• Tidak ada hasil yang ditemukan

TERHADAP INFEKSI Corynespora cassiicola ABSTRAK

BAHAN DAN METODE

Bahan tanam karet

Untuk mengamati perkembangan gejala penyakit gugur daun Corynespora, digunakan dua klon karet resisten yaitu PR 300 dan AVROS 2037 serta satu klon rentan PPN 2444 yang dipilih secara acak berdasarkan informasi tingkat resistensinya di lapang. Bahan tanam karet yang digunakan untuk mengevaluasi respon ketahanan klon karet terhadap satu isolat C. cassiicola terdiri atas 10 klon yang ditanam dalam kantong plastik hitam (polibeg) dan diper sia pkan dengan cara okulasi. Kesepuluh klon tersebut adalah AVROS 2037, BPM 1, PR 255, RRIC 100, IRR 100, GT 1, RRIM 600, RRIC 103, PPN 2444, dan IAN 873.

Okulasi dilaksanakan di kebun Cikasungka PT Perkebunan Negara VIII (Jawa Barat) dengan cara menempelkan mata tunas batang atas masing-masing klon ke batang bawah yang berasal dari biji klon GT 1. Duplikat setiap klon dibuat paling tidak sebanyak 10 tanaman. Semua bahan tanam ditumbuhkan di dalam kantong plastik hitam berisi campuran tanah dan pupuk kandang (3 : 1) dan dipelihara di rumah kaca. Tanaman disiram setiap hari, serta dipupuk dengan pupuk N, P, K dan Mg sekali dalam sebula n, dengan dosis 10 gr/tanaman. Untuk menginduksi pembentukan tunas-tunas baru dilakukan pemangkasan sedangkan untuk mencegah serangan hama dan patogen, terutama pada daun-daun muda yang baru tumbuh dilakukan penyemprotan dengan belerang dan obat anti hama.

Isolat C. cassiicola

Isolat C. cassiicola cGT1 SS diperoleh dari Balai Penelitian Karet (BPK) Sembawa (Sumatera Selatan) yang telah teruji virulensinya dan mampu menyebabkan penyakit gugur daun Corynespora pada berbagai klon karet (Situmorang, 2002). Konidia sebagai sumber inokulum untuk diinokulasikan pada daun karet, diproduksi berdasarkan metode Situmorang (2002). Isolat cendawan dibiakkan pada media ASK (agar sukrosa kentang yang mengandung kentang 200 g, sukrosa 30 g dan agar 15 g dalam satu liter akuades) di dalam cawan Petri selama 4 - 7 hari, sehingga terbentuk lapisan miselia (Gambar 2 A).

Sebanyak 8 - 10 potong biakan isolat tersebut (diameter 5 mm) diletakkan dengan posisi terbalik pada permukaan bawah daun karet steril dalam cawan Petri sehingga bagian miselia dapat kontak secara langsung dengan permukaan daun. Daun yang digunakan adalah daun dari klon karet asal isolat agar patogenitas isolat dapat dipertahankan. Dengan demikian untuk memproduksi konidia dalam percobaan ini digunakan daun karet klon GT 1 karena isolat diisolasi dari daun klon tersebut. Setelah 3 - 4 hari daun dibalikkan dan 4 - 5 hari kemudian konidia akan terbentuk pada bagian atas permukaan daun (Gambar 2 B).

A B

Gambar 2. (A) Pembentukan miselia Corynespora cassiicola pada media ASK, (B) Pembentukan konidia pada permukaan daun (tanda panah)

Untuk mengumpulkan konidia dari permukaan daun terlebih dahulu daun dikering-anginkan selama satu hari agar pelepasan konidia dari tangkainya lebih mudah. Konidia dilepaskan dari permukaan daun dengan menggunakan kuas, dimasukkan dalam erlenmeyer berisi air dan kemudian disaring dengan kasa nilon untuk memisahkan konidia yang menggumpal. Konsentrasi konidia di dalam air dibuat sekitar 4 x 104 konidia/ml, yang dihitung dengan menggunakan

haemocytometer melalai pengamatan dengan mikroskop.

Inokulasi, skoring gejala dan penentuan tingkat kerusakan daun

Daun umur ± 2 minggu yang terdapat pada bibit karet dengan stadia pertumbuhan dua unit daun diinokulasi dengan cara menyemprotkan suspensi yang mengandung konidia secara merata ke permukaan bawah daun. Dalam

kondisi pertumbuhan yang demikian pada masing-masing unit daun umumnya terdapat 9 tangkai daun dan setiap tangkai daun mendukung tiga daun (trifoliat). Inokula si konidia untuk masing-masing klon dilakukan pada 12 daun yang memiliki umur relatif sama . Daun yang telah diinokulasi kemudian disungkup dengan kantong plastik transparan sekitar 2-3 hari, sungkup plastik selanjutnya dilepas dan inkubasi diteruskan sampai hari ke dua belas. Pengamatan gejala penyakit dilakukan pada hari ke 0, 1, 2, 3, 4, 8 dan 12 hari setelah inokulasi sedangkan skoring gejala dilakukan pada hari ke-12.

Penentuan tingkat kerusakan daun didasarkan pada empat skala, yaitu: 0 : tidak ada gejala klorosis/nekrosis, 1 : ada gejala bercak coklat kehitaman, 2 : 1 – 50% daun kuning kecoklatan, 3 : 51 – 100% daun kuning kecoklatan atau gugur.

Hasil skala serangan dimasukkan ke rumus Towsendt dan Hueberger (Unterstenhover, 1963), sbb : Σ(n x v) I = --- x 100% Z x N dengan keterangan, I n v Z N = = = = =

Indeks tingkat kerusakan daun/intensitas penyakit Banyaknya daun dalam setiap kategori kerusakan Nilai kategori kerusakan

Nilai kategori kerusakan tertinggi Banyaknya daun yang diamati

Dari nilai di atas kemudian dapat ditentukan kelompok masing-masing klon, yaitu :

0% = tanaman sangat resisten

> 0 – 33% = tanaman resisten 34 – 67% = tanaman moderat rentan 68 – 100% = tanaman sangat rentan

Rancangan yang digunakan dalam percobaan ini adalah Rancangan Acak Lengkap dengan empat ulangan. Setiap unit perlakuan terdiri atas tiga helaian daun yang diinokulasi dengan konidia C. cassiicola dan sebagai kontrol daun diberi perlakuan dengan menyemprotkan akuades steril.

HASIL

Perkembangan Gejala Penyakit Gugur Daun

Pengamatan secara makroskopis pada permukaan daun klon AVROS 2037, PR 300 dan PPN 2444 pada hari pertama setelah inokulasi tidak menunjukkan adanya gejala penyakit. Gejala bercak seperti titik berwarna coklat tua dan kadang-kadang hitam mulai terlihat pada hari kedua setelah inokulasi, baik pada klon resisten AVROS 2037 dan PR 300, maupun pada klon rentan PPN 2444 (Tabel 1).

Tabel 1. Perkembangan gejala penyakit gugur daun pada klon karet PR 300, AVROS 2037 dan PPN 2444. Klon resisten Klon rentan Hari setelah inokulasi PR 300 AVROS 2037 PPN 2444 Pengamatan mikroskopis pada klon

PPN 2444 *) 0 1 2 3 4 8 12

Tidak ada gejala Tidak ada gejala

Bercak seperti titik

Bercak seperti titik

Bercak sep erti titik

Bercak agak melebar

Bercak tidak berkembang

Tidak ada gejala Tidak ada gejala

Bercak seperti titik Bercak seperti titik Bercak seperti titik Bercak seperti titik Bercak tidak berkembang

Tidak ada gejala Tidak ada gejala

Bercak seperti titik Bercak seperti titik merata di daun Bercak melebar Bercak melebar, sebagian berbentuk sirip tulang ikan Lebih dar 50% daun nekrosis - Kerusakan pada sebagian kutikula dan epidermis bawah daun, miselium belum terlihat . Kerusakan pada sebagian parenkim bunga karang, miselium terdapat pada ruang intraseluler. Parenkim a bunga karang hancur, sebagian parenkima palisade rusak

*) Sumber Rouli (1987).

Setelah 3 – 4 hari, jumlah bercak terlihat semakin banyak dan melebar pada permukaan daun klon PPN 2444, namun tidak menunjukkan perkembangan

yang berarti pada klon AVROS 2037 dan PR 300. Dengan bertambahnya waktu, gejala bercak pada klon PPN 2444 semakin melebar, beberapa di antaranya berkembang di sekitar tulang daun sehingga menyerupai sirip tulang ikan dan setelah 12 hari lebih dari setengah permukaan daun mengalami gejala nekrosis dan kemudian daun menggulung (Gambar 3). Umumnya dalam kondisi yang demikian daun tidak mampu bertahan dan kemudian gugur. Sebaliknya gejala pada klon AVROS 2037 dan PR 300 hampir tidak berkembang, setelah 8 hari hanya terlihat sedikit bercak, beberapa bercak agak melebar, namun setelah itu tidak terjadi perkembangan lebih lanjut.

Gejala nekrotik AVROS 2037 PPN 2444

Gambar 3. Pe nampakan gejala penyakit gugur daun pada klon karet resisten (AVROS 2037) dan rentan (PPN 2444) akibat infeksi C. cassiicola

pada permukaa n bawah daun karet, setelah 12 hari inokulasi.

Tingkat Resistensi Sepuluh Klon Karet terhadap Infeksi C. cassiicola

Secara umum klon yang dilaporkan memiliki resistensi tinggi di lapang ternyata juga menunjukkan respon yang sama dalam pengujian terkontr ol dengan isolat yang digunakan dalam penelitian ini. Demikian juga hal-nya klon yang digolongkan rentan di lapang juga memberikan respon kerentanan yang tinggi (Tabel 2).

Di samping perbedaan dalam perkembangan gejala penyakit , klon karet yang diuji juga menunjukkan perbedaan dalam intensitas penyakit. Di antara 5

klon resisten, klon BPM 1 menunjukkan intensitas penyakit paling rendah (I = 0%), yang mengindikasikan bahwa klon tersebut memiliki resistensi paling tinggi karena tidak ditemukan adanya infeksi patogen pada permukaan daun. Kemudian diikuti oleh klon IRR 100, RRIC 100, AVROS 2037 dan PR 255 (0% I 33%), klon moderat RRIM 600 (34% I 67%), dan 3 klon sangat rentan yaitu RRIC 103, PPN 2444 dan IAN 873 (68% I 100%) (Tabel 2). Berdasarkan persentase intensitas penyakit tersebut, maka klon karet yang diuji dapat digolongkan dalam kelompok sangat resisten (BPM 1), resisten (IRR 100, RRIC 100, AVROS 2037, PR 255), moderat rentan (RRIM 600), dan sangat rentan (RRIC 103, PPN 2444, IAN 873).

Tabel 2. Gejala dan intensitas penyakit pada pengujian terkontrol klon karet terhadap C. cassiicola.

No. Klon Tingkat resistensi

di lapang

D aun bergejala

(%)

Gejala pada daun Intensitas penyakit (I) (%) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. AVROS 2037 BPM 1 PR 255 RRIC 100 IRR 100 GT 1*) RRIM 600 RRIC 103 PPN 2444 IAN 873 Resisten Resisten Resisten Resisten Resisten Moderat Moderat Rentan Rentan Rentan 66 0 75 50 41 - 91 100 100 100

Ada bercak coklat/hitam, tidak berkembang

Tidak ada bercak/tidak terinfeksi Ada bercak coklat/hitam, tidak berkembang

Ada bercak coklat/hitam, tidak berkembang

Ada bercak coklat/hitam, tidak berkembang

-

Ada bercak coklat/hitam, melebar Lebih dari 50% helaian daun nekrosis

Lebih dari 50% helaian daun nekrosis

Lebih dari 50% helaian daun nekrosis 22,2 0 22,2 17,8 13,9 - 40,5 85,7 85,7 86,0 *) Tidak diinokulasi karena daun umur ± 2 minggu tidak tersedia

PEMBAHASAN

Gejala penyakit pada permukaan daun klon rentan PPN 2444 belum terlihat pada hari pertama setelah inokulasi, namun pengamatan anatomi daun secara mikroskopis yang dilaporkan oleh Rouli (1987) menunjukkan kerusakan

telah mulai pada lapisan kutikula dan epidermis bawah daun (Tabel 1). Meskipun demikian miselium cendawan belum terlihat pada ruang sel. Pada hari kedua setelah inokulasi, kerusakan berlanjut pada sebagian parenkima bunga karang sedangkan miselium cendawan mulai terlihat pada ruang intraseluler. Hari berikutnya kerusakan lapisan jaringan daun semakin banyak, dimana lapisan parenkima bunga karang hancur dan kerusakan terjadi pada sebagian lapisan parenkima palisade. Hal tersebut sejalan dengan pengamatan secara visual yang dilakukan dalam penelitian ini.

Pengujian tingkat resistensi menunjukkan bahwa 5 klon yaitu klon AVROS 2037, BPM 1, PR 255, RRIC 100 dan IRR 100 me miliki kemampuan untuk mengatasi infeksi C. cassiicola isolat cGT1 SS. Selain BPM 1, ke-empat klon lainnya dapat diinfeksi oleh patogen, yang ditandai dengan terbentuknya bercak coklat atau hitam pada helaian daun, namun bercak tidak berkembang lebih lanjut. Pada klon RRIM 600 bercak melebar yang menandakan terjadinya perkembangan patogen, namun masih terbatas pada beberapa bagian helaian daun. Perkembangan patogen yang sangat signifikan dengan kerusakan daun terjadi pada 3 klon, yaitu RRIC 103, PPN 2444 dan IAN 873, dimana hampir seluruh permukaan daun mengalami nekrosis.

Pengelompokan 10 klon karet yang diuji berdasarkan intensitas penyakit pada masing-masing klon menunjukkan hasil yang sejalan dengan respon klon di lapang yang telah dilaporkan sebelumnya oleh sejumlah peneliti (Pusat Penelitian Karet 1992; Suwarto et al. 1996; Situmorang 2002). Dari pengamatan lapang di beberapa lokasi perkebunan karet di Indone sia seperti di Jambi dan Kalimantan Barat, klon BPM 1 serta klon seri BPM lainnya seperti BPM 24 dilaporkan tidak pernah menunjukkan gejala terserang atau hanya terserang ringan oleh C. cassiicola (Suwarto et al. 1996). Pusat Penelitian Karet (1992) juga melaporkan bahwa klon BPM 1 yang termasuk klon unggul anjuran memiliki tingkat resistensi tinggi terhadap infeksi cendawan tersebut. Pengamatan sebaran penyakit yang lebih luas di beberapa sentra perkebunan karet yang terdapat di Sumatera dan Kalimantan menunjukkan gejala serangan tidak terdapat pada klon BPM 1 (Situmorang 2002). Namun pada percobaan rumah kaca dilaporkan bahwa klon

BPM 1 terinfeksi ringan oleh tiga isolat C. cassiicola virulen yang diinokulasikan pada daun (Hadi 2003) .

Laporan tentang tingkat resistensi klon AVROS 2037 di berbagai lokasi perkebunan karet tidak banyak ditemukan. Namun di Jambi dilaporkan bahwa klon tersebut tidak terserang oleh C. cassiicola dan dalam klasifikasi tingkat resistensi klon yang dilaporkan oleh Pusat Penelitian Karet (1992), klon AVROS 2037 termasuk klon yang sangat resisten. Pada pengujian secara terkontrol dengan menggunakan tiga macam isolat C. cassiicola, respon klon AVROS 2037 dilaporkan bervariasi (Hadi 2003). Hal tersebut ditunjukkan dari intensitas penyakit klon AVROS 2037 terhadap isolat Cc1 (isolat dari Kalimantan Selatan) adalah 20%, terhadap isolat Cc2 (isolat Jawa Tengah) adalah 30% dan terhadap isolat Cc3 (isolat Sumatera Selatan) adalah 43%. Hasil penelitian ini menunjukkan klon AVROS 2037 memiliki intensitas penyakit sebesar 22,2%.

Di berbagai sentra perkebunan karet dilaporkan bahwa klon PR 255 tidak terserang oleh C. cassiicola (Suwarto et al. 1996; Situmorang 2002). Dalam daftar klon anjuran, klon PR 255 tergolong dalam klon dengan resistensi tinggi terhadap infeksi C. cassiicola dan termasuk dalam klon anjuran skala besar (Pusat Penelitian Karet 1992). Hal yang sama juga dilaporkan pada klon RRIC 100 yang juga termasuk klon anjuran skala besar dengan tingkat resistensi tinggi terhadap infeksi patogen yang sama (Pusat Penelitian Karet 1992). Pengamatan di berbagai sentra perkebunan di Indonesia menunjukkan bahwa klon RRIC 100 tidak terserang C. cassiicola (Suwarto et al. 1996; Situmorang 2002). Hadi (2003) melaporkan bahwa klon RRIC 100 menunjukkan respon resistensi tinggi terhadap 3 isolat C. cassiicola yang berbeda. Klon RRIM 600 meskpun sebelumnya termasuk dalam klon anjuran skala besar (Pusat Penelitian Karet 1992), namun belakangan diketahui merupakan klon yang mengalami kerusakan cukup berat di beberapa sentra perkebunan karet (Sinulingga et al. 1996; Suwarto et al. 1996; Situmorang 2002).

Data tentang respon klon rentan RRIC 103, PPN 2444 dan IAN 873 di berbagai lokasi perkebunan sulit ditemukan karena setelah kedua klon ter sebut terserang sangat berat oleh C. cassiicola pada tahun 1980-an, telah dilakukan pembongkaran dan pemusnahan. Hal tersebut dilaksanakan untuk mencegah

perkembangan patogen ke areal tanaman sehat. Saat ini klon RRIC 103 dan beberapa seri PPN hanya dite mukan di lembaga penelitian dan penggunaannya terbatas hanya untuk aktivitas penelitian.

Heath (1980) mengemukakan bahwa dari sisi tanaman, resistensi terhadap patogen umumnya diikuti oleh suatu reaksi yang dapat dideteksi. Reaksi tersebut dapat dibedakan atas dua kategori, pertama adalah perubahan tanaman secara morf ologi dan kedua adalah perubahan fungsi yang berhubungan dengan proses metabolisme atau fisiologis tanaman. Perubahan morfologi biasanya hanya dapat diamati melalui penggunaan mikroskop karena gejala penyakit seperti yang terjadi pada tanaman rentan tidak muncul pada tanaman resisten. Salah satu perubahan morfologi tanaman setelah diinokulasi dengan cendawan patogen adalah tejadinya penebalan pada dinding sel akibat deposisi bahan yang terbentuk antara dinding sel dan membran sel, dan secara umum disebut sebagai papila. Komponen papila sangat bervariasi, antara lain bisa berupa kalose, selulose, pektin, suberin , tilose maupun lignin (Heath 1980; Ride dan Pearce 1979). Pembentukan papila dapat terjadi pada tanaman resisten dan rentan, namun juga dapat terjadi hanya pada tanaman resisten (Bushnell dan Berquist 1975; Vance dan Sherwood 1976). Perubahan pada tingkat fisiologi dan metabolisme sering berhubungan dengan sintesis suatu protein, enzim ataupun senyawa fenolik dan fitoaleksin.

Dalam interaksi H. brasiliensis/C. cassiicola, antara klon resisten dan rentan tidak terdapat perbedaan kecepatan penetrasi cendawan. Artinya patogen yang sama memiliki kemampuan untuk menembus lapisan permukaan daun, baik pada klon resisten maupun klon rentan dan kemudian masuk ke dalam jaringan tanaman. Oleh karena itu dapat dipahami bahwa ketebalan kutikula, epidermis ataupun pembentukan lapisan lignin pada dinding sel bukan merupakan mekanisme yang digunakan klon karet resisten untuk bertahan terhadap serangan patogen tersebut (Breton et al. 2000).

Perbedaan nyata antara respon klon resisten dan rentan terlihat pada invasi cendawan dalam jaringan tanaman. Serangan pada klon rentan menyebabkan kerusakan pada sel epidermis, nukleus dan organel lainnya sehingga akhirnya menimbulkan kerusakan parah pada daun. Pada klon resisten kolonisasi cendawan terbatas hanya pada beberapa sel di sekitar hifa. Kondisi tersebut

menimbulkan dugaan bahwa klon resisten memiliki suatu molekul yang disandikan oleh suatu gen tertentu sehingga mampu mengenal atau langsung mengatasi perkembangan cendawan. Hal ini diperkuat oleh kenyataan bahwa ketika menginfeksi tanaman karet, C. cassiicola mengeluarkan toksin (Onesirosan

et al., 1975; Liyanage dan Liyanage 1986; Purwantara 1987; Suwarto 1989; Breton et al. 1996; Breton et al. 2000) . Toksin yang disebut sebagai ‘cassiicolin’ diduga merupakan faktor penentu utama dalam patogenisitas C. cassiicola.

Cassiicolin merupakan Host-selectiv e toxins (HST), termasuk dalam kelompok glikoprotein dengan berat molekul sekitar 21 kDa (Breton dan d’Auzac 1999).

Kemampuan tanaman resisten mengatasi penyebaran toksin melalui aktivasi gen telah dilaporkan pada interaksi antara tanaman jagung yang memiliki alel dominan pada lokus Hm1 dengan cendawan patogen Cochliobolus carbonum

ras 1. Gen Hm1 menyandikan karbonil reduktase, HC-toxin reductase (HCTR) (Johal dan Briggs 1992) yang meng-inaktifkan toksin yang diproduksi oleh C. carbonum melalui reduksi enzimatik (Meeley et al. 1992; Meeley dan Walton 1991). Genotipe homozigot hm1hm1 tidak memiliki aktivitas HCTR, ternyata rentan terhadap C. carbonum ras 1.

Pada klon karet rentan yang terinfeksi, berlanjutnya gejala penyakit diduga berhubungan dengan ketidak mampuan klon tersebut mengatasi penyebaran toksin. Konidia C. cassiicola biasanya akan berkecambah dalam waktu 4 jam (Chee 1988) dan penetrasi fungi terjadi 12 jam setelah inokulasi (Breton et al. 2000). Pada klon rentan, pengaruh toksin terjadi dalam waktu yang relatif singkat, sekitar 24 jam setelah patogen diinfeksikan ke daun tanaman (Breton et al. 1996). Hal ini sejalan dengan pengamatan makroskopis pada hari ke-1 yaitu 24 jam setelah inokulasi tidak menunjukkan adanya gejala, namun secara mikroskopis melalui pengamatan anatomi daun telah terjadi kerusakan pada lapisan kutikula dan epidermis bawah daun (Rouli 1987). Kerusakan tersebut berlanjut pada sebagian parenkima bunga karang. Pada hari ketiga kerusakan lapisan jaringan daun semakin banya k, dimana lapisan parenkima bunga karang hancur dan kerusakan terjadi pada sebagian lapisan parenkima palisade.

Di antara klon yang diuji, meskipun klon BPM 1 memiliki tingkat keparahan penyakit paling rendah, namun untuk studi ekspresi gen bahan tanam

dengan respon yang demikian kurang sesuai untuk digunakan karena dikhawatirkan tidak terjadi aktivasi mekanisme resistensi sebagai akibat tidak adanya infeksi patogen. Berdasarkan tingkat keparahan penyakit serta terbentuknya bercak hitam pada permukaan da un, maka empat klon resisten lainnya yaitu, AVROS 2037, PR 255, RRIC 100 dan IRR 100 lebih sesuai digunakan dalam mempelajari transkrip/gen yang berperan dalam resistensi tanaman karet terhadap C. cassiicola. Hal ini disebabkan adanya indikasi bahwa patogen mampu menginfeksi tanaman, namun tanaman tersebut dapat mencegah perkembangan patogen lebih lanjut. Sedangkan ketiga klon rentan, yakni RRIC 103, PPN 2444 dan IAN 873 dapat digunakan untuk penelitian studi transkrip atau gen yang tertekan atau terinduksi ekspresinya akibat adanya infeksi cendawan patogen C. cassiicola.

KESIMPULAN

Berdasarkan perkembangan gejala penyakit pada klon karet resisten dan rentan, gejala berupa bercak mulai terlihat pada hari kedua setelah daun karet diinokulasi dengan konidia C. cassiicola, baik pada klon resisten maupun klon rentan. Perkembangan gejala berlanjut pada klon rentan sehingga pada pengamatan hari ke -12 hampir seluruh bagian daun rusak, sedangkan pada klon resisten gejala penyakit tidak berkembang.

Berdasarkan perkembangan gejala tersebut pengambilan sampel daun sebagai sumber RNA dapat dilakukan mulai pada saat sebelum munculnya gejala penyakit dan pada beberapa titik waktu setelah inokulasi patogen. Pengambilan sampel daun dibatasi sampai hari ke-tiga setela h inokulasi, dengan pertimbangan bahwa dalam waktu tiga hari tersebut diduga transkrip yang terinduksi atau tertekan ekspresinya pada klon resisten maupun rentan akan dapat diamati.

Intensitas penyakit dari klon karet yang diuji berkisar antara 0% - 86%, dan pengelompokan klon adalah sangat resisten (BPM 1), resisten (IRR 100, RRIC 100, AVROS 2037, PR 255), moderat rentan (RRIM 600), dan sangat rentan (RRIC 103, PPN 2444, IAN 873).

KERAGAMAN GENETIK KLON KARET DENGAN