• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.2 Saran

Setidaknya studi yang penulis kerjakan ini telah menggambarkan

perkembangan pertenunan di Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan,

meskipun masih banyak terdapat kekurangan. Penulis menyarankan agar kiranya

pemerintah bekerjasama dengan instansi-instansi lain sekaligus masyarakat dapat

melestarikan hasil budaya beserta nilai-nilai luhur dan ajaran moral yang terkandung

sebagai makna dari motif ragam hias abit godang dan parompa sadun, baik melalui

jalur formal maupun informal. Salah satunya adalah dengan mendirikan museum

tenun ulos masyarakat Tapanuli Selatan, yang nantinya menjadi sarana pembelajaran

bagi generasi penerus. Keterlibatan pemerintah daerah dalam kegiatan pembinaan

usaha pertenunan agar semakin baik dan tepat. Pembinaan yang dilakukan hendaknya

tidak hanya sebatas yang pernah dilakukan selama ini. Agar semakin bertumbuh

kembang usaha pertenunan dengan terobosan-terobosan baru dalam hal mode, bahan,

kualitas, corak atau motif dan sebagainya agar dapat menembus lingkup pemasaran

yang lebih luas.

Selain itu, dalam melakukan penelitian ini, penulis kesulitan dalam

mendapatkan sumber data dari pihak pemerintah karena ketidakpedulian dalam

menjaga ataupun merawat arsip-arsip pemerintah daerah. Oleh karenanya, penulis

mengharapkan agar pegawai pemerintah lebih baik lagi dalam menjaga ataupun

merawat data-data terdahulu.

BAB II

GAMBARAN UMUM KECAMATAN SIPIROK

2.1 Wilayah Sipirok di Kabupaten Tapanuli Selatan

2.1.1 Pembentukan dan Unifikasi Kabupaten Tapanuli Selatan

Kabupaten Tapanuli Selatan, awalnya, merupakan gabungan dari tiga

kabupaten yang berada di wilayah Tapanuli Bagian Selatan.

13

Unifikasi wilayah Kabupaten Tapanuli Bagian Selatan menjadi Kabupaten

Tapanuli Selatan mengakibatkan seluruh pegawai yang berada di Kantor Bupati

Adapun tiga kabupaten

yang dikepalai Bupati tersebut adalah Kabupaten Angkola Sipirok dengan ibukota

kabupaten di Padangsidimpuan, Kabupaten Padang Lawas dengan ibukota kabupaten

di Gunung Tua, dan Kabupaten Mandailing Natal dengan ibukota kabupaten di

Panyabungan.

Setelah Indonesia mendapatkan kedaulatan penuh pada akhir tahun 1949,

maka pembagian daerah administrasi mengalami perubahan. Pada tahun 1950,

Kabupaten Daerah Tapanuli Bagian Selatan dibentuk menjadi Kabupaten Tapanuli

Selatan dengan Undang – Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1950. Dalam pasal 1 ayat

10 disebutkan bahwa Kabupaten Tapanuli Selatan dengan batas-batas yang meliputi

wilayah Afdeeling Padangsidimpuan sesuai dengan Staatsblad 1937 Nomor 536.

13

Kabupaten Tapanuli Selatan ketika masa pemerintahan Belanda disebut Afdeeling Padangsidimpuan yang dikepalai oleh seorang Residen yang berkedudukan di Padangsidimpuan. Afdeeling Padangsidimpuan membawahi tida wilayah onder afdeeling yang dikepalai oleh seorang Contreleur , yaitu Onder Afdeeling Angkola Sipirok yang berkedudukan di Padangsidimpuan, Onder Afdeeling Padang Lawas yang berkedudukan di Sibuhuan, dan Onder Afdeeling Mandailing Natal yang berkedudukan di Kotanopan.

Angkola Sipirok, Kantor Bupati Padang Lawas, Kantor Bupati Mandailing diakuisisi

menjadi pegawai Kantor Bupati Kabupaten Tapanuli Selatan yang ibukotanya

berkedudukan di Padangsidimpuan. Unifikasi wilayah Tapanuli Selatan ini pada

akhirnya memiliki 18 kecamatan

14

Selanjutnya, telah terjadi beberapa kali pemekaran wilayah tingkat kecamatan

di Kabupaten Tapauli Selatan ini, yang dimulai pada tahun 1982, kemudian berlanjut

pada tahun 1992 yaitu pemekaran wilayah kecamatan Natal

, yaitu Dolok, Barumun, Barumun Tengah, Batang

Angkola, Batang Natal, Batang toru, Kotanopan, Muarasipongi, Natal, Padang Bolak,

Padangsidimpuan, Panyabungan, Saipar Dolok Hole, Simangambat, Siabu, Sipirok,

Sosa, Sosopan.

15

dan Kecamatan Siais

dengan ibukotanya Simarpinggan yang berasal dari sebagian Kecamatan

Padangsidimpuan Barat, kemudian tahun 1996 pembentukan Kecamatan Halongonan

dengan ibukotanya Hutaimbaru, yang merupakan pemekaran dari Kecamatan Padang

Bolak.

16

Kemudian, dengan keluarnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12

Tahun 1998 dan disahkan pada tanggal 23 Nopember 1998 tentang pembentukan

14

Daftar 18 kecamatan ini bertahan hingga tahun 1982, ketika pada tanggal 30 Nopember 1982 terjadi pemekaran di Kecamatan Padangsidimpuan menjadi empat kecamatan yaitu Kecamatan Padangsidimpuan Utara, Kecamatan Padangsidimpuan Selatan, Kecamatan Padangsidimpuan Barat dan Kecamatan Padangsidimpuan Timur, yang kemudian nama Kecamatan Padangsidimpuan dihapus.Selanjutnya Kecamatan Padangsidimpuan Utara dan Padangsidimpuan Selatan mejadi bagian dari Kota Administratif Padangsidimpua yang dibentuk berdasarkan PP No. 32 Tahun 1982.Kota administrative bukanlah daerah otonom sebagaimana Kabupaten atau Kota.Kota administrative ini tidak memiliki DPRD.Kota administrative hanya dipimpin oleh seorang walikota dan dibantu oleh wakil walikota yang diangkat oleh gubernur dari kalangan Pegawai Negeri Sipil.

15

Kecamatan Natal ini dimekarkan menjadi 3 kecamatan, yaitu Kecamatan Natal dengan ibukotanya Natal, Kecamatan Muara Batang Gadis dengan ibukotanya Singkuang, dan Kecamatan Batahan dengan ibukotanya Batahan.

16

Kebupaten Mandailing Natal maka Kabupaten Tapanuli Selatan dimekarkan menjadi

2 Kabupaten, yaitu Kabupaten Mandailing Natal dengan ibukotanya Panyabungan

(dengan jumlah daerah administrasi 8 kecamatan) dan Kabupaten Tapanuli Selatan

dengan ibukotanya Padangsidimpuan (dengan jumlah daerah administrasi 16

kecamatan).

Pada Tahun 1999 sesuai dengan PP RI No. 43 Tahun 1999 Tanggal 26 Mei

1999 terjadi pemekaran kecamatan di Kabupaten Tapauli Selatan, kemudian pada

tanggal 17 Oktober 2001 oleh Mentri Dalam Negri, Hari Sabarno, atas nama Presiden

Republik Indonesia, Padangsidimpuan diresmikan menjadi Kota sesuai dengan

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2001. Selanjutnya, pada tahun 2002, sesuai dengan

Perda No. 4 Tahun 2002 dibentuk sejumlah kecamatan di Kabupaten Tapauli Selatan.

Tabel II. 1

Susunan Pejabat Bupati Kabupaten Tapanuli Selatan 1950-2010

No Nama Masa Bakti

1 Muda Siregar Gelar Sulta Doli 1950-1951

2 Raja Junjungan Lubis 1951-1954

3 Abdul Azis Lubis 1954

4 Wahid R 1954

5 Muhammad Nasib Nasution 1954-1955

6 Abdul Azis Lubis 1955-1956

7 M. Nurdin Nasution 1956-1961

8 M. Nurdin Nasution 1961-1969

9 Ahmad Negara Nasution 1969-1970

10 M. Nurdin Nasution 1970-1974

11 Bgd. Syarif Nasution 1974-1979

12 Hamzah Lubis 1979-1984

13 H.A. Rasyid nasution 1984-1989

14 Drs. Toharuddin Siregar 1989-1994

15 Drs. H. Sualoon Siregar 1994-1999

16 Ir. Suangkupon Siregar 1999-2000

17 Drs. H.M. Saleh harahap 2000-2004

18 Abdul Rahim Siregar 2004-2005

19 Ongku P. Hasibuan 2005-2010

2.1.2 Lokasi Penelitian

Secara umum Kabupaten Tapanuli Selatan menjadi lokasi cakupan wilayah

penelitian ini dan Kecamatan Sipirok merupakan wilayah sasaran utama tentang

perkembangan pertenunan di wilayah tersebut.

Secara geografis, daerah tingkat II Kabupaten Tapanuli Selatan berada di

belahan Barat Indonesia dan sebelah Selatan Pulau Sumatera yang terletak pada 0,10’

sampai dengan 1

o

50’ Lintang Utara dan 98

o

50’ sampai dengan 100

o

10’ Bujur Timur,

dengan ketinggian 0 – 1915 meter diatas permukaan laut dengan luas lebih kurang

12.275,80 km

2

.

17

Sedangkan jika ditinjau dari letak topografisnya Kabupaten

Tapanuli Selatan, sebagian besar wilayahnya merupakan dataran tinggi dan berbukit -

bukit yaitu rangkaian pegunungan Bukit Barisan yang memanjang dari Utara melalui

daerah-daerah Kecamatan Sipirok, Saipar Dolok Hole, Batang Toru, Dolok, Barumun

Tengah, Sosa dan Muara Sipongi.Terdapat beberapa bukit dan gunung yang terkenal

di wilayah ini, antara lain Gunung Lubuk Raya, Gunung Sibual-Buali,

18

17

Badan Pusat Statistik, Tapanuli Selatan Dalam Angka 2002, Kerjasama Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Selatan dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan, 2002, hal. 0.

18

Gunung ini masih aktif dan memiliki geyser dan sumber air panas yang ditampung di dua kolam pemandian umum di daerah Sipirok, yaitu di desa Padang Bujur dan Sosopan, yang kini menjadi objek wisata di wilayah tersebut.

Bukit

Simago-mago dan lain-lain. Dilembah pegunungan dan bukit-bukit yang terjal

tersebut terdapat panorama alam yang indah yaitu danau-danau yang memiliki pesona

alam yang memikat, seperti: Danau Siombun di Kecamatan Panyabungan, Danau Tao

di Kecamatan Sosopan, Danau Siais di Kecamatan Padangsidimpuan Barat dan

Danau Marsabut di Kecamatan Sipirok. Sedangkan untuk dataran rendah dan padang

rumput yang luas terdapat di wilayah sebelah Barat dan Timur Kabupaten Tapanuli

Selatan.

19

Wilayah budaya masyarakat Angkola terdiri dari tiga bagian yaitu Angkola

Jae (Angkola Hilir/ yang lebih dikenal dengan wilayah Sipirok, Saipar Dolok Hole,

dan Sipiongot), Angkola Julu (Angkola Hulu) dan Angkola Dolok (Angkola

Pegunungan). Selanjutnya, wilayah budaya Angkola kemudian terbagi kedalam

sepuluh wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Batang Angkola, Kecamatan Batang

Toru, Kecamatan Padangsidimpuan Barat, Kecamatan Padangsidimpuan Timur,

Daerah Tingkat II Tapanuli Selatan wilayahnya dibatasi oleh, sebelah utara

berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Tapanuli Tengah,

sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat, sebelah Barat berbatasan

dengan Samudera Indonesia dan sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi Riau.

Untuk lokasi penelitian yang secara khusus yaitu Kecamatan Sipirok yang

merupakan salah satu kecamatan di wilayah Kabupaten Tapannuli Selatan. Sipirok

terletak di dataran tinggi sehingga daerah ini memiliki kondisi alam cenderung dingin

atau sejuk karena berada di lembah Gunung Sibualbuali yang masih aktif. Masyarakat

Sipirok tergolong dalam masyarakat Angkola-Sipirok yang masyarakatnya sejak

dahulu kala telah mendiami wilayah Angkola dan wilayah Sipirok yang terdapat di

Kabupaten Tapanuli Selatan.

19

Ahmad Husin Ritonga,dkk., Kerajinan Tradisional Abit Godang dan Parompa Sadun Daerah Sumatera Utara,. Medan: Kanwil Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sumatera Utara, 1993, hal. 9-10.

Kecamatan Padangsidimpuan Selatan, Kecamatan Padangsidimpuan Utara,

Kecamatan Sipirok, Kecamatan Saipar Dolok Hole, Kecamatan Padang Bolak dan

Kecamatan Dolok.

20

1. Sebelah Utara dengan Kecamatan Saipar Dolok Hole.

Wilayah tempat kediaman masyarakat Angkola-Sipirok

berdampingan dengan wilayah Padang Bolak (Padang Lawas) dan wilayah

Mandailing. Secara administratif wilayah Kecamatan Sipirok berbatasan dengan:

2. Sebelah Selatan dengan Kecamatan Padangsidimpuan Timur dan Kecamatan

Padangsidimpuan Barat.

3. Sebelah Barat dengan Kabupaten Tapanuli Utara.

4. Sebelah Timur dengan Kecamatan Padang Bolak..

Luas wilayah Kecamatan Sipirok adalah 720, 85 km

2

atau 3,80% dari luas

Kabupaten Tapanuli Selatan yang terdiri dari 127 desa dan 5 kelurahan. Sipirok

menjadi ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan, sesuai dengan Undang-Undang nomor

37 tahun 2007.

2.2 Masyarakat Sipirok

Sipirok sebagai sebuah nama mengandung dua makna konseptual, yaitu

konsep teritorial dan konsep sosio kultural. Sebagai konsep teritorial, Sipirok

menunjukkan suatu kawasan tertentu dengan batas-batas yang jelas. Dan sebagai

konsep sosio kultural, Sipirok menunjukkan satu kelompok masyarakat dan

20

Parlaungan Ritonga, Makna Simbolik dalam Upacar Adat Mengupa Masyarakat Angkola Sipirok di Tapanuli Selatan, Medan: USU PRESS, 1997, hal. 4.

kebudayaannya yang khas. Selain itu, kata Sipirok juga digunakan sebagai nama bagi

ibukota Kecamatan Sipirok.

Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu

sistem adat istiadat tertentu yang bersifat berkelanjutan dan terikat oleh suatu rasa

identitas bersama.

21

Proses terbentuknya masyarakat Sipirok tergambar dalam ungkapan lokal

yang mengatakan Sipirok Pardomuan yang berarti “Sipirok Perpaduan”.

Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat Sipirok merupakan gabungan atau

perpaduan dari sejumlah orang-orang yang berlainan marga yang datang dari

berbagai tempat menuju kawasan Sipirok dan Saipar Dolok Hole. Ada yang datang

dari kawasan Muara dan Pangaribuan di Tapanuli Utara, ada pula yang datang dari

kawasan Mandailing dan Angkola di Tapanuli Selatan. Kedatangan mereka tidak

terjadi secara serentak.

Masyarakat Sipirok merupakan salah satu dari sekian banyak

masyarakat etnis (suku bangsa) yang sejak zaman dahulu kala mendiami satu wilayah

tertentu di Sumatera Utara. Wilayah tempat kediaman Orang Sipirok itu dahulu

mempunyai batas-batas yang ditetapkan menurut tradisi, dan terdiri dari dua kawasan

yang masing-masing dinamakan Luat Sipirok dan Luat Saipar Dolok Hole.

22

21

Koentaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Penerbit Aksara Baru: Jakarta, 1980. hal. 160.

22

Z. Pangaduan Lubis dan Zulkifli B. Lubis, op.cit., hal. 3 dan 11.

Menurut beberapa literatur dan keterangan lisan,

orang-orang bermarga Siregar yang menjadi cikal bakal pertumbuhan masyarakat Sipirok,

berasal dari satu tempat bernama Muara di Tapanuli Utara, dan merupakan keturunan

dari Toga Siregar.

23

Secara turun-temurun, sub etnis Mandailing dan Angkola menganut sistem

patrilineal yaitu menarik garis keturunan dari pihak ayah. Mempunyai sistem

Mereka merupakan pelopor yang merintis berdirinya

tempat-tempat pemukiman yang kemudian berkembang menjadi huta (desa). Selanjutnya,

mereka menetap dan berkembang di Sipirok dan kemudian berbaur dengan

orang-orang yang datang kemudian ke wilayah Sipirok hingga membentuk satu kesatuan

hidup dan kesatuan budaya yang diikat dengan satu sistem adat istiadat atau sistem

nilai budaya yang khas. Selanjutnya, adat istiadat tersebut mereka gunakan secara

terus menerus untuk mengatur cara-cara mereka berinteraksi dalam segala aspek

kehidupan mereka. Kesatuan hidup itu sekaligus terikat pula dalam satu identitas

bersama yang muncul dengan satu sebutan, yakni Sipirok, yang hingga kini kesatuan

hidup tersebut tetap bereksistensi di Kabupaten Tapanuli Selatan.

2.3 Keadaan Penduduk

Penduduk asli wilayah Tapanuli Selatan memiliki dua jenis suku sesuai

dengan daerahnya yaitu Batak Mandailing yang mendiami daerah Mandailing, yang

berbatasan dengan Sumatera Barat dan suku Batak Angkola, yang mendiami daerah

bagian utara Kabupaten Tapanuli Selatan seperti Sipirok. Kedua suku ini yaitu Batak

Mandailing dan Angkola menempati sebagian besar dari keseluruhan wilayah

Tapanuli Selatan sejak masa tradisional sampai pada saat sekarang ini.

23

Toga Siregar menurut O. Gorga Torsana Siregar dalam bukunya yang berjudul Toga Siregar (1974:6) adalah putra bungsu dari Siraja Lontung yang dilahirkan oleh istrinya Siboru Pareme pada satu tempat yang bernama Banua Raja. Letaknya di tepi Danau Toba.

kemasyarakatan yang disebut Dalihan Na Tolu(tiga tumpuan). Sistem kekerabatan ini

terdiri dari tiga unsur fungsional yang masing-masing unsur tersebut mempunyai rasa

ketergantungan antara satu dengan yang lainnya, yang berupa ikatan darah

(geneologis) dan ikatan perkawinan. Ketiga kelompok tersebut adalah (1) mora, (2)

kahanggi, dan (3) anak boru.

Selain itu terdapat sistem sosial berdasarkan garis keturunan yang disebut

marga.

24

Marga merupakan suatu bentuk kelompok kekerabatan (kin group) yang

para anggotanya adalah keturunan dari seorang kakek bersama, oleh karena itu pada

hakekatnya para anggota suatu marga satu sama lain terikat oleh pertalian atau

hubungan darah (blood-ties).

25

Setiap anggota masyarakat yang mempunyai marga,

biasanya menempatkan nama marga di belakang namanya. Orang-orang Mandailing

dan Angkola yang semarga disebut markahanggi.

26

Umumnya sub etnis Mandailing

terdiri dari marga-marga seperti Nasution, Lubis, Pulungan, Rangkuti, Batubara,

Daulay, Matodang, Parinduri, Hasibuan dan lain-lain.

27

24

Dalam masyarakat Batak penyebutan sistem klen marga ini berbeda – beda, pada masyarakat Toba, Mandailing-Angkola, dan Simalungun disebut dengan marga, pada masyarakat Karo dan Pakpak-Dairi disebut merga.

25

Z. Pangaduan Lubis dan Zulkifli B. Lubis, op. cit., hal. 133.

26

Kelompok yang masih satu marga (saudara yang masih dekat/ berabang adik) biasanya karena hubungan darah yang masih dekat hubungannya.

27

Pandapotan Nasution, Adat Budaya Mandailing dalam Tantangan Zaman, Medan: Forkala Provinsi Sumatera Utara, 2005, hal. 6.

Adapun sub etnis Angkola

umumnya terdiri dari marga-marga seperti Siregar, Harahap, Hutasoit, Rambe,

Ritonga, Pohan, dan lain-lain. Marga-marga tersebut (baik Angkola dan Mandailing)

sebagian bukan merupakan masyarakat asli yang mendiami daerah tersebut, ada juga

beberapa marga yang merupakan pedatang dan mendiami daerah tersebut. Hal ini

menjadikan wilayah Tapanuli Selatan ditempati oleh penduduk yang heterogen.

Masyarakatnya membaur satu sama lain, menjalin interaksi yang saling

berkesinambungan, hingga daerah Tapanuli Selatan sangat identik dengan suku Batak

Angkola Mandailing, yang dalam kenyataannya keduanya memang berbeda.

Secara umum, penduduk Kabupaten Tapanuli Selatan menurut data statistik

berjumlah 745.961 jiwa di tahun 1980, 954.332 jiwa di tahun 1990, 734.188 jiwa

ditahun 2000. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel II. 2

RATA-RATA PERTUMBUHAN PENDUDUK DARI TAHUN 1980 DAN 1990

No. Kecamatan Jlh.

Penduduk

pada SP. 1980

Jlh.

Penduduk

pada SP. 1990

Laju

Pertumbuhan

Penduduk

1 Natal 27.424 40.180 3,89

2

Batang Natal

30.444 40.345 2,86

3 Kotanopan 53.687 62.872 1,59

4 Muarasipongi 9.386 9.970 0,61

5 Panyabungan 82.517 99.142 1,85

6 Siabu 50.884 56.237 1,01

7 Batang Toru 33.699 41.436 2,09

8 Batang Angkola 59.462 67.970 1,35

9 Sosopan 14.017 18.574 2,89

10 Sosa 21.471 41.887 6,91

11 Barumun 41.509 52.536 2,38

12 Barumun Tengah 30.860 44.536 3,68

13 Padang Bolak 67.263 87.606 2,68

14 P. Sidimpuan Timur **) 51.864 -

15 P. Sidimpuan Barat **) 160.328 57.498 -

16 P. Sidimpuan Selatan **) 46.221 -

17 P. Sidimpuan Utara **) 50.498 -

18 Saipar Dolok Hole 17.068 19.834 1,51

19 Sipirok 33.171 37.834 1,35

20 Dolok 21.771 27.721 2,45

Jumlah 754.961 954.245 2,37

Catatan : Tidak termasuk penduduk yang tidak bertempat tinggal tetap (tunawisma,

awak kapal, penghuni perahu/ rumah apung, dan masyarakat terpencil).

**) : Pada waktu Sensus Penduduk Tahun 1980 masih termasuk Kecamatan

Padang Sidimpuan dan belum terjadi pemekaran.

Sumber : Kabupaten Tapanuli Selatan Dalam Angka Tahun 1990.

Tabel II. 3

Jumlah Penduduk Kabupaten Tapanuli Selatan Dirinci Menurut Kecamatan

Tahun 2000

No Kecamatan Jlh. Penduduk pada SP. 2000

1 Batang Angkola 71.596

2 Sosopan 8.421

3 Barumun 59.416

4 Sosa 50.723

5 Barumun Tengah 54.898

6 Batang Onang 11.550

7 Padangsidimpuan Timur 61.794

8 Siais 24.206

9 Padangsidimpuan Barat 553.274

10 Batag Toru 445.470

11 Sipirok 30.706

12 Arse 8.121

13 Padang Bolak Julu 9.479

14 Padang Bolak 69.209

15 Halongonan 21.741

16 Saipar Dolok Hole 21.684

17 Dolok 20.296

18 Dolok Sigompulon 12.850

19 Padangsidimpuan Selatan 47.973

20 Padangsidimpuan Utara 50.961

Jumlah 734.188

2.4 Kehidupan Ekonomi Masyarakat Sipirok

Gunung Sibualbuali yang masih aktif membuat tanah di wilayah Sipirok

tergolong subur. Umumnya mata pencaharian utama di Tapanuli Selatan khususnya

Sipirok adalah bertani, dengan teknik pertaniannya yang masih sederhana atau

tradisional. Dalam aktivitas pertanian, masyarakat Sipirok dahulu telah mengenal

istilah “marsialapari” yaitu suatu sistem aktivitas gotong rotong yang dilakukan

secara bersama-sama, secara bergantian dan bergiliran, sehingga dapat meringankan

pekerjaan seseorang pada waktu sibuknya di sawah, seperti sewaktu menanam atau

menuai/ panen.

Sebagian besar penduduk di Kecamatan Sipirok bekerja di sektor pertanian

baik sebagai buruh tani maupun sebagai petani sendiri. Selain pada sektor pertanian

juga ada sektor industri kerajinan, perdagangan, jasa dan lainnya. Pertanian di

Kecamatan Sipirok disesuaikan dengan keadaan topografi desa yang berada di

Kecamatan Sipirok. Apabila topografinya datar maka akan bertani di sawah, dan

apabila topografinya berbukit-bukit maka pertaniannya dibuat menjadi ladang.

Komoditi pertanian yang diperoleh oleh petani adalah padi, sayur-sayuran dan

buah-buahan serta tanaman kopi.

Disamping berprofesi dalam bidang pertanian, maka bidang pekerjaan yang

banyak digeluti oleh masyarakat di Kecamatan Sipirok adalah perindustrian, terutama

yang bekerja dalam pembuatan tenunan kain tradisional masyarakat Sipirok.

Penduduk yang terlibat dalam industri kecil ini seluruhnya adalah kaum perempuan.

2.5 Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Sipirok

Pada dasarnya kesatuan hidup setempat atau komunitas terbentuk terutama

karena “ikatan tempat kehidupan”, sehingga suatu komunitas selalu menempati satu

kawasan (territory) tertentu di muka bumi. Oleh karena itu orang-orang yang tinggal

bersama di suatu kawasan tertentu belum merupakan suatu kesatuan hidup kalau

mereka tidak merasakan terikat oleh perasaan bangga dan cinta kepada kawasan yang

bersangkutan.

28

28

Koentjaraningrat, op.cit.,hal. 155.

Sebagaimana halnya pada masyarakat Batak, pada masyarakat Angkola dan

Mandailing terkhusus pada masyarakat Sipirok juga dikenal sistem “Dalihan Na

Tolu”.Dalihan Na Tolusecara harfiah adalah “tungku nan tiga” yang merupakan

lambang dalam sistem sosial batak, yang juga mempunyai tiga tiang penopang, yang

meliputi Mora, Kahanggi dan Anak Boru. Kelompok yang meliputi Mora merupakan

kelompok kekerabatan yang berstatus sebagai pemberi anak gadis (bride giver) dalam

hubungan perkawinan. Kahanggi adalah kelompok kekerabatan yang satu marga

(saudara yang masih dekat) biasanya karena hubungan darah yang masih dekat

hubungannya, sedangkan yang disebut anak boru merupakan kelompok kekerabatan

yang berstatus sebagai penerima anak gadis (bride receiver) dari mora. Perkawinan

yang menimbulkan ikatan dan integrasi diantara tiga pihak yang disebut tadi

seolah-olah merupakan tiga tungku di dapur yang penting dalam kehidupan sehari-hari.

Demikianlah pentingnya peranan ketiganya, yang dapat dilihat dari kenyataan

bahwa upacara adat dalam masyarakat Sipirok hanya dapat diselenggarakan jika

kerabat yang berstatus sebagai mora, kahanggi dan anak boru ikut serta

melaksanakannya secara bersama-sama. Jika salah satu diantaranya tidak ikut

berperan maka upacara adat mutlak tidak boleh diselenggarakan. Sehingga, untuk

menjaga keutuhan hubungan baik dan kerja sama yang harmonis antara mora,

kahanggi dan anak boru yang merupakan unsur atau komponen fungsional dari

sistem sosial masyarakat Sipirok, maka masyarakat Sipirok memelihara hubungan

perkerabatan dengan prinsip, yaitu Soma mar mora(untuk memelihara hubungan baik

dengan kerabat berkedudukan sebagai mora-nya, setiap orang harus senantiasa

bersikap hormat dan memuliakannya), Manat-manat markahanggi (untuk

menghindarkan konflik dengan kerabat yang berkedudukan sebagai kahanggi-nya,

setiap orang harus senantiasa berlaku cermat dan hati-hati), Elek mar anak boru

(setiap orang harus pandai-pandai mengajuk hati serta membujuk kerabat yang

berkedudukan sebagai anak boru-nya).

29

29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Manusia menciptakan kebudayaan dalam menjalani dan mengisi

kehidupannya. Kebudayaan itu berkembang dari waktu ke waktu, dengan tujuh unsur

universal yaitu agama, bahasa, organisasi, sosial, pendidikan, teknologi dan kesenian,

yang diwujudkan dalam bentuk ide (gagasan), kegiatan (tindakan) dan artifak

(benda-benda). Dalam kebudayaan masyarakat Batak khususnya masyarakat Angkola Sipirok

di Tapanuli Selatan memiliki artifak budaya berupa kain yang lazim disebut ulos atau

abit.

Sipirok

1

1

Menurut cerita lisan yang hingga kini masih hidup di tengah masyarakat, kata Sipirok berasal dari nama jenis kayu yang disebut Sipirdot. Setelah mengalami transformasi, kata Sipirdot berubah menjadi Sipirok yang digunakan sebagai nama untuk mengidentifikasikan satu kelompok masyarakat dan suatu kawasan tertentu yang merupakan wilayah kehidupan masyarakat yang bersangkutan di Kabupaten tapanuli Selatan.

merupakan salah satu kecamatan di wilayah Kabupaten Tapanuli

Selatan, Provinsi Sumatera Utara. Masyarakat Sipirok tergolong dalam sub etnis

Batak yaitu Batak Angkola yang mayoritas masyarakatnya adalah marga Siregar.

Masyarakat Sipirok pada umumnya hidup dengan mata pencaharian dari sektor

pertanian, pedagang, pegawai negeri, guru, pengusaha kerajinan tangan atau bertenun

dan sebagainya. Kegiatan bertenun kain merupakan tradisi yang telah lama dilakukan

masyarakat Sipirok, yaitu sejak awal abad ke 20. Tidak diperoleh keterangan yang

pasti sejak kapan sesungguhnya kegiatan bertenun tersebut berkembang di Sipirok.

2

Akan tetapi yang jelas, masyarakat Sipirok telah melakukan kegiatan bertenun sejak

Dokumen terkait