• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tata Cara dan Adat Perkawinan Pada Masyarakat Etnis Angkola (di Luat Halongonan Kabupaten Padang Lawas Utara)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tata Cara dan Adat Perkawinan Pada Masyarakat Etnis Angkola (di Luat Halongonan Kabupaten Padang Lawas Utara)"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Angkola sebenarnya adalah bagian wilayah pemerintahan daerah yang

sebelumnya berada dalam kawasan Kabupaten Tapanuli Selatan. Namun saat ini,

Kabupaten tersebut telah dibagi dalam beberapa wilayah tingkat II yaitu

Kabupaten Tapanuli Selatan, Kota Padang Sidimpuan, Kabupaten Padang Lawas

Utara dan Kabupaten Padang Lawas. Dengan demikian, secara mudah dapat

disebut wilayah-wilayah itu sebagai Tapanuli bagian Selatan. Sebenarnya

Angkola dahulu lebih dikenal sebagai Angkola Sipirok dengan wilayah cakupan

yang sangat luas yang meliputi perbatasan Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara,

termasuk Batangtoru Simangumban, Hopong, Sipirok, Saipar Dolok Hole dan

Hole, yang berbatasan dengan Kabupaten Labuhan Batu. Wilayah ini juga harus

dibedakan dari Mandailing karena Mandailing berbatas di sebelah Selatan dengan

Angkola, yaitu pada pertemuan sungai Batang Gadis dengan Sungai Batang

Angkola.

Konon pada masa dahulu tidak dikenal adanya nama Angkola. Menurut

legenda kampung yang ada pertama kali di daerah ini adalah Sitamiang, yang

didirikan oleh Oppu Jolak Maribu yang bermarga Dalimunthe.

Nama Angkola berasal dari nama sungai, yakni Batang Angkola yang diberi

nama seorang penguasa yang bernama Rajendra Cola. Diperkiran mereka masuk

(2)

Selanjutnya mereka berkuasa di sana untuk waktu yang cukup lama, oleh mereka

daerah di selatan Batang Angkola diberi nama Angkola Jae (hilir) dan di sebelah

utara sungai Batang Angkola diberi nama Angkola Julu (hulu).

Orang Angkola sendiri mengenal paham kekerabatan Patrilineal, yaitu

mewarisi marga dari garis keturunan ayah. Orang Angkola terdiri dari banyak

marga, antara lain : Marga Siregar, Marga Harahap, Marga Hasibuan, Marga

Rambe, Marga Daulay, Marga Tanjung, Marga Ritonga, Marga Hutasuhut, dll.

Umumnya masyarakat Angkola masih mengakui kekerabatan sejarah

mereka dengan Toba. Hal ini dibuktikan oleh para tokoh-tokoh mereka saat

penggabungan wilayah kewedanan (afdeling) mereka ke dalam wilayah

Keresidenan Tapanoeli diakhir abad ke-19 sampai dengan awal abad ke-20.

Berbeda dengan etnis Mandailing dan Pakpak yang tidak mengakui sebutan

pengklasifikasian Batak untuk etnis mereka. Begitu juga dengan etnis Karo dan

Simalungun yang sejak awal memang tidak dimasukkan oleh Belanda kedalam

wilayah Keresidenan Tapanoeli.

Orang Angkola sebagian besar memeluk agama Islam sejak sekitar tahun

1821 setelah mendapat serbuan dari pasukan Padri dari Minangkabau yang

menyebarkan Islam di bawah pimpinan Tuanku Lelo (Idris Nasution). Sebagian

besar orang Angkola yang takluk dari pasukan Padri demi keselamatan harus

memeluk Islam, sedangkan yang menghindar masuk ke pedalaman hutan-hutan

dan tetap mempertahankan agama dan adat mereka.

Setelah beberapa tahun berlangsung kekuasaan Padri di tanah Angkola,

maka masuk pasukan Belanda menaklukkan dan mengusir pasukan Padri dari

(3)

bertahan dari pengaruh Etnis Padri memilih memeluk Kristen yang dibawa oleh

para Misionaris Belanda. Walaupun dalam masyarakat Angkola terdapat 2 agama

yang berbeda, tapi kerukunan beragama sangat terjaga dengan baik dari dahulu

hingga sekarang.

Sama halnya dengan etnis lainnya, Orang Angkola juga mengadakan pesta

apabila ada anak laki-lakinya menikah. Pesta menikahkan anak disebut horja.

Besar kecilnya pesta atau horja ditentukan dengan pulungan atau hewan yang

disembelih untuk dibuat pangupa kedua pengantin. Kalau hewan yang disembelih

adalah kerbau, maka pesta itu disebut pesta besar atau horjagodang. Perkawinan

adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang membentuk

hubungan kekerabatan dan yang merupakan suatu pranata dalam budaya setempat

yang meresmikan hubungan antar pribadi yang biasanya intim dan seksual. Sistem

perkawinan di Angkola adalah Patrilineal.

Masa peralihan hidup (life cycle) yang terpenting dari semua manusia di

seluruh dunia adalah saat peralihan dari tingkat hidup remaja ke tingkat hidup

berkeluarga, yaitu perkawinan (Koentjaraningrat,1981 : 90). Hampir semua

kelompok etnis mengakuinya dengan berpedoman kepada nilai, aturan dan

kegiatan yang berhubungan dengan tahap tersebut

Penelitian ini merupakan suatu bentuk pengkajian tentang identitas orang

Angkola dilihat dari sudut pandang perkawinan. Selama ini orang Angkola selalu

dikait-kaitkan dengan etnis Mandailing, bahkan sebagian orang menganggap

bahwa Orang Angkola adalah etnis Mandailing. Tetapi sebenarnya orang Angkola

tidaklah sama dengan orang Mandailing, walaupun adat istiadat dan bahasa

(4)

Untuk bahasa yang digunakan Orang Angkola menggunakan bahasa Batak

Angkola sementara etnis Mandailing menggunakan bahasa Mandailing, namun

kedua bahasa ini hampir sama. Perbedaan umumnya hanya pada intonasi

pengucapannya, di mana bahasa Mandailing lebih halus dan pelan, sementara

bahasa Batak Angkola sedikit lebih keras dan kasar. Perbedaan dalam adat istiadat

dapat kita lihat pada pakaian pengantin laki-laki, dimana pengantin laki-laki dari

Angkola berwarna hitam dengan sedikit aksesoris sedangkan Mandailing

berwarna merah dan lebih banyak aksesoris. Tetapi kedua pengantin laki-laki

sama-sama memakai bulang. Untuk pengantin perempuan, pakaiannya sama.

Perbedaan yang lebih nyata kita lihat dari marga mereka.Marga etnis Mandailing

antara lain adalah Lubis, Nasution, Pulungan, Batubara, Parinduri, Matondang,

dan lain-lain. Sedangkan marga Orang Angkola antara lain adalah Siregar,

Harahap, Hasibuan, Rambe, Daulay, Tanjung, Ritonga, dan lain-lain.

Peneliti akan memfokuskan pembahasan pada tata cara dan adat perkawinan

orang Angkola. Seperti halnya etnis Batak Toba, penduduk Angkola juga

mempunyai sistem kekerabatan yang sama disebut dengan Dalihan Na Tolu.

Dalam masyarakat Angkola dikenal dengan tiga jenis perkawinan, yaitu

perkawinan dengan persetujuan keluarga (dipabuat), perkawinan tanpa

persetujuan orang tua (marlojong) dan takko mata perkawinan yang disetujui

kedua orang tua tetapi prosesnya seperti adat marlojong. Adat Angkola melarang

perkawinan semarga (incest) sebab bagi Orang Angkola kawan semarga adalah

saudara.

(5)

Ritonga Rambe Harahap Siregar

Ritonga Ritonga Ritonga Harahap Harahap Harahap

Siregar Siregar

Ritonga Ritonga

Skema I Bagan Struktur Patrilineal

Keterangan : = Laki-laki

(6)

Dalam penelitian ini, peneliti memilih Luat Halongonan sebagai lokasi

penelitian. Luat (wilayah) adalah sejumlah huta atau bona bulu (desa) yang

memiliki satu pemerintahan kerajaan adat yang dikepalai oleh Raja Luat yang

disebut Panusunan Bulung. Sedangkan huta atau bona bulu (desa) adalah

pemerintahan kerajaan adat huta atau bona bulu yang dikepalai oleh Raja Huta

atau Raja Bona Bulu. Raja Huta di Luat Halongonan terdiri dari dua marga yaitu

marga Harahap dan marga Siregar. Raja Huta marga Harahap berhak menjadi

Panusunan Bulung dan Raja Huta marga Siregar berhak menjadi Bayo-Bayo Luat

dalam satu horjagodang. Perjanjian batas dengan kerajaan lain dituliskan dengan

perjanjian Monis.

Luat Halongonan terdiri dari beberapa huta atau bona bulu yaitu:

- Huta atau bona bulu marga Harahap : Ujung Padang, Siancimun,

Halongonan, Situmbaga, Sihopuk Baru, Sihopuk Lama, Huta Baru Nangka,

Urung Sapot, Rondaman, Sigala-gala, Sirikki Jae, Sirikki Julu, Hiteurat,

Rokan Baru, Sipaho, Mompang.

- Huta atau bona bulu marga Siregar :. Bargottopong Jae, Bargottopong Julu,

Pagar Gunung, Rondaman Siburegar, Bolatan, Huta Puli.

Masyarakat Dalihan Na Tolu di Luat Halongonan mengatur kekeluargaan

dengan susunan tutur sopan santun agar dapat keharmonisan dan keserasian dalam

masyarakat dan keluarga. Menempatkan hubungan marga dalam bagian-bagian

yang sesuai dengan tempatnya menurut Tutur Sopan Santun, yang telah

digariskan dalam adat. Karena adat mempunyai rentetan segi-segi kehidupan

dalam masyarakat adat sehari-hari yang menyangkut tugas dan kewajiban anggota

(7)

Perkembangan keturunan diikuti pula oleh perkembangan partuturon

sehingga dengan menyebarnya turunan, timbullah marga-marga. Kemudian antara

marga yang satu dengan marga yang lain timbul perkawinan. Dengan demikian

teraturlah hubungan sopan santun dalam keluarga masyarakat adat itu. Saling

kenal-mengenal, harga-menghargai sesuai dengan jalur partuturon masing-masing

Untuk melestarikan kebudayaan yang ada, kemudian Raja Bona Bulu dan

Raja Luat difasilitasi oleh Pemda Kabupaten Padang Lawas Utara membentuk

suatu lembaga yaitu Lembaga Adat dan Budaya Kecamatan Halongonan, dimana

tujuan dibentuknya adalah untuk menaungi permasalahan-permasalahan yang ada

di adat perkawinan Angkola di Luat Halongonan.

Menurut Tongku Mukmin Harahap, selaku Ketua Lembaga Adat dan

Budaya Kecamatan Halongonan bahwa Lembaga Adat dan Budaya itu bertujuan

untuk mewariskan, melestarikan, mengembangkan budaya khususnya di

Kecamatan Halongonan kemudian mengadakan usaha-usaha penemuan,

pengumpulan, pengolahan bahan-bahan dan adat istiadat budaya yang ada di

Kecamatan Halongonan. Menanamkan dan memperluas pengetahuan masyarakat

terhadap adat istiadat budaya dalam membentuk penerus yang madaniah dan

membentuk kerja sama dengan pemerintahan.

1.2 Tinjauan Pustaka

Menurut Koentrajaningrat ada tiga wujud kebudayaan, yaitu :

1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai,

(8)

2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan

berpola dari manusia dalam masyarakat.

3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Wujud pertama adalah wujud ideal dari kebudayaan (koentjaraningrat 151).

Sifatnya abstrak, tidak dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada dalam kepala atau

dengan perkataan lain, dalam alam pikiran warga masyarakat tempat kebudayaan

bersangkutan itu hidup. Gagasan ini selalu berkaitan dan tidak bisa lepas antara

yang satu dengan yang lainnya. Keterkaitan antara setiap gagasan disebut sistem.

Koentjaraningrat mengemukakan bahwa “adat” dalam bahasa Indonesia

adalah kata yang sepadan untuk menggambarkan wujud kebudayaan pertama yang

berupa ide atau gagasan ini. Sedangkan untuk bentuk jamaknya disebut dengan

adat istiadat.

Wujud kedua dari kebudayaan disebut sistem sosial atau social system

(koentjaraningrat 151). Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia

yang berinteraksi, berhubungan dan bergaul yang dilakukan setiap waktu dan

membentuk pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sebagai

rangkaian aktivitas manusia dalam suatu masyarakat, sistem sosial itu bersifat

konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa di observasi, difoto, dan

didokumentasi.

Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik (koentjaraningrat

151). Wujud kebudayaan ini berupa seluruh hasil fisik, aktivitas, perbuatan, dan

karya semua manusia dalam masyarakat. Sifatnya paling konkret dan berupa

(9)

Dalam adat tata cara perkawinan orang Angkola merupakan suatu rangkaian

yang tidak terpisahkan dari tiga wujud kebudayaan tersebut. Dalam masyarakat

adat Luat Halongonan sudah tersirat dalam Surat Tumbaga Holing, yang

mengatur tata cara perkawinan yang harus dijalankan masyarakat. Selain itu

sistem sosial masyarakat di Luat Halongonan sudah diatur dalam sistem Dalihan

Na Tolu sehingga status dan posisi dia di dalam adat perkawinan diketahui.

Nilai-nilai, ide dan aktivitas sehari-hari yang kemudian terlihat pada saat membuat

perangkat adat pendukung horja godang (pesta besar) dalam pelaksanaan upacara

perkawinan. Perangkat adat tersebut adalah seperti: tapian raya bangunan, balai

nasi, pohon pisang, taratak dan sebagainya.

Di dalam adat perkawinan Angkola sudah diatur upacara perkawinan,

apabila seorang lelaki ingin menikah, ia dianjurkan menikah dengan putri

pamannya dari pihak ibu “boru tulang”. Sedangkan pernikahan dengan putri bibi

dari pihak ayah merupakan hal terlarang. Pernikahan semarga juga dilarang. Dan

oleh sebab itu, para orang tua menginginkan anaknya menikah dengan boru

tulangnya atau dengan paribannya. Sebab bagi masyarakat Angkola adat itu harus

dipatuhi dan dijunjung tinggi, istilahnya dalam ilmu antropologi adalah Cross

Cousin Matrilineal.

Menurut Koentjaraningrat (1980:90) dari sudut kebudayaan manusia,

perkawinan merupakan pengatur kelakuan manusia yang bersangkut paut dengan

kehidupan seksnya. Karena menurut pengertian masyarakat, perkawinan

menyebabkan seorang laki-laki tidak boleh melakukan hubungan seks dengan

sembarang wanita lain, tetapi hanya dengan satu atau beberapa wanita tertentu

(10)

Ia kemukakan pula bahwa perkawinan mempunyai beberapa fungsi lain.

Diantaranya ialah untuk memenuhi kebutuhan manusia akan teman hidup, hart,

gengsi dalam masyarakat dan untuk memberi ketentuan hak dan wewenang serta

perlindungan kepada hasil dari perkawinan (anak).

Perkawinan umumnya dimulai dan diresmikan dengan upacara perkawinan.

Umumnya perkawinan dijalani dengan maksud untuk membentuk keluarga.

Pernikahan dianggap sebagai bentuk ikatan yang suci dan sakral. Pernikahan

adalah kehidupan antara pria dan wanita yang saling mencintai, berjanji untuk

hidup bersama, dalam ikatan pernikahan yang sah menurut hukum. Pernikahan

merupakan lembaga yang diakui masyarakat, yaitu sebagai suami dan istri,

mendapatkan rasa aman, ketenangan batin, aktualisasi diri, mendapatkan

pemenuhan kebutuhan biologis dan mendapatkan keturunan (Bongaran Anthonius

Simandjuntak, 2002).

Di dalam Negara juga jelas diatur tentang perkawinan, dapat kita lihat pada

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Disebutkan bahwa

perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita

sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Selain di dalam Negara, perkawinan juga diatur dalam Agama Islam, yaitu

Perkawinan yang dalam istilah agama disebut “Nikah” ialah melakukan suatu

akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita

untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak untuk

(11)

ketentraman (mawaddah wa rahmah) dengan cara-cara yang diridhai oleh Allah

SWT (www.kemenag.go.id/file/dokumen/uuperkawinan.pdf).

Pada banyak etnis di Indonesia sewaktu memperbincangkan perjanjian-setia

disusul dengan “maskawin”. Dengan itu dimaksud sesuatu berupa uang atau

barang yang berhubungan dengan perkawinan itu. Tentang sifat maskawin itu

telah banyak yang ditulis. Dahulu ia dianggap sebagai harga pembayar istri itu

dan oleh sebab maskawin dinamakan, “kawin-beli”. Istilah-istilah yang dipakai

oleh etnis di indonesia seperti boli (batak), wilin (kei), weli (roti), oli (Toraja

Timur),dan lain-lain. Kawin-beli itu seharusnya terjadi dari suatu bentuk lama

kawin-rampas dan maskawin itu menjadi khas bagi etnis-etnis dengan clan

Patrilineal.

Marcell Mause dalam karya klasiknya The Gift (1954) mengemukakan

bahwa hadiah tidak pernah “bebas” diberikan tanpa ada kewajiban untuk

membalasnya. Dalam sejarah peradaban manusia hadiah selalu menimbulkan

kewajiban untuk terjadinya pertukaran yang bersifat timbal balik. Seseorang yang

mendapat hadiah (pemberian) dari orang lain memiliki kewajiban untuk memberi

balasan kepada orang yang telah memberinya hadiah, meskipun sifat pertukaran

yang terjadi diantara mereka berlangsung tidak setara (Collin, 1994). Pertanyaan

yang muncul kemudian adalah adalah ada kekuatan apa dibalik hadiah yang

diberikan seseorang sehingga menimbulkan kewajiban bagi si penerima hadiah

untuk membalasnya? Jawaban atas pertanyaan tersebut menurut Teori Mauss

adalah sebuah “prestasi total”, yang dijiwai dengan “mekanisme spiritual” yang

melibatkan kehormatan baik pemberi dan penerima (istilah “prestasi sosial” atau

(12)

material dengan cara menurut Mauss hampir “ajaib”. Dalam hadiah yang

dipertukarkan ada kehormatan dan harga diri dari pihak-pihak yang terlibat.

Semakin mahal atau mewah hadiah yang diberikan, maka semakin kuat martabat

itu ditegaskan.

Terkandung tiga kewajiban dalam teori pertukaran dari Marcell Mauss.

Pertama, memberi hadiah sebagai langkah pertama menjalin hubungan sosial.

Kedua, menerima hadiah bermakna sebagai penerima ikatan sosial. Ketiga,

membalas dengan memberi hadiah dengan nilai yang lebih tinggi menunjukkan

integritas sosial (koentjaraningrat, 1980). Kewajiban yang terjadi dalam

pertukaran hadiah itu bersifat resiprokal, sehingga nilai yang ada dalam hadiah itu

secara umum membumbung. Makin mahal nilai hadiah, maka semakin bagus,

sebab pihak-pihak yang terlibat (memberi-menerima-membalas) sedang

dipertukarkan.

Menurut Kephar, dalam Marcia Laswell and Thomas Laswell, 1982 pada

kenyataannya dalam pemilihan pasangan hidup banyak hal yang mempengaruhi

keputusan seseorang. Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi seseorang. Faktor

pertama yaitu kemudahan untuk bertemu dengan lawan jenis, faktor kedua yaitu

kesamaan ras dan ketiga yaitu kesamaan latar belakang sosial.

Ketertarikan dan penetapan yang memenuhi ketiga faktor tersebut diatas

tidak akan menimbulkan masalah. Sebaliknya, bila penetapan pasangan hidup

yang berbeda ras etnis atau latar belakang sosial dapat menimbulkan masalah

baru. Misalnya jika ia tidak menikah dengan pariban.

Dalam kaitannya dengan properti kebudayaan atas tindakan, kebudayaan

(13)

kompleks dan digunakan sebagai pedoman untuk menginterpretasi lingkungan

yang dihadapinya, berfungsi sebagai pedoman dalam bertindak guna memenuhi

kebutuhan-kebutuhan biologi, sosial, dan psikologinya demi keberadaaan manusia

pendukung kebudayaan yang bersangkutan (Malinowski, 1922; Geertz, 1973).

Dalam organisasi sosial terkandung pola-pola pengaturan kehidupan

bermasyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Pengaturan-pengaturan ini terlihat

dari adanya keteraturan dalam masyarakat dan adanya keterulangan aktivitas

dalam masyarakat. Wujudnya adalah aturan-aturan, norma-norma, nilai-nilai,

pandangan hidup dan sebagainya yang membimbing, mengarahkan perilaku yang

kemudian membuat perilaku-perilaku ini tampak teratur, tampak berulang dan

dapat diperkirakan.

Keberadaan organisasi sosial dapat diketahui dari adanya aktivitas-aktivitas

sejumlah individu bersama-sama yang berulang kembali dalam waktu-waktu

tertentu, adanya nilai-nilai, norma dan aturan yang mengendalikan atau

membimbing perwujudan aktivitas-aktivitas. Seringkali individu-individu ini

tergabung dalam suatu kelompok dengan nama tertentu. Dalam banyak

masyarakat, organisasi sosial lokal biasanya mempunyai nama-nama lokal dalam

bahasa lokal. Oleh karena itu organisasi sosial seperti ini biasanya juga khas

sifatnya yang berarti organisasi dengan nama lokal tersebut tidak ditemui di

tempat lain atau pada masyarakat suku bangsa yang lain.

Organisasi sosial lokal seringkali tidak diketahui lagi sejak kapan adanya,

karena sudah diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya selama puluhan

dan bahkan mungkin ratusan tahun. Organisasi seperti ini disebut organisasi sosial

(14)

ada masyarakat tanpa organisasi sosial dan organisasi sosial tersebut punya peran,

peran fungsi yakni aktivitas yang diharapkan dapat memberikan manfaat tertentu

kepada masyarakat dan kebudayaan setempat. Jika fungsi ini tidak ada, atau tidak

terpenuhi, organisasi sosial tersebut lama kelamaan akan menghilang dari

masyarakat, karena masyarakat akan merasa bahwa organisasi sosial tersebut

tidak memberikan keuntungan sama sekali terhadap kehidupan mereka. Ada

berbagai fungsi yang dapat atau mungkin dipenuhi oleh organisasi sosial,

diantaranya adalah fungsi sosial dan fungsi kultural.

Menurut ensiklopedia indonesia etnis berarti kelompok sosial dalam sistem

sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena

keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Anggota-anggota suatu

kelompok etnik memiliki kesamaan dalam hal sejarah (keturunan), bahasa (baik

yang digunakan ataupun tidak), sistem nilai, serta adat istiadat dan tradisi.

Di indonesia, identitas etnik seseorang jelas jika ia berasal dari ibu dan

bapak etnik yang sama, berdiam diri di sebuah wilayah tertentu yang memang

turun-temurun berdiam di daerah tersebut menggunakan bahasa daerah tertentu,

beserta segala atribut-atribut budaya yang memang diakui menjadi miliknya dan

diakui pula secara implisit atau eksplisit oleh etnik lain.

Jaringan sosial merupakan suatu jaringan tipe khusus, dimana “ikatan”

yang menghubungkan satu titik ke titik lain dalam jaringan adalah hubungan

sosial. Berpijak pada jenis ikatan ini, maka secara langsung atau tidak langsung

(15)

Sementara itu, hubungan sosial atau saling keterhubungan, menurut Van

Zanden merupakan interaksi sosial yang berkelanjutan (relatif cukup lama atau

permanen) yang akhirnya di antara mereka terikat satu sama lain dengan atau oleh

seperangkat harapan yang relatif stabil (Zanden, 1990). Berdasarkan hal ini,

hubungan sosial bisa dipandang sebagai sesuatu yang seolah-olah merupakan

sebuah jalur atau saluran yang menghubungkan antara satu orang (titik) dengan

orang lain dimana melalui jalur atau saluran tersebut bisa dialirkan sesuatu,

misalnya barang, jasa, dan informasi.

Dalam perkawinan orang Angkola, sama juga dengan adat Batak lainnya,

diiringi dengan tarian tor-tor. Tarian tor-tor sebenarnya tidak sama dengan tari,

atau tidak dapat dikatakan tari. Karena tor-tor mempunyai landasan falsafah adat.

Mempunyai bentuk sifat dan ciri khas yang tersendiri yang sejajar dengan adat

istiadat. Jadi tidak sekedar seni tari seperti tari lain-lainnya, yaitu untuk

menyenangkan hati dan senang serta dipandang mata. Tetapi tor-tor di sadari

dengan makna tertentu dan mengandung pengertian yang bersumber dari adat

istiadat.

Tor-tor dalam penampilannya dilakukan berpasangan di depan dan

dibelakang dengan jumlah yang sama. Yang berada didepan disebut “panortor”

dan yang berada di belakang disebut “pangayapi”. Mereka semua harus

menggunakan pakaian yang sopan, dimana yang laki-laki memakai kopiah

berwarna hitam dan kain sarung yang disebut “sisamping” sedangkan untuk

perempuan memakai basaen sebagai penutup kepala. Kemudian panortor

dipasangkan abit godang oleh pangayapi di bahunya, sebelah kanan untuk suhut

(16)

untuk mora. Waktu manortor, panortor maupun panagayapi tidak boleh memakai

sandal atau sepatu dan kaca mata, kecuali kedua pengantin.

Didalam tor-tor juga terdapat nyanyian yang mengiringinya, dimana

nyanyian itu berbeda dengan nyanyian biasanya yang kita dengarkan, nyanyian ini

biasanya berisi tentang pujian-pujian atau kata penyemangat bagi yang manortor.

Orang yang membawa nyanyian ini disebut dengan paronang-onang.

Dalam teori perubahan sosial ini dijelaskan bahwa evolusi mempengaruhi

cara pengorganisasian masyarakat utamanya yang berhubungan dengan sistem

kerja berdasarkan pandangan tersebut. dalam teori perubahan sosial evolusi dapat

dilihat terjadinya dari masyarakat. Mulai dari masyarakat tradisional yang

memiliki pola-pola sosial komunal yaitu pembagian dalam masyarakat yang

didasarkan oleh siapa yang lebih tua atau senioritas bukan pada prestasi personal

individu dalam masyarakat. Kemudian hal tersebut berubah ke arah yang lebih

kompleks.

Begitu juga dalam adat dan tata cara perkawinan etnis Angkola di Luat

Halongonan, dimana masyarakat mengalami perubahan dimana dapat kita lihat

pada pelaksanaan upacara perkawinan yang mengalami perubahan yang mana

dimulai 3 (tiga) hari 2 (dua) malam dan berubah menjadi 1 (satu) hari dan begitu

pula pada proses lainnya.

I.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang saya paparkan diatas,maka yang menjadi

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

(17)

2. Bagaimana proses upacara perkawinan berlangsung?

3. Bagaimana perubahan tata cara perkawinan?

I.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk lebih memperjelas identitas Orang

Angkola dari segi adat dan tata cara perkawinan di Luat Halongonan Kabupaten

Padang Lawas Utara. Sehingga nantinya masyarakat akan lebih mengetahui

bahwa adat Orang Angkola sedikit banyak ada perbedaan dengan adat etnis

Mandailing, ataupun untuk mencoba menghapus perspektif sebagian orang yang

selalu menyamakan Orang Angkola dengan etnis Mandailing, yang sebenarnya

ada perbedaan.

Selain tujuan, penelitian ini juga mempunyai manfaat yaitu pada bidang

akademis, dimana nantinya tulisan ini dapat menjadi bahan referensi bagi dosen

dan mahasiswa/pelajar, dimana nantinya mereka akan lebih mengenal Orang

Angkola dan dapat membedakannya dengan etnis lainnya. Dan untuk masyarakat

sendiri, pengetahuan mereka mengenai identitas adat dan istiadat Angkola lebih

bertambah sehingga masyarakat dapat lebih mencintainya dan melestarikannya.

I.5 Metode Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti akan menggunakan metode

penelitian kualitatif bersifat deskriptif. Dimana peneliti akan mendapatkan

data-data tertulis ataupun data-data lisan. Metode penelitian kualitatif merupakan sebuah

cara yang lebih menekankan pada aspek pemahaman secara mendalam terhadap

suatu permasalahan. Penelitian kualitatif adalah penelitian riset yang bersifat

deskriptif dan cenderung menggunakan analisis serta lebih menonjolkan proses

(18)

terhadap suatu permasalahan yang dikaji dan data yang dikumpulkan lebih banyak

kata ataupun gambar-gambar daripada angka.

Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan metode penelitian yaitu :

a. Observasi

Observasi adalah sebuah proses pengamatan atau pemantauan akan

suatu objek atau masalah yang dari hal tersebut akan diambil

laporan dan kesimpulan

Observasi dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang apa

yang diteliti baik itu tindakan, percakapan langsung dengan

informan dan ikut serta dalam kegiatan yang dilakukan.

Adapun tujuan dari observasi dalam penelitian ini adalah untuk

melihat langsung bagaimana jalannya prosesi adat dan tata cara

perkawinan pada masyarakat etnis Angkola di Luat Halongonan di

Kabupaten Padang Lawas Utara

b. Wawancara

Wawancara adalah percakapan antara dua orang atau lebih dan

berlangsung antara narasumber dan pewawancara. Tujuan dari

wawancara ini adalah untuk mendapatkan informasi di mana sang

pewawancara melontarkan pertanyaan-pertanyaan untuk dijawab

oleh orang yang diwawancarai. Wawancara yang dilakukan peneliti

dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (in-depth

intervie).

Adapun tujuan dari wawancara mendalam adalah untuk memperoleh

(19)

informan atau orang yang diwawancarai dengan atau tanpa menggunakan

pedoman (guide) wawancara, dimana peneliti dan informan terlibat dalam

kehidupan sosial yang lama.

Hubungan antara peneliti dengan pemberi informasi ( responden ) bukan

hubungan antara atasan dengan bawahan atau hubungan antara para ahli dengan

sebaliknya, melainkan peneliti datang adalah meminta dengan memohon

keediaannya dalam memberikan informasi. Apabila terjadi perubahan untuk

menemui responden harus melakukan pemberitahuan dengan disertai

alasan-alasan yang masuk akal.

Adapun daftar informan yang akan dimintai informasi oleh peneliti adalah

sebagai berikut:

 Tongku Mukmin selaku ketua lembaga adat dan budaya dan

budaya Halongonan

 Sutan Nalobi selaku Panusunan Bulung

 Tongku Parhimpunan selaku Bayo-Bayo Luat

 Sutan Raja Guru selaku Bayo-Bayo Luat

 Nursiti Harahap

 Irwan Siregar

Wawancara dengan informan akan menjumpai tipe-tipe yang beraneka

ragam yaitu dapat dijumpai informan yang mempunyai banyak pembicaraan

dengan pengetahuan yang cukup luas. Dengan luasnya pengetahuan memudahkan

dalam mengaitkan suatu permasalahan dengan lain hal yang dimaksudkan untuk

(20)

keadaan demikian justru sebaliknya menurut peneliti jawaban yang terlalu

berlebihan dan kurang relevan akan membuat permasalahan baru bagi peneliti

terutama apabila peneliti kurang menyadari banyak data yang terkumpul kurang

dapat dimanfaatkan seluruhnya, bahkan data terkumpul tidak dapat digunakan

untuk menjawab permasalahan.

Dalam melaksanakan penelitian ini, peneliti juga menggunakan beberapa

alat-alat untuk mendukung pengumpulan data sesuai dengan judul, dikarenakan

keterbatasan peneliti. Adapun alat-alat pendukung tersebut antara lain :

o Pedoman wawancara

Pedoman wawancara adalah sesuatu yang digunakan hanya berupa

garis-garis besar dari permasalahan topik penelitian, dimana

nantinya informasi yang di dapatkan dalam penelitian tidak

melenceng dari topik pembahasan sehingga data-data yang didapat

dilapangan dapat membantu menuntaskan tanda tanya dalam

penelitian. Pedoman wawancara ini berfungsi untuk memudahkan

si peneliti mengarahkan pertanyaan-pertanyaan atau poin-poin

terhadap informan

Pedoman wawancara sebagai alat bantu wawancara hanya

memberikan garis besar belaka atau pokok-pokok permasalahan,

tidak diwujudkan pertanyaan secara tuntas. Pedoman ini dalam

pemakaiannya masih perlu pengembangan lebih lanjut yang

merupakan variasi pertanyaan yang diciptakan secara spontan

(21)

Dalam praktek penelitian hasil jawaban para penanggap akan

menimbulkan permasalahan baru, dari sinilah perlunya untuk

mengembangkan lebih lanjut. Wawancara dengan sistem pedoman

ini memberikan kebebasan yang terbatas pada para penanya

(interviewer) untuk menanyakan lain di luar pedoman. Namun

kebebasan tersebut tetap terbatas sepanjang tidak menyimpang

dengan rencana penelitian yang telah dirumuskan.

o Alat perekam

Alat perekam adalah suatu proses menyalin ulang suatu objek,

apakah objek berupa gambar gambar suara atau apa saja, dengan

menggunakan media atau alat perekam tertentu yang hasilnya

dapat disimpan di suatu media penyimpanan atau tidak. Alat

perekam ini berfungsi untuk merekam perkataan-perkataan

informan sehingga informasi tidak sia-sia.

o Kamera foto

Kamera foto adalah alat yang digunakan untuk menangkap gambar

atau momen sedangka kamera video adalah alat yang digunakan

untuk mereka aktivitas atau kegiatan yang kemudian hasilnya

disimpan dalam memori card. Kamera foto ini berfungsi untuk

menangkap foto-foto penting yang berkaitan dengan judul

penelitian. Kamera video berfungsi merekan kejadian-kejadian

atau momen-momen penting yang menunjang penelitian tersebut.

(22)

Sewaktu penulis masih kecil sudah diperkenalkan adat istiadat Orang

Angkola khususnya adat perkawinan oleh kedua orang tua penulis. Penulis sangat

tertarik dengan adat istiadat perkawinan sebab penulis selalu puas dengan hiburan

yang terdapat didalamnya. Selain itu, penulis juga selalu terlibat di dalamnya,

setiap Naposo Nauli Bulung (muda-mudi) manortor, penulis selalu mangayapi

dibuat oleh ayah penulis.

Penelitian ini dimulai pada bulan Desember 2015, Penelitian ini saya mulai

dengan menemui ketua lembaga adat dan budaya dan budaya Kecamatan

Halongonan yaitu Tongku Mukmin di desa Urung Capot, penulis menceritakan

maksud dan tujuan penulis bertemu dengan beliau, setelah Tongku Mukmin

mengetahu maksud dan tujuan penulis, kemudian beliau berkata kalau ia masih

kurang paham mengenai makna-makan dan sejarah yang terkandung dalam adat

perkawinan kemudian beliau menyuruh penulis berjumpa dengan Sutan Nalobi

selaku bayo-bayo Luat di desa Ujung Padang, kemudian penulis meminta nomor

hp dari Sutan Nalobi, kemudian Tongku Mukmin menyuruh istrinya

mengambilkan hp di dalam rumah, sembari menunggu penulis bertanya-tanya

mengenai hal umum dari adat perkawinan, selagi asyik mengobrok istri Tongku

Mukmin pun keluar, kemudian ia membacakan nomor hpnya dan penulis

langsung mencatat di hp, kemudian penulis meminta ijin untuk pulang

Keesokan harinya penulis bertanya kepada orang tua penulis, desa Ujung

Padang dimana, kemudian orang tua penulis menjawab kalau desa Ujung Padang

tersebut jauh, simpangnya dari desa Hutaimbaru masuk ke dalam, penulispun

(23)

Kemudian orang tua penulis menyuruh menelpon Sutan Nalobi, tetapi penulis

tidak hiraukan dan beranjak meninggalkan rumah.

Kemudian penulis pergi menjemput teman penulis, dimana kami sudah

berteman dari kecil, iapun menyuruh saya menunggu sebab dia belum mandi,

kemudian penulis menunggu di depan rumahnya, tak berapa lama, ibu dari teman

saya ini keluar dan bertanya kami mau kemana, kemudian penulis pun menjawab

kami mau ke desa ujung padang mau jumpai Sutan Nalobi ada urusan kampus,

kemudian ibu teman penulis ini memberitahukan lokasi desa Ujung Padang,

sedang asyik mengobrol teman saya keluar dan mengatakan ia sudah siap,

kemudian kami pamit. Penulis langsung memacu sepeda motor ke desa Ujung

Padang. Sesampainya di Desa Hiteurat, teman saya menyuruh saya untuk

menelpon Sutan Nalobi, kemudian penulis memberhentikan sepeda motor dan

mengambil hp, kemudian penulis menelpon Sutan Nalobi. Ternyata Sutan Nalobi

tidak berada di desa Ujung Padang, beliau berada di desa Sipaho, saudaranya ada

yang pesta, penulispun langsung teringat ucapan orang tua penulis, kemudian

penulis bertanya kepada teman penulis, bagaimana ini, apa kita lanjutkan atau kita

pulang kemudian teman penulis menjawab kita lanjutkan saja, kita lihat dulu jalan

ke desa Ujung Padang bagaimana sekalian kita cari rumahnya, agar besok kita

tidak mencari lagi. Kemudian penulis kembali menghidupkan sepeda motor dan

berangkat. Di tengah perjalanan penulis melihat warung kopi, kemudian penulis

berhenti untuk istirahat sejenak, kemudian kami memesan teh manis panas dan

gorengan, tak lupa kami bertanya kepada pemilik warung desa Ujung Padang apa

masih jauh atau tidak. Selesai istirahat kemudian kami lanjutkan perjalan,

(24)

bertanya bagaimana apa sudah bertemu dengan Sutan Nalobi, kemudian saya

menjawab kalau Sutan Nalobi tidak ada di kampungnya, kemudian dia menyuruh

kami untuk pulang, akhirnya kami pulang ke rumah dan belum sampai di desa

Ujung Padang.

Keesokan harinya penulis kembali menelpon Sutan Nalobi, penulis bertanya

apa beliau ada kesibukan hari ini, kalau tidak ada penulis ingin bertemu dan

datang ke rumahnya, kemudian sutan nalobi mengatakan ia berada di desa

Hutaimbaru, kemudian penulis kembali bertanya apa beliau sibuk disana, kalau

tidak saya ingin mengobrol sebentar, kemudian ia menjawab kalau beliau tidak

sibuk, beliau sedang menunggu temannya, yah sudah datang saja saya tunggu

disini. Kemudian penulis kembali mengajak teman penulis, kamipun langsung

memacu kenderaan sepeda motor ke desa Hutaimbaru. Sesampainya di desa

Hutaimbaru, penulis melihat Sutan Nalobi sedang duduk di bangku di dekat jalan

raya, kemudian penulis mendekatinya dan memperkenalkan diri. Kemudian beliau

mengajak penulis mencari tempat yang sunyi agar mengobrolnya lebih tenang,

tetapi kami tidak menjumpai tempat yang tenang, kemudian Sutan Nalobi

mengajak kami ke kantor Lembaga adat dan budaya dan budaya Kecamatan

Halongonan, kemudian beliau mengambil sepeda motornya dan kamipun

berangkat. Sesampainya di kantor Lembaga adat dan budaya dan budaya

Kecamatan Halongonan, Sutan Nalobi mengajak kami ke warung, di warung

tersebut terdapat pondok-pondok, dan kamipun duduk di salah satu pondok

tersebut, kemudian Sutan Nalobi memesan teh manis panas untuk kami bertiga.

Kemudian penulis menyampaikan tujuan dan maksud menjumpai beliau,

(25)

mulai wawancara, penulis menyiapkan camera dslr penulis dan hp untuk merekam

segala perbincangan kami. Tak terasa hampir satu jam kami mengobrol, kemudian

Sutan Nalobi meminta ijin untuk menyelesaikan wawancara sebab beliau takut

kalau temannya nanti sampai, kemudian penulis mengiyakan dan data yang

penulis butuhkan sudah terjawab semua, kemudian penulis menyuruh teman

penulis untuk membayar minuman kami

Orang tua penulis menyuruh untuk mencuci mobil, kemudian penulis

mengeluarkan mobil dan membawanya ke tempat cuci mobil, penulis menunggu

sampai mobil selesai dicuci. Dalam menunggu tersebut, Tongku Parhimpunan

mencuci mobil juga, penulis merasa beruntung, penulis tidak membuang-buang

kesempatan, pertama-tama penulis bertanya yang umum-umum saja, setelah

penulis melihat beliau semakin asyik menjawab kemudian penulis mulai

bertanya-tanya kepada beliau mengenai adat perkawinan, beliaupun dengan semangat

menjawab yang ia ketahui.

Saat ada pesta perkawinan di kampung sebelah, penulis pun tidak

buang-buang kesempatan, penulis datang ke pesta tersebut dan melihat bagaimana

proses-proses adat perkawinan, di sela-sela kosong, penulis menjumpai raja-raja

dan bertanya bagaimana sejarah adat perkawinan dan simbol-simbol yang

terkandung di dalamnya, kemudian mereka menjawab, untuk lebih jelas

mendingan kamu jumpai Sutan Nalobi di desa Ujung Padang, penulispun

bingung.

Penulis juga bertanya-tanya kepada orang tua laki-laki penulis, bagaimana

jalannya upacara, bukan tanpa sebab penulis membuat orang tua penulis sebagai

(26)

orang tua laki-laki penulis juga pernah tinggal di desa Bargottopong Jae, sehingga

orang tua laki-laki selalu dipercaya membawakan acara-acara adat terutama adat

perkawinan dan orang tua perempuan adalah keturunan raja di kampung, sehingga

ia juga mengetahui sedikit banyaknya adat perkawinan ditambah ibu penulis

adalah ketua wirit Kecamatan Halongonan. Tetapi ketika penulis berada di rumah,

orang tua penulis tidak serius membantu, ketika penulis bertanya, mereka asyik

dengan pekerjaannya tetapi ketika penulis berada di kota Medan dan penulis

bertanya melaui telepon orang tua penulis dengan semangat memberitahukan

kepada penulis.

Ketika penulis mengahdiri acara perkawinan di desa Bargottopong Jae,

penulis kembali berjumpa dengan Sutan Nalobi. Ketika waktu makan siang,

penulis menghampiri Sutan Nalobi, dan bertanya apa dia sibuk atau tidak,

kemudian ia menjawab ai tidak sibuk. Kemudian kami pergi ke satu rumah yang

sunyi. Penulis kemudian membuka percakapan dengan mengatakan bahwa

wawancara yang kami lakukan waktu itu masih kurang. Penulis kemudian

bertanya, upacara-upacara apa saja yang terdapat di rumah pengantin laki-laki dan

perempuan? Sutan Nalobipun menjawab, upacara –upacara adat yang terdapat di

rumah kedua pengantin berbeda, kalau di rumah pengantin perempuan, dimulai

dari martahi duhu antara orang tua pengantin perempuan dengan Kahanggi dan

Anak borunya baru lanjut ke manyapai boru, disini pihak calon pengantin akan

datang ke rumah calon pengantin perempuan, biasanya yang datang hanya

perwakilan saja yaitu Kahanggi dan anak boru. Mereka akan bertanya kepada

raja-raja sama hatobangon, kalau mereka ingin melamar anak gadis yang ada di

(27)

raut dan mora akan memberikan persyaratan kepada pihak calon pengantin

laki-laki. Kalau mereka menyanggupi persyaratan tersebut, baru mereka bisa menikah.

Kemudian dilanjutkan acara makkobar boru, disini pihak pengantin laki-laki

akan datang kembali ke rumah calon pengantin perempuan, dimana

persyaratan-persyaratan tadi sudah mereka cukupi. Jika pihak kahanggi, anak boru, mora,

pisang raut dan utamanya pihak harajaon/hatobangon puas dengan persyaratan

yang dibawa oleh pihak calon pengantin laki-laki, maka kedua pengantin akan sah

menjadi suami isteri menurut adat, kemudian besok paginya mereka akan

disahkan menjadi suami isteri menurut agama dengan mengucap ijab qabul.

Setelah selesai, kemudian masuk ke Paturunkon Barang. Disini kedua

pengantin akan diupa-upa dengan kambing, disini akan mandokkon hata, mulai

dari orang tua, sisolkot na donok bope nadao. Setelah selesai baru kemudian

kedua pengantin akan mencicipi upa-upa tersebut, yang mereka cicipi hati dan

garam. Barang-barang pengantin akan diletakkan di tengah-tengah kemudian

naposo nauli bulung mengambil abit godang dan membuat beberapa simpul dan

diletakkan di atas barang tersebut. dimana nanti pihak pengantin laki-laki akan

mengisi tiap simpul tersebut sebagai upa nantinya untuk naposo nauli bulung

mengangkat barang tersebut ke mobil yang sudah disediakan pengantin laki-laki.

Kemudian pengantin perempuan akan mangandung ke orang tuanya, karena

dia akan meninggalkan rumah dan pergi ke rumah suaminya. Pengantin

perempuan akan menggendong ayam, menjunjung bahul-bahul yang berisi beras

dan sonduk (sendok), kemudian dibahunya membawa bambu yang berisi air yang

(28)

Itulah kalau upacara-upacara adat di tempat perempuan, kalau di tempat

laki-laki berbeda lagi, di tempat laki-laki dimulai dari haroan boru, disini kedua

orang tua pengantin laki-laki akan mengundang kahanggi, anak boru, mora,

pisang raut dan harajaon/ hatobangon untuk datang kerumahnya,pihak keluarga

pengantin akan menyediakan itak gur-gur santan paborgo-borgo, maksudnya

diharapkan kedua pengantin mendapat rejeki yang melimpah dan kehidupan

keluarganya selalu dingin. Disini juga mandokkon hata, yang intinya semua

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Aplikasi Belajar Berhitung merupakan sebuah aplikasi multimedia yang berisi soal-soal berhitung untuk murid taman kanak-kanak ditambah dengan pengenalan bentuk serta pengenalan

[r]

dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Direktur.. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai etika

To improve earthquake engineering practice in Indonesia through detailed review and discussion of state-of-the-art procedures applied by prominent engineers to evaluate

Bagi peserta yang akan menggunakan harga khusus anggota HATTI/KNIBB, setelah mendapat konfirmasi keanggotaan aktif dari HATTI/KNIBB, kami akan mengirimkan konfirmasi pendaftaran

pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan

[r]