• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Tenun Ulos di Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan 1980-2006

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perkembangan Tenun Ulos di Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan 1980-2006"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Manusia menciptakan kebudayaan dalam menjalani dan mengisi

kehidupannya. Kebudayaan itu berkembang dari waktu ke waktu, dengan tujuh unsur

universal yaitu agama, bahasa, organisasi, sosial, pendidikan, teknologi dan kesenian,

yang diwujudkan dalam bentuk ide (gagasan), kegiatan (tindakan) dan artifak

(benda-benda). Dalam kebudayaan masyarakat Batak khususnya masyarakat Angkola Sipirok

di Tapanuli Selatan memiliki artifak budaya berupa kain yang lazim disebut ulos atau

abit.

Sipirok1

1

Menurut cerita lisan yang hingga kini masih hidup di tengah masyarakat, kata Sipirok berasal dari nama jenis kayu yang disebut Sipirdot. Setelah mengalami transformasi, kata Sipirdot berubah menjadi Sipirok yang digunakan sebagai nama untuk mengidentifikasikan satu kelompok masyarakat dan suatu kawasan tertentu yang merupakan wilayah kehidupan masyarakat yang bersangkutan di Kabupaten tapanuli Selatan.

merupakan salah satu kecamatan di wilayah Kabupaten Tapanuli

Selatan, Provinsi Sumatera Utara. Masyarakat Sipirok tergolong dalam sub etnis

Batak yaitu Batak Angkola yang mayoritas masyarakatnya adalah marga Siregar.

Masyarakat Sipirok pada umumnya hidup dengan mata pencaharian dari sektor

pertanian, pedagang, pegawai negeri, guru, pengusaha kerajinan tangan atau bertenun

dan sebagainya. Kegiatan bertenun kain merupakan tradisi yang telah lama dilakukan

(2)

pasti sejak kapan sesungguhnya kegiatan bertenun tersebut berkembang di Sipirok.2

Akan tetapi yang jelas, masyarakat Sipirok telah melakukan kegiatan bertenun sejak

lama dalam memproduksi kain adat sekaligus pemasok utama Abit Godang3 dan

ParompaSadun4

Kegiatan bertenun sangat identik dengan kaum wanita. Umumnya, kegiatan

bertenun dilakukan diteras-teras rumah penduduk, dengan menggunakan alat tenun

tradisional yang biasa mereka sebut dengan hasaya.

, kedua jenis kain tenun ini digunakan dalam kegiatan upacara adat

oleh masyarakat Sipirok.

5

2

Z. Pangaduan Lubis dan Zulkifli B. Lubis, Sipirok Na Soli Bianglala Kebudayaan masyarakat Sipirok, Medan: BPPS dan USU Press, 1998, hal. 105.

3

Abit Godangyang berarti “Kain Kebesaran” merupakan kata lain dari penyebutan ulos bagi masyarakat Angkola Sipirok. Abit Godang atau Ulos adalah kain tenun khas Batak berbentuk selendang, yang melambangkan ikatan kasih sayangg antara anak dan orangtua dan anak – anaknya atau antara seseorang dan orang lain. Bentuknya menyerupai selendang dengan panjang sekitar 1,8 meter dan lebar 1 meter, kedua ujungnya berjuntai – juntai dengan panjang sekitar 15 cm. Abit Godang biasanya digunakan sebagai sabe-sabe atau selendang manortor, penutup hidangan upacara Mangupa, barang bawaan yang diberikan oleh orang tua ketika putrinya menikah,dan sebainya.

4

Parompa sadun biasanya diucapkan paroppa adalah kain tenun tradisional sub suku batak Angkola.Kain ini berukuran kurang lebih 100 x 200 cm, dihiasi dengan manik – manik dan rumbai di ujung kain, dan tenunan motif khas.Paroppa dimaksudkan sebagai kain gendong meskipun tidak dipakai sehari – hari karena yang dipakai tiap hari untuk menggendong adalah tetap kain batik panjang. Kain adat ini diberikan oleh orang tua kepada seorang anak wanitanya yang baru di anugerahi anak pertama, baik bayi laki – laki atau perempuan, tetapi jika anak pertama adalah perempuan biasanya akan diberikan lagi jika adik lelaki pertama lahir, akan tetapi jika anak pertama adalah laki – laki, adik perempuannya tidak diberi lagi.

5Hasaya merupakan seperangkat alat tenun tradisional masyarakat Angkola, Tapanuli

Selatan.Alat ini merupakan alat tenun yang tergolong paling tua di angkola karena berkembang paling awal.Dalam pengerjaannya lebih mengutamakan tenaga tangan.Alat tenun tersebut terdiri dari beberapa bagian, yakni pamapan, pambibir, balobas, guyung sijobang, guyun raya, guyun lok-lok, simbolan, tipak, pagabe, pamanggung, dan tadokan.Alat tenun ini merupakan alat tenun sederhana.Terbuat dari kayu, bambu atau batang riman dan pelepah enau.Sebagai alat pengikat menggunakan rotan, tali ijak atau plastik.Semua bahan, peralatan dan perlengkapan untuk membuatnya dapat diperoleh disekitar kawasan permukiman pengrajin.Sehingga mudah dibuat oleh kaum laki – laki setempat.

Pelaku kegiatan bertenun dapat

dibagi dalam beberapa golongan, antara lain: a) para pengrajin mandiri, yaitu mereka

(3)

sendiri, b) pekerja upahan, yaitu mereka yang hanya mengandalkan tenaga dan

kepandaian bertenun dengan cara mengambil upahan sesuai dengan jenis pekerjaan

yang dikuasai dan diminati, c) para pengusaha6

Kegiatan bertenun telah dikembangkan sebagai sebuah kegiatan usaha

ekonomi di Sipirok. Hal ini dipelopori oleh seorang ibu rumah tangga yang kini lebih

dikenal dengan nama Ompu Rivai. Kegiatan bertenun mampu menyerap sejumlah

tenaga kerja wanita di daerah Sipirok sehingga sebagian dari wanita di Sipirok

menjadikan kegiatan bertenun sebagai mata pencaharian utama dan sebagian lagi

sebagai mata pencaharian selingan atau sumber penghasilan tambahan disela-sela

aktivitas pertanian atau pekerjaan lainnya.

, yaitu mereka yang memiliki modal

besar dan dengan modal tersebut mereka mengupah orang lain untuk memproduksi

kain tenun.

7

Pembinaan dan pengembangan kerajinan tradisional bertenun memperluas

lapangan kerja sehingga dapat menampung pencari kerja, dan sekaligus melestarikan

warisan budaya. Tidak dapat dipungkiri bahwa tumbuhnya jalur pemasaran

merupakan salah satu pendorong berkembangnya kerajinan tradisional bertenun.

Selain merupakan suatu warisan budaya yang perlu dilestarikan, dalam

perkembangannya, kerajinan tradisional bertenun sudah banyak mengalami

perubahan karena adanya inovasi dalam peningkatan benda-benda kerajinan yang

menyangkut proses pembuatan, bentuk maupun motif-motif yang digunakan. Banyak

6

Para pengusaha ini pada umumnya merupakan sebagai pedagang yang memiliki toko di pasar Sipirok, atau memiliki jaringan pemasaran di luar Sipirok.

(4)

diantara hasil kerajinan tradisional yang mengandung nilai artistik yang khas dan

sebagian telah memasuki pasaran sehingga memiliki nilai ekonomi yang semakin

tinggi. Dengan demikian barang kerajinan tradisional artistik itu tidak hanya sekadar

berfungsi dalam budaya masyarakat pendukungnya.8

Seperti yang sudah dikatakan diatas, produksi kain tenun masyarakat Sipirok

pada awalnya hanya terbatas pada dua jenis kain adat yaitu Abit Godang dan

Parompa Sadun. Namun, sejak tahun 1980 mulai dikembangkan jenis hasil tenunan

lainnya seperti bakal baju, kain sarung atau songket, hiasan dinding, taplak meja, dan

lain-lain. Tidak hanya dari segi jenis hasil tenunan, masyarakat pengrajin kain tenun

juga mulai berkreasi dengan kain tenun, mulai dari corak ataupun warna.

Penganekaragaman jenis produk tenunan di Sipirok, secara langsung dan bertahap

dapat meningkatkan permintaan jumlah tenaga kerja terampil. Hal ini tidak terlepas

dari adanya bantuan dari pemerintah yang memberikan suntikan modal, peralatan

Alat Tenun Bukan Mesin9

8

J. Gultom,Pengrajin Tradisional di Daerah Sumatera Utara, Tanpa kota dan penerbit, hal. 2.

9Alat Tenun Bukan Mesin lebih dikenal dengan sebutan Silungkang oleh penenun di

Sipirok.Sebutan Silungkang untuk ATBM mereka analogikan dengan tenunan Silungkang di Sumatera Barat. Padahal, alat ini merupakan bentuk/ukuran standar yang sama di balai pertenunan tradisional yang ada di Indonesia.

, serta pelatihan. Sehingga, dalam perkembangan usaha

kain tenun di Sipirok tidak terlepas dari peran pemerintah daerah Sipirok. Pemerintah

daerah Sipirok senantiasa berusaha mendampingi pengrajinnya dalam memajukan

hasil karya khas milik daerahnya, yang dalam hal ini berada dalam naungan Dinas

Koperasi Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Tapanuli Selatan beserta Dewan

(5)

Dari uraian di atas, penulis tertarik untuk mengetahui lebih lanjut tentang

perkembangan tenun ulos di Sipirok yang juga berpengaruh terhadap perekonomian

masyarakat Sipirok yang juga tidak terlepas dari peran pemerintahnya dalam

kesungguhannya untuk memperkenalkan dan memajukan hasil karya masyarakatnya.

Penulis merasa tertarik memilih judul “Perkembangan Tenun Ulos di Kecamatan

Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan (1980 – 2006)”. Penulis mulai dari tahun

1980, karena pada tahun ini perkembangan dari tenun ulos Sipirok mulai tampak dari

tahun-tahun sebelumnya. Hal ini dapat dilihat dari jenis produksi kain tenun yang

awalnya hanya terbatas pada kain adat yaitu Abit Godang dan Parompa Sadun kini

lebih bervariasi, seperti bakal baju, kain sarung atau songket dan sebagainya,

sehingga wilayah pemasaran kain tenun Sipirok tidak hanya untuk wilayah Tapanuli

Selatan tetapi juga ke berbagai daerah. Hal ini menjadikan masyarakat Sipirok lebih

serius dengan kegiatan bertenun, yaitu dengan menjadikannya sebagai mata

pencaharian pokok. Selain dari jenis produksi kain tenun yang mulai bervariasi, para

pengrajin atau penenun mulai diperkenalkan sekaligus menggunakan Alat Tenun

Bukan Mesin disamping mereka masih menggunakan alat tenun tradisional hasaya

milik mereka. Penelitian ini diakhiri tahun 2006, karena pemerintah daerah Sipirok

semakin gencar memperkenalkan kain tenunnya kepada masyarakat luas yaitu dengan

menjadikan kain tenun khas Sipirok sebagai ikon Sipirok yang dimulai dengan

keputusan Bupati Tapanuli Selatan saat itu Ongku P. Hasibuan untuk mewajibkan

(6)

ini merupakan salah satu cara pemerintah daerah Sipirok untuk memperkenalkan dan

mempromosikan kain tenun masyarakat Sipirok.

1.2 Rumusan Masalah

Dalam melakukan suatu penelitian, rumusan masalah menjadi landasan yang

sangat penting dari sebuah penelitian karena akan memudahkan peneliti dalam proses

pengumpulan data dan analisis data. Dari latar belakang yang telah dipaparkan diatas,

maka penelitian ini mencoba melihat perkembangan pertenunan ulos di Kecamatan

Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan pada tahun 1980-2006. Penjabaran permasalahan

yang akan dikaji dalam penelitian ini akan dipandu melalui pertanyaan – pertanyaan

utama sebagai berikut:

1. Bagaimana kegiatan bertenun ulos di Sipirok sebelum tahun 1980?

2. Bagaimana perkembangan pertenunan di Sipirok dari tahun 1980 hingga

2006?

3. Bagaimana peran pemerintah daerah dalam perkembangan pertenunan di

Sipirok?

1.3 Tujuan dan Manfaat penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka, adapun

tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah untuk:

1. Menjelaskan kegiatan bertenun ulos di Sipirok sebelum tahun 1980.

2. Menjelaskan perkembangan pertenunan di Sipirok dari tahun 1980 hingga

(7)

3. Menjelaskan peran pemerintah dalam perkembangan pertenunan di Sipirok

dari tahun 1980 hingga 2006.

Dan adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah

1. Bagi kepentingan ilmu pengetahun, penelitian ini dapat memberikan

informasi perkembangan usaha tenun kain dan pengaruhnya terhadap

perekonomian masyarakat Sipirok.

2. Bagi masyarakat, terutama masyarakat angkola agar mengetahui tentang hasil

budaya daerah asalnya sebagai generasi pewaris dan penerus.

3. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pandangan ke

depan untuk pelestarian sekaligus memajukan warisan budaya serta terus

mendampingi para penenun hingga mampu mandiri.

1.4 Tinjauan Pustaka

Dalam penelitian ini, buku pertama yang menjadi rujukan penulis adalah

karya Z. Pangaduan Lubis dan Zulkifli B. Lubis (1998) yang berjudul Sipirok Na Soli

Bianglala Kebudayaan Masyarakat Sipirok. Buku ini menjelaskan mengenai

kehidupan masyarakat Sipirok dengan keberagaman kebudayaannya. Buku ini sangat

membantu penulis dalam memahami bagaimana corak kehidupan masyarakat Sipirok

yang mengidentifikasikan diri mereka sebagai Halak Angkola(orang angkola) yang

menjadi bagian utama dalam penelitian ini.

Selanjutnya, terdapat karya dari Ahmad Husin Ritonga,dkk. (1993) yang

(8)

Utara. Dalam buku ini, Ahmad Husin, dkk. mencoba untuk menjelaskan secara jelas

tentang hasil kerajinan tradisional masyarakat Sipirok yaitu Abit Godang dan

Parompa Sadun. Kain tenun Abit Godang dan Parompa Sadun dihasilkan untuk

kegiatan upacara adat masyarakat angkola Sipirok seperti upaca perkawinan,

kematian, upacara danak tubu, manjagit parompa dan sebagainya. Sebagai bagian

dari kegiatan upacara adat masyarakat angkola Sipirok, setiap motif atau corak

beserta warna yang terdapat dalam Abit Godang dan Parompa Sadun memiliki

makna yang penting dalam adat dan kehidupan masyarakat Sipirok.

Kemudian terdapat buku dari J. Gultom,dkk. (1991) yang berjudul Pengrajin

Tradisional di Daerah Provinsi Sumatera Utara. Buku ini merupakan hasil kegiatan

Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya, dalam rangka menggali dan

mengungkapkan khasanah budaya luhur bangsa. Buku ini menjelaskan sejauh mana

pengrajin tradisional khususnya pengrajin daerah Provinsi Sumatera Utara terhubung

dengan kegiatan ekonomi, khususnya dalam hal peningkatan pendapatan dan

bagaimana kaitannya dengan penyerapan tenaga kerja.

Selanjutnya terdapat tesis dari Bontor Arifin Hutasoit (2005) yang berjudul

Hubungan Subkontraktor Antara Partonun dengan Toke: Studi kasus pada industri

kerajinan ulos di Kecamatan Siatas Barita Kabupaten Tapanuli Utara.Tesis ini

menggambarkan bagaimana pola hubungan yang terjadi antara penenun dengan toke

dalam industri pertenunan dengan melihat aspek modal, bahan baku, tenaga kerja dan

(9)

menggambarkan dengan jelas hubungan penenun dengan toke yang terjalin secara

spontan, informal dan tidak tertulis.

1.5 Metode Penelitian

Setiap penelitian diwajibkan menggunakan metode, terutama metode penelitian.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah. Metode penelitian sejarah

adalah sekumpulan prinsip dan aturan yang sistematis yang dimaksudkan untuk

memberikan bantuan secara efektif dalam usaha untuk mengumpulkan bahan – bahan

bagi sejarah, kemudian menilainya secara kritis untuk selanjutnya disajikan dalam

suatu sintesa dari hasil-hasilnya, yang biasanya dalam bentuk tulisan. Metode sejarah

merupakan proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan jejak-jejak

peninggalan sejarah.10

Tahap pertama adalah heuristik, pada tahap heuristik dilakukan pengumpulan

data atau sumber yang berhubungan dengan topik penelitian. Tentu dalam hal ini

adalah yang berkaitan dengan kegiatan bertenun khususnya untuk wilayah Sipirok,

baik primer maupun sekunder, lisan maupun tulisan. Sumber tertulis didapatkan

dengan menggunakan studi kepustakaan, seperti yang terdapat dari koleksi milik

berbagai perpustakaan seperti Perpustakaan Pusat Universitas Sumatera Utara,

Perpustakaan Kota Medan, Perpustakaan Daerah Sumatera Utara. Penulis juga

menggunakan sumber internet sebagai bahan rujukan.

Dalam penerapannya, metode sejarah menggunakan empat

tahapan pokok, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi.

10

(10)

Proses heuristik awal dilakukan di Kota Padangsidimpuan dan juga Sipirok. Hal

pertama yang penulis lakukan adalah mengunjungi kantor-kantor dinas pemerintahan

daerah yang berhubungan dengan industri pertenunan di Sipirok. Kantor Dinas

Koperasi Perindustrian dan Perdagangan dan Dewan Kerajinan Nasional Daerah

Kabupaten Tapanuli Selatan adalah dua instansi pemerintah yang bersentuhan

langsung dengan kegiatan pertenunan di Sipirok. Data-data yang tersedia tergolong

sedikit, karena ketidakpedulian para pegawai pemerintah dalam menjaga dan

merawat data-data pemerintah terdahulu, sehingga data-data terdahulu sangat sulit

untuk ditemukan dikantor pemerintahan ini. Kesulitan dalam memperoleh data dari

pihak pemerintah, penulis mencoba menggali informasi dari pihak penenun di

Sipirok. Dalam hal ini, penulis sangat terbantu atas informasi dari pihak penenun,

akan tetapi sedikit kesulitan ketika ditanyakan angka atau tahun pasti ketika penenun

melakukan kegiatan-kegiatan untuk perkembangan pertenunan di Sipirok.

Selanjutnya, penulis melakukan studi kepustakaan dengan mengunjungi beberapa

perpustakaan daerah Tapanuli Selatan, perpustakaan Kota Padangsidimpuan, dan

perpustakaan lainnya.

Setelah pengumpulan sumber, maka tahap selanjutnya adalah kritik sumber.

Pada tahap ini, sumber-sumber relevan yang telah diperoleh diverifikasi kembali

untuk mengetahui keabsahannya.11

11

Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya, 1995, hal. 99

Oleh karena itu perlu dilakukan kritik untuk

(11)

melalui kritik ekstern yang dilihat dari penampilan fisik sumber-sumber sezaman

serta kritik intern berupa analisa isi sumber dan perbandingan terhadap sumber yang

didapatkan atas kesamaan maupun ketidaksamaan yang ada. Tujuannya adalah untuk

mendapatkan kredibilitas sumber atau kebenaran isi dari sumber tersebut.12

Hasil penelitian ini berupa skripsi yang terdiri atas beberapa bab, yang

menjelaskan mengenai perkembangan kegiatan bertennun ulos di Kecamatan Sipirok

yang dalam perkembangannya juga terdapat peran pemerintah daerah Kabupaten Penulis kemudian melanjutkan penelitian ini dengan tahap interpretasi yaitu

memuat analisis dan sintesis terhadap sumber yang telah dikritik dan diverifikasi.

Dalam tahapan ini fakta-fakta yang terkumpul ditafsirkan dengan menggabungkan

keterkaitan antara fakta yang satu dan lainnya, sehingga akan diperoleh data yang

objektif untuk diceritakan kembali kedalam sebuah tulisan.

Tahapan terakhir dari metode sejarah yaitu historiografi.Historiografi atau

penulisan merupakan proses menceritakan rangkaian fakta (penulisan sejarah) secara

kronologis dalam suatu bentuk tulisan yang kritis, analitis dan bersifat ilmiah

sehingga tahap akhir dalam penulisan ini dapat dituangkan dalam bentuk skripsi

dengan terlebih dahulu menulis rancangan isi skripsi.

1.6 Sistematika Penulisan

12

(12)

Tapanuli Selatan. Untuk menjelaskan bagian-bagian tersebut maka disusunlah

sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab satu merupakan bagian pendahuluan yang berisi tentang alasan pemilihan

tema penelitian, dengan rumusan permasalahan yang dibatasi secara spasial dan

temporal. Selain itu terdapat juga tujuan dan manfaat dari penulisan skripsi ini, serta

dicantumkan beberapa tinjauan pustaka sebagai acuan dan perbandingan dalam

penulisan skripsi ini. Skripsi ini menggunakan metode sejarah dengan empat tahapan

pokok, yaitu heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi, dan terdapat pula

sistematika penulisan yang menjelaskan poin-poin isi dari setiap bab.

Bab dua membahas tentang keadaan atau gambaran umum wilayah Sipirok.

Dalam bab ini penulis akan menjelaskan tentang wilayah penelitian yaitu Sipirok,

agar mempermudah dalam menggambarkan dan mengetahui keadaan wilayah

penelitian yaitu Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan. Selain itu, akan

dijelaskan pula tentang masyarakat Sipirok, kependudukannya, kebudayaan

masyarakat Sipirok, kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Sipirok. Hal ini

menjadi perlu dijelaskan karena untuk melihat pola atau corak kehidupan masyarakat

Tapanuli Selatan khususnya masyarakat di Sipirok.

Bab tiga membahas tentang kegiatan bertenun sebelum tahun 1980. Pada bab

ini, penulis akan menjabarkan tentang latar belakang adanya kegiatan bertenun yang

awalnya hanya memproduksi dua jenis kain adat yaitu abit godang dan parompa

(13)

parompa sadun sebagai hasil ataupun wujud kebudayaan masyarakat Sipirok, akan

penulis jelaskan tentang bentuk, corak atau motif hingga penggunaannya dalam

kegiatan upacara adat di Tapanuli Selatan.

Bab empat terfokus pada perkembangan tenun kain di Sipirok yang dimulai

dari tahun 1980 hingga tahun 2006. Bab ini dimulai dengan menjelaskan tentang Alat

Tenun Bukan Mesin yang menjadi awal adanya kesempatan bagi para penenun untuk

mewujudkan ide ataupun kreatifitas pada hasil produksi mereka, perolehan bahan

baku, modal, tenaga kerja, hubungan yang terjalin antara penenun dengan toke,

sistem pengupahan, modifikasi dan diversifikasi jenis produksi kain tenun Sipirok

hingga penyebaran wilayah pemasaran kain tenun Sipirok.

Bab lima membahas tentang peranan pemerintah dalam perkembangan

pertenunan di Sipirok. Akan dijelaskan beberapa bentuk dari peranan pemerintah

dalam perkembangan pertenunan seperti mengadakan pelatihan, menyediakan alat

tenun bukan mesin, memberikan bahan baku untuk kegiatan bertenun bagi

masyatakat Sipirok hingga pada tujuan pemerintah daerah Sipirok dalam

keikutsertaannya meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat Sipirok serta

memajukan daerah Sipirok.

Bab Keenam merupakan bab akhir dari penelitian ini. Bab ini memaparkan

kesimpulan dari uraian yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, serta terdapat

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan hasil penjadwalan berdasarkan metode Nawaz Enscore and Ham (NEH) urutan penjadwalan job menjadi 2-1-3-5-4 atau 2-3-1-5-4 dengan nilai makespan sebesar 26,42 hari, idle

Indikator keberhasilan pada penelitian ini secara umum diukur dari (1) keberadaan komik sains berbasis mitigasi bencana yang sudah tervalidasi dan siap didistribusikan di SD/MI di

ketidakseimbangan waktu penyelesaian produk di setiap stasiun kerja yang akan.. mengakibatkan adanya penumpukan barang setengah jadi dan idle time

3.2 Mengetahui konsep gerak dasar non lokomotor sesuai dengan dimensi anggota tubuh yang digunakan, arah, ruang gerak, hubungan, dan usaha, dalam berbagai bentuk

Perasaaan tersebut memang telah terlihat semakin lama semakin menipis dan dapat dibuktikan dari banyaknya masyarakat yang ingin melakukan aksi main hakim sendiri kepada

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas media Teka-Teki Silang dengan metode NHT ( Number Heads Together ) terhadap peningkatan pengetahuan, sikap

bahasa Jawa krama inggil yang harusnya digunakan dalam upacara tujuh. bulanan akan menimbulkan masalah baru seperti

PENGELOLAAN PKBM DALAM PEMBELAJARAN LIFE SKILL PEMBUATAN SABUN SUSU UNTUK MEMOTIVASI BELAJAR LANJUT PADA PESERTA DIDIK DI PKBM BINA MANDIRI CIPAGERAN.. Universitas