

maranak boru, manat markahanggi’.29 Ungkapan ini dengan jelas mengungkapkan bahwa seseorang yang berstatus sebagai mora berhak untuk dihormati oleh kerabatnya yang berstatus anak boru, dan sebagai orang yang berstatus kahanggi, ia wajib bersikap cermat terhadap kerabatnya yang punya status sama, dan ia juga

29

(50)

mempunyai hak untuk memperoleh perlakuan yang cermat dari kerabatnya yang

mempunyai status sebagai kahanggi.

Sejalan dengan sistem kekerabatannya, masyarakat Angkola mengenal

kekerabatan yang disebut dengan tutur. Sistem istilah itu menentukan dan mengatur panggilan yang harus digunakan oleh seseorang terhadap para kerabatnya sesuai

dengan status kekerabatannya masing. Dua orang laki-laki yang

masing-masing mempunyai status kekerabatan kahanggi, misalnya menggunakan panggilan

angkang (abang) dan anggi (adik). Dalam hal ini yang usianya lebih tua menggunakan panggilan anggi terhadap yang berusia lebih muda. Sebaliknya, yang berusia lebih muda menggunakan panggilan angkang terhadap yang berusia lebih tua.

3.2 Kehidupan Sosial

Pada masyarakat Tapanuli Selatan, huta (desa) merupakan kesatuan paling kecil yang terdapat dalam suatu kumpulan dari beberapa keluarga yang menempati

huta. Keberadaan suatu huta tidak terlepas dari adanya faktor garis keturunan atau marga, karena ikatan adat, religi, teritorial, dan keturunan mengatur hubungan antar

huta. Setiap huta bersifat otonom, baik di dalam maupun ke luar daerah. Dalam hal ini, huta dapat diibaratkan sebagai suatu kesatuan republik kecil, di mana setiap huta

(51)

(geneologis) membentuk sebuah kawasan adat yang disebut dengan luhat yang

dipimpin oleh Raja Panusunan Bulung. Raja ini dipilih dari antara Raja Pamusuk

yang terdapat dalam luhat, khususnya dari pihak turunan “sipungka huta” (yang

membuka huta) di dalam luhat yang bersangkutan. Raja Panusunan Bulung ini selain

sebagai kepala pemerintahan, juga sekaligus menjadi pengetua adat atau Raja Adat

yang memimpin berbagai kegiatan seperti keagamaan, sosial hingga kegiatan

ekonomi di seputar kawasan luhat yang menjadi wilayah kekuasaannya. Dalam

menjalankan pemerintahannya, Raja Panusunan Bulung maupun Raja Pamusuk

mengacu kepada sistem adat Batak yang mengatur sedemikian rupa dengan

berlandaskan prinsip kekerabatan “Dalihan Na Tolu”.

Dalam kehidupan bermasyarakat di Desa Janji Mauli, tidak terlepas dari

falsafah/pandangan hidup Angkola, yaitu Dalihan Na Tolu. Falsafah ini tidak hanya berlaku pada saat diberlangsungkannya sebuah pesta adat, tetapi juga dalam

kehidupan sehari-hari untuk membina kerukunan, baik sesama masyarakat, maupun

masyarakat yang berada di luar desa Janji Mauli yang pada umumnya beragama

Islam.

Untuk membentuk karakter dan perilaku kepribadian yang baik pada

anak-anak, sejak masih kecil para orang tua mengajarkan Poda Na Lima (nasihat yang lima) dalam kehidupan sehari-hari.30 Nasehat tersebut merupakan upaya

pembentukan karakter dan kepribadian yang kemudian ditunjukkan dalam pola

30

(52)

tindakan. Adapun tujuannya adalah sebagai pandangan filosofis dari dasar

pembentukan kepribadian. Poda Na Lima terdiri dari Paias Rohamu (bersihkan hatimu), Paias Bagasmu (bersihkan rumahmu), Paias Parabitonmu (bersihkan pakaianmu), Paias Pamatangmu (bersihkan badanmu), Paias Pakaranganmu

(bersihkan lingkunganmu).

Paias Rohamu artinya adalah setiap orang harus memiliki mental dan jiwa spiritual yang baik, agar mampu menjadi manusia yang bersih dan berwibawa. Paias Bagasmu atrinya adalah setiap orang harus mencukupi kebutuhan pokoknya dan mempunyai tempat tinggal yang layak dihuni sehingga keluarga itu dapat hidup

sejahtera dan bahagia. Paias Parabitonmu artinya setiap orang harus membangun sarana dan prasarana untuk meningkatkan mutu dan kualitas dirinya. Paias Pamatangmu artinya adalah setiap orang harus membangun pemikiran yang jernih ataupun sebuah organisasi supaya dapat menggerakkan pembangunan. Paias Pakaranganmu artinya setiap orang harus melestarikan lingkungan dan menjaga alam yang bersih, sejuk, nyaman, indah, aman, tertib, dan sejahtera.

Keharmonisan kehidupan masyarakat Janji Mauli adalah perpaduan antara

dua filosofi hidup tersebut. Setiap keluarga yang bertempat tinggal di desa tersebut,

haruslah menanamkan nilai-nilai filosofi hidup, Dalihan Na Tolu dan Poda Na Lima

(53)

Dalam tradisi Batak Angkola, yang menjadi kesatuan adat adalah ikatan

sedarah yang disebut dengan marga. Marga berfungsi sebagai tanda adanya tali persaudaraan di antara masyarakat. Masing-masing puak mempunyai ciri khas nama

marganya dan satu puak bisa memiliki banyak marga. Sebagai contoh di Janji Mauli terdapat mayoritas marga Siregar, namun marga lain juga terdapat di dalamnya.

Kesemua marga tersebut terjalin hubungan baik sebagai satu kesatuan di dalam adat

dan lingkungan desa Janji Mauli.

Hubungan kekerabatan masyarakat dalam marga masih tetap utuh terpelihara. Melalui peraturan eksogaminya,31 perkawinan terjadi tidak hanya antar orang per orang, tetapi merupakan transaksi antara kelompok patrilineal. Kelompok yang

memberi anak perempuannya dalam perkawinan memperoleh status terhormat dan

lebih tinggi daripada kelompok yang mengambil anak perempuan itu. Lebih tepat

lagi, mora atau kelompok pemberi istri merupakan sumber berkah supernatural kepada anak borunya.32

Status sosial pada masyarakat Janji Mauli ditandai dengan pangkat/jabatan

yang dimiliki seseorang, dalam hal ini, biasanya adalah Kepala Kampung, Penetua

Adat, dan Pendeta/pengurus di gereja. Masyarakat tidak mengenal sistem kelas sosial

yang diukur secara materi. Bagi masyarakat Janji Mauli, hamoraon (kekayaan) dimanifestasikan dalam bentuk perbuatan. Tidak berbeda dengan Orang Angkola

31

Eksogami adalah prinsip perkawinan yg mengharuskan orang mencari jodoh di luar lingkungan sosialnya, spt di luar lingkungan kerabat, golongan sosial, dan lingkungan pemukiman.

32

Gambar

Tabel 1. Distribusi Penduduk Desa Janji Mauli berdasarkan jenis kelamin.
Tabel 2. Jumlah Penduduk yang dimakamkan di desa Janji Mauli
Tabel 3. Luas areal Pertanian Desa Janji Mauli sesuai dengan fungsinya.
Tabel 4. Jenis-jenis ternak penduduk desa Janji Mauli

Referensi

Dokumen terkait

Suatu adat istiadat yang hidup (menjadi tradisi) dalam masyarakat dapat. berubah dan diakui sebagai peraturan hukum (hukum adat) (Taneko,

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada masyarakat, praktisi, maupun bagi pihak-pihak terkait mengenai hukum adat pada umumnya dan hukum sewa menyewa

Hasil dari penelitian ini adalah bahwasanya di Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan anak yatim dijadikan sebagai mustahik zakat baik anak tersebut tergolong pada

MAKNA TRADISI “DEKAHAN” BAGI MASYARAKAT DESA PAKEL (Studi Fenomenologi Tentang Alasan Masyarakat Melestarikan Tradisi Dekahan Dan Perilaku Sosial Yang Ada Didalamnya Pada

Untuk para penyimbang dan tokoh adat agar melakukan sosialisasi terhadap tradisi sebambangan kepada masyarakat adat lampung pepadun khususnya di Desa Terbanggi

Pada masyarakat desa nilai-nilai adat atau nilai moral bersifat tradisi masih. mendominasi dari setiap tindakan atau interaksi yang

Tradisi merantau ini membuat kehidupan sosial masyarakat di Jorong Subarang menjadi kurang, seperti interaksi sosial yang berkurang dalam masyarakat. Penelitian

lahan keikhlasan pun akan tumbuh. Implikasi tradisi Nyepi Adat terhadap kehidupan masyarakat yaitu dengan diadakannya Nyepi Adat disini maka segala interaksi tidak bsa