• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPACARA ADAT MANGUPA PATOBANG ANAK PADA MASYARAKAT BATAK ANGKOLA DI TULANG BAWANG BARAT (ANALISIS MAKNA SIMBOL) (Skripsi) Oleh: SARIAH HARAHAP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "UPACARA ADAT MANGUPA PATOBANG ANAK PADA MASYARAKAT BATAK ANGKOLA DI TULANG BAWANG BARAT (ANALISIS MAKNA SIMBOL) (Skripsi) Oleh: SARIAH HARAHAP"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

(Skripsi)

Oleh:

SARIAH HARAHAP

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2016

(2)

Abstrak

UPACARAADAT MANGUPA PATOBANG ANAK PADA MASYARAKAT BATAK ANGKOLA

DI TULANG BAWANGBARAT (ANALISIS MAKNA SIMBOL)

Oleh:

Sariah Harahap

Masyarakat Batak Angkola di Tulang Bawang Barat masih melakukan upacara adat mangupa patobang anak di tengah-tengah homogenitaas masyarakat sekitarnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah pelaksanaan dan makna simbolis pada perlengkapan upacara mangupa patobang anak pada masyarakat batak angkola di Tulang Bawang Barat. Metode yang digunakan adalah metode hermeneutika. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam, observasi, dan dokumentasi. Teknik analisis data menggunakan teknik analisis data kualitatif. Hasil penelitian menunjukan upacara adat mangupa patobang anak yang dilaksanakan masyarakat batak angkola di Tulang Bawang Barat telah mengalami adaptasi dan modifikasi. Adaptasi meliputi peringkasan prosesi-prosesi dan pergantian perlengkapan yang tidak ditemukan di Tulang Bawang Barat dengan yang sejenis. Adaptasi dan modifikasi tidak mengubah makna dari upacara.

(3)

(Skripsi) Oleh:

SARIAH HARAHAP

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA PENDIDIKAN

Pada

Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2016

(4)
(5)
(6)
(7)

1993, anak kelima dari enam bersaudara putri dari pasangan Bapak Sarimanaon Harahap dengan Ibu Masriana Siregar.

Pendidikan formal yang pernah ditempuh:

1. Sekolah Dasar (SD) di SD Negeri 04 Jagakarsa, Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta selesai tahun 2005

2. Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Negeri 3 Tulang Bawang Tengah, Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung selesai tahun 2008

3. Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Negeri 2Menggala, Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung selesai tahun 2011,

Tahun 2011 penulis tercatat sebagai mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan IPS Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN Undangan.

Pada tahun 2013 penulis melaksanakan KKL dengan tujuan Yogyakarta – Jawa Tengah – Jakarta. Lalu pada tahun 2014 penulis melaksanakan KKN dan PPL di SMA Negeri 1 Lemong, Pekon Pugung penengahan, Kecamatan Lemong, Kabupaten Pesisir Barat.

(8)

PERSEMBAHAN

Alhamdulillah, Puji Syukur Kehadirat Allah SWT yang telah memberikan semua kesempatan dalam hidup ini. Sehingga dengan segala rasa syukur dan kerendahan hati, kupersembahkan skripsi ini kepada:

Kedua orangtuaku yang tercinta, Bapak Sarimanaon Harahap dan Ibu Masriana Siregar yang telah mengupayakan segalanya demi tercapainya cita-cita ku

Seluruh keluarga besarku yang menjadi alasan terkuatku untuk terus berjuang

Para Bapak dan Ibu guru dan dosenku tercinta yang telah memberikan motivasi dan inspirasi hingga Aku bisa berada pada tahap saat ini.

Almamater tercinta Universitas Lampung

(9)

“ Learn from Yesterday, life for today, hope for tomorrow”

(belajar dari hari kemarin, hidup untuk hari ini, berharap untuk hari esok)

(albert einstein)

(10)

SANWACANA

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan Hidayah- Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Upacara Adat Mangupa Patobang Anak pada Masyarakat Batak Angkola di Tulang Bawang Barat (Analisis Makna Simbol)” penulis selesaikan sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana pendidikan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.

Dalam penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, motivasi, bimbingan, dan saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarnya kepada:

1. Bapak Dr. Muhammad Fuad, M. Hum, Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung;

2. Bapak Dr. Abdurrahman, M.Si, Wakil Dekan Bidang Akademikdan kerjasama Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung;

3. Bapak Drs. Buchori Asyik, M.S, Wakil Dekan Bidang Keuangan, Umum dan Kepegawaian Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung;

4. Bapak Drs. Supriyadi, M.Pd, Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaandan alumni Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.

(11)

6. Bapak Drs. Syaiful. M, M.Si, Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung;

7. Ibu Dr. R. M Sinaga, M.Hum, Pembimbing I yang dengan ikhlas dan sabar memberikan arahan, masukan, motivasi dan bimbingannya kepada penulis dengan baik dalam menyelesaikan skripsi ini;

8. Bapak Drs. Wakidi, M.Hum, Pembimbing Akademik sekaligus Pembimbing II yang dengan ikhlas dan senantiasa sabar membimbing, mengarahkan, dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dengan baik;

9. Seluruh Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung Drs. H. Iskandar Syah, M.H, Drs. H. Ali Imron M.Hum, Drs. H.

Maskun M.H, Drs. Syaiful M, M.Si, Drs. Wakidi, M.Hum, Drs. Tontowi Amsia, M.Si, Dr. R.M Sinaga, M.Hum, Hendry Susanto, S.S, M.Hum, M.

Basri, S.Pd, M.Pd, Yustina Sri Ekwandari, S.Pd, M.Hum, Suparman Arif, S.Pd, M.Pd, Cheri Saputra, S.Pd, M.Pd, Myristica Imanita, S.Pd, M.Pd.;

10. Bapak dan Ibu staff tata usaha dan karyawan Universitas Lampung;

11. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Dikti) yang telah memberikan bantuan beasiswa Bidik Misi;

12. Abang-Abangku Mepri Santosa Harahap (Alm), Aris Kirahman Harahap, Suparman Harahap dan Maraindan Harahap yang telah menjadi sahabat dalam berbagi cerita;

(12)

13. Adikku tersayang Lani Wati Harahap terimakasih atas pengertian nya selama ini;

14. Keponakan-keponakanku Nur Fadilah Harahap, Sahrul Ma’arif Harahap, Nazwa Trisa Putri Harahap, Arbes Harahap, Adit Harahap, Sintia Amanda Harahap dan Fathan Al-Mi’raj Harahap yang telah menjadi sumber motivasi terbesarku untuk menjadi sukses;

15. Sahabat terbaikku Patrik Atena, Terimakasih atas persahabatan kita selama ini, serta kebaikanmu yang begitu besar menolongku dalam segala keadaan;

16. Terimakasih kepada Uwak Muhammad Hakim Pasaribu, S.Pd, M.Pd beserta keluarga atas semua bantuannya;

17. Terimakasih kepada seluruh responden dan narasumber yang telah memberikan informasi sebagai data penelitian;

18. Semua pihak yang membantu dalam proses penyusunan skripsi.

Semoga amal ibadah dan ketulusan hati Bapak, Ibu serta saudara telah berikan semua mendapat imbalan dari Tuhan Yang Maha Esa. Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Tulang Bawang, 01 Maret 2016 Penulis

Sariah Harahap

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Kegunaan Penelitian ... 8

E. Ruang Lingkup Penelitian ... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERAANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka ... 11

1. Konsep Kebudayaan ... 11

2. Konsep Makna Simbol ... 12

3. Konsep Upacara Adat Mangupa Patobang Anak ... 13

3.1 Pengertian ... 13

3.2 Tata Cara ... 14

3.3 Perlengkapan dan Makna ... 16

B. Kerangka Pikir ... 19

C. Paradigma ... 20

III. METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian ... 22

B. Lokasi Penelitian ... 23

C. Variabel Penelitian ... 24

D. Definisi Operasional Variabel ... 25

E. Informan ... 26

F. Teknik Pengumpulan Data ... 26

1. Teknik Wawancara Mendalam ... 27

2. Teknik Observasi ... 27

3. Teknik Dokumentasi ... 28

G. Teknik Analisis Data ... 29

(14)

ii

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Daerah Penelitian ... 32

1. Sejarah Singkat Kabupaten Tulang Bawang Barat ... 32

2. Letak dan Batas Kabupaten Tulang Bawang Barat ... 34

3. Kependudukan ... 35

4. Pendidikan ... 36

5. Kesehatan ... 38

6. Keagamaan ... 39

B. Hasil Penelitian ... 40

1. Upacara Adat Mangupa Patobang Anak ... 39

1.1 Deskripsi ... 39

1.2 Rangkaian Upacara ... 43

1.2.1 Persiapan ... 43

1.2.2 Pelaksanaan ... 46

1.3 Perlengkapan Upacara ... 56

1.4 Peranan Dalihan Na Tolu ... 58

1.5 Peranan Masyarakat ... 62

2. Makna Simbol Perlengkapan dalam Pelaksanaan Upacara Adat Mangupa Patobang Anak ... 64

2.1 Makna Perlengkapan ... 64

2.2 Arti Penting Pelaksanaan Upacara ... 74

2.3 Antara Masyarakat dan Pulungan ... 74

2.4 Persepsi Masyarakat Terhadap Pelaksanaan Upacara adat Mangupa Patobang Anak ... 77

2.5 Sumber Pengetahuan Masyarakat Tentang Upacara adat Mangupa Patobag Anak ... 80

C. Pembahasan ... 81

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 88

B. Saran ... 88 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kecamatan Dan Luas Wilayahnya Tahun 2013 ... 32

Tabel 2. Jumlah Penduduk Di Kecamatan Dan Jenis Kelamin Tahun 2013 .... 34

Tabel 3. Jumlah Sekolah Negeri Berdasarkan Jenjang Pendidikan Di Kecamatan Tahun 2013 ... 35

Tabel 4. Jumlah Guru Dan Jumlah Murid Di Kecamatan Tahun 2013 ... 36

Tabel 5. Jumlah Fasilitas Kesehatan Di Kecamatan Tahun 2013 ... 37

Tabel 6. Jumlah Sarana Ibadah Di Kecamatan Tahun 2013 ... 38

Tabel 7. Hubungan Antara Pulungan Dengan Gelar Adat Atau Panggilan Yang Di Sematkan ... 42

Tabel 8.Tata Urutan Nasihat Berdasarkan Struktur Kekerabatan ... 51

Tabel 9Keterangan Sistem Kekerabatan. ... 59

(16)

iv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1Suasana Makan Bersama ... 47

Gambar 1.2Proses Penataan Burangir Taon-Taon... 48

Gambar 1.3 Mempelai Diberikan Nama Gelar Dan Disahkan Dengan Cara Dipangir Menggunakan Perlengkapan Salah Satunya Beras Kuning ... 50

Gambar 1.4 Salah Satu Keharuan Ketika Memberikan Nasihat ... 53

Gambar 1.5Susunan Hidangan Upa-Upa ... 57

Gambar 1.6 Bunga Dingin-Dingin ... 72

(17)

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Masing-masing suku bangsa memiliki kebudayaanya sendiri. Kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa, karsa manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Kebudayaan sendiri memiliki tiga wujud yaitu ide, aktivitas, dan hasil aktivitas yang berupa benda atau artefak. “Suku bangsa adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan, kesadaran dan identitas tadi seringkali dikuatkan oleh kesatuan bahasa” (Koentjaraningrat, 2009: 215). Salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia adalah suku Batak.

Bangsa Batak termasuk salah satu kelompok pribumi di Indonesia tercinta ini.

Menurut Bagarna Sianipar (2013:10) Suku Batak dibagi dalam enam sub suku yaitu 1).Batak Toba, 2).Batak Angkola, 3).Batak Mandailing, 4).Batak Simalungun, 5).Batak Dairi dan 6).Batak Karo. Secara umum masing-masing sub- suku Batak ini memiliki wilayah tersendiri. Seperti Batak Angkola dan Mandailing yang pada zaman dahulu umumnya mendiami daerah Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan. Saat ini suku bangsa Batak sudah menyebar di berbagai tempat di Indonesia. Salah satunya di daerah Tulang Bawang Barat.

Daerah Tulang Bawang Barat merupakan Kabupaten baru yang resmi berpisah dari Kabupaten induknya (Tulang Bawang) pada tahun 2008. Mereka merantau dan akhirnya menetap di perantauan hingga turun temurun.

(18)

2

Hal ini seperti yang dikatakan Nuryani dkk bahwa “masyarakat Batak adalah perantau-perantau yang ulet dan tangguh. Tetapi dimanapun mereka berada adat istiadat dan budaya daerahnya tak pernah ditinggalkan” (Nuryani dkk, 2007:45)

Kedatangan masyarakat Batak ke Tulang Bawang Barat secara umum dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi. Yaitu adanya harapan memperoleh kesempatan untuk memperbaiki taraf hidup. Seperti pendapat Everett S Lie ada empat faktor yang menyebabkan orang mengambil keputusan untuk melakukan migrasi yaitu faktor yang terdapat di daerah asal, faktor yang terdapat di daerah tujuan, rintangan yang menghambat dan faktor-faktor pribadi.

Pada migrasi masyarakat Batak ke Tulang Bawang Barat yang menjadi faktor di daerah asal adalah kurangnya lapangan pekerjaan dan sulitnya akses komunikasi dan informasi. Sedangkan faktor yang terdapat di daerah tujuan adalah harapan- harapan yang tidak ditemukan di daerah asal.

Migrasi ini dilakukan oleh salah satu orang sebagai yang mengawali. Setelah beberapa waktu berlalu, terjadi perbaikan taraf hidup di tempat baru. Lalu kabar perbaikan taraf hidup itu terdengar oleh orang-orang di tempat asal. Sehingga kerabat maupun tetangga di tempat asal berbondong-bondong melakukan migrasi ke daerah tujuan.

Menurut hasil wawancara, di Tulang Bawang Barat sendiri migrasi ini berawal pada tahun 1978. Diawali oleh sekitar 10 orang kepala keluarga mendiami tempat yang terpisah pisah. Walaupun di perantauan tinggal ditempat terpisah, kesepuluh keluarga tersebut saling berkomunikasi dan membuat agenda rutin pengajian.

(19)

Tahun-tahun berikutnya, terjadi peningkatan jumlah masyarakat Batak di Tulang Bawang Barat. Hingga sekarang terdapat kurang lebih empat ratus keluarga Batak Angkola-Mandailing di Kabupaten Tulang Bawang Barat. Masyarakat yang melakukan migrasi, secara alamiah membawa kebudayaan yang dimilikinya menjadi suatu yang telah mendarah daging. Seiring berjalanya waktu kebudayaan- kebudayaan itu disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada di lingkungan baru.

Suku Batak yang ada di Tulang Bawang Barat masih menjunjung tinggi persatuan. Dibuktikan dengan adanya perkumpulan-perkumpulan musyawarah guna menyelesaikan masalah yang ada. Selain itu, telah dibentuk suatu paguyuban di wilayah Way Abung II yang diberi nama Keluarga Besar Batak Muslim (KBBM). Paguyuban ini bertujuan menghimpun masyarakat Batak Muslim yang ada di Way Abung II dengan berbagai kegiatan yang bermanfaat. Salah satu kegiatanya yaitu Rap Mulak Tu Huta. Adalah merupakan kegiatan bersama-sama pulang ke kampung halaman (Sumatera Utara). Selain bersilaturahmi dan melepas rindu dengan keluarga, acara ini juga bertujuan mengenalkan anak-anak yang lahir dan besar diperantauan agar mengenal kampung kelahiran orangtuanya. Dengan harapan, suatu saat anak-anak perantauan tidak lupa dengan asal-usulnya dan tetap melestarikan budaya yang ada.

Suku Batak Angkola di Tulang Bawang Barat masih menggunakan adat sebagai pedoman hidup sehari-hari. Salah satunya dengan mempertahankan tradisi yaitu melakukan upacara adat mangupa.

(20)

4

Upacara adat mangupa adalah proses upacara adat yang merupakan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas keberhasilan yang diperoleh, serta dilindunginya seseorang dari marabahaya. Upacara adat ini sudah menjadi tradisi yang diperoleh dari nenek moyang masyarakat Angkola untuk tetap dilaksanakan sampai sekarang.

Ada beberapa jenis upacara adat mangupa, yaitu mangupa anak tubu (menyambut kelahiran bayi); manggoar daganak tubu untuk memberi nama anak yang baru lahir; paginjamg obuk, untuk menggunting rambut anak yang baru lahir agar tumbuh rambut baru; paijur daganak tubu untuk membawa anak yang masih bayi keluar rumah; manangko dalan untuk membawa bayinya ke tempat yang diinginkan, kemudian membawakan oleh-oleh kepada tetangga agar anak tersebut kelak bisa pergi dengan perjalanan jauh; manjagit parompa yaitu memberikan parompa sadun (ulos Batak) yang diberikan dari pihak mora kepada kelahiran cucu pertama; patobang anak atau pabagas boru (pernikahan anak laki-laki maupun perempuan) dan marbongkat bagas atau memasuki rumah baru.

Dari beberapa upacara mangupa yang telah disebutkan diatas, ada tiga upacara mangupa yang wajib dilakukan, diantaranya mangupa marbongkat bagas, patobang anak atau parbagas boru dan manjagit parompa. Dari ketiga upacara mangupa diatas, yang tetap dilakukan dilokasi penelitian adalah mangupa patobang anak dan mangupa parbagas boru. Sedangkan kedua yang lainya sudah jarang dilakukan. Mangupa patobang anak dan parbagas boru itu sendiri dilakukan dalam suasana pesta perkawinan.

(21)

Pada masyarakat Batak, perkawinan adalah salah satu mata rantai kehidupan yang cara pelaksanaanya melalui hukum-hukum adat yang sudah menjadi darah daging dari dulu sampai sekarang. Tujuan perkawinan pada masyarakat Batak pada umumnya:

1. Pertanggung-jawaban dalam naluri biologis atau melanjutkan keturunan;

2. Untuk mendapatkan anak laki-laki sebagai ahli waris;

3. Memupuk hubungan kekeluargaan;

4. Menambah kaum kerabat;

5. Syarat untuk memperoleh kebahagiaan;

6. Melaksanakan ajaran agama;

7. Merupakan suatu keharusan. (Depdikbud, 1978: 25)

Upacara adat mangupa patobang anak bertujuan untuk mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas jodoh yang telah diberikan kepada sang anak.

Selain itu juga, untuk memenuhi tuntutan tondi (jiwa). Upacara dilakukan di kediaman pihak mempelai laki-laki dengan berbagai proses sesuai aturan yang ada.

Menurut Barth (1988: 10) budaya adalah milik suatu bangsa tertentu berdasarkan ciri masing-masing. Suatu budaya etnik tidak akan bertahan lama kecuali terjadi isolasi geografis dan isolasi sosial. Apa yang dikemukakan oleh Barth dapat dijadikan suatu alasan bahwa budaya masyarakat perlahan akan hilang selama masyarakat itu berbaur dan berinteraksi dengan masyarakat lain.

Masyarakat Batak Angkola di Tulang Bawang Barat tentu mengalami interaksi dan pengaruh sosial budaya dari lingkungan barunya, karena penduduk kabupaten Tulang Bawang Barat terdiri dari suku bangsa lain yang mempunyai kebudayaan masing-masing. Namun, hingga saat ini masyarakat Batak Angkola di Tulang Bawang Barat masih bertahan dengan adat istiadatnya.

(22)

6

Dengan fakta yang ada, bahwa masyarakat Batak Angkola di Tulang Bawang Barat masih melaksanakan upacara adat mangupa patobang anak, maka hal ini merupakan suatu fenomena budaya yang patut diteliti. Karena, ditengah-tengah masyarakat yang plural dan sebagai masyarakat minoritas, masyarakat Batak masih menjunjung tinggi adat dan istiadat.

“Upacara dan perlengkapan atau peralatan adalah dua unsur religi yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya amat berkaitan erat dalam pengertian yang satu memerlukan yang lain. Dalam religi masyarakat bersahaja, suatu upacara tidak atau belum boleh dilaksanakan bila peralatan yang harus menyertainya tidak atau belum lengkap” (Noerid Haloei Radam, 2001: 30).

Seperti upacara-upacara adat yang lain, dalam suatu proses upacara adat mangupa patobang anak ada perlengkapan yang harus disediakan. Dari masing-masing perlengkapan yang disediakan tentunya memiliki makna simbol yang tersirat di dalamnya. “Sebagai pranata sosial maka upacara tradisional penuh dengan simbol-simbol yang merupakan alat komunikasi manusia. Sekaligus juga sebagai penghubung dunia nyata dan dunia gaib. Terbentuknya simbol-simbol tersebut berdasarkan nilai-nilai etis dan pandangan hidup yang berlaku dalam masyarakat”

(Depdikbud, 1985:1)

Dari penelitian pendahuluan yang dilakukan peneliti, melalui proses wawancara tidak terstruktur, didapati bahwa delapan dari sepuluh orang tidak memahami makna dalam upacara adat mangupa patobang anak. Hal tersebut memberi gambaran bahwa masih banyak masyarakat Batak Angkola sendiri kurang memahami makna yang terkandung dalam upacara mangupa patobang anak.

(23)

Meskipun upacara tersebut masih dilakukan, namun kebanyakan si pelaku sendiri tidak begitu paham dengan makna kegiatan yang dilaksanakan.

Sedangkan menurut Budiono Herusatoto (2008: 48) “pelaksanaan upacara adat tradisional seharusnya dilaksanakan dengan penuh kesadaran, pemahaman dan penghayatan yang tinggi yang dianut secara tradisional dari generasi satu ke generasi berikutnya. Oleh karenanya, upaya mengkaji dan memahami makna dibalik simbol-simbol dalam sebuah tradisi perlu dilakukan.”

Selain itu, tokoh adat setempat, Bapak Sarimanaon Harahap juga membenarkan bahwa memang pemahaman masyarakat adat Batak Angkola mengenai makna pada perlengkapan pada upacara mangupa patobang anak masih kurang.

(Sarimanaon harahap, wawancara dengan tokoh adat, 14 April 2015: 19.00)

Kurangnya pemahaman masyarakat ini menimbulkan suatu kekhawatiran akan tergerusnya suatu kebudayaaan masyarakat Batak Angkola. Karena idealnya dibutuhkan suatu pemahaman dan penghayatan yang tinggi dalam pelaksanaan suatu kegiatan upacara. Hal ini dibutuhkan agar generasi-generasi selanjutnya tetap memahami dan memaknai budaya ini serta berkeinginan untuk melestarikannya menjadi sebuah kearifan lokal yang akan tetap ada.

Berangkat dari kenyataan kurangnya pemahaman masyarakat, maka peneliti bermaksud melakukan penelitian dengan judul “upacara adat mangupa patobang anak pada masyarakat Batak Angkola di Tulang Bawang Barat (Analisis Makna Simbol)”.

(24)

8

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah pelaksanaan upacara adat mangupa patobang anak pada masyarakat Batak Angkola di Tulang Bawang Barat?

2. Apa sajakah makna simbolis pada perlengkapan upacara adat mangupa patobang anak pada masyarakat Batak Angkola di Tulang Bawang Barat?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimanakah pelaksanaan upacara adat mangupa patobang anak pada masyarakat Batak Angkola di Tulang Bawang Barat 2. Untuk mengetahui apa sajakah makna simbolis perlengkapan dalam

upacara adat mangupa patobang anak pada masyarakat Batak Angkola di Tulang Bawang Barat

D. Kegunaan penelitian

Kegunaan dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua yaitu:

1. Kegunaan Teoritis

a. Untuk memberikan tambahan referensi pengetahuan bidang ilmu Antropologi tentang budaya adat Batak Angkola

b. Untuk referensi penelitian-penelitian selanjutnya 2. Kegunaan Praktis

Bagi para generasi muda agar dapat memahami kebudayaan leluhurnya agar tetap dilestarikan menjadi suatu kearifan lokal.

(25)

E. Ruang Lingkup Penelitian

1. Objek Penelitian : Upacara adat mangupa patobang anak

2. Subjek Penelitian : Masyarakat Batak Angkola di Kabupaten Tulang Bawang Barat

3. Tempat Penelitian : Kabupaten Tulang Bawang Barat 4. Waktu Penelitian : 2015

5. Ilmu Penelitian : Antropologi Budaya

(26)

10

REFERENSI

Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Hal 215

Bagarna Sianipar. 2013. Horas, dari Batak untuk Indonesia. Jakarta: Rumah Indonesia. Hal xxi

Ibid. Hal 10

Endang Sri Nuryani, dkk. 2007. Mengenal Kebudayaan Suku-Suku Bangsa Indonesia. Bandung: Angkasa. Hal 45

Depdikbud. 1978. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sumatera Utara.

Jakarta: Depdikbud. Hal 25

F.Barth. 1988. Kelompok Etnis dan Batasannya. Jakarta: UI Press Hal 10 Noerid Haloei Radam.2001.Religi Orang Bukit. Yogyakarta: Semesta Hal 30 Depdikbud. 1985. Upacara Tradisional yang Berkaitan dengan Peristiwa Alam

dan Kepercayaan daerah Sumatera Utara. Jakarta: Depdikbud. Hal 1 Budiono Herusatoto. 2008. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta:

Hanindita Hal 48

Wawancara. Tokoh Adat: S. Harahap. Pada tanggal 14 April 2015. Pukul 19.00

(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka

1. Konsep Kebudayaan

“Secara epistemologis kata “kebudayaan” berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau

“akal”. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan akal” (Koentjaraningrat, 2009: 146)

Menurut E. B Taylor dalam buku berjudul Sosiologi Suatu Pengantar karangan Soerjono Soekanto, “kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat” (Soekanto, 2012:

150)

Sedangkan menurut Selo Soemardjan dan Solaeman Soemardi

“kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Karya tersebut akan menghasilkan teknologi, kebudayaan atau benda yang akan digunakan oleh masyarakat itu sendiri untuk memenuhi kehidupanya”.

(Soekanto, 2012: 151)

(28)

12

Dari beberapa pendapat di atas, maka pengertian kebudayaan adalah semua cipta, rasa dan karsa manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

2. Konsep Makna Simbol

Untuk mendapat pemahaman mengenai masalah yang sedang diteliti, peneliti menguraikan konsep makna simbol sebagai berikut ini. Menurut Mudjia Raharjo makna bukanlah sekedar isyarat yang dibawa oleh bahasa. Karena bahasa sudah dapat mengungkapkan realitas dengan jelas, tetapi pada saat yang sama dapat menyembunyikan rapat-rapat, tergantung pada pemakainya.

Untuk memahami makna maka diperlukan pemahaman mengenai konteks kapan, dimana dan dalam keadaan apa serta kepada atau oleh siapa kata tersebut dipakai. (Raharjo, 2006: 39)

Sedangkan E. Sumaryono mengatakan “makna diberikan kepada objek oleh subjek, sesuai dengan cara pandang subjek. Bagaimana makna itu diperoleh tergantung dari banyak faktor. Yaitu siapa yang berbicara, keadaan khusus yang berkaitan dengan waktu, tempat, ataupun situasi yang dapat mewarnai arti sebuah peristiwa bahasa”. (Sumaryono, 1993: 29-30)

Menurut Blomer (Spradley, 1997:7) dasar interaksionisme simbolik adalah

“makna berbagai hal itu berasal dari, atau muncul dari interaksi sosial seorang dengan orang lain. Kebudayaan sebagai suatu sistem makna yang dimiliki bersama, dipelajari, diperbaiki, dipertahankan, dan didefisikan dalam konteks orang yang berinteraksi.

(29)

Sedangkan simbol atau lambang, memiliki pengertian yang berbeda dengan tanda. Perbedaan itu menurut Agus Cremersdan De Santo Johanes, dijelaskan sebagai berikut:

Simbol adalah tanda konkret dimana suatu penanda dihadirkan karena adanya hubungan motivatif dengan penanda aktual . Linguis F Bresson mengatakan simbol merupakan suatu objek, gerak isyarat atau gambaran yang menurut hubungan penanda dengan yang ditandakan mengacu pada suatu objek lain. Berbeda dengan tanda, simbol memiliki hubungan analogis dengan objek lain itu. Searah dengan definisi linguistis, Levi- Strauss membatasi simbol sebagai ekuivalen signikatif dari hal yang ditandakan, dan yang berasal dari tingkatan realitas lain daripada ditandakan itu. (Herusatoto, 2001: 154)

Maka menurut pendapat di atas, perbedaan antara lambang atau simbol dengan tanda adalah makna yang di dalamnya. Simbol-simbol memiliki keterkatitan analogis dengan konsep yang dibawanya. Sedangkan tanda lebih merujuk pada wujud lahiriah yang dapat diamati, yang tidak memiliki keterkaitan dengan konsep yang ditunjukkan oleh keberadaan tanda tersebut.

Untuk mempertegas konsep makna sebagai apa yang dibawa oleh simbol, adalah dengan mengacu pada pendapat Clifford Geerzt yang mendefinisikan konsep makna dalam istilah budaya mengacu kepada apa yang dibawa oleh budaya. Budaya itu sendiri merupakan simbol-simbol yang harus ditafsirkan maknanya. (Geerzt, 2000: 17)Jadi dapat disimpulkan bahwa makna adalah hasil penafsiran atau intepretasi yang erat hubunganya dengan suatu hal atau benda yang relatif bagi penafsiran. Dalam penelitian ini akan mengungkapkan makna simbol dari perlengkapan upacara mangupa patobang anak.

3. Konsep Upacara Mangupa Patobang Anak 3.1 Pengertian

“Upacara tradisional adalah kegiatan sosial yang melibatkan seluruh warga masyarakat, demi tercapainya keselamatan bersama. Manusia sebagai makhluk sosial cenderung memiliki sifat ingin selalu bekerja sama. Hal tersebut didorong oleh sifat alamiah manusia untuk melestarikan hidupnya”.

(Depdikbud, 1985: 1)

(30)

14

Upacara mangupa adalah proses upacara adat yang dilaksanakan di Tapanuli Selatan yang merupakan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas keberhasilan yang diperoleh, dilindungi dari bahaya dan untuk mengembalikan tondi ke badan agar kembali sehat. Tondi adalah bagian roh yang bersemayam di dalam jasmani manusia. Apabila tondi meninggalkan badan maka orang itu akan jatuh sakit. Agar tondi tetap tenang, tegar dan kuat dalam badan, maka diadakanlah upacara mangupa. (Simanjuntak, 2007: 1)

“Mangupa yaitu upacara adat dengan menyampaikan pesan-pesan adat dan petunjuk kepada kedua pengantin bayo pangoli dan boru na di oli. Biasanya mangupa dapat diartikan sebagai ungkapan kegembiraan atas sesuatu yang telah terwujud.” (Pane, 2013 : 63)

“Upacara mangupa patobang anak adalah salah satu jenis upacara mangupa yang dilaksanakan pada upacara pernikahan. Upacara ini dilaksanakan di kediaman pihak pengantin laki-laki. Secara harfiah kata mangupa berarti memberi. Kata patobang anak berasal dari kata tobang yang berarti tua.

Patobang anak berarti menuakan anak. Artinya mengantarkan anak menuju kehidupan seseorang dewasa dengan segala tanggung jawab baru.”

(Sarimanaon Harahap, wawancara dengan tokoh adat , 10 Maret 2016:

19.00)

Upacara ini selain untuk mengungkapkan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa, upacara ini juga ditujukan untuk memberikan nasihat-nasihat pernikahan kepada kedua mempelai. Serta dilakukan pemberian gelar adat kepada kedua mempelai yang menandakan bahwa ia sudah wajib ikut dalam kegiatan-kegiatan adat.

3.2 Tata Cara

Setelah selesai upacara akad nikah maka upacara yang akan diselenggarakan di rumah mempelai laki-laki yaitu: martahi ulu ni tot (musyawarah suami- istri dengan kerabat dekat (markahanggi) yang akan menikahkan anak); martahi sahuta (musyawarah orang tua mempelai laki-laki dengan orang-orang sekampung); martahi godang (musyawarah orang tua mempelai laki-laki dengan kerabat dekat (markahanggi) juga dengan orang-orang sekampung).

Pada martahi godang (musyawarah besar) dirancang kapan mangalo-alo mora (menyambut kedatangan pihak keluarga mempelai perempuan). Pada malam hari horja boru dimulai dengan maralok-alok. Siang harinya dimulai dengan upacara manaekkon gondang, dengan membuka galanggang. Pada malam harinya di rumah suhut diselenggarakan pokat harajaon untuk pasahat karejo. Pesta pernikahan disebut Horja pabuat boru yang telah ditentukan

(31)

keluarga pihak laki-laki dan keluarga pihak perempuan. Setelah kesepakatan dicapai, maka kedua belah pihak keluarga mulailah mempersiapkan segala sesuatu untuk pesta pernikahan untuk melaksanakan horja pabuat boru atau horja mangalap boru. Kemudian diselenggarakan upacara patuaekkon tu tapian raya bangunan.

Yang bermakna untuk menghanyutkan segala yang tidak baik dan untuk meninggalkan segala perilaku remaja karena sudah memasuki masa berumah tangga.

Pelaksanaan upacara perkawinan adat menurut Pandapotan Nasution (2005: 270-413) ada beberapa alur yang harus dilakukan yaitu:

A. Acara di rumah Boru Na Ni Oli (pabuat boru) seperti:

1.) manyapai boru, 2.) mangaririt boru, 3.) padamos hata, 4.) patobang hata.

B. Manulak sere;

C. Mangalehen mangan pamunan;

D. Acara pernikahan.

E. Horja Haroan Boru seperti:

1) marpokat haroan boru, 2) Mangalo-alo boru,

3) pataon raja-raja dan koum sisolkot, 4) panaek gondang,

5) Seremonial upacara adat seperti:

a. Membawa pengantin ke Tapian Raya Bangunan, b. Mangalehen Gorar (menabalkan gelar adat), c. Mangupa.

Sejalan dengan itu proses upacara perkawinan di kenal dengan istilah horja patobang anak dan pabagas boru, peristiwa perkawinan disebut dengan

(32)

16

haroan boru, horja boru dengan alur upacara perkawinan adat seperti: 1) Mangkobar boru, 2) Mangampar ruji, 3) horja pabuat boru, 4) manaekkon gondang, 5) marosong- osong, 6) Maralok-alok,7) Manortor, 8) Manyambol horbo pangupa, 9) Patuaekkon, dan 10) Mangupa. (Harahap, 1993: 259-396)

Upacara adat mangupa patobang anak masuk dalam proses upacara perkawinan adat secara umum. Memiliki sebutan lain yaitu horja haroan boru. Prosesinya yaitu: marpokat haroan boru yang disebut juga dengan martahi, Mangalo-alo boru, pataon raja-raja dan koum sisolkot yang disebut juga dengan mandokkoni , panaek gondang, membawa pengantin ke tapian raya bangunan, mangalehen gorar (menabalkan gelar adat), mangupa. (Sarimanaon Harahap, wawancara dengan tokoh adat , 10 Maret 2016: 19.00)

3.3 Perlengkapan dan Makna

Beranjak dari upacara adat tepian raya bangunan, maka kedua mempelai diupa-upa dengan berbagai macam makanan seperti: 4 kaki kambing, kepala kambing, 3 butir telur ayam, dan dibuat berbentuk kerucut tempat garam. Lalu ditabur dengan udang dan berbagai macam sayur-sayuran yang diletakkan di atas anduri (tampah yang terbuat dari bambu) yang dilapisi oleh 3 bulung ujung (helai daun pisang). Setelah diberi makan di berilah kata-kata nasihat-nasihat, tuntunan kehidupan berumah tangga, berkeluarga, dan bermasyarakat. Acara ini disebut mangupa patidahon godang ni roha (menunjukkan kebesaran hati) tu anak dohot parumaen. Dalam sidang adat ini kedua mempelai mendapatkan nasihat-nasihat sebagai bekal hidup menjalankan rumah tangga yang berbahagia dari seluruh keluarga dan kalangan yang hadir dalam sidang adat mangupa itu. (Pane, 2013 : 63)

Adapun macam-macam tingkatan menurut Pandapotan Nasution (2005:174- 181) pangupa yaitu:

1. Telur ayam (pira manuk)

Pangupa yang paling sederhana yang terdiri dari telur ayam dan nasi, garam, ikan, udang, sayur daun ubi, dan air putih untuk diminum. Dan yang hadir biasanya hanya satu rumah, kalau ada orang luar pun hanya orang yang membawa upa-upa.

2. Ayam (pangupa manuk)

(33)

Ayam yang akan disajikan dipanggang utuh tanpa dipotong-potong. Tiga butir ayam yang direbus, ikan garing, nasi putih dan garam. Yang hadir adalah anggota keluarga dan kaum kerabat lainnya.

3. Kambing (pangupa hambeng)

Acara ini dilakukan dengan acara yang benar-benar resmi. Adapun bagian-bagian tubuh kambing yaitu kepala kambing, kaki depan kanan, kaki kiri belakang, ekor sedikit dagingnya, hati, jantung dan serta isi perut. Yang hadir adalah tentunya lebih lengkap dan ditambah dengan namora natoras serta raja pamusuk.

4. Kerbau (pangupa horbo)

Pangupa yang paling tinggi dan biasanya pangupa yang dilakukan pada acara-acara yang diadakan raja-raja dan keturunannya.

Bahan-bahan yang disediakan untuk pangupa horbo sama dengan yang diatas, yaitu:

a. Nasi putih adalah nasi yang dilambangkan sebagai lambang perencanaan dan tanda-tanda keikhlasan hati dalam segala hal. Untuk sampai keatas piring nasi memerlukan proses panjang dan kerja keras yang mulai dari menabur bibit, mencangkul, menanam, menyiangi, sampai kepada panen, menumbuk padi menjadi beras, dan menanak beras menjadi nasi. Sedangkan warna putih melambangkan keikhlasan.

b. Telur ayam. Telur sebagai lambang doa untuk memohon agar jiwa dan raga bersatu padu, tetap selamat dan sehat.

c. Garam (sira) garam melambangkan kekuatan. Garam sangat dibutuhkan manusia. Demikian juga yang diupa upa diharapkan tetap dibutuhkan dan bermanfaat kepada orang lain.

(34)

18

d. Air putih melambangkan keikhlasan karena di dalam melakukan sesuatu haruslah dengan hati yang bersih dan ikhlas.

e. Ikan melambangkan dinamika dan persatuan. Ikan upa-upa terdiri dari dua ekor melambangkan suami istri sebagai ikan. Yang selalu sama-sama ke hulu dan ke hilir.

f. Udang melambangkan sebagai strategi kehidupan. Gerakan maju mundur adalah karakter udang.

g. Daun ubi yang diikat lembar demi lembar. Daun ubi melambangkan sebagai umur yang panjang dan bermanfaat.

h. Kepala kerbau. Pangupa yang paling besar adalah kerbau. Pangupa kepala kerbau ini dihadapkan ke muka pengantin dalam keadaan utuh.

i. Namun, untuk pada saat ini sudah tidak digunakan. Setelah masuknya agam Islam yang mana bertentangan dengan agama islam. Istilah adat yang menyatakan hombar do adat dohot ibadat yang artinya adat dan ibadah tidak dapat dipisahkan. Adat tidak boleh bertentangan dengan agama islam, jika bertentangan dalam pelaksanaanya, maka adat itu dikesampingkan. Maka kepala kerbau harus dihapuskan. (Pane, 2013 : 64)

Tempat pangupa, kepala kerbau diletakkan diatas induri. Setelah dialasi dengan bulung-bulung ujung tiga helai sebagai lambang dalihan na tolu. Sedangkan bahan-bahan lainnya telah dimasak disusun diatas piring besar. Induri adalah lambang kemasyarakatan yang melambangkan pembeda antara yang benar dan salah. Setelah acara adat pangupa ini selesai, maka pada malam harinya dilanjutkan dengan acara mongoloi na loja yaitu meladeni yang bekerja selama adat perkawinan itu berlangsung.serta suhut mengucapkan terimakasih kepada kerabat yang selama ini membantu di dalam pelaksanaan horja godang. (Pane, 2013 : 65)

(35)

B. Kerangka Pikir

Berdasarkan latar belakang, diketahui bahwa rendahnya pemahaman masyarakat Batak Angkola mengenai makna simbol perlengkapan dalam upacara mangupa patobang anak. Hal ini mungkin saja disebabkan karena keadaan dimana masyarakat Batak Angkola yang hidup di perantauan. Meski masih melaksanakan upacara yang berkaitan dengan adat istiadat, namun tidak dilakukan sama seperti upacara yang dilakukan di daerah asalnya.

Maka dari itu peneliti ingin meneliti permasalahan mengenai bagaimana pelaksanaan upacara adat mangupa patobang anak yang dilaksanakan di Tulang Bawang Barat, serta makna simbol yang terkandung dalam perlengkapan pada pelaksanaan upacara mangupa patobang anak yang ada di Tulang Bawang Barat.

Dalam sebuah upacara adat, pastilah memiliki tata cara pelaksanaanya serta memiliki perlengkapan-perlengkapan yang dijadikan syarat. Dari perlengkapan- perlengkapan yang ada memiliki makna masing-masing, serta memiliki nilai dan tujuan yang baik. Langkah awal yang akan peneliti lakukan adalah melakukan pengumpulan data. Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi atau pengamatan mengenai pelaksanaan upacara adat mangupa patobang anak. Selain observasi juga dilakukan pendokumentasian. Yaitu mengumpulkan data mengenai masalah yang diteliti. Data-data merupakan dokumen seperti surat-surat, foto-foto dan dokumen lain yang sejenis.

Selain itu juga, peneliti akan melakukan wawancara mendalam kepada informan yang telah ditentukan, yaitu tokoh adat dan masyarakat yang mengerti mengenai masalah yang sedang diteliti yaitu makna simbol upacara mangupa patobang anak. Penentuan informan yang akan diwawancarai ini menggunakan teknik snowballing. Seperti halnya bola salju, peneliti akan mengikuti kemana arah bola menggelinding. Artinya peneliti akan menyudahi wawancara jika informasi yang didapat telah lengkap dan terjadi data jenuh. Setelah data terkumpul, maka dilakukan interpretasi terhadap hasil data yang didapat. Tahap terakhir yaitu melakukan penulisan sehingga menjadi hasil penelitian ilmiah yang baik.

(36)

20

C. Paradigma

Keterangan :

: Garis Makna : Garis penjabaran

Pelaksanaan Upacara Mangupa

Patobang Anak

Makna

Tata Cara Perlengkapan

(37)

REFERENSI

Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta. Hal 146

Soerjono Soekanto. 2012. Sosiologi suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali. Hal150 Ibid. Hal 151

Mudjia Raharjo 2006. Dasar –dasar Hermeneutika: antara Intensionalisme dan Gadamerian. Yogyakarta: Ar-ruzz media.Hal 39

E. Sumaryono. 1993 Hermeneutika sebuah metode filsafat. Yogyakarta:

Kanisius. Hal 29-30

Budiono Herusatoto. 2001. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta:

Hanindita. Hal 154

Clifford Geertz. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. Hal 17

Skripsi: Asri Annisyah Simanjuntak..2007. Perkawinan Etnis Angkola di Desa Sibangkua Tapanuli Selatan. Medan: Unimed. Hal 1

Skripsi: Mahyar Sopyan Pane.2013. Analisis Fungsi dan Struktur Musikal Gordang Sambilan dalam Upacara Adat Perkawinan Mandailing di Kota Medan. Medan: USU. Hal 63

Wawancara: Sarimanaon Harahap. 10 Maret 2016: 19.00 Ibid.

Op.Cit. Mahyar Sopyan Pane. Hal 64-65

(38)

22

III. METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Metodologi penelitian adalah serangkaian hukum, aturan, dan tata cara tertentu yang diatur dan ditentukan berdasarkan kaidah ilmiah dalam menyelenggarakan suatu penelitian dalam koridor keilmuan tertentu yang hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. (Herdiansyah, 2010: 17)

Penelitian ini menggunakan metode hermeneutik. Hermeneutika adalah salah satu model dalam penelitian kualitatif. Untuk memperjelas seperti apa metode hermeneutika itu, berikut peneliti menuliskan beberapa konsep mengenai hermeneutika.

Menurut Smith dalam Sutopo, “hermeneutik mengarah pada penafsiran ekspresi penuh makna dan dilakukan dengan sengaja oleh manusia. Artinya, kita melakukan intepretasi atas intepretasi yang telah dilakukan oleh pribadi atau kelompok manusia terhadap situasi mereka sendiri”. (Sutopo, 2006: 28)

Menurut Sumaryono, “hermeneutika merupakan proses mengubah situasi ketidaktahuan menjadi mengerti”. (Sumaryono, 2013: 24).

(39)

Menurut Imam Chanafie “hermeneutika bertujuan menghilangkan misteri yang terdapat dalam sebuah simbol dengan cara membuka selubung daya- daya yang belum diketahui dan tersembunyi dalam simbol-simbol tersebut”.

(Chanafie, 1999:38)

Sedangkan menurut Fakhrudin Faiz, “hermeneutika sebagai metode atau cara untuk menafsirkan simbol berupa teks atau sesuatu yang diperlakukan sebagai teks untuk dicari arti dan maknanya, dimana metode ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudian dibawa ke masa sekarang” . (Geertz, 1992: 29)

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa metode hermenutik adalah salah satu model dalam penelitian kualitatif, dalam penelitian ini akan digunakan untuk menafsirkan simbol yang terdapat pada seni, aksi, dan tulisan manusia agar bisa diartikan untuk dicari maknanya.

Dalam penelitian ini yaitu mengkaji makna yang terkandung dalam upacara mangupa patobang anak.

B. Lokasi Penelitian

“Dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan istilah populasi, tetapi oleh Spradley dinamakan “social situation” atau situasi sosial yang terdiri atas tiga elemen yaitu tempat (place), pelaku (actors), dan aktivitas (activity) yang berinteraksi secara sinergis. (Sugiyono, 2012: 215)

Lokasi penelitian adalah di Kabupaten Tulang Bawang Barat, khususnya Kecamatan Tulang Bawang Tengah dan Kecamatan Tumijajar.

(40)

24

Lokasi ini dipilih dengan pertimbangan tertentu (purposive). Karena suku Batak Angkola banyak berdomisili di tempat ini. Selain itu, masyarakat di dua kecamatan ini tergabung dalam suatu komunitas. Jumlah anggota komunitas Batak Angkola ini yaitu 99 KK.

Menurut Suwardi Endraswara, sampel adalah salah satu cara pembatasan (penyempitan) wilayah yang akan digarap. Sampel dalam penelitian ini adalah masyarakat yang mengerti dan memahami tentang makna dan tradisi upacara mangupa patobang anak.

C. Variabel penelitian

Sutrisno Hadi dalam Suharsimi Arikunto mendefinisikan bahwa variabel sebagai gejala yang bervariasi, misalnya jenis kelamin. Gejala adalah objek penelitian, sehingga variabel adalah objek variabel yang bervariasi (Arikunto, 2010: 159)

“Variabel adalah segala sesuatu yang menjadi objek penelitian, sering juga disebut sebagai variabel penelitian yang merupakan hal-hal yang menjadi objek penelitian, yang ditatap dalam suatu kegiatan penelitian, yang menunjukkan variasi, baik secara kuantitatif maupun kualitatif “. (Arikunto, 2006:10).

Menurut Suryabrata istilah variabel dapat diartikan segala sesuatu yang akan menjadi objek pengamatan penelitian.

Sering pula dinyatakan variabel penelitian itu sebagai faktor-faktor yang berperanan dalam peristiwa atau gejala yang akan diteliti (Suryabrata, 2012: 25)

(41)

Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa variabel adalah objek penelitian yang bervariasi baik faktor-faktor yang berperanan maupun gejala yang akan diteliti.

Dalam penelitian ini variabel yang digunakan adalah variabel tunggal. Dengan fokus penelitian yaitu upacara mangupa patobang anak pada masyarakat Batak Angkola di Tulang Bawang Barat.

D. Definisi Operasional Variabel

“Definisi operasional variabel adalah suatu definisi yang diberikan kepada suatu variabel atau konsep dengan cara memberikan arti atau dengan menspesifikasikan kegiatan ataupun memberikan suatu operasional yang diperlukan untuk mengukur variabel tertentu”. (Nasir, 1988: 152)

Sedangkan menurut Suryabrata definisi operasional variabel adalah definisi yang diambil berdasarkan sifat-sifat atau hal yang didefinisikan. (Suryabrata, 1983: 83)

Dari pendapat di atas, maka diperoleh sebuah pemahaman bahwa yang dimaksud dengan definisi operasional variabel adalah definisi yang memberikan arti lebih spesifik tentang variabel yang diteliti, agar variabel yang kita amati bisa di ukur dengan jelas.

Dalam penelitian ini, peneliti merumuskan definisi operasional variabel pada upacara adat mangupa patobang anak pada masyarakat Batak Angkola di Tulang Bawang Barat.

(42)

26

E. Informan

Dalam melakukan penelitian, peneliti membutuhkan data yang akan diolah yaitu berupa informasi-informasi. Seseorang yang menjadi sumber informasi disebut dengan informan.

Informan-informan kunci yakni responden yang mempunyai pengetahuan yang jauh lebih luas mengenai masalah yang ingin diteliti daripada responden lain. Informan kunci berguna untuk memperoleh informasi yang lebih mendalam yang tidak diketahui oleh orang lain maupun untuk memperoleh perspektif yang tepat mengenai kejadian- kejadian tertentu. (Suryabrata, 2006: 115)

Dalam memilih informan, peneliti menggunakan teknik snowballing. Yaitu dari informan kunci, peneliti mencari subyek-subyek lain secara terus menerus sampai peneliti merasa telah memiliki informasi yang cukup.

Dengan demikian, tidak dapat ditentukan berapa banyak subyek yang akan dijadikan informan. Informan hendaknya memiliki beberapa kriteria, Diantaranya:

 Orang yang telah sering mengikuti pelaksanaan upacara mangupa

patobang anak

 Memiliki kesediaan dan waktu yang cukup

 Tokoh masyarakat dan tokoh adat

 Memiliki pengetahuan yang luas tentang obyek yang diteliti.

F. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang dibutuhkan dalam penelitian, seorang peneliti menggunakan teknik pengumpulan data. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa teknik pengumpulan data diantaranya:

(43)

1. Teknik Wawancara Mendalam

Menurut Sugiyono dalam Andi Prastowo, wawancara adalah pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu.“Wawancara atau metode interview mencakup cara yang dipergunakan seseorang untuk tujuan suatu tugas tertentu, mencoba mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari seorang responden, dengan bercakap-cakap berhadapan”. (Koentjaraningrat, 1973:162)

Adapun wawancara mendalam secara umum adalah sebuah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dan informan atau orang yang diwawancarai , dengan atau tanpa menggunakan pedoman wawancara, yaitu pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama (Bungin dalam Prastowo, 2010:159). Ketelibatan yang relatif lama inilah yang menjadi karakter unik dari wawancara mendalam. (Prastowo, 2011: 212)

Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa wawancara mendalam adalah bertemunya dua orang untuk bertukar informasi melalui proses tanya jawab. Pada penelitian ini peneliti akan melakukan wawancara kepada informan yang telah ditentukan yang mengerti mengenai masalah yang sedang diteliti.

2. Teknik Observasi

“Observasi adalah cara pengumpulan data dengan menggunakan jalan mengamati, meneliti atau mengukur kejadian yang sedang berlangsung”

(Kusmayadi, 2000:84).

(44)

28

Sedangkan menurut Ronny Hanitijo Soemitro dalam P. Joko Subagyo

“observasi adalah pengamatan yang dilakukan secara sengaja, sistematis mengenai fenomena sosial dengan gejala-gejala psikis untuk kemudian dilakukan pencatatan” (Subagyo, 2011: 63)

Selain itu, Abdurrahmat Fathoni berpendapat bahwa “observasi adalah teknik pengumpulan data dengan cara pengamatan, disertai dengan pencatatan tentang apa yang terjadi (keadaan atau prilaku) objek yang diteliti “(Fathoni, 2011: 104)

Dari penjelasan diatas, maka observasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu kegiatan pengamatan yang dilakukan dengan sengaja guna mendapatkan informasi yang mendalam mengenai upacara adat mangupa patobang anak.

3. Teknik Dokumentasi

Teknik dokumentasi adalah teknik untuk melengkapi data dalam rangka analisa masalah yang sedang diteliti. Informasi dari dokumen-dokumen yang ada hubungannya dengan objek yang dipelajari.

Menurut Jonatahan Sarwono

Kajian dokumen merupakan sarana pembantu peneliti dalam mengumpulkan data atau informasi dengan cara membaca surat- surat, pengumuman, ikhtisar rapat, pernyataan tertulis kebijakan tertentu, dan bahan-bahan tulisan lainya. Peneliti dengan mempelajari dokumen-dokumen tersebut dapat mengenal budaya dan nilai-nilai yang dianut oleh objek yang diteliti. (Sarwono, 2006: 225)

Dalam penelitian ini, peneliti mengumpulkan data mengenai upacara mangupa patobang anak melalui surat-surat, pengumuman dan bahan- bahan tulisan lainya.

(45)

G. Teknik Analisis data

“Analisis data merupakan tahap dalam sebuah penelitian yang memiliki fungsi sangat penting. Hasil penelitian harus melalui proses analisis data terlebih dahulu. Agar dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya” (Herdiansyah, 2010: 158)

Cresswell dalam Herdiansyah menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah suatu proses penelitian ilmiah yang dimaksudkan untuk memahami masalah-masalah manusia dalam konteks sosial dengan menciptakan gambaran menyeluruh dan kompleks yang disajikan, melaporkan pandangan terperinci daripada sumber informasi, serta dilakukan dalam setting yang alamiah tanpa adanya intervensi apapun dari peneliti.

Cresswell juga mengemukakan pendapat mengenai beberapa poin penting yang perlu diperhatikan dalam melakukan analisis data kualitatif. Antara lain:

1. Analisis data kualitatif dapat dilakukan secara simultan dengan proses pengumpulan data, interpretasi data, dan penulisan naratif lainya

2. Pastikan bahwa proses analisis data kualitatif yang telah dilakukan beradasarkan pada proses reduksi data dan interpretasi

3. Ubah data reduksi kedalam bentuk matriks

4. Identifikasi prosedur pengodean digunakan untuk mereduksi informasi ke dalam tema atau kategori yang ada

5. Hasil analisis data yang telah melewati prosedur reduksi yang telah diubah menjadi bentuk matriks yang telah diberi kode selanjutnya disesuaikan dengan model kualitatif yang dipilih.

(Herdiansyah, 2010: 8)

Menurut Miles dan Huberman, tahapan-tahapan dalam proses analisis data kualitatif, meliputi:

1. Reduksi Data

Data yang diperoleh di lapangan kemudian akan dituangkan dalam bentuk laporan. Selanjutnya adalah proses mengubah rekaman data kedalam pola, kategori dan disusun secara sistematis.

(46)

30

Proses pemilihan, pemusatan perhatian, pengabstrakan dan transformasi data dari lapangan. Proses ini berlangsung selama penelitian berlangsung.

Fungsi dari reduksi data ini adalah untuk menajamkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisir sehingga interpretasi bisa dilakukan dengan mudah. Data yang direduksi akan memberikan gambaran mengenai hasil pengamatan yang mempermudah peneliti dalam mencari kembali data yang diperoleh jika diperlukan.

2. Penyajian Data

Penyajian data adalah penampilan data sekumpulan data yang memberi kemungkinan untuk menarik kesimpulan dari pengambilan tindakan.

Bentuk penyajiannya antara lain dengan cara memasukkan data ke dalam sejumlah matrik, grafik dan bagan yang diinginkan atau bisa juga hanya dalam bentuk naratif saja.

3. Pengambilan Kesimpulan dan Verifikasi

Setelah data direduksi, akan dimasukkan kedalam bentuk bagan, matrik, dan grafik, maka tindak lanjut peneliti adalah mencari konfigurasi yang mungkin menjelaskan alur sebab akibat dan sebagainya. Kesimpulan harus senantiasa diuji selama penelitian berlangsung.

(47)

REFERENSI

Haris Herdiansyah. 2010. Metodologi penelitian kualitatif. Jakarta: Salemba Humanika. Hal 17

HB Sutopo. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif dasar Teori dan terapanya dalam Penelitian. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Hal 28

E. Sumaryono. 1993 Hermeneutika sebuah metode filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

Hal 24

Clifford Geertz. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. Hal 29

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R n D. Bandung:

Alfabeta. Hal 215

Suharsimi Arikunto. 2010. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik.

Jakarta: PT. Rineka Cipta. Hal.159

Sumadi Suryabrata. 2012. Metodologi Penelitian. Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Hal 25

Muhammad Nasir. 1998. Metodologi Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hal 152

Sumadi Suryabrata. 1985. Metodologi Penelitian. Jakarta: Rajawali. Hal 83 Ibid. Hal 115

Andi Prastowo.2011. Metode Penelitian Kualitatif dalam Prespektif Rancangan Penelitian.Yogyakarta: Arruzz Media. Hal 212

Joko P Subagyo. 2011. Metode penelitian dalam teori dan Praktik. Jakarta:

Rineka Cipta. Hal 63

Abdurrahmat Fathoni. 2011. Metodologi Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi. Jakarta: Rineka Cipta. Hal 104

Jonathan Sarwono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif.

Yogyakarta: Graha Ilmu. Hal 225 Op.Cit. Haris Herdiansyah. Hal 158

(48)

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan data hasil penelitian, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Masyarakat batak angkola di Tulang Bawang Barat masih tetap melaksanakan upacara adat mangupa patobang anak di tengah-tengah heterogenitas masyarakat yang ada di Tulang Bawang Barat.

2. Pelaksanaan upacara adat mangupa patobang anak di Tulang Bawang Barat disesuaikan dengan keadaan lingkungan sekitar.

3. Penyesuaian tersebut tidak mengubah makna dari upacara itu sendiri.

B. SARAN

1. Hendaknya masyarakat tetap melaksanakan upacara adat mangupa patobang anak sebagai identitas dan melestarikan adat istiadat sebagai kearifan lokal.

2. Bagi generasi muda, disarankan melakukan penelitian-penelitian bertemakan budaya bangsa. Sebagai inspirasi dan menambah kecintaan kita terhadap budaya di Indonesia.

(49)

Daftar Pustaka

Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik Jakarta: PT. Rineka Cipta

Barth, F. 1998. Kelompok Etnis dan Batasannya. Jakarta: UI Press Depdikbud. 1978. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sumatera

Utara. Jakarta: Depdikbud.

Depdikbud. 1985. Upacara Tradisional yang Berkaitan dengan Peristiwa Alam dan Kepercayaan daerah Sumatera Utara. Jakarta: Depdikbud.

Fathoni, Abdurrahmat. 2011. Metodologi Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi. Jakarta: Rineka Cipta

Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius Haloei Radam, Noerid. 2001. Religi Orang Bukit. Yogyakarta: Semesta Herdiansyah, Haris. 2010. Metodologi penelitian kualitatif. Jakarta: Salemba

Humanika

Herusatoto, Budiono. 2001. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta:

Hanindita

Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Nasir. Muhammad. 1998. Metodologi Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia Prastowo, Andi. 2011. Metode Penelitian Kualitatif dalam Prespektif Rancangan

Penelitian.Yogyakarta: Arruzz Media.

Raharjo, Mudjia 2006. Dasar –dasar Hermeneutika:antara Intensionalisme dan Gadamerian. Yogyakarta: Ar-ruzz media. Hal 39

Sarwono, Jonathan. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif.

Yogyakarta: Graha Ilmu

Sianipar, Bagarna 2013. Horas, dari Batak untuk Indonesia. Jakarta: Rumah Indonesia.

(50)

Soekanto, Soerjono. 2012. Sosiologi suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Sri Nuryani, Endang , dkk. 2007. Mengenal Kebudayaan Suku-Suku Bangsa

Indonesia. Bandung: Angkasa.

Subagyo, Joko P. 2011. Metode penelitian dalam teori dan Praktik. Jakarta:

Rineka Cipta

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitataif dan R n D. Bandung:

Alfabeta

Sumaryono, E. 1993. Hermeneutika sebuah metode filsafat. Yogyakarta:

Kanisius.

Suryabrata, Sumadi. 2012. Metodologi Penelitian. Jakarta: Rajagrafindo Persada Sutopo, HB. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif dasar Teori dan terapanya

dalam Penelitian. Surakarta: Universitas Sebelas Maret

Syani, Abdul. 2007. Sosiologi skematika, teori dan terapan. Jakarta: Cendana Press

Sumber Lain Wawancara:

1. Ali Kaspar Pakpahan, S.Ag, wawancara dengan tokoh masyarakat, 16 Juni 2015: 17.00)

2. Mahir Harahap, wawancara dengan tokoh adat, 10 Juni 2015: 19.00 3. Sarimanaon Harahap, wawancara dengan tokoh adat, 03 Juni 2015: 19.00 4. Muhammad Hakim Pasaribu, wawancara dengan tokoh adat, 15 Juni 2015:

15.00

5. Parsatuan Harahap, wawancara dengan tokoh adat, 10 Oktober 2015: 16:00 6. Masriana Siregar, wawancara dengan tokoh adat, 10 Oktober 2015: 20:00 Sumber Skripsi:

Skripsi: Asri Annisyah Simanjuntak..2007. Perkawinan Etnis Angkola di Desa Sibangkua Tapanuli Selatan. Medan: Unimed.

Skripsi: Mahyar Sopyan Pane.2013. Analisis Fungsi dan Struktur Musikal Gordang Sambilan dalam Upacara Adat Perkawinan Mandailing di Kota Medan.

Medan: USU.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini merupakan kajian mengenai makna simbol Tor-tor Daganak Tubu pada masyarakat Angkola di desa Parsalakan Kecamatan Angkola Barat Kabupaten Tapanuli

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengenai makna simbolik upacara adat mangulosi (pemberian ulos) pada siklus kehidupan masyarakat Batak Toba khususnya di kecamatan

Simbol yang dimaksud dalam upacara perkawinan adat Batak Toba.. ialah pada saat

Debora (2014) dalam skripsinya yang berjudul Makna Simbolik Upacara Adat Mangulosi (Pemberian Ulos) pada Siklus Kehidupan Masyarakat Batak Toba di Kecamatan

Pada data 12 menjelaskan bahwa performansi yang di tunjukkan dalam upacara adat saur matua pada masyarakat Batak Toba pemberian ulos saput terakhir kepada yang

Berdasarkan parameter orientasi nilai budaya dari penelitian umpasa dalam upacara adat manulangi tulang tercermin nilai budaya: Nilai kedamaian yang dimaksud adalah

tanda dalam mangupa pada upacara perkawinan masyarakat Angkola... Meskipun sebelumnya sudah banyak ahli-ahli budaya

Deskripsi Tari Tor-tor Sombah dalam upacara adat kematian sayur m atua pada m asyarakat suku Batak Simalungun merupakan tarian tradisi dilakukan dengan posisi badan rendah posisi saat