• Tidak ada hasil yang ditemukan

Eufemisme Dalam Upacara Tujuh Bulanan Adat Jawa Tingkeban Di Galang Kabupaten Deli Serdang Kajian Sosiolinguistik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Eufemisme Dalam Upacara Tujuh Bulanan Adat Jawa Tingkeban Di Galang Kabupaten Deli Serdang Kajian Sosiolinguistik"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan salah satu negara besar yang terkenal dengan

keanekaragaman bahasa, suku, dan kebudayaannya. Kepulauan Indonesia

yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dihuni oleh berbagai suku

yang memiliki ciri khas kebudayaannya masing-masing. Kebudayaan

nasional adalah keseluruhan kebudayaan hidup dan yang ada di Indonesia

(Sibarani, 2004:22).

Kebudayaan di Indonesia dikategorikan menjadi empat jenis

(Sibarani, 2004:22). Pertama, kebudayaan etnik yang mencakup semua

unsur kebudayaan yang masih mengandung kebiasaan etnik tergolong ke

dalam kebudayaan ini seperti pelaksanaan adat. Kedua, kebudayaan baru

yang berakar dari kebudayaan etnik (kebudayaan baru-etnik) yaitu semua

kebudayaan baru yang memperlihatkan unsur atau budaya etniknya.

Ketiga, kebudayaan etnik yang langsung berorientasi pada kebudayaan

asing (etnik-asing). Keempat, kebudayaan baru yang berorientasi pada

kebudayaan asing atau kebudayaan baru-asing.

Berdasarkan perhitungan etnik dan perhitungan kebudayaan yang

paralel dengan jumlah bahasa etnik, maka etnik di Indonesia kurang lebih

terdiri dari 706, etnik Jawa merupakan etnik terbesar dalam hal populasi

(2)

Di antara berbagai bahasa daerah, bahasa Jawa termasuk yang

paling banyak memberikan sumbangan di bidang kosakata dan istilah

untuk memperkaya bahasa Indonesia jika dibandingkan dengan bahasa

daerah lainnya. Tidak dapat disangkal bahwa banyak kosakata dan istilah

bahasa Indonesia yang dipungut langsung dari bahasa Jawa.

Bahasa Jawa tidak hanya digunakan oleh masyarakat yang tinggal

di pulau Jawa, tetapi juga digunakan di daerah lain. Sumatera, khususnya

Sumatera Utara merupakan salah satu penyebaran etnik Jawa yang paling

besar. Jumlah etnik Jawa di Sumatera Utara hampir sama bahkan lebih

banyak dibanding dengan etnik asli yaitu Melayu, Batak Toba, Batak

Karo, dan sebagainya.

Dalam bahasa Jawa terdapat tingkatan tutur bahasa yang dikenal

dengan istilah undhak-usuk (Rahardi, 2001:4). Terdapat tiga tingkatan

tutur bahasa, yaitu tingkat krama inggil, madya, dan ngoko. Bahasa krama

inggil (bahasa halus) digunakan untuk seseorang yang mempunyai derajat

atau tingkatan yang lebih tinggi. Bahasa pada tingkat ini adalah bahasa

yang paling sopan dan hormat. Pemakaian bahasa krama inggil bertujuan

untuk menghormati orang yang diajak bicara terlebih pada yang lebih tua,

misalnya kata panjenengan yang berarti kamu.

Pada tingkat kedua ada yang disebut dengan tingkat madya (bahasa

biasa) digunakan untuk seseorang yang mempunyai tingkatan sederajat

atau dapat juga didefenisikan sebagai bahasa yang kadar kehalusannya

rendah atau mencampurkan bahasa pada tingkat karma inggil dan ngoko,

(3)

yaitu bahasa ngoko (bahasa kasar) digunakan untuk sederajat atau

tingkatan yang lebih rendah dan banyak digunakan masyarakat pada

umumnya terutama masyarakat di luar pulau Jawa, misalnya kata kuwe

yang berarti kamu.

Sebagai salah satu etnik tentu saja etnik Jawa memiliki

adat-istiadat tersendiri. Salah satu adat-adat-istiadat itu adalah adat pada saat

kehamilan seorang ibu yang dilakukan saat usia kandungan memasuki

bulan ketujuh. Dalam adat tujuh bulanan etnik Jawa dikenal istilah

tingkeban yaitu bagian dari proses adat kehamilan yang bertujuan agar

proses kelahiran berjalan lancar dan dipercaya dapat menentukan jenis

kelamin janin yang ada dalam kandungan ibunya. Proses tersebut dipimpin

oleh seorang ahli tingkeban yang bertugas melakukan upacara adat tujuh

bulanan tersebut.

Dalam bagian ini ahli tingkeban mengucapkan kata-kata nasehat

untuk bayi yang dikandung ibunya dan juga nasehat untuk ayahnya untuk

menjalankan kehidupan baru setelah bayinya lahir. Nasehat-nasehat itu

diucapkan dalam bahasa Jawa dan menggunakan eufemisme untuk

memperhalus kata yang diucapkan di depan orang banyak. Sesepuh desa

membaca beberapa mantra dan mengajari beberapa kalimat untuk

diucapkan oleh masyarakat yang ikut menyaksikan acara tujuh bulanan

tersebut. Salah satu penggalan kalimat dalam upacara tingkeban tersebut

adalah “bayine lair kanthi aman ora ono alangan lan kabeh sehat”, yang

memiliki arti ’bayinya lahir dengan selamat tidak ada halangan dan

(4)

Setiap masyarakat memiliki tradisi adat yang berbeda dengan

tradisi pada masyarakat yang lain. Khususnya pad,a masyarakat Jawa yang

bertempat di Desa Galang, Kecamatan Galang Kabupaten Deli Serdang,

mayoritas penduduknya adalah suku Jawa yang memiliki dan menjalankan

tradisi budayanya, baik dalam tata cara perkawinan, kematian, tujuh

bulanan atau tingkeban, dan sebagainya. Bahasa Jawa yang digunakan

oleh masyarakat Jawa yang ada di Desa Galang, Kecamatan Galang,

Kabupaten Deli Serdang adalah bahasa Jawa ngoko untuk bekomunikasi

dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi dalam upacara tradisi adat Jawa,

masyarakat Desa Galang, Kecamatan Galang, Kabupaten Deli Serdang

menggunakan bahasa Jawa tingkat madya yaitu mencampurkan antara

bahasa Jawa krama inggil dan bahasa Jawa ngoko. Hal ini disebabkan

karena kemampuan berbahasa Jawa pada tingkat krama inggil sudah mulai

hilang di masyarakat Galang.

Penggunaan bahasa Jawa tingkat madya saat upacara tujuh bulanan

inilah yang menarik bagi penulis untuk meneliti peristiwa ini. Upacara

tujuh bulanan yang seharusnya menggunakan bahasa Jawa krama inggil

murni, masih bisa dilakukan dengan menggunakan selain bahasa Jawa

krama inggil. Melihat kejanggalan ini, dapat disimpulkan bahwa akan ada

perbedaan makna dalam upacara tujuh bulanan jika dalam pelaksanaannya

menggunakan bahasa Jawa krama inggil dan jika tidak menggunakan

bahasa Jawa krama inggil. Walaupun bahasa Jawa yang digunakan

(5)

krama inggil dengan bahasa Jawa ngoko, masih terdapat eufemisme dalam

upacara tujuh bulanan yang dilaksanakan.

Eufemisme berasal dari kata Yunani euphemizein yang berarti

berbicara dengan kata-kata yang jelas dan wajar, yang diturunkan dari eu

‘baik’ dan phanai ‘berbicara’. Jadi secara singkat eufemisme berarti

pandai berbicara, berbicara baik. (Tarigan, 1985).

Eufemisme dalam sosiolinguistik mengacu pada fenomena tabu

atau pemikiran yang berkaitan dengan tabu yang mendorong timbulnya

gejala atau pendapat lain.

Eufemisme dalam upacara tujuh bulanan menjadi hal menarik

dalam penulisan ini karena bahasa yang harusnya digunakan dalam

upacara tujuh bulanan adalah bahasa Jawa krama inggil. Namun, pada

masyarakat di Desa Galang bahasa yang digunakan adalah mencampurkan

antara bahasa Jawa krama inggil dengan bahasa Jawa ngoko. Hilangnya

bahasa Jawa krama inggil yang harusnya digunakan dalam upacara tujuh

bulanan akan menimbulkan masalah baru seperti pergeseran dan

pemertahanan bahasa. Percampuran bahasa ini juga akan memberi

perbedaan pada saat upacara tersebut berlangsung, karena makna yang

seharusnya tidak diperoleh. Alat dan bahan yang mendukung dalam

upacara tujuh bulanan ini juga sudah mulai hilang di masyarakat Galang,

misalnya :

1. Pada saat acara among-among biasanya nasi urap dibungkus dengan

menggunakan daun pisang. Pada masyarakat Jawa di Desa Galang

(6)

2. Gayung yang digunakan saat siraman harusnya terbuat dari batok

kelapa. Pada masyarakat Jawa di Desa Galang, batok kelapa sudah

diganti dengan gayung plastik biasa.

3. Rangkaian bunga melati yang seharusnya digunakan saat ibu yang

mengandung dimandikan, tidak lagi digunakan oleh masyarakat Desa

Galang karena sulitnya mencari bunga melati asli dan orang yang

dapat merangkainya.

4. Pergantian kain setelah ibu yang mengandung selesai mandi tidak lagi

menjadi hal penting dalam upacara tujuh bulanan pada masyarakat

Jawa di Desa Galang. Pergantian kain panjang dengan motif tertentu

memiliki makna tertentu, yaitu :

a. Motif wahyu tumurun yang berarti harapan agar keturunannya

memeroleh kedudukan dan karir yang sukses.

b. Motif cakar berarti berisi doa agar kelak jabang bayi pintar

mencari nafkah.

c. Motif udan liris berisi doa agar calon bayi tumbuh menjadi

manusia yang tangguh.

d. Motif kesatria berisi harapan agar anak memiliki sikap kesatria.

e. Motif sidomukti berisi harapan agar anak memiliki hidup

terhormat dan dikelilingi dengan kebahagiaan.

f. Motif babon angkrem berarti kelak anak tidak pernah

kekurangan.

g. Motif lurik lasem adalah motif yang paling sederhana,

(7)

Eufemisme dalam upacara tujuh bulanan merupakan penghalusan

makna yang terdapat pada saat upacara tujuh bulanan, dimaksudkan agar

tidak ada kata yang meyinggung perasaan orang yang mendengar

walaupun dalam upacara tingkeban ini digunakan bahasa Jawa tingkat

madya. Eufemisme pada upacara tujuh bulanan tidak selalu muncul dalam

tahap-tahap saat tingkeban belangsung.

Contoh :

Glos lancar : Meminta keselamatan pada makhluk yang dipercaya

sebagai penunggu desa ini diminta untuk tidak

mengganggu ibu yang sedang mengandung yang

menyukai air bersih atau suci, suci karena ridho

Allah.

Tabel 1 :

Bahasa

Jawa Krama Inggil

Bahasa

Jawa Ngoko

Arti

Matur Nembung memohon, meminta

Bawerso demet jin, iblis, makhluk halus

(8)

Eufemisme dalam tabel di atas terdapat pada kata nembung, dan

bawerso. Kata nembung dalam bahasa Jawa krama inggil digunakan

untuk menggantikan kata njalok dalam bahasa Jawa ngoko, yang

memiliki arti dalam bahasa Indonesia yaitu ‘memohon, meminta’.

Kata bawerso dalam bahasa Jawa krama inggil digunakan untuk

menggantikan kata demet dalam bahasa Jawa ngoko yang memiliki

arti dalam bahasa Indonesia yaitu, ‘jin, iblis, makhluk halus penunggu

suatu daerah’.

Contoh : “

Glos cermat : Memenuhi permintaan calon bayi yang ada

Menuhi idam-idamanejabangbayisengeneng

dikandungan

Glos cermat : di kandungan.

”.

Glos lancar : Memenuhi permintaan calon bayi yang ada di dalam

kandungan ibunya.

Tabel 2 :

Bahasa

Jawa Krama Inggil

Bahasa

Jawa Ngoko

Arti

idam-idamane njalok keinginan

Eufemisme dalam tabel di atas terdapat pada kata idam-idamane

(9)

njalok dalam bahasa Jawa ngoko, yang memiliki arti dalam bahasa

Indonesia yaitu ‘permintaan, keinginan’.

Tradisi adat Jawa tujuh bulanan atau tingkeban merupakan bagian

dari budi pekerti Jawa yang memiliki makna filosofis dalam kehidupan

antara lain melestarikan tradisi leluhur dalam rangka memohon

keselamatan. Di dalam acara tersebut terdapat ucapan yang mengandung

makna secara simbolis yang menggambarkan tentang tata cara untuk

keselamatan kelahiran si jabang bayi. Dari penjabaran di atas, peneulis

tertarik untuk meneliti bentuk dan fungsi dalam upacara tujuh bulanan

pada masyarakat Jawa di Desa Galang Kabupaten Deli Sedang.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka masalah yang akan

dibicarakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah bentuk eufemisme dalam upacara tujuh bulanan adat

Jawa?

2. Bagaimanakah fungsi eufemisme dengan menggunakan teori

pergeseran dan pemertahanan bahasa dalam upacara tujuh bulanan

adat Jawa?

1.3Batasan Masalah

Sebuah penelitian sangat membutuhkan rumusan masalah agar

penelitian tersebut terarah sehingga tujuan peneliti tercapai. Dalam

(10)

menggunakan teori pergeseran dan pemertahanan bahasa yang terdapat

pada upacara tujuh bulanan pada masyarakat Jawa di Desa Galang,

Kecamatan Galang, Kabupaten Deli Serdang.

1.4Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah yang telah diuraikan di atas, maka tujuan

penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan bentuk eufemisme dalam upacara tujuh bulanan adat

Jawa.

2. Mendeskripsikan fungsi eufemisme dengan menggunakan teori

pergeseran dan pemertahanan bahasa dalam upacara tujuh bulanan

adat Jawa.

1.5Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis

Adapun manfaat teoritis dalam penelitian ini adalah :

1. Menambah pengetahuan dan wawasan peneliti tentang penggunaan

eufemisme dalam tradisi adat suku Jawa.

2. Menjadi sumber masukan bagi peneliti lain untuk mengkaji lebih

lanjut lagi mengenai eufemisme dalam tradisi adat suku Jawa.

1.5.2 Manfaat Praktis

(11)

1. Dapat bermanfaat bagi pembaca dan penulis agar mengetahui

tentang tradisi dari masyarakat Jawa khususnya, yang berada di

luar pulau Jawa untuk terus mengetahui tentang tradisi adat Jawa.

2. Untuk melestarikan serta menghindari dari kepunahan sekaligus

sebagai usaha pembinaan dan pengembangan terhadap bahasa

Referensi

Dokumen terkait

Tabel 3.2 Strategi dan lean tool dalam Fase Stabilitas 35 Tabel 3.3 Strategi dan Lean Tool untuk Menciptakan Connected Process Flow 38 Tabel 3.4 Perbedaan Push dengan Pull 40

Dari hasil pengujian packet loss yang menggunakan server trixbox maupun server Open IMS Core masih berada dikategori baik, yaitu 0%. Dari kedua server tersebut masih

JUDUL : FK UGM DORONG IMPLEMENTASI AHS MEDIA : KEDAULATAN RAKYAT. TANGGAL : 07

yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah kesenian tari, walaupun juga. menyinggung unsur Bahasa, pakaian serta kesenian teater, pantun,

lampu pijar adalah 69,69 watt. Pada pengujian generator menggunakan beban lampu pijar dan lampu hemat energi terjadi drop tegangan beserta hunbungan frekuensi dengan beban.

JUDUL : DIES NATALIS KE-71 DAN TEMU ALUMNI FK UGM MEDIA : KEDAULATAN RAKYAT. TANGGAL : 07

Berdasarkan hasil refleksi siklus I, diputuskan agar dapat dilakukan lagi tindakan siklus II. Siklus II dilakukan agar dapat memperbaiki hasil tindakan siklus I,

Sehingga diharapkan aplikasi ini dapat membantu para pemula dalam mengenal bahasa Inggris secara umum, mempelajari susunan kata sering dipakai atau digunakan. Adapun metode