• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makna Dan Fungsi Mangupa Pada Upacara Perkawinan Masyarakat Angkola Sipirok Kajian Semiotika

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Makna Dan Fungsi Mangupa Pada Upacara Perkawinan Masyarakat Angkola Sipirok Kajian Semiotika"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

MAKNA DAN FUNGSI MANGUPA PADA UPACARA PERKAWINAN MASYARAKAT ANGKOLA SIPIROK KAJIAN SEMIOTIKA

SKRIPSI SARJANA

Dikerjakan Oleh

NAMA : HOTMIDA SINAGA NIM : 090703003

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN SASTRA DAERAH

PROGARAM STUDI BAHASA DAN SASTRA BATAK MEDAN

(2)

PENGESAHAN Diterima Oleh :

Panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi

salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Sastra dalam bidang Ilmu Bahasa dan

Sastra di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan.

Hari/ Tanggal : ……….

Fakultas Ilmu Budaya USU

Dekan

Nip : 195110131976031001 Dr. Syahron Lubis, M.A

Panitia ujian :

No Nama Tanda Tangan

1. ………

2. ………

3. ………...

4. ………

(3)

Disetujui Oleh :

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

MEDAN

2014

Departemen Sastra Daerah

Ketua

(4)

MAKNA DAN FUNGSI MANGUPA PADA UPACARA PERKAWINAN MASYARAKAT ANGKOLA SIPIROK KAJIAN SEMIOTIKA

Dikerjakan Oleh

Nama : HOTMIDA SINAGA Nim : 090703003

Disetujui Oleh

Pembimbing 1, Pembimbing II,

Drs. Baharuddin, M. Hum

NIP:196001011988031007 NIP: 195905021986011001 Drs. Asrul Siregar, M. Hum

Diketahui Oleh : Departemen Sastra Daerah

Ketua

(5)

ABSTRAK

Hotmida, 2014. Judul Skripsi : Makna dan Fungsi Mangupa Pada Upacara Perkawinan Masyarakat Angkola Sipirok Kajian Semiotika.

Penelitian ini merupakan penelitian tentang Mangupa pada masyarakat Angkola di Sipirok yang ditinjau dari kajian Semiotika. Ferdinan de Saussure mengatakan bahwa tanda memiliki dua entitas yaitu signifier dan signified’ atau ‘tanda dan makna’ atau ‘penanda dan tanda’. Keduanya saling berkaitan satu sama lain. Kombinasi keduanya dalam semiotika disebut tanda. Istilah tanda dapat pula diidentikkan dengan bentuk yang mempunyai makna

Upacara mangupa adalah kebudayaan Angkola yang hingga sekarang masih dilaksanakan oleh masyarakat Sipirok. Upacara mangupa mempunyai perlengkapan yang memiliki makna dan fungsi.. Pierce ( dalam Sobur, 2003:42) membagi tanda atas tiga bagian yaitu ikon, indeks, simbol. Ikon adalah hubungan antara tanda dan acuannya berupa hubungan kemiripan.

Tujuan penelitian ini ialah untuk menjelaskan Makna dan Fungsi mangupa Pada Upacara Perkawinan Masyarakat Angkola Sipirok, dan menjelaskan bahan-bahan apa saja yang ada pada mangupa tersebut.

Metode dasar yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode deskriptif.

Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan/melukiskan keadaan obyek/subyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya).

Simpulan penelitian ini menunjukkan bahwa upacara mangupa memiliki makna-makna yang berhubungan dengan masyarakat pendukungnya. Upacara adat

mangupa atau haroan boru ini biasa dilaksanakan pada saat melaksankan horja

atau pesta perayaan pernikahan anak laki-laki.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala berkat dan karunia yang dilimpahkan-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat

menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Judul skripsi ini “ Fungsi dan Makna Mangupa pada Upacara Perkawinan

Masyarakat Angkola”. Bab I : Pendahuluan, Bab II : Tinjauan Pustaka, Bab III :

Metode Penelitian, Bab IV : Pembahasan, Bab V : Simpulan dan Saran.

Judul ini dipilih karena penulis merasa tertarik untuk mengkaji lebih

dalam tentang upacara mangupa dalam masyarakat Angkola. Terwujud skripsi ini

bukanlah semata-mata jerih payah penulis sendiri, tetapi tidak terlepas dari

bantuan berbagai pihak. Maka dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan rasa

hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah

memberikan bantuan moril maupun materi sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan maupun kelemahan yang ada

dalam skripsi ini. Akhirnya dengan kerendahan hati, penulis mengharapkan saran

dan kritikan yang bersifat konstruktif demi penyempurnaan skripsi ini.

Medan, Oktober 2013

Penulis,

(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK………..……..….….i

KATA PENGANTAR………...ii

DAFTAR ISI………….………...……… iii

UCAPAN TERIMA KASIH………...……vii

BAB I PENDAHULUAN………. 1

1.1Latar Belakang Masalah………..…..………... 1

1.2 Rumusan Masalah………...….………... 4

1.3 Tujuan Penelitian……….. 4

1.4 Manfaat Penelitian……… 5

1.5 Anggapan Dasar……… 5

1.6 Letak Geografis ……… 6

1.6.1 Kecamatan …….………..………...……….…. 7

1.6.2 Pemekaran………...…….. 7

1.6.3 Kecamatan yang menjadi wilayah Kabupaten Padang Lawas ... 8

1.6.4 Kecamatan wilayah Kabupaten Padang Lawas Utara….………...8

1.7 Mata Pencaharian……….. 8

1.8 Budaya Masyarakat Angkola ………..………..…. 10

1.9 Adat Masyarakat Angkola ……….………..….…….. 10

1.10 Sistem Kekerabatan………..………. 11

1.11 Sistem Organisasi Sosial ………..……….13

1.12 Sitem Religi ………..……….………...……….…..…. 15

BAB II KAJIAN PUSTAKA……….…..….. 17

2.1 Kepustakaan yang Relevan……….……….... 17

2.2. Teori yang digunakan ………….……….…..……….... 19

2.2.1 Teori Semiotika …………...………... 19

(8)

2.2.3 Teori Fungsi………..……...………... 21

BAB III METODE PENELITIAN………...23

3.1 Metode Dasar………...23

3.2 Lokasi Penelitian……….………..…...24

3.3 Sember Data Penelitian...…………..….. ………24

3.4 Instrumen Penelitian……..….………..…....25

3.5 Metode Pengumpulan Data…...……….…..25

3.6 Metode Analisis Data…...………...……....….26

BAB IV PEMBAHASAN……….………27

4.1Upacara Mangupa..………..………..………..27

4.2Pengertian Mangupa………...………..29

4.3Komponen Upacara Mangupa………..………30

4.3.1 Tempat Upacara …………....……….30

4.3.2 Pemimpin dan Peserta……….31

4.3.3 Tujuan………....…….32

4.4.4 Sasaran dari Pangupa………...………...33

4.4.5 Hubungan Pangupa dengan Tondi………..33

4.4Bahan-bahan Pangupa………..………34

4.4.1 Tingkatan dan Isi Pangupa………...………..………34

(9)

Kepala Kerbau/Kambing………..……….38

4.4.2 Tempat Pangupa………..……….….40

4.4.3 Cara Menghidangkan Pangupa……….41

4.4.4 Tata Laksana……….………..…..42

4.4.4.1 Persiapan …………...…………...………..42

4.4.4.2Pelaksanaan …………..………….………42

a. Pembukaan Oleh Orang Kaya…...…..….………...……42

b. Hata Pangupa dari Suhut Sihabolonan, kahanggi, Anak Boru dan Pisang Rahut dari Pihak Ibu-………....…44

c. Hata Pangupa dari Suhut Sihabolonan, Kahanggi, Anak Boru dan Pisang Rahut dari Bapak-bapak…………..…45

d. Hata Pangupa dari Harajaon ………….…………..……45

e. Penutup Pengantin Mencicipi Hidangan Pangupa dan Memberikan Hata Pangupa ………..………..……53

f. Doa atau Mantra ……….…...54

g. Nilai-nilai ………54

h. Pantangan Dan Larangan ………..……… 55

BAB V SIMPULAN DAN SARAN………..……… 57

5.1 Simpulan ……… 57

5.2 Saran……….…………58

DAFTAR PUSTAKA ……… 59 LAMPIRAN

Lampiran 1. Daftar Nama Informan Lampiran 2. Peta Sipirok

(10)

Ucapan Terima Kasih

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Tuhan

Yang Maha Esa yang telah memberikan kesehatan dan berkah untuk

menyelesaikan penulisan skripsi ini hingga selesai. Penulis juga menyadari bahwa

dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah memberikan saran, dukungan,

bimbingan, dan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung.

Dalam kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya

USU. Bapak Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II, Pembantu Dekan III,

serta seluruh staff dan pegawai dijajaran Fakultas Ilmu Budaya.

2. Bapak Drs. Warisman Sinaga, M.Hum, selaku Ketua Departemen Sastra

Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, serta seluruh

staff dan jajaran pegawai yang di Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu

Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Herlina Ginting, M.Hum, selaku Sekertaris jurusan Departemen

Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Drs. Baharuddin, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang telah

banyak memberikan bimbingan dan arahan juga meluangkan waktu,

tenaga, dan pikiran demi selesainya skripsi ini.

5. Bapak Drs. Asrul Siregar, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang juga

selalu mendukung dan memberikan arahan dan masukan-masukan kepada

(11)

terima kasih kepada Bapak karena telah sabar, semangat dan mendukung

penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

6. Yang teristimewa kepada Ayahanda Pandapotan Sinaga dan Ibunda

tercinta Nurmince Nainggolan, yang telah banyak berkorban baik dalam

materi, tenaga dan pikiran. Serta telah banyak melimpahkan kasih sayang

dan doa kepada penulis sedari kecil sampai dengan sekarang sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi untuk mendapatkan gelar sarjana dari

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

7. Abang (Riky Sinaga), adik (Christin Sinaga), adik (Wily Sinaga), adik

(Selfana Sinaga ) terima kasih atas support serta doa yang telah kalian

berikan dan selalu memberikan saya semangat dalam penyusunan skripsi

ini.

8. Kepada Masyarakat Desa Hutapadang dan Bapak Kepala Desa yang telah

memberikan respon yang baik kepada penulis dalam pengumpulan data di

lapangan hingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

9. Teman-teman Mahasiswa/I seperjuangan Dewi Kusuma Nasution,

Nurrahmadani Syahfitry, Satria Sinaga, Umai Ema, Nikson Sihombing,

Josua Purba, Japatar Purba, Zainal Purba, Andika Lubis, Reyking

Simare-mare, Azwar Pohan dan seluruh anak IMSAD yang belum penulis

sebutkan, terima kasih penulis ucapkan atas bantuan dan dorongan serta

doa yang diberikan kepada penulis.

10.Kepada teman-teman kos di 291 yang selalu memberikan dorongan kepada

(12)

Semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan pada kesempatan ini, yang telah

membantu penulisan dan proses studi. Kiranya Tuhan Yang Maha Kuasa

senantiasa membalas segala kebaikan yang telah diberikan oleh semua pihak

kepada penulis. Penulis menyadari akan keterbatasan penulis, maka hasil

penelitian ini masih terdapat kekurangan dan kelemahan, untuk itu koreksi dan

masukan dari berbagai pihak diharapkan penulis guna penyempurnaannya.

Semoga penulisan ini berguna bagi pihak-pihak yang memerlukannya.

Medan, Januari 2014

Penulis,

(13)

ABSTRAK

Hotmida, 2014. Judul Skripsi : Makna dan Fungsi Mangupa Pada Upacara Perkawinan Masyarakat Angkola Sipirok Kajian Semiotika.

Penelitian ini merupakan penelitian tentang Mangupa pada masyarakat Angkola di Sipirok yang ditinjau dari kajian Semiotika. Ferdinan de Saussure mengatakan bahwa tanda memiliki dua entitas yaitu signifier dan signified’ atau ‘tanda dan makna’ atau ‘penanda dan tanda’. Keduanya saling berkaitan satu sama lain. Kombinasi keduanya dalam semiotika disebut tanda. Istilah tanda dapat pula diidentikkan dengan bentuk yang mempunyai makna

Upacara mangupa adalah kebudayaan Angkola yang hingga sekarang masih dilaksanakan oleh masyarakat Sipirok. Upacara mangupa mempunyai perlengkapan yang memiliki makna dan fungsi.. Pierce ( dalam Sobur, 2003:42) membagi tanda atas tiga bagian yaitu ikon, indeks, simbol. Ikon adalah hubungan antara tanda dan acuannya berupa hubungan kemiripan.

Tujuan penelitian ini ialah untuk menjelaskan Makna dan Fungsi mangupa Pada Upacara Perkawinan Masyarakat Angkola Sipirok, dan menjelaskan bahan-bahan apa saja yang ada pada mangupa tersebut.

Metode dasar yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode deskriptif.

Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan/melukiskan keadaan obyek/subyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya).

Simpulan penelitian ini menunjukkan bahwa upacara mangupa memiliki makna-makna yang berhubungan dengan masyarakat pendukungnya. Upacara adat

mangupa atau haroan boru ini biasa dilaksanakan pada saat melaksankan horja

atau pesta perayaan pernikahan anak laki-laki.

(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya dengan budaya. Setiap suku di

Indonesia memiliki tradisi sukunya masing-masing. Bangsa adalah suatu

komunitas etnik yang ciri-cirinya adalah: memiliki nama, mitos leluhur bersama.

Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku dan menghasilkan budaya

yang beraneka ragam.

“Kebudayaan adalah hasil karya manusia dalam usahanya

mempertahankan hidup, dan mengembangkan taraf kesejahteraan dengan segala

keterbatasan kelengkapan jasmaninya serta sumber-sumber alam yang ada

disekitarnya (Geertz, 1973a). Kebudayaan boleh dikatakan sebagai perwujudan

tanggapan manusia terhadap tantangan-tantangan yang dihadapi dalam proses

penyesuaian diri mereka dengan lingkungan. Kebudayaan adalah keseluruhan

pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial yang digunakannya untuk memahami

dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka

landasan dan mendorong terwujudnya kelakuan. Defenisi ini kebudayaan dilihat

sebagai mekanisme kontrol bagi kelakuan dan tindakan-tindakan manusia atau

sebagai pola-pola bagi kelakuan manusia”.

Suku didefenisikan sebagai sebuah golongan dan menjadi identitas yang

paling mendasar dan umum, serta terbentuk berdasarkan latar belakang tempat

kelahiran seseorang maupun latar belakang keluarganya, serta digunakan sebagai

(15)

kelompok orang yang memiliki latar belakang budaya, sejarah, dan nenek moyang

yang sama. Negara kita terdiri dari banyak suku di antaranya adalah suku Batak.

Batak terdiri atas 5 etnis yakni : Toba, Karo, Simalungun, Pak-pak Dairi,

Angkola/Mandailing. Suku Batak merupakan suku yang terkenal dengan sebutan

marga sebagai garis keturunan patrilineal yang secara generasi ke generasi

mempunyai garis keturunan marga yang berbeda-beda berdasarkan garis

keturunannya. Bahasa Batak memiliki banyak persamaan dengan bahasa sub etnis

lainnya.

Masyarakat Batak umumnya memiliki bahasa dan adat-istiadat yang

berbeda tetapi perbedaan tersebut tidak menjadikan perpecahan di antara

masyarakat Batak. Demikian juga halnya dengan masyarakat Angkola memiliki

berbagai budaya dan adat-istiadat. Masyarakat Angkola ialah yang mendiami

wilayah Angkola dan wilayah Sipirok yang terdapat di Kabupaten Tapanuli

Selatan. Penelitian ini akan membahas tentang makna dan fungsi mangupa

masyarakat Kecamatan Sipirok. Pada upacara tersebut ada beberapa perlengkapan

yang paling utama. Pira manuk na ni hobolan, manuk, hambeng, dan lain

sebagainya. Upacara mangupa atau upah-upah merupakan salah satu upacara adat

yang berasal dari Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.

Upacara mangupa bertujuan untuk mengembalikan tondi ke badan dan

memohon berkah dari Tuhan Yang Maha Esa agar selalu selamat, sehat dan

murah rezeki dalam kehidupan. Upaya mengembalikan tondi ke badan dilakukan

dengan cara menghidangkan seperangkat bahan (perangkat pangupa) dan nasihat

(16)

dilakukan oleh berbagai pihak yang terdiri dari orangtua, raja-raja dan pihak-pihak

adat lainnya.

Upacara mangupa mempunyai tanda yang masing-masing mengandung

makna dan informasi. Setiap tanda yang ada dalam upacara mangupa masyarakat

Angkola mempunyai makna tersendiri yang tidak terlepas dari kehidupan

masyarakat sekitarnya. Selain itu tanda tersebut mencerminkan perilaku, pikiran

atau ide-ide masyarakat yang bersifat kesopanan, didikan, bijaksana, yang harus

dijalankan oleh kedua mempelai agar rumah tangga mereka tetap utuh.

Terciptanya informasi atau makna dari tanda itu semua dari hasil konvensi

masyarakat setempat. Kepada generasi berikutnya diharapkan agar dapat

mempertahankan makna tanda tersebut serta dapat menumbuhkan sikap

kepedulian terhadap tanda yang merupakan ciri khas bagi kebudayaan Masyarakat

Angkola.

Upacara mangupa banyak dijumpai bentuk tanda yang mempunyai arti.

Dalam Pettinasry, 1996:2) menegaskan bahwa :

“Sebuah tanda seharusnya ditempatkan pada posisi, supaya dapat menghasilkan makna yang kemudian dapat membentuk suatu gambaran mengenai suatu benda yang mempunyai makna tambahan dan demikian halnya dengan pesan yang ingin disampaikan melalui suatu tanda atau simbol”.

Tanda-tanda dalam upacara mangupa tidak terlepas dari makna.

Tanda-tanda yang ada dalam upacara mangupa memiliki fungsi sebagai cerminan

kepribadian masyarakat Angkola. Masyarakat Angkola diharapkan tetap menjaga

segala bentuk, aturan, dan kegunaan tanda-tanda sehingga tatanan adat-istiadat

tetap berlanjut. Hal itulah yang mendorong peneliti mengadakan penelitian

(17)

Meskipun sebelumnya sudah banyak ahli-ahli budaya yang meneliti

tentang upacara mangupa di Kecamatan Sipirok hanya sebatas penelitian

deskriptif. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan

mengkaji makna yang terdapat pada tanda yang ada pada upacara mangupa.

Penulis akan mengkaji adat mangupa pada masyarakat Batak Angkola Sipirok ini

dari segi semiotika, karena penulis merasa tertarik untuk mengetahui arti atau

makna dari tanda atau simbol-simbol yang ada pada upacara mangupa masyarakat

Angkola Sipirok.

1.2. Rumusan Masalah

Menghindari pembicaraan atau pembahasan yang menyimpang dari

permasalahan, penulis akan membatasi masalah agar pembahasan terarah dan

terperinci.

Perumusan masalah sangat penting bagi pembuatan skripsi ini, karena

dengan adanya perumusan masalah ini maka deskripsi masalah akan terarah

sehingga hasilnya dapat dipahami dan dimengerti oleh pembaca. Masalah

merupakan suatu bentuk pertanyaan yang memerlukan penyelesaian atau

pemecahan. Bentuk perumusan adalah biasanya berupa kalimat atau pertanyaan

yang semakin menarik atau menambah perhatian.

Adapun masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah :

1. Apakah makna dari mangupa pada masyarakat angkola?

2. Apakah fungsi dari mangupa pada masyarakat Angkola?

(18)

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Menjelaskan makna dari mangupa pada masyarakat Angkola.

2. Menjelaskan fungsi dari mangupa pada masyarakat Angkola.

3. Menjelaskan bahan apa saja yang ada dalam upacara mangupa

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari hasil penelitian ini adalah :

1. Sebagai referensi kepustakaan khususnya fungsi dan makna pada upacara

mangupa masyarakat Angkola.

2. Menjadikan arsip di Departemen Sastra Daerah untuk dibaca oleh

mahasiswa Sastra Daerah.

3. Untuk memberi wawasan baru tentang makna dan fungsi mangupa pada

upacara perkawinan masyarakat Angkola, khususnya masyarakat Angkola

Sipirok.

1.5 Anggapan Dasar

Suatu penelitian seharusnya memerlukan anggapan dasar yang dapat

memberi gambaran arah pengumpulan data yang berhubungan dengan masalah

yang diteliti.

Arikunto (1987:17) “mengatakan anggapan dasar adalah sesuatu yang diakui kebenarannya oleh peneliti dan berfungsi sebagai pijakan bagi peneliti dalam melaksanakan penelitian tersebut”.

Oleh sebab itu, anggapan dasar inilah yang merupakan dasar dan titik tolak

(19)

Pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa anggapan dasar harus berdasarkan

kebenaran yang objektif, maksud kebenaran yang objektif ialah apabila anggapan

dasar tersebut dapat dibuktikan kebenarannnya.

1.6 Letak Geografis Sipirok

Daerah Sipirok merupakan sebuah Kecamatan yang berada di Provinsi

Sumatera Utara berjarak 385 km dari kota Medan, sedangkan dari kabupaten

Tapanuli Selatan dengan ibukotanya Sipirok ke Kecamatan Pahae Jae dengan

ibukotanya Pahae, yaitu daerah yang bersebelahan dan merupakan daerah yang

berada di Kabupaten Utara jaraknya 42 km. Tepatnya letak Kecamatan Sipirok ini

berada dalam jalur lintas Sumatera bagian barat dan merupakan jalan utama yang

menghubungkan Pulau Sumatera dengan Pulau Jawa.

Kecamatan Sipirok dan Ibukotanya Sipirok berada di daerah perbatasan

antara etnis Angkola dan etnis Batak Toba. Untuk jelasnya keberadaan daerah

Sipirok adalah sebagai berikut :

- Sebelah timur berbatas dengan Kecamatan Padang Bolak.

- Sebelah barat berbatas dengan Kecamatan Batang Toru.

- Sebelah utara berbatas dengan Kecamatan Pahae Jae.

- Sebelah selatan berbatas dengan Padang Sidempuan.

Luas kecamatan Sipirok 72,085 km, dengan ketinggian di atas 900 m dari

permukaan laut. Sebagaimana dengan daerah-daerah yang ada di Indonesia

dengan ketinggian seperti itu, Kecamatan Sipirok merupakan juga mempunyai

musim yang sama dengan tempat-tempat lainnya, yaitu musim hujan dan musim

(20)

selain menanam padi daerah ini menghasilkan tanaman yang tidak tergantung

pada air, seperti karet, kopi, lada, kayu manis, tembakau, cengkeh, dan lain

sebagainya.

1.6.1 Kecamatan

Kabupaten Tapanuli Selatan terdiri atas 14 kecamatan yaitu:

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

1.6.2 Pemekaran

Nama Kecamatan Padang Sidempuan dihapus dengan pemekaran menjadi

Kecamatan Padang Sidempuan Utara dan Kecamatan Padang Sidempuan Selatan

(21)

Sidempuan Barat (menjadi Angkola Barat) dan Kecamatan Padang Sidempuan

Timur (Angkola Timur) menjadi bagian dari Kabupaten Tapanuli Selatan.

1.6.3 Kecamatan yang menjadi wilayah Kabupaten Padang Lawas

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

1.6.4 Kecamatan yang menjadi wilayah Kabupaten Padang Lawas Utara

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

(22)

1.7 Mata Pencaharian

Mata pencaharian utama masyarakat adalah bertani dengan menanam padi

di musim penghujan. Baik yang mengolah tanah pertaniannya milik sendiri, atau

mengusahakan tanah milik orang lain dengan sistem bagi hasil. Setiap bulan

September-Desember petani turun kesawah dan mengelola sawahnya.

Jika cukup baik dengan curah hujan cukup, maka para petani lebih mudah dalam

mengelola sawahnya. Pengerjaan sawah, dari mulai mengolah tanah sampai

dengan menanam memakan waktu 2-3 bulan, sedangkan waktu untuk

mendapatkan hasil panen 5-6 bulan dari waktu tanam.

Jika selesai panen disawah mereka melanjutkan pekerjaannya dengan

menanam tanaman muda atau palawija, seperti cabai, kacang tanah, kacang

panjang, kacang merah, kacang kedelai, jagung, dan lain sebagainya. Masa

penanaman palawija dilakukan pada awal musim kemarau, sehingga petani harus

bekerja keras mencari air guna menanam tanaman itu. Penyiraman dilakukan 2

kali, yaitu pagi dan sore. Cara penyiramannya juga sangat sederhana seperti

menggunakan alat ember dan gayung. Tanaman palawija yang mereka tanam dan

telah menghasilkan, mereka kembali lagi menanam palawija yang disesuaikan

dengan tanaman padi berikutnya. Hasil yang diperoleh oleh petani sebahagian

dikonsumsi sendiri dan sebahagiannya lagi dijual untuk keperluan lainnya antara

lain menyekolahkan anak-anaknya dan bersosialisasi dengan keluarga, kerabat

ataupun jiran tetangga.

Selain bertani mereka juga mempunyai keahlian lain, seperti membuat

kramik/grabah, kerajinan tangan dan manik-manik berupa dompet, tempat sirih,

(23)

1.8 Budaya Masyarakat Angkola

Kebudayaan Masyarakat Angkola dalam banyak hal mempunyai

persamaan dengan kebudayaan masyarakat Mandailing. Adat-istiadat kedua

masyarakat tersebut tidak banyak berbeda. Demikian juga bahasanya.Masyarakat

Angkola merupakan masyarakat agraris yang hidupnya banyak tergantung kepada

pertanian, sawah dan perkebunan yang ditanami dengan karet, kopi, kulit manis,

dan lain-lain. Masyarakat Angkola pada umumnya bertempat tinggal beberapa

desa. Umumnya desa-desa tersebut terletak tidak jauh dari lahan persawahan dan

perkebunan milik penduduk. Desa tempat tinggal dinamakan huta.

1.9 Adat Masyarakat Angkola

Acara perkawinan etnis Angkola, sistem kekerabatan yang terbentuk

dalam struktur Dalihan Na Tolu sangat penting kedudukannya dan berperan

dalam upacara mangupa.

Ketiga unsur fungsional dari sistem sosial Dalihan Na Tolu itu

masing-masing disebut mora, kahanggi, dan anak boru. Mora merupakan anggota kerabat

yang berstatus sebagai pemberi anak dara dalam perkawinan. Kahanggi adalah

anggota kerabat satu marga. Anak boru adalah anggota kerabat yang berstatus

sebagai penerima anak dara dalam perkawinan. Antara para kerabat yang berstatus

sebagai mora dan berstatus sebagai anak boru terdapat hubungan perkawinan.

Diantara sesama kerabat yang berstatus sebagai kahanggi terdapat hubungan

(24)

Prinsipnya, adat yang merupakan kaidah atau norma-norma, menata dan

memolakan perilaku orang-orang Angkola dalam hidup bermasyarakat.

Sistem sosial Dalihan Na Tolu yang terdapat dalam kehidupan masyarakat

Angkola, merupakan suatu mekanisme tradisional yang berfungsi untuk

menjalankan adat sebagai suatu kekuatan penggerak perilaku hidup

bermasyarakat. Kekuatan penggerak dalam mekanisme adat yang berupa sistem

sosial Dalihan Na Tolu itu, adalah tiga komponen fungsionalnya yang terdiri dari

mora, kahanggi, dan anak boru yang masing-masing anggota kerabat yang satu

sama lainnya terikat oleh hubungan perkawinan atau hubungan darah. Ketiga

komponen fungsional dari sistem sosial itu, dikonsepsikan oleh masyarakat

Angkola-Hutapadang (Sipirok) sebagai suatu Dlihan (tungku) penumpu yang

terdiri dari tolu (tiga) unsur fungsional, yakni mora, kahanggi dan anak boru.

1.10 Sistem Kekerabatan

Pelaksanaan upacara adat mangupa, berkaitan erat dengan sistem

kekerabatan yang dianut oleh masyarakat Angkola-Sipirok. Oleh karena itu perlu

diuraikan beberapa hal penting mengenai sistem kekerabatan masyarakat

Angkola. dalam sistem kekerabatannya, masyarakat Angkola-Sipirok menganut

garis keturunan patrilineal (garis keturunan dari pihak ayah). Berdasarkan garis

keturunan yang patrilineal itu, masyarakat Angkola membentuk

kelompok-kelompok kekerabatan besar yang disebut marga sebagai gabungan dari

orang-orang yang merupakan keturunan dari seseorang-orang kakek bersama. Oleh karena itu

di dalam masyarakat Angkola terdapat sejumlah marga yang masing-masing

mempunyai namanya sendiri-sendiri, seperti marga Siregar, Harahap, marga Pane,

(25)

Hubungan kekerabatan yang timbul akibat terjadinya perkawinan.

Melahirkan dua macam status kekerabatan yang masing-masing disebut mora dan

anak boru. Orang-orang yang berada dalam pihak yang memberi anak gadis

dalam perkawinan berstatus sebagai mora dan orang-orang yang berada dalam

pihak penerima anak gadis dalam perkawinan berstatus anak boru. Sistem

kekerabatan yang berlaku pada masyarakat Angkola, setiap orang dapat

memperoleh status kekerabatan sebagai mora, kahanggi, dan anak boru.

Masing-masing kekerabatan tersebut memberikan kepada seseorang hak dan kewajiban

tertentu yang satu sama lain berlain-lainan. Hak dan kewajiban seseorang dalam

statusnya sebagai mora berlainan dengan hak dan kewajiban yang ditentukan oleh

status kekerabatan itu dapat dilihat pada waktu seseorang ikut dalam pelaksanaan

upacara adat atau pada waktu orang-orang yang berlainan status kekerabatannya

sedang berinteraksi.

Hubungan ini ungkapan yang berbunyi:

Somba Marmora elek maranak boru, manat markahanggi” yang artinya

“Hormat terhadap mora, pandai-pandai mengambil hati anak boru, bersikap

cermat terhadap kahanggi”. Ungkapan tersebut dengan jelas mengungkapkan

bahwa seseorang yang berstatus sebagai mora berhak untuk dihormati oleh

kerabatnya yang berstatus anak boru, dan sebagai orang yang berstatus kahanggi

ia wajib bersikap cermat terhadap kerabatnya yang punya status sama, dan ia juga

punya hak untuk memperoleh perlakuan yang cermat dari kerabatnya yang

mempunyai status sebagai kahanggi.

Sejalan dengan sistem kekerabatannya, masyarakat Angkola mempunyai

(26)

dan mengatur panggilan yang harus digunakan oleh seseorang terhadap para

kerabatnya sesuai dengan status kekerabatannya masing-masing. Dua orang

laki-laki yang masing-masing punya status kekerabatan kahanggi misalnya

menggunakan panggilan angkang (abang) dan anggi (adik). Dalam hal ini yang

usianya lebih tua menggunakan panggilan anggi terhadap yang berusia lebih

muda. Sebaliknya, yang berusia lebih muda menggunakan panggilan angkang

terhadap yang berusia lebih tua.

1.11 Sistem Organisasi Sosial

Masyarakat Sipirok (Hutapadang) menganut sistem perkawinan exogami.

Marga yang menetukan bahwa perkawinan hanya boleh dilakukan antara

orang-orang yang berlainan marga. Perkawinan dilakukan dengan adat manjujur.

Artinya dalam pelaksanaan perkawinan calon pengantin laki-laki diwajibkan

memberikan mas kawin yang disebut tuhor kepada pihak calon istrinya. Di

samping itu, calon pengantin laki-laki harus menjemput calon istrinya untuk

dibawa kerumah orang tuanya. Upacara persemian perkawinan secara adat yang

disebut horja haroan boru yang diselenggarakan dirumah orang tua pengantin

laki-laki.

Upacara adat untuk meresmikan perkawinan hanya boleh dilakukan

setelah lebih dahulu mendapat persetujuan dari tokoh-tokoh pimpinan tradisional

setempat itu dinamakan harajaon dan hatobangon.

Waktu sistem pemerintahan tradisional masih berlaku dalam wilayah

Angkola Hutapadang (setelah masa kemerdekaan tidak berlaku lagi),

masing-masing komunitas desa yang disebut huta di wilayah tersebut dikepalai oleh

(27)

Pemerintahan dijalankan secara demokrasi oleh Raja Pamusuk

bersama-sama dengan sejumlah tokoh pemimpin masyarakat. Kependudukan mereka yang

melembaga sebagai pimpinan, Raja Pamusuk disebut sebagai harajaon (yang

dirajakan) dan tokoh-tokoh pemimpin atau pemuka masyarakat yang ikut yang

menjalankan pemerintahan bersama raja disebut sebagai hatobangon (tokoh-tokoh

yang dituakan).

Selain raja yang berpangkat sebagi Raja Pamusuk. Di wilayah Angkola

dahulu terdapat pula raja-raja yang berpangkat Raja Panusunan Bulung yang

berkedudukan didesa induk ialah desa asal dari penduduk yang kemudian pergi

membuka desa-desa lain yang berstatus sebagai anak dari desa induk. Dalam

pelaksanaan pemerintahan, antara suatu desa induk dengan desa-desa yang

berstatus sebagai anaknya tidak terdapat hubungan struktural. Karena

masing-masing desa anak menjalankan pemerintahan secara otonom, tetapi dalam hal

urusan adat, misalnya dalam penyelenggaraan upacara-upacara adat, desa-desa

anak tetap terikat secara struktural dengan desa induk masing-masing. Hal ini

Raja Panusunan Bulung memegang wewenang tertinggi untuk mengesahkan

keputusan musyawarah adat yang harus dilakukan untuk setiap penyelenggaraan

upacara adat, seperti upacara adat perkawinan dan kematian.

Masa sekarang, setelah sistem pemerintahan tradisional dihapuskan,

eksistensi Raja Panusunan Bulung, Raja Pamusuk, dan Hatobangon hanya

berlaku dalam konteks penyelenggaraan upacara adat. Demikian juga wewenang,

hak dan kewajiban mereka yang tradisional. Dalam urusan pemerintahan mereka

(28)

Karena hingga kini hak dan wewenang para pemimpin tradisional itu

dalam urusan adat masih tetap berlaku dan diakui oleh masyarakat, maka

tokoh-tokoh Harajaon Panusunan Bulung harus diikutsertakan dalam setiap

musyawarah adat yang dilakukan dalam konteks penyelenggaraan upacara adat,

seperti upacara mangupa. Seperti upacara mangupa. Merekalah yang memegang

wewenang sepenuhnya untuk mengesahkan berlakunya semua hasil mufakat yang

dibuat melalui musyawarah itu. Demikian, masyarakat Angkola yang ada di

Hutapadang (Sipirok) tidak dapat menyelenggarakan upacara adat tanpa

persetujuan dan pengesahan dari harajaon, hatobangon, dan panusunan bulung.

Begitulah keadaannya yang berlaku dalam masyarakat Angola-Hutapadang

sampai saat ini.

Prosedur Mengambil keputusan :

1. Suhut Sihabolonan/Sepangkalan : Penyampai niat dan hajat

2. Ompu Nikotuk (khusus Angkola) : Menyimpulkan.

3. Hatobangon Nihuta : Penjawab/Penjelasan

4. Raja Nihuta : Penjawab/Penjelasan

5. Raja Adat yang Semarga : Penjawab/ seadat/penjelasan

6. Raja adat dari daerah na humaliang humaloho : penjawab/memberi

pendapat.

7. Raja-Raja Torbing Balok : Penjawab/memberi pendapat.

8. Orang Kaya/Goruk-goruk Hapinis : Penyusun apa-apa yang akan

dilaksanakan.

9. Raja Pangondian( khusus Angkola) : Menyimpulkan pendapat

Raja-raja Torbing Balok.

10.Raja Panusunan Bulung : Menutup/mengucapkan Horas 3 kali (Sutan

Managor, 1995: 21)

1.12 Sistem Religi

Agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan

peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan

dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Kata "agama"

(29)

menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal darireligio dan berakar padare-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya

dengan bereligi, seseorang mengikat dirinya kepad

Masa sekarang umumnya orang-orang Angkola menganut agama Islam,

dan hanya sedikit yang menganut agama Kristen (protestan). Tetapi nenek

moyang mereka pada zaman dahulu (sebelum agama Islam dan Kristen masuk ke

wilayah Angkola-sipirok) menganut religi tradisional yang dikenal sebagai pele

begu (pemujaan roh-roh nenek moyang). Ajaran religi tersebut mengakui adanya

berbagai macam mahluk halus dan kekuatan-kekuatan gaib yang dapat

menimbulkan pengaruh buruk, misalnya penyakit dan mala petaka, atas diri

manusia. Selain itu ada juga mahluk halus dan kekuatan gaib yang dapat memberi

kekuatan memberikan kebaikan gaib bagi manusia.

Pengaruh masuknya agama Islam dan agama Kristen ke wilayah Angkola

maka lama-kelamaan penduduk di wilayah tersebut meninggalkan Religi

pele-begu. Karena kedua agama tersebut memberantas dengan keras sistem religi

tradisional yang sama sekali bertentangan dengan ajaran Islam dan Kristen.

Namun demikian, sebagian dari upacara yang berasal dari masa berlakunya

pemujaan terhadap roh nenek moyang masih tersisa penyelenggaraannya

disesuaikan dengan keadaan yang tidak dilarang oleh agama yang dianut oleh

(30)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Pustaka yang Relevan

Kepustakaan yang relevan atau sering juga disebut tinjauan pustaka ialah

salah satu cara untuk mendapatkan referensi yang lebih tepat dan sempurna tentang

informasi/data yang ingin kita teliti. Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan,

dan pendapat (sesudah menyelidiki atau mempelajari). Sedangkan pustaka adalah

kitab, buku, primbon (Alwi dkk, 2003 :912).

Memudahkan referensi pendukung, teori dan konsep yang berhubungan

dengan tulisan ini, yang dapat dijadikan sebagai bahan acuan pedoman penulis

terlebih dahulu melakukan tinjauan kepustakaan yang berguna untuk

memudahkan penulis dalam mencari data-data tambahan yang berhubungan

dengan judul yakni : Tinjauan Pragmatik pada Upacara Mangupa Masyarakat

Tapanuli Selatan oleh Asrul Siregar. didalam buku tersebut dikatakan bahwa

dalam upacara Mangupa, hal yang paling sering disebut-sebut adalah tondi. Tondi

adalah kekuatan, tenaga, semangat jiwa (soul force) yang memelihara ketegaran

rohani dan jasmani agar tetap seimbang dan kukuh, keras dan menjaga harmoni

kehidupan setiap individu (Harahap, 1991 :226). Tenaga spiritual yang gaib itu

dapat dipancarkan kepada orang lain dalam arti mengayomi dan membahagiakan

orang lain. Tondi merupakan roh yang berdiri sendiri. dalam keadaan tidak sadar,

tondi seseorang berada di luar badan dan jiwanya. Ketika seseorang sedang tidur,

misalnya tondi dapat mengembara sesukanya dan bahkan mungkin juga bertemu

dan bergabung dengan begu ‘roh jahat’. Pengalaman tondi yang mengembara

(31)

ditafsirkan maknanya. Itulah sebabnya bila seseorang akan melakukan suatu

perbuatan yang sangat penting, dia meminta agar tondi-nya pergi berkonsultasi

dengan roh-roh leluhur untuk mendapatkan petunjuk apakah pekerjaan yang akan

ia lakukan pantas untuk dilakukan. Misalnya dengan membaca mantra,

menyediakan ramuan tertentu. jika tondi meninggalkan badan, maka orang itu

akan sakit, begitu juga bila meninggal dunia, tondi-nya pun akan meninggalkan

badannya berubah menjadi tondi ni na mate ‘tondi orang mati’ yang disebut

sahala atau simangot atau roh leluhur. dalam keadaan ketakutan yang mendadak,

tondi dapat juga meninggalkan badan. Misalnya, seseorang diserang dengan

mencacungkan parang ke wajahnya. Orang itu langsung terperanjat.

Agar tondi tetap tenang, kuat dan tegar senantiasa di dalam badan, maka di

adakanlah berbagai macam upacara mangupa. Upacara mangupa dimaksudkan

untuk mengembalikan tondi ke badan atau agar tondi yang ada di badan tetap kuat

dan tegar. Latar belakang pelaksanaan mangupa dapat terjadi karena seseorang

lolos dari mara bahaya atau rasa syukur atas keberuntungan. Bila seseorang lolos

dari mara bahaya atau baik dari sakit, upacara mangupa disebut mangupa mulak

tondi tu badan, sedangkan mangupa karena keberuntungan dilakukan karena

keberuntungan itu sendiri mengandung mara bahaya juga. Selain itu penulis juga

menambahkan referensi yang ditulis oleh Parlaungan Ritonga “ Makna Simbolik

dalam Upacara Mangupa Masyarakat Angkola-Sipirok di Tapanuli Selatan”.

Pengertian mangupa ialah mempersembahkan dengan cara tertentu sesuatu yang

disebut upa-upa kepada orang atau orang-orang tertentu melalui suatu upacara

dengan tujuan agar orang atau orang-orang yang dipersembahi upa-upa itu

(32)

Selain buku-buku penulis juga menambahkan referensi dari internet. ada

banyak makna yang terkandung dalam mangupa selain fungsi paulak tondi tu

badan (memanggil tondi ke badan), upacara mangupa juga memiliki fungsi

nasehat, doa dan harapan.

2.2 Teori Yang Digunakan 2.2.1 Teori Semiotika

Semiotika berasal dari bahasa Yunani yaitu semion yang berarti“tanda”.

Perkembangan semiotika modern, muncul dua ahli yang menjadi pelopor, yaitu

Ferdinand de Sauusure dan Charles Sanders Pierce.

Menurut Ferdinand de Saussure semiotika adalah cabang ilmu tanda.

Ferdinand de Saussure mengembangkan dasar-dasar teori lingusitik umum dan

mengatakan bahwa bahasa sebagai sistem tanda, masing-masing terdiri atas dua

sisi, yaitu signifian (penanda atau sesuatu yang dapat dipersepsi sebagai tanda)

dan signifie (petanda atau isi atau makna tanda itu).

Pierce (dalam Zoest, 1992: 1)

“Mengusulkan kata semiotika sebagai sinonim kata logika. Menurut Pierce, logika harus mempelajari bagaimana orang bernalar. Penalaran itu, menurut hipotesis teori Pierce yang mendasar dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda-tanda memungkinkan kita berpikir, berhubungan dengan orang lain, dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Dengan mengembangkan teori semiotika, Pierce memusatkan pada fungsinya tanda pada umumnya”.

Lebih jelasnya untuk mempermudah mengkaji sebuah tanda yang ada

didalam masyarakat Pierce ( dalam Sobur, 2003:42) membagi tanda atas tiga

(33)

acuannya berupa hubungan kemiripan. Misalnya, sebuah peta geografis dengan

sebuah potret. Indeks adalah hubungan tanda dengan acuannya karena adanya

hubungan sebab akibat. Misalnya, asap berarti api karena api umumnya penyebab

asap. Simbol adalah hubungan antara tanda dan konsepnya bersifat arbitrer dan

konvensional. Misalnya, anggukan kepala yang menandakan persetujuan dan

tanda kebahasaan.

Dua pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa Pierce memandang

semiotika sebagai tanda pada umumnya dan segala sesuatu bisa menjadi tanda.

Saussure juga memandang semiotika sebagai sistem tanda yang utama.

Sesuai dengan hipotesis bahwa semiotika meengkaji semua proses

kebudayaan sebagai proses komunikasi serta merupakan suatu studi yang

mempelajari tentang tanda dan lambang yang mempunyai makna sesuai dengan

pemahaman si pengirim dan si penerima.

Penelitian ini lebih menitikberatkan kepada semiotika komunikasi.

Ferdinand de Saussure berpendapat semiotika komunikasi adalah tanda sebagai

bagian dari proses komunikasi. Artinya, dikatakan tanda adalah apabila seorang

pengirim menyampaikan sesuatu maksud dengan menggunakan kode atau benda

kepada penerima dan penerima mengerti apa yang disampaikan oleh pengirim.

Oleh karena itu, setiap tanda memberi makna atau informasi apa saja yang

terkandung di dalamnya.

2.2.2 Teori Makna

Ferdinan de Saussure mengatakan bahwa tanda memiliki dua entitas yaitu

signifier dan signified’ atau ‘tanda dan makna’ atau ‘penanda dan tanda’.

(34)

disebut tanda. Istilah tanda dapat pula diidentikkan dengan bentuk yang

mempunyai makna.

Makna merupakan hubungan antara penanda-penanda dan

objeknya.Makna sangat berperan dalam suatu tanda karena suatu tanda

mengandung makna dan informasi.

2.2.3 Teori Fungsi

Fungsi menurut Bascom (dalam Danandjaja, 1991 :19) ada tiga yaitu : 1. Sebagai sistem proyeksi (projective system), yakni sebagai alat pencermin

angan-angan kolektif.

2. Sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan.

3. Sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya.

Menurut Koentjaraningrat (dalam Danandjaja, 1991:76) mengatakan:

“Fungsi yang paling menonjol dalah sebagai penebal emosi keagamann dan kepercayaan. Hal ini disebabkan manusia yakin akan adanya mahluk-mahluk gaib yang menempati alam sekeliling tempat tinggalnya dan yang berasal dari jiwa orang mati, atau manusia yakin adanya dengan gejala-gejala yang tidak dapat diterangkan dan dikuasai oleh akalnya, atau manusia percaya akan adanya suatu kekuatan sakti dalam alam, atau manusia mendapat suatu firman dari Tuhan, atau semua sebab tersebut diatas.

Fungsi-fungsi ini berkaitan dengan makna dan tanda yang ada dalam

upacara mangupa tersebut. Tanda-tanda ini merupakan suatu bentuk pencerminan

angan-angan masyarakat Ankgola. Mereka menciptakan fungsi setiap tanda itu

berdasarkan aturan-aturan yang ada pada kebudayaan mereka. Mereka mematuhi

adat sesuai dengan ciri khas mereka sendiri dan menjaganya agar dapat

(35)

Seperti pendapat dari Admansyah(1994:53),

“Adat itu merupakan ketentuan hukum sehingga merupakan norma-norma sesuai dengan ciri khas dari suatu suku atau tiap suku atau bangsa akan memupuknya menurut falsafah daerah atau negerinya masing-masing. Dengan demikian berarti generasi demi generasi akan mewarisinya sebagai pusaka yang diamanahkan oleh para leluhurnya dahulu yang harus diteruskan turun temurun secara sadar dan penuh tanggung jawab”.

(36)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Dasar

Metode dasar yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode

deskriptif. Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecah masalah

yang diselidiki dengan menggambarkan/melukiskan keadaan objek/subyek

penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang

berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya. (Nanawi 1991 :63).

dalam metode deskriptif, penulis akan berusaha mengungkapkan dan memaparkan

hasil yang sebenarnya sesuai dengan keadaannya sekarang.

Penelitian deskriptif ini lebih bersifat penemuan fakta-fakta seadanya,

penelitian yang tidak sekedar menunjukkan distribusinya, akan tetapi termasuk

dalam usaha mengemukakan satu dengan yang lainnya di dalam aspek-aspek yang

diselidiki.

Data utama dalam penelitian ini adalah data lisan yaitu berupa informasi

tentang makna simbolik tanda-tanda mangupa dalam upacara perkawinan

masyarakat Angkola. Metode yang digunakan adalah metode cakap atau

percakapan langsung dengan penutur selaku narasumber. Kemudian, metode ini

dikembangkan dengan teknik pancing sebagai teknik dasar. Dalam teknik pancing

narasumber dipancing berbicara untuk mendapatkan data. Selain itu, teknik cakap

semuka peneliti mengarahkan dan mengendalikan pembicaraan sehingga peneliti

dapat memperoleh data selengkapnya.

Peranan narasumber sangat menentukan keakuratan data yang diperoleh

(37)

mengetahui kebudayaannya. Pemilihan narasumber didasarkan pada

persyaratan-persyaratan berikut:

1. Berjenis kelamin pria dan wanita 2. Lahir dan besar di daerah penelitian. 3. Berusia antara 30-70

4. Memiliki kebanggaan terhadap kebudayaannya

5. Pengetua adat, yang mengetaui dengan jelas tentang seluk-beluk adat-istiadat;

6. Mempunyai ketertarikan didalam penelitian mengenai kebudayaan; dan

7. Sehat jasmani (tidak cacat berbahasa dan memiliki pendengaran yang baik) dan rohani( tidak gila atau pikun) (Mahsun, 1995: 25)

3.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian penulis adalah Kecamatan Arse Desa Nanggar Jati Huta

Padang Kabupaten Tapanuli Selatan.Alasan penulis memilih lokasi penelitian ini

adalah karena mayoritas penduduknya adalah Batak Angkola dan juga

dikarenakan masyarakatnya masih melaksanakan upacara mangupa tersebut.

3.3 Sumber Data Penelitian

Adapun sumber data penulisan ini adalah :

a. Pengetua adat dan masyarakat setempat yang dijadikan penulis sebagai

informan dalam melakukan penelitian langsung kelapangan dan bertanya

langsung kepada pengetua adat dan masyarakat setempat agar penelitian

yang didapat lebih konkret dan bisa dipertanggung jawabkan agar tidak

terjadi kesalahan pemahaman masyarakat Angkola yang ada di Sipirok

Kabupaten Tapanuli Selatan.

b. Penelitian kepustakaan dengan cara mencari sumber data dari buku-buku

yang sesuai dengan judul skripsi ini. Hal yang akan dilakukan agar

(38)

digunakan penulis sebagai referensi dalam penyelesaian skripsi ini

sehingga penelitian ini lebih mudah dilakukan dan pengerjaan skripsi ini

menjadi lebih mudah.

3.4 Instrumen Penelitian

Sumber data penelitian ini adalah data lapangan yang melalui wawancara

dengan beberapa informan yang tinggal di desa tersebut. dalam melakukan

wawancara dengan informan, penulis menggunakan instrument penelitian berupa

daftar yang diajukan penulis dalam melakukan wawancara dengan informan.

Alat bantu yang digunakan yaitu:

1. Alat rekam (tape recorder)

2. Kamera digital

3. Pulpen

4. Buku tulis.

3.5 Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam pengumpulan data lapangan antara lain :

1. Metode observasi yaitu penulis langsung kelapangan melakukan

pengamatan terhadap objek penelitian.

2. Metode wawancara (Depth interview) digunakan untuk memperoleh

informasi tentang upacara mangupa kepada tokoh-tokoh adat yang ada di

Kecamatan Sipirok. Wawancara ini juga akan menggunakan pedoman

wawancara yang telah dipersiapkan dan disusun terlebih dahulu.

3. Metode Kepustakaan (library research) yaitu pengumpulan data melalui

buku-buku yang berhubungan dan berkaitan dengan penelitian tersebut.

(39)

data yang didapatkan dari lapangan dapat diolah semaksimal mungkin

sesuai dengan tujuan yang digariskan. Dalam metode ini penulis mencari

buku-buku pendukung yang berkaitan dengan masalah penelitian.

3.6 Metode Analisis Data

Analisis data merupakan proses pengaturan data, mengorganisasikannya

ke dalam suatu pola, kategori dari suatu uraian dasar. dalam penelitian ini data

yang diperoleh akan diolah dan dianalisis secara kualitatif. Metode atau cara

mengelola data mentah sehingga menjadi data yang akurat dan ilmiah dipakai

dengan metode struktural.

Adapun langkah-langkah metode analisis data ini adalah sebagai berikut :

a. Menerjemahkan data yang di peroleh dari bahasa daerah ke bahasa

Indonesia.

b. Data diklasifikasikan sesuai dengan objek pengkajian.

c. Menganalisis makna dan fungsi mangupa pada upacara perkawinan

(40)

BAB IV PEMBAHASAN

4.1Upacara Mangupa

Hidup bermasyarakat agar dapat memperoleh kehidupan yang bahagia,

haruslah dipelajari melalui relung-relung hati yang dalam dan dengan pemikiran

yang dalam dan toleran pula. Menurut adat, kebaikan itu diperoleh dan ditemui

dalam lubuk hati yang dalam yang disebut dengan holong. Holong berarti cinta

dan kasih sayang dalam antar sesama. Holong ini timbullah domu yang

membentuk persatuan dan kesatuan yang menjadi sumber kekuatan.

Holong dan domu inilah yang menjadi paradigma atau tolak ukur,

sekaligus menjadi sumber dari segala sebagai landasan dari masyarakat adat.

Holong dan domu ini melahirkan petunjuk (pegangan) hidup dan cita-cita

masyarakat adat. Petunjuk hidup dan cita-cita ini terdiri dari butir-butir yang

disebut patik-patik ni paradaton yang harus didalami, dihayati dan diamalkan

oleh seluruh anggota masyarakat adat. Petunjuk hidup dan cita-cita itu akan

memberi pedoman yang bernilai paradigmatik bagi masyarakat adat untuk

mencapai ketentraman dan kebahagiaan.

Salah satu petunjuk dan cita-cita yang berupa pedoman hidup untuk

mencapai kebahagiaan itu adalah mangupa.

Mangupa adalah merupakan upacara adat yang penting dalam masyarakat

adat. Sasaran dari pangupa adalah tondi. Pada masyarakat Karo disebut tendi.

Apabila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang itu kehilangan

semangat hidup, wajahnya pucat tidak berwibawa, bahkan ada yang sakit.

(41)

nyaris dibunuh perampok, tondi nya juga dapat meninggalkan badan. Ini yang

disebut dengan habang tondi atau tarkalimun-mun, atau hilang semangat.

Kadar dari tondi ini untuk setiap orang tidak sama. Apabila kadar tondi

nya tinggi, seseorang akan dapat mengatasi tantangan yang dihadapi. Ada yang

tegar (solid) dan ada yang rawan dan rentan (labil).

Mangupa dilakukan dengan maksud agar orang tetap bersemangat tidak

selalu diliputi oleh rasa was-was dan ketakukan, maka tondi nya harus kuat dan

bersemangat. Itulah sebabnya orang yang lepas dari marabahaya agar jangan

selalu ketakutan (trauma) dan was-was perlu diadakan upacara mangupa agar

tondi nya kembali kuat dan hidupnya kembali bersemangat (mulak tondi tu badan,

semangat kembali kedalam jasmani). Selain itu mangupa juga bertujuan untuk

pernyataan syukur karena lepas dari marabahaya, demikian pula untuk rasa syukur

karena keberuntungan. rasa syukur ini merupakan paradigma religius, bagi insan

yang berketuhanan dan beriman.

Orang yang mendapat keberuntungan juga perlu di upa menurut adat,

karena keberuntungan juga akan mendapat tantangan berupa godaan, pujian,

sanjungan dan ancaman. Bahkan orang yang mendapat keberuntungan sering

memperoleh penyakit-penyakit hati, seperti ria, sombong, kikir dan sebagainya.

Untuk itu masyarakat adat mengantisipasinya dengan memberikan pasu-pasu dari

pangupa.

Apabila tondi bersemanyam dengan nyaman dan kuat di dalam badan,

maka orang itu akan mempunyai tenaga spiritual yang kuat yang dapat

(42)

Semakin kuat tondi bersemayam di dalam badan, maka semakin kuat pula

pancaran spiritual sehingga tua (sahala) seseorang semakin tinggi. Apabila

seseorang martua-marsahala, maka ia akan mempunyai kekuatan karismatis dan

berwibawa. Raja yang mempunyai kekuatan karismatis akan sangat berwibawa

dan sangat dipatuhi pula oleh rakyatnya, demikian juga mora yang mampu

mengayomi anak boru nya tersebut. Seseorang kakek atau nenek akan sangat

dihormati sebagai idola dan teladan oleh keturunannya apabila ia seorang yang

sangat berwibawa dan dihormati oleh orang lain.

Itulah sebabnya upacara pemberian ulos dihubungkan dengan pemberian

sahala kepada yang di ulosinya yang berwujud pengayoman dari yang mangulosi.

Menurut prinsip adat mangulosi, yang memberi ulos atau mangulosi, ialah tokoh

atau figur yang lebih tinggi harkadnya, misalnya karena lebih tua atau lebih besar

kekuasaannya atau lebih bermartabat, lebih berilmu, kepada orang yang relatif

lebih rendah kedudukannya.

4.2Pengertian Mangupa

Upacara mangupa atau upah-upah merupakan salah satu adat yang berasal dari Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Upacara Mangupa bertujuan untuk

mengembalikan tondi kebadan dan memohon berkah dari Tuhan Yang Maha Esa

agar selalu selamat, sehat dan murah rezeki dalam kehidupan. Upaya memanggil

tondi ke badan dilakukan dengan cara menghidangkan seperangkat bahan

(perangkat pangupa) dan nasehat pangupa (hata pangupa atau hata upah-upah)

yang disusun secara sistematis dan dilakukan oleh berbagai pihak yang terdiri dari

(43)

yang dibaca pada waktu upacara mangupa. Perkataan lain, pangupa adalah buku

bacaan yang berisi petunjuk dan pesan agar selamat dalam menempuh kehidupan.

Menurut tradisi masyarakat Angkola, yang mempersembahkan upa-upa

ialah sejumlah anggota kerabat dari orang yang dipersembahi upa-upa itu bersama

dengan tokoh-tokoh pimpinan tradisional setempat. Mereka mempersembahkan

upa-upa dengan mengucap pidato adat. Upacara untuk mempersembahkan

upa-upa ada yang diselenggarakan sebagai bagian dari upacara perkawinan dan ada

pula yang diselenggarakan secara berdiri sendiri. Hubungan ini, yang dijadikan

sebagai objek penelitian ialah mangupa dalam konteks upacara perkawinan yang

diselenggarakan menurut tradisi Angkola.

Yang disebut sebagai upa-upa ialah beberapa jenis bahan makanan

tertentu yang sudah dimasak yang diletakkan diatas wadah yang khusus.

Masing-masing bahan makanan yang bersangkutan dan wadahnya berfungsi untuk

melambangkan berbagai makna dan harapan dari orang-orang yang

mempersembahkannya. Selain itu, upa-upa merupakan benda-benda atau

perlengkapan upacara. Keadaannya yang terintegrasi sebagai satu kesatuan

perlengkapan upacara, upa-upa biasa disebut sebagai pangupa.

4.3 Komponen Upacara Mangupa a. Tempat Upacara

Mangupa patobang anak atau haroan boru dilaksanakan sebelum tengah

hari di rumah atau tempat pelaksanaan acara adat pernikahan (horja).

Waktu dipergunakan sebagai tempat upacara, dinding ruang depan rumah,

pada posisi yang disebut juluan dimana kedua pengantin dimana kedau penganti

(44)

ruangan itu pada posisi yang sama ditutup pula dengan kain hiasan yang disebut

langit-langit. Sebahagian lantai ruangan biasanya dilapisi dengan ambal

(permadani) dan tikar pandan. Untuk tempat duduk tokoh-tokoh harajaon,

hatobangon, dan Raja Panusunan Bulung disediakan tikar adat yang dinamakan

lage lapisan atau amak lapisan yang terbuat dari anyaman daun pandan. Tempat

duduk kedua pengantin juga dilapisi dengan tikar adat yang sama. Tikar adat itu

ada yang berlapis tiga dan ada pula yang berlapis lima. Tikar yang terbanyak

lapisannya disediakan untuk tempat duduk tokoh-tokoh yang paling tinggi

kedudukannya menurut ketentuan adat, seperti RajaPanusunan Bulung.

b. Pemimpin dan Peserta

Upacara mangupa Haroan Boru biasanya dipimpin langsung oleh Raja

Panusunan Bulung, yaitu seseorang yang diangkat sebagai pemimpin adat

dilingkungan yang sedang mengadakan horja. Raja Panusunan Bulung

memegang tampuk adat dalam upacara adat dalam upacara adat (Marakub,1969)

dan merupakan Raja adat yang dianggap ahli tentang adat-istiadat (Diapari,

1990).

Raja Panusunan Bulung bertindak sebagai pemimpin yang merangkum

semua hata pangupa dan membacakan Surat Tumbago Holing. Surat Tumbago

Holing adalah ayat-ayat atau kalimat-kalimat yang berisi ajaran tentang

kebenaran, kebaikan, dan estetika. Raja Panusunan Bulung menerjemahkan

semua perangkat pangupa dan esensi dari nasehat, harapan, dan boa dari berbagai

pihak yang sudah memberikan hata pangupa berdasarkan nilai-nilai dalam Surat

(45)

Peserta dalam upacara Mangupa Haroan Boru adalah pengantin laki-laki

dan perempuan. Selain mempelai, upacara Mangupa Haroan Boru harus

memenuhi struktur adat dalam Tapanuli Selatan, yaitu Dalihan Na Tolu. Tanpa

kehadiran Dalihan Na Tolu, maka upacara mangupa tidak bisa dilaksanakan

karena struktur adat tidak terpenuhi. Ketiga unsur Dalihan Na Tolu itu adalah

kahanggi, anak boru, dan mora.

Upacara mangupa sebaiknya juga memenuhi unsur adat lainnya yang

mencakup Pisang Rahut, Hatobangon, Raja Pamusuk, Raja Tording Balok, Raja

Panusunan Bulung, dan ulama ( pamuka agama). Pisang Rahut tergolong dalam

kelompok anak boru, yaitu anak boru dari anak boru suhut. Hatobangon adalah

wakil-wakil dari tiap marga yang bertempat tinggal dikampung yang mengadakan

horja. Raja Pamusuk dapat disamakan sebagai ketua kampung pelaksanaan

upacara mangupa. Raja Tording Balok adalah Raja-raja yang berasal dari

kampung-kampung yang berdekatan dengan kampung yang sedang

menyelenggarakan upacara adat.

c. Tujuan

Tujuan dari mangupa adalah memperkuat tondi atau mengembalikan tondi

kedalam tubuh agar yang diupa tegar menghadapi tantangan ataupun dapat hidup

normal kembali seperti biasa apabila tondinya telah hilang.

Jadi tujuan acara mangupa itu ialah untuk memulihkan semangat yang

tadinya seakan-akan melayang atau kelimbungan, ataupun untuk menguatkan

kembali semangat (spirit) yang tadinya mengalami kegoncangan (shock of spirit)

(46)

d. Sasaran dari Pangupa

Perkataan tondi tidak dapat dipisahkan dari perkataan pangupa. Tondi adalah tenaga spiritual yang memelihara ketegaran jasmani dan rohani agar serasi,

selaras dan seimbang dalam kehidupan seseorang dalam bermasyarakat.

Menurut Hasibuan: dalam pandangan adat, manusia seutuhnya terdiri dari

3 unsur, yaitu: Badan, Jiwa (roh) dan Tondi. Badan adalah jasad yang kasar, terlihat dan teraba. Jiwa (roh) adalah benda abstrak yang menggerakkan badan kasar tadi. Tondi adalah benda abstrak yang mengisi dan menuntun badan kasar dan jiwa tadi dengan tuah sehingga seseorang kelihatan berwibawa dan punya

marwah. (Hasibuan, 1989:25).

Orang gila atau rusak akal dianggap tidak martondi. Badannya sehat, jiwa

(roh) nya ada, tapi karena tondi nya tidak ada sebagai penuntun badan kasar dan

jiwa tadi, maka dia menjadi manusia yang tidak normal.

e. Hubungan Pangupa dengan Tondi

Badan atau jasad kasar manusia agar tetap kuat memerlukan makanan

yang baik dan mengandung vitamin. Bahan-bahan yang disajikan dalam pangupa

itulah seperti daging, ikan, sayur, telur dan sebagainya, makanan dari jasad kasar

atau badan manusia. Selesai mangupa yang diupa diberi makan, agar jasmaninya

tetap kuat.

Makanan dari tondi adalah pasu-pasu dari pangupa, yaitu kata-kata yang

berwujud doa, harapan, nasehat dan pedoman hidup yang disampaikan oleh

pembaca pangupa (penafsir makna komponen makanan pangupa itu secara rinci).

(47)

Ada macam-macam tingkatan pangupa, yaitu :

a. Telur ayam (pira manuk). Pangupa yang paling sederhana. Pangupa ini

terdiri dari: telur ayam dan nasi, garam, udang, ikan, sayur daun ubi dan

air putih ( untuk diminum). Yang hadir biasanya hanya yang satu rumah,

kalau ada orang luar kemungkinan adalah orang yang membawa

upa-upa. Nasi dan perlengkapannya (telur dan garam) diletakkan diatas piring

adat (pinggan godang). Ayam (pangupa manuk). Ayam yang akan

disajikan dipanggang (digulai) tanpa dipotong-potong atau jika dipotong

sesuai dengan dengan tulanannya (ditulani), yaitu dada 2 potong, sayap 2

potong, kaki 2 potong, tulang belakang 2 potong, kepala, kemudian

berikut isi perut (rempala, hati). 3 butir telur yang direbus, ikan garing

(anak ikan mera), nasi putih dan garam. Semuanya dimasak (siap

makan). Ditaruh di pinggan godang, sebagai dasar nasi, kemudian

sebelah depan 3 telur dibariskan disampingnya garam, ayam diatur di

tengah ikan disamping kiri kanan ditutup dengan bulung ujung dan

kemudian kain adat. Yang hadir anggota keluarga dan kaum kerabat

lainnya.

b. Kambing (pangupa hambeng). Dengan pangupa hambeng, biasanya

acara mangupa ini dilakukan pada acara yang benar-benar merupakan

acara resmi. Pada acara ini secara resmi potong kambing yang

bagian-bagian kambing yang dijadikan bahan pangupa.

Bagian-bagian kambing yang dijadikan pangupa adalah kepala kambing,

kaki depan kanan, kaki kiri belakang, ekor, sedikit dagingnya, dan hati,

(48)

sebagaimana telah disebut pada pangupa ayam. Piringnya tentu

disediakan piring pangupa yang lebih besar. Yang hadir tentunya lebih

lengkap dan ditambah dengan namora natoras serta raja pamusuk.

c. Kerbau (pangupa horbo).

Pangupa horbo adalah pangupa yang paling tinggi yang biasanya

merupakan pangupa yang dilakukan pada acara-acara yang diadakan

raja-raja dan turunannya. Pada acara tersebut khusus dipotong yang

bagian-bagiannya yang tertentu dipergunakan untuk pangupa, sebagian

lagi untuk diberikan kepada tamu raja-raja adat yang ikut pada acara

mangkobar adat dalam keadaan mentah. Sisanya dimasak untuk

disajikan pada tamu-tamu yang datang.

Bahan-bahan yang disediakan untuk pangupa horbo/hambeng sama dengan yang

di atas, yaitu :

1. Nasi putih.

Makna : Tanda keikhlasan hati dalam hati dalam segala hal. Untuk sampai di atas piring, nasi memerlukan proses panjang dan kerja keras.

Dimulai dengan melihat bulan yang baik untuk menabur bibit,

mencangkul, menanam, menyiangi sampai kepada panen, menumbuk padi

menjadi beras menjadi nasi. Warna melambangkan keikhlasan.

(49)

2. Telur ayam

Makna : Agar jiwa dan raga bersatu padu, tetap selamat dan sehat-sehat. Kuning telur bermakna sebagai agar mendapat rezeki yang banyak.

Sebaiknya 3 butir telur. Lambang Dalihan Na Tolu kahanggi, anak boru,

dan mora.

Orang Batak mengganggap manusia itu terdiri dari 3 unsur :

Unsur badan kasar yang diraba. Unsur badan halus yang tidak terraba.

Unsur inilah yang menggerakkan badan kasar tersebut, dan yang disebut

unsur tondi. Yang membuat manusia sehat dan bertuah.

Fungsi : Sebagai lambang permohonan doa Dan kuning telur dilambangkan sebagai emas.

3. Garam

Makna : Garam bermakna sebagai kekuatan. Maksudnya seperti kekuatan garam itulah kekuatan masyarakat keturunannya. Tidak seperti kekuatan

besi yang patah pada tekanan tinggi atau hancur lebur dibuat oleh api pada

temperatur tinggi.

Seseorang disebut kuat jika kata-katanya didengar orang. Mardai na ni dok

nia. Kata-katanya mengenai dihati (dapat diterima).

Fungsi : Sebagai bahan dalam upacara mangupa( pelengkap upa-upa yang mempunyai arti/makna).

4. Air putih

Makna : Air putih melambangkan keikhlasan. Mengerjakan sesuatu haruslah dengan hati yang bersih dan ikhlas.

(50)

5. Ikan

Makna : Ikan yang dipakai untuk pangupa adalah ikan garing yaitu anak ikan jurung yang panjangnya lebih kurang 1 jengkal. Ikan garing ini

adalah anak ikan jurung yang menjelang dewasa. Ikan garing hidup di air

deras dan selalu menyongsong ke hulu, sanggup melompati air terjun,

lincah mencari makan. Kalau sudah besar ikan ini menjadi lamban dan

hanya hidup mencari air tenang dan dalam (lubuk). Ikan ini terdiri dari 2

ekor yang melambangkan suami isteri seperti ikan, yang selalu sama-sama

ke hulu dan sama-sama ke hilir. Ada kalanya ditambah dengan haporas

dan incor na di durung( ikan-ikan kecil), supaya tetap horas, horas dan

selalu bersama.

Fungsi : Bahan dalam mangupa.

6. Udang

Makna : Udang melambangkan strategi kehidupan. Gerakan maju-mundur merupakan karakter udang. Gerak maju dan maju-mundur, hanya

bergantung pada situasi dan kondisi dimana yang paling menguntungkan.

Maju satu langkah, mundur 2 langkah untuk mengambil ancang-ancang

untuk maju kembali pada saat yang tepat.

Fungsi : Udang berfungsi sebagai bahan dalam upacara mangupa.

7. Daun ubi

Makna : Dun ubi lambang umur panjang dan bermanfaat, karena ubi tidak dapat diukur panjangnya sampai sejauh mana. Sayur matua bulung.

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian ditemukan tiga macam makna simbolik yang terdapat dalam teks pangupa pada upacara pernikahan masyarakat Angkola di Kabupaten Tapanuli Selatan

Penelitian ini membahas tentang tindak tutur yang digunakan dalam Wacana Merbayo pada upacara perkawinan Batak Pakpak, bertujuan untuk mengetahui apa saja jenis

Dalam penelitian ini penulis membahas tenteng UPACARA RITUAL MENANDA TAHUN DI SISADA RUBE PADA MASYARAKAT PAKPAK KAJIAN MAKNA DAN FUNGSI DI KECAMATAN PERGETTENG-GETTENG

Simbol yang dimaksud dalam upacara perkawinan adat Batak Toba.. ialah pada saat

Hal ini yang membuat penulis tergerak untuk meneliti makna-makna yang terkandung pada upacara adat perkawinan masyarakat Mandailing agar kebudayaan tersebut dapat di

Penelitian tesis ini bertujuan untuk mendeskripsikan salah satu rangkaian acara yang terdapat pada upacara perkawinan adat besar Angkola yakni acara

Dengan fakta yang ada, bahwa masyarakat Batak Angkola di Tulang Bawang Barat masih melaksanakan upacara adat mangupa patobang anak, maka hal ini merupakan suatu

Namun dalam upacara perkawinan yang menjadi korpus dalam penelitian ini perkolong-kolong disajikan juga pada awal acara adu pengantin (kedua pengantin menari dan