BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sosial–Ekonomi
2.1.1 Pengertian Sosial–Ekonomi
Pengertian sosial ekonomi jarang dibahas secara bersamaan. Pengertian sosial
dan pengertian ekonomi sering dibahas secara terpisah. Pengertian sosial dalam ilmu
sosial menunjuk pada objeknya yaitu masyarakat. Sedangkan pada departemen sosial
menunjukkan pada kegiatan yang ditunjukkan untuk mengatasi persoalan yang
dihadapi oleh masyarakat dalam bidang kesejahteraan yang ruang lingkup pekerjaan
dan kesejahteraan sosial.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata sosial berarti segala sesuatu yang
berkenaan dengan masyarakat (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1996:958).
Sedangkan dalam konsep sosiologi, manusia sering disebut sebagai makhluk sosial
yang artinya manusia tidak dapat hidup wajar tanpa adanya bantuan orang lain
disekitarnya. Sehingga kata sosial sering diartikan sebagai hal-hal yang berkenaan
dengan masyarakat.
Sementara istilah ekonomi sendiri berasal dari kata Yunani yaitu “oikos” yang
berarti keluarga atau rumah tangga dan “nomos” yaitu peraturan, aturan, hukum.
Maka secara garis besar ekonomi diartikan sebagai aturan rumah tangga atau
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ekonomi berarti ilmu yang mengenai
asas-asas produksi, distribusi dan pemakaian barang-barang serta kekayaan (seperti
keuangan, perindustrian dan perdagangan) (Kamus Besar Bahasa Indonesia,
1996:251).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sosial
ekonomi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan
masyarakat, antara lain sandang, pangan, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan
lain-lain. Pemenuhan kebutuhan tersebut berkaitan dengan penghasilan. Hal ini
disesuaikan dengan penelitian yang akan dilakukan.
Untuk melihat kedudukan sosial–ekonomi adalah pekerjaan, penghasilan, dan
pendidikan. Berdasarkan ini masyarakat tersebut dapat digolongkan kedalam
kedudukan sosial ekonomi rendah, sedang, dan tinggi (Koentjaraningrat, 2009:35).
2.1.2 Pembangunan Sosial dan Ekonomi
Pembangunan sosial adalah suatu proses perubahan sosial yang terencana yang
didesain untuk mengangkat kesejahteraan penduduk secara menyeluruh, dengan
menggabungkannya dengan proses pembangunan ekonomi yang dinamis (Midgley,
2005:37).
Lebih lanjut Midgley (2005:38-41) mengajukan ada delapan aspek yang perlu
diperhatikan, diantara lain :
1. Proses pembangunan sosial sangat terkait dengan pembangunan ekonomi.
Aspek ini yang membuat pembangunan sosial berbeda ketika dibandingkan
Pembangunan sosial mencoba untuk mengaplikasikan kebijakan-kebijakan dan
program-program sosial untuk mengangkat kesejahteraan sosial, pembangunan
sosial melakukannya dengan konteks proses pembangunan.
2. Pembangunan sosial mempunyai fokus berbagai macam disiplin ilmu
(interdisipliner) berdasarkan berbagai ilmu sosial yang berbeda. Pembangunan
sosial secara khusus terinspirasi dari politik dan ekonomi. Pembangunan sosial
juga menyentuh nilai, kepercayaan dan ideologi secara eksplisit. Dengan isu-
isu ideologis, pembagunan sosial diharapkan dapat lebih baik menciptakan
intervensi dalam menganalisa dan mengahadapi masalah sosial dalam
mengangkat kesejahteraan masyarakat.
3. Konsep pembangunan sosial lebih menekankan pada proses. Pembangunan
sosial sebagai konsep dinamis memiliki ide-ide tentang pertumbuhan dan
perubahan yang bersifat eksplisit dimana istilah pembangunan itu sendiri lebih
berkonotasi pada semangat akan perubahan yang positif. Secara literal,
pembangunan adalah satu proses pertumbuhan, perubahan, evolusi dan
pergerakan. Pembangunan sosial memiliki tiga aspek, pertama, kondisi sosial
awal yang akan diubah dengan pembangunan sosial, kedua, proses perubahan
itu sendiri, ketiga, keadaan akhir ketika tujuan-tujuan pembangunan sosial
telah tercapai.
4. Proses perubahan yang progresif. Perubahan yang dilakukan berusaha untuk
perbaikan bagi seluruh manusia. Ide-ide akan perbaikan dan peningkatan sosial
5. Proses pembangunan sosial bersifat intervensi. Peningkatan perubahan dalam
kesejahteraan sosial terjadi karena adanya usaha-usaha yang terencana yang
dilakukan oleh para pelaku perubahan, bukan terjadi secara natural karena
bekerjanya sistem ekonomi pasar atau dengan dorongan historis. Proses
pembangunan sosial lebih tertuju pada manusia yang dapat
mengimplementasikan rencana dan strategi yang spesifik untuk mencapai
tujuan pembangunan sosial.
6. Tujuan pembangunan sosial didukung dengan beberapa macam strategi, baik
secara langsung maupun tidak langsung, akan menghubungkan intervensi
sosial dengan usaha pembangunan ekonomi. Keduanya didasari oleh keyakinan
dan ideologi yang berbeda tetapi hal ini dapat diharmonisasikan meskipun
masih ditemui kesulitan untuk merangkum semuanya dalam sebuah sintesa.
7. Pembangunan sosial lebih terkait dengan rakyat secara menyeluruh serta ruang
lingkupnya lebih bersifat inklusif atau universal. Pembangunan sosial fokus
makronya menargetkan perhatian pada komunitas, daerah dan masyarakat.
Pembangunan sosial lebih tertuju pada mereka yang terlantar karena
pertumbuhan ekonomi atau tidak diikutsertakan dalam pembangunan (orang
miskin dalam kota, penduduk desa yang miskin, etnis minoritas dan wanita).
Pembangunan sosial fokusnya bersifat pembagian daerah seperti dalam kota,
8. Tujuan pembangunan sosial adalah mengangkat kesejahteraan sosial.
Kesejahteraan sosial disini berkonotasi pada suatu kondisi sosial di mana
masalah-masalah sosial diatur, kebutuhan sosial dipenuhi dan terciptanya
kesempatan sosial (Midgley, 2005:21). Bukan sekedar kegiatan amal ataupun
bantuan publik yang diberikan oleh pemerintah (Midgley, 2005:19).
Dari penjelasan tersebut di atas, terlihat bahwa pembangunan sosial menurut
Midgley (2005:34) adalah pendekatan pembangunan yang secara eksplisit berusaha
mengintegrasikan proses ekonomi dan sosial sebagai kesatuan dari proses
pembangunan yang dinamis, membentuk dua sisi dari satu mata uang yang sama.
Pembangunan sosial tidak akan terjadi tanpa adanya pembangunan ekonomi, begitu
pula sebaliknya pembangunan ekonomi tidaklah berarti tanpa diiringi dengan
peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat secara menyeluruh.
Orientasi pembangunan ekonomi perlu diikuti oleh pembangunan sosial, yang
diartikan sebagai suatu usaha untuk meningkatkan kesejahteraan secara menyeluruh.
Paling tidak hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan sosial tersebut adalah (a)
Meminjam asumsi Todaro (Todaro, 1989:92), ada tiga sasaran yang seyogyanya
dicapai dalam pembangunan sosial, yaitu :
a. Meningkatkan ketersediaan dan memperluas distribusi barang-barang
kebutuhan pokok.
b. Meningkatkan taraf hidup, yaitu selain meningkatkan pendapatan, memperluas
kesempatan kerja, pendidikan yang lebih baik, dan juga perhatian yang lebih
besar terhadap nilai-nilai budaya dan kemanusiaan, yang keseluruhannya akan
memperbaiki bukan hanya kesejahteraan material tetapi juga menghasilkan
rasa percaya diri sebagai individu ataupun sebagai suatu bangsa.
c. Memperluas pilihan ekonomi dan sosial yang tersedia bagi setiap orang dan
setiap bangsa dengan membebaskan mereka dari perbudakan dan
ketergantungan bukan hanya dalam hubungan dengan orang dan negara lain
tetapi juga terhadap kebodohan dan kesengsaraan manusia.
2.1.3 Indikator Sosial–Ekonomi
Keluarga dan kelompok masyarakat dapat digolongkan memiliki sosial-
ekonomi rendah, sedang, dan tinggi (Koentjaraningrat, 2009:35). Berdasarkan hal
tersebut kita dapat mengklasifikasikan keadaan sosial ekonominya yang dapat
dijabarkan sesuai dengan indikator sebagai berikut :
a. Pendapatan
Pendapatan akan mempengaruhi status sosial seseorang, terutama akan
ditemui dalam masyarakat yang matrealis dan tradisonal yang menghargai
kamus ekonomi adalah uang yang diterima oleh seseorang dalam bentuk gaji,
upah sewa, bunga, laba, dan lainnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) merinci pendapatan dalam beberapa kategori
sebagai berikut :
1. Pendapatan berupa uang ialah segala penghasilan berupa uang yang
sifatnya reguler dan biasanya diterima sebagai balasan atau kontrak
prestasi.
2. Pendapatan yang berupa barang adalah pembayaran upah dan gaji yang
berbentuk beras, pengobatan, transportasi, perumahan, dankreasi.
Berkaitan dengan hal tersebut mendefenisikan pendapatan sebagai
seluruh penerimaan baik berupa uang ataupun barang baik dari pihak lain
maupun dari hasil sendiri, dengan cara menilai sejumlah atas harga yang
berlaku saat ini.
b. Perumahan
Rumah adalah tempat untuk melepaskan lelah, tempat bergaul, dan
membina rasa kekeluargaan diantara anggota keluarga, tempat berlindung
keluarga, dan menyimpan barang berharga, dan rumah juga dikatakan sebagai
lambung sosial. Rumah ialah struktur fisik terdiri dari ruangan, halaman dan
area sekitarnya yang dipakai sebagai tempat tinggal dan sarana pembinaan
keluarga (Undang–undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992).
Menurut American Public Health Association (APHA) rumah dikatakan
sehat apabila : (1) Memenuhi kebutuhan fisik dasar seperti temperatur lebih
rendah dari udara yang di luar rumah, penerangan yang memadai, ventilasi
melindungi penghuninya dari berbagai penyakit menular yaitu memiliki
penyediaan air bersih, sarana pembuangan sampah, dan saluran pembuangan
air limbah yang saniter dan memenuhi syarat kesehatan, dan (4) melindungi
penghuni dari kemungkinan terjadinya kecelakaan dan bahaya kebakaran,
seperti fondasi rumah yang kokoh, tangga yang tidak curam, bahaya kebakaran
karena arus pendek listrik, keracunan, bahkan dari ancaman kecelakaan lalu
lintas.
c. Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui
kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi perannya di masa yang
akan datang. Dalam (Undang–undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor
20 Tahun 2013) pendidikan didefenisikan sebagai usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Menurut Ki Hajar Dewantara yang tidak lain merupakan ‗bapak
pendidikan nasional‘ mengemukakan pengertian dari pendidikan ialah tuntutan
di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya pendidikan yaitu
menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka
sabagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai
d. Kesehatan
Menurut World Health Organization (WHO), ada empat komponen
penting yang merupakan satu kesatuan dalam definisi sehat yaitu :
1. Sehat Jasmani.
Sehat jasmani merupakan komponen penting dalam arti sehat seutuhnya,
berupa sosok manusia yang berpenampilan kulit bersih, mata bersinar,
rambut tersisir rapi, berpakaian rapi, berotot, tidak gemuk, nafas tidak
bau, selera makan baik, tidur nyenyak, gesit dan seluruh fungsi fisiologi
tubuh berjalan normal.
2. Sehat Mental.
Sehat Mental dan sehat jasmani selalu dihubungkan satu sama lain dalam
pepatah kuno ―Jiwa yang sehat terdapat di dalam tubuh yang sehat (Men
Sana In Corpore Sano)‖.
Atribut seorang insan yang memiliki mental yang sehat adalah selalu
merasa puas dengan apa yang ada pada dirinya, tidak ada tanda-tanda
konflik kejiwaan, dapat bergaul dengan baik, dapat menerima kritik serta
tidak mudah tersinggung atau marah, dapat mengontrol diri, tidak mudah
emosi, dapat menyelesaikan masalah secara cerdik dan bijaksana.
3. Kesejahteraan Sosial.
Batasan kesejahteraan sosial yang ada di setiap tempat atau negara sulit
diukur dan sangat tergantung pada kultur, kebudayaan dan tingkat
Dalam arti yang lebih hakiki, kesejahteraan sosial adalah suasana
kehidupan berupa perasaan aman damai dan sejahtera, cukup pangan,
sandang dan papan. Dalam kehidupan masyarakat yang sejahtera,
masyarakat hidup tertib dan selalu menghargai kepentingan orang lain
serta masyarakat umum.
4. Sehat Spiritual.
Spiritual merupakan komponen tambahan dan memiliki arti penting
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Setiap individu perlu mendapat
pendidikan formal maupun informal, kesempatan untuk berlibur,
mendengar alunan lagu dan musik, siraman rohani seperti ceramah
agama dan lainnya agar terjadi keseimbangan jiwa yang dinamis dan
tidak monoton.
Keempat komponen ini dikenal sebagai sehat positif atau disebut sebagai
―positive health‖ karena lebih realistis dibandingkan dengan definisi WHO
yang hanya bersifat idealistik semata-mata.
e. Pangan dan Sandang
Pangan ialah sumber makanan bagi manusia dan merupakan kebutuhan
pokok manusia. Sedang sandang adalah pakaian manusia. Pakaian menjadi
kebutuhan primer, dan meskipun manusia dapat hidup tanpa pakaian, tetapi
dikarenakan manusia merupakan makhluk sosial yang hidup dalam masyarakat
sehingga pakaian adalah hal yang penting dalam kesehariannya.
(https://helpmeups.files.wordpress.com/2012/07/modul-dewa89s-
bookletjuli2006/Beberapa-Indikator-Penting-Sosial-Ekonomi-Indonesia/, diakses 23
2.2 Kemiskinan
2.2.1 Definisi Kemiskinan
Definisi tentang kemiskinan telah mengalami perluasan, seiring dengan
semakin kompleksnya faktor penyebab, indikator maupun permasalahan lain yang
melingkupinya. Kemiskinan tidak lagi hanya dianggap sebagai dimensi ekonomi
melainkan telah meluas hingga kedimensi sosial, kesehatan, pendidikan dan politik.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), kemiskinan adalah ketidakmampuan
memenuhi standar minimum kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan makan
maupun non–makan.
Pada dasarnya definisi kemiskinan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu:
a. Kemiskinan Absolut
Kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi
kebutuhan hidupnya, sehingga orang tersebut memiliki taraf kehidupan yang
rendah, dianggap tidak layak serta tidak sesuai dengan harkat dan martabat
sebagai manusia. Lebih dari itu kondisi kehidupan seseorang atau sekelompok
orang itu sedemikian rupa sehingga secara fisik mengakibatkan seseorang atau
sekelompok orang itu tidak mampu melakukan aktivitas yang wajar.
b. Kemiskinan Relatif
Kemiskinan dilihat dari aspek ketimpangan sosial, karena ada orang yang
sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya tetapi masih jauh lebih
rendah dibanding masyarakat sekitarnya (lingkungannya). Semakin besar
ketimpangan antara tingkat penghidupan golongan atas dan golongan bawah
miskin, sehingga kemiskinan relatif erat hubungannya dengan masalah
distribusi pendapatan (Siagian, 2012:47-49).
Untuk memahami masalah kemiskinan, maka perlu memandang kemiskinan itu
dari dua aspek, yakni kemiskinan sebagai suatu kondisi dan kemiskinan sebagai
suatu proses. Sebagai suatu kondisi, kemiskinan adalah suatu fakta dimana seseorang
atau sekelompok orang hidup di bawah atau lebih rendah dari kondisi hidup layak
sebagai manusia disebabkan ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Sementara sebagai suatu proses, kemiskinan merupakan proses
menurunnya daya dukung terhadap hidup seseorang atau sekelompok orang sehingga
pada gilirannya ia atau kelompok tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan
hidupnya dan tidak pula mampu mencapai taraf kehidupan yang dianggap layak
sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia (Siagian, 2012:2-3).
2.2.2. Model Pengukuran dan Indikator Kemiskinan
Terdapat beberapa model penghitungan kemiskinan, yaitu model tingkat
konsumsi, model kesejahteraan keluarga dan model pembangunan manusia.
1) Model Tingkat Komsumsi.
Menggunakan tingkat konsumsi ekuivalen beras per kapita sebagai
indikator kemiskinan. Beliau membedakan tingkat ekuivalen konsumsi beras di
daerah pedesaan dan perkotaan. Untuk daerah pedesaan apabila seseorang
hanya mengkonsumsi ekuivalen beras kurang dari 240 kg per orang pertahun,
maka yang bersangkutan digolongkan sangat miskin. Sedangkan untuk daerah
perkotaan ditentukan sebesar ekuivalen 360 kg beras per orang pertahun.
konsumsi pendududuk atas kebutuhan dasar. Dari sisi makanan, BPS
menggunakan indikator yang direkomendasikan oleh Widyakarya Pangan dan
Gizi tahun 1998, yaitu 2.100 kalori per orang per hari, sedangkan dari sisi
kebutuhan non–makanan tidak hanya terbatas pada sandang dan papan
melainkan termasuk pendidikan dan kesehatan. BPS pertama kali melaporkan
penghitungan jumlah dan persentase penduduk miskin pada tahun 1984. Pada
saat itu penghitungan jumlah dan persentase penduduk miskin mencakup
periode 1976-1981 dengan menggunakan model konsumsi Susenas (Survei
Sosial Ekonomi Nasional).
(http://www.academia.edu/8222267/MODEL_PENGUKURAN_DAN_INDIK
ATOR_KEMISKINAN, diakses 20 Maret 2015 pukul 22:30 WIB)
2) Model Kejahteraan Keluarga.
Indikator Keluarga Sejahtera pada dasarnya berangkat dari pokok pikiran
yang terkandung didalam undang-undang no. 10 Tahun 1992 disertai asumsi
bahwa kesejahteraan merupakan variabel komposit yang terdiri dari berbagai
indikator yang spesifik dan operasional. Karena indikator yang yang dipilih
akan digunakan oleh kader di desa, yang pada umumnya tingkat pendidikannya
relatif rendah, untuk mengukur derajat kesejahteraan para anggotanya dan
sekaligus sebagai pegangan untuk melakukan melakukan intervensi, maka
indikator tersebut selain harus memiliki validitas yang tinggi, juga dirancang
sedemikian rupa, sehingga cukup sederhana dan secara operasional dapat di
Atas dasar pemikiran tersebut, maka indikator dan kriteria keluarga sejahtera
- Paling kurang sekali seminggu keluarga makan daging/ikan/telor.
- Setahun terakhir seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang
satu stel pakaian baru.
- Luas lantai rumah paling kurang 8 M2 untuk tiap penghuni.
2. Keluarga Pra Sejahtera
Keluarga yang belum dapat memenuhi salah satu atau lebih dari 5
kebutuhan dasarnya (basic needs) Sebagai keluarga Sejahtera I, seperti
kebutuhan akan pengajaran agama, pangan, papan, sandang dan
kesehatan.
- Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan 2 (dua) kali sehari atau
lebih.
- Seluruh anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di
- Bagian yang terluas dari lantai rumah bukan dari tanah.
- Anggota Keluarga melaksanakan ibadah secara teratur.
- Paling kurang, sekali seminggu keluarga menyediakan daging/ikan/telur
sebagai lauk pauk.
- Seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian
baru per tahun.
- Luas lantai rumah paling kurang delapan meter persegi tiap penghuni
rumah.
- Seluruh anggota keluarga dalam 3 bulan terakhir dalam keadaan sehat.
- Paling kurang 1 (satu) orang anggota keluarga yang berumur 15 tahun
keatas mempunyai penghasilan tetap.
- Seluruh anggota keluarga yang berumur 10-60 tahun bisa membaca
tulisan latin.
- Seluruh anak berusia 5-15 tahun bersekolah pada saat ini.
- Bila anak hidup 2 atau lebih, keluarga yang masih pasangan usia subur
5. Keluarga Sejahtera Tahap III
Keluarga yang memenuhi syarat 1 sampai 14 dan dapat pula memenuhi
syarat 15 sampai 21, syarat pengembangan keluarga yaitu :
- Mempunyai upaya untuk meningkatkan pengetahuan agama.
- Sebagian dari penghasilan keluarga dapat disisihkan untuk tabungan
keluarga untuk tabungan keluarga.
- Biasanya makan bersama paling kurang sekali sehari dan kesempatan itu
dimanfaatkan untuk berkomunikasi antar anggota keluarga.
- Ikut serta dalam kegiatan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya.
- Mengadakan rekreasi bersama diluar rumah paling kurang 1 kali/6 bulan.
- Dapat memperoleh berita dari surat kabar/TV/majalah.
- Anggota keluarga mampu menggunakan sarana transportasi yang sesuai
dengan kondisi daerah setempat.
6. Keluarga Sejahtera Tahap III Plus
Keluarga yang dapat memenuhi kriteria 1 sampai 21 dan dapat pula
memenuhi kriteria 22 dan 23 kriteria pengembangan keluarganya, yaitu :
- Secara teratur atau pada waktu tertentu dengan sukarela memberikan
sumbangan bagi kegiatan sosial masyarakat dalam bentuk materiil.
- Kepala Keluarga atau anggota keluarga aktif sebagai pengurus
perkumpulan/yayasan/institusi masyarakat.
(http://www.bkkbn-jatim.go.id/bkkbn-jatim/html/indikasi.htm, diakses 26 Juli
3) Model Pembangunan Manusia.
Pengukuran angka kemiskinan dilakukan dengan melihat beberapa aspek
sebagai sebagai berikut :
- Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Mengukur pencapaian suatu wilayah dalam tiga dimensi pembangunan
manusia yang paling esensial-lama hidup, tingkat pengetahuan, dan standar
hidup yang layak. Indeks tersebut dihitung dengan angka harapan hidup, angka
melek huruf dan rata-rata lama sekolah, dan pengeluaran perkapita.
- Indeks Kemiskinan Manusia (IKM)
Mengukur dimensi yang berlawanan arah dari IPM, yaitu seberapa besar
penduduk yang kurang beruntung, tertinggal (deprived people), karena tidak
mempunyai akses untuk mencapai standar kehidupan yang layak. Indeks
tersebut dihitung menggunakan prosentase penduduk yang tidak mencapai
usia 40 tahun, prosentase penduduk buta huruf, prosentase balita dengan status
gizi kurang, prosentase balita dengan status gizi kurang, prosentase penduduk
tidak punya akses pada pelayanan kesehatan dasar, sanitasi air bersih. Semakin
besar penduduk suatu wilayah pada situasi ini dipresentasikan oleh IKM yang
semakin tinggi.
- Indeks Kehidupan Fakir Miskin
Mengukur kesenjangan pencapaian, yaitu berapa upaya, dalam
prosentase, yang masih harus dilakukan/dicapai untuk membawa kondisi
kehidupan fakir miskin di suatu wilayah menuju standar kehidupan minimum
Dimensi yang diukur mencakup (1) situasi kelaparan atau sangat kurang kalori,
yang diperoleh orang miskin adalah mereka yang berpendapatan maksimal
UU$ 2 per hari.
- Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN),
mendefinisikan kemiskinan dengan 5 indikator (1) Tidak dapat menjalankan
ibadah menurut agamanya, (2) Seluruh keluarga tidak mampu makan dua kali
sehari, (3) Seluruh anggota keluarga tidak mempunyai pakaian berbeda untuk
di rumah, bekerja, sekolah dan berpergian, (4) Bagian terluas rumahnya terdiri
atas tanah, (5) tidak mampu membawa keluarga jika sakit ke sarana kesehatan.
- Dinas Kesehatan, menambahkan kriteria tingkat akses pelayanan kesehatan
pemerintah, ada anggota keluarga yang putus sekolah atau tidak, frekuensi
makan makanan pokok per hari kurang dari dua kali dan kepala keluarga
mengalami pemutusan hubungan kerja atau tidak.
- Badan Pusat Statistik (BPS), mendefinisikan miskin berdasarkan tingkat
konsumsi makanan kurang dari 2.100 kalori/kapita/per hari dan kebutuhan
minimal non makanan (sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan).
Disamping itu secara ekonomi BPS menetapkan penghasilan Rp. 175.324,- per
(http://www.academia.edu/8222267/MODEL_PENGUKURAN_DAN_INDIK
ATOR_KEMISKINAN, diakses 20 Maret 2015 pukul 22:30 WIB)
2.2.3. Penyebab Kemiskinan
Kemiskinan banyak dihubungkan dengan :
1. Penyebab individual, atau patologis, yang melihat kemiskinan sebagai akibat
dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin.
2. Penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan
keluarga.
3. Penyebab sub-budaya (subcultural), yang menghubungkan kemiskinan dengan
kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar.
4. Penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain,
termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi.
5. Penyebab struktural, yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan
hasil dari struktur sosial.
Kemiskinan tidak hanya menyangkut tentang pendapatan tetapi juga
menyangkut tentang aspek kehidupan lainnya. Kemiskinan di berbagai hal ini disebut
dengan kemiskinan plural. (https://id.wikipedia.org/wiki/Kemiskinan, diakses 24
Todaro (2006) memperlihatkan jalinan antara kemiskinan dan keterbelakangan
dengan beberapa aspek ekonomi dan aspek non–ekonomi. Tiga komponen utama
sebagai penyebab keterbelakangan dan kemiskinan masyarakat, faktor tersebut
adalah rendahnya taraf hidup, rendahnya rasa percaya diri dan terbebas kebebasan
ketiga aspek tersebut memiliki hubungan timbal balik. Rendahnya taraf hidup
disebabkan oleh rendahnya tingkat pendapatan, rendahnya pendapatan disebabkan
oleh rendahnya tingkat produktivitas tenaga kerja, rendahnya produktivitas tenaga
kerja disebabkan oleh tingginya pertumbuhan tenaga kerja, tingginya angka
pengangguran dan rendahnya investasi perkapita.
Untuk kasus Indonesia diperkirakan ada empat faktor penyebab kemiskinan. Faktor
tersebut adalah rendahnya taraf pendidikan, rendahnya taraf kesehatan, terbatasnya
lapangan kerja dan kondisi keterisolasian. (https://id.wikipedia.org/wiki/Kemiskinan,
diakses 24 Maret 2015 pukul 01:20)
Asnawi (1994) menyatakan suatu keluarga menjadi miskin disebabkan oleh
tiga faktor, yaitu faktor sumber daya manusia, faktor sumber daya alam, faktor
teknologi. Sumber daya manusia ditentukan oleh tingkat pendidikan, dependensi
ratio, nilai sikap, partisipasi, keterampilan pekerjaan, dan semuanya itu tergantung
kepada sosial budaya masyarakat itu sendiri, kalau sosial budaya masyarakatnya
masih terbelakang maka rendahlah mutu sumber daya manusianya. Sebaliknya kalau
sosial budaya modern sesuai dengan tuntutan pembangunan maka tinggilah mutu
2.3 Teori Kesejahteraan Sosial
Menurut defenisinya kesejahteraan sosial dibagi menjadi tiga kelompok yaitu
kesejahteraan sosial sebagai suatu keadaan, kesejahteraan sosial sebagai suatu
kegiatan atau pelayanan, dan kesejahteraan sosial sebagai ilmu. Kesejahteraan sosial
adalah termasuk sebagai suatu proses atau usaha terencana yang dilakukan oleh
perorangan, lembaga-lembaga sosial, masyarakat maupun badan-badan pemerintah
untuk meningkatkan kualitas kehidupan melalui pemberian pelayanan sosial dan
tunjangan sosial (Suharto, 2005:3).
Mengenai konsep kesejahteraan sosial, perlu didapat pemahaman. Oleh karena
itu, beberapa defenisi tentang kesejahteraan sosial dapat dikemukakan sebagai
berikut :
a. Secara umum (Edi Suharto), kesejahteraan sosial yaitu suatu keadaan
terpenuhinya segala bentuk kebutuhan hidup, khususnya yang bersifat
mendasar seperti makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, dan perawatan
kesehatan.
b. Kesejahteraan sosial menurut Undang–undang Nomor 11 Tahun 2009 adalah
kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara
agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat
melaksanakan fungsi sosialnya. Martin Wolins mengatakan bahwa ―social
welfare is a device for maintaining or strengthening the existing social
structure of an industrial society‖. Artinya, kesejahteraan sosial adalah suatu
usaha untuk memelihara atau memperkuat struktur sosial yang ada dalam
c. Menurut PBB (Perserikatan Bangsa–bangsa), kesejahetaran sosial adalah
suatu kegiatan yang terorganisasi dalam tujuan membantu penyesuaian timbal
balik antara individu-individu dengan lingkungan sosial mereka.
d. Arthur Dunham, mengemukakan kesejahteraan sosial sebagai suatu bidang
usaha manusia, dimana di dalamnya terdapat berbagai macam badan atau usaha
sosial yang tujuannya meningkatkan kesejahteraan dari segia sosial pada
bidang-bidang kehidupan keluarga dan anak, kesehatan, penyesuaian sosial,
waktu senggang, standar-standar kehidupan dan hubungan-hubungan sosial.
2.4 Konsep Masyarakat Adat
2.4.1 Tinjauan Tentang Masyarakat
Masyarakat dalam istilah bahasa Inggris adalah society yang berasal dari kata
Latin socius yang berarti (kawan). Istilah masyarakat berasal dari kata bahasa Arab
syaraka yang berarti (ikut serta dan berpartisipasi).
Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul, dalam istilah
ilmiah adalah saling berinteraksi. Suatu kesatuan manusia dapat mempunyai
prasarana melalui warga-warganya dapat saling berinteraksi. Definisi lain,
masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem
adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas
bersama. Kontinuitas merupakan kesatuan masyarakat yang memiliki keempat ciri
yaitu : 1) Interaksi antar warga—warganya, 2) Adat istiadat, 3) Kontinuitas waktu, 4)
Rasa identitas kuat yang mengikat semua warga (Koentjaraningrat, 2009:
Semua warga masyarakat merupakan manusia yang hidup bersama, hidup
bersama dapat diartikan sama dengan hidup dalam suatu tatanan pergaulan dan
keadaan ini akan tercipta apabila manusia melakukan hubungan, Mac lver dan Page
(dalam Soekanto, 2009:22), memaparkan bahwa masyarakat adalah suatu sistem
dari kebiasaan, tata cara, dari wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok,
penggolongan, dan pengawasan tingkah laku serta kebiasaan-kebiasaan manusia.
Masyarakat merupakan suatu bentuk kehidupan bersama untuk jangka waktu yang
cukup lama sehingga menghasilkan suatu adat istiadat.
Menurut Ralph Linton (dalam Soekanto, 2009:22) masyarakat merupakan
setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja bersama cukup lama,
sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai
suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan
dengan jelas, sedangkan masyarakat menurut Selo Soemardjan (dalam Soekanto,
2009:23) adalah orang-orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan
dan mereka mempunyai kesamaan wilayah, identitas, mempunyai kebiasaan, tradisi,
sikap, dan perasaan persatuan yang diikat oleh kesamaan.
Menurut Emile Durkheim (dalam Taneko, 1984:11) bahwa masyarakat
merupakan suatu kenyataan yang obyektif secara mandiri, bebas dari individu-
individu yang merupakan anggota-anggotanya. Masyarakat sebagai sekumpulan
Adapun unsur-unsur tersebut adalah :
1. Masyarakat merupakan manusia yang hidup bersama;
2. Bercampur untuk waktu yang cukup lama;
3. Mereka sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan;
4. Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama.
Menurut Emile Durkheim (dalam Muhni, 1994:29-31) keseluruhan ilmu
pengetahuan tentang masyarakat harus didasari pada prinsip-prinsip fundamental
yaitu realitas sosial dan kenyataan sosial. Kenyataan sosial diartikan sebagai gejala
kekuatan sosial didalam bermasyarakat.
Masyarakat sebagai wadah yang paling sempurna bagi kehidupan bersama
antar manusia. Hukum adat memandang masyarakat sebagai suatu jenis hidup
bersama dimana manusia memandang sesamanya manusia sebagai tujuan bersama.
Sistem kehidupan bersama menimbulkan kebudayaan karena setiap anggota
kelompok merasa dirinya terikat satu dengan yang lainnya (Soekanto, 2009: 22).
Beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan masyarakat memiliki arti ikut
serta atau berpartisipasi, sedangkan dalam bahasa Inggris disebut society.
Bisa dikatakan bahwa masyarakat adalah sekumpulan manusia yang
berinteraksi dalam suatu hubungan sosial. Mereka mempunyai kesamaan budaya,
wilayah, dan identitas, mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap, dan perasaan persatuan
2.4.2 Tinjauan Tentang Adat Istiadat
Adat istiadat adalah segala dalil dan ajaran mengenai bagaimana orang
bertingkah-laku dalam masyarakat. Rumusannya sangat abstrak, karena itu
memerlukan usaha untuk memahami dan merincinya lebih lanjut. Adat dalam
pengertian ini berfungsi sebagai dasar pembanguan hukum adat positif yang lain.
Adat istiadat yang lebih nyata yang menjadi kebutuhan masyarakat dalam kehidupan
sehari-hari (Ali, 1999:196).
Istilah adat istiadat seringkali diganti dengan adat kebiasaan, namun pada
dasarnya artinya tetap sama, jika mendengar kata adat istiadat biasanya aktivitas
individu dalam suatu masyarakat dan aktivitas selalu berulang dalam jangka waktu
tertentu. Adat istiadat dalam ilmu hukum ada perbedaan antara adat istiadat dan
hukum adat. Suatu adat istiadat yang hidup (menjadi tradisi) dalam masyarakat dapat
berubah dan diakui sebagai peraturan hukum (hukum adat) (Taneko, 1987:12).
Pandangan bahwa agama memberi pengaruh dalam proses terwujudnya hukum adat,
pada dasarnya bertentangan dengan konsepsi yang diberikan oleh Van den Berg yang
dengan teori reception in complex menurut pandangan adat istiadat suatu tradisi dan
kebiasaan nenek moyang kita yang sampai sekarang masih dipertahankan untuk
Adat istiadat suatu masyarakat adalah resepsi seluruhnya dari agama dan
kepercayaan yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan. Biasanya diikuti atau
diwujudkan oleh banyak orang. Dapat disimpulkan bahwa adat istiadat adalah
aktivitas prilaku-prilaku, tindakan-tindakan individu satu terhadap yang lain yang
kemudian menimbulkan reaksi, sehingga menghasilkan suatu interaksi sosial.
Perilaku dan tindakan manusia pada dasarnya adalah gerak tumbuh manusia.
2.5 Kerangka Pemikiran
Di Indonesia tingkat kehidupan sosial–ekonomi masyarakat memang masih
belum merata. Permasalahan disintegrasi sosial sangat jelas terlihat. Hal pelik ini
terlebih menyasar masyarakat yang secara geografis berada di daerah–daerah terisolir
dan pulau terluar. Daerah pedesaan merupakan profil dari cerminan kemiskinan yang
melanda Indonesia hingga kini. Semangat otonomi daerah berupa slogan percepatan
dan pemerataan pembangunan, eksekusinya belum terealisasi dengan baik.
Kelompok Masyarakat Adat Furai yang berada di desa budaya Desa
Bawamatalu‘o di Kepulauan Nias menjadi salah satu contoh gambaran tersebut.
Pasca mendapat identitas baru berupa predikat sebagai desa budaya oleh UNESCO
pada tahun 2009 lalu, masyarakat desa ini masih belum mendapati kehidupannya
didatangi oleh kesejahteraan. Negara dalam hal ini melalui pemerintah daerah
setempat belum mampu menghadirkan kesejahteraan sosial–ekonomi dalam tatanan
kehidupan kelompok Masyarakat Adat Furai yang memiliki potensi sektor
pariwisata sebagai desa budaya. Dimana para wisatawan dalam maupun luar negeri
selalu ramai mendatangi desa ini sebagai salah satu destinasi wajib bila berpergian ke
Kehidupan kelompok Masyarakat Adat Furai di Desa Budaya Bawamatalu‘o
sendiri dari segi pendapatan tergolong rendah dan belum cukup untuk menutupi
kebutuhan hidup sehari–hari. Dalam kelompok masyarakat adat di Desa
Bawamatalu‘o ini terlihat pula ketimpangan sosial dalam kehidupan perekonomian
masyarakatnya. Mayoritas masuk kategori masyarakat miskin dan ada segelintir
masyarakat lainnya yang kehidupan ekonominya tergolong layak/lebih dari
berkecukupan. Hal ini ikut dipengaruhi oleh profesi/pekerjaan masyarakat yang
Untuk memperjelas alur pemikiran dalam penelitian ini, berikut disajikan bagan alur
pikirnya :
KELOMPOK MASYARAKAT ADAT FURAI
DI DESA BAWAMATALU‘O KECAMATAN
FANAYAMA KABUPATEN NIAS SELATAN
SOSIAL–EKONOMI
Indikator Sosial–Ekonomi :
1. Pendapatan 4. Kesehatan
2. Perumahan 5. Pangan
3. Pendidikan 6. Sandang
SUMBER PENDAPATAN POTENSIAL MASYARAKAT :
SUMBER DAYA PARIWISATA DESA BUDAYA DAN
PEKERJAAN INFORMAL
KONDISI SOSIAL–
EKONOMI MASYARAKAT
2.6 Definisi Konsep
Untuk menghindari salah pengertian atas makna konsep–konsep yang dijadikan
obyek penelitian, maka seorang penelti harus menegaskan dan membatasi makna–
makna konsep yang diteliti. Proses dan upaya penegasan dan pembatasan makna
konsep dalam suatu penelitian disebut dengan defenisi konsep. Secara sederhana
defenisi disini diartikan sebagai batasan arti. Defenisi konsep adalah pengertian yang
terbatas dari suatu konsep yang dianut dalam suatu penelitian (Siagian, 2011:138).
Konsep merupakan sejumlah pengertian atau ciri-ciri yang berkaitan dengan
berbagai peristiwa, obyek, kondisi, situasi, dan hal lain yang sejenis. Konsep
diciptakan dengan mengelompokkan obyek-obyek atau peristiwa–peristiwa yang
mempunyai ciri-ciri yang sama. Defenisi konsep bertujuan untuk merumuskan
sejumlah pengertian yang digunakan secara mendasar dan menyamakan persepsi
tentang apa yang akan diteliti serta menghindari salah pengertian yang dapat
megaburkan tujuan penelitian (Silalahi, 2009:23).
Adapun yang menjadi batasan konsep dalam penelitian ini, antara lain :
a. Tinjauan adalah melihat atau meninjau mengenai sesuatu hal dan kemudian
mendeskripsikan hasil peninjauan tersebut dengan sebuah pendapat mengenai
b. Kondisi sosial–ekonomi ialah memberikan penilaian berdasarkan pada
indikator-indikator yang mempengaruhi sosial-ekonomi itu sendiri. Selanjutnya
terdapat dua hal yang secara langsung mempengaruhi kehidupan sosial–
ekonomi sekaligus yang menjadi kegiatan sosial–ekonomi masyarakat di Desa
Bawamatalu‘o, yaitu wisata desa budaya dan pekerjaan sektor informal.
c. Kelompok masyarakat adat dalam penelitian ini ialah kelompok Masyarakat
Adat Fura‘ yang berdomisili di Desa Budaya Bawamatalu‘o Kecamatan