• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Tekstual Onang-Onang Dalam Upacara Perkawinan Adat Nagodang Pada Masyarakat Angkola-Sipirok, Di Kelurahan Bunga Bondar Kecamatan Sipirok Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Tekstual Onang-Onang Dalam Upacara Perkawinan Adat Nagodang Pada Masyarakat Angkola-Sipirok, Di Kelurahan Bunga Bondar Kecamatan Sipirok Sumatera Utara"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS TEKSTUAL ONANG-ONANG DALAM UPACARA PERKAWINAN

ADAT NAGODANG PADA MASYARAKAT ANGKOLA-SIPIROK, DI

KELURAHAN BUNGA BONDAR KECAMATAN SIPIROK SUMATERA UTARA.

Skripsi Sarjana Dikerjakan o

l e h

Fera Mariany Sitompul NIM : 040707012

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN ENOMUSIKOLOGI MEDAN

(2)

ANALISIS TEKSTUAL ONANG-ONANG DALAM UPACARA PERKAWINAN

ADAT NAGODANG PADA MASYARAKAT ANGKOLA-SIPIROK, DI

KELURAHAN BUNGA BONDAR KECAMATAN SIPIROK SUMATERA UTARA

Prof. Drs. Mauly Purba. M.A., Ph.D Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si NIP: 1961 082 9198 903 1003 NIP: 1956 082 8198 601 2001

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana seni dalam

(3)

Disetujui oleh:

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI Ketua,

(4)

KATA PENGANTAR

Terpujilah Allah Tritunggal di dalam nama Yesus Kristus, atas KasihNya yang

begitu besar telah menebus seluruh umat manusia, atas segala pertolongan, perlindungan, dan berkat yang tidak pernah berakhir terlebih disaat skripsi ini bisa terwujud.

Skripsi yang berjudul ANALISIS TEKSTUAL ONANG-ONANG DALAM UPACARA PERKAWINAN ADAT NAGODANG PADA MASYARAKAT ANGKOLA-SIPIROK, DI KELURAHAN BUNGA BONDAR KECAMATAN SIPIROK SUMATERA UTARA ini diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Seni pada Departemen Etnomusikologi Fakultas sastra Universitas Sumatera

Utara.

Skripsi ini secara khusus saya persembahkan kepada kedua orang tua saya.

Mereka adalah penyemangat dan inspirasi yang terus memotivasi sejak saya kuliah sampai skripsi ini selesai. Saya mengucapkan terimakasih kepada ayahanda Drs. R.T Sitompul yang terus berjuang untuk menopang keluarga, terlebih lagi kepada saya

pribadi yang telah merasakan ketulusan kasih dan pengorbanan seorang ayah yang begitu baik. Dan kepada ibunda H.br. Sirait, yang telah setia berdoa, mengingatkan dan

memotivasi saya selama kuliah dan selama mengerjakan skripsi ini. Trimakasih telah menjadi seorang ibu yang terus berdoa untuk keberhasilan anak-anaknya, yang tidak mengenal lelah dan selalu berusaha untuk mengerti setiap kondisi yang terjadi pada

(5)

terima dari kalian akan menjadi cinta kasih yang menjadi bekal di masa mendatang.

Dan terimakasih telah menjadi teladan bagi kami dan terkhusus bagi saya sendiri. Saya juga berterimakasih kepada Kak Maya Rosma Dewi Sitompul (K’May),

S.Kom yang telah menjadi kakak dan juga sahabat bagiku, tempat berbagi banyak hal, dan menjadi sahabat doa bagi keluarga. Saya juga berterimakasih kepada Bang Rein Heart Einstein (Kengang) Sitompul, Amd yang menjadi teman bertukar pikiran dan

melaluinya saya banyak belajar tentang kepedulian. Saya berterimakasih kepada Tiur Novita (Koping) Sitompul dan Grace Yetty ( Gelleng) Sitompul, adik-adikku yang

telah menyemangati selama mengerjakan skrispsi ini dan melalui kalian penulis belajar untuk memiliki hati yang lemah lembut. Bersyukur buat segala dukungan dan doa dari kalian semua.

Dengan segala kerendahan hati, saya juga mengucapkan banyak terimakasih kepada setiap orang yang telah memberi dukungan kepada saya selama menimba ilmu

sampai menyelesaikan skripsi ini.

Secara khusus saya mengucapkan terimakasih kepada Bapak Prof. Drs. Mauly Purba, M.A., Ph.D sebagai Dosen Pembimbing I yang telah banyak mengajarkan dan

membimbing penulis banyak hal. Terimaksih buat pandangan yang membuat pandangan penulis terbuka lebar dalam belajar Etnomusikologi. Dan kepada Bapak

(6)

Saya juga mengucapkan banyak terimakasih kepada ibu Dra. Frida Deliana,

M.Si selaku ketua Departemen Etnomusikologi yang telah banyak membantu saya selama menyelesaikan skripsi ini dan berterimakasih juga untuk skripsi yang telah

dipinjamkan kepada saya. Dan kepada ibu Dra. Heristina Dewi, Mpd yang telah banyak memberikan kemudahan dalam administrasi mahasiswa yang telah memberi nasehat kepada penulis.

Ucapan terimakasih juga saya sampaikan kepada seluruh dosen-dosen Etnomusikologi Departemen Etnomusikologi USU: Drs. Torang Naiborhu, M.Hum,

Drs. Kumalo Tarigan, M.A, Arifni Netrirosa, SST, Drs. Perikuten Tarigan, M.Si, Dra. Rithaony Hutajulu, M.A, Drs. Irwansyah Harahap, M.A, Drs. M.Takari, M.Hum, Drs. Fadlin, dan seluruh Dosen Luar Biasa yang telah mengajar di Etnomusikologi. Saya

juga mengucapkan terimakasih kepada Bu Aad dan bang Awang yang telah meluangkan waktunya untuk mengurus segala keperluan yang penulis butuhkan selama

ini.

Kepada informan saya Bapak Mangaraja Tunggal, saya ucapkan banyak terimakasih karena telah banyak membantu saya selama berada di lapangan untuk

mencari informan lain, menemani saya menyusuri wilayah Bunga Bondar dan yang memperkenalkan saya kepada raja-raja adat. Terimakasih untuk pengalaman yang

begitu berharga selam di lapangan. Saya juga banyak belajar mengenal budaya Angkola melalui beliau.

Kepada Kelompok Tumbuh Bersama (KTB) “Kasihh’’, saya mengucapkan

(7)

menjadi lebih baik, menjadi bagian yang tidak terpisah karena Kasih Kristus sudah

membawa kita semakin mengenal dan saling berbagi dalam suka dan duka. Kak Mariance Damanik, S.Sn yang sudah memperjuangkan penulis untuk bisa menjadi

lebih baik dengan doa-doanya. Terimakasih buat perhatian dan pengertiannya. Kak Ika Sihombing yang juga telah bersedia menjadi kakak yang baru bagi kami dan senantiasa memberi diri untuk menjadi sahabat dan kakak bagi kami. Kak Sri Sipayung, SS yang

menjadi sahabat dan banyak mengajarkan saya tentang arti ketekadan dan hidup penuh semangat. Terimakasih buat kalian semua, Tuhanlah yang akan terus mempersatukan

kita dan mengajarkan kita untuk mencapai tujuan hidup demi KemuliaanNya.

Kepada adik-adik rohaniku Rebekka Sihombing dan Evi Nenta Sipahutar yang telah membuat saya banyak belajar akan arti mengasihi, memahami orang lain dan

menjadi tempat yang nyaman untuk berbagi. Bersyukur untuk kesempatan yang Tuhan berikan untuk bertemu dan menjadi bagian dalam hidup kalian.

Kepada alumni Etnomusikologi USU yang kepada mereka saya banyak belajar Tanjung Simanjuntak, S.Sn, Okta Matondang, S.Sn, Daniel Gurning, S.Sn, kang Irman Poetra (Irfas), S.Sn, bang Seno’Ian’ Butar-Butar, S.Sn, Herbet’Oncom’ Simanjuntak,

S.Sn, Irbet Novandi, S.Sn, Intan Sinambela, S.Sn, Tyni Sormin, S.Sn, Hetty, S.Sn, Martahan Sitohang, S.Sn, Leonard Nainggolan,S.Sn, Saridin Sinaga, S.Sn, Frendy

Sirait, S.Sn, dan kepada Brother Liat Roy P. Malau, S.Sn.

Kepada adik-adik junior yang memberikan banyak kenangan lucu: Rina, Inta, Destri, Amran, Ara, Imes, Jery, Jonedi, Jepry, Tumpal, ‘Mbah Toan Bebs, Winka,

(8)

Huta Ade Marthin Tambunan, Rendi Siregar, Hanmard Sirait, Maruli, Herman, Ryan,

dan Wahyu (kalian begitu lucu).

Kepada rekan-rekan UKM KMK USU UP SASTRA periode 2006, 2007, 2008,

2009 dan 2010, komponen pelayan dan juga alumni. Saya mengucapkan banyak terimakasih karena telah menjadi orang-orang yang begitu baik kepada saya. Menjadi pendoa bagi saya, banyak bertumbuh melalui kalian dan merasakan Kristus melalui

hidup kalian, tetaplah menjadi murid-murid Kristus yang setia.

Kepada sahabat-sahabat yang terus mengingatkan saya untuk skripsi ini: Putra

Purba, Tina Sitohang, Helmina Panjaitan, Despi Hutajulu, dan Ellyas Matondang. Terimakasih sobat buat dukungannya.

Kepada Big Fam’04, saya mengucapkan banyak terimaksih atas pengenalan

dan kebersamaan yang begitu indah selama kita kuliah. Teman dan sahabat saya yang dikala ada teman kesusahan terkadang kita ketawain dulu baru dibantu, saat suka

bercanda selalu saling ejek-mengejek, saat duka kita rasakan bersama, saat ditekan kita berusaha untuk bangkit. Semua itu membuat saya merasakan kedekatan kepada kalian semua. Saya bangga bisa mengenal orang-orang yang luar biasa, kreatif dan pro aktif

seperti kalian. Kepada: Diateitupe si cerewet, Piens Lubis si emaki 04, Rie2 yang suka ketawa ngakak, Feri ‘ibun alias iban buncit’ si tongkar dan si tukang ejek, Welly si

playboy dan ahli improve, Tulang Markus yang kadang seperti bapak2, wak Dul yang dalam kondisi apapun tetap nyantai (thanks buat idenya ya), Frans yang suka berpikir rasional tapi pemalu, Nancy yang suka diem tapi pengertian, Amran yang menjadi

(9)

nyaring. Terimaksih saudara-saudaraku, semoga kelak kita semua menjadi orang-orang

yang berhasil dan tidak sombong tetapi rendah hati. Amin.

Dan kepada setiap orang yang telah membantu saya selama menyelesaikan

skripsi ini yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu saya sangat mengucapkan banyak terimakasih. Semoga semua pihak yang membantu akan menerima berkat yang Yang Maha Kuasa.

Medan, 19 September 2010

Penulis,

(10)

DAFTAR ISI 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Pokok Permasalahan ... 8

1.3. Tujuan dan Manfaat ... 8

1.5. Metode Penelitian ... 13

1.5.1. Studi Pustaka ... 14

1.5.2. Pemilihan Lokasi Penelitian ... 14

1.5.3. Pengumpulan Data ... 15

1.5.3.1 Wawancara ... 15

1.5.3.2 Observasi ... 15

1.5.3.3 Rekaman ... 16

1.5.4. Kerja Laboratorium ... 16

BAB II: IDENTIFIKASI LOKASI PENELITIAN 2.1. Sejarah Terbentuknya Kampung/Desa ... 17

2.2. Typology Desa Bunga Bondar ... 20

2.3. Komposisi Penduduk Desa Bunga Bondar ... …21

(11)

2.3.2. Komposisi Penduduk Menurut Pendidikan ... 22

2.3.3. Komposisi Penduduk Menurut Agama ... 23

2.4. Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Perkembangan Desa ... 24

2.4.1 Penduduk Yang Bermata Pancarian Pertanian ... 25

2.4.2 Penduduk Yang Bermata Pencarian Perdagangan ... 25

2.4.3 Penduduk Yang Bermata Pencarian Industri/Kerajinan ... 27

2.4.4 Penduduk Yang Bermata Pencarian Jasa ... 27

2.5. Bahasa ... 29

2.6. Transportasi ... 31

2.7. Sistem Kekerabatan Masyarakat angkola-Sipirok ... 32

2.8. Kesenian ... 37

BAB III: UPACARA PERKAWINAN ADAT NAGODANG MASYARAKAT ANGKOLA-SIPIROK 3.1 Jenis Perkawianan Adat Angkola Sipirok ... 43

3.1.1 Perkawinan Marlojong ... 44

3.1.2 Perkawinan Dipabuaton ... 45

3.1.3 Perkawinan Marhabuatan... 46

3.2 Pembagian Upacara Perkawinan Pada Masyarakat Angkola-Sipirok ... 46

3.3 Proses Upacara Perkawianan Adat Nagodang Angkola ... 48

3.3.1 Martahi Ulu Nitot ... 48

3.3.2 Martahi Marunungunug Nibodat ... 48

3.3.3 Martahi Martuktuk Nisibahue ... 49

3.3.4 Martahi Godang ... 49

3.3.5 Mangkobar Manjujur Boru ... 50

(12)

3.3.8 Marosong-osong ... 53

3.3.9 Maralok-alok ... 56

3.4 Mata Ni Harejo ... 57

3.4.1 Panaek Gondang ... 57

3.4.2 Manyingko-nyingkoi ... 58

3.4.3 Patuaekkon Tu Tapian Raya Bangunan ... 59

3.4.4 Mangupa ... 60

3.4.5 Manabalkon Goar ... 61

BAB IV: ANALISIS TEKSTUAL NYANYIAN ONANG-ONANG 4.1. Kajian Tekstual ... 62

4.2 Struktur Teks... 64

4.2.1 Teks Pembukaan ... 65

4.2.2 Teks Isi... 66

4.2.3 Teks Penutup ... 67

4.3 Aspek Bahasa ... 67

4.3.1 Gaya Bahasa ... 68

4.3.2 Diksi ... 68

4.4 Makna Teks Onang-onang... 69

4.4.1 Makna Moral ... 69

4.5 Musik dalam Upacara Adat Nagodang ... 70

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel I: Komposisi Jumlah Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin ... 21

Tabel II: Komposisi Penduduk Menurut Pendidikan ... 23

Tabel III: Komposisi Penduduk Menurut Agama ... 24

Tabel IV: Komposisi Penduduk Yang Bermata Pencarian Pertanian ... 25

Tabel V : Komposisi Penduduk Yang Bermata Pencarian Perdagangan ... 26

Tabel VI: Kompisisi Penduduk Yang Bermata Pencarian Industri ... 27

Tabel VII: Kompisisi Penduduk Yang Bermata Pencarian Jasa ... 29

(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Martahi Godang ... 50

Gambar 2. Manortor Panaek Gondang ... 53

Gambar 3. Marosong-osong ... 54

Gambar 4. Marosong-osong ... 54

Gambar 5. Osong-osong ... 55

Gambar 6. Manyingko-nyingkoi ... 58

Gambar 7. Patuaekkon... 60

Gambar 8. Mangupa ... 61

Gambar 9. Bagas Godang ... 80

Gambar10. Bulang dan aksesori ... 81

Gambar 11. Payung rarangan ... 81

(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Unsur-unsur kebudayaan seperti sistem bahasa, sistem kesenian, sistem kemasyarakatan, sistem religi, sistem teknologi, sistem ekonomi, sistem organisasi

sosial merupakan unsur-unsur yang bersifat universal. Dan oleh karena itu dapat diperkirakan bahwa kebudayaan suatu bangsa mengandung suatu aktivitas adat-istiadat

dari antara ketujuh unsur universal tersebut (Koenjtaraningrat 1997:4).

Kenyataan ini dapat juga dijumpai dalam ernis Angkola-Sipirok yang merupakan salah satu etnis yang berdiam di provinsi Sumatera Utara. Masyarakat

Angkola-Sipirok begitu menghargai setiap unsur budaya yang melekat dalam keseharian mereka. Adat tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat

Sipirok karena mempunyai peranan yang begitu besar bagi masyarakat Angkola-Sipirok, misalnya adalah pernikahan adat nagodang. Adat nagodang adalah pesta besar masyarakat Angkola-Sipirok yang diadakan pada pesta perkawinan. Dalam pesta

adat nagodang, setiap orang turut dalam upacara adat pernikahan ini bahkan telah ditentukan terlebih dahulu sebelum upacara adat dimulai.

Setiap kegiatan budaya yang diadakan oleh masyarakat Angkola-Sipirok tidak terlepas dari prinsip Dalihan Na ToluJojak di Bondul Na Opat. Dalihan na tolu terdiri dari kahanggi (teman semarga), anak boru (keluarga dari pihak menantu laki-laki),

(16)

merupakan bagian yang membantu menyempurnakan berjalannya adat pada

masyarakat Angkola- Sipirok termasuk upacara pernikahan adat nagodang.

Upacara pernikahan adat nagodang pada masyarakat Angkola-Sipirok

merupakan upacara adat yang melibatkan seluruh masyarakat dalam setiap unsur misalnya dalam mempersiapkan keperluan upacara adat, musyawarah mufakat oleh raja-raja1

Biasanya adat nagodang ini berlangsung selama tiga hari ataupun dua hari

berturut-turut. Namun berdasarkan wawancara dengan bapak Siregar

dan persiapan yang lainnya seperti mempersiapkan makanan, teratak, dan

lain sebagainya.

2

Onang-onang awalnya berasal dari kata ‘inang’ yang berarti ‘ibu’.

Dalam kisahnya dikatakan bahwa ada seorang anak yang merindukan ibunya dan akhirnya memanggil sambil bernyanyi dengan mengatakan

onang..onang..” Oleh karena itu onang-onang merupakan suatu

pencetusan terhadap kerinduan kepada orang yang dikasihinya yaitu ibunya. Lama-kelamaan onang-onang mulai berkembang, tidak saja

sebagai ungkapan kekecewaan dan kerinduan terhadap orang yang , dahulu diadakan lebih lama lagi yaitu sekitar satu minggu. Karena melihat keefektifan waktu dan kegiatan masyarakat, akhirnya waktu yang dipergunakan sudah mulai dikurangi dan

diefektifkan tetapi tidak mengurangi keabsahan adat nagodang tersebut.

Dalam adat nagodang, terdapat suatu nyanyian tradisi yang disebut dengan

onang-onang. Berdasarkan sejarahnya, onang-onang belum diketahui dengan jelas asal muasalnya. Dalam Harahap (1987:66) dikatakan:

1

Raja-raja yang dimaksud adalah raja-raja adat yang sudah mendapat gelar. 2

(17)

dikasihinya tetapi sudah berubah fungsi sebagai ungkapan kasih

(kegembiraan) seperti memasuki rumah baru, perkawinan dan anak lahir.

Menurut Harahap, dalam Pasaribu (2004:25), perkembangan onang-onang tidak saja dalam bentuk fungsi tetapi juga dalam bentuk penggunaannya. Bila dahulu

onang-onang dinyanyikan oleh seseorang sebagai ungkapan rasa rindu guna dirinya

sendiri dan tidak dalam konteks adat, maka saat ini onang-onang dinyanyikan oleh seseorang guna orang banyak dan dalam konteks adat.

Namun berdasarkan wawancara kepada bapak Sahrun Siregar 3

Onang-onang mulai dinyanyikan setelah acara pembukaan atau disebut dengan

panaek gondang. Onang-onang memiliki ritmis yang tetap dan berulang-ulang serta

bersifat resitatif (seperti berbicara). Onang-onang selalu diawali dengan bunyi suling , beliau mengatakan bahwa saat ini onang-onang jarang sekali dinyanyikan oleh seseorang dan lebih banyak digunakan dalam konteks adat. Dan jikalau melihat kepada konteks adat,

onang-onang lebih banyak dinyanyikan pada upacara adat perkawinan sementara

untuk memasuki rumah baru dan anak lahir sudah jarang dilakukan.

Onang-onang yang ditampilkan dalam upacara adat akan diiringi oleh

penampilan gondang dan tor-tor. Onang-onang dinyanyikan secara spontan dan termasuk dalam tradisi lisan yaitu melodi dan teksnya tidak tertulis. Teks atau syair

diciptakan sendiri oleh penyanyi setelah mereka mendapatkan deskripsi tentang bayo pangoli dan boru na nioli dan mengungkapkan keadaan dan suasana pada saat upacara

adat berlangsung.

3

(18)

kemudian dilanjutkan oleh paronang-onang. Setelah menyanyikan beberapa kalimat,

paronang-onang kemudian memberikan jeda untuk pemain suling dan demikian

seterusnya.

Meskipun nyanyian onang-onang dinyanyikan secara spontan, namun paronang-onang (penyanyi onang-onang) harus memiliki suatu kreatifitas4

Paronang-onang harus memiliki nafas yang panjang dan mampu

menyanyikannya dengan vokal yang dapat didengar dengan baik oleh pendengar.

Paronang-onang juga harus banyak belajar dan mengetahui pantun-pantun adat yang

sering diistilahkan dalam upacara adat. Pantun-pantun ini akan banyak didapatkan . Seorang penyanyi onang-onang (paronang) terlebih dahulu harus mengetahui maksud dan

tujuan dari upacara adat, bagaimana kehidupan bayo pangoli dan boru na nioli dan dapat melihat situasi pada saat upacara adat berlangsung.

Untuk menjadi seorang paronang tidak dibutuhkan syarat khusus atau harus dilahirkan dari keturunan raja. Menjadi paronang adalah suatu bakat alamiah dan melalui proses belajar. Mereka belajar dari orang yang sudah menjadi paronang-onang

atau yang disebut dengan oral tradition. Awalnya mereka menyimak bagaimana cara

paronang tersebut menyanyikannya, memperhatikan ekspresi wajah dan bagaimana

tehnik pernafasannya. Kemudian mereka berlatih dengan mempraktekkannya di rumah atau di hadapan gurunya. Untuk lebih mendalaminya mereka harus sering memperhatikan gurunya ketika bernyanyi pada upacara-upacara adat tertentu.

4

(19)

melalui upacara-upacara adat melalui bahasa-bahasa adat yang sering disampaikan

oleh raja-raja adat5

Berdasarkan pengamatan penulis, onang-onang tidak hanya nyanyian yang biasa dinyanyikan pada pesta nagodang masyarakat Angkola-Sipirok. Tetapi masyarakat Angkola-Sipirok sangat menantikan adanya onang-onang ketika gondang

sudah dimainkan. Mereka merasa ‘tersentuh’ dengan syair/teks yang disampaikan. .

Pada pelaksanaan upacara pernikahan adat nagodang, setiap tahapan akan

diiringi oleh musik atau yang disebut dengan gondang. Gondang adalah ensambel yang terdiri 2 buah gondang (pangayak dan siayakaon), 2 buah ogung (jantan dan boru-boru), suling, sepasang tali sasayat, dan 1 buah doal. Adanya gondang dalam

pernikahan adat nagodang ini tidak hanya sekedar mengiringi tetapi gondang disertakan dengan nyanyian onang-onang yang merupakan nyanyian yang berisi

nasehat-nasehat penting bagi kedua mempelai yaitu bayo pangoli dengan boru na nioli. Selain kepada pengantin, nasehat-nasehat juga disampaikan kepada keluarga pengantin melalui nyanyian onang-onang.

Gondang juga dapat disebut dengan lagu. Dalam hal ini misalnya dapat dilihat dari lagu suhut sihabolonan maka disebut gondang suhut sihabolonan, lagu mora

maka dikatakan gondang mora. Gondang ini terbagi menjadi dua yaitu sebagai pembawa melodi (suling dan paronang-onang) dan memiliki fungsi sebagai pembawa pola ritmis yang repetitive (berulang-ulang). Untuk gendang, gong dan tali sasayat

besifat konstan dan variatif. Dari segi melodi, selain memiliki materi melodi yang sama namun teks nyanyian berubah atau disebut stropic.

5

(20)

Bukan hanya menimbulkan reaksi terhadap gerakan tubuh untuk menari (manortor)

namun menimbulkan reaksi yang lain dengan menangis. Hal ini sejalan dengan pandapat Purba (2004:369) tentang nyanyian dalam kebudayaan:

“Fungsi utama nyanyian adalah untuk mengekspresikan rasa, dan sekaligus sebagai suatu aktivitas dari berbagai jenis komunikasi manusia. Nyanyian sangat dibutuhkan oleh masyarakatnya. Selanjutnya isi nyanyian tersebut lebih bersifat komunikasi sosial dibandingkan komunikasi individual-lebih bersifat normatif dibandingkan menjelaskan fakta. Selain itu, teks juga turut berperan dalam membentuk struktur umum yang menjadi acuan bagi penciptaan musik. Teks memberikan akomodasi pada garapan struktur musiknya."

Dengan melihat pendapat tersebut, onang-onang juga menjadi bagian yang perlu untuk dikaji lebih dalam lagi melalui analisis tekstual. Berbicara mengenai tekstual maka akan berbicara mengenai bahasa. Dan bahasa merupakan salah satu

sistem yang masuk ke dalam unsur-unsur kebudayaan (Koentjaraningrat 1981:203). Pakar etnomusikologi dan ilmu sosial suda h sejak lama meneliti tentang

hubungan antara musik dengan bahasa dan bunyi musikal dengan fenomena linguistik. Feld dalam Purba, (2004:2) mengatakan ada dua masalah yang mendasar sekali dari hubungan inter relasi antara kedua unsur tersebut, yaitu: yang meliputi hubungan

(relasi) tekstual, sifat puitik, dan gaya bahasa di dalam struktur nyanyian; dan yang kedua, musik di dalam bahasa, yaitu: masalah yang meliputi eksistensi sifat

(properties) ke-musikal-an dari bahasa.

Demikian juga onang-onang sebagai musik vokal, jelas mempunyai hubungan inter relasi antara unsur bahasa dan musiknya, baik itu yang meliputi hubungan

(21)

Onang-onang memiliki bahasa yang bersifat konotatif (makna yang tidak

sebenarnya), jauh dari bahasa sehari-hari dan sering menggunakan pantun-pantun adat sebagai syair/teks nyanyian. Dan justru makna konotatif inilah yang memberi efek

makna pada penikmatnya. Karena makna ini merupakan suatu pesan yang disampaikan dalam bentuk kata dan mungkin hanya dipahami oleh masyarakat Angkola itu saja. Dan jika melihat kepada teori Nettl (1963: 104) yang mengatakan:

“Asumming that music is a form of communication, there must, in each musical style, be signals which communicate something to the initiated…it may be a nonmusical message or something intrinsically musical.”

[Terjemahan]: berdasarkan pandangan bahwa musik merupakan sebuah alat komunikasi, tentu saja setiap gaya musik mempunyai tanda-tanda atau ciri-ciri yang menyampaikan suatu makna yang telah dipahami…apakah itu pesan non-musikal atau sesuatu yang bersifat musikal.

maka, onang-onang yang juga merupakan media komunikasi yang memiliki tanda-tanda atau ciri-ciri tersebut, telah menyampaikan suatu makna yang dapat dipahami oleh masyarakat Angko la-Sipirok atau mungkin saja oleh masyarakat di luar

kebudayaan Angkola-Sipirok.

Dengan demikian, onang-onang tidak hanya sebatas nyanyian pada pesta

perkawinan adat nagodang dan berfungsi sebagai media komunikasi, hiburan, atau beberapa fungsi yang lain. Namun, onang-onang juga menggambarkan suatu ciri atau kebudayaan masyarakat Angkola-Sipirok lewat teks/syair dan menyampaikan makna

yang terkadung dalam teks/ syair tersebut.

Berdasarkan apa yang diamati dan diteliti oleh penulis, maka penulis tertarik

(22)

dibahas dan dituliskan dalan karya ilmiah dengan judul : “ANALISIS TEKSTUAL ONANG-ONANG DALAM UPACARA PERKAWINAN ADAT NAGODANG PADA MASYARAKAT ANGKOLA-SIPIROK DI KELURAHAN BUNGA BONDAR KECAMATAN SIPIROK SUMATERA UTARA.”

1.2 Pokok Permasalahan

Adapun poko permasalahan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana struktur teks onang-onang dalam upacara perkawinana adat

Angkola-Sipirok?

2. Makna apa yang terkandung dalam onang-onang?

1.3 Tujuan dan Manfaat 1.3.1 Tujuan

Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana struktur teks nyanyian onang-onang dalam upacara perkawinan adat Angkola-Sipirok.

2. Untuk mengetahui makna apa saja yang terkandung dalam nyanyian onang-onang yang dapat berguna sebagai pedoman bagi masyarakt Angkola- Sipirok.

1.3.2 Manfaat

Yang menjadi manfaat dari tulisan ini adalah:

(23)

2. Sebagai bahan pendokumentasian untuk perkembangan disiplin

Etnomusikologi, khususnya terhadap kesenian tradisional Angkola.

3. Bermanfaat bagi pembaca terutama dapat melihat unsur-unsur tekstual yang

terdapat pada perkawinan Angkola- Sipirok.

4. Untuk melestarikan kebudayaan Angkola- Sipirok sebagai salah satu upaya dalam memperkaya budaya Nasional.

1.4 Konsep dan Teori 1.4.1 Konsep

Konsep adalah ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret6

Tekstual merupakan hal-hal yang berkaitan dengan teks atau tulisan atau isi

dari suatu karangan. Dalam musik vokal, teks disebut dengan lirik/syair. Dan lirik merupakan susunan kata dalam suatu nyanyian yang berisi curahan perasaan

. Kata analisis berarti penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan,

perbuatan) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab musabab, duduk perkaranya). Berangkat dari pengertian ini penulis akan menguraikan suatu peristiwa

yang selanjutnya menuliskan keadaan yang sebenarnya untuk menemukan duduk perkaranya. Adapun yang menjadi objek penelitian yang akan diuraikan adalah upacara perkawinan pada masyarakat Angkola-Sipirok yang difokuskan kepada analisis

tekstual nyanyian onang-onang dalam Perkawinan adat nagodang.

7

6

KBBI edisi kedua tahun 1995 7

KBBI edisi kedua tahun 1995

(24)

apa yang menjadi isi dari syair/lirik yang terdapat pada nyanyian onang-onang.

Kemudian penulis akan menganalisis makna yang terkandung di dalamnya.

Onang-onang sebagai musik vokal yang dipakai dalam upacara perkawinan

masyarakat Angkola-Sipirok merupakan suatu media komunikasi untuk menyampaikan maksud dan tujuan upacara perkawinan diadakan.

Gondang adalah musik dan juga merupakan lagu. Dengan gondang, masyarakat

di luar etnis Angkola-Sipirok dapat memahami kebudayaan masyarakat Angkkola- Sipirok karena gondang memiliki fungsi yang sangat penting dalam konteks adat yaitu

sebagai media komunikasi dan ekspresi.

Masyarakat menurut Koentjaranigrat (1986:160) adalah suatu kesatuan hidup manusia yang berinteraksi dan bertingkah laku menurut suatu sistem adat tertentu yang

bersifat kontinu, dimana setiap anggotanya terikat oleh satu rasa identitas bersama. Masyarakat Bunga Bondar adalah masyarakat yang berinteraksi melalui sistem

adat yang disebut adat dalihan na tolu. Kehidupan masyarakat Angkola-Sipirok di desa Bunga Bondar juga terikat oleh satu rasa identitas bersama. Identitas ini dapat dilihat dari kelompok marga yang tidak terlalu banyak dan masih dalam ikatan keluarga (satu

darah) sehingga kehidupan masyarakat Bunga Bondar sangatlah rukun dan saling bersatu di dalam setiap acara adat bahkan dalam kegiatan-kegiatan adat lainnya.

1.4.2 Teori

Musik (nyanyian onang-onang) merupakan bagian penting pada upacara

(25)

dari masyarakat yang berbeda di dalam suatu kebudayaan. Demikian juga halnya

dengan onang-onang yang dibentuk oleh adat istiadat, peradaban dan budaya suku Angkola-Sipirok. Sehingga untuk dapat memahami kebudayaan Angkola, kita dapat

belajar dari kebudayaan musiknya (nyanyian onang-onang).

Malm (1977:9) mengatakan bahwa musik juga mempunyai hubungan dengan tekstual. Dalam menganalisis tekstual disini, penulis tidak hanya mencari apa yang

menjadi arti dari syair yang dinyanyikan. Namun mencari makna yang terkadung dalam nyanyian onang-onang dan melihat karakteristik dari kebudayaannya. Oleh

karena itu, menurut Mennheim dalam Bustan8

Menurut Palmer (2003:9) hermeneutika merupakan studi pemahaman makna teks sebagai uraian kesan manusia. Asumsi yang mendasarinya adalah bahwa, makna sebuah

agar dapat mengungkapkan makna, perlu dibedakan beberapa pengertian antara lain: (1) penerjemah atau translation, (2) tafsir atau interpretasi, (3) ekstrapolasi dan (4) pemaknaan atau meaning. Menurut

Mennheim,

“Terjemah merupakan upaya mengemukakan materi atau substansi yang sama dengan media berbeda. Mengacu pada materi terjemahan, dibuat penafsiran untuk mencari latar belakang dan konteksnya guna menemukan konsep yang lebih jelas. Ekstrapolasi bertujuan menangkap berbagai fenomena di balik yang tersajikan berdasarkan kemampuan daya pikir manusia pada tataran empirik logik. Ekstrapolasi identik dengan pemaknaan, namun pemaknaan adalah upaya lebih jauh dari penafsiran karena, selain memerlukan kemampuan integratif manusia berupa kemampuan inderawi, kemampuan daya pikir, dan kemampuan akal budi, pemaknaan menjangkau hal-hal yang bersifat etik dan transendental.”

8

(26)

teks sebagai hasil cipta karya dan rasa manusia teranyam dalam satu kesatuan dengan

kebudayaan yang mewadahinya.

Hermeneutik mencakup dalam dua fokus perhatian yang berbeda dan saling berinteraksi yaitu (1) peristiwa pemahaman teks, dan (2) persoalan yang lebih mengarah mengenai apa pemahaman dan interpretasi itu.

Ada tiga bentuk kata kerja dari hermeneutik, yaitu: (1) mengungkapkan kata-kata; (2) menjelaskan, seperti menjelaskan situasi; (3) menerjemahkan, seperti di

dalam transliterasi bahasa asing (Palmer 2003:10). Ketiga makna itu diwakilkan dengan bentuk kata kerja Inggris “to interpret”. Dengan demikian interpretasi dapat mengacu kepada tiga persoalan yang berbeda: pengucapan lisan, penjelasan yang

masuk akal, dan transliterasi dari bahasa lain (Palmer 2003:16).

Dalam pengertian ini interpretasi adalah bentuk dari perkataan. Demikian juga,

perkataan lisan atau nyanyian juga termasuk sebuah interpretasi (Palmer 2003: 23). Nyanyian memiliki sesuatu untuk diekspresikan dan melalui nyanyian (teks lisan) ada pesan-pesan yang disampaikan. Pesan tersebut berasal dari teks lisan yang

diekspresikan sehingga membawa makna tersendiri yang terkadang tersembunyi. Dengan mengetahui pesan dari teks lisan (dalam hal ini nyanyian) maka akan lebih

mudah melihat maknanya. Namun dalam mencari makna, Palmer menganjurkan untuk terlebih dahulu melihat konteksnya. Onang-onang adalah nyanyian yang memiliki isi tentang doa, nasehat, menceritakan latar belakang keluarga. Melalui isi nyanyian ini

(27)

Untuk mendeskripsikan upacara perkawinan, penulis memakai teori

unsur-unsur pendukung upacara seperti yang dikemukakan oleh Koenjtaraningrat. (1985:243). Koenjtaraningrat menyatakan bahwa upacara terbagi atas empat komponen

yaitu :

(1) Tempat upacara (2) Saat upacara

(3) Benda- benda dan alat upacara (4) Pemimpin dan peserta upacara

Untuk mendeskripsikan musiknya, penulis menggunakan pendekatan Bruno Nettl (1963:98) tentang transkripsi dimana dikatakan bahwa ada dua hal yang dilakukan dalam mendeskripsikan musik, yaitu (1) kita mendengar dan

mendeskripsikan musik, (2) kita dapat menuliskannya dalam bentuk tulisan dan mendeskripsikan apa yang kita lihat.

1.5 Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang dipakai oleh penulis adalah metode penelitian

kualitatif yang bersifat deskriptif. Dengan metode penelitian ini maka hasil penelitian akan dijelaskan dan digambarkan berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh yaitu:

sifat-sifat suatu individu, gejala, keadaan, atau kelompok tertentu agar penulis dapat memaparkan dan menggambarkan keadaan secara mendetail sesuai data yang diperoleh dari ungkapan, catatan, dan tingkah laku masyarakat yang diteliti.

(28)

1.5.1 Studi Pustaka

Sebelum mengerjakan tulisan ini, penulis terlebih dahulu mencari data-data yang berkaitan dengan judul atau topik yang akan ditulis dan mempelajari

literatur-literatur yang berkaitan dengan objek pembahasan. Studi ini diperlukan untuk mendapatkan teori, konsep dan informasi yang dapat digunakan sebagai acuan atau perbandingan dalam tulisan.

Sumber bacaan dapat diperoleh dengan membaca skripsi yang pernah membahas tentang kebudayaan Angkola dan juga tentang nyanyian onang-onang.

Selain itu penulis juga mencari bacaan lain yang mendukung tulisan ini dengan mencari buku-buku yang relevan, dan mencari informasi dari situs internet. Dalam mencari data melalui literatur penulis masih mengalami kesulitan karena buku yang

tersedia tentang onang-onang masih terbatas, namun penulis berusaha untuk mendapatkannya melalui wawancara kepada informan.

1.5.2 Pemilihan Lokasi Penelitian

Lokasi yang menjadi objek dalam tulisan ini adalah kelurahan Bunga Bondar.

Alasan penulis dalam menentukan daerah ini adalah karena daerah ini masih belum mendapatkan perubahan dalam pesta perkawinan dan masih memegang teguh adat

(29)

1.5.3 Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data-data yang mendukung tentang kasus dalam peneltian ini, penulis melakukan pengumpulan data-data dengan melalui wawancara, observasi,

rekaman (audio visual/video, kamera), dan menganalisis semua data yang diperoleh.

1.5.3.1 Wawancara

Wawancara yang dilakukan adalah wawancara terfokus (focused interview) yaitu terdiri dari pertanyaan yang tidak mempunyai struktur tertentu tetapi selalu

terpusat pada satu pokok (Koenjtaraningrat 1976:175). Selain itu penulis juga mengadakan wawancara bebas (free interview) yaitu dengan bertanya tidak hanya berpusat pada suatu pokok permsalahan namun tidak beralih dari suatu hal ke hal lain.

Sebagai informan pokok penulis menetapkan bapak Mangaraja Tunggal sebagai penatua adat dan termasuk salah satu raja dan kepada bapak Mangaraja Endar sebagai

paronang-onang. Dan informan lain yang berasal dari beberapa pemain musik dan

penatua adat yang lainnya.

1.5.3.2 Observasi

Untuk memperoleh data-data yang diperlukan, penulis melakukan studi

lapangan dengan cara observasi langsung dan penulis berusaha dapat mengamati dan mengikuti bagaimana persiapan dan pelaksaan upacara ketika berlangsung.

Untuk membantu data yang masih kurang di lapangan, maka penulis mencari

(30)

1.5.3.3 Rekaman

Untuk merekam hasil wawancara pada upacara adat perkawinan, penulis menggunakan microcassette recorder merk Panasonic RN-202, sementara dalam

merekam suara paronang-onang dan pemain gondang penulis menggunakan tape recorder merk sony TP-S350 dengan kaset Maxell UE-60, dan dalam merekam berjalannya upacara perkawinan dan memotret penulis menggunakan digital video

camera merk Spectra vertex Dx1. Semua gambar berupa foto dan video merupakan dokumentasi penulis.

1.5.4 Kerja Laboratorium

Dalam kerja laboratorium semua data akan dianalisis untuk mengoreksi

data-data sehingga dapat ditulis dengan baik oleh penulis. Data-data-data yang didapatkan akan didengar secara berulang-ulang untuk mendapatkan tekstual secara benar dan

mengetahui lebih tepat setiap kata demi kata yang dinyanyikan oleh paronang-onang, kemudian dicatat dan diklasifikasikan. Setelah dicatat, penulis meminta bantuan kepada informan untuk menyampaikan terjemahan dan menganalisis bagaimana makna

(31)

BAB II

IDENTIFIKASI LOKASI PENELITIAN

2.1 Sejarah Terbentuknya Kampung/ Desa

Siregar (1977:111) menuliskan bahwa daerah Sipirok dahulu terdiri dari kesatuan tiga daerah yaitu Sipirok, Baringin-Bunga Bondar dan Parau Sorat yang

akhirnya menjadi suatu kecamatan dengan ibukota kecamatan Sipirok. Ketiga daerah tersebut merupakan daerah yang terdiri dari wilayah perkebunan dan sawah. Menurut

sejarah atau keterangan-keterangan dari orang-orang tua, kalau hendak mendirikan suatu huta/ kampung pada waktu dahulu ialah dengan berangkatnya suatu kelompok yang terdiri dari tiga unsur yang dikenal pada orang Batak Angkola-Sipirok ialah:

1. Suhut Marhamaranggi

2. Anakboru, yaitu pihak pemberian boru

3. Mora, yaitu pihak pengambilan boru

Sesampainya mereka ke tempat yang dituju untuk mendirikan kampung tersebut, mereka menanam tiga macam tanaman yang merupakan lambang suatu huta

atau desa. Adapun tanaman yang dimaksud ialah:

1. Pohon Beringin, yang dalam Bahasa Daerah disebut namanya haruaya

tambang baringin.

(32)

Apabila ketiga jenis tanaman ini tumbuh dengan baik merupakan suatu

pertanda bahwa tempat itu dapat dijadikan huta, seandainya tidak mau tumbuh maka tempat itu ditinggalkan.

Sesudah itu mereka mulai menetapkan dimana tempat untuk pendirian rumah nanti dan dimana tempat yang akan dijadikan persawahan, perladangan dan perkebunan. Dengan bekerja keras mereka membuat lahan persawahan, perkebunan

kopi dan berusaha untuk menanam tanaman yang dapat memberikan mereka makanan. Setelah tersebar ke seluruh kampung bahwa daerah tersebut memiliki lahan

yang baik untuk dijadikan mata pencaharian, maka banyaklah orang-orang datang mengunjungi dan menetap di kampung tersebut. Semakin lama akhirnya semakin bertambah jumlah orang yang menetap sehingga mulailah terbentuk suatu komunitas

dengan adat. Adat yang mereka bentuk adalah adat yang sebelumnya dipakai oleh kelompok sipungka huta (yang membentuk kampung) ketika masih berada di kampung

awal.

Setiap orang yang datang ke kampung itu diberikan tanah untuk membangun rumah, tanah untuk bersawah, tanah untuk berkebun yang disebut “Salipi na tatar

dan tidak boleh dijual jikalau mereka pindah atau meninggalkan kampung supaya bisa diberikan kepada yang lain apabila mereka menetap.

Maka saat ini ada unsur-unsur penting dalam kampung/ huta yang terdiri dari: 1. Yang membuka kampung, yaitu Suhut Na Marhamaranggi

2. Anakboru, yaitu Suhut Na Marhamaranggi

3. Mora ni Suhut Na Marhamaranggi

(33)

Mereka juga membentuk peradaton, sehingga terbentuklah Lembaga Adat di

kampung dengan fungsionaris adatnya. Tetapi supaya fungsionaris ini berkekuatan haruslah lebih dahulu bonabulu itu diresmikan menurut adat penuh agar kampung itu

berstatus bonabulu.

Apabila kampung tersebut sudah berstatus bonabulu maka peradatan yang ada dihuta itu sudah dapat berdiri sendiri artinya telah dapat melaksanakan pekerjaan adat

yang penuh. Oleh sebab itu harus ada sitiop gagang sitiop adat dohot uhum9

1. Harajaon. Harajaon ini yang berasal dari sipungka huta itu.

, maka terbentuklah yang bernama fungsionaris adat.

Adapun yang termasuk fungsionaris adat di kampung itu ialah:

2. Hatobangon. Ini adalah perwakilan-perwakilan dari parripe yang ada di kampung

dengan persyaratan mereka ini harus sanggup mengisi ampang yang memiliki ukuran isi yang isinya kira-kira 32 canting beras pada saat ada kerja adat di

kampung apakah itu sukacita ataupun dukacita.

Sehubungan dengan fungsionaris adat yang disebut di atas, maka terbentuklah Raja Bonabulu yaitu Harajaon, ada Anakboru Bonabulu, yaitu anakboru yang ikut

mendirikan huta/kampung, Mora Bonabulu yaitu mora yang ikut mendirikan huta/kampung tersebut.

Raja itulah yang dapat mengetahui segala sesuatu tentang hal adat dan uhum (hukum) di kampung tersebut, tetapi untuk melaksanakannya maka hal itu diserahkan kepada Orangkaya, pelaksanaan adat itulah yang disebut ugari.

9

(34)

2.2 Typology Desa Bunga Bondar

Bunga Bondar terletak pada areal seluas 542 ha dengan perbatasan : - Sebelah Utara dengan Bunga Bondar Sepuluh ( Aek Pinagar)

- Sebelah Barat dengan Desa Sumpean

- Sebelah Timur dengan pegunungan Sumatera Utara - Sebelah Selatan dengan Desa pangkal Dolok ( Aek Garut)

- Sebelah Barat Daya dengan Desa Hasang Marsada ( Aek Siguti)

Secara garis besar keadaan alam desa Bunga Bondar adalah luas perumahan: 15

ha, sawah setengah teknis: 80 ha, sawah sederhana: 180 ha, perkebunan: 50 ha, danau/rawa: 2,7 ha dan lain-lain: 204,3 ha.10

10

Sumber: Kantor Lurah Bunga Bondar Tahun 2010.

Desa Bunga Bondar berada di sebelah timur dari kecamatan Sipirok. Desa ini

merupakan dataran tinggi yang masih berada di bawah pegunungan Bukit Barisan yang berada di sebelah timur desa Bunga Bondar. Sebelah barat desa ini merupakan daerah

sawah dan beberapa lahan untuk berkebun. Karena berada di bawah pegunungan Bukit Barisan terdapat beberapa aliran sungai kecil yang akhirnya bermuara menuju Danau Marsabut yang terdapat di sebelah timur.

Wilayah Angkola di Kotamadya Tapanuli Selatan terdiri dari tiga bagian yaitu: Angkola Julu (Angkola Hulu), Angkola Jae (Angkola Hilir), dan Angkola Dolok

(35)

2.3 Komposisi Penduduk Desa Bunga Bondar

Penduduk asli desa Bunga Bondar adalah masyarakat suku Angkola yang sering disebut Angkola-Sipirok. Penduduknya berjumlah 1.242 jiwa dan mayoritas

beragama Islam. Warga yang tinggal di desa ini mayoritas bermarga Siregar, hal ini disebabkan karena desa Bunga Bondar didirikan oleh marga Siregar dan orang yang menjadi raja adalah yang bermarga Siregar. Hal ini mengakibatkan bahwa marga

Siregar dihormati masyarakat oleh karena keturunan raja. Meskipun suku Angkola telah tersebar di seluruh wilayah di Sumatera Utara namun warga Angkola yang

berasal dari Bunga Bondar tetap menjaga norma-norma adat yang diajarkan kepada mereka. Dan hal ini juga terlihat dari kepedulian masyarakat Bunga Bondar kepada warganya begitu juga kepada warga yang berasal dari suku atau daerah lain.

Keharmonisan masyarakat mengakibatkan budaya Angkola- Sipirok tetap terjaga.

2.3.1 Komposisi Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin

Tabel berikut akan memaparkan secara terperinci tentang jumlah dan komposisi penduduk berdasarkan umur dan jenis kelamin:

Tabel 1. Komposisi Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin

Umur Jenis kelamin Jumlah

(36)

40-44 36 35 71

45-49 35 32 67

50-ke atas 179 144 323

Jumlah 634 608 1242

(Sumber: Kantor Kepala Lurah Bunga Bondar, 2010)

Dari data di atas yang paling banyak mendiami wilayah Bunga Bondar ditinjau

dari umur dan jenis kelamin adalah penduduk dengan usia 50 tahun keatas dengan jumlah 323 jiwa. Dari pemantauan penulis kemungkinan yang menyebabkan hal ini

adalah karena banyak penduduk Bunga Bondar yang merantau dan berpindah tempat ke daerah Sipirok, Padangsidimuan, dan bahkan di luar kota dan pulau.

2.3.2 Komposisi Penduduk Menurut Pendidikan

Dilihat dari segi pendidikan, penduduk Bunga Bondar hanya mengikuti

pendidikan formil. Sementara pendidikan non formil seperti pendidikan keterampilan khusus tidak didirikan oleh pemerintah setempat.

Meskipun dari segi pendidikan masyarakat Bunga Bondar belum mendapatkan

fasilitas yang memadai seperti di daerah kecamatan Sipirok, namun mereka tetap bergiat untuk mengikuti pengajaran dan penduduk Bunga Bondar tetap menomor

satukan pendidikan kepada anak-anak mereka. Hal ini terlihat dengan jarak sekolah yang berada di daerah Sipirok dan juga di desa yang lain tidak menyurutkan semangat mereka untuk belajar dan bersekolah. Jenjang perguruan tinggi adalah impian setiap orang tua terhadap anak-anak mereka. Hal ini menyebabkan tidak sedikit yang

(37)

daerah Bunga Bondar seperti Raja Inal Siregar, Dr. Bajora dan bebebapa pejabat

lainnya (wawancara dengan Bpk. Mangaraja Tunggal).

Table berikut akan menunjukkan komposisi pendidikan formil desa Bunga

Bondar:

Tabel 2. Komposisi Penduduk Menurut Pendidikan

Jenis pendidikan Jumlah jiwa

Belum sekolah 127 jiwa

Belum tamat SD 148 jiwa

Tamat SD 148 jiwa

Tamat SLTP 337 jiwa

Tamat SMU 435 jiwa

Tamat Akademi 26 jiwa

Tamat Perguruan Tinggi 21 jiwa

Buta aksara 10-55 thn -

Jumlah 1242 jiwa

(Sumber: Kantor Kepala Lurah Bunga Bondar, 2010)

2.3.3 Komposisi Penduduk Menurut Agama

Mayoritas penduduk Bunga Bondar adalah pemeluk agama Islam. Sebelum

masuknya agama ke desa ini, dahulu mereka mengabut kepercayaan pele begu (menyembah roh-roh nenek moyang). Dan ketika masuknya penyebar agama Islam dan Kristen maka mereka mulai memeluk agama tersebut dan penduduk tersebut lebih

dominan kepada ajaran agama Islam.

Perbedaan agama di desa ini tidaklah menjadi penghalang kekerabatan mereka. Masyarakat Bunga Bondar sendiri adalah masyarakat yang memiliki hubungan darah

(38)

menjadi keunikan dan keberagaman mereka. Kedekatan kekerabatan ini dapat dilihat

dengan terlibatnya seluruh warga pada saat upacara adat nagodang sekalipun yang mengadakan pernikahan adalah yang berbeda agama dengan agama mereka.

Masyarakat Bunga Bondar mengatakan hal ini dengan istilah “mudar do na

mangkatai” artinya, mereka masih dalam satu garis keturunan dan tidak dapat

membeda-bedakan hanya karena agama.

Berdasarkan komposisi agama, jumlah penduduk Bunga Bondar dapat dilihat melalui table berikut:

Tabel 3. Komposisi Penduduk Menurut Agama

Agama Jumlah Penduduk

Islam 810 jiwa

Kristen Protestan 432 jiwa

Jumlah 1242 jiwa

(Sumber: Kantor Kepala Lurah Bunga Bondar, 2010)

2.4 Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Perkembangan Desa

Masyarakat Bunga Bondar dominan bekerja sebagai petani dan pekerja kebun. Hampir 80% masyarakat Bunga Bondar memperoleh penghasilan berdasarkan hasil panen padi yang sudah ditanam selama 6 bulan. Selain itu mereka juga bertanam

coklat, menjual kayu bakar. Setiap hari mereka akan mempersiapkan diri terlebih dahulu baik sarapan pagi, memberangkatkan anak-anak mereka ke sekolah dan mulai

ke sawah sambil membawa bekal makan siang karena pada sore menjelang magrib mereka berhenti bekerja. Dan pekerjaan itu mereka kerjakan setiap hari dan setelah mereka panen maka mereka dapat mengerjakan pekerjaan lain nisalnya mengadakan

(39)

Mata pencarian lain yang terdapat di desa ini adalah adanya orang yang

berjualan kopi, sebagai guru, pegawai negeri, tukang kayu, tukang jahit, dan angkutan. Jikalau diperhatikan, kehidupan masyarakat Bunga Bondar tidak terpengaruh dengan

berkembangnya beberapa daerah dengan memasukkan kemajuan yang ada di perkotaan seperti hal yang berhubungan dengan teknologi. Hal ini memang diterima oleh masyarakat Bunga Bondar namun mereka tidak begitu memusatkan perhatian pada

kehidupan yang modern. Hal ini dikarenakan mereka dapat hidup rukun satu dengan yang lain dalam satu kelurahan dan mereka lebih menekankan anak-anak mereka untuk

lebih mengutamakan kehidupan yang beragama dan beradat agar tidak terpengaruh kepada perkembangan dunia meskipun sesungguhnya mereka tetap memberikan kepercayaan kepada anak-anak mereka untuk mengikuti perkembangan tersebut demi

perkembangan pendidikan mereka.

Berikut akan dipaparkan tabel mata pencarian masyarakat Bunga Bondar dilihat

dari faktor yang mempengaruhi tingkat perkembangan desa:

2.4.1 Penduduk Yang Bermata Pencarian Pertanian:

Tabel berikut akan memaparkan secara terperinci tentang penduduk yang bermata pencarian pertanian:

Tabel 4. Penduduk Yang Bermata Pencarian Pertanian:

Jenis Mata Pencarian Jumlah jiwa

Petani pemilik tanah 145 jiwa

Petani penggarap tanah 29 jiwa

Peternakan 3 jiwa

(40)

Dengan melihat tabel di atas dapat di ketahui bahwa dari 1.242 jiwa yang

terdapat di desa Bunga Bondar terdapat 81, 9% jiwa penduduk yang bermata pencarian sebagai petani. Namun jika diperhatikan berdasarkan tabel tidak semua memiliki lahan

sendiri, masih ada yang mengusahakan dengan menggarap tanah. Sementara dilihat dari usaha beternak, hanya sekitar 1,6% dan ini tidak mendominasi di desa Bunga Bondar.

2.4.2 Penduduk Yang Bermata Pencarian Perdagangan:

Tabel berikut akan memaparkan secara terperinci tentang penduduk yang bermata pencarian perdagangan:

Tabel 5. Penduduk Yang Bermata Pencarian Perdagangan:

Jenis Mata Pencarian Jumlah jiwa

Toko 2 jiwa

Warung kopi 7 jiwa

Jumlah 9 jiwa

(Sumber: Kantor Kepala Lurah Bunga Bondar, 2010)

Berdasarkan data yang tertera di atas terdapat 9 jiwa yang memiliki usaha

berdagang dan jika dilihat dengan persentase, hanya sekitar 0,72% dari jumlah keseluruhan penduduk Bunga Bondar. Kondisi jarak yang tidak begitu jauh dari

kecamatan Sipirok dan memadainya angkutan kota mengakibatkan tidak banyak penduduk Bunga Bondar yang menekuni usaha berdagang ini.

Penulis mengamati bahwa penduduk Bunga Bondar sudah mempersiapkan

(41)

mereka pergunakan selama seminggu. Setiap seminggu sekali pada hari Selasa subuh

diadakan pasar (poken) yang khusus menjual bahan-bahan pokok lauk pauk, sayur mayor dan beberapa keperluan rumah tangga yang senantiasa dibutuhkan. Untuk beras

mereka tidak lagi membelinya karena mereka sendiri adalah petani.

Penduduk Bunga Bondar juga memanfaatkan tanah yang ada disekitar rumah mereka dengan menanam bahan pokok makanan seperti cabe, daun bawang, sayur. Hal

inilah yang membuat mereka lebih sehat karena mengkonsumsi makanan hasil tanaman sendiri dan jarang mengkonsumsi makanan yang mengandung zat kimia.

Apabila mereka kekurangan persediaan, mereka dapat berbelanja ke Sipirok dan hanya memakan waktu selama 30 menit dengan angkutan kota dan sekitar 15-20 menit dengan mengendarai sepeda motor.

2.4.3 Penduduk Yang Bermata Pencarian Industri/ kerajinan

Tabel berikut akan memaparkan secara terperinci tentang penduduk yang bermata pencarian dalam industri :

Tabel 6. Penduduk Yang Bermata Pencarian Industri/ kerajinan

Jenis Mata Pencarian Jumlah jiwa

Kerajinan tangan -

Industri kecil 1

Pandai besi -

Jumlah 1 Jiwa

(Sumber: Kantor Kepala Lurah Bunga Bondar, 2010)

Jikalau dilihat berdasarkan tabel di atas hanya 1 jiwa yang mempunyai usaha

(42)

datang ke desa ini untuk mengajarkan dan membantu masyarakat untuk membuka

usaha baru. Dari data yang diperoleh oleh penulis, beberapa penyuluhan yang sering dibuka di daerah ini adalah penyuluhan terhadap bercocok tanam dan pemberian

pupuk. Namun pada tahun 2010, perencanaan yang mereka adakan adalah bagian perhubungan dan gotong royong untuk prasarana produksi.

2.4.4 Penduduk Yang Bermata Pencarian Jasa

Dengan melihat tabel di bawah ini akan terlihat jelas persentase penduduk yang

bermata pencarian dalam bidang jasa seperti pegawai swasta yang berjumlah sekitar 42, 6% dan guru dengan persentase 31, 2 % dari jumlah keseluruhan penduduk yang bermata pencarian jasa. Namun dengan melihat keseluruhan jumlah penduduk Bunga

Bondar maka penduduk dalam bidang jasa hanya berjumlah 4, 9%.

Sebagai daerah kelurahan seharusnya terdapat dokter di desa ini. Namun hal ini

belum diperhatikan oleh kepala kelurahan karena penduduk yang juga tidak pernah mengeluh akan keberadaan dokter. Hal ini juga didukung dengan jarak Rumah Sakit Katolik yang berada di desa Hasang yang berjarak sekitar 1 km dari Bunga Bondar dan

ditempuh hanya sekitar 10-15 menit dengan kenderaan umum. Sementara di desa Bunga Bondar sendiri hanya tersedia Puskesmas dan dilayani oleh bidan dan tidak

(43)

Berikut akan dipaparkan secara terperinci tentang penduduk yang bermata

pencarian dalam jasa:

Tabel 7. Penduduk Yang Bermata Pencarian Jasa

Jenis Mata Pencarian Jumlah jiwa

Dokter - jiwa

Bidan 3 jiwa

Mantri - jiwa

Guru 19 jiwa

Pegawai Negeri 21 jiwa

Pegawai Swasta 26 jiwa

Dukun bayi 1 jiwa

Tukang cukur/ tukang pangkas 1 jiwa

Tukang jahit 1 jiwa

(Sumber: Kantor Kepala Lurah Bunga Bondar, 2010)

2.5 Bahasa

Masyarakat Bunga Bondar umumnya mempergunakan bahasa Angkola-Sipirok. Bahasa ini tidak hanya digunakan oleh warga asli Bunga Bondar saja namun

juga sudah digunakan oleh warga pendatang.

Bahasa Angkola-Sipirok memiliki sedikit perbedaan dengan bahasa Angkola yang sering didengar di kota Padangsidempuan atau diseluruh wilayah Tapanuli

Selatan. Selain dari bahasa, cara berbicara masyarakat Bunga Bondar juga berbeda. Misalnya tante dalam bahasa Angkola di kota Padangsidempuan disebut etek. Namun

(44)

Bahasa Angkola dituliskan dalam Surat Tulak-tulak yang dibaca dengan ejaan

latin yaitu A, HA, MA, NA, RA, TA, BA, WA, SA, NYA, I, YA, JA, LA, PA, DA, NGA, KA, GA, U, CA sebagai konsonan ina ni surat dan vokal E, I, U, O, dan U yang

disebut juga sebagai Anak ni surat. Untuk menandakan bunyi vokal pada Surat Tulak-tulak maka disisipkan simbol sebagai penanda bunyi vokal antara lain:

1. Lingkaran kecil (hauluan atau haluaan) dengan simbol (○) dipakai untuk bunyi i,

Contoh: mi =

α

2. Tanda lebih besar (haboritan atau haboruan) dengan simbol (>) dipakai untuk bunyi u,

Contoh: mu =

α

3. Tanda silang (hasialan atau sikora) dengan simbol (x) dipakai untuk bunyi o,

Contoh: mo =

α

x

4. Tanda penghubung sebelah kiri atas (hatadingan atau hatalingan) dengan simbol

(-) dipakai untuk bunyi e,

Contoh: me = ‾

α

5. Tanda penghubung sebelah kanan atas (hamisaran atau paninggil) dengan simbol

(-) dipakai untuk bunyi ng,

Contoh: mang =

α

6. Tanda garis miring ke kanan (pangolat) dengan simbol (\) dipakai untuk menghilangkan atau mamatikan bunyi a,

(45)

Bahasa yang dipakai masyarakat Angkola-Sipirok pada kegiatan sehari-hari

berbeda dengan bahasa yang dipakai dalam upacara-upacara adat dikarenakan dalam upacara- upacara banyak hal yang diumpamakan dan merupakan perlambangan yang

memiliki arti tersendiri. Demikian juga hal ini dikemukakan oleh Matondang11

1. Bahasa sehari-hari

, mengatakan bahwa ada empat ragam bahasa etnik Angkola yakni :

2. Bahasa pantun

3. Bahasa ratapan (andung)

4. Bahasa adat

2.6 Transportasi

Jalan menuju Bunga Bondar sudah sangat baik dikarenakan jalan besar bukan merupakan jalan yang dipakai untuk jalan lintas Sumatera yang dilewati oleh berbagai

angkutan umum. Transportasi di daerah ini sudah dapat dikatakan cukup baik. Angkutan yang tersedia adalah : sepeda motor, angkutan umum kota, dan juga mobil pengangkutan barang ke kota. Desa Bunga Bondar tidak lagi seperti desa yang susah

untuk dikunjungi dikarenakan ada tempat wisata yang dapat dikunjungi seperti Danau Marsabut di daerah Bunga Bondar Sappulu (X) dan melewati desa Bunga Bondar.

Meskipun desa Bunga Bondar hanya memiliki daerah sekitar 502 ha, namun dari segi tatanan desa, dan jalanan serta transportasi sudah dapat dikatakan baik sehingga bagi

11

Lihat

(46)

pendatang atau para wisatawan yang hendak berkunjung tidak mengalami kendala

dalam fasilitas kenderaan.

2.7 Sistem Kekerabatan Masyarakat Angkola-Sipirok

Pada masyarakat Angkola-Sipirok ada disebut falsapah Dalihan Na Tolu Jojak di Bondul Na Opat. Dalihan dahulu diawali dari batu kemudian dibuat lagi dari besi

dengan tiga kaki yang biasa dibuat untuk tungku (tataring). Dahulu tungku ini ditancapkan pada lantai agar tidak goyang dan dan diatasnya dibuat kayu sebanyak

empat dan inilah yang disebut dengan bondul. Bondul inilah yang akan menjaga dalihan yang berada di atas tungku agar tidak jatuh. Sehingga hal ini disebut falsapah bagi masyrakat Angkola-Sipirok dengan Dalihan Na Tolu Jojak di Bondul Na Opat.

Dan dalam ketetapannya dikatakan:

1. Manat sangape jamot markahanggi

2. Elek marboru

3. Hormat Marmora

Sedangkan Bondul Na Opat, yaitu: Hahutaon yang digambarkan pada

Hatobangon-Harajaon Bonabulu. Dalam istilah Angkola-Sipirok, nasi dapat masak

dengan lauknya di dalam periuk jika dimasak di atas tungku, artinya Dalihan Na Tolu

adalah adat tetapi tidak boleh keluar dari aturan di daerah, oleh karena itu harus melibatkan Bondul Na Opat (Hatobangon- Harajaon) di dalam kerja adat. Falsapah

Dalihan Na Tolu inilah yang menentukan tutur sapa masyarakat Angkola-Sipirok.

(47)

a. Mora

Mora artinya pengambilan perempuan untuk menjadi istri. Perempuan inilah yang akan menghasilkan keturunan supaya marga ayahnya tidak hilang dari garis

keturunan berikutnya.

Menurut orangtua dahulu, mora dalam keluarga adalah pemula/pangkal dan

mora itu adalah dari Pencipta, jiwanya memberi berkat dan juga pemberi wibawa

kepada anakborunya. Apabila ada pertentangan di dalam keluarga maka mora akan menjadi pihak yang mendamaikan tidak memihak sebelah sehingga ada peribahasa

yang mengatakan “Katian na so ra miling, batuan na so ra teleng“ yang berarti sebagai neraca beban dan anak timbangan tidak berat sebelah. Anakboru sangat percaya kepada moranya karena mora harus berdiri dengan kebenaran, bahkan

dikatakan mora mau bertindak rugi demi kesenangan anakboru. Karena mora dikatakan juru damai bagi anakboru, maka lahirlah suatu umpama:

Lelan ni Malombu

Siliming ni Raniate

Horas, mardame-dame anakboru

Anso sumonang ate-ate

Artinya seekor ikan yang bernama Lelan yang berasal dari Malombu dan ikan

yang bernama Siliming yang berasal dari Raniate, diharapkan selamat dan damailah Anakboru agar mora tetap gembira dan senang.

Penuturan dalam mora:

(48)

3. Istri dari tulang kita disebut Nantulang.

4. Anak laki-laki dari tulang kita disebut Tunggane

5. Anak perempuan dari tulang kita atau pariban kita disebut Anggi

6. Istri dari tunggane kita disebut Ompung 7. Anak lelaki dari tunggane kita disebut Tulang

8. Anak perempuan dari tunggane kita disebut Parumaen atau Maen

9. Tulang dari ibu kita= mora ni mora disebut Ompung 10. Anak laki-laki dari nenek ibu kita disebut Tulang.

b. Kahanggi

Kahanggi artinya teman semarga. Kahanggi terlihat keakrabannya dalam

satahi (semufakat), saparadaton (teman seadat), sapanganan (sepenganan),

sapangupaan(sepenerima berkah), salaksak sasingkoru saanak saboru (anak dari yang

satu dan anak yang satu lagi dalam pengertian luas sama-sama anaknya), sajop ni roha (satu kegembiraan), salungun (satu kerinduan), samalu sabile (dihina satu berarti semua yang dihina).

Penuturan dalam kahanggi :

1. Bapak ibu dari bapak kita disebut Ompung

2. Ayah kandung dari ayah kita disebut Amang 3. Ibu kandung kita disebut Inang

4. Anak laki-laki yang tertua dari kita disebut Angkang

5. Anak laki-laki yang termuda dari kita disebut Anggi

(49)

7. Anak perempuan dari ayah kita disebut Ito

8. Anak perempuan namboru dari ayah kita disebut Ito 9. Abang dari ayah kita disebut Amantua

10. Adik laki-laki dari ayah kita disebut Uda 11. Istri dari amantua kita disebut Nantua 12. Istri dari uda kita disebut Nanguda

13. Anak laki atau anak perempuan dari kita disebut Amang-Inang 14. Cucu dari ayah kita terhadap nenek kita disebut Nini dan Nono

15. Cucu kita terhadap nenek kita disebut Ondok-Ondok

Dalam ikatan markahanggi diharapkan terjalin hubungan yang erat karena dimana dan kapan saja mereka tetaplah satu keluarga. Seperti peribahasa dalam

masyarakat Angkola-Sipirok: “Tampulon aek do na marhamaranggi, sigaton lalai do

na Marmora” artinya, sifat air yang dihempang tidak akan menyatu karena ada

penghempangnya tetapi kalau sudah ditarik maka mereka akan menjadi satu. Dan inilah yang menjadi nasehat orangtua yang sudah pertama sekali diamalkan untuk menjauhkan selisih markahanggi. Perselisihan ini sering muncul dikarenakan harta

warisan dari ompung dan orang tua. Dan untuk menjaga agar perselisihan ini tidak terjadi maka dibuatlah sebuah umpama yang berisi:

Habang na Ambaroba

Tu bona ni sanduduk

Nada ra au marbada

(50)

Artinya tidak mau ceroboh dan tidak mau berkelahi dalam hal harta warisan

dari nenek.

c. Anak Boru

Anak boru artinya kelompok yang diberi gadis untuk menjadi istri dan menantu. Sementara yang mengambil anak gadis ini disebut bere dibagian mora dan

bere yang akan membantu mora. Meskipun boru (anak perempuan) tersebut sudah

menikah dan memiliki keluarga yang baru, rasa sayang tidak akan berhenti bahkan

semakin bertambah dalam doa supaya memiliki keturunan dan dapat diperhitungkan bagi masyarakat. Kedudukan boru (anak perempuan) tidak jauh berbeda dengan anak laki-laki.

Penuturan dalam Anak boru :

1. Kakak ataupun adik perempuan dari ayah disebut Namboru

2. Suami dari namboru kita disebut Amangboru 3. Anak lelaki dari amangboru kita disebut Lae

4. Anak perempuan dari amangboru kita disebut Ompung

5. Anak dari lae kita disebut Bere

6. Mantu dari amangboru kita disebut Ito

7. Tutur ibu kita terhadap amangboru kita disebut Ompung 8. Yang mengambil bere kita disebut Bere Huladongan

Sistem kekerabatan pada masyarakat Angkola adalah patrilineal (garis

(51)

dalam etnis Angkola-Sipirok adalah Siregar, Harahap. Pohan, Hasibuan, Hutasuhut,

Daulae, Rambe, dan Pane.

2.8 Kesenian

Masyarakat Sipirok mempunyai kesenian tradisonal yang pada dasarnya dipergunakn untuk upacara adat. Kesenian tradisional tersebut terdiri atas:

a. Seni musik

b. Seni suara / musik vokal

c. Seni rupa/ukir d. Seni sastra

2.8.1 Seni Musik

Seni musik tradisional masyarakat Sipirok dikenal dengan nama gondang.

Musik gondang dimainkan oleh pemain musik yang disebut dengan pargondang. Masyarakat Sipirok sering menyebutkan musik dengan kata gondang karena musik yang ditampilkan dalam upacara adat adalah gondang.

Godang merupakan suatu ensambel yang terdiri dari:

- Dua buah gendang bermuka dua (double headed drum) yang masing-masing

dinamakan gondang inang (gendang induk) atau gondang siayakon dan gondangpangayak (gendang anak).

- Dua buah gong yang masing-masing dinamakan ogung jantan (gong jantan)

(52)

- Satu buah doal (gong kecil)

- Sepasang tali sasayat (simbal kecil) - Satu suling bambu

Gbr 1. Gondang dua Gbr 2. Ogung

Gbr 3. Doal Gbr 4. Ogung dan doal

(53)

Gondang dimainkan pada saat pesta besar atau horja godang. Para pemain

gondang haruslah diminta terlebih dahulu untuk memainkannya barulah mereka

memainkan gondang setelah dilakukan upacara adat atau sering disebut dengan panaek

gondang. Maksudnya adalah agar bunyi gondang yang dimainkan sesuai dengan aturan adat yang telah ditetapkan.

Gondang yang mengiringi tor-tor memiliki repertoar yang masing-masing

disesuaikan dengan tor-tor yang diiringinya. Misalnya gondang suhut dengan lagu yang bernama gondang suhut dipergunakan untuk mengiringi suhut ketika melakukan

tarian adat (manortor).

Pada masa sekarang musik gondang tidak lagi hanya dimainkan dalam upacara adat, tetapi dapat jug dimainklan di luar upacara adat. Misalnya dalam kegiatan

kesenian dan ketika menyambut kedatangn tamu-tamu terhormat.

2.8.2 Seni Suara

Seni suara tradisional berupa musik vokal atau nyanyian yang hingga sekarang sangat poluper dalam masyarakat Siprok ada dua macam yaitu nyanyian tradisional

yang disebut onang-onang dan sitogol Keduanya bisa dinyanyikan oleh pria. Sitogol biasanya dinyanyikan oleh pemuda.

Seperti yang sudah dituliskan oleh penulis sebelumnya, onang-onang merupakan nyanyian yang dinyanyikan secara spontan dan biasanya dinyanyikan pada upacara adat. Penyanyinya disebut dengan paronang-onang dan dinyanykan dengan

(54)

Sitogol merupakan ende atau nyanyian tradisional yang terdapat dalam

kehidupan masyarakat Sipirok dan hingga kini masih sangat populer. Berbeda dari

onang-onang, sitogol lebih merupakan nyanyian hiburan yang berlaku dalam

kehidupan muda-mudi. Oleh karena itu sitogol yang biasa dinyanyikan oleh pemuda tidak begitu terkait dengan kegiatan adat. Pangaduan (1998:276) mengatakan, nyanyian sitogol hanya khusus dinyanyikan oleh muda-mudi pada masa yang lalu.

Misalnya pada upacara pamit yang dahulu dilakukan oleh muda-mudi pada waktu memberangkatkan pengantin dan akan meninggalkan desanya. Bahkan biasanya

muda-mudi akan menunggu pasangan pengantin itu dari luar batas desa. Dan ketika pengantin melintasi batas desa dinyanyikanlah sitogol oleh pemuda sebagai pengiring kepergian pangantin tersebut.

Lirik atau teks sitogol cenderung berisi hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan muda-mudi, seperti hal-hal yang berkaitan dengan cinta, rasa rindu, duka

cita, perpisahan dan lain-lain. Liriknya kadang-kadang diambil dari pantun yang poluler dalam kehidupan muda-mudi.

Nyanyian sitogol biasanya dinyanyikan dengan memainkan suling bambu atau

puput padi yang dinamakan ole-ole. Ole-ole bisa dimainkan oleh orang yang menyanyikan sitogol dan bisa pula dimainkan oleh orang lain. Dan sesuai dengan

aturan tradisi (adat), sitogol (yang berisi lirik yang romantik) hanya boleh dinyanyikan di luar desa.

Selain onang-onang dan sitogol ada lagi nyanyian yang dulu sering

(55)

seorang ibu atau kakak. Pada masa sekrang nyanyian ini sudah jarang dinyanyikan.

Bue-bue juga dapat dikategorikan sebagai nyanyian nina bobok.

2.8.3 Seni Tari

Dalam kehidupan masyarakat Sipirok terdapat suatu tarian yang disebut tor-tor. Sebagai tarian adat, tor-tor pada dasarnya hanya ditarikan dalam konteks adat. Tor-tor

dapat ditarikan oleh siapa saja karena tidak ada penari khusus untuk menarikannya. Setiap orang yang hadir dalam pesta adat dapat manortor dan diharapkan dapat

mengambil bagian di dalamnya karena tidak ada keahlian khusus yang harus dimiliki oleh setiap orang yang hendak menari.

Tor-tor diiringi oleh gondang dan onang-onang. Seperti seni musik (gondang),

tor-tor juga dilakukan sesuai dengan aturan adat. Artinya, tidak sembarang waktu

untuk manortor. Misalnya, dalam upacara perkawinan, tor-tor boleh dilakukan setelah

selesai menyampaikan pidato adat dalam suatu upacara yang disebut maralok-alok. Parlaungan (1998: 278) mengatakan bahwa ketika menarikan tor-tor, tidak dapat dilakukan dengan berpasangan yaitu laki-laki dan perempuan terkecuali tor-tornaposo

nauli bulung.

Tor-tor atau tarian adat yang terdapat pada masyarakat Sipirok diberi nama

sesuai dengan status adat atau status sosial orang-orang atau tokoh yang menarikannya dalam konteks adat. Oleh karena itu ada tor-tor yang dinamakan sebagai berikut :

1. Tor-tor Suhut Sihabolonan (tor-tor yang ditarikan oleh kelompok suhut )

(56)

4. Tor-tor Mora (tor-tor yang ditarikan oleh kelompok mora)

5. Tor-tor Hatobangon (tor-tor yang ditarikan oleh kelompok hatobangon)

6. Tor-tor Harajaon (tor-tor yang ditarikan oleh golongan harjaon atau

tokoh-tokoh adat)

7. Tor-tor Panusunan Bulung (tor-tor yang ditariakn oleh tokoh raja panusunan bulung)

8. Tor-tor Namura Pule (tor-tor yang ditarikan oleh pengantin)

9. Tor-tor Naposo nauli Bulung (tor-tor yang ditarikan oleh muda-mudi)

2.8.4 Seni sastra

Seni sastra yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Sipirok adalah seni

sastra berupa sastra lisan yang berbentuk prosa maupun puisi. Sastra lisan yang berupa prosa berupa cerita-cerita rakyat yang dinamakan turi-turian. Dan sastra lisan yang

berbentuk puisi berisi berupa pantun yang dinamakan ende-ende.

Selain cerita rakyat yang berbentuk pantun terdapat pula sastra lisan berbentuk perumpamaan yang disebut umpama dan peribahasa yang disebut hata tambisan

(Parlaungan 1998: 279).

2.8.5 Seni Rupa

Seni rupa yang terdapat pada masyarakat Angkola adalah seni ukir yang disebut dengan gorga. Gorga dapat dilihat pada rumah adat yang disebut bagas godang atau

sopo godang. Ukiran (ornamen) ini berupa hewan kalajengking yang tertera pada

Gambar

Tabel 1. Komposisi Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin
Tabel 2. Komposisi Penduduk Menurut Pendidikan
Tabel 3.  Komposisi Penduduk Menurut Agama
Tabel 4.  Penduduk Yang Bermata Pencarian Pertanian:
+4

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi dan mengklasifikasikan jenis-jenis makanan yang disajikan dalam setiap upacara adat Padang Bolak Batak Angkola,

Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran perkawinan adat Mandailing terhadap perkawinan Adat Melayu di Kelurahan Selat Lancang

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses upacara tradisi pasahat boru dalam perkawinan adat Angkola, menganalisis teks, konteks, dan koteks tradisi pasahat boru

Dalam etnik Angkola, salah satu acara adat terpenting dalam upacara perkawinan adalah markobar, yakni penyampaian kata-kata nasihat oleh kedua orang tua, keluarga, dan

Begitu juga dalam adat dan tata cara perkawinan etnis Angkola di Luat. Halongonan, dimana masyarakat mengalami perubahan dimana dapat kita

Tradisi tersebut merupakan rangkaian upacara adat yang masih hidup dan berkembang pada etnik Melayu Panai di Labuhanbatu Sumatera Utara.. Pesatnya arus balik budaya global

Gelas yang berisikan nasi putih atau kuning dalam tradisi nasi hadap- hadapan pada upacara adat Perkawinan Melayu Kecamatan Kualuh Hilir Kabupaten Labuhanbatu Utara

Dalam pelaksanaan pembagian waris adat Batak Angkola di kabupaten Padanglawas Utara kecamatan Padang Bolak, Lembaga Adat dan Budaya Padanglawas utara mempunyai