• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAKSANAAN PENGELOLAAN TANAH DENGAN SISTEM BAGI HASIL (PARBOLAAN) PADA MASYARAKAT MANDAILING DI KECAMATAN SIPIROK KABUPATEN TAPANULI SELATAN TESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PELAKSANAAN PENGELOLAAN TANAH DENGAN SISTEM BAGI HASIL (PARBOLAAN) PADA MASYARAKAT MANDAILING DI KECAMATAN SIPIROK KABUPATEN TAPANULI SELATAN TESIS"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh PALTI SIREGAR

177011139/MKn

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2020

(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh PALTI SIREGAR

177011139/MKn

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2020

(3)
(4)

Telah diuji pada Tanggal : 8 Juli 2020

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Utary Maharany Barus, SH, M.Hum Anggota : 1. Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, M.Hum

2. Dr.Yefrizawati, SH, M.Hum

3. Dr. T. Keizerina Devi A, S.H, C.N, M.Hum 4. Prof. Dr. Rosnidar Sembiring, S.H, M.Hum

(5)
(6)
(7)

ABSTRAK

Perjanjian parbolaan adalah suatu perjanjian sewa menyewa secara lisan dalam hal penanaman padi antara pemilik tanah dan penyewa yang dilakukan di Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan. Perjanjian ini didasarkan pada asas kepercayaan karena adanya hubungan kekerabatan yang sangat erat dan rasa percaya yang sangat tinggi dari pemilik tanah kepada penyewa untuk melakukan pengelolana atas tanah yang dimiliki oleh pemilik tanah dalam hal penanaman padi dengan sistem bagi hasil. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apa faktor penyebab masyarakat Mandailing Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan melakukan pengelolaan tanah dengan sistem bagi hasil (parbolaan), Bagaimana hak dan kewajiban para pihak dalam pelaksanaan perjanjian parbolaan berdasarkan hukum adat Mandailing di Tapanuli Selatan, dan bagaimana akibat hukum bila terjadi mandali (ingkar janji) dalam pelaksanaan perjanjian Parbolaan berdasarkan hukum adat di Sipirok.

Jenis penelitian ini adalah penelitian yuridis empiris di mana pendekatan terhadap permasalahan dilakukan dengan mengkaji ketentuan hukum adat di bidang sewa menyewa tanah (parbolaan) yang berlaku di Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan yaitu di empat desa yaitu Desa Bagas Nagodang, Desa Bulu Mario, Desa Bonga Bondar dan Desa Siala Gundi. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis dimana penelitian ini berupaya untuk menggambarkan, memaparkan dan menganalisis permasalahan yang timbul, lalu mencari jawaban yang benar sebagai solusi dari permasalahan tersebut.

Hasil pembahasan dari permasalahan yang timbul dalam penelitian ini adalah faktor penyebab penyewa melakukan parbolaan yaitu disebabkan karena lahan tidur (tidak digunakan), ada hubungan keluarga dekat dan merasa kasihan dan karena tidak memiliki pekerjaan dan berusaha memperoleh penghasilan tambahan. Pelaksanaan perjanjian sewa menyewa tanah di Desa Bagas Nagodang, Bulu Mario, Siala Gundi dan Bunga Bondar cukup dilakukan secara kesepakatan lisan antara pemilik tanah dengan pihak penyewa tanah. Hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian sewa menyewa tanah untuk kepentingan pelaksanaan perjanjian parbolaan yaitu hak pemilik tanah, menerima kompensasi berupa hasil panen dari penyewa. Hak dari penyewa dalam perjanjian sewa menyewa tanah dalam bentuk perjanjian parbolaan memperoleh hasil panen sesuai kesepakatan.

Kewajiban penyewa tanah dalam perjanjian parbolaan melakukan pengelolaan tanah, sedangkan kewajiban pihak pemilik tanah menyerahkan tanah miliknya untuk dikelola oleh penyewa. Akibat hukum bila terjadi Mandali (ingkar janji) dalam pelaksanaan perjanjian parbolaan berdasarkan hukum adat Mandailing adalah pihak yang melakukan mandali (ingkar janji) wajib melakukan ganti rugi terhadap pihak lain. Apabila tidak terjadi kesepakatan tentang besarnya ganti rugi, maka penetapan besarnya ganti rugi tersebut akan ditetapkan melalui sidang adat yang diputuskan oleh pemuka adat.

Kata Kunci : Pengelolaan, Parbolaan dan Adat Mandailing Natal

(8)

Abstract

Profit sharing agreement is a verbal lease agreement on rice planting between aldn owner and tenant in Sipirok Subdistrict, Tapanuli Selatan Regency.

This agreement is based on the principle of trust because there is a very close kinship and very high trust from the land owner to the tenant to manage the land owned by the land owner in the case of rice planting with a production sharing system. She research problems are what factors cause Mandailing society at Sipirok Subdistrict, Tapanuli Selatan Regency conduct land management with rpofit sharing system (parbolaan agreement), how about the rights and obligations of all parties in the implementation of parbolaan agreement grounded on the customary law of Mandailing society in Tapanuli Selatan, and how about the legal consequences of Parbolaan agreement in case of mandali (promise breaking) in the implementation in Parbolaan agreement according to the customary law of Mandailing.

This in an empirical juridical research which approaches the research problems by studing the legal provisions of Mandailing customary law on land lease (parbolaan) prevailing in foru villages at Sipirok Subdistrict, Tapanuli Selatan Regency, namely Bagas Nagodang Village, Buku Mario Village, Boonga Bndar Village and Siala Gundi Village. It describes and analyzes the problems and finds answers to solve them.

The results of the discussion of the problems that arise in this study are the factors that cause tenants to do parbolaan, namely because the land is unused (not used), there is a close family relationship and feels sorry for not having a job and trying to earn additional income. The implementation of land lease agreements in the villages of Bagas Nagodang, Bulu Mario, Siala Gundi and Bunga Bondar is simply done by means of an oral agreement between the land owner and the land tenant. The rights and obligations of the parties in the land lease agreement for the purpose of implementing the parbolaan agreement, namely the rights of the land owner, to receive compensation in the form of harvest from the tenant. The rights of the tenants in the land lease agreement in the form of a parbolaan agreement to get the harvest according to the agreement.

The obligation of the land tenant in the parbolaan agreement is to manage the land, while the obligation of the land owner to surrender his land to be managed by the tenant. The legal consequence if a Mandali (broken promise) occurs in the implementation of a football agreement based on Mandailing customary law is that the party committing the pangkobaron (breaking the promise) is obliged to compensate the other party. If there is no agreement on the amount of compensation, then the determination of the amount of the compensation will be determined through a customary session which is decided by the customary leader.

Keywords: Management, Parbolaan and Mandailing Natal Customary law

(9)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Syukur Alhamdulillah penulis sampaikan kehadirat ALLAH SWT karena hanya dengan berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “PELAKSANAAN PENGELOLAAN TANAH DENGAN SISTEM BAGI HASIL (PARBOLAAN) PADA MASYARAKAT MANDAILING DI KECAMATAN SIPIROK KABUPATEN TAPANULI SELATAN”. Penulisan tesis ini merupakan suatu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat Dr. Utary Maharany Barus, SH, M.Hum, Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, M.Hum dan Dr.Yefrizawati, SH, M.Hum selaku Komisi Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai pada tahap ujian tesis sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah. Kepada Dosen penguji Dr. T. Keizerina Devi A, S.H, C.N, M.Hum dan Prof. Dr. Rosnidar Sembiring, S.H, M.Hum yang telah memberikan masukan / arahan sehingga memperkaya tesis ini.

(10)

Selanjutnya di dalam penelitian tesis ini penulis banyak memperoleh bantuan baik berupa pengajaran, bimbingan, arahan dan bahan informasi dari semua pihak. Untuk itu pada kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana Magister Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

3. Ibu Dr.T Keizerina Devi Aswar, SH, CN, M.Hum., selaku Ketua Program Study Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan.

4. Bapak Dr. Edy Ikhsan, SH, MA, selaku Sekretaris Program Study Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan.

5. Bapak-bapak dan Ibu-ibu Guru Besar dan Staf Pengajar dan juga para karyawan Biro Administrasi pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan.

6. Para narasumber atas segala informasi yang telah diberikan untuk melengkapi isi penulisan tesis ini.

(11)

Terima kasih kepada Ayahanda Raja Maes Siregar dan Ibunda Dra.

Mastiana Hutasuhut yang selalu memberikan dukungan dan kesabaran tanpa batas serta menjadi semangat bagi penulis untuk segera menyelesaikan studi secepat mungkin. Terima kasih atas doa dan pengorbanannya. Terima kasih kepada Tulang Juli Anto Hutasuhut, SE, MM, Drs. Indra Muda, MAp dan Abang Furqan, SH, M.Kn terima kasih dukungan dan semangat kepada penulis.

Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan, dan rezeki yang berlimpah kepada kita semua. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun tidak ada salahnya jika penulis berharap kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak.

Medan, Mei 2020 Penulis

Palti Siregar

(12)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama : Palti Siregar

Tempat / Tgl. Lahir : Sipirok, 27 April 1993

Alamat : Jl. AR Hakim Gg. Kolam Medan Status : Belum Menikah

Agama : Islam

Ayah : Raja Maes Siregar

Ibu : Dra. Mastiana Hutasuhut

PENDIDIKAN FORMAL

1. SDN Negeri 07 Sipirok Tahun Tamat 2005

2. SMP Negeri 1 Sipirok Tahun Tamat 2008

3. SMA Negeri 1 Sipirok Tahun Tamat 2011

4. S1 Universitas Medan Area Tahun Tamat 2015

(13)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR ISTILAH ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Keaslian Penelitian ... 8

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 10

1. Kerangka Teori ... 10

2. Konsepsi ... 15

G. Metode Penelitian ... 16

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 16

2. Lokasi penelitian ... 17

3. Populasi dan Sampel ... 18

4. Sumber Data ... 18

5. Teknik dan Pengumpulan Data ... 19

6. Analisis Data ... 20

(14)

BAB II FAKTOR PENYEBAB MASYARAKAT MANDAILING KECAMATAN SIPIROK KABUPATEN TAPANULI SELATAN MELAKUKAN PENGELOLAAN TANAH DENGAN SISTEM BAGI HASIL (PARBOLAAN) ... 22 A. Gambaran Umum Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli

Selatan ... 22 B. Hukum Adat Mandailing ... 27 C. Faktor Penyebab Masyarakat Mandailing Kecamatan Sipirok

Kabupaten Tapanuli Selatan Melakukan Pengelolaan Tanah Dengan Sistem Bagi Hasil (Parbolaan) ... 45 BAB III HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM

PELAKSANAAN PERJANJIAN SEWA MENYEWA TANAH DENGAN SISTEM PARBOLAAN BERDASARKAN HUKUM ADAT MANDAILING DI KABUPATEN TAPANUKI SELATAN ... 55 A. Para Pihak Yang Melakukan Parbolaan ... 55 B. Kedudukan Hukum Perjanjian Lisan Sewa Menyewa Tanah

Dengan Sistem Parbolaan ... 58 C. Sistem bagi hasil (parbolaan) atas pelaksanaan sewa

menyewa tanah di Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan ... 65 D. Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dalam Pelaksanaan

Perjanjian Sewa Menyewa Tanah Dengan Sistem Parbolaan Berdasarkan Hukum Adat Mandailing Di Kabupaten Tapanuki Selatan ... 74 BAB IV AKIBAT HUKUM APABILA TERJADI MANDALI

(INGKAR JANJI) DALAM PELAKSANAAN PERJANJIAN PARBOLAAN BERDASARKAN HUKUM ADAT DI SIPIROK

A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa-Menyewa Tanah Secara Lisan (Parbolaan) di Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan ... 80 B. Kekuatan Pembuktian Perjanjian Lisan Parbolaan... 87

(15)

C. Akibat Hukum Apabila Terjadi Mandali (Ingkar Janji) Dalam Pelaksanaan Perjanjian Parbolaan Berdasarkan Hukum Adat

Di Sipirok ... 91

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 104

A. Kesimpulan ... 104

B. Saran ... 105

DAFTAR PUSTAKA ... 107

(16)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Data Nama Kelurahan dan Desa di Kecamatan Sipirok ... 23

Tabel 2 Faktor Penyebab Pemilik tanah melakukan perjanjian parbolaan . 50 Tabel 3 Faktor Penyebab penyewa melakukan perjanjian parbolaan ... 51

Tabel 4 Perjanjian Parbolaan di Desa Bagas Nagodang... 69

Tabel 5 Perjanjian Parbolaan di Desa Bulomario ... 70

Tabel 6 Perjanjian Parbolaan di Desa Bunga Bondar... 71

Tabel 7 Perjanjian Parbolaan di Desa Sialagundi ... 73

(17)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Sistem kekerabatan masyarakat hukum adat Mandailing (dalihan Na Tolu) ... 28 Gambar 2 Patuturhon pada masyarakat Adat Mandailing ... 42 Gambar 3 Mekanisme Musyawarah Dalam Perjanjian Parbolaan ... 80

(18)

Daftar Istilah

Amang : anak laki-laki Amang boru : suami namboru

Amang : ayah

Amang tobang : suami inang tobang Anak namboru : Bibik perempuan Anak boru : saudara perempuan

Anggi : adik,

Angkang : abang,

Aya poso : panggilan untuk keponakan atau putra tunggane yang diucapkan istri

Babere/bere : kemanakan

Boru : anak perempuan

bujing : adik ibu

Dalihan Na Tolu : tiga tumpuan

Di toru ni jabi-jabi : di bawah suatu perlindungan keluargaan yang damai

Domu : temu

dongan marbada : kawan berkelahi Dongan sabutuha : teman semarga

Dubius : mendua

Eda : ipar perempuan

Equally : dibagikan secara sama Field reaserch : studi lapangan

Gulo bargot : gula aren Hapantunon : kesopanan

Horja : pesta

Huta : desa

Iboto : tutur timbal balik antara laki- laki dan perempuan yang bersaudara yang semarga.

Iboto mulak : Tutur kakek kepada boru dari anak laki-lakinya.

Iboto pamere : tutur timbal balik antara anak laki-laki dengan anak perempuan dari ibu yang bersaudara kandung.

Inang tulang mulak : tutur putera-puteri seorang perempuan kepada ibu dan ibu perempuan.

iboto/ito, : saudara perempuan/laki-laki atau sepupu. Orang yang dipanggil ito tidak boleh dinikahi

inang : ibu

inang tobang : kakak dari ibu atau bisa juga panggilan oleh cicit dari anak laki-laki kepada buyutnya

kahanggi : barisan orang yang semarga atau sepewarisan, unsur dari kahanggi ini termasuk juga, saama saina, marangka maranggi, saama saompu, saparamaan, saparompuan, sabonasaha turunan.

domu ni tahi : kesepakatan

(19)

Lae : ipar laki-laki Library research : studi kepustakaan

Mago adat tulus atura : adat harus mengikuti aturan-aturan yang hidup dan berkembang di masyarakat

Namboru : adik perempuan ayah Nantulang : istri saudara laki-laki ibu Ompung bayo : ompung dari pihak ibu Ompung suhut : ompung dari pihak bapak Open system : sistem terbuka

Pahompu : cucu

Parbolaan : Sistem Penyewaan Pariban : sepengambilan

Parumaen : istri anak laki-laki atau anak perempuan dari saudara laki-laki istri

Holong : sayang

The good : nilai yang-baik Tulang : saudara laki-laki ibu

Tulang poso : naposo artinya yang muda. Adalah panggilan untuk keponakan dari tunggane

Tunggane : saudara laki-laki istri Uda : adik laki-laki ayah Nanguda : istri uda

Unequal : pembagian tak sama Well-ordered : masyarakat tertata benar

(20)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum adat sebagai suatu hukum tidak tertulis dimana keberadaannya hidup, tumbuh dan berkembang dalam suatu kelompok masyarakat hukum adat yang dipatuhi dan ditaati oleh seluruh anggota kelompok masyarakat hukum adat tersebut. Kelompok orang dalam suatu masyarakat hukum adat terdiri dari berbagai macam individu yang menempati suatu wilayah/daerah tertentu secara turun temurun dimana di dalamnya terdapat berbagai macam fungsi-fungsi dan tugas-tugas tertentu. Masyarakat dapat terbentuk akibat kesamaan genealogis, kultur, budaya, agama,atau karena ada di suatu teritori yang sama.1

Secara historis empiris dapat ditelusuri bahwa hukum adat dipatuhi oleh warga masyarakat hukum adat yang tinggal di wilayah Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan karena adanya suatu keyakinan dari seluruh masyarakat hukum adat Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan tersebut bahwa apabila tidak dipatuhi hukum adat yang berlaku secara turun temurun tersebut maka akan memperoleh sanksi dari pemuka adat maupun dari masyarakat hukum adat tersebut berupa sanksi pengusiran dari pergaulan masyarakat hukum adat yang ada di wilayah Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan.

Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan, masyarakat hukum adat yang tinggal di wilayah tersebut dalam melaksanakan perbuatan-perbuatan hukum diantara sesama anggota masyarakat hukum adat pada umumnya dilaksanakan

1 Taslim Ritonga, Hukum Adat Mandailing Tapanuli Selatan, Indoaksara, Jakarta, 2008, hal. 16.

(21)

dengan lisan dan tidak memiliki bukti – bukti tertulis, namun apabila terjadi pelanggaran hukum adat dalam perbuatan hukum tersebut maka pihak yang melakukan pelanggaran hukum adat tersebut akan mengakui kesalahannya dan menerima sanksi yang dibuat secara lisan dan telah disepakati oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum tersebut. 2

Perjanjian sewa-menyewa tanah di masyarakat Sipirok (parbolaan). yang dilakukan secara lisan merupakan suatu bentuk kepercayaan yang begitu tinggi dari pihak pemilik tanah/yang menyewakan tanah terhadap pihak penyewa yang merupakan kerabat dekat atau anggota masyarakat hukum adat di daerah Sipirok tersebut. Kepercayaan dari pemilik tanah kepada penyewa dalam mengelola tanahnya untuk kepentingan pertanian tersebut apabila dilanggar akan memperoleh sanksi adat baik dari pengetua adat di sipirok maupun dari masyarakat hukum adat Mandailing terhadap pihak penyewa yang melanggar perjanjian parbolaan tersebut. Meskipun pelaksanaan perjanjian parbolaan di daerah Sipirok tersebut tidak dilakukan secara tertulis dan dengan dipersaksikan, namun tetap dapat dipaksa karena ketentuan tentang parbolaan ini merupakan ketentuan yang sudah secara turun temurun yang apabila tidak dipatuhi dapat berakibat adanya penjatuhan sanksi terhadap pihak yang melanggar. 3

Dalam perjanjian parbolaan antara pemilik tanah dengan pihak yang mengelola tanah sudah termuat ketentuan-ketentuan hukum adat secara tidak tertulis namun telah diakui dan dipatuhi oleh masyarakat hukum adat di wilayah

2Rosnidar Sembiring, Hukum Pertanahan Adat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2017, hal.64

3 Amir Arsyad Harahap, Dalihan Na Tolu Pada Masyarakat Adat Batak, Grafiti, Medan 2014, hal. 21

(22)

Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan tersebut dalam hal pelaksanaanya. Pihak pemilik tanah yang memberikan tanahnya kepada pihak yang mengelola tanah secara sepakat telah pula membuat perjanjian bagi hasil di dalam perjanjian parbolaan tersebut yang juga dilakukan secara lisan, dimana didalam perjanjian bagi hasil yang disepakati secara lisan tersebut telah pula ditentukan persentase pembagian hasil panen kepada masing-masing pihak diantaranya adalah apabila pelaksanaan penanaman padi dibiayai oleh pemilik tanah maka dalam pembagian hasil dari penyewaan tanah tersebut pembagiannya adalah 60% (enam puluh persen) untuk pemilik tanah dan 40% (empat puluh persen) untuk yang mengelola tanah tersebut. Namun apabila pihak pengelola tanah yang menanggung biaya dalam hal pembelian pupuk, obat hama dan perlengkapan-perlengkapan bercocok tanam lainnya maka pembagian hasilnya adalah 60% untuk pihak pengelola tanah dan 40% untuk pihak pemilik tanah.

Ketentuan hukum adat tentang pembagian hasil dalam pelaksanaan perbuatan hukum parbolaan tersebut sudah berlaku secara turun temurun dan wajib dipatuhi oleh masyarakat hukum adat Mandailing yang ada di Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan tersebut. 4

Demikian pula halnya dengan ketentuan-ketentuan hukum adat yang termuat di dalam perjanjian parbolaan antara pihak pemilik tanah dan pihak pengelola tanah dilakukan secara lisan berdasarkan kesepakatan, dan apabila terjadi pelanggaran hukum oleh salah satu pihak dalam pelaksanaan parbolaan tersebut maka pihak yang melanggar perjanjian parbolaan tersebut harus patuh

4 Wawancara dengan Arfansyah Ritonga Pemuka Adat Mandailing Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan pada tanggal 12 Februari 2019 di Bagas Nagodang.

(23)

dan taat terhadap sanksi yang dijatuhkan secara hukum adat berdasarkan kesepakatan lisan yang telah dibuat antara pemilik tanah dan pihak pengelolaan tanah dalam perjanjian parbolaan tersebut.

Jangka waktu perjanjian parbolaan juga ditentukan secara lisan antara pemilik tanah dengan pihak pengelola tanah dan juga perjanjian tentang hasil yang harus dicapai dalam pelaksanaan perjanjian parbolaan tersebut harus sesuai dengan hasil yang telah disepakati dalam hal penggunaan tanah untuk kepentingan bercocok tanam (pertanian) tersebut. Pihak pemilik tanah dapat menghentikan perjanjian parbolaan meskipun jangka waktu perjanjian parbolaan tersebut belum berakhir apabila pihak pengelola tanah tidak mampu mencapai hasil yang telah disepakati dalam pelaksanaan perjanjian penggunaan tanah untuk kepentingan bercocok tanam (pertanian) tersebut.5

Perjanjian parbolaan yang merupakan suatu perjanjian sewa menyewa tanah antara pihak pemilik tanah dengan pihak penyewa tanah dapat dilaksanakan dengan pembayaran uang sewa atau dengan sistem bagi hasil dengan persentase yang bergantung kepada kesepakatan antara pihak pemilik tanah dengan pihak pengelola tanah atau pihak penyewa. Dalam hal perjanjian parbolaan tersebut dilakukan dengan pembayaran uang sewa maka pihak pemilik tanah tidak berhak lagi atas hasil bercocok tanam atau hasil pertanian yang diperoleh oleh pihak penyewa. Hasil pertanian yang diperoleh dari tanah milik pemilik tanah tersebut

5 Wawancara dengan Arfansyah Ritonga Pemuka Adat Mandailing Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan pada tanggal 12 Februari 2019 di Bagas Nagodang.

(24)

sepenuhnya menjadi hak dari pihak penyewa yang mengusahakan tanah tersebut untuk digunakan sebagai lahan bercocok tanam atau lahan pertanian.6

Pelaksanaan perjanjian parbolaan harus memenuhi syarat-syarat untuk dilaksanakannya perjanjian parbolaan tersebut, antara lain adalah : 7

1. Adanya kesepakatan lisan antara pemilik dan penyewa dalam hal pelaksanaan parbolaan tersebut.

2. Adanya kesepakatan dalam hal pendanaan terhadap pelaksanaan perjanjian parbolaan baik oleh pemilik tanah maupun oleh pihak penyewa dengan konsekuensi pembagian hasil yang lebih besar bagi pihak yang menanggung pendanaan pelaksanaan perjanjian parbolaan tersebut.

3. Adanya kesepakatan terhadap pembagian hasil panen yang pada umumnya dalam bentuk padi dengan pembagian sesuai kesepakatan yang telah diputuskan oleh para pihak.

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka sangat menarik untuk dibahas khususnya dalam hal sejauhmana hak dan kewajiban para pihak ditaati atau dipatuhi oleh para pihak yang membuat perjanjian parbolaan tersebut.

Selain itu bagaimana akibat hukum yang terjadi apabila salah satu pihak tidak memenuhi kesepakatan yang telah dibuat secara lisan tersebut dan berkaitan dengan sanksi hukumnya secara adat yang dapat diterima baik dari pemilik tanah maupun dari pihak yang mengusahakan atau mengelola tanah tersebut untuk kepentingan pertanian tersebut.

6 Wawancara dengan Raja Pilian Lubis, Pemuka Adat Mandailing Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan pada tanggal 16 Februari 2019 di Desa Bagas Nagodang.

7Pandapotan Nasution, Adat Budaya Mandailing dalam Tantangan Zaman, Sumatera Utara : Forkala, 2005, hal.31

(25)

Pada dasarnya perjanjian parbolaan memiliki kesamaan secara anatomi perjanjian sewa menyewa untuk bidang tanah yang digunakan untuk usaha pertanian yaitu sebagaimana termuat di dalam Pasal 1 huruf c Undang-Undang No. 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil yang menyebutkan bahwa,

“Perjanjian bagi hasil yaitu perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik tanah pada satu pihak dan seorang atau badan hukum pada lain pihak yang dalam undang-undang ini disebut penggarap berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tanah tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah yang dimilikinya, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah pihak. Oleh sebab itu diangkatlah permasalahan ini dalam suatu penelitian yang berjudul “Pelaksanaan Pengelolaan Tanah Dengan Sistem Bagi Hasil (Parbolaan) Pada Masyarakat Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Apa faktor penyebab masyarakat Mandailing Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan melakukan pengelolaan tanah dengan sistem bagi hasil (parbolaan)?

2. Bagaimana hak dan kewajiban para pihak dalam pelaksanaan perjanjian parbolaan berdasarkan hukum adat Mandailing di Tapanuli Selatan?

(26)

3. Bagaimana akibat hukum bila terjadi mandali (ingkar janji) dalam pelaksanaan perjanjian parbolaan berdasarkan hukum adat di Sipirok?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang tersebut diatas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui faktor penyebab masyarakat Mandailing Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan melakukan pengelolaan tanah dengan sistem bagi hasil (parbolaan).

2. Untuk mengetahui hak dan kewajiban para pihak dalam pelaksanaan perjanjian parbolaan berdasarkan hukum adat Mandailing di Tapanuli Selatan.

3. Untuk mengetahui akibat hukum bila terjadi mandali (ingkar janji) dalam pelaksanaan perjanjian Parbolaan berdasarkan hukum adat di Sipirok.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat baik secara teoretis maupun secara praktis di bidang hukum adat pada umumnya hukum sewa menyewa tanah untuk lahan pertanian pada khususnya sesuai dengan ketentuan hukum adat Mandailing di Kabupaten Tapanuli Selatan yang dikenal dengan istilah Parbolaan, dilaksanakan oleh pihak-pihak yang masih termasuk ke dalam satu kekerabatan di dalam masyarakat hukum adat masyarakat Sipirok di Kabupaten Tapanuli Selatan.

(27)

1. Secara Teoretis

Penelitian ini dapat memberikan manfaat berupa sumbangsih pemikiran bagi para mahasiswa Fakultas Hukum dan para pemerhati masalah hukum adat dalam perkembangan hukum adat pada umumnya dan dalam hukum sewa menyewa tanah untuk lahan pertanian yang dikenal dengan istilah Parbolaan berdasarkan hukum adat Mandailing pada khususnya yang berlaku di Kabupaten Tapanuli Selatan

2. Secara Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada masyarakat, praktisi, maupun bagi pihak-pihak terkait mengenai hukum adat pada umumnya dan hukum sewa menyewa tanah untuk lahan pertanian yang dikenal dengan istilah Parbolaan yang berlaku di masyarakat hukum adat Mandailing di Kabupaten Tapanuli Selatan, dimana pelaksanaan pembuatan perjanjian sewa menyewa tanah untuk kepentingan pengelolaan pertanian tersebut dilakukan oleh pihak yang masih termasuk ke dalam satu kekerabatan hukum adat dan dilakukan secara lisan serta tidak memiliki jangka waktu tertentu, sepanjang tidak terjadi perselisihan diantara pemilik tanah dan pihak penyewa tanah.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara khususnya di lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Sumatera Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan judul ini belum pernah dilakukan. Akan tetapi, ditemukan beberapa judul tesis yang berhubungan dengan topik dalam tesis ini antara lain:

(28)

1. Taufiq Wardana (NIM.037011015/M.Kn) ; dengan judul, “Pelaksanaan Perjanjian Sewa Menyewa Tanah Pertanian Berdasarkan Hukum Adat Jawa)”

Perumusan masalah :

a. Bagaimana pelaksanaan perjanjian sewa menyewa tanah pertanian berdasarkan hukum adat jawa di Desa Mudal Kecamatan Boyolali Kabuapten Boyolali?

b. Bagaimana prosedur dan tata cara pelaksanaan penggarapan tanah pertanian di Desa Mudal Kecamatan Boyolali Kabuapten Boyolali?

c. Bagaimana akibat hukum apabila terjadi mandali (ingkar janji) terhadap pelaksanaan perjanjian sewa menyewa tanah untuk kepentingan pertanian berdasarkan hukum adat jawa tersebut?

2. Murniati Hasan (NIM. 047011035/MKn), dengan judul “Perjanjian sewa menywa terhadap tanah yang diperoleh berdasarkan hukum waris adat Minangkabau”

Perumusan masalah :

a. Bagaimanakah pelaksanaan perjanjian sewa menyewa terhadap tanah yang dipeorleh berdasarkan hukum waris adat Minangkabau?

b. Bagaimana prosedur dan tata cara perjanjian sewa menyewa tanah yang diperoleh berdasarkan hukum waris adat Minangkabau?

c. Bagaimana akibat hukum terhadap pelaksanaan perjanjian sewa menyewa tanah yang diperoleh berdasarkan hukum waris adat Minangkabau?

(29)

3. Hadi Suyatno (NIM. 057011041/M.Kn) ; perjanjian sewa menyewa tanah pertanian menurut kebiasaan di Desa Ngetuk Kecamatan Gunung Wungkal Kabupaten Pati.

Perumusan masalah :

a. Bagaimana prosedur hukum adat tentang pelaksanaan sewa menyewa tanah pertanian menurut kebiasaan dalam masyarakat hukum adat di Kecamatan Gunung Wungkal Kabupaten Pati?

b. Bagaimana kibat hukum terhadap pelaksanaan sewa menyewa tanah pertanian menurut kebiasaan dalam masyarakat hukum adat di Kecamatan Gunung Wungkal Kabupaten Pati?

c. Bagaimana permasalahan yang timbul terhadap pelaksanaan sewa menyewa tanah pertanian menurut kebiasaan dalam masyarakat hukum adat di Kecamatan Gunung Wungkal Kabupaten Pati?

Dari judul penelitian tersebut tidak ada kesamaan dengan penelitian yang penulis lakukan. Dengan demikian judul ini belum ada yang membahasnya sehingga penelitian ini dijamin keasliannya dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi.8 Suatu teori harus dikaji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.

8 JJJ.Wuisman, penyunting M.Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, jilid I, FE UI Jakarta, 2006, hal.203

(30)

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi perbandingan pegangan teoretis.9 Kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori living law dari teori Eugeen Erlich dan teori keadilan dari John Rawls.

Teori Living Law yang dikemukakan oleh Eugeen Erlich dalam bukunya yang berjudul Grundlegung der Soziologis des Rechts yang menyatakan bahwa titik berat perkembangan hukum tidak terletak pada perkembangan juga tidak dalam keputusan pengadilan maupun dalam ilmu pengetahuan di bidang hukum, tetapi dalam masyarakat itu sendiri. Perkembangan hukum terjadi dalam kehidupan masyarakat sehingga dapat dikatakan teori living law adalah hukum yang berkembang dan hidup di dalam masyarakat. Hukum yang berkembang dan hidup di dalam masyarakat harus dapat diimbangi dan dimasukkan ke dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga peraturan perundang- undangan tersebut dapat mengatur hubungan hukum masyarakat antara seseorang dengan orang lain dalam kehidupan masyarakat itu sendiri.

Teori living law yang dikemukakan oleh Eugeen Erlich digunakan dalam penelitian ini berhubung karena pelaksanaan perjanjian sewa menyewa tanah untuk kepentingan lahan pertanian antara pemilik tanah dengan pihak penyewa tanah adalah didasarkan kepada hukum adat yaitu hukum yang tumbuh hidup dan berkembang dalam masyarakat adat tertentu dalam hal ini adalah masyarakat hukum adat Mandailing yang telah berlangsung secara turun temurun dan tetap

9 M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 2003, hal.80.

(31)

dipatuhi oleh masyarakat hukum adat Mandailing tersebut.10 Apabila pelaksanaan perjanjian sewa menyewa tanah untuk kepentingan tanah tersebut mengalami permasalahan antara pemilik tanah dan penyewa tanah tersebut maka ketentuan hukum yang berlaku adalah ketentuan hukum adat Mandailing yang telah berlaku secara turun temurun dan dipatuhi oleh masyarakat hukum adat Mandailing tersebut.11

Menurut Rawls, suatu konsepsi keadilan sosial harus dipandang sebagai instansi pertama, standar dari mana aspek distributif struktur dasar masyarakat dinilai. Konsepsi seperti itu haruslah menetapkan cara menempatkan hak-hak dan kewajiban di dalam lembaga-lembaga dasar masyarakat, serta caranya menetapkan pendistribusian yang sesuai sebagai hasil dari beban kerja. Pandangan ini dituangkan Rawls dalam konsepsi umum keadilan intuitif berikut: Semua nikmat primer kemerdekaan dan kesempatan, pendapatan dan kekayaan, dan dasar-dasar kehormatan diri harus dibagikan secara sama (equally), pembagian tak sama (unequal) sebagian atau seluruh nikmat tersebut hanya apabila menguntungkan semua pihak.12

Konsep umum di atas menampilkan unsur-unsur pokok keadilan sosial Rawls. Bahwa (1) prinsip pokok keadilan sosial adalah equality atau kesamaan;

yaitu: (2) kesamaan dalam distribusi; atas (3) nikmat-nikmat primer (primary goods); namun (4) ketidaksamaan (inequalities) dapat ditoleransi sejauh

10 Haposan Nasution, Hukum Adat Mandailing, Suatu Pengantar, Suluh Ilmu, Jakarta, 2006, hal. 21

11 Pardomuan Sinaga, Karakteristik Hukum Adat Batak, Pustaka Ilmu Jakarta 2006, hal.

45

12 Priyono, Teori Keadilan John Rawls dalam Tim Redaksi Driyarkardi (Ed.) Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan, Gramedia Pustaka, Jakarta, 2010,hal.62

(32)

menguntungkan semua pihak. Dalam konsepsi umum ini, tampak bahwa teori keadilan Rawls mencakup dua sisi dari masalah keadilan: kesamaan (equality) dan ketidaksamaan (inequality). Di satu sisi, keadilan sosial adalah penerapan prinsip kesamaan dalam masalah distribusi nikmat-nikmat primer. Sementara di lain sisi, diakui, ketidaksamaan dapat ditoleransi sejauh hal itu menguntungkan semua, terutama golongan yang tertinggal.13

Bagi John Rawls, konsepsi keadilan harus berperan menyediakan cara di dalam mana institusi-institusi sosial utama mendistribusikan hak-hak fundamental dan kewajiban, serta menentukan pembagian hasil-hasil dan kerja sama sosial.

Suatu masyarakat tertata benar (well-ordered) apabila tidak hanya dirancang untuk memajukan nilai yang-baik (the good) warganya, melainkan apabila dikendalikan secara efektif oleh konsepsi publik mengenai keadilan, yaitu:

a. Setiap orang menerima dan tahu bahwa yang lain juga menerima prinsip keadilan yang sama, dan

b. Institusi-institusi sosial dasar umumnya puas dan diketahui dipuaskan oleh prinsip-prinsip ini.

John Rawls mengemas teorinya dalam konsep justice as fairness, bukan karena ia mengartikan keadilan sama dengan fairness, tapi karena dalam konsep keadilan tersebut terkandung gagasan bahwa prinsip-prinsip keadilan bagi struktur dasar masyarakat merupakan objek persetujuan asal dalam posisi simetris dan fair.

Dalam kesamaan posisi asal wakil-wakil mereka menetapkan syarat-syarat fundamnetal ikatan mereka, menetapkan bentuk kerja sama sosial yang akan

13 Ibid, 63

(33)

mereka masuki, dan bentuk pemerintahan yang akan didirikan. Cara memandang prinsip-prinsip keadilan seperti itu disebut Rawls justice as fairness.

Teori keadilan dari John Rawls akan digunakan dalam melakukan pembahasan terhadap pelaksanaan sewa menyewa tanah berdasarkan hukum adat Mandailing yang dilakukan secara lisan antara pemilik tanah dengan penyewa tanah. Pelaksanaan perjanjian sewa menyewa tanah untuk kepentingan lahan pertanian tersebut harus dilandasi dengan asas-asas keadilan antara pihak pemilik tanah dengan pihak penyewa tanah sehingga dalam pelaksanaan sewa menyewa tanah untuk lahan pertanian berdasarkan hukum adat Mandailing tersebut tercermin suatu asas keadilan bagi pihak pemilik tanah dan pihak penyewa tanah dan masing-masing pihak memperoleh haknya secara proporsional sesuai dengan kewajiban yang telah dilaksanakan oleh para pihak tersebut.14

Penggunaan teori living law dan keadilan menurut nilai-nilai budaya dan hukum adat yang berlaku di masyarakat hukum adat pada umumnya dan masyarakat Mandailing di Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan. Di dalam penelitian ini akan dikaitkan dengan prinsip keadilan dalam pelaksanaan perjanjian parbolaan yang dilakukan berdasarkan hukum adat Mandailing di Kabupaten Tapanuli Selatan. Keadilan di dalam pelaksanaan perjanjian parbolaan merupakan keadilan yang dipandang sesuai berdasarkan hukum yang hidup dalam berkembang secara turun temurun di dalam masyarakat adat Mandailing di Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan, sehingga para pihak telah memandang ketentuan hukum adat yang ditetapkan terhadap pihak pemilik tanah

14 Muchtar Wardiman, Asas-Asas Dan Susinan Hukum Adat Di Sumatera, Citra Aditya Bakti Bandung, 2009, hal. 69

(34)

maupun pihak penyewa wajib dilaksanakan dengan sebaik-baiknya karena ketentuan hukum yang digunakan di dalam pelaksanaan perjanjian parbolaan tersebut merupakan hukum adat Mandailing yang merupakan hukum yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat adat Mandailing di Kabupaten Tapanuli Selatan.

2. Konsepsi

Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan “definisi operasional”.15 Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan yaitu:

a. Tanah adalah bagian yang terdapat pada kerak bumi yang tersusun atas mineral dan bahan organik dan merupakan lapisan permukaan bumi yang secara fisik berfungsi sebagai tempat untuk kehidupan mahluk hidup termasuk manusia.16

b. Sistem bagi hasil adalah suatu bentuk kerjasama yang dibuat dalam suatu perjanjian lisan dan memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak yaitu pemilik tanah maupun pihak yang menyewa tanah dengan kompensasi berupa pembagian hasil dari keuntungan pengelolaan tanah yang dilakukan oleh pihak penyewa yang dapat berupa bagian hasil panen maupun dalam bentuk material

15 Bambang Sunggono, Methode Penelitian Hukum, Harvarindo, Jakarta, 2013, hal.59

16 Ibid, hal. 13

(35)

uang dimana persentase pembagiannya disesuaikan dengan kesepakatan yang didasarkan kepada andil masing-masing pihak.17

c. Parbolaan adalah suatu perjanjian sewa menyewa tanah secara lisan yang dilakukan oleh pemilik tanah dengan penyewa tanah berdasarkan ketentuan hukum adat yang berlaku di dalam masyarakat hukum Adat Mandailing 18 d. Adat Mandailing adalah suatu sistem hukum yang tumbuh dan berkembang di

lingkungan kehidupan masyarakat hukum adat Mandailing yang ketentuannya dipatuhi dan ditaati oleh seluruh anggota masyarakat hukum adat Mandailing tersebut.19

e. Masyarakat Mandailing adalah masyarakat adat bersuku Mandailing yang ada di Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan.

G. Metode Penelitian 1. Jenis dan Sifat Penelitian

Metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun dan tuntas terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan manusia. Dengan demikian methode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian.20

17 Ronny Haryadi, Penelitian Terhadap Hukum Adat Di Masyarakat Adat Batak, Media Ilmu, Jakarta, 2006, hal. 62

18 Rustam Siregar, Hukum Adat Mandailing, Media Ilmu, Jakarta, 2008, hal. 28

19 Sartono Siregar, Penerapan Sanksi Adat Pada Masyarakat Adat Mandailing, Kesaint Blanc, Jakarta 2015, hal. 74

20 Edy Ikhsan dan Mahmul Siregar, Metode Penelitian Hukum, Buku Ajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2010, hal. 44

(36)

Jenis penelitian ini adalah penelitian yuridis empiris, di mana pendekatan terhadap permasalahan dilakukan dengan mengkaji ketentuan hukum adat di bidang sewa menyewa tanah (parbolaan) yang berlaku di Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan yaitu di empat desa yaitu Desa Bagas Nagodang, Desa Bulu Mario, Desa Bonga Bondar dan Desa Siala Gundi. Pelaksanaan perjanjian parbolaan merupakan suatu hukum adat yang tumbuh, hidup dan berkembang di komunitas masyarakat hukum adat di Kecamatan Sipirok tersebut.

Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, maksudnya adalah dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis dilakukan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh dan akan dilakukan secara cermat, bagaimana menjawab permasalahan dalam menyimpulkan suatu solusi sebagai jawaban dari permasalahan tersebut 21

2. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan yaitu pada empat desa masing-masing adalah Desa Bagas Nagodang, Desa Bulu Mario, Desa Bonga Bondar dan Desa Siala Gundi. Penelitian ini dilakukan karena pada keempat desa tersebut sering dilaksanakan perjanjian parbolaan antara pemilik tanah dengan pihak yang mengelola tanah tersebut.

21 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Normatif, UI Press, Jakarta, 2006, hal.30.

(37)

3. Populasi dan Sampel a. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua masyarakat yang ada di 4 (empa) desa yaitu masing-masing Desa Bagas Nagodang sebanyak 484 kk, Desa Bulu Mario, sebanyak 168 kk, Desa Bonga Bondar sebanyak 177, Desa Siala Gundi sebanyak 325 kk.

b. Sampel

Sampelnya ditetapkan adalah masyarakat adat Mandailing di Kecamatan Sipirok sebagai responden yaitu pemilik tanah dan penyewa yang berjumlah masing-masing 5 orang pemilik tanah dan 5 orang penyewa. Sedangkan informan ditetapkan sebanyak 4 orang dari setiap desa yaitu pemuka adat dan tokoh masyarakat adat Mandailing di setiap desa pada Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan.

4. Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder yaitu: Data primer dalam bentuk opini, pandangan dan komentar masyarakat yang diperoleh langsung melalui empat desa masing-masing adalah Desa Bagas Nagodang, Panbu Rabaan, Bagas Lombang dan Hutasuhut.

Data sekunder yang meliputi :22

a. Bahan hukum primer yang Undang-Undang No. 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.

22 Penelitian Normatif data sekunder sebagai sumber/bahan informasi dapat merupakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal. 14.

(38)

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang berupa buku, hasil-hasil penelitian dan atau karya ilmiah tentang hukum adat umumnya dan hukum adat Mandailing pada khususnya terutama yang berkaitan dengan ketentan tentang perjanjian sewa menyewa tanah dengan sistem bagi hasil yang dilakukan secara lisan.

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus umum, kamus hukum, ensiklopedia dan lain sebagainya.

5. Teknik Dan Alat Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan studi kepustakaan (library research) dan studi lapangan (field reaserch) di Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan.

Alat pengumpulan data yang digunakan adalah:

1. Studi dokumen untuk memperoleh data sekunder, dengan membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi dan menganalisa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang masalah perjanjian parbolaan atau perjanjian sewa menyewa yang dilakukan oleh anggota masyarakat di Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan.

2. Pedoman wawancara yang digunakan dalam melakukan wawancara terhadap para informan dan nara sumber yang terdiri dari :

b. 4 (empat) orang kepala desa

(39)

c. 4 (empat) orang tokoh adat/tokoh masyarakat yang ada di masing-masing desa

6. Analisis Data

Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan menggunakan data dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan suatu hipotesa kerja seperti yang disarankan oleh data.23 Di dalam penelitian hukum normatif, maka maksud pada hakekatnya berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan- bahan hukum tertulis, sistematisasi yang berarti membuat klasifikasi terhadap bahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.24 Sebelum dilakukan analisis, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang dikumpulkan. Setelah itu keseluruhan data tersebut akan dianalisis dan disistematisasikan secara kualitatif.

Metode kualitatif merupakan metode penelitian yang digunakan untuk menyelidiki, menemukan, menggambarkan dan menjelaskan kualitas atau keistimewaan dari suatu penelitian, yang dilakukan dengan cara menjelaskan dengan kalimat sendiri dari data yang ada, baik primer, sekunder maupun tertier, sehingga menghasilkan kualifikasi yang sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, untuk memperoleh jawaban yang benar mengenai permasalahan prosedur dan tata cara pelaksanaan perjanjian sewa menyewa tanah (Parbolaan) berdasarkan hukum Adat Mandailing , permasalahan-permasalahan

23 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyu Media Malang, 2005, hal 81

24 Raimon Hartadi, Methode Penelitian Hukum Dalam Teori Dan Praktek, Bumi Intitama Sejahtera, Jakarta, 2010, hal.16

(40)

yang timbul dalam pelaksanaan perjanjian parbolaan tersebut serta bagaimana penyelesaian yang dilakukan oleh pihak tanah dan pihak penyewa berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku menurut hukum adat Mandailing di Kabupaten Tapanuli Selatan tersebut dari hal-hal yang bersifat umum untuk kemudian ditarik kesimpulan terhadap hal-hal yang bersifat khusus, sebagai jawaban yang benar dalam pembahasan permasalahan yang terdapat pada penelitian ini.

(41)

BAB II

FAKTOR PENYEBAB MASYARAKAT MANDAILING KECAMATAN SIPIROK KABUPATEN TAPANULI SELATAN MELAKUKAN

PENGELOLAAN TANAH DENGAN SISTEM BAGI HASIL (PARBOLAAN)

A. Gambaran Umum Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan Kecamatan Sipirok ini adalah ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan. Luas Kecamatan Sipirok mencapai 461,76 km2 dengan jumlah penduduk sekitar 30.775 jiwa. Pekerjaan yang menjadi mata pencaharian utama penduduk Kecamatan Sipirok adalah sebagai petani, namun ada juga yang bekerja disektor perkebunan sebagai karyawan perkebunan kopi, karet dan cengkeh. Selain itu kaum perempuan juga mempunyai pekerjaan tersendiri seperti bertenun, bekerja sebagi pembuat gula aren (gulo bargot). Sebagian kecil penduduk Kecamatsn sipirok ada yang bekerja sebagai pegawai pemerintahan/pegawai negeri sipil.

Sipirok dilewati jalur lintas Medan-Padang Sidimpuan (lintas Sumatera).

Di daerah Kecamatan Sipirok ini terkenal dengan pengrajin ulos memiliki kualitas yang cukup bagus karena ditenun secara manual dengan tangan sendiri, tanpa penggunaan mesin industri. Kecamatan Sipirok memiliki 6 (enam) Kekurahan dan 34 (tigapuluh empat) Desa. Nama-nama desa/kelurahan di Kecamatan Sipirok tersebut antara lain adalah :

(42)

Tabel 1

Data Nama Kelurahan dan Desa di Kecamatan Sipirok

Kelurahan Desa

1. Baringin 2. Bunga Bondar 3. Huta Suhut 4. Parau Sorat 5. Pasar Sipirok 6. Sipirok Godang

1. Aek Batang Raya 2. Bagas Lombang 3. Barnang Koling 4. Batang Tura 5. Batang Tura Julu 6. Batu Satail 7. Bulu Mario 8. Dolok Sordang 9. Dolok Sordang Julu 10. Hasang Marsada 11. Janji Nauli 12. Kilang Papan 13. Luat Lombang 14. Marsada 15. Padang Bujur 16. Pahae Aek Sagala 17. Panaungan 18. Pangaribuan 19. Pangurabaan

20. Paran Dolok Mardomu 21. Paran Julu

22. Paran Padang 23. Pargarutan 24. Ramba Sihosur 25. Saba Batang Miha 26. Sampean

27. Sarogodung 28. Siala Gundi 29. Sialaman 30. Sibadoar 31. Simaniggir 32. Situmba 33. Situmba Julu 34. Sitolang.

Sumber : Data Kantor Kecamatan Sipirok Tahun 2019

Sipirok pada awalnya adalah sebuah Kecamatan di Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara. Setelah Kota Padangsidimpuan burubah menjadi Kota Madya (yang sebelumnya adalah ibu kota Kabupaten Tapanuli

(43)

Selatan), kemudian Sipirok berubah menggantikan menjadi ibu kota Kabupaten Tapanuli Selatan.

Sejak Sipirok menjadi ibu kota Kabupaten Tapanuli Selatan, sejumlah kantor pemerintahan di Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel) di pindahkan dari Kota Padangsidimpuan ke Sipirok. Pemindahan ini direalisasikan di pertengahan tahun 2014. Sejumlah kantor yang di pindahkan tersebut adalah Sekretariat Pemkab Tapsel, kantor DPRD, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Dinas Kesehatan (Dinkes), Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), dan Dinas Catatan Sipil dan Departemen Tenaga Kerja.

Ditinjau dari segi geografisnya, Kecamatan Sipirok terletak di lembah pegunungan Bukit Barisan (berhawa sejuk/dingin), karena terletak di lembah gunung Sibualbuali yang masih aktif. Masyarakat yang bermukim di kecamatan ini terdiri dari banyak marga : Siregar, Harahap, Hasibuan, Simanjuntak, Pane, Ritonga, dan Marga Huta Suhut. Bahasa umum yang dipakai masyarakat yang bermukim di kecamatan ini adalah bahasa Batak Angkola (bahasa Batak Toba dan bahasa Batak Mandailing sedikit digunakan/di daerah tertentu saja), namun masyarakat Sipirok masih mengerti bahasa Toba dan Mandailing.25

Dikarenakan lokasinya berada di lembah Gunung Sibual-Buali Gunung Sibual buali, maka sumber air mengair dari pengunungan ke wilayah persawahan dan perkebunan. Karenanya, sumber daya alam kecamatan ini lebih dominan pada sektor pertanian dan perkebunan. Sebagian besar pendapatan masyarakat yang

25 Wawancara dengan Irwan Siregar pemuka adat Desa Siala Gundi pada hari Selasa tanggal 22 Juli 2019 di dari Desa Siala Gundi

(44)

bermukim di wilayah ini bersumber dari persawahan, perkebunan, pegawai, dan wiraswasta.

Selain, persawanan dan perkebunan, terdapat keanekaragaman hayati yang begitu besar di mana terdapat Cagar Alam Dolok Sibualbuali yaitu sebuah kawasan hutan konservasi seluas 5.000 Ha yang kaya akan keanekaragaman Flora dan Fauna. Kawasan konservasi ini telah disahkan melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 215/Kpts/Um/4/1982 pada tanggal 6 April 1982.

Kawasan hutan konservasi ini berbatasan langsung dengan : 1. Sebelah Utara berbatasan dengan dataran tinggi Dolok Huraba.

2. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Baringin Baringin, Sipirok, Tapanuli Selatan

3. Sebelah Selatan berbatasan dengan dataran tinggi Gunung Lubuk Raya.

4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Marancar.

Hutan ini merupakan tipe hutan hujan basah dengan curah hujan tinggi.

Berketinggian antara 700 – 1.700 mdpl dengan kontur pegunungan terdiri dari banyak lembah dan jurang yang dalam. Pepohonan yang tumbuh rapat dan menjulang tinggi dengan lantai hutan yang banyak ditumbuhi tumbuhan perdu.

Pada puncak – puncaknya sering ditutupi kabut walaupun di siang hari panas terik. Kabut akan semakin tebal bila musim hujan tiba. Itu sebabnya batang pepohonan disini tertutup oleh lumut yang cukup tebal. Bentang hutan ini dapat dilihat dari Kota Sipirok.

Keanekaragaman flora dan fauna juga dapat dilihat di Kecamatan Sipirok diantaranya terdapat pohon berdiameter raksasa yaitu pohon meranti, salah satu di

(45)

antara jenis pohon yang biasanya menjadi sasaran utama pembalak hutan, yang masih banyak dijumpai dihutan ini dengan ukuran yang besar. Sedangkan faunanya terdapat beragam jenis burung, mamalia hingga serangga. Keistimewaan hutan ini adalah masih terdapat satwa langka yang dilindungi, seperti Orangutan sumatera (pongo abelii), harimau sumatera (Panthera tigris Sumatrae), yang disebut juga dengan Babiat (oppui), mawas, Tapir (tapirus indicus) disebut juga Sipan, Rangkong Badak (buceros rhiniceros) dan juga berbagai jenis primata seperti Siamang, Sarudung, dan Kukang. Kabupaten Tapanuli Selatan merupakan salah satu wilayah kabupaten di Sumatera Utara yang banyak mengalami pemekaran.

Daerah tingkat dua (kabupaten/kota terluas di Propinsi Sumatera Utara ini telah empat kali mengalami pemekaran. Diawali dari terbitnya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 1998 tentang Pembentukan Kabupaten Mandailing Natal, kemudian Pembentukan Kota Padang Sidempuan melalui Undang-Undang No. 4 Tahun 2001 dan yang terbaru dengan Undang-Undang No. 37 tahun 2007 dan Undang-Undang No. 38 tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Padang Lawas Utara dan Kabupaten Padang Lawas.

Pemekaran yang dialami Kabupaten Tapanuli Selatan mengakibatkan kabupaten ini harus mengalami pemindahan ibukota. Sebelumnya yang menjadi Ibukota dari kabupaten ini adalah Padang Sidempuan, namun Padang Sidempuan kemudian menjadi salah satu daerah hasil pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Selatan, sehingga, secara tidak langsung Padang Sidempuan sudah tidak

(46)

merupakan bagian dari daerah Kabupaten Tapanuli Selatan atau dengan kata lain sudah tidak berstatus sebagai ibukota dari Kabupaten Tapanuli Selatan.26

Pemindahan ibukota Tapanuli Selatan ditetapkan melalui Undang- Undang No. 38 tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Padang Lawas pasal 21 ayat 1 dinyatakan bahwa, "Ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan yang merupakan kabupaten induk berkedudukan di Sipirok" dan Pasal 21 ayat 2 menyebutkan bahwa "Paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan, secara definitif, pusat kegiatan penyelenggaraan pemerintahan Kabupaten Tapanuli Selatan telah berada di Sipirok. Pada akhirnya Kecamatan Sipirok resmi menjadi ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan hingga saat sekarang ini tahun 2019.27

B. Hukum Adat Mandailing

Masyarakat adat Mandailing dimulai dari satu keluarga menjadi beberapa keluarga, kemudian berkembang dari satu keluarga menjadi satu marga (suku), dan kemudian berkembang lagi menjadi satu kampung atau huta (desa).

Masyarakat adat Mandailing terdiri dari beberapa marga yang membentuk huta- huta atau kampung-kampung. Huta adalah sebutan desa di sipirok. Dalam huta rumah-rumah penduduk saling berdekatan satu sama lain. Sebagai anggota masyarakat yang berlandaskan holong (sayang) maka masyarakat hukum adat Mandailing mempunyai susunan masyarakat yang didasarkan kepada Dalihan Na Tolu secara etimologi berarti tungku yang tiga. Tungku artinya tempat (landasan)

26 Wawancara dengan Penangian Harahap, Kepala Desa Bolu Bondar pada tanggal 26 Juli 2019 di Desa Bolu Bondar

27 Wawancara dengan Marganti Ritonga pemuka adat Desa Bulomario pada tanggal 26 Juli 2019 di Desa Bulomario

(47)

menjerangkan periuk ke atas api pada waktu memasak. Tungku itu harus disusun sedemikian rupa sehingga periuknya dapat bertumpu dengan kuat dan kecil kemungkinan jatuh.28 Dalam hukum adat Angkola, Dalihan Na Tolu mengandung arti bahwa orang sipirok menganut sistem kekerabatan yang tergabung dalam suatu struktur Dalihan Na Tolu yang terdiri dari Kahanggi, Anak Boru, dan Mora. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari Gambar.

Dalam masyarakat adat Mandailing sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu terdiri dari:

1. Kahanggi yaitu golongan yang merupakan teman semarga atau teman serumpun menurut golongan marga.

2. Anak boru yaitu golongan yang diberi boru (perempuan).

3. Mora yaitu pihak yang memberi boru (perempuan) Gambar 1

Sistem kekerabatan masyarakat hukum adat Mandailing (dalihan Na Tolu)

Sumber : Data primer

28 Wahdah Nora Harahap, Analisis Yurudis Kedudukan Anak Angkat ditinjau dari Hukum Adat Mandailing di Kecamatan Penyabungan Utara, Tesis Magister Kenotariatan Universitas Sumtera Utara, 2018, hal. 44

Mora (abang, adik, kakak atau saudara dari istri)

Kahanggi (saudara satu ayah, satu marga)

Anak Boru (kelompok/kerabat yang mengambil istri dari Mora atau

orang yang bermarga lain

(48)

Ketiga kelompok ini memiliki kedudukan berganti-ganti, sesuai situasi dan kondisi tempat berada. Ada waktunya kita berkedudukan sebagai anak boru, mora atau pisang raut. Itulah sebabnya orang sipirok cepat menyesuaikan diri apabila dibutuhkan. Ketiga kelompok ini merupakan suatu sistem yang saling berhubungan, saling terkait, dan saling menunjang. Oleh karena itu mekanismenya adalah somba marmora, manat markahanggi, elek maranak boru.

Mora adalah kelompok orang yang sangat dihormati. Dalam bahasa Adat Mandailing disebut “Dijujung do i tuana didege-dege tilakona”. 29

Namun, di samping haknya untuk dihormati dia harus elek maranak boru.

Anak boru bisa disuruh, tetapi harus pandai menyuruhnya yaitu dengan elek artinya dengan bahasa yang lemah-lembut. Kalau keras dia akan melawan.

Kepada kahanggi harus manat-manat (hati-hati). Ada orang menyebut kahanggi ini dongan marbada atau kawan berkelahi. Karena itu, harus pandai-pandai menghadapinya. Ketiga unsur Dalihan Na Tolu sebagai falsafah dasar pengikat yang mempersatukan dalam kekerabatan Dalihan Na Tolu. 30

Holong berarti cinta dan kasih sayang antara sesama anggota masyarakat.

Holong menjadi sumber dari segala sumber adanya landasan dasar masyarakat hukum Adat Mandailing. Dari holong, kasih sayang, dan kecintaan yang tulus terhadap sesama, maka muncullah domu. Domu mengandung makna persatuan dan kesatuan. Domu merupakan falsafah kekuatan batin yang berorientasi pada

29 Farida Hanum, Pelaksanaan Hukum Waris Islam dalam Lingkungan Adat Mandailing Godang (Studi pada Mandailing Godang Kabupaten Madina), Tesis Magister Kenotariatan Universitas Sumtera Utara, 2004, hal. 64

30 Fransiska, Persintuhan Hukum Perkawinan Adat Minangkabau Dengan Hukum Perkawinan Islam Dikaitkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Tesis Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, 2010, hal. 44

(49)

perwujudan kekuatan masyarakat hukum Adat Mandailing. Holong dan domu adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan satu kesatuan filosofi yang bulat dan utuh dalam masyarakat hukum Adat Mandailing

Saling menguatkan bermakna sebagai sumber kebenaran yang menjiwai kehidupan masyarakat hukum Adat Mandailing. Pemahaman ini tertuang dalam ungkapan holong menjalahi domu dan domu menjalahi holong yang bermakna kasih sayang akan menumbuhkan rasa persatuan dan kesatuan dan sebaliknya, rasa persatuan dan kesatuan akan menumbuhkan kasih sayang.

Falsafah hidup masyarakat hukum adat Mandailing tersebut itulah yang menjadi dasar hidup bermasyarakat. Cita-cita serta tujuan luhur yang ingin dicapai menjadi jiwa, kepribadian serta pegangan hidup, yang melandasi pergaulan antar-sesama anggota masyarakat agar terbina ketertiban dan kerukunan diantara warga masyarakat Adat Mandailing . Peran Dalihan Na Tolu ini sangat penting bagi hubungan kekeluargaan dan hubungan kemasyarakatan.

Dalam masyarakat adat Mandailing bila melakukan horja (pesta) terlebih dahulu dimusyawarahkan dengan kahanggi, anak boru, dan mora yang berkewajiban membantu pelaksanaan horja sesuai dengan fungsinya masing-masing. 31

Sebagai dasar petunjuk dan pegangan hidup yang harus dipatuhi dan dilaksanakan di dalam hidup bermasyarakat dijabarkan dari holong dohot domu, disebut pastak-pastak ni paradaton adalah landasan struktur dari berbagai

31 Astria Is’a Anwi Siregar, Akibat Hukum Putusna Pataru Sere Sahatan (Pertunangan) pada Masyarakat Mandailing (Studi Pada Desa Pasar Binanga Kecamatan Barumun Tengah Kabupaten Padang Lawas), Tesis Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, 2019, hal.

74

Referensi

Dokumen terkait

Jika Anda tidak tahu jenis kain atau bahannya terbuat dari apa, tentukan suhu penyetrikaan yang benar dengan cara menyetrika pada bagian yang tak terlihat apabila Anda

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, hasil perhitungan uji normalitas data dengan model Jarque Bera berdistribusi normal, hasil uji linieritas dengan model Ramsey

Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis jalur untuk mengetahui pengaruh antara variabel inflasi dan pertumbuhan ekonomi terhadap variabel ekspor secara langsung

Harpindo Jaya yang selalu memberikan pelayanan terbaik bagi para pelanggannya, harus dan dikembangkan suatu sistem/perangkat lunak baru yang dapat mengatasi segala

Dengan demikian dapat disimpulkan kesimpulan bahwa Aplikasi Media Pembelajaran Makhraj Huruf Hijaiyyah Animasi Interaktif merupakan media pembelajaran yang dapat digunakan

[r]

Berdasarkan definisi istilah diatas, Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa penanaman nilai-nilai karakter melalui sholat dhuha dan dhuhur berjama‟ah di Madrasah Aliyah Shirothul