Class distance between male to female (m)
BAHAN DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli 2013 hingga Agustus 2014. Kegiatan lapang dilakukan di perkebunan kelapa kopyor di Agom Jaya, Kalianda Kabupaten Lampung Selatan, Lampung dengan lokasi GPS S5 39.462 E105 34.962. Tipe tanah yang dievaluasi pada perkebunan kelapa kopyor merupakan tipe tanah berpasir. Kegiatan laboratorium dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler Tanaman (PMB Lab) Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Pemilihan Tetua dan Pemanenan Progeni
Populasi terdiri atas 282 pohon. Populasi yang dipilih berdasarkan jumlah tanaman yang lebih dari 10 pohon kopyor. Populasi tersebut merupakan campuran dari pohon kelapa kopyor heterozigot (Kk) dengan pohon kelapa normal (KK) atau kelapa yang tidak pernah menghasilkan buah kopyor. Berdasarkan tipe kelapa tersebut, populasi yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 60 pohon kelapa dewasa yang semuanya tipe kelapa Dalam, dari 60 pohon tersebut dipilih 14 pohon yang dijadikan sebagai kandidat induk betina. Lebih lanjut berdasarkan fenotipenya, pohon kelapa berbuah normal (homozigot KK) sebanyak 47 pohon dan pohon kelapa berbuah kopyor (heterozigot Kk) sebanyak 13 pohon. Keberadaan setiap pohon kelapa di perkebunan ditunjukkan dengan menggunakan pemetaan GPS.
Semua pohon-pohon dewasa yang berada di sekitar pohon induk betina dijadikan sebagai calon tetua jantan untuk dijadikan donor serbuk sari. Satu tandan buah kelapa (progeni) dipanen dari setiap induk betina yang terpilih.
Genotyping tetua dan progeni
Isolasi DNA dilaksanakan menggunakan metode CTAB (Rohde et al. 1995) dengan modifikasi. Daun kelapa muda maupun embrio kelapa (0.3-0.4 g) digerus dengan buffer lisis 2 ml, yang mengandung PVP 0.007 g dan 2-mercaptoetanol
sebanyak 10 μl. Hasil gerusan daun atau embrio diinkubasi dalam waterbath pada suhu 65 °C selama 60 menit dan dihomogenkan menggunakan sentrifugasi Eppendorf Centrifuge 5416 dengan kecepatan 11000 rpm selama 10 menit. Supernatan dipindahkan ke tube eppendorf kemudian ditambahkan kloroform:isoamil-alkohol (24:1) sebanyak volume supernatant lalu disentrifugasi dengan kecepatan 11000 rpm selama 10 menit dan dipindahkan ke mikrotube baru.
Supernatan dipindah ke tube eppendorf baru kemudian ditambahkan isopropanol dingin (0.8 volume dari supernatan) dan sodium asetat (0.1 volume supernatant). Setelah diinkubasi dalam freezer semalaman,suspensi kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 11000 rpm selama 10 menit hingga diperoleh
pellet DNA. Pellet DNA dicuci dengan menggunakan ethanol 70% dingin 500 μl.
lalu disentrifugasi dan dikeringkan. Pellet DNA diencerkan menggunakan aquabidest sebagai suspensi DNA. Kontaminan RNA dihilangkan dengan menggunakan RNase sesuai standar prosedur (Sambrook dan Russel 2001).
Primer SSR yang diseleksi dari 36 primer (Lebrun et al. 2001) (Lampiran 1) diperoleh 6 primer yang polimorfik. Sebagai tambahan, empat lokus marka SNAP berdasarkan keragaman sekuens nukleotida (gen SUS dan WRKY) (Lampiran 2) juga digunakan untuk menganalisis seluruh tetua dan progeni. Amplifikasi PCR dilakukan dengan menggunakan 2µl DNA working solution, 0.625 µl primer, 6.25 pcr mix (KAPA Biosystem), dan 3 µl ddH2O untuk setiap reaksi. Amplifikasi dilakukan sebanyak 35 siklus, yang dimulai pada suhu 95 °C selama 3 menit sebagai denaturasi awal, diikuti 95 °C selama 15 detik sebagai denaturasi siklus pertama, penempelan primer spesifik - suhu disesuaikan dengan masing-masing pasangan primer - selama 15 detik, pemanjangan primer pada suhu 72 °C selama 5 detik. Final extention 72 °C selama 10 menit sesuai rekomendasi kit KAPA Biosystem.
Produk amplifikasi PCR untuk primer SSR dipisahkan dengan elektroforesis gel poliakrilamid 6% menggunakan Buffer SB 1x (Brody dan Kern 2004) dan pewarnaan gel dengan pewarna silver. Pewarnaan silver mengikuti metode Creste et al. (2001) dengan modifikasi. Elektroforegram di visualisasi diatas meja UV transluminesen di foto menggunakan kamera digital. Pemberian skor setiap genotipe dilakukan juga di atas light table.
Produk amplifikasi PCR untuk primer SNAP dipisahkan menggunakan gel agarose 1% menggunakan buffer TBE 1x dan pewarnaan menggunakan gel untuk melihat hasil skoring yang dihasilkan (Sambrook and Russel 2001). Elektroforegram di visualisasi diatas meja UV transluminesen di foto menggunakan kamera digital. Pemberian skor setiap genotipe dilakukan untuk setiap sampel.
Identifikasi Kandidat Tetua Jantan
Setiap progeni yang disampling sudah diketahui induk betinanya tetapi tidak diketahui pohon yang menjadi donor serbuk sarinya. Kandidat tetua jantan bisa menjadi salah satu induk betina dalam populasi pohon dewasa tersebut. Tahapan
ini dilakukan untuk memprediksi calon pendonor serbuk sari diantara calon tetua jantan yang dievaluasi di setiap progeni.
Identifikasi donor serbuk sari dilakukan dengan menganalisis genotipe progeni versus seluruh induk jantan yang dievaluasi. Semua induk jantan atau induk betinanya dievaluasi dan berpotensi sebagai donor serbuk sari. Analisis molekuler menggunakan software CERVUS analysis parentage program komputer Cervus 2.0 (Marshall 1998). Hasil Cervus diperoleh data alel frekuensi, PIC, heterozigositas, homozigositas. Dilanjutkan dengan data simulasi dan data analisis tetua. Data analisis tetua akan diperoleh kandidat tetua dengan lambang (*): artinya tingkat kepercayaan 95%. (+): tingkat kepercayaan 80%. dan (-): tingkat kepercayaan < 80% .
Analisis Pola Persebaran Serbuk Sari
Lokasi induk betina dan tetua jantan terpilih hasil analisis Cervus diplotkan menggunakan perangkat lunak pemetaan Garmin MapSource GPS versi 76C5x. Jarak antara induk betina dan tetua jantan dihitung menggunakan software yang sama. Jarak dan posisi dari kedua induk betina dan tetua jantan yang dihasilkan kemudian digunakan untuk mengilustrasikan pola persebaran serbuk sari di lokasi penelitian. Penyerbukan sendiri didefinisikan jika induk jantan yang teridentifikasi sama dengan tetua betinanya. Selain itu semuanya didefinisikan sebagai penyerbukan silang. Penyerbukan silang bisa dikelompokkan dengan kategori penyerbukan silang genjah (induk betina genjah diserbuki oleh tetua jantan genjah lainnya), penyerbukan silang dalam (induk betina dalam diserbuki oleh tetua jantan dalam lainnya), penyerbukan silang hibrida ((induk betina hibrida diserbuki oleh tetua jantan hibrida lainnya), penyerbukan silang antara induk betina genjah dengan Dalam atau hibrida, atau sebaliknya. Kedua tipe persilangan dan kuantitasnya semuanya dihitung.
Hasil dan Pembahasan Pemetaan Populasi Tanaman
Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.1. Populasi tersebut menggambarkan populasi yang digunakan dalam analisis pola persebaran serbuk sari sebanyak 60 pohon kelapa dewasa yang semuanya tipe kelapa Dalam, dari 60 pohon tersebut dipilih 14 pohon yang dijadikan sebagai kandidat tetua betina. Pohon kelapa yang ada di areal pertanaman terdiri atas pohon kelapa berbuah normal sebanyak 68 pohon dan pohon kelapa berbuah kopyor sebanyak 13 pohon. Semua pohon-pohon dewasa yang berada di sekitar pohon induk betina dijadikan sebagai calon induk jantan untuk dijadikan donor serbuk sari. Satu tandan buah kelapa (progeni) dipanen dari setiap induk betina yang terpilih dengan kisaran jumlah progeni per induk betina antara 2 sampai 10 buah. Progeni dari setiap pohon induk betina dipanen masing-masing satu tandan dengan jumlah total progeni 51 buah.
Berdasarkan tipe kelapa tersebut, populasi yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 60 pohon kelapa dewasa yang semuanya tipe kelapa Dalam, dari 60 pohon tersebut dipilih 14 pohon yang dijadikan sebagai kandidat induk betina. Lebih lanjut berdasarkan fenotipenya, pohon kelapa berbuah normal
(homozigot KK) sebanyak 47 pohon dan pohon kelapa berbuah kopyor (heterozigot Kk) sebanyak 13 pohon.
Genotyping tetua dan progeni
Berdasarkan analisis molekuler menunjukkan bahwa seluruh primer yang digunakan menunjukkan pita polimorfik baik mikrosatelit dan SNAP. Salah satu contoh primer SSR (CnCir_56) dan SNAP ( WRKY 6_3 ) yang menghasilkan alel polimorfik pada populasi kelapa kopyor yang dianalisis dapat dilihat pada Gambar 4.2. dan 4.3. Pada Gambar 4.2. individu yang dievaluasi untuk lokus SSR CnCir_56 menunjukkan alel homozigot cc (sampel nomor 1), homozigot bb (sampel nomor 7-10), heterozigot bc (sampel 2-6 dan sampel 11) atau heterozigot ab (sampel nomor 12). Sedangkan individu sampel nomor 1,2,3,4 dan 6 heterozigot untuk referens dan alternate untuk alel SNAP (WRKY 6_3) dan sampel 5 homozigot untuk alel referens (Gambar 4.3). Setiap individu di genotipe dengan pendekatan yang sama.
Gambar 4.1. Lokasi studi penelitian tegakan kelapa kopyor di Agom Jaya Kalianda Lampung Selatan. Simbol mengidentifikasikan posisi ( ) induk betina Dalam normal, ( ) tetua jantan Dalam normal, ( ) induk betina Dalam kopyor, dan ( ) tetua jantan Dalam kopyor.
2
3
4
5
6
Gambar 4.2. Visualisasi DNA hasil amplifikasi primer SSR CnCir_56 dengan sampel DNA # 1-12. M: penanda 100 bp DNA . Posisi a, b, and c menunjukkan posisi alel spesifik pada primer CnCir_56.
Gambar 4.3. Polimorfisme marker SNAP dua pasang dengan sampel DNA genom 1-6 ( R: reference dan A: alternate pasang primer) pada marka SNAP WRKY 6_3 SNAP. M: penanda 100 bp DNA . R - produk PCR dari pasangan primer R dan A - produk PCR dari A pasangan primer. Jika produk PCR menunjukkan R dan A keduanya muncul maka individu yang dievaluasi heterozigot, sedangkan jika hanya salah satunya A atau B menunjukkan homozigot.
1
2
3
4
5
6
Tabel 4.1. Jumlah alel, heterozigositas observasi (O) dan ekspektasi (E) serta kandungan informasi polimorfis (PIC) pada 10 lokus marka molekuler populasi kelapa dalam Kalianda
Nama lokus Jumlah alel Jumlah Heterozigositas PIC Het Hom O E CnCir_87 2 57 53 0.518 0.487 0.367 CnCir_86 4 41 69 0.373 0.494 0.456 CnZ-18 4 80 30 0.727 0.651 0.599 CnZ_51 5 74 35 0.679 0.775 0.734 CnCir_B12 5 60 50 0.545 0.627 0.551 CnCir_56 5 68 42 0.618 0.71 0.656 CnSus1#14 2 71 38 0.651 0.478 0.363 CnSus1#3 2 75 35 0.682 0.476 0.362 WRKY19#1 2 108 2 0.982 0.502 0.375 WRKY 6#3 2 104 5 0.954 0.501 0.374
Keterangan: PIC = Polymorphic Information Content, Ho = Observed heterozigosity, He = Expectedheterozygosity
Nilai PIC pada lokus-lokus dengan menggunakan marka SSR menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan lokus-lokus dengan marka SNP (Tabel 4.1). Nilai rata-rata Ho pada lokus-lokus dengan menggunakan marka SSR tergolong lebih rendah dibandingkan dengan lokus pada marka SNP. Tingginya nilai Ho menunjukkan bahwa pada lokus-lokus tersebut genotipe yang diamati mayoritas memiliki alel-alel homozigot. Demikian juga nilai He pada lokus dengan marka SSR lebih tinggi dibandingkan dengan lokus pada marka SNP. Alel-alel heterozigot banyak dijumpai pada marka SSR menyebabkan nilai He lebih tinggi dibandingkan dengan marka SNP.
Marka SNP menggunakan gen spesifik yang apabila dalam melakukan analisis keragaman dibutuhkan jumlah lokus dan genotipe yang cukup banyak untuk dianalisis sehingga diperoleh keragaman pada gen spesifik yang sedang dipelajari. Nilai He yang tinggi mengindikasikan bahwa pada lokus tersebut menunjukkan keragaman yang tinggi (Boer 2007). Rendahnya lokus yang digunakan merupakan salah satu penyebab rendahnya nilai He dan PIC, karena lokus yang dipelajari masih sedikit dan alelnya cenderung homozigot. Hasil penelitian Esteras et al. (2012) menggunakan 384 posisi SNP untuk pemetaan genetik dan analisis QTL pertama di Cucurbitaceae. Platform menggunakan SNP ini berguna untuk pemetaan dan studi keanekaragaman dan menjadi penting untuk mempercepat proses pemuliaan.
Identifikasi Kandidat Tetua Jantan
Hasil analisis tetua menunjukkan 24 (48,97%) dengan simbol (+), 10 (20,42%) simbol (*) dan 15 (30,61%) dengan simbol (-), yang menunjukkan bahwa success rate untuk level confidence diatas 95%, simbol (+) terdapat tiga progeni level confidence 80% sebesar 39 % dan level confidence dibawah 80% sebesar 61%. Seluruh nilai LOD menunjukkan tidak terdapat nilai negatif, sehingga simbol (-) diyakini sebagai jantan walaupun tingkat kepercayaan
dibawah 80%. Nilai peluang kemungkinan atau LOD (Likelihood of odds) menunjukkan nilai lebih besar dari 0 dan positif, nilai LOD positif lebih mengindikasikan bahwa tetua jantan yang diduga adalah benar. Semakin besar nilai LOD maka semakin besar peluang tetua tersebut merupakan tetua yang sebenarnya (Marshal et al. 1998).
Dari hasil uji progeni dapat dibuat rangkuman skema persilangan dan tipe penyerbukan pada populasi Kalianda yang menunjukkan bahwa terjadi selfing genotipe kopyor sebanyak 1 kali (2%), persilangan antara genotipe kopyor sebanyak 13 kali (27%) dan persilangan genotipe kopyor dan normal sebanyak 35 kali (71%) (Tabel 4.2). Jumlah progeni yang dihasilkan dari tetua jantan yang teridentifikasi dapat dilihat pada Gambar 4.4. Penyerbukan polen dari tetua jantan adalah sebanyak 1-3 serbuk sari, dengan frekuensi tertinggi yaitu 1 serbuk sari sebanyak 15 kali penyerbukan oleh 1 tetua jantan (Gambar 4.5). Jarak persebaran polen yang terdekat adalah 0 m dan terjauh > 60 m yaitu 63 m dengan frekuensi penyerbukan tertinggi terjadi pada jarak >50 m yaitu sebanyak 13 kali (Gambar 4.6).
Tabel 4.2. Skema persilangan dan tipe penyerbukan yang diidentifikasi berdasarkan hasil analisis persebaran dari uji progeni populasi Kalianda.
Skema
Penyerbukan Tipe Penyerbukan
Jumlah peristiwa
penyerbukan Persentase
Kopyor x Kopyor Self 1 2%
Kopyor x Kopyor Outcross 13 27%
Kopyor x Normal Outcross 35 71%
Total progeni 49 100.00%
Gambar 4.4. Jumlah progeni yang dipanen per induk betina dan jumlah tetua jantan yang mendonasikan serbuk sari untuk tetua betina tertentu pada pertanaman kelapa kopyor populasi Agom Jaya, Lampung Selatan
9
2
3
2
4
3
4
1
3
1
4
1
6
5
1
7
3
3
2
2
5
4
0
2
4
6
8
10
1
2
9
1
4
8
1
4
9
1
5
0
1
5
1
1
5
6
1
5
8
1
6
0
1
6
3
1
8
5
1
9
3
1
9
4
2
0
9
2
1
0
2
1
7
Gambar 4.5. Jumlah tetua jantan yang mendonasikan sejumlah serbuk sari pada induk betina di sekitarnya pada pertanaman kelapa kopyor populasi Agom Jaya, Lampung Selatan
Gambar 4.6. Jumlah polinasi setiap kelas jarak dari tetua kelapa jantan terpilih terhadap induk betina pada pertanaman kelapa kopyor populasi Agom Jaya, Lampung Selatan