MAKNA DAN FUNGSI MANGUPA PADA UPACARA PERKAWINAN MASYARAKAT ANGKOLA SIPIROK KAJIAN SEMIOTIKA
SKRIPSI SARJANA
Dikerjakan Oleh
NAMA : HOTMIDA SINAGA NIM : 090703003
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN SASTRA DAERAH
PROGARAM STUDI BAHASA DAN SASTRA BATAK MEDAN
PENGESAHAN Diterima Oleh :
Panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi
salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Sastra dalam bidang Ilmu Bahasa dan
Sastra di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan.
Hari/ Tanggal : ……….
Fakultas Ilmu Budaya USU
Dekan
Nip : 195110131976031001 Dr. Syahron Lubis, M.A
Panitia ujian :
No Nama Tanda Tangan
1. ………
2. ………
3. ………...
4. ………
Disetujui Oleh :
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
MEDAN
2014
Departemen Sastra Daerah
Ketua
MAKNA DAN FUNGSI MANGUPA PADA UPACARA PERKAWINAN MASYARAKAT ANGKOLA SIPIROK KAJIAN SEMIOTIKA
Dikerjakan Oleh
Nama : HOTMIDA SINAGA Nim : 090703003
Disetujui Oleh
Pembimbing 1, Pembimbing II,
Drs. Baharuddin, M. Hum
NIP:196001011988031007 NIP: 195905021986011001 Drs. Asrul Siregar, M. Hum
Diketahui Oleh : Departemen Sastra Daerah
Ketua
ABSTRAK
Hotmida, 2014. Judul Skripsi : Makna dan Fungsi Mangupa Pada Upacara Perkawinan Masyarakat Angkola Sipirok Kajian Semiotika.
Penelitian ini merupakan penelitian tentang Mangupa pada masyarakat Angkola di Sipirok yang ditinjau dari kajian Semiotika. Ferdinan de Saussure mengatakan bahwa tanda memiliki dua entitas yaitu signifier dan signified’ atau ‘tanda dan makna’ atau ‘penanda dan tanda’. Keduanya saling berkaitan satu sama lain. Kombinasi keduanya dalam semiotika disebut tanda. Istilah tanda dapat pula diidentikkan dengan bentuk yang mempunyai makna
Upacara mangupa adalah kebudayaan Angkola yang hingga sekarang masih dilaksanakan oleh masyarakat Sipirok. Upacara mangupa mempunyai perlengkapan yang memiliki makna dan fungsi.. Pierce ( dalam Sobur, 2003:42) membagi tanda atas tiga bagian yaitu ikon, indeks, simbol. Ikon adalah hubungan antara tanda dan acuannya berupa hubungan kemiripan.
Tujuan penelitian ini ialah untuk menjelaskan Makna dan Fungsi mangupa Pada Upacara Perkawinan Masyarakat Angkola Sipirok, dan menjelaskan bahan-bahan apa saja yang ada pada mangupa tersebut.
Metode dasar yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode deskriptif.
Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan/melukiskan keadaan obyek/subyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya).
Simpulan penelitian ini menunjukkan bahwa upacara mangupa memiliki makna-makna yang berhubungan dengan masyarakat pendukungnya. Upacara adat
mangupa atau haroan boru ini biasa dilaksanakan pada saat melaksankan horja
atau pesta perayaan pernikahan anak laki-laki.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala berkat dan karunia yang dilimpahkan-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Judul skripsi ini “ Fungsi dan Makna Mangupa pada Upacara Perkawinan
Masyarakat Angkola”. Bab I : Pendahuluan, Bab II : Tinjauan Pustaka, Bab III :
Metode Penelitian, Bab IV : Pembahasan, Bab V : Simpulan dan Saran.
Judul ini dipilih karena penulis merasa tertarik untuk mengkaji lebih
dalam tentang upacara mangupa dalam masyarakat Angkola. Terwujud skripsi ini
bukanlah semata-mata jerih payah penulis sendiri, tetapi tidak terlepas dari
bantuan berbagai pihak. Maka dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan rasa
hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah
memberikan bantuan moril maupun materi sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan maupun kelemahan yang ada
dalam skripsi ini. Akhirnya dengan kerendahan hati, penulis mengharapkan saran
dan kritikan yang bersifat konstruktif demi penyempurnaan skripsi ini.
Medan, Oktober 2013
Penulis,
DAFTAR ISI
ABSTRAK………..……..….….i
KATA PENGANTAR………...ii
DAFTAR ISI………….………...……… iii
UCAPAN TERIMA KASIH………...……vii
BAB I PENDAHULUAN………. 1
1.1Latar Belakang Masalah………..…..………... 1
1.2 Rumusan Masalah………...….………... 4
1.3 Tujuan Penelitian……….. 4
1.4 Manfaat Penelitian……… 5
1.5 Anggapan Dasar……… 5
1.6 Letak Geografis ……… 6
1.6.1 Kecamatan …….………..………...……….…. 7
1.6.2 Pemekaran………...…….. 7
1.6.3 Kecamatan yang menjadi wilayah Kabupaten Padang Lawas ... 8
1.6.4 Kecamatan wilayah Kabupaten Padang Lawas Utara….………...8
1.7 Mata Pencaharian……….. 8
1.8 Budaya Masyarakat Angkola ………..………..…. 10
1.9 Adat Masyarakat Angkola ……….………..….…….. 10
1.10 Sistem Kekerabatan………..………. 11
1.11 Sistem Organisasi Sosial ………..……….13
1.12 Sitem Religi ………..……….………...……….…..…. 15
BAB II KAJIAN PUSTAKA……….…..….. 17
2.1 Kepustakaan yang Relevan……….……….... 17
2.2. Teori yang digunakan ………….……….…..……….... 19
2.2.1 Teori Semiotika …………...………... 19
2.2.3 Teori Fungsi………..……...………... 21
BAB III METODE PENELITIAN………...23
3.1 Metode Dasar………...23
3.2 Lokasi Penelitian……….………..…...24
3.3 Sember Data Penelitian...…………..….. ………24
3.4 Instrumen Penelitian……..….………..…....25
3.5 Metode Pengumpulan Data…...……….…..25
3.6 Metode Analisis Data…...………...……....….26
BAB IV PEMBAHASAN……….………27
4.1Upacara Mangupa..………..………..………..27
4.2Pengertian Mangupa………...………..29
4.3Komponen Upacara Mangupa………..………30
4.3.1 Tempat Upacara …………....……….30
4.3.2 Pemimpin dan Peserta……….31
4.3.3 Tujuan………....…….32
4.4.4 Sasaran dari Pangupa………...………...33
4.4.5 Hubungan Pangupa dengan Tondi………..33
4.4Bahan-bahan Pangupa………..………34
4.4.1 Tingkatan dan Isi Pangupa………...………..………34
Kepala Kerbau/Kambing………..……….38
4.4.2 Tempat Pangupa………..……….….40
4.4.3 Cara Menghidangkan Pangupa……….41
4.4.4 Tata Laksana……….………..…..42
4.4.4.1 Persiapan …………...…………...………..42
4.4.4.2Pelaksanaan …………..………….………42
a. Pembukaan Oleh Orang Kaya…...…..….………...……42
b. Hata Pangupa dari Suhut Sihabolonan, kahanggi, Anak Boru dan Pisang Rahut dari Pihak Ibu-………....…44
c. Hata Pangupa dari Suhut Sihabolonan, Kahanggi, Anak Boru dan Pisang Rahut dari Bapak-bapak…………..…45
d. Hata Pangupa dari Harajaon ………….…………..……45
e. Penutup Pengantin Mencicipi Hidangan Pangupa dan Memberikan Hata Pangupa ………..………..……53
f. Doa atau Mantra ……….…...54
g. Nilai-nilai ………54
h. Pantangan Dan Larangan ………..……… 55
BAB V SIMPULAN DAN SARAN………..……… 57
5.1 Simpulan ……… 57
5.2 Saran……….…………58
DAFTAR PUSTAKA ……… 59 LAMPIRAN
Lampiran 1. Daftar Nama Informan Lampiran 2. Peta Sipirok
Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Tuhan
Yang Maha Esa yang telah memberikan kesehatan dan berkah untuk
menyelesaikan penulisan skripsi ini hingga selesai. Penulis juga menyadari bahwa
dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah memberikan saran, dukungan,
bimbingan, dan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dalam kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya
USU. Bapak Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II, Pembantu Dekan III,
serta seluruh staff dan pegawai dijajaran Fakultas Ilmu Budaya.
2. Bapak Drs. Warisman Sinaga, M.Hum, selaku Ketua Departemen Sastra
Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, serta seluruh
staff dan jajaran pegawai yang di Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Dra. Herlina Ginting, M.Hum, selaku Sekertaris jurusan Departemen
Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Drs. Baharuddin, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang telah
banyak memberikan bimbingan dan arahan juga meluangkan waktu,
tenaga, dan pikiran demi selesainya skripsi ini.
5. Bapak Drs. Asrul Siregar, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang juga
selalu mendukung dan memberikan arahan dan masukan-masukan kepada
terima kasih kepada Bapak karena telah sabar, semangat dan mendukung
penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
6. Yang teristimewa kepada Ayahanda Pandapotan Sinaga dan Ibunda
tercinta Nurmince Nainggolan, yang telah banyak berkorban baik dalam
materi, tenaga dan pikiran. Serta telah banyak melimpahkan kasih sayang
dan doa kepada penulis sedari kecil sampai dengan sekarang sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi untuk mendapatkan gelar sarjana dari
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
7. Abang (Riky Sinaga), adik (Christin Sinaga), adik (Wily Sinaga), adik
(Selfana Sinaga ) terima kasih atas support serta doa yang telah kalian
berikan dan selalu memberikan saya semangat dalam penyusunan skripsi
ini.
8. Kepada Masyarakat Desa Hutapadang dan Bapak Kepala Desa yang telah
memberikan respon yang baik kepada penulis dalam pengumpulan data di
lapangan hingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
9. Teman-teman Mahasiswa/I seperjuangan Dewi Kusuma Nasution,
Nurrahmadani Syahfitry, Satria Sinaga, Umai Ema, Nikson Sihombing,
Josua Purba, Japatar Purba, Zainal Purba, Andika Lubis, Reyking
Simare-mare, Azwar Pohan dan seluruh anak IMSAD yang belum penulis
sebutkan, terima kasih penulis ucapkan atas bantuan dan dorongan serta
doa yang diberikan kepada penulis.
10.Kepada teman-teman kos di 291 yang selalu memberikan dorongan kepada
Semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan pada kesempatan ini, yang telah
membantu penulisan dan proses studi. Kiranya Tuhan Yang Maha Kuasa
senantiasa membalas segala kebaikan yang telah diberikan oleh semua pihak
kepada penulis. Penulis menyadari akan keterbatasan penulis, maka hasil
penelitian ini masih terdapat kekurangan dan kelemahan, untuk itu koreksi dan
masukan dari berbagai pihak diharapkan penulis guna penyempurnaannya.
Semoga penulisan ini berguna bagi pihak-pihak yang memerlukannya.
Medan, Januari 2014
Penulis,
ABSTRAK
Hotmida, 2014. Judul Skripsi : Makna dan Fungsi Mangupa Pada Upacara Perkawinan Masyarakat Angkola Sipirok Kajian Semiotika.
Penelitian ini merupakan penelitian tentang Mangupa pada masyarakat Angkola di Sipirok yang ditinjau dari kajian Semiotika. Ferdinan de Saussure mengatakan bahwa tanda memiliki dua entitas yaitu signifier dan signified’ atau ‘tanda dan makna’ atau ‘penanda dan tanda’. Keduanya saling berkaitan satu sama lain. Kombinasi keduanya dalam semiotika disebut tanda. Istilah tanda dapat pula diidentikkan dengan bentuk yang mempunyai makna
Upacara mangupa adalah kebudayaan Angkola yang hingga sekarang masih dilaksanakan oleh masyarakat Sipirok. Upacara mangupa mempunyai perlengkapan yang memiliki makna dan fungsi.. Pierce ( dalam Sobur, 2003:42) membagi tanda atas tiga bagian yaitu ikon, indeks, simbol. Ikon adalah hubungan antara tanda dan acuannya berupa hubungan kemiripan.
Tujuan penelitian ini ialah untuk menjelaskan Makna dan Fungsi mangupa Pada Upacara Perkawinan Masyarakat Angkola Sipirok, dan menjelaskan bahan-bahan apa saja yang ada pada mangupa tersebut.
Metode dasar yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode deskriptif.
Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan/melukiskan keadaan obyek/subyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya).
Simpulan penelitian ini menunjukkan bahwa upacara mangupa memiliki makna-makna yang berhubungan dengan masyarakat pendukungnya. Upacara adat
mangupa atau haroan boru ini biasa dilaksanakan pada saat melaksankan horja
atau pesta perayaan pernikahan anak laki-laki.
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya dengan budaya. Setiap suku di
Indonesia memiliki tradisi sukunya masing-masing. Bangsa adalah suatu
komunitas etnik yang ciri-cirinya adalah: memiliki nama, mitos leluhur bersama.
Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku dan menghasilkan budaya
yang beraneka ragam.
“Kebudayaan adalah hasil karya manusia dalam usahanya
mempertahankan hidup, dan mengembangkan taraf kesejahteraan dengan segala
keterbatasan kelengkapan jasmaninya serta sumber-sumber alam yang ada
disekitarnya (Geertz, 1973a). Kebudayaan boleh dikatakan sebagai perwujudan
tanggapan manusia terhadap tantangan-tantangan yang dihadapi dalam proses
penyesuaian diri mereka dengan lingkungan. Kebudayaan adalah keseluruhan
pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial yang digunakannya untuk memahami
dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka
landasan dan mendorong terwujudnya kelakuan. Defenisi ini kebudayaan dilihat
sebagai mekanisme kontrol bagi kelakuan dan tindakan-tindakan manusia atau
sebagai pola-pola bagi kelakuan manusia”.
Suku didefenisikan sebagai sebuah golongan dan menjadi identitas yang
paling mendasar dan umum, serta terbentuk berdasarkan latar belakang tempat
kelahiran seseorang maupun latar belakang keluarganya, serta digunakan sebagai
kelompok orang yang memiliki latar belakang budaya, sejarah, dan nenek moyang
yang sama. Negara kita terdiri dari banyak suku di antaranya adalah suku Batak.
Batak terdiri atas 5 etnis yakni : Toba, Karo, Simalungun, Pak-pak Dairi,
Angkola/Mandailing. Suku Batak merupakan suku yang terkenal dengan sebutan
marga sebagai garis keturunan patrilineal yang secara generasi ke generasi
mempunyai garis keturunan marga yang berbeda-beda berdasarkan garis
keturunannya. Bahasa Batak memiliki banyak persamaan dengan bahasa sub etnis
lainnya.
Masyarakat Batak umumnya memiliki bahasa dan adat-istiadat yang
berbeda tetapi perbedaan tersebut tidak menjadikan perpecahan di antara
masyarakat Batak. Demikian juga halnya dengan masyarakat Angkola memiliki
berbagai budaya dan adat-istiadat. Masyarakat Angkola ialah yang mendiami
wilayah Angkola dan wilayah Sipirok yang terdapat di Kabupaten Tapanuli
Selatan. Penelitian ini akan membahas tentang makna dan fungsi mangupa
masyarakat Kecamatan Sipirok. Pada upacara tersebut ada beberapa perlengkapan
yang paling utama. Pira manuk na ni hobolan, manuk, hambeng, dan lain
sebagainya. Upacara mangupa atau upah-upah merupakan salah satu upacara adat
yang berasal dari Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.
Upacara mangupa bertujuan untuk mengembalikan tondi ke badan dan
memohon berkah dari Tuhan Yang Maha Esa agar selalu selamat, sehat dan
murah rezeki dalam kehidupan. Upaya mengembalikan tondi ke badan dilakukan
dengan cara menghidangkan seperangkat bahan (perangkat pangupa) dan nasihat
dilakukan oleh berbagai pihak yang terdiri dari orangtua, raja-raja dan pihak-pihak
adat lainnya.
Upacara mangupa mempunyai tanda yang masing-masing mengandung
makna dan informasi. Setiap tanda yang ada dalam upacara mangupa masyarakat
Angkola mempunyai makna tersendiri yang tidak terlepas dari kehidupan
masyarakat sekitarnya. Selain itu tanda tersebut mencerminkan perilaku, pikiran
atau ide-ide masyarakat yang bersifat kesopanan, didikan, bijaksana, yang harus
dijalankan oleh kedua mempelai agar rumah tangga mereka tetap utuh.
Terciptanya informasi atau makna dari tanda itu semua dari hasil konvensi
masyarakat setempat. Kepada generasi berikutnya diharapkan agar dapat
mempertahankan makna tanda tersebut serta dapat menumbuhkan sikap
kepedulian terhadap tanda yang merupakan ciri khas bagi kebudayaan Masyarakat
Angkola.
Upacara mangupa banyak dijumpai bentuk tanda yang mempunyai arti.
Dalam Pettinasry, 1996:2) menegaskan bahwa :
“Sebuah tanda seharusnya ditempatkan pada posisi, supaya dapat menghasilkan makna yang kemudian dapat membentuk suatu gambaran mengenai suatu benda yang mempunyai makna tambahan dan demikian halnya dengan pesan yang ingin disampaikan melalui suatu tanda atau simbol”.
Tanda-tanda dalam upacara mangupa tidak terlepas dari makna.
Tanda-tanda yang ada dalam upacara mangupa memiliki fungsi sebagai cerminan
kepribadian masyarakat Angkola. Masyarakat Angkola diharapkan tetap menjaga
segala bentuk, aturan, dan kegunaan tanda-tanda sehingga tatanan adat-istiadat
tetap berlanjut. Hal itulah yang mendorong peneliti mengadakan penelitian
Meskipun sebelumnya sudah banyak ahli-ahli budaya yang meneliti
tentang upacara mangupa di Kecamatan Sipirok hanya sebatas penelitian
deskriptif. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan
mengkaji makna yang terdapat pada tanda yang ada pada upacara mangupa.
Penulis akan mengkaji adat mangupa pada masyarakat Batak Angkola Sipirok ini
dari segi semiotika, karena penulis merasa tertarik untuk mengetahui arti atau
makna dari tanda atau simbol-simbol yang ada pada upacara mangupa masyarakat
Angkola Sipirok.
1.2. Rumusan Masalah
Menghindari pembicaraan atau pembahasan yang menyimpang dari
permasalahan, penulis akan membatasi masalah agar pembahasan terarah dan
terperinci.
Perumusan masalah sangat penting bagi pembuatan skripsi ini, karena
dengan adanya perumusan masalah ini maka deskripsi masalah akan terarah
sehingga hasilnya dapat dipahami dan dimengerti oleh pembaca. Masalah
merupakan suatu bentuk pertanyaan yang memerlukan penyelesaian atau
pemecahan. Bentuk perumusan adalah biasanya berupa kalimat atau pertanyaan
yang semakin menarik atau menambah perhatian.
Adapun masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah makna dari mangupa pada masyarakat angkola?
2. Apakah fungsi dari mangupa pada masyarakat Angkola?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Menjelaskan makna dari mangupa pada masyarakat Angkola.
2. Menjelaskan fungsi dari mangupa pada masyarakat Angkola.
3. Menjelaskan bahan apa saja yang ada dalam upacara mangupa
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari hasil penelitian ini adalah :
1. Sebagai referensi kepustakaan khususnya fungsi dan makna pada upacara
mangupa masyarakat Angkola.
2. Menjadikan arsip di Departemen Sastra Daerah untuk dibaca oleh
mahasiswa Sastra Daerah.
3. Untuk memberi wawasan baru tentang makna dan fungsi mangupa pada
upacara perkawinan masyarakat Angkola, khususnya masyarakat Angkola
Sipirok.
1.5 Anggapan Dasar
Suatu penelitian seharusnya memerlukan anggapan dasar yang dapat
memberi gambaran arah pengumpulan data yang berhubungan dengan masalah
yang diteliti.
Arikunto (1987:17) “mengatakan anggapan dasar adalah sesuatu yang diakui kebenarannya oleh peneliti dan berfungsi sebagai pijakan bagi peneliti dalam melaksanakan penelitian tersebut”.
Oleh sebab itu, anggapan dasar inilah yang merupakan dasar dan titik tolak
Pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa anggapan dasar harus berdasarkan
kebenaran yang objektif, maksud kebenaran yang objektif ialah apabila anggapan
dasar tersebut dapat dibuktikan kebenarannnya.
1.6 Letak Geografis Sipirok
Daerah Sipirok merupakan sebuah Kecamatan yang berada di Provinsi
Sumatera Utara berjarak 385 km dari kota Medan, sedangkan dari kabupaten
Tapanuli Selatan dengan ibukotanya Sipirok ke Kecamatan Pahae Jae dengan
ibukotanya Pahae, yaitu daerah yang bersebelahan dan merupakan daerah yang
berada di Kabupaten Utara jaraknya 42 km. Tepatnya letak Kecamatan Sipirok ini
berada dalam jalur lintas Sumatera bagian barat dan merupakan jalan utama yang
menghubungkan Pulau Sumatera dengan Pulau Jawa.
Kecamatan Sipirok dan Ibukotanya Sipirok berada di daerah perbatasan
antara etnis Angkola dan etnis Batak Toba. Untuk jelasnya keberadaan daerah
Sipirok adalah sebagai berikut :
- Sebelah timur berbatas dengan Kecamatan Padang Bolak.
- Sebelah barat berbatas dengan Kecamatan Batang Toru.
- Sebelah utara berbatas dengan Kecamatan Pahae Jae.
- Sebelah selatan berbatas dengan Padang Sidempuan.
Luas kecamatan Sipirok 72,085 km, dengan ketinggian di atas 900 m dari
permukaan laut. Sebagaimana dengan daerah-daerah yang ada di Indonesia
dengan ketinggian seperti itu, Kecamatan Sipirok merupakan juga mempunyai
musim yang sama dengan tempat-tempat lainnya, yaitu musim hujan dan musim
selain menanam padi daerah ini menghasilkan tanaman yang tidak tergantung
pada air, seperti karet, kopi, lada, kayu manis, tembakau, cengkeh, dan lain
sebagainya.
1.6.1 Kecamatan
Kabupaten Tapanuli Selatan terdiri atas 14 kecamatan yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
1.6.2 Pemekaran
Nama Kecamatan Padang Sidempuan dihapus dengan pemekaran menjadi
Kecamatan Padang Sidempuan Utara dan Kecamatan Padang Sidempuan Selatan
Sidempuan Barat (menjadi Angkola Barat) dan Kecamatan Padang Sidempuan
Timur (Angkola Timur) menjadi bagian dari Kabupaten Tapanuli Selatan.
1.6.3 Kecamatan yang menjadi wilayah Kabupaten Padang Lawas
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
1.6.4 Kecamatan yang menjadi wilayah Kabupaten Padang Lawas Utara
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
1.7 Mata Pencaharian
Mata pencaharian utama masyarakat adalah bertani dengan menanam padi
di musim penghujan. Baik yang mengolah tanah pertaniannya milik sendiri, atau
mengusahakan tanah milik orang lain dengan sistem bagi hasil. Setiap bulan
September-Desember petani turun kesawah dan mengelola sawahnya.
Jika cukup baik dengan curah hujan cukup, maka para petani lebih mudah dalam
mengelola sawahnya. Pengerjaan sawah, dari mulai mengolah tanah sampai
dengan menanam memakan waktu 2-3 bulan, sedangkan waktu untuk
mendapatkan hasil panen 5-6 bulan dari waktu tanam.
Jika selesai panen disawah mereka melanjutkan pekerjaannya dengan
menanam tanaman muda atau palawija, seperti cabai, kacang tanah, kacang
panjang, kacang merah, kacang kedelai, jagung, dan lain sebagainya. Masa
penanaman palawija dilakukan pada awal musim kemarau, sehingga petani harus
bekerja keras mencari air guna menanam tanaman itu. Penyiraman dilakukan 2
kali, yaitu pagi dan sore. Cara penyiramannya juga sangat sederhana seperti
menggunakan alat ember dan gayung. Tanaman palawija yang mereka tanam dan
telah menghasilkan, mereka kembali lagi menanam palawija yang disesuaikan
dengan tanaman padi berikutnya. Hasil yang diperoleh oleh petani sebahagian
dikonsumsi sendiri dan sebahagiannya lagi dijual untuk keperluan lainnya antara
lain menyekolahkan anak-anaknya dan bersosialisasi dengan keluarga, kerabat
ataupun jiran tetangga.
Selain bertani mereka juga mempunyai keahlian lain, seperti membuat
kramik/grabah, kerajinan tangan dan manik-manik berupa dompet, tempat sirih,
1.8 Budaya Masyarakat Angkola
Kebudayaan Masyarakat Angkola dalam banyak hal mempunyai
persamaan dengan kebudayaan masyarakat Mandailing. Adat-istiadat kedua
masyarakat tersebut tidak banyak berbeda. Demikian juga bahasanya.Masyarakat
Angkola merupakan masyarakat agraris yang hidupnya banyak tergantung kepada
pertanian, sawah dan perkebunan yang ditanami dengan karet, kopi, kulit manis,
dan lain-lain. Masyarakat Angkola pada umumnya bertempat tinggal beberapa
desa. Umumnya desa-desa tersebut terletak tidak jauh dari lahan persawahan dan
perkebunan milik penduduk. Desa tempat tinggal dinamakan huta.
1.9 Adat Masyarakat Angkola
Acara perkawinan etnis Angkola, sistem kekerabatan yang terbentuk
dalam struktur Dalihan Na Tolu sangat penting kedudukannya dan berperan
dalam upacara mangupa.
Ketiga unsur fungsional dari sistem sosial Dalihan Na Tolu itu
masing-masing disebut mora, kahanggi, dan anak boru. Mora merupakan anggota kerabat
yang berstatus sebagai pemberi anak dara dalam perkawinan. Kahanggi adalah
anggota kerabat satu marga. Anak boru adalah anggota kerabat yang berstatus
sebagai penerima anak dara dalam perkawinan. Antara para kerabat yang berstatus
sebagai mora dan berstatus sebagai anak boru terdapat hubungan perkawinan.
Diantara sesama kerabat yang berstatus sebagai kahanggi terdapat hubungan
Prinsipnya, adat yang merupakan kaidah atau norma-norma, menata dan
memolakan perilaku orang-orang Angkola dalam hidup bermasyarakat.
Sistem sosial Dalihan Na Tolu yang terdapat dalam kehidupan masyarakat
Angkola, merupakan suatu mekanisme tradisional yang berfungsi untuk
menjalankan adat sebagai suatu kekuatan penggerak perilaku hidup
bermasyarakat. Kekuatan penggerak dalam mekanisme adat yang berupa sistem
sosial Dalihan Na Tolu itu, adalah tiga komponen fungsionalnya yang terdiri dari
mora, kahanggi, dan anak boru yang masing-masing anggota kerabat yang satu
sama lainnya terikat oleh hubungan perkawinan atau hubungan darah. Ketiga
komponen fungsional dari sistem sosial itu, dikonsepsikan oleh masyarakat
Angkola-Hutapadang (Sipirok) sebagai suatu Dlihan (tungku) penumpu yang
terdiri dari tolu (tiga) unsur fungsional, yakni mora, kahanggi dan anak boru.
1.10 Sistem Kekerabatan
Pelaksanaan upacara adat mangupa, berkaitan erat dengan sistem
kekerabatan yang dianut oleh masyarakat Angkola-Sipirok. Oleh karena itu perlu
diuraikan beberapa hal penting mengenai sistem kekerabatan masyarakat
Angkola. dalam sistem kekerabatannya, masyarakat Angkola-Sipirok menganut
garis keturunan patrilineal (garis keturunan dari pihak ayah). Berdasarkan garis
keturunan yang patrilineal itu, masyarakat Angkola membentuk
kelompok-kelompok kekerabatan besar yang disebut marga sebagai gabungan dari
orang-orang yang merupakan keturunan dari seseorang-orang kakek bersama. Oleh karena itu
di dalam masyarakat Angkola terdapat sejumlah marga yang masing-masing
mempunyai namanya sendiri-sendiri, seperti marga Siregar, Harahap, marga Pane,
Hubungan kekerabatan yang timbul akibat terjadinya perkawinan.
Melahirkan dua macam status kekerabatan yang masing-masing disebut mora dan
anak boru. Orang-orang yang berada dalam pihak yang memberi anak gadis
dalam perkawinan berstatus sebagai mora dan orang-orang yang berada dalam
pihak penerima anak gadis dalam perkawinan berstatus anak boru. Sistem
kekerabatan yang berlaku pada masyarakat Angkola, setiap orang dapat
memperoleh status kekerabatan sebagai mora, kahanggi, dan anak boru.
Masing-masing kekerabatan tersebut memberikan kepada seseorang hak dan kewajiban
tertentu yang satu sama lain berlain-lainan. Hak dan kewajiban seseorang dalam
statusnya sebagai mora berlainan dengan hak dan kewajiban yang ditentukan oleh
status kekerabatan itu dapat dilihat pada waktu seseorang ikut dalam pelaksanaan
upacara adat atau pada waktu orang-orang yang berlainan status kekerabatannya
sedang berinteraksi.
Hubungan ini ungkapan yang berbunyi:
“Somba Marmora elek maranak boru, manat markahanggi” yang artinya
“Hormat terhadap mora, pandai-pandai mengambil hati anak boru, bersikap
cermat terhadap kahanggi”. Ungkapan tersebut dengan jelas mengungkapkan
bahwa seseorang yang berstatus sebagai mora berhak untuk dihormati oleh
kerabatnya yang berstatus anak boru, dan sebagai orang yang berstatus kahanggi
ia wajib bersikap cermat terhadap kerabatnya yang punya status sama, dan ia juga
punya hak untuk memperoleh perlakuan yang cermat dari kerabatnya yang
mempunyai status sebagai kahanggi.
Sejalan dengan sistem kekerabatannya, masyarakat Angkola mempunyai
dan mengatur panggilan yang harus digunakan oleh seseorang terhadap para
kerabatnya sesuai dengan status kekerabatannya masing-masing. Dua orang
laki-laki yang masing-masing punya status kekerabatan kahanggi misalnya
menggunakan panggilan angkang (abang) dan anggi (adik). Dalam hal ini yang
usianya lebih tua menggunakan panggilan anggi terhadap yang berusia lebih
muda. Sebaliknya, yang berusia lebih muda menggunakan panggilan angkang
terhadap yang berusia lebih tua.
1.11 Sistem Organisasi Sosial
Masyarakat Sipirok (Hutapadang) menganut sistem perkawinan exogami.
Marga yang menetukan bahwa perkawinan hanya boleh dilakukan antara
orang-orang yang berlainan marga. Perkawinan dilakukan dengan adat manjujur.
Artinya dalam pelaksanaan perkawinan calon pengantin laki-laki diwajibkan
memberikan mas kawin yang disebut tuhor kepada pihak calon istrinya. Di
samping itu, calon pengantin laki-laki harus menjemput calon istrinya untuk
dibawa kerumah orang tuanya. Upacara persemian perkawinan secara adat yang
disebut horja haroan boru yang diselenggarakan dirumah orang tua pengantin
laki-laki.
Upacara adat untuk meresmikan perkawinan hanya boleh dilakukan
setelah lebih dahulu mendapat persetujuan dari tokoh-tokoh pimpinan tradisional
setempat itu dinamakan harajaon dan hatobangon.
Waktu sistem pemerintahan tradisional masih berlaku dalam wilayah
Angkola Hutapadang (setelah masa kemerdekaan tidak berlaku lagi),
masing-masing komunitas desa yang disebut huta di wilayah tersebut dikepalai oleh
Pemerintahan dijalankan secara demokrasi oleh Raja Pamusuk
bersama-sama dengan sejumlah tokoh pemimpin masyarakat. Kependudukan mereka yang
melembaga sebagai pimpinan, Raja Pamusuk disebut sebagai harajaon (yang
dirajakan) dan tokoh-tokoh pemimpin atau pemuka masyarakat yang ikut yang
menjalankan pemerintahan bersama raja disebut sebagai hatobangon (tokoh-tokoh
yang dituakan).
Selain raja yang berpangkat sebagi Raja Pamusuk. Di wilayah Angkola
dahulu terdapat pula raja-raja yang berpangkat Raja Panusunan Bulung yang
berkedudukan didesa induk ialah desa asal dari penduduk yang kemudian pergi
membuka desa-desa lain yang berstatus sebagai anak dari desa induk. Dalam
pelaksanaan pemerintahan, antara suatu desa induk dengan desa-desa yang
berstatus sebagai anaknya tidak terdapat hubungan struktural. Karena
masing-masing desa anak menjalankan pemerintahan secara otonom, tetapi dalam hal
urusan adat, misalnya dalam penyelenggaraan upacara-upacara adat, desa-desa
anak tetap terikat secara struktural dengan desa induk masing-masing. Hal ini
Raja Panusunan Bulung memegang wewenang tertinggi untuk mengesahkan
keputusan musyawarah adat yang harus dilakukan untuk setiap penyelenggaraan
upacara adat, seperti upacara adat perkawinan dan kematian.
Masa sekarang, setelah sistem pemerintahan tradisional dihapuskan,
eksistensi Raja Panusunan Bulung, Raja Pamusuk, dan Hatobangon hanya
berlaku dalam konteks penyelenggaraan upacara adat. Demikian juga wewenang,
hak dan kewajiban mereka yang tradisional. Dalam urusan pemerintahan mereka
Karena hingga kini hak dan wewenang para pemimpin tradisional itu
dalam urusan adat masih tetap berlaku dan diakui oleh masyarakat, maka
tokoh-tokoh Harajaon Panusunan Bulung harus diikutsertakan dalam setiap
musyawarah adat yang dilakukan dalam konteks penyelenggaraan upacara adat,
seperti upacara mangupa. Seperti upacara mangupa. Merekalah yang memegang
wewenang sepenuhnya untuk mengesahkan berlakunya semua hasil mufakat yang
dibuat melalui musyawarah itu. Demikian, masyarakat Angkola yang ada di
Hutapadang (Sipirok) tidak dapat menyelenggarakan upacara adat tanpa
persetujuan dan pengesahan dari harajaon, hatobangon, dan panusunan bulung.
Begitulah keadaannya yang berlaku dalam masyarakat Angola-Hutapadang
sampai saat ini.
Prosedur Mengambil keputusan :
1. Suhut Sihabolonan/Sepangkalan : Penyampai niat dan hajat
2. Ompu Nikotuk (khusus Angkola) : Menyimpulkan.
3. Hatobangon Nihuta : Penjawab/Penjelasan
4. Raja Nihuta : Penjawab/Penjelasan
5. Raja Adat yang Semarga : Penjawab/ seadat/penjelasan
6. Raja adat dari daerah na humaliang humaloho : penjawab/memberi
pendapat.
7. Raja-Raja Torbing Balok : Penjawab/memberi pendapat.
8. Orang Kaya/Goruk-goruk Hapinis : Penyusun apa-apa yang akan
dilaksanakan.
9. Raja Pangondian( khusus Angkola) : Menyimpulkan pendapat
Raja-raja Torbing Balok.
10.Raja Panusunan Bulung : Menutup/mengucapkan Horas 3 kali (Sutan
Managor, 1995: 21)
1.12 Sistem Religi
Agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan
peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan
dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Kata "agama"
menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal darireligio dan berakar padare-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya
dengan bereligi, seseorang mengikat dirinya kepad
Masa sekarang umumnya orang-orang Angkola menganut agama Islam,
dan hanya sedikit yang menganut agama Kristen (protestan). Tetapi nenek
moyang mereka pada zaman dahulu (sebelum agama Islam dan Kristen masuk ke
wilayah Angkola-sipirok) menganut religi tradisional yang dikenal sebagai pele
begu (pemujaan roh-roh nenek moyang). Ajaran religi tersebut mengakui adanya
berbagai macam mahluk halus dan kekuatan-kekuatan gaib yang dapat
menimbulkan pengaruh buruk, misalnya penyakit dan mala petaka, atas diri
manusia. Selain itu ada juga mahluk halus dan kekuatan gaib yang dapat memberi
kekuatan memberikan kebaikan gaib bagi manusia.
Pengaruh masuknya agama Islam dan agama Kristen ke wilayah Angkola
maka lama-kelamaan penduduk di wilayah tersebut meninggalkan Religi
pele-begu. Karena kedua agama tersebut memberantas dengan keras sistem religi
tradisional yang sama sekali bertentangan dengan ajaran Islam dan Kristen.
Namun demikian, sebagian dari upacara yang berasal dari masa berlakunya
pemujaan terhadap roh nenek moyang masih tersisa penyelenggaraannya
disesuaikan dengan keadaan yang tidak dilarang oleh agama yang dianut oleh
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Pustaka yang Relevan
Kepustakaan yang relevan atau sering juga disebut tinjauan pustaka ialah
salah satu cara untuk mendapatkan referensi yang lebih tepat dan sempurna tentang
informasi/data yang ingin kita teliti. Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan,
dan pendapat (sesudah menyelidiki atau mempelajari). Sedangkan pustaka adalah
kitab, buku, primbon (Alwi dkk, 2003 :912).
Memudahkan referensi pendukung, teori dan konsep yang berhubungan
dengan tulisan ini, yang dapat dijadikan sebagai bahan acuan pedoman penulis
terlebih dahulu melakukan tinjauan kepustakaan yang berguna untuk
memudahkan penulis dalam mencari data-data tambahan yang berhubungan
dengan judul yakni : Tinjauan Pragmatik pada Upacara Mangupa Masyarakat
Tapanuli Selatan oleh Asrul Siregar. didalam buku tersebut dikatakan bahwa
dalam upacara Mangupa, hal yang paling sering disebut-sebut adalah tondi. Tondi
adalah kekuatan, tenaga, semangat jiwa (soul force) yang memelihara ketegaran
rohani dan jasmani agar tetap seimbang dan kukuh, keras dan menjaga harmoni
kehidupan setiap individu (Harahap, 1991 :226). Tenaga spiritual yang gaib itu
dapat dipancarkan kepada orang lain dalam arti mengayomi dan membahagiakan
orang lain. Tondi merupakan roh yang berdiri sendiri. dalam keadaan tidak sadar,
tondi seseorang berada di luar badan dan jiwanya. Ketika seseorang sedang tidur,
misalnya tondi dapat mengembara sesukanya dan bahkan mungkin juga bertemu
dan bergabung dengan begu ‘roh jahat’. Pengalaman tondi yang mengembara
ditafsirkan maknanya. Itulah sebabnya bila seseorang akan melakukan suatu
perbuatan yang sangat penting, dia meminta agar tondi-nya pergi berkonsultasi
dengan roh-roh leluhur untuk mendapatkan petunjuk apakah pekerjaan yang akan
ia lakukan pantas untuk dilakukan. Misalnya dengan membaca mantra,
menyediakan ramuan tertentu. jika tondi meninggalkan badan, maka orang itu
akan sakit, begitu juga bila meninggal dunia, tondi-nya pun akan meninggalkan
badannya berubah menjadi tondi ni na mate ‘tondi orang mati’ yang disebut
sahala atau simangot atau roh leluhur. dalam keadaan ketakutan yang mendadak,
tondi dapat juga meninggalkan badan. Misalnya, seseorang diserang dengan
mencacungkan parang ke wajahnya. Orang itu langsung terperanjat.
Agar tondi tetap tenang, kuat dan tegar senantiasa di dalam badan, maka di
adakanlah berbagai macam upacara mangupa. Upacara mangupa dimaksudkan
untuk mengembalikan tondi ke badan atau agar tondi yang ada di badan tetap kuat
dan tegar. Latar belakang pelaksanaan mangupa dapat terjadi karena seseorang
lolos dari mara bahaya atau rasa syukur atas keberuntungan. Bila seseorang lolos
dari mara bahaya atau baik dari sakit, upacara mangupa disebut mangupa mulak
tondi tu badan, sedangkan mangupa karena keberuntungan dilakukan karena
keberuntungan itu sendiri mengandung mara bahaya juga. Selain itu penulis juga
menambahkan referensi yang ditulis oleh Parlaungan Ritonga “ Makna Simbolik
dalam Upacara Mangupa Masyarakat Angkola-Sipirok di Tapanuli Selatan”.
Pengertian mangupa ialah mempersembahkan dengan cara tertentu sesuatu yang
disebut upa-upa kepada orang atau orang-orang tertentu melalui suatu upacara
dengan tujuan agar orang atau orang-orang yang dipersembahi upa-upa itu
Selain buku-buku penulis juga menambahkan referensi dari internet. ada
banyak makna yang terkandung dalam mangupa selain fungsi paulak tondi tu
badan (memanggil tondi ke badan), upacara mangupa juga memiliki fungsi
nasehat, doa dan harapan.
2.2 Teori Yang Digunakan 2.2.1 Teori Semiotika
Semiotika berasal dari bahasa Yunani yaitu semion yang berarti“tanda”.
Perkembangan semiotika modern, muncul dua ahli yang menjadi pelopor, yaitu
Ferdinand de Sauusure dan Charles Sanders Pierce.
Menurut Ferdinand de Saussure semiotika adalah cabang ilmu tanda.
Ferdinand de Saussure mengembangkan dasar-dasar teori lingusitik umum dan
mengatakan bahwa bahasa sebagai sistem tanda, masing-masing terdiri atas dua
sisi, yaitu signifian (penanda atau sesuatu yang dapat dipersepsi sebagai tanda)
dan signifie (petanda atau isi atau makna tanda itu).
Pierce (dalam Zoest, 1992: 1)
“Mengusulkan kata semiotika sebagai sinonim kata logika. Menurut Pierce, logika harus mempelajari bagaimana orang bernalar. Penalaran itu, menurut hipotesis teori Pierce yang mendasar dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda-tanda memungkinkan kita berpikir, berhubungan dengan orang lain, dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Dengan mengembangkan teori semiotika, Pierce memusatkan pada fungsinya tanda pada umumnya”.
Lebih jelasnya untuk mempermudah mengkaji sebuah tanda yang ada
didalam masyarakat Pierce ( dalam Sobur, 2003:42) membagi tanda atas tiga
acuannya berupa hubungan kemiripan. Misalnya, sebuah peta geografis dengan
sebuah potret. Indeks adalah hubungan tanda dengan acuannya karena adanya
hubungan sebab akibat. Misalnya, asap berarti api karena api umumnya penyebab
asap. Simbol adalah hubungan antara tanda dan konsepnya bersifat arbitrer dan
konvensional. Misalnya, anggukan kepala yang menandakan persetujuan dan
tanda kebahasaan.
Dua pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa Pierce memandang
semiotika sebagai tanda pada umumnya dan segala sesuatu bisa menjadi tanda.
Saussure juga memandang semiotika sebagai sistem tanda yang utama.
Sesuai dengan hipotesis bahwa semiotika meengkaji semua proses
kebudayaan sebagai proses komunikasi serta merupakan suatu studi yang
mempelajari tentang tanda dan lambang yang mempunyai makna sesuai dengan
pemahaman si pengirim dan si penerima.
Penelitian ini lebih menitikberatkan kepada semiotika komunikasi.
Ferdinand de Saussure berpendapat semiotika komunikasi adalah tanda sebagai
bagian dari proses komunikasi. Artinya, dikatakan tanda adalah apabila seorang
pengirim menyampaikan sesuatu maksud dengan menggunakan kode atau benda
kepada penerima dan penerima mengerti apa yang disampaikan oleh pengirim.
Oleh karena itu, setiap tanda memberi makna atau informasi apa saja yang
terkandung di dalamnya.
2.2.2 Teori Makna
Ferdinan de Saussure mengatakan bahwa tanda memiliki dua entitas yaitu
signifier dan signified’ atau ‘tanda dan makna’ atau ‘penanda dan tanda’.
disebut tanda. Istilah tanda dapat pula diidentikkan dengan bentuk yang
mempunyai makna.
Makna merupakan hubungan antara penanda-penanda dan
objeknya.Makna sangat berperan dalam suatu tanda karena suatu tanda
mengandung makna dan informasi.
2.2.3 Teori Fungsi
Fungsi menurut Bascom (dalam Danandjaja, 1991 :19) ada tiga yaitu : 1. Sebagai sistem proyeksi (projective system), yakni sebagai alat pencermin
angan-angan kolektif.
2. Sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan.
3. Sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya.
Menurut Koentjaraningrat (dalam Danandjaja, 1991:76) mengatakan:
“Fungsi yang paling menonjol dalah sebagai penebal emosi keagamann dan kepercayaan. Hal ini disebabkan manusia yakin akan adanya mahluk-mahluk gaib yang menempati alam sekeliling tempat tinggalnya dan yang berasal dari jiwa orang mati, atau manusia yakin adanya dengan gejala-gejala yang tidak dapat diterangkan dan dikuasai oleh akalnya, atau manusia percaya akan adanya suatu kekuatan sakti dalam alam, atau manusia mendapat suatu firman dari Tuhan, atau semua sebab tersebut diatas.
Fungsi-fungsi ini berkaitan dengan makna dan tanda yang ada dalam
upacara mangupa tersebut. Tanda-tanda ini merupakan suatu bentuk pencerminan
angan-angan masyarakat Ankgola. Mereka menciptakan fungsi setiap tanda itu
berdasarkan aturan-aturan yang ada pada kebudayaan mereka. Mereka mematuhi
adat sesuai dengan ciri khas mereka sendiri dan menjaganya agar dapat
Seperti pendapat dari Admansyah(1994:53),
“Adat itu merupakan ketentuan hukum sehingga merupakan norma-norma sesuai dengan ciri khas dari suatu suku atau tiap suku atau bangsa akan memupuknya menurut falsafah daerah atau negerinya masing-masing. Dengan demikian berarti generasi demi generasi akan mewarisinya sebagai pusaka yang diamanahkan oleh para leluhurnya dahulu yang harus diteruskan turun temurun secara sadar dan penuh tanggung jawab”.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Dasar
Metode dasar yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode
deskriptif. Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecah masalah
yang diselidiki dengan menggambarkan/melukiskan keadaan objek/subyek
penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang
berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya. (Nanawi 1991 :63).
dalam metode deskriptif, penulis akan berusaha mengungkapkan dan memaparkan
hasil yang sebenarnya sesuai dengan keadaannya sekarang.
Penelitian deskriptif ini lebih bersifat penemuan fakta-fakta seadanya,
penelitian yang tidak sekedar menunjukkan distribusinya, akan tetapi termasuk
dalam usaha mengemukakan satu dengan yang lainnya di dalam aspek-aspek yang
diselidiki.
Data utama dalam penelitian ini adalah data lisan yaitu berupa informasi
tentang makna simbolik tanda-tanda mangupa dalam upacara perkawinan
masyarakat Angkola. Metode yang digunakan adalah metode cakap atau
percakapan langsung dengan penutur selaku narasumber. Kemudian, metode ini
dikembangkan dengan teknik pancing sebagai teknik dasar. Dalam teknik pancing
narasumber dipancing berbicara untuk mendapatkan data. Selain itu, teknik cakap
semuka peneliti mengarahkan dan mengendalikan pembicaraan sehingga peneliti
dapat memperoleh data selengkapnya.
Peranan narasumber sangat menentukan keakuratan data yang diperoleh
mengetahui kebudayaannya. Pemilihan narasumber didasarkan pada
persyaratan-persyaratan berikut:
1. Berjenis kelamin pria dan wanita 2. Lahir dan besar di daerah penelitian. 3. Berusia antara 30-70
4. Memiliki kebanggaan terhadap kebudayaannya
5. Pengetua adat, yang mengetaui dengan jelas tentang seluk-beluk adat-istiadat;
6. Mempunyai ketertarikan didalam penelitian mengenai kebudayaan; dan
7. Sehat jasmani (tidak cacat berbahasa dan memiliki pendengaran yang baik) dan rohani( tidak gila atau pikun) (Mahsun, 1995: 25)
3.2 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian penulis adalah Kecamatan Arse Desa Nanggar Jati Huta
Padang Kabupaten Tapanuli Selatan.Alasan penulis memilih lokasi penelitian ini
adalah karena mayoritas penduduknya adalah Batak Angkola dan juga
dikarenakan masyarakatnya masih melaksanakan upacara mangupa tersebut.
3.3 Sumber Data Penelitian
Adapun sumber data penulisan ini adalah :
a. Pengetua adat dan masyarakat setempat yang dijadikan penulis sebagai
informan dalam melakukan penelitian langsung kelapangan dan bertanya
langsung kepada pengetua adat dan masyarakat setempat agar penelitian
yang didapat lebih konkret dan bisa dipertanggung jawabkan agar tidak
terjadi kesalahan pemahaman masyarakat Angkola yang ada di Sipirok
Kabupaten Tapanuli Selatan.
b. Penelitian kepustakaan dengan cara mencari sumber data dari buku-buku
yang sesuai dengan judul skripsi ini. Hal yang akan dilakukan agar
digunakan penulis sebagai referensi dalam penyelesaian skripsi ini
sehingga penelitian ini lebih mudah dilakukan dan pengerjaan skripsi ini
menjadi lebih mudah.
3.4 Instrumen Penelitian
Sumber data penelitian ini adalah data lapangan yang melalui wawancara
dengan beberapa informan yang tinggal di desa tersebut. dalam melakukan
wawancara dengan informan, penulis menggunakan instrument penelitian berupa
daftar yang diajukan penulis dalam melakukan wawancara dengan informan.
Alat bantu yang digunakan yaitu:
1. Alat rekam (tape recorder)
2. Kamera digital
3. Pulpen
4. Buku tulis.
3.5 Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam pengumpulan data lapangan antara lain :
1. Metode observasi yaitu penulis langsung kelapangan melakukan
pengamatan terhadap objek penelitian.
2. Metode wawancara (Depth interview) digunakan untuk memperoleh
informasi tentang upacara mangupa kepada tokoh-tokoh adat yang ada di
Kecamatan Sipirok. Wawancara ini juga akan menggunakan pedoman
wawancara yang telah dipersiapkan dan disusun terlebih dahulu.
3. Metode Kepustakaan (library research) yaitu pengumpulan data melalui
buku-buku yang berhubungan dan berkaitan dengan penelitian tersebut.
data yang didapatkan dari lapangan dapat diolah semaksimal mungkin
sesuai dengan tujuan yang digariskan. Dalam metode ini penulis mencari
buku-buku pendukung yang berkaitan dengan masalah penelitian.
3.6 Metode Analisis Data
Analisis data merupakan proses pengaturan data, mengorganisasikannya
ke dalam suatu pola, kategori dari suatu uraian dasar. dalam penelitian ini data
yang diperoleh akan diolah dan dianalisis secara kualitatif. Metode atau cara
mengelola data mentah sehingga menjadi data yang akurat dan ilmiah dipakai
dengan metode struktural.
Adapun langkah-langkah metode analisis data ini adalah sebagai berikut :
a. Menerjemahkan data yang di peroleh dari bahasa daerah ke bahasa
Indonesia.
b. Data diklasifikasikan sesuai dengan objek pengkajian.
c. Menganalisis makna dan fungsi mangupa pada upacara perkawinan
BAB IV PEMBAHASAN
4.1Upacara Mangupa
Hidup bermasyarakat agar dapat memperoleh kehidupan yang bahagia,
haruslah dipelajari melalui relung-relung hati yang dalam dan dengan pemikiran
yang dalam dan toleran pula. Menurut adat, kebaikan itu diperoleh dan ditemui
dalam lubuk hati yang dalam yang disebut dengan holong. Holong berarti cinta
dan kasih sayang dalam antar sesama. Holong ini timbullah domu yang
membentuk persatuan dan kesatuan yang menjadi sumber kekuatan.
Holong dan domu inilah yang menjadi paradigma atau tolak ukur,
sekaligus menjadi sumber dari segala sebagai landasan dari masyarakat adat.
Holong dan domu ini melahirkan petunjuk (pegangan) hidup dan cita-cita
masyarakat adat. Petunjuk hidup dan cita-cita ini terdiri dari butir-butir yang
disebut patik-patik ni paradaton yang harus didalami, dihayati dan diamalkan
oleh seluruh anggota masyarakat adat. Petunjuk hidup dan cita-cita itu akan
memberi pedoman yang bernilai paradigmatik bagi masyarakat adat untuk
mencapai ketentraman dan kebahagiaan.
Salah satu petunjuk dan cita-cita yang berupa pedoman hidup untuk
mencapai kebahagiaan itu adalah mangupa.
Mangupa adalah merupakan upacara adat yang penting dalam masyarakat
adat. Sasaran dari pangupa adalah tondi. Pada masyarakat Karo disebut tendi.
Apabila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang itu kehilangan
semangat hidup, wajahnya pucat tidak berwibawa, bahkan ada yang sakit.
nyaris dibunuh perampok, tondi nya juga dapat meninggalkan badan. Ini yang
disebut dengan habang tondi atau tarkalimun-mun, atau hilang semangat.
Kadar dari tondi ini untuk setiap orang tidak sama. Apabila kadar tondi
nya tinggi, seseorang akan dapat mengatasi tantangan yang dihadapi. Ada yang
tegar (solid) dan ada yang rawan dan rentan (labil).
Mangupa dilakukan dengan maksud agar orang tetap bersemangat tidak
selalu diliputi oleh rasa was-was dan ketakukan, maka tondi nya harus kuat dan
bersemangat. Itulah sebabnya orang yang lepas dari marabahaya agar jangan
selalu ketakutan (trauma) dan was-was perlu diadakan upacara mangupa agar
tondi nya kembali kuat dan hidupnya kembali bersemangat (mulak tondi tu badan,
semangat kembali kedalam jasmani). Selain itu mangupa juga bertujuan untuk
pernyataan syukur karena lepas dari marabahaya, demikian pula untuk rasa syukur
karena keberuntungan. rasa syukur ini merupakan paradigma religius, bagi insan
yang berketuhanan dan beriman.
Orang yang mendapat keberuntungan juga perlu di upa menurut adat,
karena keberuntungan juga akan mendapat tantangan berupa godaan, pujian,
sanjungan dan ancaman. Bahkan orang yang mendapat keberuntungan sering
memperoleh penyakit-penyakit hati, seperti ria, sombong, kikir dan sebagainya.
Untuk itu masyarakat adat mengantisipasinya dengan memberikan pasu-pasu dari
pangupa.
Apabila tondi bersemanyam dengan nyaman dan kuat di dalam badan,
maka orang itu akan mempunyai tenaga spiritual yang kuat yang dapat
Semakin kuat tondi bersemayam di dalam badan, maka semakin kuat pula
pancaran spiritual sehingga tua (sahala) seseorang semakin tinggi. Apabila
seseorang martua-marsahala, maka ia akan mempunyai kekuatan karismatis dan
berwibawa. Raja yang mempunyai kekuatan karismatis akan sangat berwibawa
dan sangat dipatuhi pula oleh rakyatnya, demikian juga mora yang mampu
mengayomi anak boru nya tersebut. Seseorang kakek atau nenek akan sangat
dihormati sebagai idola dan teladan oleh keturunannya apabila ia seorang yang
sangat berwibawa dan dihormati oleh orang lain.
Itulah sebabnya upacara pemberian ulos dihubungkan dengan pemberian
sahala kepada yang di ulosinya yang berwujud pengayoman dari yang mangulosi.
Menurut prinsip adat mangulosi, yang memberi ulos atau mangulosi, ialah tokoh
atau figur yang lebih tinggi harkadnya, misalnya karena lebih tua atau lebih besar
kekuasaannya atau lebih bermartabat, lebih berilmu, kepada orang yang relatif
lebih rendah kedudukannya.
4.2Pengertian Mangupa
Upacara mangupa atau upah-upah merupakan salah satu adat yang berasal dari Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Upacara Mangupa bertujuan untuk
mengembalikan tondi kebadan dan memohon berkah dari Tuhan Yang Maha Esa
agar selalu selamat, sehat dan murah rezeki dalam kehidupan. Upaya memanggil
tondi ke badan dilakukan dengan cara menghidangkan seperangkat bahan
(perangkat pangupa) dan nasehat pangupa (hata pangupa atau hata upah-upah)
yang disusun secara sistematis dan dilakukan oleh berbagai pihak yang terdiri dari
yang dibaca pada waktu upacara mangupa. Perkataan lain, pangupa adalah buku
bacaan yang berisi petunjuk dan pesan agar selamat dalam menempuh kehidupan.
Menurut tradisi masyarakat Angkola, yang mempersembahkan upa-upa
ialah sejumlah anggota kerabat dari orang yang dipersembahi upa-upa itu bersama
dengan tokoh-tokoh pimpinan tradisional setempat. Mereka mempersembahkan
upa-upa dengan mengucap pidato adat. Upacara untuk mempersembahkan
upa-upa ada yang diselenggarakan sebagai bagian dari upacara perkawinan dan ada
pula yang diselenggarakan secara berdiri sendiri. Hubungan ini, yang dijadikan
sebagai objek penelitian ialah mangupa dalam konteks upacara perkawinan yang
diselenggarakan menurut tradisi Angkola.
Yang disebut sebagai upa-upa ialah beberapa jenis bahan makanan
tertentu yang sudah dimasak yang diletakkan diatas wadah yang khusus.
Masing-masing bahan makanan yang bersangkutan dan wadahnya berfungsi untuk
melambangkan berbagai makna dan harapan dari orang-orang yang
mempersembahkannya. Selain itu, upa-upa merupakan benda-benda atau
perlengkapan upacara. Keadaannya yang terintegrasi sebagai satu kesatuan
perlengkapan upacara, upa-upa biasa disebut sebagai pangupa.
4.3 Komponen Upacara Mangupa a. Tempat Upacara
Mangupa patobang anak atau haroan boru dilaksanakan sebelum tengah
hari di rumah atau tempat pelaksanaan acara adat pernikahan (horja).
Waktu dipergunakan sebagai tempat upacara, dinding ruang depan rumah,
pada posisi yang disebut juluan dimana kedua pengantin dimana kedau penganti
ruangan itu pada posisi yang sama ditutup pula dengan kain hiasan yang disebut
langit-langit. Sebahagian lantai ruangan biasanya dilapisi dengan ambal
(permadani) dan tikar pandan. Untuk tempat duduk tokoh-tokoh harajaon,
hatobangon, dan Raja Panusunan Bulung disediakan tikar adat yang dinamakan
lage lapisan atau amak lapisan yang terbuat dari anyaman daun pandan. Tempat
duduk kedua pengantin juga dilapisi dengan tikar adat yang sama. Tikar adat itu
ada yang berlapis tiga dan ada pula yang berlapis lima. Tikar yang terbanyak
lapisannya disediakan untuk tempat duduk tokoh-tokoh yang paling tinggi
kedudukannya menurut ketentuan adat, seperti RajaPanusunan Bulung.
b. Pemimpin dan Peserta
Upacara mangupa Haroan Boru biasanya dipimpin langsung oleh Raja
Panusunan Bulung, yaitu seseorang yang diangkat sebagai pemimpin adat
dilingkungan yang sedang mengadakan horja. Raja Panusunan Bulung
memegang tampuk adat dalam upacara adat dalam upacara adat (Marakub,1969)
dan merupakan Raja adat yang dianggap ahli tentang adat-istiadat (Diapari,
1990).
Raja Panusunan Bulung bertindak sebagai pemimpin yang merangkum
semua hata pangupa dan membacakan Surat Tumbago Holing. Surat Tumbago
Holing adalah ayat-ayat atau kalimat-kalimat yang berisi ajaran tentang
kebenaran, kebaikan, dan estetika. Raja Panusunan Bulung menerjemahkan
semua perangkat pangupa dan esensi dari nasehat, harapan, dan boa dari berbagai
pihak yang sudah memberikan hata pangupa berdasarkan nilai-nilai dalam Surat
Peserta dalam upacara Mangupa Haroan Boru adalah pengantin laki-laki
dan perempuan. Selain mempelai, upacara Mangupa Haroan Boru harus
memenuhi struktur adat dalam Tapanuli Selatan, yaitu Dalihan Na Tolu. Tanpa
kehadiran Dalihan Na Tolu, maka upacara mangupa tidak bisa dilaksanakan
karena struktur adat tidak terpenuhi. Ketiga unsur Dalihan Na Tolu itu adalah
kahanggi, anak boru, dan mora.
Upacara mangupa sebaiknya juga memenuhi unsur adat lainnya yang
mencakup Pisang Rahut, Hatobangon, Raja Pamusuk, Raja Tording Balok, Raja
Panusunan Bulung, dan ulama ( pamuka agama). Pisang Rahut tergolong dalam
kelompok anak boru, yaitu anak boru dari anak boru suhut. Hatobangon adalah
wakil-wakil dari tiap marga yang bertempat tinggal dikampung yang mengadakan
horja. Raja Pamusuk dapat disamakan sebagai ketua kampung pelaksanaan
upacara mangupa. Raja Tording Balok adalah Raja-raja yang berasal dari
kampung-kampung yang berdekatan dengan kampung yang sedang
menyelenggarakan upacara adat.
c. Tujuan
Tujuan dari mangupa adalah memperkuat tondi atau mengembalikan tondi
kedalam tubuh agar yang diupa tegar menghadapi tantangan ataupun dapat hidup
normal kembali seperti biasa apabila tondinya telah hilang.
Jadi tujuan acara mangupa itu ialah untuk memulihkan semangat yang
tadinya seakan-akan melayang atau kelimbungan, ataupun untuk menguatkan
kembali semangat (spirit) yang tadinya mengalami kegoncangan (shock of spirit)
d. Sasaran dari Pangupa
Perkataan tondi tidak dapat dipisahkan dari perkataan pangupa. Tondi adalah tenaga spiritual yang memelihara ketegaran jasmani dan rohani agar serasi,
selaras dan seimbang dalam kehidupan seseorang dalam bermasyarakat.
Menurut Hasibuan: dalam pandangan adat, manusia seutuhnya terdiri dari
3 unsur, yaitu: Badan, Jiwa (roh) dan Tondi. Badan adalah jasad yang kasar, terlihat dan teraba. Jiwa (roh) adalah benda abstrak yang menggerakkan badan kasar tadi. Tondi adalah benda abstrak yang mengisi dan menuntun badan kasar dan jiwa tadi dengan tuah sehingga seseorang kelihatan berwibawa dan punya
marwah. (Hasibuan, 1989:25).
Orang gila atau rusak akal dianggap tidak martondi. Badannya sehat, jiwa
(roh) nya ada, tapi karena tondi nya tidak ada sebagai penuntun badan kasar dan
jiwa tadi, maka dia menjadi manusia yang tidak normal.
e. Hubungan Pangupa dengan Tondi
Badan atau jasad kasar manusia agar tetap kuat memerlukan makanan
yang baik dan mengandung vitamin. Bahan-bahan yang disajikan dalam pangupa
itulah seperti daging, ikan, sayur, telur dan sebagainya, makanan dari jasad kasar
atau badan manusia. Selesai mangupa yang diupa diberi makan, agar jasmaninya
tetap kuat.
Makanan dari tondi adalah pasu-pasu dari pangupa, yaitu kata-kata yang
berwujud doa, harapan, nasehat dan pedoman hidup yang disampaikan oleh
pembaca pangupa (penafsir makna komponen makanan pangupa itu secara rinci).
Ada macam-macam tingkatan pangupa, yaitu :
a. Telur ayam (pira manuk). Pangupa yang paling sederhana. Pangupa ini
terdiri dari: telur ayam dan nasi, garam, udang, ikan, sayur daun ubi dan
air putih ( untuk diminum). Yang hadir biasanya hanya yang satu rumah,
kalau ada orang luar kemungkinan adalah orang yang membawa
upa-upa. Nasi dan perlengkapannya (telur dan garam) diletakkan diatas piring
adat (pinggan godang). Ayam (pangupa manuk). Ayam yang akan
disajikan dipanggang (digulai) tanpa dipotong-potong atau jika dipotong
sesuai dengan dengan tulanannya (ditulani), yaitu dada 2 potong, sayap 2
potong, kaki 2 potong, tulang belakang 2 potong, kepala, kemudian
berikut isi perut (rempala, hati). 3 butir telur yang direbus, ikan garing
(anak ikan mera), nasi putih dan garam. Semuanya dimasak (siap
makan). Ditaruh di pinggan godang, sebagai dasar nasi, kemudian
sebelah depan 3 telur dibariskan disampingnya garam, ayam diatur di
tengah ikan disamping kiri kanan ditutup dengan bulung ujung dan
kemudian kain adat. Yang hadir anggota keluarga dan kaum kerabat
lainnya.
b. Kambing (pangupa hambeng). Dengan pangupa hambeng, biasanya
acara mangupa ini dilakukan pada acara yang benar-benar merupakan
acara resmi. Pada acara ini secara resmi potong kambing yang
bagian-bagian kambing yang dijadikan bahan pangupa.
Bagian-bagian kambing yang dijadikan pangupa adalah kepala kambing,
kaki depan kanan, kaki kiri belakang, ekor, sedikit dagingnya, dan hati,
sebagaimana telah disebut pada pangupa ayam. Piringnya tentu
disediakan piring pangupa yang lebih besar. Yang hadir tentunya lebih
lengkap dan ditambah dengan namora natoras serta raja pamusuk.
c. Kerbau (pangupa horbo).
Pangupa horbo adalah pangupa yang paling tinggi yang biasanya
merupakan pangupa yang dilakukan pada acara-acara yang diadakan
raja-raja dan turunannya. Pada acara tersebut khusus dipotong yang
bagian-bagiannya yang tertentu dipergunakan untuk pangupa, sebagian
lagi untuk diberikan kepada tamu raja-raja adat yang ikut pada acara
mangkobar adat dalam keadaan mentah. Sisanya dimasak untuk
disajikan pada tamu-tamu yang datang.
Bahan-bahan yang disediakan untuk pangupa horbo/hambeng sama dengan yang
di atas, yaitu :
1. Nasi putih.
Makna : Tanda keikhlasan hati dalam hati dalam segala hal. Untuk sampai di atas piring, nasi memerlukan proses panjang dan kerja keras.
Dimulai dengan melihat bulan yang baik untuk menabur bibit,
mencangkul, menanam, menyiangi sampai kepada panen, menumbuk padi
menjadi beras menjadi nasi. Warna melambangkan keikhlasan.
2. Telur ayam
Makna : Agar jiwa dan raga bersatu padu, tetap selamat dan sehat-sehat. Kuning telur bermakna sebagai agar mendapat rezeki yang banyak.
Sebaiknya 3 butir telur. Lambang Dalihan Na Tolu kahanggi, anak boru,
dan mora.
Orang Batak mengganggap manusia itu terdiri dari 3 unsur :
Unsur badan kasar yang diraba. Unsur badan halus yang tidak terraba.
Unsur inilah yang menggerakkan badan kasar tersebut, dan yang disebut
unsur tondi. Yang membuat manusia sehat dan bertuah.
Fungsi : Sebagai lambang permohonan doa Dan kuning telur dilambangkan sebagai emas.
3. Garam
Makna : Garam bermakna sebagai kekuatan. Maksudnya seperti kekuatan garam itulah kekuatan masyarakat keturunannya. Tidak seperti kekuatan
besi yang patah pada tekanan tinggi atau hancur lebur dibuat oleh api pada
temperatur tinggi.
Seseorang disebut kuat jika kata-katanya didengar orang. Mardai na ni dok
nia. Kata-katanya mengenai dihati (dapat diterima).
Fungsi : Sebagai bahan dalam upacara mangupa( pelengkap upa-upa yang mempunyai arti/makna).
4. Air putih
Makna : Air putih melambangkan keikhlasan. Mengerjakan sesuatu haruslah dengan hati yang bersih dan ikhlas.
5. Ikan
Makna : Ikan yang dipakai untuk pangupa adalah ikan garing yaitu anak ikan jurung yang panjangnya lebih kurang 1 jengkal. Ikan garing ini
adalah anak ikan jurung yang menjelang dewasa. Ikan garing hidup di air
deras dan selalu menyongsong ke hulu, sanggup melompati air terjun,
lincah mencari makan. Kalau sudah besar ikan ini menjadi lamban dan
hanya hidup mencari air tenang dan dalam (lubuk). Ikan ini terdiri dari 2
ekor yang melambangkan suami isteri seperti ikan, yang selalu sama-sama
ke hulu dan sama-sama ke hilir. Ada kalanya ditambah dengan haporas
dan incor na di durung( ikan-ikan kecil), supaya tetap horas, horas dan
selalu bersama.
Fungsi : Bahan dalam mangupa.
6. Udang
Makna : Udang melambangkan strategi kehidupan. Gerakan maju-mundur merupakan karakter udang. Gerak maju dan maju-mundur, hanya
bergantung pada situasi dan kondisi dimana yang paling menguntungkan.
Maju satu langkah, mundur 2 langkah untuk mengambil ancang-ancang
untuk maju kembali pada saat yang tepat.
Fungsi : Udang berfungsi sebagai bahan dalam upacara mangupa.
7. Daun ubi
Makna : Dun ubi lambang umur panjang dan bermanfaat, karena ubi tidak dapat diukur panjangnya sampai sejauh mana. Sayur matua bulung.