• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN

4.3 Bahan dan Metode

Data Inderaja satelit optik utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra ALOS PRISM dan AVNIR-2 komposit band 4,3,2, (Juni 2007), serta Landsat ETM komposit band 7,4,2 yang difusi dengan band 8 (Mei 2005) sebagai data pembanding. Semua data citra satelit tersebut telah terektifikasi terhadap peta Rupabumi skala 1: 25.000. Data pendukung yang digunakan meliputi peta Rupabumi skala 1: 25.000 dan peta penutup lahan skala 1: 250.000 tahun 2000 yang ada di BAKOSURTANAL. Spesifikasi data citra satelit Inderaja optik untuk penelitian disajikan pada Tabel 10.

Interpretasi obyek diutamakan pada lahan sawah dan daerah permukiman yang bertopografi datar, agar pengaruh topografi terhadap distorsi luasan lahan sawah yang diukur dari data citra dapat diabaikan. Interpretasi obyek dilakukan secara visual dengan dukungan data sekunder dan survei lapangan. Delineasi obyek hasil interpretasi secara visual didijitasi secara langsung pada layar komputer yang diiterasi pada berbagai skala. Interpretasi obyek tersebut didasarkan pada bentuk, ukuran, pola, tekstur, lokasi, dan tone (Lillesand dan Kiefer, 1979).

Tabel 10. Data citra satelit Inderaja optik untuk penelitian

No. Jenis Citra

Path/Row atau Path/center Akuisisi Resolusi Spasial (m) Band yang digunakan

1. ALOS PRISM 110/3730 13/4/2007 2,5 Panchromatik 2. ALOS AVNIR-2 103/3750 98/3770 13/4/2007 5 /6/2007 10 4,3,2 3. Landsat 7 118/66 119/65 122/64 10 /5/2005 17/5/2005 15/5/2005 30, 15 7,4,2, dan 8 4. SPOT-4 285/363 285/364 12/11/ 2003 20 1,2,3

Keterangan: Citra Alos AVNIR-2: band 1 (0,42-0,5 µm), band 2 (0,52-0,60 µm), band 3 (0,61-0,69 µm) band 4 (0,76-0,89 µm)

Citra Landsat 7 : band 1 (0,45-0,52 µm), band 2 (0,52-0,60 µm), band 3 (0,63-0,69 µm) band 4 (0,76-0,90 µm), band 5 (1,55-1,75 µm), band 7 (2,08-2,35 µm) band 8 : 0.52-0.90 µm (Panchromatic)

Citra SPOT-4 : band 1 : 0,50 – 0,59 µm, band 2: 0,61 – 0,68 µm, band 3 : 0,79 – 0,89 µm

Penggunaan metode interpretasi secara visual tersebut mempertimbangkan kondisi sebagai berikut, yaitu 1) pola tanam padi sawah di Jawa bersifat tidak seragam, 2) Basis data luasan lahan sawah yang dibangun berbasis format vektor, 3) Konversi data dari format raster menjadi vektor mengakibatkan sebagian besar struktur topologi terfragmentasi yang editingnya time consuming atau sulit ditangani oleh sistem perangkat lunak SIG yang ada saat ini.

Dalam melakukan delineasi obyek hasil interpretasi, tampilan citra pada layar komputer awal mulanya diperbesar (zoom in) atau diperkecil (zoom out) di berbagai skala, sehingga dapat diperoleh tampilan citra skala optimal. Apabila sudah diperoleh tampilan citra skala optimal, dijitasi obyek mulai dilakukan pada tampilan citra terpilih tersebut. Hasil dijitasi obyek disimpan sebagai file SHP dengan menggunakan software ArcGIS versi 9.3, File SHP hasil dijitasi didefinisikan sebagai fitur penutup lahan. Untuk menghitung luasan obyek, fitur SHP penutup lahan hasil dijitasi selanjutnya diedit, dibangun topologinya, dan ditransformasikan pada proyeksi UTM dengan georeferensi WGS’84. Untuk mengevalusi peningkatan tingkat akurasi dari berbagai citra satelit Inderaja optik yang digunakan, data luasan sawah dan permukiman hasil interpretasi citra Landsat 7 ke ALOS PRISM dan AVNIR-2 dihitung perubahannya.

4.3.2 Pembuatan Basisdata Geospasial

Data yang digunakan terdiri dari primer dan sekunder. Data primer meliputi data C-organik tanah, N-total, P-tersedia, K-tersedia, kondisi ekonomi dan sosial-budaya petani; sedangkan data sekunder terdiri dari berbagai data peta skala 1: 250.000 dan 1: 25.000 (peta Rupabumi, sistem lahan, penutup lahan, peta status hara P dan K, status hutan, potensi sumberdaya air dan irigasi, pola pemanfaatan ruang) dan data statistik (jumlah penduduk dan produksi padi sawah). Data primer dikumpulkan melalui survei lapangan, sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi-instansi terkait.

Dalam penelitian ini, proses pembuatan basisdata geospasial diperlihatkan pada Gambar 35. Tahapan pembuatan basisdata meliputi (1) penentuan fitur dataset, (2) pengklasifikasian fitur, (3) pendefinisan atribut dan tipe fitur, (4) digitalisasi fitur, (5), validasi topologi, (6) standarisasi georeferensi, (7) pengintegrasian atribut fitur, dan (8) finalisasi basisdata.

Tahap awal pembuatan basisdata geospasial adalah pengelompokan data menjadi fitur kumpulan data (dataset) dasar dan tematik. Fitur data dasar berfungsi sebagai referensi penyajian fitur tematik. Fitur dataset data dasar tersebut kemudian diklasifikasikan berdasarkan temanya, yaitu layer perairan, layer komunikasi (jaringan jalan), layer ketinggian (hipsografi), layer toponimi (nama-nama geografi), dan layer batas wilayah administrasi. Fitur dataset tematik dirinci menjadi layer sistem lahan, layer penutup lahan, layer status kawasan, layer agroklimat, layer irigasi, layer sosial-budaya. Data yang telah diklasifikasikan tersebut digunakan sebagai input untuk proses selanjutnya.

Dalam inputing data, data-data yang diperoleh dalam bentuk dijital langsung di-loading dan dilakukan pendefinisian atribut, sedangkan data dalam bentuk analog melalui proses dijitalisasi fitur terlebih dahulu. Tahapan berikutnya, atribut dari setiap fitur geospasial tersebut didefinisikan strukturnya, seperti yang diperlihatkan pada Tabel 11. Struktur atribut ini digunakan sebagai template data entry nilai-nilai atribut yang diaktualisasikan dalam bentuk angka, simbol, atau deretan karakter.

Dijitalisasi fitur dilakukan langsung melalui layar komputer dengan menggunakan perangkat lunak ArcGIS versi 9.3. Validasi topologi dimaksudkan

untuk mengecek akurasi geometri setiap fitur. Komponen topologi yang dikoreksi meliputi penghapusan overlaping antar fitur poligon atau garis penyambungan garis poligon yang terputus (dangles atau gaps), penghapusan garis overshoot atau kelebihan fitur titik. Fitur-fitur yang topologinya telah divalidasi, selanjutnya dilakukan standarisasi georeferensi terhadap semua fitur yang sudah bebas dari kesalahan (clean data). Standarisasi georeferensi menggunakan referensi nasional, yaitu Datum Geodesi Nasional Tahun 1995 (DGN95). DGN95 ini mengadopsi ellipsoid World Geodetic System tahun 1984 (WGS84). Tahap berikutnya, semua data atribut dengan format DBF yang di key-in dengan program MS Excel diintegrasikan dengan fitur geospasialnya yang memiliki format SHP. Pengintegrasikan data atribut dan fitur geospasial menggunakan model relasional, seperti yang dijelaskan oleh Fleming dan Halle (1989). Dalam model DBMS (Database Management System) relasional ini, penggabungan atribut dan fitur geospasial menggunakan kunci primer (primary key). Fitur geospasial yang telah

Penentuan Fitur Dataset Pengklasifikasian Fitur Pendefinisian Atribut Dijitalisasi Fitur Validasi Topologi Standarisasi Georeferensi Pengintegrasian Atribut Fitur Finalisasi basisdata Basisdata Geogeospasi al Loading Data Dijital Analog

Tabel 11. Daftar fitur dan struktur atribut basisdata sumberdaya lahan No. Fitur/Atribut Karakteristik

atribut

Bentuk Fitur

Keterangan

1. Sistem Lahan Poligon

SIMBOL C (3) Kode sistem lahan (kunci

primer)

NAM_LSYM C (25) Nama sistem lahan

LAN_TYPE C (25) Nama bentuklahan

SOIL_DOM C (15) Jenis batuan dominan

TC C (15) Suhu rata-rata tahunan

W1 C (15) Lama bulan kering

W2 RC1 RC2 RC3 C (15) C (15) C (15) C (15)

Jenis tanah dominan

Curah hujan rata-rata tahunan Kelas drainase tanah

Tekstur tanah NR1 C (15) . KTK (me/100g tanah) (subsoil) NR2 FREQ_BAN EROSI C (15) C (15) C (15) . . . pH (surface soil) Frekwensi banjir Tingkat erosi tanah PRODUK

dll

C (10) Produktivitas padi (ton/ha)

2. Penutup Lahan Poligon

LCOVER C (5) Kode penutup lahan (kunci

primer)

NAM_LCOVER C (25) Nama tipe penutup lahan

3. Batas Wilayah/

SOSEK

Poligon

Wil_PROV C (10) Wilayah provinsi (kunci

prmer)

Wil_KAB C (15) Wilayah kabupaten

JUM_PDD I (15) Jumlah penduduk (jiwa)

KEP_PDD N,2 (10) Kepadatan penduduk

(jiwa/km2)

TH_PDD C (8) Tahun jumlah penduduk

JUM_PTN I (15) Jumlah petani

JUM_GUR I (15) Jumlah petani gurem

4. Kawasan Hutan

KWH C (15) Nama status kawasan hutan

5. AGROKLIMAT

Oldeman C (5) Tipe agroklimat menurut

Oldeman

6. Irigasi Poligon

Klas_irigasi C (10) Klasifikasi kondisi irigasi

Debit N,2 (5) Debit air irigasi (l/det/km2)

Keterangan: I = integer, C=karakter,N=numerik

dilengkapi dengan atribut kemudian difinalkan kembali, yaitu dengan melakukan validasi unsur-unsur data baik dari aspek topologi maupun nilai-nilai atributnya, sehingga diperoleh basisdata geospasial seperti yang diinginkan. Gambar 36 menyajikan ilustrasi penggabungan data spasial (fitur geospasial) dengan atribut menggunakan model DBMS relasional.

4.3.3 Zonasi Agroekologi Lahan Sawah

Zonasi agroekologi lahan sawah menggunakan basismodel SIG (Gambar 37). Model SIG ini merupakan basisdata sintesis yang dibangun melalui proses overlay (menu union dalam perangkat lunak ArcGIS versi 9.3) dari layer sistem lahan, penutup lahan, kawasan hutan, kondisi irigasi, dan batas wilayah administrasi. Setiap layer dalam basismodel SIG ini memiliki skala 1: 250.000 dan georeferensi standar nasional, yaitu DGN95, yang mengadopsi ellipsoid WGS’84.

Gambar 36. Ilustrasi penggabungan data spasial dengan atribut menggunakan DBMS relasional.

Nama coverage Info

ARC AAT Tic BND PAT

SI STEM LAHAN SIMBOL (kunci primer) SI MBOL KAWASAN HUTAN KWH (kunci primer) KWH PENUTUP LAHAN LCOVER (kunci primer) LCOVER

Kriteria penilaian zona agroekologi lahan sawah disajikan pada Tabel 12. Delineasi ZAE lahan sawah diawali dengan penilaian kesesuaian lahan dengan menggunakan basisdata sistem lahan sebagai satuan unit lahan (land unit) yang digabungkan dengan data atribut tentang persyaratan tumbuh tanaman padi sawah (menggunakan menu join pada perangkat lunak SIG ArcGIS). Penggabungan data spasial sistem lahan dan atribut ini menggunakan prinsip model DBMS relasional. Analisis kesesuaian lahan menggunakan metode yang dijelaskan oleh FAO (1976) dan CSR/FAO Staf (1983). Kualitas lahan untuk penilaian kesesuaian lahan tersebut terdiri dari rejim temperatur (t), ketersediaan air (w), kondisi perakaran (r), retensi hara (f), ketersediaan hara (n), toksisitas (x), dan kondisi terrain (s). Kesesuaian lahan untuk padi sawah dikelompokkan menjadi 4 (empat) kelas, yaitu S1 (sangat sesuai), S2 (cukup

sesuai), S3 (sesuai marginal), dan N (tidak sesuai). Kriteria kesesuaian lahan

untuk tanaman padi sawah dimaksud disajikan pada Tabel 13.

Gambar 37. Basismodel SIG konseptual untuk zonasi agroekologi lahan sawah

Batas Administrasi SOSBUD Irigasi ZAE Lahan Sawah Intensitas Pertanaman Kawasan Hutan Penutup Lahan union join union Agroklimat Sistem Lahan Persyaratan Tumbuh Tanaman Padi Sawah join union Kawasan Budidaya Kesesuaian Lahan

Tabel 12 . Kriteria penilaian zona agroekologi lahan sawah

Zona Agroekologi Status Kawasan Kesesuaian Lahan Kondisi Irigasi Intensitas Pertanaman A (S1/ IP 300) Budidaya S1 Baik 3 (3 PS)

B (S1/IP 200) Budidaya S1 Sedang 2 (2 PS + 1 PL)

C (S1/IP 100) Budidaya S1 Buruk 1 (1 PS + 2 PL)

D (S2 /IP 300) Budidaya S2 Baik 3 (3 PS)

E (S2 /IP200) Budidaya S2 Sedang 2 (2 PS + 1 PL)

F S2 /IP 100) Budidaya S2 Buruk 1 (1 PS + 2 PL)

G (S3/IP 300) Budidaya S3 Baik 3 (3 PS)

H (S3/IP 200) Budidaya S3 Baik 3 (3 PS)

I (S3/IP100) Budidaya S3 Buruk 1 (1 PS + 2 PL)

J (N/IP100) Lindung N Tadah Hujan Tidak

didefinisikan

Lahan kelas S1 memiliki faktor pembatas yang tidak berarti atau minor dan

tidak akan mereduksi produktivitas lahan secara nyata. Lahan kelas S2 memiliki

faktor pembatas yang berpengaruh terhadap produktivitas, memerlukan tambahan masukan, biasanya dapat diatasi oleh petani sendiri. Lahan kelas S3 memiliki

faktor pembatas berat, berpengaruh nyata terhadap produktivitas, dan memerlukan modal tinggi sehingga perlu intervensi pemerintah atau pihak swasta. Lahan kelas N memiliki faktor pembatas yang sangat berat dan atau sulit diatasi (Balai Penelitian Tanah, 2003) Dalam penelitian ini, kelas kesesuaian lahan untuk tanaman padi sawah yang dianalisis adalah kesesuaian lahan potensial, yaitu kesesuaian lahan yang dilakukan pada kondisi setelah diberikan masukan perbaikan.

Hasil penilaian kesesuaian lahan kemudian diverifikasi dengan basisdata kawasan budidaya yang diidentifikasi dengan layer penutup lahan dan status kawasan hutan. Basisdata kawasan budidaya ini memiliki atribut ketersediaan lahan yang diklasifikasikan menjadi dua kelas, yaitu lahan tersedia dan lahan tidak tersedia. Lahan tersedia adalah areal dengan penutup lahan sawah (SW) dan berada di kawasan hutan Produksi (HP) dan Areal Penggunaan Lain (APL).

Keterangan: PS: padi sawah, PL: palawija, IP: Indeks Pertanaman, kondisi irigasi baik: debit air >10 l/det/km2 (sesuai untuk 3 PS ) Kondisi irigasi sedang: debit air 2,5 – 10 l/det/km2 (sesuai

untuk 2 PS + 1 PL) , kondisi irigasi buruk: debit air < 2,5 l/det/km2 (1 PS + 2 PL)

Penanaman padi diasumsikan menggunakan varietas umur gernjah (105-124 hari) seperti Ciherang, IR64, dll

Tabel 13. Kriteria penilaian kesesuaian lahan untuk tanaman padi sawah (CSR/FAO Staff, 1983)

Kualitas Lahan/ Karakteristik Lahan

Kelas Kesesuaian Lahan

S1 S2 S3 N

Rejim Temperatur (t)

Suhu rata-rata tahunan (oC) 25-29 30-32, 24-22 33-35, 21-18 > 35, < 18

Ketersediaan Air (w) 1.Bulan kering (<100 mm) 2.Rata-rata curah hujan

tahunan 0-3 > 1500 3,1-9 1200-1500 9,1-9,5 800-1200 > 9,5 < 800 Kondisi perakaran (r) 1. Kelas drainase

2. Tekstur tanah (permukaan)

3.Kedalaman tanah (cm)

Agak buruk, agak baik

Sandy clay, loam, silt loam, silt clay loam

> 50

Sangat buruk, buruk

Sandy loam, loam, silty clay loam, silty clay 41-50 Baik Loamy sand, massive clay 20-40 Ekstrim berlebih, berlebih Berbatu, pasir < 20 Retensi hara (f) 1. KTK me/100g tnh (subsoil) 2. pH (permukaan) > medium 5.5-7.0 Rendah 7.1-8.0, 5.4-4.5 Sangat rendah 8.2-8.5, 4.5-4.0 > 8.5, < 4.0 Ketersediaan hara (n) Total N (permukaan) P 2O5 tersedia (permukaan) K 2O5 tersedia (permukaan) > medium Sangat tinggi, > medium Rendah Tinggi rendah Sangat rendah Medium-rendah Sangat rendah Medium rendah Sangat rendah Sangat rendah Toksisitas (x)

Salinitas (mmhos/cm (sub soil < 3 3.1-5 5.5-8 > 8 Terrain (s) Lereng (%) Batuan permukaan (%) Singkapan batuan (%) 0-3 0 0 3-5 < 0,01 < 2 5-8 0,01 2 – 10 > 8 > 0,1 > 10

Lahan tidak tersedia adalah areal dengan penutup lahan non-sawah dan berada di kawasan non-budidaya, seperti kawasan hutan lindung (HL) dan hutan konservasi (HK) seperti Cagar Alam Darat, Suaka Margasatwa Darat, Taman Nasional Darat, Taman Hutan Raya, Taman Buru, dan Taman Wisata Alam.

Hasil penilaian kesesuaian lahan dan ketersediaan lahan tersebut kemudian dipadukan dengan basisdata intensitas pertanaman yang merupakan hasil perpaduan antara basisdata agroklimat Oldeman, kondisi irigasi, dan sosial- budaya petani padi sawah di suatu wilayah. Basisdata agroklimat Oldeman dan kondisi irigasi digunakan untuk menentukan ketersediaan air, sedangkan kondisi

sosial-budaya digunakan untuk mengetahui kebiasaan para petani padi sawah dalam melakukan pola tanam selama satu tahun. Penilaian ketersediaan air berdasarkan data agroklimat Oldeman dan kondisi irigasi secara berurutan disajikan pada Tabel 14 dan 15. Hasil penilaian data ketersediaan air dan kebiasaan (budaya) para petani padi sawah digunakan sebagai dasar penetapan basisdata intensitas pertanaman (IP). Dalam hal ini, intensitas pertanaman dialokasikan untuk tanaman padi sawah varietas umur genjah (105-124 hari), seperti Ciherang yang dominan dijumpai pada saat survei lapangan dilakukan. Basisdata intensitas pertanaman ini kemudian dipadukan dengan basisdata kesesuaian lahan dan kawasan budidaya, sehingga diperoleh zona agroekologi lahan sawah (ZAELS) seperti yang diinginkan.

Berdasarkan proses penentuan zona agroekologi lahan sawah tersebut, kriteria setiap zona seperti yang disajikan pada Tabel 14 di-query dari file basisdata ZAELS, yaitu hasil overlay (U) sistem lahan (SL), penutup lahan (PL), status kawasan hutan (KWH), agroklimat (IKLIM), kondisi irigasi (IRIGASI), dan kondisi sosial-budaya (SOSBUD). Proses overlay tersebut dinotasikan sebagai berikut:

LS = sistem lahan (fluvial, volkanik, denudasional, struktural, kars) PL = penutup lahan (lahan sawah atau non sawah)

KWH = status kawasan hutan (HP, HL, APL, atau APL) IKLIM = agroklimat Oldeman (periode bulan basah atau kering) IRIGASI = kondisi irigasi (kondisi irigasi baik, sedang, atau buruk) SOSBUD = kondisi sosial-budaya (kebiasaan pola tanama padi) KES_LAHAN = kesesuaian lahan (S1, S2, S3, atau N)

KET_LAHAN = ketersediaan lahan (tersedia atau tidak tersedia) IP = intensitas pertanaman (IP 300, 200, atau 100)

Query kriteria penetapan ZAELS menggunakan file atribut ZAE-LS. Field atribut ZAELS yang digunakan untuk query adalah KES-LAHAN, LCOVER,

ZAELS = LS U (PL U KWH) U (IKLIM U IRIGASI U SOSBUD) = KES_LAHAN U KET-LAHAN U IP

KWH, OLDEMAN, IRIGASI, dan IP-SOSBUD. Query nilai masing-masing atribut tersebut menggunakan pernyataan logika Boolean (AND, OR, NOT,

Tabel 14. Hubungan tipe agroklimat Oldeman dengan pola tanam

Tipe Iklim Pola Tanam

A1, A2, B1

Sesuai untuk padi sawah varietas umur genjah terus menerus atau dua kali padi sawah varietas genjah dan satu kali palawija

(3 PS atau 2 PS + 1 PL)

B2

Dua kali padi sawah varietas umur genjah dan satu kali palawija (2 PS + 1 PL)

C1, C2, C3, C4

Tanam padi sawah varietas genjah sekali dan palawija dua kali (1 PS + 2 PL)

D1

Padi sawah varietas umur genjah satu kali dan palawija (1 PS + 1 PL)

D2,D3,D4

Hanya mungkin satu kali padi sawah atau satu kali palawija (1 PS atau 1 PL)

E Terlalu kering, hanya mungkin satu kali palawija

Keterangan: PS = padi sawah, PL= palawija

Varietas padi sawah berumur genjah: 105-124 hari (Ciherang, Mekongga, Cibogo, dll)

Tabel 15. Klasifikasi daerah irigasi (Deppu, 2003)

Kelas Dangkal Sedang Dalam Debit air

(l/det/ ha)

Baik Baik Baik Baik > 10

Sedang Terbatas

setempat

Baik Baik/terbatas

setempat

2.5-10

Langka Langka Langka Langka < 2.5

Tabel 16. Operasi pernyataan logika Boolean

A B NOT A A AND B A OR B A XOR B

1 1 0 1 1 0

1 0 0 0 1 1

0 1 1 0 1 1

0 0 1 0 0 0

atau XOR), seperti yang dijelaskan oleh Burrough (1986) dan Worboys dan Duckhamm (2004). Operasi pernyataan logika Boolean ini dinyatakan dengan dua alternatif, yaitu benar (true) atau salah (false) (Tabel 16). Pada perangkat lunak ArcGIS (ArcMap versi 9.3), QUERY operasi pernyataan logika Boolean tersedia di fasilitas modul SELECT By Attribute.

4.3.4 Penilaian Daya Dukung Lahan Sawah

Dalam penelitian ini, nilai daya dukung lahan sawah didefinisikan sebagai rasio antara produksi beras dan kebutuhan beras yang dikonsumsi penduduk di suatu wilayah. Penghitungan nilai daya dukung lahan sawah dirumuskan sebagai berikut:

DDLS = SB/ DB

DDLS = daya dukung lahan sawah

SB (stok beras) = luas lahan sawah (ha) x 0,65 x produktivitas padi (ton/ha)

per tahun

DB(kebutuhan beras) = 0.9x jumlah penduduk (orang) x konsumsi beras

(kg/kapita/tahun )

Apabila nilai DDLS lebih besar atau sama dengan 2.00 berarti daya dukung lahan sawah termasuk kategori baik (sustainable). Apabila nilai daya dukung lahan sawah terletak antara 1 dan 2 (1.00 <= DDLS < 2.00 ) berarti daya dukung lahan sawah termasuk kategori bersyarat (conditional). Apabila nilai DDLS lebih kecil dari 1.00 berarti daya dukung lahan sawah termasuk dalam kategori terlampaui (over shoot).

Daya dukung lahan sawah diukur di setiap zona agroekologi yang ada di provinsi Banten, Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Jawa Barat (Jabar), Jawa Tengah (Jateng), Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta, dan Jawa Timur (Jawa Timur). Penghitungan daya dukung lahan sawah diskenariokan pada 5 tingkat konsumsi beras (kg/kapita/tahun): 100, 110, 120, 130, dan 140. Dari hasil skenario tersebut dapat diketahui apakah pemanfaatan lahan sawah pada setiap tingkat konsumsi beras di setiap wilayah provinsi telah melampaui daya dukungnya. Selain itu, kelayakan tingkat konsumsi beras standar nasional saat ini yang ditetapkan oleh pemerintah, yaitu 139.15 kg/kapita/tahun, juga dapat dikaji apakah sudah sesuai atau terlalu besar.

Penilaian daya dukung lahan sawah pada lima skenario tingkat konsumsi beras tersebut menggunakan data jumlah penduduk di setiap provinsi dari tahun 2005, 2010, 2015, 2020, dan 2025 (Tabel 17). Data jumlah penduduk tahun 2005 diperoleh dari hasil sensus penduduk tahun 2005, sedangkan lainnya merupakan data proyeksi jumlah penduduk dari BPS. Penghitungan daya dukung lahan sawah menggunakan beberapa asumsi: (1) produksi padi (beras) di lahan sawah bersifat konstan, (2) luas lahan sawah yang didelineasi dalam zona agroekologi tidak mengalami perubahan, (3) tidak terjadi degradasi lahan dan lingkungan, (4) jumlah penduduk Indonesia yang memakan nasi adalah 90%, dan (5) faktor konversi dari massa gabah kering giling (GKG) menjadi beras adalah 65%.

Tabel 17. Jumlah penduduk pulau Jawa (2005-2025)

Tahun Banten DKI

Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Total 2005 9,028,816 8,860,381 38,965,440 31,977,968 3,343,651 36,294,000 128,470,256 2010 10,661,100 8,981,200 42,555,300 32,451,600 3,439,000 36,269,500 130,918,700 2015 12,140,000 9,168,500 46,973,800 32,882,700 3,580,300 36,840,400 141,585,700 2020 13,717,600 9,262,600 49,512,100 33,138,900 3,694,700 37,183,000 146,508,900 2025 15,343,500 9,259,900 52,740,800 33,152,800 3,776,500 37,194,500 151,468,000 Sumber

4.4 Hasil dan Pembahasan

Dokumen terkait