• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAHAN DAN METODE Preservasi Jaringan Testis Ikan Guram

COLD PRESERVED TESTIS IN NILE TILAPIA LARVAE

BAHAN DAN METODE Preservasi Jaringan Testis Ikan Guram

Sebanyak 5 pasang testis diisolasi dari ikan gurami jantan dewasa berukuran 700–800 g. Setiap testis dimasukkan ke dalam larutan fisiologis NaCl 0,7% pada cawan petri steril dan dipreservasi pada suhu 4 oC dengan masa penyimpanan masing-masing 0, 6, 12, 24 dan 48 jam. Larutan fisiologis NaCl 0,7% sebelumnya diberi antibiotik gentamycin 1,25 µ L/mL. Setelah masa penyimpanan selesai, testis selanjutnya dikeluarkan dari lemari/kotak pendingin. Sepasang testis tersebut dibagi menjadi dua bagian, satu bagian testis didisosiasi dan satu bagian lainnya diproses secara histologis. Penelitian ini diulang sebanyak 3 kali .

Disosiasi Testis Ikan Gurami Pascapreservasi

Sebanyak ±20 mg dari jaringan testis yang telah dipreservasi diambil untuk didisosiasi menurut metode disosiasi yang optimum pada bab III. Untuk menghilangkan aktivitas tripsin, suspensi sel dicuci dengan PBS sebanyak 2 kali. Parameter yang diamati adalah viabilitas spermatogonia. Sebanyak 10 µ L dari 1 mL suspensi sel hasil disosiasi diwarnai dengan trypan blue 0,4% (1:1). Sel yang mati akan terwarnai oleh trypan blue sehingga terlihat berwarna biru; sedangkan yang hidup akan tetap terlihat transparan. Jumlah total spermatogonia dan jumlah spermatogonia yang mati dihitung menggunakan hemositometer di bawah mikroskop. Persentase viabilitas dihitung berdasarkan jumlah spermatogonia yang hidup per jumlah total spermatogonia dikalikan seratus.

Pembuatan Preparat Histologis Testis Pascapreservasi

Preparat histologis jaringan testis dibuat untuk mengamati adanya perubahan morfologi sel spermatogonia sebelum dan sesudah preservasi. Testis yang telah dipreservasi difiksasi dalam larutan Bouin selama 24 jam dan selanjutnya diproses mengikuti metode Kiernan (1990). Potongan jaringan testikular diwarnai dengan Hematoksilin-Eosin. Perubahan dan kerusakan morfologi yang terjadi pada jaringan atau spermatogonia diamati pada 10 potongan melintang preparat histologis per perlakuan. Perubahan histologi testis

atau testis pascapereservasi diamati pada tiga bagian utama dari testis yaitu jaringan interstisial, tubulus dan sista spermatogonia. Perubahan histologis tersebut mengacu pada Pieterse (2004) yang meliputi disintegrasi jaringan interstisial, disorganisasi dan degenerasi lobul atau tubulus serta degenerasi sista dan kondensasi nukleus dari spermatogonia yang dikenal dengan istilah piknotik. Inti piknotik pada spermatogonia juga dapat dikenali dari rasio diameter sel dan inti sel yang melebihi rasio rata-rata diameter sel dan inti sel spermatogonia normal pada bab II.

Transplantasi Sel Testikular yang Diisolasi dari Testis Ikan Gurami Pascapreservasi

Kelayakan testis pascapreservasi sebagai sumber sel donor diuji melalui pendekatan transplantasi sel. Testis yang digunakan sebagai sumber donor adalah testis yang dipreservasi selama 24 dan 48 jam serta testis tanpa preservasi sebagai kontrol. Testis yang dipreservasi selama 6 jam tidak diuji kelayakannya dalam penelitian ini karena viabilitas selnya tidak berbeda nyata dengan testis tanpa preservasi sedangkan testis yang dipreservasi selama 12 jam tidak diuji karena viabilitas selnya tidak berbeda nyata dengan testis yang dipreservasi 24 jam. Resipien yang digunakan adalah yang optimum untuk kegiatan transplantasi berdasarkan penelitian sebelumnya yaitu larva umur 3 hpm sebanyak 20 ekor per perlakuan. Setiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali.

a. Persiapan sel donor

Testis diisolasi dari ikan gurami jantan dewasa dengan bobot tubuh 500-700 g dan dipreservasi pada larutan fisiologis NaCl 0,7% di dalam cawan petri steril pada suhu 4 oC selama 0 jam, 24 jam dan 48 jam. Testis didisosiasi menurut metode disosiasi optimum pada bab III. Setelah suspensi sel dicuci dengan PBS sebanyak 2 kali, jumlah sel selanjutnya dihitung menggunakan hemositometer di bawah mikroskop CX10 (Olympus) untuk menentukan volume pewarna atau label PKH 26 yang digunakan.

Untuk visualisasi, sel donor dilabel dengan PKH 26 fluorescent membrane dye menurut metode pelabelan pada bab IV. Jumlah sel spermatogonia yang diameter selnya ≥ 15 µm dihitung menggunakan hemositometer. Suspensi sel

selanjutnya dipadatkan hingga konsentrasi 20.000/0,5 µ L lalu disimpan pada suhu dingin dan tanpa cahaya hingga digunakan.

b. Transplantasi sel donor ke dalam rongga genital larva resipien dan analisis kolonisasi sel donor pada gonad resipien

Transplantasi sel donor ke dalam rongga genital mengikuti metode transplantasi pada bab IV. Suspensi sel yang diinjeksikan sebanyak 0,5 µ L dengan jumlah sel testikular sebanyak 20.000 sel. Resipien larva nila dipelihara dalam aquarium (60x60x60) cm3 hingga siap dianalisis. Untuk mengevaluasi inkorporasi dari sel donor pada gonad resipien, gonad resipien ikan nila 2 bulan pascatransplantasi diamati di bawah mikroskop fluoresens Nikon Ellips E600. Jumlah resipien yang diperiksa sebanyak 6 ekor per perlakuan. Parameter keberhasilan transplantasi dihitung dari efisiensi kolonisasi yaitu persentase rasio jumlah resipien yang membawa spermatogonia gurami+PKH26 dengan total jumlah resipien yang diperiksa.

Analisis Data

Semua data kualitatif disajikan secara deskriptif, sedangkan data kuantitatif dalam bentuk nilai tengah diuji secara statistik menggunakan ANOVA (analysis of variance), dan dilanjutkan dengan uji Duncan multiple range test untuk menentukan beda nyata antar perlakuan. Analisis menggunakan program SPSS 17.0 for windows dan MS Office Excell 2007. Perbedaan karakter morfologis diuji secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Viabilitas Spermatogonia dari Jaringan Testis Ikan Gurami Pascapreservasi

Viabilitas hasil disosiasi testis pascapreservasi 0 (kontrol jaringan testis segar), 6, 12, 24 dan 48 jam dapat dilihat pada Tabel 5. Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 11) menunjukkan bahwa lama preservasi dingin (4 oC) jaringan testis dalam larutan NaCl fisiologis berpengaruh nyata terhadap viabilitas sel spermatogonia (P<0,05). Perbedaan nyata mulai terlihat pada lama penyimpanan 12 jam yang mana viabilitas sel telah menurun dan berada di bawah

80%. Viabilitas menurun drastis pada jaringan testis yang dipreservasi selama 48 jam. Hampir separuh dari spermatogonia mengalami kematian yang ditandai dengan sel berwarna biru (Gambar 19).

Tabel 5 Jumlah dan viabilitas rata-rata sel spermatogonia hasil disosiasi jaringan testis ikan gurami pascapreservasi pada lama inkubasi berbeda

Lama preservasi (jam)

Jumlah rata-rata spermatogonia/mg testis Viabilitas spermatogonia (%) 0 31.407 ± 8.668 96,77 ± 3,23a 6 43.152 ± 2.240 88,37 ± 3,79a 12 30.504 ± 1.997 77,70 ± 3,01b 24 11.365 ± 3.201 74,30 ± 5,41b 48 19.755 ± 12.102 54,48 ± 8,33c

Huruf superskrip yang berbeda setelah angka pada kolom yang sama menunjukkan beda nyata (P<0,05).

Preservasi adalah suatu cara untuk menyimpan bahan (organ, jaringan, atau sel) yang bertujuan untuk pengawetan, pemeliharaan dan menjaga agar tidak terjadi kerusakan pada bahan tersebut. Preservasi dapat berupa penyimpanan pada suhu rendah atau penyimpanan menggunakan bahan-bahan kimia. Preservasi dalam bentuk penurunan suhu di atas suhu beku dan dibawah suhu tubuh dapat menurunkan aktivitas metabolik, kebutuhan akan oksigen, konsumsi energi dan karenanya preservasi ini dapat memperpanjang viabilitas sel (Honaramooz & Yang 2011). Namun, jika pendinginan dilakukan terlalu lama akan merusak keseimbangan dan homeostasis seluler sehingga sel mengalami kematian. Umumnya suhu penyimpanan untuk jangka pendek adalah suhu refrigerator 4 oC.

Ketidakseimbangan pada sel juga dipengaruhi oleh adanya peran reactive oxygen species (ROS), yaitu agen oksidatif yang termasuk dalam kategori radikal bebas hasil turunan metabolisme oksigen selama proses respirasi sel berlangsung (Sikka 1996). Aitken & Baker (2006) mengatakan bahwa produk ROS berupa senyawa-senyawa radikal bebas seperti O2-, H2O2, OH- dapat menurunkan viabilitas sel. Selama proses preservasi organ/jaringan/sel terus melakukan metabolisme untuk tetap hidup dengan melakukan proses oksidasi. Jika produk ROS pada sel dalam kondisi tidak terkendali akan berakibat negatif pada sel.

Gambar 19 Hasil disosiasi jaringan testikular ikan gurami. A. Tanpa preservasi, B. Pascapreservasi 24 jam, C. Pascapreservasi 48 jam. Kepala panah merah menunjukkan sel spermatogonia yang mati terwarnai oleh trypan blue, sedangkan kepala panah hitam menunjukkan sel spermatogonia hidup. Skala : 50 µm.

Deskripsi Histologis Jaringan Testis Pascapreservasi

Perubahan histologis semakin banyak ditemukan dengan semakin bertambahnya lama waktu preservasi. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa testis yang tidak dipreservasi dan dipreservasi selama 6 jam belum memperlihatkan disintegrasi jaringan interstisial (Gambar 20C,20D). Demikian halnya pada testis yang dipreservasi selama 12 jam, meskipun pada perlakuan ini tampak jaringan interstisial sudah mengalami kerusakan (Gambar 20E,20F). Sel- sel Leydig dan sel-sel somatik yang terdapat pada jaringan interstisial masih terlihat jelas pada jaringan interstisial. Sedangkan pada testis yang dipreservasi selama 24 jam ditemukan beberapa batas antara tubulus yang sudah tidak terlihat dengan jelas atau dengan kata lain telah terjadi disintegrasi jaringan interstisial (Gambar 20G,20H). Disintegrasi jaringan interstisial sangat jelas terlihat pada sebagian besar area testis yang dipreservasi selama 48 jam sehingga jaringan interstisial antar tubulus tidak dapat dikenali lagi bahkan tubulus utuh sulit ditemukan (Gambar 20I,20J). Fenomena lain yang juga terjadi akibat dari preservasi 24 dan 48 jam tersebut adalah adanya disorganisasi lobul atau tubulus sehingga sel-sel pada jaringan interstisial seperti sel-sel darah dan sel Leydig yang seharusnya berada pada jaringan interstisial sering ditemukan di dalam tubulus (Gambar 20H,20J). Pada preparat histologis jaringan testis preservasi 48 jam, sista sel germinal tidak terlihat dengan jelas.

Gambar 20 Penampang melintang preparat histologis jaringan testis ikan gurami. A,B: tanpa preservasi, C,D: pascapreservasi 6 jam, E,F: pascapreservasi 12 jam, G,H: pascapreservasi 24 jam, I,J: pasca- preservasi 48 jam. Gambar sebelah kanan adalah perbesaran dari kotak hitam di sebelah kiri. Keterangan: sel spermatogonia normal (kepala panah hitam), inti spermatogonia piknotik (kepala panah kuning), disintegrasi jaringan (DiJr), batas antar tubulus (Tb), sel Leydig (SL), sel sertoli (SS), sel darah (SD). Pewarnaan : Hematoksilin-Eosin.

Disintegrasi jaringan interstisial dan disorganisasi tubulus tersebut mengindikasikan bahwa telah terjadi proses enzimatik baik pada jaringan interstisial maupun pada tunika albuginea dari tubulus meskipun telah dipreservasi pada suhu 4 oC. Menurut Pieterse (2004) disintegrasi jaringan interstisial dan disorganisasi lobul (tubulus) dapat menyebabkan hilangnya spermatogonia, tidak dijelaskan mekanismenya, namun diduga sista spermatogonia utamanya yang berada pada daerah tepi tubulus dan sel-sel yang ada di dalamnya mengalami disintegrasi yang berakibat pada kematian sel spermatogonia.

Perubahan histologis lain yang dapat diamati pada penelitian ini adalah beberapa inti sel spermatogonia mengalami penyusutan yang dikenal dengan istilah inti piknotik. Menurut Pieterse (2004) inti piknotik merupakan pertanda kematian sel yang dicirikan oleh berkumpulnya kromatin dan terjadi kondensasi kromatin. Hal inilah yang menyebabkan inti terlihat mengkerut dan berwarna sangat pekat. Inti sel piknotik mulai teramati pada testis yang dipreservasi selama 6 jam (Gambar 20D) dan semakin banyak ditemukan dengan semakin bertambahnya lama waktu preservasi (Gambar 20F,20H,20J).

Analisis Kolonisasi Sel Spermatogonia Ikan Gurami yang Diisolasi dari Testis Pascapreservasi yang Ditransplantasikan pada Larva Ikan Nila

Sebelum suspensi sel testikular disuntikkan secara i.p ke larva ikan nila, jumlah sel testikular dan viabilitas sel spermatogonia diamati (Tabel 6). Viabilitas sel spermatogonia terlihat mengalami penurunan seiring dengan semakin lamanya testis dipreservasi.

Tabel 6 Jumlah dan viabilitas rata-rata sel spermatogonia dalam 20.000 sel testikular ikan gurami yang disuntikkan pada larva ikan nila

Periode preservasi Jumlah spermatogonia/ 20.000 sel testikular Viabilitas sel testikular (%) Viabilitas spermatogonia (%) 0 jam 2.258 ± 369 94,47 ± 1,06 92,63 ± 4,11 24 jam 2.565 ± 553 88,76 ± 2,51 79,84 ± 2,06 48 jam 2.764 ± 422 76,68 ± 2,18 66,94 ± 3,74

Dari tiga kali ulangan dengan jumlah larva yang disuntik masing-masing 20 ekor diperoleh sintasan larva ikan nila 24 jam dan 1 bulan pt tidak berbeda nyata antara ketiga kelompok perlakuan periode preservasi 0, 24 dan 48 jam (P>0,05) (Gambar 21). Tingkat kelangsungan hidup di atas 90% pada 24 jam pt pada penelitian ini menegaskan kembali bahwa resipien ikan nila yang berumur 3 hpm secara fisik layak digunakan sebagai sel donor.

Gambar 21 Sintasan resipien ikan nila pada 24 jam dan 1 bulan pasca- transplantasi. Keterangan gambar : tanpa preservasi ( ), preservasi 24 jam ( ), preservasi 48 jam ( ).

Hasil identifikasi sel donor pada gonad resipien berumur sekitar 2 bulan pt menunjukkan bahwa sel spermatogonia baik yang berasal dari testis yang dipreservasi dingin selama 24 jam maupun 48 jam mampu bermigrasi dan terkolonisasi pada gonad resipien. Efisiensi kolonisasi rata-rata sel spermatogonia dari testis yang dipreservasi sedikit lebih rendah dibandingkan tanpa preservasi, namun dari hasil uji statisik menunjukkan bahwa efisiensi kolonisasi sel spermatogonia baik yang berasal dari testis yang dipreservasi maupun tanpa preservasi tidak menunjukkan adanya perbedaan nyata (P>0,05) (Gambar 22, Lampiran 12).

Sel spermatogonia dari sumber donor yang dipreservasi mampu bermigrasi dan terkolonisasi pada resipien sama halnya dengan yang berasal dari testis tanpa preservasi. Hal ini menunjukkan bahwa preservasi dingin pada suhu 4 oC tidak menghilangkan respon sel spermatogonia terhadap kemoatraktan yang

dikeluarkan oleh lingkungan mikro termasuk sel-sel somatik di area gonad resipien sehingga sel spermatogonia ikan gurami tersebut tetap mampu bermigrasi hingga ke saluran gonad larva ikan nila.

Gambar 22 Efisiensi kolonisasi sel spermatogonia ikan gurami yang diisolasi dari testis pascapreservasi 0, 24 dan 48 jam pada resipien ikan nila. Hasil pengamatan gonad resipien di bawah mikroskop fluoresens juga menunjukkan bahwa sel spermatogonia yang diisolasi dari testis yang dipreservasi tidak hanya terkolonisasi pada gonad resipien jantan (testis) melainkan juga pada gonad betina atau ovari (Gambar 23). Hal ini menunjukkan bahwa proses preservasi testis pada suhu 4 oC hingga 48 jam tidak menghilangkan kemampuan development plasticity dari sel spermatogonia ikan gurami sehingga sel spermatogonia ikan gurami yang terkolonisasi dapat berkembang menjadi sel germinal jantan maupun betina selama niche dari resipien dapat mendukung perkembangan tersebut. Seperti yang telah diungkapkan pada bab IV bahwa diferensiasi kelamin lebih banyak dipengaruhi oleh sel-sel somatik pada jaringan gonad dibandingkan kontrol dari sel eksogen itu sendiri (Yoshizaki et al. 2010).

Teknik preservasi dingin merupakan teknik preservasi jangka pendek. Teknik ini sangat mudah diaplikasikan di lapangan karena hanya membutuhkan kotak pendingin (cool box) dan larutan fisologis. Daniel (1971) mengatakan bahwa larutan garam fisiologis selain digunakan sebagai cairan pembilas dari

organ, juga dapat menjadi medium buffer dan mempertahankan pH fisiologis (7,2–7,6) serta menyediakan lingkungan cairan ionik untuk metabolisme sel.

Gambar 23 Gonad resipien ikan nila yang membawa sel donor ikan gurami dari testis pascapreervasi dan tanpa preservasi. A–C: testis, D–F: ovari, A,D: tanpa preservasi, B,E: preservasi 24 jam, C,F: preservasi 48 jam. Tanda panah menunjukkan sel germinal ikan gurami yang terkolonisasi. Skala: 100 µm. Lensa fluoresens Tanpa lensa fluoresens Tanpa lensa fluoresens Lensa fluoresens

Dengan dibuktikannya kemampuan kolonisasi sel donor yang diperoleh dari testis pascapreservasi dan dengan teknik isolasi yang optimum maka beberapa permasalahan teknis yang berkaitan dengan prosedur transplantasi dapat teratasi. Telah dipaparkan sebelumnya bahwa tujuan utama dari preservasi jaringan testikular ikan gurami pada suhu 4 oC adalah sinkronisasi ketersediaan sel donor dan resipien dalam kegiatan transplantasi spermatogonia pada ikan gurami. Dengan teknik preservasi dingin ini, limbah testis dari tempat-tempat pemotongan ikan gurami juga akan berpotensi untuk diselamatkan dan digunakan sebagai sumber donor sehingga masalah ketersediaan sel donor yang selama ini menjadi faktor pembatas dalam kegiatan transplantasi juga dapat teratasi. Teknik preservasi ini juga dapat berperan bagi upaya penyelamatan sel gamet ikan-ikan yang hampir punah yang mungkin saja ditemukan jauh dari lokasi laboratorium.

KESIMPULAN

1. Testis ikan gurami dapat dipreservasi dingin pada suhu 4 oC.

2. Viabilitas sel menurun menjadi 55% pada preservasi selama 48 jam.

3. Sel testikular hasil preservasi dingin selama 48 jam dapat digunakan dalam transplantasi.

Transplantasi sel germinal saat ini telah menjadi sebuah teknologi yang sangat diminati oleh para peneliti di bidang reproduksi karena memiliki potensi diaplikasikan pada sistem pengobatan penyakit-penyakit reproduksi, preservasi atau pelestarian sumber daya genetik yang langka dan bernilai ekonomis tinggi serta untuk peningkatan aspek reproduksi hewan. Teknologi yang diprakarsai oleh Brinster dan kawan-kawan pada tahun 1994 merupakan teknologi dasar bagi sistem pembenihan surrogate broodstock yaitu sistem pembenihan dengan menggunakan induk pengganti. Dengan sistem pembenihan ini, gamet hewan- hewan tertentu dapat diproduksi dengan cepat dan tanpa batas (Brinster & Zimmermann 1994, Okutsu et al. 2006a ).

Penelitian xenotransplantasi sel testikular menggunakan ikan gurami sebagai model donor dan ikan nila sebagai model resipien ini merupakan langkah awal bagi upaya penerapan sistem pembenihan surrogate broodstock bagi ikan- ikan budidaya di Indonesia khususnya yang mengalami masalah pada reproduksinya seperti ikan gurami ataupun bagi ikan-ikan yang tergolong langka atau hampir punah. Penelitian ini telah berhasil memberikan informasi awal bahwa spermatogonia ikan gurami ternyata dapat bermigrasi, terkolonisasi dan berproliferasi pada gonad ikan nila yang berbeda ordo dengan ikan gurami. Hasil yang diperoleh ini mempertegas kembali penemuan beberapa peneliti xenotransplantasi sel germinal sebelumnya bahwa mekanisme sel donor yang bermigrasi ke rongga genital lalu terkolonisasi pada gonad resipien adalah tetap (lestari) pada ikan teleostei meskipun memiliki perbedaan hubungan genetik yang jauh (Saito et al. 2008, Takeuchi et al. 2009, Majhi et al. 2010, Yazawa et al. 2010). Fenomena ini membuka peluang bagi aplikasi xenotransplantasi antar ikan-ikan teleostei yang memiliki hubungan filogenetik yang jauh.

Sebagaimana halnya peneliti-peneliti sebelumnya, kegiatan transplantasi sel spermatogonia diawali dengan preparasi sel donor. Beberapa informasi dasar yang dibutuhkan untuk preparasi sel donor telah dilakukan, yaitu 1) karakterisasi sel spermatogonia ikan gurami dengan pendekatan histologis (bab II), 2) penentuan sumber donor berdasarkan bobot tubuh sebagai indikator perkembangan gonad (bab II), dan 3) penentuan metode disosiasi jaringan

testikular ikan gurami untuk mendapatkan suspensi sel testikular dalam jumlah yang banyak dengan viabilitas spermatogonia yang tinggi (bab III).

Identifikasi sel spermatogonia sangat penting dalam teknologi transplantasi karena tidak semua sel spermatogonia dapat terkolonisasi pada gonad resipien. Hanya sel spermatogonia yang memiliki kemampuan seperti sel punca dan yang tidak terdiferensiasi saja yang mampu terkolonisasi pada resipien (Griswold et al. 2001, Yano et al. 2007). Hasil penelitian telah berhasil mengkarakterisasi sel spermatogonia ikan gurami yang mampu terkolonisasi yaitu yang memiliki ukuran diameter sel ≥15,96 µm (tipe sel punca spermatogonia/SSC dan Spermatogonia A/SpA) dan diameter sel tersebut ternyata hampir sama dengan diameter sel ikan nila yaitu sekitar 16,28 µm (Schulz et al. 2005). Persamaan morfologi sel testikular yang dari kedua spesies yang berbeda pada tingkat ordo ini diharapkan menjadi peluang bagi sel spermatogonia ikan gurami untuk berkembang dan berdiferensiasi menjadi sel gamet yang fungsional pada gonad ikan nila. Untuk mendapatkan suspensi sel donor dengan kelimpahan SSC dan SpA yang tinggi dapat menggunakan sumber gonad dari ikan gurami yang memiliki bobot tubuh pada kisaran berat antara 500 g hingga 1000 g.

Meskipun disosiasi jaringan testikular telah dilakukan pada beberapa jenis ikan namun penetuan metode disosiasi yang tepat untuk testis ikan gurami tetap dilakukan karena metode disosiasi enzimatik dapat berbeda pada setiap spesies. Menurut Kim et al. (2006) serta Marret & Durant (2000) metode disosiasi bersifat spesies spesifik karena masing-masing spesies memiliki karakteristik anatomi testis yang berbeda. Penelitian ini membuktikan bahwa dengan metode disosiasi yang sama untuk ikan rainbow trout dan ikan nibe (Takeuchi et al. 2003, Takeuchi et al. 2009) menggunakan lama inkubasi 2 jam sedangkan untuk ikan gurami lama inkubasi jaringan testikular hingga 3 jam masih menghasilkan viabilitas yang tinggi.

Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa penggunaan enzim DNase tidak hanya bermanfaat untuk meningkatkan aktivitas disosiasi enzimatik sehingga jaringan testikular lebih cepat dan lebih banyak terurai namun juga bermanfaat dalam menjaga sel spermatogonia tetap dalam keadaan tunggal, tidak menempel atau bertautan kembali pada sel-sel lainnya. Dalam hal ini, enzim DNase

melakukan digesti terhadap DNA ekstraseluler selama proses disosiasi berlangsung. Makromolekul DNA ekstraseluler ini dapat menyebabkan sel-sel bergumpal dan dapat meningkatkan viskositas larutan disosiasi sehingga menyulitkan dalam pemipetan (Worthington 2003).

Pada penelitian ini dilakukan juga pelabelan sel donor dengan PKH 26. Pewarna PKH 26 adalah molekul menyerupai lemak yang memiliki gugus berpendar pada bagian kepala dan gugus alifatik yang panjang yang sifatnya lifofilik sehingga dapat berikatan kuat dengan gugus atau rantai karbon. Oleh karena gugus alifatik PKH 26 memiliki rantai yang panjang sehingga PKH 26 terperangkap dengan kuat pada membran lapisan ganda lipid (lipid bilayer). Sifat inilah yang menyebabkan PKH 26 dapat lebih stabil. Interaksi molekul non kovalen yang kuat antara ekor lipid dengan sekitarnya akan mempertahankan warna PKH 26 dan intensitas pendarannya khususnya pada sel-sel yang tidak membelah (Gambar 24). PKH 26 memiliki waktu paruh yang lama (bisa lebih dari seratus hari, 6–8 generasi pembelahan) dan efek toksisitas yang lebih rendah dibandingkan pewarna PKH lainnya. Diluent C adalah pelarut PKH 26 yang bersifat iso-osmotik dan bebas garam serta bahan-bahan terlarut lainnya. Diluent C memaksimalkan daya larut pewarna dan membantu interaksi pewarna ke dalam lapisan ganda lipid (Horan et al. 1990, Wallace et al. 2008).

Gambar 24 Mekanisme pewarnaan oleh PKH 26 (Wallace et al. 2008) Gugus alifatik PKH 26 Lapisan ganda lipid Lapisan eksternal Lapisan internal

Pewarna berpendar ini telah diaplikasikan pada beberapa jenis hewan (Chang et al. 1995, Herrid et al. 2006, Choi et al. 2007) termasuk pada ikan (Lacerda et al. 2008, Takeuchi et al. 2009, Yazawa et al. 2010). Berlebihan dalam mewarnai termasuk konsentrasi pewarna dan lama inkubasi tidak diperbolehkan, meskipun demikian konsentrasi PKH 26 tinggi pada membran sel tidak akan mempengaruhi viabilitas dan pertumbuhan sel (Wallace et al. 2008). Pada penelitian ini, PKH 26 masih dapat diamati dengan jelas hingga umur ikan mencapai 95 hari. Beberapa sel memperlihatkan intensitas warna yang berkurang dan ini menunjukkan bahwa kemungkinan sel donor yang terwarnai PKH 26 ini telah mengalami proliferasi.

Penelitian ini juga mengungkap peran faktor imunokompetensi antara sel donor dan resipien yang selama ini diduga menjadi penyebab gagalnya sel donor terkolonisasi pada hewan vertebrata tingkat tinggi. Pada penelitian ini upaya yang dilakukan untuk menekan penolakan sistem imun ikan nila terhadap sel spermatogonia ikan gurami adalah dengan menggunakan larva ikan nila awal menetas. Pada tahap larva ikan kapasitas imunnya belum berkembang dengan sempurna hingga umur ikan mencapai beberapa minggu dan umur ini bervariasi pada beberapa spesies ikan (Chantanachookhin et al. 1991, Manning & Nakanishi 1996).

Selain menggunakan larva ikan awal menetas, teknik lain yang juga digunakan oleh beberapa peneliti untuk menekan penolakan sistem imun resipien

Dokumen terkait